Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kesehatan jiwa adalah perasaan sehat dan bahagia serta mampu


mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana
adanya, serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.
Adanya kelemahan atau ketidakmampuan pada 3 unsur tersebut dapat
menyebabkan jiwa seseorang terganggu bahkan bisa menjadi gangguan
jiwa.

Pada mulanya gangguan jiwa dianggap suatu hal yang gaib,


sehingga penanganannya secara supranatural spiristik yaitu hal-hal yang
berhubungan dengan kekuatan gaib. Gangguan jiwa merupakan suatu
gangguan yang terjadi pada unsur jiwa yang manifestasinya pada
kesadaran, emosi, persepsi dan intelegensi. Tidak sedikit masyarakat yang
beranggapan bahwa individu yang sakit jiwa adalah aib dan memalukan,
tidak bermoral bahkan tidak beriman.

Pada umumnya ada 7 masalah keperawatan antara lain gangguan


konsep diri: harga diri rendah, isolasi sosial: menarik diri, gangguan
sensori persepsi: halusinasi, perubahan proses pikir: waham, resiko
perilaku kekerasan, resiko bunuh diri dan deficit perawatan diri. Marah
adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan
yang dirasakan sebagaian caman bagi individu (Stuart dan Sundeen,
1995).

Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stressor


yang dihadapi oleh seseorang yang dapat menimbulkan kerugian baik
pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan orang sekitar (Keliat,
2010). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang

1
melakukan suatu tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik
pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai oleh amuk dan
gaduh gelisah yang tidak terkontrol (Kusumawati & Hartono, 2010).

Perilaku kekerasan adalah menyentuh orang lain secara


menakutkan, memberi kata-kata ancaman melukai disertai melukai pada
tingkat ringan, dan yang paling berat adalah melukai atau merusak
secara sosial. (Keliat, 2010). Perilaku kekerasaan adalah perilaku
seseorang yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain
secara fisik yang disertai amuk dan gaduh yang dapat merugikan diri
sendiri ataupun orang lain. Adapun risiko yang mungkin terjadi yaitu
dapat mencederai orang lain dan lingkungan yang diakibatkan karna
ketidakmampuan mengendalikan amarah secara konstruktif. Tanda dan
gejala yang muncul dalam perilaku kekerasan dapat dilihatdari
beberapa aspek antara lain : aspek motorik (mondar-mandir,
ketidakmampuan untuk diam, tangan mengepal dan meninju,
rahang mengatup, pernafasan meningkat, tiba-tiba menghentikan
aktifitas motorik, merusak benda dan melukai orang lain), aspek
verbalisasi (mengancam kearah obyek nyata meminta perhtian yang
mengganggu, suara keras dan tertekan, ada isi pikir delusi dan paranoid),
afek (marah, permusuhan, sangat cemas, mudh tersinggung, senang
berlebihan atau tidak sesuai dengan emosi labil), tingkat kesadaran
(sadar, tiba-tiba perubahan status mental, disorientasi, gangguan
daya ingat, ketidakmampuan mengikuti petunjuk) (Stuart&Laraia,
2006).

Tanda dan gejala yang muncul dalam peilaku kekerasan


berupa amarah dan tindakan yang mengancam orang lain.Faktor yang
mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan diantaranya adalah teori
biologik (neurobiologik,biokimia, genetik, gangguan terpenuhinya
kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi, kesulitan
dalammengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga, ketidak siapan
ibu dalammerawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya sebagai orang
dewasa, adanyariwayat perilaku anti sosial), teori psikologik (teori

2
psikoanalitik, teori pembelajran, teori sosiokultural)(Riyadi &
Purwanto,2009).

Adapun faktor-faktor yang dapat mencetuskan terjadinya


perilaku kekerasan yaitu ekspresi diri ingin menunjukkan eksistensi diri
atau simbol solidaritas, tidak meliputi penyalahgunaan obat dan alkohol
pada saat frustasi,kematian anggota keluarga yang terpenting,
kehilangan pekerjaan (Yosep,2009). Faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya perilaku kekerasan dapat berupa gangguan pemikiran, perilaku
dan mental seseorang. Perilaku yang ditunjukkan oleh klien yang
menderita perilaku kekerasan diantaranya mondar-mandir,
ketidakmampuan untuk diam, tangan mengepal dan meninju, rahang
mengatup, pernafasan meningkat, tiba-tiba menghentikan aktifitas
motorik, merusak benda dan melukai orang lain, mengancam ke arah
obyek nyata meminta perhatian yang mengganggu, suarakeras dan
tertekan, ada isi pikir delusi dan paranoid, marah, permusuhan,sangat
cemas, mudah tersinggung, senang berlebihan atau tidak sesuai dengan
emosi labil, sadar, tiba-tiba perubahan status mental, disorientasi,
gangguan daya ingat, ketidakmampuan mengikuti petunjuk
(Stuart&Laraia, 2006). Ada beberapa dampak yang ditimbulkan dari
perilaku kekerasan klien yaitu merusak lingkungan, merusak orang
lain dengan memukul ataupun melukai orang lain, yang lebih
berpengaruh yaitu dapat merusak diri sendiri karenaakan banyak orang
yang menjauhi klien.World Health Organization (WHO,
2012)menyatakan, bahwa jumlah penderita gangguan jiwa didunia
adalah 450 juta jiwa. Satu dari empat keluarga sedikitnya
mempunyai seorang dari anggota keluarga yang mengalami
gangguan kesehatan jiwa. Setiap empat orang yang membutuhkan
pelayanan kesehatan, seorang diantaranya mengalami gangguan jiwa
dan tidak terdiagnosa secara tepat sehingga kurang mendapat
pengobatan dan merawat secara tepat.

Pentingnya peran keluarga dalam perawatan klien gangguan jiwa,


tetapidalam jalanya proses perawatan gangguan jiwa ada beberapa

3
masalah yang seringkali dihadapi keluarga dalam merapat klien,
diantaranya : hubungan interpersonal dengan lingkungan, perubahan
status kesehatan salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi
keluarga secara keseluruhan, pelayan kesehatan hanya berfungsi
membantu klien dan keluarga mengembangkan kemampuan dalam
mencegah dan menyelesaikan masalah secara adaptif, keluarga yang
tidak tahu cara menangani klien (Keliat,2010).

Pengetahuan keluarga dalam merawat pasien gangguan jiwa


juga sangat dibutuhkan untuk memaksimalkan peran keluarga
dalam merawat pasien gangguan jiwa .Berdasarkan hasil uraian di
atas, kami tertarik untuk membuat makalah Asuhan Keperawatan Jiwa
Dengan Risiko Perilaku Kekerasan.

B. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa II

2. Untuk mengetahui definisi dari resiko perilaku kekerasan

3. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab resiko perilaku kekerasan

4. Untuk mengetahui tanda dan gejala resiko perilaku kekerasan

5. Untuk mengetahui mekanisme terjadinya resiko perilaku kekerasan

6. Untuk mengetahui proses asuhan keperawatan dengan resiko perilaku


kekerasan

7. Untuk mengetahui strategi pelaksanaan rencana tindakan keperawatan


dengan resiko perilaku kekerasan

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan


untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tingkah laku tersebut (Purba, dkk: 2008).
Menurut Stuart dan Sundeen (2005), perilaku kekerasan adalah
suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal
atau marah yang tidak konstruktif.
Pada pasien perilaku kekerasan mengungkapkan rasa kemarahan
secara fluktuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptif. Marah
merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap
kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang tidak dirasakan sebagai
ancaman (Stuart & Sundeen: 2005).
Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktivitas sistem
saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat
kuat. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, menghancurkan atau
melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal ini
disalurkan maka akan terjadi perilaku agresif (Purba, dkk: 2008).
Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan dapat
menimbulkan respon asertif yang merupakan kemarahan yang
diungkapkan tanpa menyakiti orang lain dan akan memberikan kelegaan
pada individu serta tidak akan menimbulkan masalah. Kegagalan yang
menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan melarikan diri
atau respon melawan dan menentang. Respon melawan dan menentang
merupakan respon yang maladaptif yaitu agresi-kekerasan (Purba dkk:
2008).

5
B. FAKTOR FAKTOR PENYEBAB PERILAKU KEKERASAN

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku


kekerasan menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural
yang dijelaskan oleh Townsend (2005) adalah:

1. Faktor Predisposisi
a. Faktor biologik
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif
mempunyai dasar biologis. Penelitian neurobiology mendapatkan
bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus
(yang berada ditengah system limbik) binatang ternyata
menimbulkan perilaku agresif. Perangsangan yang diberikan
terutama pada nucleus periforniks hypothalamus dapat
menyebabkan seekor kucing mengeluarkan cakarnya, mengangkat
ekornya, medesis, bulunya berdiri, menggeram, matanya terbuka
lebar, pupil berdilatasi, dan hendak menerkam tikus atau objek yang
ada disekitarnya. Jadi kerusakan fungsi system limbik (untuk emosi
dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus
temporal (untuk interpretasi indera penciuman dan memori).
Neurotransmitter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif :
serotonin, dopamine, norepinephrine, acetilcolin, dan asam amino
gaba.
Faktor-faktor yang mendukung :
 Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan
 Sering mengalami kegagalan
 Kehidupan yang penuh tindakan agresif
 Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat).

6
b. Faktor psikologi
Phsycoanalytical theory; teori ini mendukung bahwa perilaku
agresif merupakan akibat dari instinctual drives.Freud berpendapat
bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting. Pertama
insting hidup yang diekspresikan dengan seksualitas, dan kedua
insting kematian yang diekspresikan dengan agresivitas.
Frustration-aggresion theory; teori yang dikembangkan oleh
pengikut Freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang
untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul
dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku
yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan
frustasi. Jadi hampir semua orang yang melakukan tindakan agresif
mempunyai riwayat perilaku agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif,
mendukung pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau
pengalaman hidup. Ini mengguanakan pendekatan bahwa manusia
mampu memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak merusak.
Beberapa contoh dari pengalaman tersebut :
 Kerusakan otak organik, retardasi mental, sehingga tidak
mampu untuk menyelesaikan secara efektif
 Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan
pada masa kanak-kanak, atau seduction parenteral, yang
mungkin telah merusak hubungan saling percaya (trust ) dan
harga diri.
 Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk
child abuse atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga,
sehingga membentuk pola pertahanan atau koping.

c. Faktor sosiokultural
Social-Learning Theory; teori yang dikembangkan oleh
Bandura(1977) ini mengemukakan bahwa“agresi tidak berbeda
dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat dipelajari melaluli

7
observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan
maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan
berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai
dengan respon yang dipelajarinya. Pembelajaran ini biasa diinternal
atau eksternal. Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku
kekerasan. Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi
agresif mana yang dapat diterima atau tidak dapat diterima. Sehingga
dapat membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara
yang asertif.
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan
struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang
secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk
menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada
perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara
konstruktif. Penduduk yang ramai/padat dan lingkungan yang ribut
dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial
dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.

2. Faktor Presipitasi
Menurut Yosep (2009) faktor-faktor yang dapat mencetuskan
perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan:
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola,
geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi
sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga
serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah
cenderung melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.

8
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat
dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada
saat menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap
perkembangan keluarga.

C. TANDA DAN GEJALA

Data perilaku kekerasan dapat diperoleh melalui observasi atau


wawancara tentang perilaku pada pasien. Berikut adalah beberapa tanda
dan gejala pasien dengan perilaku kekerasan Menurut Yosep (2009)
mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan adalah sebagai
berikut:
1. Fisik
 Muka merah dan tegang
 Mata melotot/ pandangan tajam
 Tangan mengepal
 Rahang mengatup
 Postur tubuh kaku
 Jalan mondar-mandir
2. Verbal
 Bicara kasar
 Suara tinggi, membentak atau berteriak
 Mengancam secara verbal atau fisik
 Mengumpat dengan kata-kata kotor
 Suara keras & ketus
3. Perilaku
 Melempar atau memukul benda/orang lain
 Menyerang orang lain
 Melukai diri sendiri/orang lain
 Merusak lingkungan

9
 Amuk/agresif
4. Emosi
 Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman
 Rasa terganggu, dendam dan jengkel
 Bermusuhan, mengamuk, dan ingin berkelahi
 Menyalahkan dan menuntut
5. Intelektual
 Mendominasi
 Cerewet
 Kasar
 Berdebat
 Meremehkan dan sarkasme
6. Spiritual
 Merasa diri berkuasa dan benar
 Mengkritik pendapat orang lain
 Menyinggung perasaan orang lain
 Tidak perduli dan kasar
7. Sosial
 Menarik diri, pengasingan
 Penolakan
 Kekerasan
 Ejekan dan sindiran.
8. Perhatian
 Bolos
 Mencuri
 Melarikan diri
 Penyimpangan seksual

10
D. MEKANISME TERJADINYA PERILAKU KEKERASAN

Menurut Iyus Yosep (2009) kemarahan diawali oleh adanya


stressor yang berasal dari internal atau eksternal. Stressor internal seperti
penyakit, hormonal, dendam, kesal sedangkan stressor eksternal bisa
berasal dari lingkungan seperti ledekan, cacian, makian, hilangnya benda
berharga, tertipu, penggusuran, bencana dan sebagainya. Hal tersebut akan
mengakibatkan kehilangan atau gangguan pada sistem individu (disruption
and loss). Hal yang terpenting adalah bagaimana individu memaknai setiap
kejadian yang menyedihkan atau menjengkelkan tersebut ( personal
meaning ). Bila seseorang memberi makna positif, misalnya kemacetan
adalah waktu untuk beristirahat, penyakit adalah sarana penggugur dosa,
suasana bising adalah melatih persyarafan telinga maka ia akan dapat
melakukan kegiatan secara positif (compensatory act ) dan tercapai
perasaan lega (resolution).
Bila ia gagal dalam memberikan makna menganggap segala
sesuatunya sebagai ancaman dan tidak mampu melakukan kegiatan positif
misalnya: olah raga, menyapu atau baca puisi saat ia marah dan
sebagainya. Maka akan muncul perasaan tidak berdaya dan sengsara
(helplessness). Perasaan itu akan memicu timbulnya kemarahan (anger).
Kemarahan yang diekspresikan keluar (exspressed outward ) dengan
kegiatan yang konstruktif dapat menyelesaikan masalah. Kemarahan yang
diekspresikan dengan kegiatan destruktif dapat menimbulkan perasaan
bersalah dan menyesal ( guilt ). Kemarahan yang dipendam akan
menimbulkan gejala psikomatis ( painfull symptom).
Perasaan marah normal terjadi pada setiap individu, namun
perilaku yang dimanifestasikan oleh perasaan marah dapat berfungsi
sepanjang rentang adaptif dan mal adaptif, (Gambar 1).

11
Respon Respon Mal
Adaptif adatif

Asertif Frustas Pasif Agresif Kekerasan


i

Gambar 1. Rentang Respon Marah

Kegagalan dapat menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif


dan melarikan diri atau respon melawan dan menentang. Respon melawan
dan menentang merupakan respon yang maladaptif, yaitu agresif =
kekerasan perilaku yang menampakkan mulai dari yang rendah sampai
yang tinggi, yaitu:
1. Asertif
Adalah suatu respon marah dimana individu mampu mengatakan atau
mengungkapkan rasa marah atau tidak setuju tanpa menyalahkan atau
menyakiti orang lain yang akan memberikan kelegaan pada individu.

2. Frustasi
Adalah suatu respon yang terjadi akibat individu gagal mencapai
tujuan, kepuasan atau rasa aman, individu tidak dapat menunda
sementara atau menemukan alternative lain.
3. Pasif
Adalah perilaku yang ditandai dengan perasan tidak mampu untuk
mengungkapkan perasaannya sebagai usaha mempertahankan hak-
haknya, merasa kurang mampu, HDR, pendiam, malu, dan sulit diajak
bicara.
4. Agresif
Adalah suatu bentuk perilaku yang menyertai marah dan merupakan
dorongan mental untuk bertindak dan masih terkontrol.
Memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati orang
lain dengan ancaman, memberi kata-kata ancaman tanpa niat melukai.
Umumnya klien masih dapat mengontrol perilaku untuk tidak melukai
orang lain.
5. Kekerasan
Adalah perasaan marah di sertai dengan rasa permusuhan yang kuat dan
hilang kontrol, di mana individu dapat merusak diri orang lain dan
lingkungan. Sering juga disebut gaduh-gaduh atau amuk. Perilaku
kekerasan ditandai dengan menyentuh orang lain secara menakutkan,

12
member kata-kata ancaman, melukai disertai melukai pada tingkat
ringan, dan yang paling berat adalah melukai/merusak secara serius.
Klien tidak mampu mengendalikan diri.

Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui tiga cara yaitu:


1. Mengungkapkan secara verbal
2. Menekan
3. Menantang
Dari ketiga cara ini yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara
lain adalah destruktif. Dengan melarikan diri atau menantang akan
menimbulkan rasa bermusuhan dan bila cara ini dipakai terus menerus,
maka kemarahan dapat diekspresikan pada diri sendiri atau lingkungan
dan akan tampak sebagai depresi psikosomatik atau agresif dan
mengamuk. Mekanisme terjadinya masalah dapat digambarkan melalui
diagram berikut

Provokasi (ancaman atau kebutuhan yang tidak


terpenuhi)

Stress

Cemas

Marah

Diungkapkan secara Mengingkari marah/merasa kuat


tepat/asertif

Masalah teratasi Marah tidak terungkap

Marah berkepanjangan

Marah pada orang lain


Marah pada diri sendiri

Depresi Agresif

13
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
RESIKO PERILAKU KEKERASAN

A. PENGKAJIAN

Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan.


Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan
status kesehatan klien dan pola pertahanan klien mengidentifikasi
kekuatan dan kebutuhan klien serta merumuskan diagnosis keperawatan.
(Keliat, 2006).
1. Pengumpulan Data
a. Identitas Klien
Data yang perlu dikaji dalam identitas klien terdiri dari nama, umur,
jenis kelamin, pendidikan, agama, suku bangsa, pekerjaan, status
perkawinan, nomor rekam medik, ruangan, tanggal masuk dan
tanggal dikaji, diagnosis medik dan alamat serta identitas
penanggung jawab.(Keliat, 2006
b. Alasan Masuk
Kaji dan tanyakan pada klien dan keluarga, apakah yang
menyebabkan klien dibawa ke RSJ, upaya apa yang sudah dilakukan
oleh keluarga untuk mengatasi masalah perilaku kekerasan dan
bagaimana hasilnya. (Keliat, 2006).
c. Faktor Predisposisi
Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien pernah mengalami
gangguan jiwa sebelumnya, jika pernah tanyakan apakah
pengobatan yang telah diberikan berhasil sehingga klien dapat
beradaptasi di masyarakat tanpa gejala-gejala gangguan jiwa,
tanyakan pada klien apakah klien pernah melakukan dan atau
mengalami dan atau menyaksikan penganiayaan fisik, seksual,
penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan
kriminal, tanyakan pula kepada klien/keluarga apakah ada anggota

14
kluarga yang lain yang mengalami gangguan jiwa jika ada tanyakan
bagaimana hubungan klien dengan anggota keluarga tersebut serta
tanyakan tentang pengalaman yang tidak menyenangkan (kegagalan,
kehilangan /perpisahan / kematian, trauma selama tumbuh kembang)
yang pernah dialami klien pada masa lalu. (Keliat, 2006).
d. Faktor Presipitasi Yaitu stimulus yang diekspresikan oleh individu
sebagai suatu tantangan, ancaman, tuntutan yang memerlukan energi
ekstra yang digunakan untuk koping.
e. Pengkajian Fisik
Pengkajian fisik difokuskan pada sistem dan fungsi organ, observasi
tanda-tanda vital, tinggi dan berat badan, apakah ada penurunan atau
kenaikan berat badan, dan kaji lebih lanjut tentang system dan
fungsi organ serta jelaskan sesuai dengan keluhan yang ada (Keliat,
2006). Klien dengan perilaku kekerasan bisanya terlihat gelisah,
amuk atau kemarahan disertai peningkatan tanda-tanda vital.
f. Psikososial
1) Genogram
Genogram minimal 3 generasi yang dapat menggambarkan
hubungan klien dan keluarga, pola komunikasi dalam keluarga,
pengambilan keputusan dan pola asuh (Keliat, 2006).
2) Konsep diri
a) Citra tubuh: tanyakan pada klien mengenai persepsi klien
terhadap tubuhnya, bagian tubuh yang disukai dan tidak
disukainya. (Keliat, 2006)
b) Identitas diri: tanyakan pada klien mengenai status dan posisi
klien sebelum dirawat, kepuasan terhadap status dan
posisinya, serta kepuasan sebagai laki-laki atau perempuan.
(Keliat, 2006).
c) Peran: tanyakan mengenai tugas dan peran yang diemban
dalam keluarga/masyarakat serta kemampuannya dalam
melaksanakan tugas tersebut. (Keliat, 2006).

15
d) Ideal diri: tanyakan tentang harapan terhadap tubuh, posisi,
status, tugas/peran: harapan terhadap lingkungannya dan
harapan terhadap penyakitnya. (Keliat, 2007).
e) Harga diri: tanyakan hubungan klien dengan orang lain sesuai
dengan no 1,2,3,4 serta penilaian/penghargaan orang lain
terhadap diri dan kehidupannya. (Keliat, 2006).
f) Hubungan sosial Orang terdekat dalam kehidupan klien,
tempat mengadu, tempat bicara, minta bantuan atau
sokongan. Kelompok apa saja yang diikuti klien dalam
masyarakat. Sejauh mana klien terlibat dalam kelompok di
masyarakat. (Keliat, 2006).

g) Spiritual
 Nilai keyakinan: pandangan dan keyakinan, terhadap
gangguan jiwa sesuai dengan norma budaya dan agama
yang dianut, pandangan masyarakat setempat tentang
gangguan jiwa.
 Kegiatan ibadah : kegiatan ibadah di rumah secara
individu dan kelompok. Pendapat klien/keluarga tentang
gangguan jiwa. (Keliat, 2006).
h) Status Mental
 Penampilan
Observasi penampilan dari ujung rambut sampai ujung
kaki, apakah penampilan rapi, penggunaan baju sesuai
atau tidak serta cara berpakaian sesuai atau tidak. (Keliat,
2006).
 Pembicaraan
Amati pembicaraan klien apakah cepat, keras, gagap,
membisu, apatis dan atau lambat (Keliat, 2006). Pada
umumnya klien dengan perilaku kekerasan
pembicaraannya cepat, keras, mendominasi pembicaraan,
berkata-kata dengan ancaman, pembicaran kacau.

16
 Aktivitas motorik
Kaji melalui observasi dan wawancara terhadap keluarga
mengenai ekspresi lesu, tegang, gelisah, agitasi (gerakan
motorik yang menunjukan kegelisahan), tik (gerakan-
gerakan kecil pada otot muka yang tidak terkontrol),
grimasen (gerakan otot-otot muka yang berubah-ubah dan
tidak terkontrol), tremor, konfulsif (kegiatan yang
dilakukan berulang-ulang) (Keliat, 2006). Klien dengan
perilaku kekerasan mengalami agitasi, peningkatan
kegiatan motorik, mondar mandir dan gelisah.
 Alam perasaan
Observasi keadaan sedih, putus asa, gembira berlebih,
ketakutan dan khawatir (Keliat, 2006). Pada klien dengan
perilaku kekerasan akibat skizofrenia paranoid biasanya
gembira, sedih berlebihan tidak sesuai dengan situasi saat
ini, alam perasaan tidak sejalan dengan perilaku, ekpresi
raut muka terlihat marah.
 Afek
Observasi keadaan afek apakah datar, tumpul, labil, serta
tidak sesuai (Keliat, 2006). Klien dengan perilaku
kekerasan emosi labil dan cepat berubah-ubah.
 Interaksi selama wawancara meliputi
Bermusuhan atau tidak koperatif atau mudah tersinggung,
kontak mata kurang depensif dan curiga (Keliat, 2006).
Pada saat berinteraksi dengan klien dengan perilaku
kekerasan akibat skizofrenia paranoid kemungkinan sifat
bermusuhan dan curiga akan muncul, klien mudah
tersinggung, mendominasi pembicaraan, berusaha
mempertahankan pendapat, mudah curiga terhadap orang
lain yang mencoba mendekatinya dan tidak mudah
percaya terhadap orang lain.

17
 Persepsi
Kaji apakah klien mengalami halusinasi, jika iya kaji isi
halusinasi, frekuensi gejala yang tampak pada saat klien
berhalusinasi, dan perasaan klien terhadap halusinasinya
(Keliat, 2006). Perilaku kekerasan dapat disebabkan oleh
adanya halusinasi pendengaran
 Proses pikir
kaji apakah terdapat adanya sirkumtansial (pembicaraan
berbeli-belit tetapi sampai pada tujuan), tangensial
(pembicaraan berbeli- belit dan tidak sampai pada tujuan),
kehilangan asosiasi (pembicaraan yang tidak memiliki
hubungan antar satu kalimat dengan kalimat lainnya),
flight of ideas (pembicaraan yang meloncat-loncat dari
satu topik ke topik lainnya, ada hubungan yang tidak
logis), Blocking (pembicaraan terhenti tiba-tiba tanpa
adanya gangguan ekternal, perseverasi (pembicaraan yang
diulang-ulang) (Keliat, 2006). Klien dengan perilaku
kekerasan pada saat berbicara diulang berkali-kali dan
tidak dimengerti, berbicara terus menerus dan tidak
mampu menyusun pikiran dan idenya.
 Isi pikir
Kaji dari data hasil wawancara apakah terdapat obsesi
(pemikiran yang selalu muncul walaupun klien berusaha
untuk menghilangkannya); Fobia (ketakutan yang
patologis/ tidak logis terhadap objek/situasi tertentu);
Hipokondria (keyakinan terhadap adanya gangguan pada
organ dalam tubuh yang sebenarnya tidak ada);
Depersonalisasi (perasaan klien yang asing terhadap diri
sendiri, orang, atau lingkungannya); Ide yang terkait
(keyakinan klien terhadap kejadian yang terjadi di
lingkungan, bermakna, dan terkait pada dirinya); Pikiran
magis (keyakinan klien tentang kemampuannya

18
melakukan hal-hal yang mustahil / diluar kemampuannya);
(Keliat, 2006). Klien dengan perilaku kekerasan akibat
skizofrenia paranoid biasanya mengalami waham curiga,
obsesi dan pikiran magis. Waham (keyakinan yang
berlebih dan tidak sesuai dengan kenyataannya, baik
waham agama, somatik, kebesaran, curiga, nihilistik).
 Tingkat kesadaran
Pengkajian dapat dilakukan melalui wawancara dan
observasi, yaitu tentang keadaan bingung dan sedasi
(melayang-layang antara sadar dan tidak); stupor
(gangguan motorik, seperti kekakuan, gerakan yang
diulang-ulang sikap canggung) dilakukan melalui
observasi ; dan orientasi waktu, orang dan tempat didapat
melalui wawancara (Keliat, 2006).
 Memori
Kaji apakah terjadi gangguan pada daya ingat jangka
panjang, jangka pendek, daya ingat saat ini, konfabulasi
(cerita atau pembicaraan yang tidak benar untuk menutupi
gangguan daya ingatnya) (Keliat, 2006). Kemungkinan
akibat perilaku kekerasan yang dialami mengalami
gangguan memori daya ingat jangka panjang, pendek
maupun saat ini.
 Kemampuan penilaian
Kaji apakah terjadi gangguan kemampuan penilaian ringan
(dapat mengambil keputusan yang sederhana dengan
bantuan orang lain), atau terjadi gangguan kemampuan
penilaian bermakna (tidak dapat mengambil keputusan
yang sederhana walaupun dengan bantuan orang lain)
(Keliat, 2006).
 Tingkat konsentrasi dan berhitung
Kaji mengenai konsentrasi, perhatian dan kemampuan
dalam berhitung (Keliat, 2006).

19
 Daya tilik diri
Kaji apakah klien mengingkari penyakit yang diderita
dengan adanya perilaku mengkritik diri sendiri dan/atau
orang lain (Keliat, 2006). Klien dengan perilaku kekerasan
berpandangan mengingkari penyakit.
i) Kebutuhan Persiapan Pulang
 Makan
Observasi dan tanyakan tentang: frekuensi, jumlah,
variasi, macam (suka/tidak suka/pantang) dan cara makan;
serta observasi kemampuan klien dalam menyiapkan dan
membersihkan alat makan.
 Defekasi/berkemi
Observasi kemampuan klien untuk pergi ke WC,
menggunakannya, membersihkannya; serta kemampuan
dalam membersihkan diri dan merapihkan pakaian.
 Mandi
Observasi dan tanyakan tentang frekuensi, cara mandi,
menyikat gigi, cuci rambut, gunting kuku, cukur (kumis,
rambut, dan jenggot); observasi kebersihan tubuh dan bau
badan.
 Berpakaian
Observasi kemampuan klien untuk mengambil, memilih,
dan mengenakan pakaian serta alas kaki; observasi
penampilan dandanan klien; tanyakan dan observasi
frekuensi ganti pakaian.
 Istirahat dan tidur
Observasi dan tanyakan tentang lama dan waktu tidur
siang dan malam; persiapan sebelum tidur; aktivitas
sesudah tidur.

20
 Penggunaan Obat
Observasi dan tanyakan tentang penggunaan obat
(frekuensi, jenis, dosis, waktu dan cara pemberian); reaksi
obat.
 Pemeliharaan kesehatan
Tanyakan pada klien dan keluarga tentang apa,
bagaimana, kapan, dan tempat perawatan lanjutan; siapa
sistem pendukung yang dimiliki.
 Aktivitas di dalam rumah
Tanyakan kemampuan klien dalam merencanakan,
mengolah, dan menyajikan makanan; merapihkan rumah;
mencuci pakaian; mengatur kebutuhan sehari-hari.
 Aktivitas di luar rumah
Tanyakan kemampuan klien berbelanja untuk keperluan
sehari-hari; melakukan perjalanan mandiri (berjalan kaki,
menggunakan kendaraan pribadi dan umum); aktivitas lain
yang dilakukan di luar rumah (Keliat, 2006).
j) Mekanisme koping
Data didapatkan dari melalui wawancara pada klien atau
keluarga tentang koping yang biasa digunakan baik adaptif
maupun mal adaptif.
k) Masalah psikososial dan lingkungan

Masalah psikososial dan lingkungan didapatkan melalui


wawancara dengan klien atau keluarga tentang masalah-
masalah berhubungan dengan dukungan kelompok
lingkungan pendidikan pekerjaan, perumahan ekonomi
pelayanan kesehatan dan lain-lain.

l) Pengetahuan
Pengetahuan didapat dari hasil tanya jawab dengan klien atau
keluarga tentang penyakit jiwa, faktor predisposisi, faktor
presipitasi, penggunaan obat-obatan penyakit fisik,
mekanisme koping dan lain-lain (Keliat, 2006).

21
2. Analisa Data
Dari data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokan
menjadi dua macam yaitu data objektif yang ditemukan secara nyata
(data ini didapat melalui observasi dan periksaan secara langhsung)
dan data subjektif yang disampaikan secara lisan oleh klien dan
keluarganya (data ini didapat dari wawancara perawat kepada klien
dan keluarga). Perawat dapat menyimpulkan kebutuhan atau masalah
klien dari kelompok data yang di kumpulkan yaitu :
a. Tidak ada masalah tetapi ada kebutuhan, klien hanya memerlukan
pemeliharaan kesehatan dan memerlukan follow up secara periodik
karena tidak ada masalah serta klien telah mempunyai pengetahuan
untuk antisipasi masalah.
b. Klien memerlukan peningkatan kesehatan berupa upaya preventif
dan promotif sebagai program antisipasi terhadap masalah.
c. Ada masalah dengan kemungkinan resiko terjadi masalah karena
sudah ada faktor yang dapat menimbulkan masalah atau aktual,
terjadi masalah disertai data pendukung (Keliat, 2006 : 4)

3. Pohon masalah

Resiko mencederai orang lain/lingkungan

Perilaku kekerasan

Gangguan harga diri : harga diri rendah

4. Daftar masalah keperawatan


Daftar masalah keperawatan ditulis sesuai dengan masalah
yang ditemukan pada saat melakukan pengkajian baik data subjektif
maupun objektif. Adapun masalah keperawatan yang mungkin
muncul antara lain:

22
a. Resiko Mencederai : diri, orang lain / lingkungan
b. Perilaku kekerasan
c. Gangguan harga diri : harga diri rendah

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan


respon manusia (Status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari
individu atau kelompok dimana perawat secara akontabilitas dapat
mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga
status kesehatan menurunkan, membatasi, mencegah, dan merubah
(Nursalam, 2001).
Diagnosa keperawatan adalah suatu pertimbangan klinis tentang
respon individu, keluarga atau komunitas terhadap masalah kesehatan /
proses kehidupan yang aktual dan potensial. Diagnosa keperawatan
memberikan dasar bagi pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai
hasil yang menjadi tanggung gugat perawat (Doenges, 2007).

Diagnosa keperawatan ditetapkan melalui tahapan:

1. Analisa data yang ditemukan baik data subjektif maupun data objektif
2. Tetapkan rumusan diagnosis dalam bentuk rumusan diagnosis tunggal

Diagnosis keperawatan dirumuskan dalam bentuk rumusan


tunggal. Rumusannya adalah rumusan “problem”, etiologi dari diagnosa
tidak perlu dicantumkan tetapi cukup dimengerti dan dipahami. Rumusan
diagnosa ditunjang oleh semua data mayor dan satu atau lebih data minor.
Menurut buku Satuan Asuhan Keperawatan Jiwa oleh RSJ Cimahi
tahun 2007 sesuai dengan Musyawarah Nasional menerangkan bahwa,
diagnosa keperawatan terdiri dari satu komponen yaitu P (problem) saja
(single diagnosis). (Workshop : Standar Proses Keperawatan Jiwa, 2007).
Dari masalah perilaku kekerasan dapat ditemukan diagnosa keperawatan
sebagai berikut:

23
1. Perilaku kekerasan
2. Isolasi sosial
3. Gangguan persepsi sensori halusinasi
4. Defisit perawatan diri

C. PERENCANAAN

Rencana tindakan adalah desain spesifik intervensi untuk


membantu klien dalam mencapai kriteria hasil. Rencana tindakan
dilaksanakan berdasarkan komponen penyebab dari diagnosa keperawatan
(Nursalam, 2001 : 57) Rencana tindakan keperawatan merupakan
serangkaian tindakan yang dapat mencapai tiap tujuan. Rencana tindakan
keperawatan disesuaikan standar asuhan keperawatan jiwa. Dalam
membuat suatu perencanaan harus sesuai dengan keadaan agar mendukung
terlaksananya rencana asuhan keperawatan meliputi tujuan, tindakan
keperawatan dan evaluasi, adapun tujuannya adalah sebagai berikut :
1. Klien mampu berorientasi kepada realitas secara bertahap
2. Klien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan
3. Klien mampu minum obat dengan prinsip 5 benar

Rencana tindakan keperawatan dibagi dua, yaitu:

1. Rencana tindakan keperawatan pada keluarga klien

Tujuan tindakan keperawatan adalah keluarga dapat merawat pasien


dirumah.

a. Tindakan keperawatan
1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat
pasien
2) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan
(penyebab, tanda, dan gejala, perilaku yang muncul dan akibat
dari perilaku tersebut).

24
3) Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi pasien yang perlu
segera dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau
memukul benda/ orang lain.
4) Latih kelurga merawat pasien dengan perilku kekerasan.
 Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien melakukan
tindakan yang telah diajarkan oleh perawat.
 Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada pasien bila
pasien dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat.
 Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan
bila pasien menunjukkan gejala-gejala perilku kekerasan.
 Evaluasi pengetahan keluarga tentang marah.
5) Buat perawatan lanjutan
 Buat perencanaan pulang bersama keluarga

2. Rencana tindakan keperawatan pada klien.


Diagnosa Keperawatan : Resiko mencederai diri b.d perilaku
kekerasan
TUM : Klien tidak mencederai diri sendiri
TUK 1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Kriteria Hasil :
 Klien mau membalas salam
 Klien mau menjabat tangan
 Klien mau menyebutkan nama
 Klien mau tersenyum
 Klien mau kontak mata
 Klien mau mengetahui nama perawat

Intervensi :
 Beri salam atau panggil nama
 Sebutkan nama perawat sambil jabat tangan
 Jelaskan maksud hubungan interaksi
 Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat

25
 Beri rasa aman dan sikap empati
 Lakukan kontak singkat tapi sering

TUK 2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan


Kriteria Hasil :
 Klien mengungkapkan perasaannya
 Klien dapat mengungkapkan perasaan jengkel ataupun kesal
Intervensi :
 Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya
 Bantu klien mengungkapkan penyebab perasaan jengkel atau
kesal
TUK 3. Klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku
kekerasan
Kriteria Hasil :
 Klien dapat mengungkapkan perasaan saat marah atau jengkel
 Klien dapat menyimpulkan tanda dan gejala jengkel atau kesal
yang dialaminya
Intervensi :
 Anjurkan klien mengungkapkan apa yang dialami dan
dirasakannya saat jengkel atau marah
 Observasi tanda dan gejala perilaku kekerasan pada klien
 Simpulkan bersama klien yanda dan gejala jengkel atau kesal
yang dialami klien
TUK 4. Klien dapat mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan
Kriteria Hasil :
 Klien dapat mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan
 Klien dapatbermain peran sesuai perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan
 Klien dapat menngetahui cara yang biasa dilakukan untuk
menyelesaikan masalah

26
Intervensi :
 Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekeraan yang
biasa dilakukan klien
 Bantu klien bermain peran sesuai perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan
 Bicarakan dengan klien apakah dengan cara klien lakukan
masalahnya selesai
TUK 5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
Kriteria Hasil :
 Klien dapat menjelaskan akibat dari cara yang digunakan klien
(akibat pada klien sendiri, akibat pada orang lain, dan akibat
pada lingkungan).
Intervensi :
 Bicarakan akibat atau kerugian dari cara yang dilakukan klien
 Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang dilakukan
klien
 Tanyakan pada klien apakah dia ingin mempelajari cara baru
yang sehat

TUK 6. Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah


perilaku kekerasan

Kriteria Hasil :

 klien dapat menyebutkan contoh pencegahan perilaku kekerasan


secara fisik: tarik napas dalam, pukul kasur, dan bantal 6
 klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah
perilaku kekerasan.
 Klien mempunyai jadwak untuk melatih cara pencegahan fisik
yang telah dipelajari sebelumnya.
 Klien mengevaluasi kemampuannya dalam melakukan cara fisik
sesuai jadwal yang disusun.
Intervensi :
 Diskusikan kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien

27
 beri pujian atas kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien
 Diskusikan dua cara fisik yang paling mudah untuk mencegah
perilaku kekerasan
 Diskusikan cara melakukan tarik napas dalam dengan klien
 Beri contoh klien cara menarik napas dalam
 Minta klien untuk mengikuti contoh yang diberikan sebanyak 5
kali
 Beri pujian positif atas kemampuan klien mendemonstrasikan
cara menarik napas dalam
 Tanyakan perasaan klien setelah selesai.
 Diskusikan dengan klien mengenai frekuensi latihan yang akan
dilakukan sendiri oleh klien
 Susun jadwal kegiatan untuk melatih cara yang dipelajari
 Klien mengevaluasi peaksanaan latihan
 Validasi kemampuan klien dalam melaksanakan latihan
 Beikan pujian atas keberhasilan klien
 Tanyakan pada klien apakah kegiatan cara pencegahan perilaku
kekerasan dapat mengurangi perasaan marah.
TUK 7. Klien dapat mendemonstrasikan cara social untuk mencegah
perilaku kekerasan
Kriteria Hasil :
 Klien dapat menyebutkan cara bicara yang baik dalam
mencegah perilaku kekerasan ( meminta dengan baik, menolak
dengan baik mengungkapkan perasaan dengan baik.
 Klien dapat mendemonstrasikan cara verbal yang baik.
 Klien mumpunyai jadwal untuk melatih cara bicara yang baik
 Klien melakukan evaluasi terhadap kemampuan cara bicara
yang sesuai dengan jadwal yang telah disusun.
Intervensi :
 Diskusikan cara bicara yang baik dengan klien
 Beri contoh cara bicara yang baik : (meminta dengan baik,
menolak dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan baik).

28
 Minta klien mengikuti contoh cara bicara yang baik ( meminta
dengan baik : “Saya minta uang untuk beli makanan”, menolak
dengan baik : “ Maaf, saya tidak dapat melakukannya karena
ada kegiatan lain, mengungkapkan perasaan dengan baik : “Saya
kesal karena permintaan saya tidak dikabulkan” disertai nada
suara yang rendah ).
 Minta klien mengulang sendiri
 Beri pujian atas keberhasilan klien
 Diskusikan dengan klien tentang waktu dan kondisi cara bicara
yang dapat dilatih di ruangan, misalnya : meminta obat, baju,
dll, menolak ajakan merokok, tidur tidak pada waktunya;
menceritakan kekesalan pada perawat.
 Susun jadwaj kegiatan untuk melatih cara yang telah dipelajari.
 Klien mengevaluasi pelaksanaa latihan cara bicara yang baik
dengan mengisi dengan kegiatan jadwal kegiatan ( self-
evaluation).
 Validasi kemampuan klien dalam melaksanakan latihan 7.4.3
Berikan pujian atas keberhasilan klien
 Tanyakan kepada klien : “ Bagaimana perasaan Budi setelah
latihan bicara yang baik? Apakah keinginan marah berkurang?”.
TUK 8. Klien dapat mendemonstrasikan cara spiritual untuk mencegah
perilaku kekerasan
Kriteria Hasil :
 Klien dapat menyebutkan kegiatan yang biasa dilakukan
 Klien dapat mendemonstrasikan cara ibadah yang dipilih
 Klien mempunyai jadwal untuk melatih kegiatan ibadah
 Klien melakukan evaluasi terhadap kemampuan melakukan
kegiatan ibadah
Intervensi :
 Diskusikan dengan klien kegiatan ibadah yang pernah dilakukan
 Bantu klien menilai kegiatan ibadah yang dapat dilakukan di
ruang rawat

29
 Bantu klien memilih kegiatan ibadah yang akan dilakukan.
 Minta klien mendemonstrasikan kegiatan ibadah yang dipilih.
 Beri pujian atas keberhasilan klien
 Diskusikan dengan klien tentang waktu pelaksanaan kegiatan
ibadah
 Susun jadwal kegiatan untuk melatih kegiatan ibadah
 Klien mengevaluasi pelaksanaan kegiatan ibadah dengan
mengisi jadwal kegiatan harian ( self-evaluation).
 Validasi kemampuan klien dalam melaksanakan latihan.
 Berikan pujian atas keberhasilan klien
 Tanyakan kepada klien : “Bagaimana perasaan Budi setelah
teratur melakukan ibadah? Apakah keinginan marah berkurang.

TUK 9. Klien dapat mendemonstrasikan kepatuhan minum obat untuk


mencegah perilaku kekerasan

Kriteria Hasil :

 Klien dapat menyebutkan jenis, dosis, dan waktu minum obat


serta manfaat dari obat itu (prinsip 5 benar: benar orang, obat,
dosis, waktu dan cara pemberian).
 Klien mendemonstrasikan kepatuhan minum obat sesuai jadwal
yang ditetapkan.
 Klien mengevaluasi kemampuannya dalam mematuhi minum
obat.
Intervensi :
 Diskusikan dengan klien tentang jenis obat yang diminumnya
(nama, warna, besarnya); waktu minum obat (jika 3x : pukul
07.00, 13.00, 19.00); cara minum obat.
 Diskusikan dengan klien tentang manfaat minum obat secara
teratur : (Beda perasaan sebelum minum obat dan sesudah
minum obat , Jelaskan bahwa dosis hanya boleh diubah oleh
dokter, Jelaskan mengenai akibat minum obat yang tidak
teratur, misalnya, penyakit kambuh).

30
 Diskusikan tentang proses minum obat : ( Klien meminat obat
kepada perawat ( jika di rumah sakit), kepada keluarga (jika di
rumah), Klien memeriksa obat susuai dosis, Klien meminum
obat pada waktu yang tepat).
 Susun jadwal minum obat bersama klien.
 Klien mengevaluasi pelaksanaan minum obat dengan mengisi
jadwal kegiatan harian (self-evaluation)
 Validasi pelaksanaan minum obat klien.
 Beri pujian atas keberhasilan klien
 Tanyakan kepada klien : “Bagaiman perasaan Budi
 setelah minum obat secara teratur? Apakah keinginanuntuk
marah berkurang
TUK 10. Klien dapat mengikuti TAK : stimulasi persepsi pencegahan
perilaku kekerasan
Kriteria Hasil :
 Klien mengikuti TAK : stimulasi persepsi pencegahan
perilaku kekerasan
 Klien mempunyai jadwal TAK : stimulasi persepsi
pencegahan perilaku kekerasan
 Klien melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan TAK
Intervensi :
 Anjurkan klien untuk mengikuti TAK : stimulasi persepsi
pencegahan perilaku kekerasan
 Klien mengikuti TAK : stimulasi persepsi pencegahan
perilaku kekerasan (kegiatan tersendiri)
 Diskusikan dengan klien tentang kegiatan selama TAK
 Fasilitasi klien untuk mempraktikan hasil kegiatan TAK da
beri pujian atas keberhasilannya
 Diskusikan dengan klien tentang jadwal TAK
 Masukkan jadwak TAK ke dalam jadwal kegiatan harian (
self- evaluation).
 Validasi kemampuan klien dalam mengikuti TAK

31
 Beri pujian atas kemampuan mengikuti TAK
 Tanyakan pada klien: “Bagaimana perasaan Ibu setelah
mengikuti TAK?”

TUK 11. Klien mendapatkan dukungan keluarga dalam melakukan


cara pencegahan perilaku kekerasan.

Kriteria Hasil :

 Keluarga dapat mendemonstrasikan cara merawat klien.


Intervensi :
 Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien sesuai
dengan yang telah dilakukan keluarga terhadap klien selama
ini.
 Jelaskan keuntungan peran serta keluarga dalam merawat
klien
 Jelaskan cara- cara merawat klien : (Terkait dengan cara
mengontrol perilaku marah secara konstruktif , Sikap dan cara
bicara, Membantu klien mengenal penyebab marah dan
pelaksanaan cara pencegahan perilaku kekerasan).
 Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien
 Bantu keluarga mengngkapkan perasaannya setelah melakukan
demonstrasi
 Anjurkan keluarga mempraktikannya pada klien selama di
rumah sakit dan melanjutkannya setelah pulang ke rumah.

32
BAB IV

STRATEGI PELAKSANAAN

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

A. SP 1. KONTROL DENGAN TEKNIK NAFAS DALAM

STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN


PERILAKU KEKERASAN

Nama Mahasiswa :
Nama Klien / Ruangan :
No. CM :
Hari/tanggal :
Pertemuan Ke/Hari ke :

Fase : SP I

1. Proses Keperawatan
a. Kondisi Klien
 Data Subjektif:

Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.

Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya


jika sedang kesal atau marah.
Klien mengatakan tidak punya teman
 Data Objektif
Mata merah, wajah agak merah.
Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
Merusak dan melempar barang-barang.
b. Diagnosa Keperawatan Perilaku Kekerasan

33
c. Tujuan keperawatan
 Terciptanya BHSP dengan pasien.
 Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
 Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku
kekerasan.
 Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang
pernah dilakukannya.
 Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan
yang dilakukannya
 Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol
perilaku kekerasannya dengan teknik nafas dalam
d. Tindakan keperawatan
1) Bina hubungan saling percaya.
2) Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan
saat ini dan yang lalu.
3) Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku
kekerasan
4) Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan pada saat marah.
5) Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya.
6) Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku
kekerasan.
7) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
latihan menarik nafas dalam.
8) Masukan latihan menarik nafas dalam ke dalam jadwal
harian.

2. Strategi komunikasi terapeutik


a. Orientasi
 Salam terapeutik dan perkenalan diri Selamat pagi pak,
perkenalkan nama saya Fajar. Nama bapak siapa ?

34
 Membuka pembicaraan Bagaimana perasaan bapak sekarang?
Apakah tidur semalam nyenyak pak? Kegiatan apa yang sudah
bapak lakukan pagi ini?
 Kontrak (Waktu, tempat, topik)
Baiklah pada hari ini saya akan membantu bapak untuk
menyelesaikan maslaah bapak, nanti kita akan berbincang-
bincang sebentar mengenai masalah bapak, katanya bapak masih
suka merasa kesal ya. Bagaimana apakah bapak bersedia? Mau
berapa lama kita bincang-bincangnya? Bagaimana kalau 10 menit
pak? bagaimana kalau kita berbincang di depan ruangan saya ya
pak, bagaimana apakah setuju pak?
 Tujuan
Tujuan kita berbincang-bincang hal ini agar mengetahui tentang
perasaan kesal bapak dan berlatih cara mengontrolnya yaitu
dengan menarik nafas dalam.

b. Fase kerja

“Apa yang menyebabkan bapak marah?, Apakah sebelumnya bapak

pernah
marah? Terus, penyebabnya apa? Samakah dengan yang sekarang?.
O..iya, apakah ada penyebab lain yang membuat bapak
marah”

“Pada saat penyebab marah itu ada, seperti bapak stress karena

pekerjaan
atau masalah uang(misalnya ini penyebab marah pasien), apa yang
bapak
rasakan?”
(tunggu respons pasien)

“Apakah bapak merasakan kesal kemudian dada bapak berdebar-

debar, mata
melotot, rahang terkatup rapat, dan tangan mengepal?”

35
“Setelah itu apa yang bapak lakukan? O..iya, jadi bapak marah

-marah, membanting pintu dan memecahkan barang-barang,


apakah dengan cara ini stress bapak hilang? Iya, tentu tidak. Apa
kerugian cara yang bapak lakukan? Betul, istri jadi takut barang-
barang pecah. Menurut bapak adakah cara lain yang lebih baik?
Maukah bapak belajar cara mengungkapkan kemarahan dengan
baik tanpa menimbulkan kerugian?”

”Ada beberapa cara untuk mengontrol kemarahan, pak. Salah

satunya
adalahlah dengan cara fisik. Jadi melalui kegiatan fisik disalurkan
rasa
marah.”

”Ada beberapa cara, bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu?”

”Begini pak, kalau tanda-tanda marah tadi sudah bapak rasakan

maka bapak berdiri, lalu tarik napas dari hidung, tahan sebentar,
lalu keluarkan/tiupu perlahan - lahan melalui mulut seperti
mengeluarkan kemarahan. Ayo coba lagi, tarik dari hidung, bagus,
tahan, dan tiup melalui mulut. Nah, lakukan 5 kali. Bagus sekali,
bapak sudah bisa melakukannya. Bagaimana perasaannya?”

“Nah, sebaiknya latihan ini bapak lakukan secara rutin, sehingga

bila
sewaktu-waktu rasa marah itu muncul bapak sudah terbiasa
melakukannya”.

“Bagaimana kalausekarang kita masukan latihan teknik menarik

nafas dalam ke dalam jadwal harian bapak yaa? Mau berapa kali
sehari? Iya baik
kita catat ya, nanti jangan lupa di praktikan ya!”

c. Fase terminasi

36
 Evaluasi subjektif

“Bagaimana perasaan bapak setelah kita berbincang-bincang

tentang
kemarahan bapak dan latihan nafas dalam tadi?”
 Evaluasi objektif
“Nah sekarang coba bapak sebutkan lagi tanda-tanda
kemarahannya! Iya bagus pak, sekarang coba ulangi latihan yang
tadi sudah dilakukan! Iya bagus pak.
 Rencana tindak lanjut

“Nanti jika saya tidak ada, bapak latihan sendiri yaa sesuai yang

dijadwalkan tadi.”
 Kontrak yang akan datang (topik, waktu, dan tempat).

“Bagaimana kalau besok kita ketemu kembali?Nanti kita akan

latihan cara yang ke dua yaitu memukul bantal”

“Waktunya mau jam berapa pak? Bagaimana kalau jam 10.00?

Kita berbincang- bincang lagi ya selama 15 menit.”

“Tempatnya mau dimana pak? Bagaimana kalau di taman? Sampai

jumpa, sampai bertemu lagi ya besok.”

B. SP 2. KONTROL DENGAN PUKUL KASUR DAN BANTAL

STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN


PERILAKU KEKERASAN

Nama Mahasiswa :
Nama Klien / Ruangan :
No. CM :
Hari/tanggal :
Pertemuan Ke/Hari ke :
Fase : SP II

37
1. Proses Keperawatan
a. Kondisi Klien
 Data Data Subjektif:
Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya
jika sedang kesal atau marah.
Klien mengatakan tidak punya teman
 Data Objektif
Mata merah, wajah agak merah
Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam
Merusak dan melempar barang-barang
b. Diagnosa Keperawatan Perilaku Kekerasan
c. Tujuan keperawatan
 Mengevaluasi kegiatan harian pasien.
 Pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik
2 yaitu pukul kasur / bantal.
 Pasien mampu memasukkan cara mengontrol perilaku
kekerasan yang ke 2 ke dalam jadwal harian pasien.
d. Tindakan keperawatan
1) Evaluasi kegiatan yang lalu (SP1)
2) Latih cara fisik 2 : Pukul kasur / bantal
3) Masukkan dalam jadwal harian pasien

2. Strategi komunikasi terapeutik


a. Orientasi
 Salam terapeutik dan perkenalan diri Selamat pagi pak,
perkenalkan nama saya Fajar. Nama bapak siapa ?
 Membuka pembicaraan
Bagaimana perasaan bapak sekarang? Apakah tidur semalam
nyenyak pak? Kegiatan apa yang sudah bapak lakukan pagi ini?
 Kontrak (Waktu, tempat, topik)

38
Baiklah sesuai dengan kontrak kita kemarin pada hari ini kita
akan berbincang-bincang mengenai cara mengontrol perasaan
marah dengan kegiatan fisik yang ke dua yaitu memukul kasur
dan bantal. Bagaimana apakah bapak bersedia? Mau berapa lama
kita bincang-bincangnya? Bagaimana kalau 10 menit pak?
bagaimana kalau kita berbincang di depan ruangan saya ya pak,
bagaimana apakah setuju pak?
 Tujuan
Tujuan kita berbincang-bincang ini adalah berlatih cara
mengontrol perasaan marah bapak dengan cara kedua yaitu
dengan memukul kasur dan bantal.

b. Fase kerja
“Kalau ada yang menyebabkan bapak marah dan muncul perasaan
kesal,
berdebar-debar, mata melotot, apa yang bapak lakukan? Iya benar
sekali pak, nah selain bapak dapat melakukan nafas dalam bapak
juga dapat melakukan pukul kasur dan bantal, ini adalah cara yang
kedua yang dapat
bapak lakukan untuk mengontrol kemarahan bapak.”

“Sekarang mari kita latihan memukul kasur dan bantal. Mana kasur
bapak?

Jadi kalau nanti bapak kesal dan ingin marah, langsung ke kamar dan
lampiaskan kemarahan tersebut dengan memukul kasur dan bantal.
Ya bagus sekali bapak melakukannya.”
“Nah, sebaiknya latihan ini bapak lakukan secara rutin, sehingga bila
sewaktu-waktu rasa marah itu muncul bapak sudah terbiasa
melakukannya”.
“Bagaimana kalau sekarang kita masukan latihan teknik memukul
kasur dan bantal ke dalam jadwal harian bapak yaa? Mau berapa
kali sehari? Iya baik kita catat ya, nanti jangan lupa di praktikan ya!”

39
c. Fase terminasi
 Evaluasi subjektif
“Bagaimana perasaan bapak setelah kita berbincang-bincang
tentang latihan teknik memukul kasur dan bantal tadi?”
 Evaluasi objektif
“Nah sekarang coba ulangi latihan yang tadi sudah dilakukan! Iya
bagus pak.”
 Rencana tindak lanjut
“Nanti jika saya tidak ada, bapak latihan sendiri yaa sesuai yang
dijadwalkan tadi.”
 Kontrak yang akan datang (topik, waktu, dan tempat).

“Bagaimana kalau besok kita ketemu kembali?Nanti kita akan

latihan cara yang ketiga yaitu mengontrol secara verbal”

“Waktunya mau jam berapa pak? Bagaimana kalau jam 10.00?

Kita berbincang- bincang lagi ya selama 15 menit.”

“Tempatnya mau dimana pak? Bagaimana kalau di taman? Sampai

jumpa, sampai bertemu lagi ya besok.”

C. SP 3. KONTROL SECARA VERBAL


STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
PERILAKU KEKERASAN

Nama Mahasiswa :
Nama Klien / Ruangan :
No. CM :
Hari/tanggal :
Pertemuan Ke/Hari ke :
Fase : SP III
1. Proses Keperawatan
a. Kondisi Klien

40
 Data Data Subjektif:
Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya
jika sedang kesal atau marah.
Klien mengatakan tidak punya teman
 Data Objektif
Mata merah, wajah agak merah
Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam
Merusak dan melempar barang-barang
b. Diagnosa Keperawatan Perilaku Kekerasan
c. Tujuan keperawatan
 Mengevaluasi kegiatan harian pasien, SP I, SP II.
 Pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal.
 Pasien mampu memasukkan cara mengontrol perilaku kekerasan
dengan cara verbal.
e. Tindakan keperawatan

1) Evaluasi kegiatan yang lalu (SP I, SP II)


2) Latih cara mengontrol marah dengan cara verbal
3) Masukkan dalam jadwal harian pasien

2. Strategi komunikasi terapeutik


a. Orientasi

 Salam terapeutik dan perkenalan diri

“Selamat pagi pak, masih ingat dengan saya? Iya benar sekali,
nama saya Fajar.”

 Membuka pembicaraan

“Bagaimana perasaan bapak sekarang? Apakah tidur semalam


nyenyak pak?Bagaimana pak sudah dilakukan latihan tarik nafas

41
dalam dan pukul kasur bantal? Kegiatan apa yang sudah bapak
lakukan pagi ini? Coba saya liat jadwal hariannya.”

 Kontrak (Waktu, tempat, topik)


Baiklah sesuai dengan kontrak kita kemarin pada hari ini kita
akan berbincang-bincang mengenai cara mengontrol perasaan
marah dengan cara verbal yaitu menolakk, meminta, dan
mengungkapkan perasaan marah dengan baik. Bagaimana apakah
bapak bersedia? Mau berapa lama kita bincang-bincangnya?
Bagaimana kalau 10 menit pak? bagaimana kalau kita berbincang
di depan ruangan saya ya pak, bagaimana apakah setuju pak?
 Tujuan
Tujuan kita berbincang-bincang ini adalah berlatih cara
mengontrol perasaan marah bapak dengan cara verbal, yaitu
menolak, meminta, dan mengungkapkan persasaan marah dengan
baik.

b. Fase kerja
“Kalau ada yang menyebabkan bapak marah dan muncul perasaan
kesal,
berdebar-debar, mata melotot, apa yang bapak lakukan? Iya benar
sekali pak, nah selain bapak dapat melakukan nafas dalam dan
pukul kasur bantal bapak juga dapat melakukan dengan cara yang
ketiga secara verbal yaitu menolak, meminta, dan mengungkapkan
perasaan marah bapak dengan baik.
“Sekarang mari kita latihan cara bicara yang baik untuk mencegah
marah. Kalau marah sudah disalurkan melalui tarik nafas dalm, dan
pukul kasur bantal dan sudah lega, maka kita perlu bicara dengan
orang yang membuat kita marah.
Ada tiga caranya pak:
“Meminta dengan baik tanpa marah dengan nada suara yang rendah
serta

42
tidak menggunakan kata-kata kasar. Kemarin kan bapak bilang
penyebab marah bapak karena minta uang sama istri tidak dikasih.
Coba bapak minta
uang dengan baik: “Bu, saya perlu uang buat beli rokok.” Nanti bisa
bapak coba untuk meminta baju, obat dan lain lain, coba bapak
praktekan!”
“Menolak dengan baik, jika ada yang menyuruh dan bapak tidak
ingin melakukannya katakan : “maaf saya tidak bisa melakukannya.”
“Mengungkapkan perasaan kesal, jika ada perlakuan orang lain yang
membuat kesal bapak dapat mengatakan: “Saya jadi ingin marah
karena perkataanmu tadi itu.” Coba bapak praktekan!”
“Nah, sebaiknya latihan ini bapak lakukan secara rutin, sehingga
bila
sewaktu-waktu rasa marah itu muncul bapak sudah terbiasa
melakukannya”.
“Bagaimana kalau sekarang kita masukan latihan dengan cara verbal
ini ke dalam jadwal harian bapak yaa? Mau berapa kali sehari? Iya
baik kita catat
ya, nanti jangan lupa di praktikan ya!”

c. Fase terminasi
 Evaluasi subjektif
“Bagaimana perasaan bapak setelah kita ber bincang-bincang
tentang cara verbal tadi?”
 Evaluasi objektif
“Nah sekarang coba ulangi latihan yang tadi sudah dilakukan! Iya
bagus pak.”
 Rencana tindak lanjut

“Nanti jika saya tidak ada, bapak latihan sendiri yaa sesuai yang

dijadwalkan tadi.”
 Kontrak yang akan datang (topik, waktu, dan tempat )

43
“Bagaimana kalau besok kita ketemu kembali?Nanti kita akan

latihan cara yang keempat yaitu mengontrol kekeasan secara

spiritual.”

“Waktunya mau jam berapa pak? Bagaimana kalau jam 10.00 ?

Kita berbincang- bincang lagi ya selama 15 menit.


“Tempatnya mau dimana pak? Bagaimana kalau di taman?
Sampai jumpa, sampai bertemu lagi ya besok.”

D. SP 4. KONTROL DENGAN SPIRITUAL


STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
PERILAKU KEKERASAN

Nama Mahasiswa :
Nama Klien / Ruangan :
No. CM :
Hari/tanggal :
Pertemuan Ke/Hari ke :

Fase : SP IV

1. Proses Keperawatan
a. Kondisi Klien
Data Data Subjektif:
Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika
sedang kesal atau marah.
Klien mengatakan tidak punya teman
Data Objektif
Mata merah, wajah agak merah
Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam
Merusak dan melempar barang-barang

44
b. Diagnosa Keperawatan Perilaku Kekerasan
c. Tujuan keperawatan
 Mengevaluasi kegiatan harian pasien (SP I, SP II, SP III).
 Pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan dengan cara
keempat yaitu spiritual.
 Pasien mampu memasukkan cara mengontrol perilaku
kekerasan yang keempat yaitu dengan cara spiritual ke dalam
jadwal harian pasien.
d. Tindakan keperawatan
1) Evaluasi kegiatan yang lalu (SPI, SP II, SP III)
2) Latih cara keempat yaitu spiritual
3) Masukkan dalam jadwal harian pasien

2. Strategi komunikasi terapeutik


a. Orientasi
 Salam terapeutik dan perkenalan diri

“Selamat pagi pak, masih ingat dengan saya? Iya benar sekali, nama

saya Fajar.”
 Membuka pembicaraan
Bagaimana perasaan bapak sekarang? Apakah tidur semalam
nyenyak pak? Bagaimana pak latihan yang sudah dilakukan? Apa
yang dirasakan setelah melakukan latihan secara rutin?Bagus
sekali, bagaimana rasa
marahnya?
 Kontrak (Waktu, tempat, topik)
Baiklah sesuai dengan kontrak kita kemarin pada hari ini kita
akan berbincang-bincang mengenai cara mengontrol perasaan
marah dengan kegiatan fisik yang keempat yaitu mencegah rasa
marah dengan cara ibadah. Bagaimana apakah bapak bersedia?
Mau berapa lama kita bincang- bincangnya? Bagaimana kalau 10

45
menit pak? bagaimana kalau kita berbincang di depan ruangan
saya ya pak, bagaimana apakah setuju pak?
 Tujuan

Tujuan kita berbincang-bincang ini adalah berlatih cara


mengontrolperasaan marah bapak dengan cara keempat yaitu
dengan ibadah.

b. Fase kerja

“Coba ceritakan kegiatan ibadah yang biasa bapak lakukan! Bagus,

mana yang mau dicoba? Nah kalau kala bapak sedang marah coba
bapak langsung duduk dan tarik nafas dalam. Jika tidak reda juga
marahnya rebahkan badan agar rileks. Jika tidak reda juga ambil air
wudhu kemudian sholat.”
“Nah, sebaiknya latihan ini bapak lakukan secara rutin, sehingga bila
sewaktu-
waktu rasa marah itu muncul bapak sudah terbiasa melakukannya”.
“Coba bapak sebutkan sholat 5 waktu? Bagus, mau coba yang
mana? Coba sebutkan caranya ! Bagaimana kalau sekarang kita
masukan latihan ibadah ke dalam jadwal harian bapak yaa? Iya baik
kita catat ya, nanti jangan lupa di praktikan ya!”

c. Fase terminasi
 Evaluasi subjektif
“Bagaimana perasaan bapak setelah kita berbincang-bincang
tentang latihan teknik spiritual yaitu ibadah tadi?”
 Evaluasi objektif
“Nah sekarang coba ulangi latihan yang tadi sudah dilakukan! Iya
bagus pak.”
 Rencana tindak lanjut
“Nanti jika saya tidak ada, bapak latihan sendiri yaa sesuai yang
dijadwalkan tadi.”
 Kontrak yang akan datang (Topik, waktu, dan tempat)

46
“Bagaimana kalau besok kita ketemu kembali?Nanti kita akan
latihan cara yang kelima yaitu mengontrol perilaku kekerasan

dengan obat”

“Waktunya mau jam berapa pak? Bagaimana kalau jam 10.00?


Kita
berbincang-bincang lagi ya selama 15 menit.”
“Tempatnya mau dimana pak? Bagaimana kalau di taman?
Sampai jumpa, sampai bertemu lagi ya besok.”

E. SP 5. KONTROL DENGAN OBAT


STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
PERILAKU KEKERASAN

Nama Mahasiswa :
Nama Klien / Ruangan :
No. CM :
Hari/tanggal :
Pertemuan Ke/Hari ke :
Fase : SP V
1. Proses Keperawatan
a. Kondisi Klien
Data Data Subjektif:
Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.

Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika


sedang kesal atau marah.

Klien mengatakan tidak punya teman


Data Objektif
Mata merah, wajah agak merah, nada suara tinggi dan keras, bicara
menguasai.
Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam,
merusak dan melempar barang-barang

47
b. Diagnosa Keperawatan Perilaku Kekerasan

c. Tujuan keperawatan

 Mengevaluasi kegiatan harian pasien(SP I, SP II, SP III, SP IV).


 Pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan dengan cara
kelima yaitu dengan obat.
 Pasien mampu memasukkan cara mengontrol perilaku
kekerasan yang kelima yaitu obat ke dalam jadwal harian
pasien.

d. Tindakan keperawatan
1) Evaluasi kegiatan yang lalu (SPI, SP II, SP III, SP IV)
2) Latih cara kelima yaitu mengonsumsi obat.
3) Masukkan dalam jadwal harian pasien

2. Strategi komunikasi terapeutik


a. Orientasi
 Salam terapeutik dan perkenalan diri
“Selamat pagi pak, masih ingat dengan saya? Iya benar sekali,
nama saya Fajar.”
 Membuka pembicaraan
“Bagaimana perasaan bapak sekarang? Apakah tidur semalam
nyenyak pak? Bagaimana pak sudah dilakukan latihan tarik nafas
dalam, pukul kasur bantal, bicara yang baik serta sholat? Apa
yang dirasakan setelah melakukan latihan secara rutin? Coaba kita
lihat jadwal kegiatannya.”
 Kontrak (Waktu, tempat, topik)
“Baiklah sesuai dengan kontrak kita kemarin pada hari ini kita
akan berbincang-bincang mengenai cara kelima yaitu cara
meminum obat yang benar untuk mengatasi rasa marah.
Bagaimana apakah bapak bersedia? Mau berapa lama kita
bincang-bincangnya? Bagaimana kalau 10 menit pak? bagaimana

48
kalau kita berbincang di depan ruangan saya ya pak, bagaimana
apakah setuju pak?
 Tujuan
“Tujuan kita berbincang-bincang ini adalah berlatih cara
mengontrol perasaan marah bapak dengan cara kelima yaitu
meminum obat dengan benar.

b. Fase kerja
“Bapak sudah dapat obat dari dokter? Berapa macam obat yang
bapak minum? Warnanya apa saja? Bagus! Jam berapa bapak minum
obat?

Bagus!” Obatnya ada 3 macam pak, yang warna oranye adalah CPZ
gunanya agar pikiran tenang. Yang putih ini namanya THP agar
rileks dan tenang, dan yang merah jambu ini namanya HLP agar
pikiran teratur dan rasa marah berkurang. “Semuanya ini harus
bapak minum 3 kali sehari, jam 7, jam 1siang, dan jam 7 malam.”
“Bila nanti setelah minum obat mulut bapak terasa kering, untuk
membantu mengatasinya bapak bisa mengisap ngisap es batu. Bila
mata terasa berkunang-kunang, bapak sebaiknya istirahat dan jangan
beraktivitas dulu. Nanti di rumah sebelum minum obat ini bapak
lihat dulu label dikotak obat, apakah benar nama bapak tertulis di
situ, berapa dosis yang harus diminum, dan jam berapa saja harus
diminum. Baca juga nama obatnya apakah sudah benar? Disini
minta obatnya sama perawat kemudian cek lagi apakah benar
obatnya.”

“Jangan pernah menghentikan minum obat sebelum berkonsultasi


dengan dokter ya pak, karena dapat terjadi kekambuhan.” “Nah,
sekarang kita masukan waktu minum obatnya ke dalam jadwal ya
pak, Jangan lupa minum obat sesuai jadwal pak !”

c. Fase terminasi

49
 Evaluasi subjektif

“Bagaimana perasaan bapak setelah kita berbincang-bincang


tentang cara meminum obat yang benar tadi?”

 Evaluasi objektif

“Nah sekarang coba ulangi jenis obat yang bapak minum!


Bagaimana cara meminum obat yang benar? Iya bagus pak.”

 Rencana tindak lanjut

“Nanti jika saya tidak ada, bapak minum obat sendiri ya sesuai

yang dijadwalkan tadi.

 Kontrak yang akan datang (topik, waktu, dan tempat).

“Bagaimana kalau besok kita ketemu kembali untuk melihat


sejauh mana bapak melaksanakan kegiatan dan sejauh mana
dapat mencegah rasa marah”
“Waktunya mau jam berapa pak? Bagaimana kalau jam 10.00?
Kita berbincang-bincang lagi ya selama 15 menit.”
“Tempatnya mau dimana pak? Bagaimana kalau di taman?
Sampai jumpa, sampai bertemu lagi ya besok.”

50
DAFTAR PUSTAKA

Anna, budi. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN(basic


course).jakarta: EGC

Anna, budi.2009. ModelPraktik Keperawatan Profesional jiwa. Jakarta : EGC

Keliat, Budi Anna, d kk. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
EGC

Keliat,Budi Ana. 2001. Peran Serta Keluarga dalam Perawatan Klien


Gangguan Jiwa. Jakarta: EGC.

Maramis, W.F. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University


press, Surabaya.

Purba, J. M, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah


Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: Usu Press.

Stuart dan Sundeen. 2005. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3. Jakarta:
EGC.

Stuart, G.W., and Laraia, M.T. (1998). Principles and practice of psychiatric
nursing. Fifth edition. St. Louis: Mosby Year Book.

51
Townsend, Mary C. 2005. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan
Psikiatri, Pedoman untuk Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. Jakarta:
EGC.

Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.

52
53

Anda mungkin juga menyukai