OLEH :
2.1 Definisi
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai
atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku
tersebut (Purba, dkk: 2008). Menurut Stuart dan Sundeen (2005), perilaku kekerasan
adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak
konstruktif.
Pada pasien perilaku kekerasan mengungkapkan rasa kemarahan secara
fluktuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptif. Marah merupakan perasaan
jengkel yang timbul sebagai respons terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak
terpenuhi yang tidak dirasakan sebagai ancaman (Stuart & Sundeen: 2005). Marah
merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktivitas sistem saraf parasimpatik yang
tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat. Pada saat marah ada perasaan
ingin menyerang, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran
yang kejam. Bila hal ini disalurkan maka akan terjadi perilaku agresif (Purba, dkk:
2008).
Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan dapat menimbulkan
respon asertif yang merupakan kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang
lain dan akan memberikan kelegaan pada individu serta tidak akan menimbulkan
masalah. Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan
melarikan diri atau respon melawan dan menentang. Respon melawan dan menentang
merupakan respon yang maladaptif yaitu agresi-kekerasan (Purba dkk: 2008).
e. Intelektual
1) Mendominasi
2) Cerewet
3) Kasar
4) Berdebat
5) Meremehkan dan sarkasme
f. Spiritual
1) Merasa diri berkuasa dan benar
2) Mengkritik pendapat orang lain
3) Menyinggung perasaan orang lain
4) Tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
1) Menarik diri, pengasingan
2) Penolakan
3) Kekerasan
4) Ejekan dan sindiran.
h. Perhatian
1) Bolos
2) Mencuri
3) Melarikan diri
4) Penyimpangan seksual.
2.5 Mekanisme Terjadinya Perilaku Kekerasan
Menurut Iyus Yosep (2009) kemarahan diawali oleh adanya stressor yang
berasal dari internal atau eksternal. Stressor internal seperti penyakit, hormonal,
dendam, kesal sedangkan stressor eksternal bisa berasal dari lingkungan seperti
ledekan, cacian, makian, hilangnya benda berharga, tertipu, penggusuran, bencana dan
sebagainya. Hal tersebut akan mengakibatkan kehilangan atau gangguan pada sistem
individu (disruption and loss). Hal yang terpenting adalah bagaimana individu
memaknai setiap kejadian yang menyedihkan atau menjengkelkan tersebut (personal
meaning).
Bila seseorang memberi makna positif, misalnya kemacetan adalah waktu untuk
beristirahat, penyakit adalah sarana penggugur dosa, suasana bising adalah melatih
persyarafan telinga maka ia akan dapat melakukan kegiatan secara positif
(compensatory act) dan tercapai perasaan lega (resolution). Bila ia gagal dalam
memberikan makna menganggap segala sesuatunya sebagai ancaman dan tidak
mampu melakukan kegiatan positif misalnya: olah raga, menyapu atau baca puisi saat
ia marah dan sebagainya. Maka akan muncul perasaan tidak berdaya dan sengsara
(helplessness). Perasaan itu akan memicu timbulnya kemarahan (anger). Kemarahan
yang diekspresikan keluar (exspressed outward) dengan kegiatan yang konstruktif
dapat menyelesaikan masalah. Kemarahan yang diekspresikan dengan kegiatan
destruktif dapat menimbulkan perasaan bersalah dan menyesal (guilt). Kemarahan
yang dipendam akan menimbulkan gejala psikomatis (painfull symptom).
Perasaan marah normal terjadi pada setiap individu, namun perilaku yang
dimanifestasikan oleh perasaan marah dapat berfungsi sepanjang rentang adaptif dan mal
adaptif. (Gambar 1)
Provokasi
(ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi)
Stress
Cemas
Marah
Marah berkepanjangan
Depresi Agresi
TINJAUAN KASUS
I. IDENTITAS KLIEN
Nama : Tn “H”
Insial : Laki-laki
Umur : 33 Tahun
Alamat : Batukliang, Lombok Tengah
Agama : Islam
Informan : Klien
No RM : 332507
IV. FISIK
1. Tanda-tanda vital
TD = 110/90 mmHg
N = 96 x/m
S = 370C
RR = 20 x/m
V. PSIKOSOSIAL
1. Genogram
Keterangan :
Penjelasan :
Klien mengatakan kalau kakek dan neneknya telah meninggal dunia. Klien
tinggal serumah bersama orang tuanya. Klien merupakan anak bungsu dari 6
bersaudara.
2. Konsep diri:
a. Citra tubuh
Klien mengatakan anggota tubuhnya baik dan klien menyukai tubuhnya apa
adanya
b. Identitas diri
Klien mengatakan anak terakhir dari 6 bersaudara. Klien bersekolah hanya
sampai SD, lalu bekerja sebagai buruh tani.
c. Peran
Klien mengatakan berperan sebagai anak ke-6 dalam keluarga. Klien belum
menikah. Biasanya klien membantu pekerjaan ibunya di rumah seperti
mencuci, menyapu dan membantu ayahnya dalam beraktivitas karena
ayahnya dalam kondisi buta.
d. Ideal diri
Klien mengatakan ingin cepat sembuh dan segera pulang berkumpul
bersama keluarganya dan bekerja serta menikah
e. Harga diri
Klien mengatakan merasa malu dengan orang lain
Masalah keperawatan : Harga Diri Rendah
3. Hubungan social
a) Orang yang terdekat
Klien mengatakan orang yang berarti dalam hidupnya adalah ibunya.
b) Peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat :
Klien ikut berperan aktif dalam kegiatan kelompok.
c) Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain :
Klien mengatakan memiliki hambatan dalam berhubungan dengan orang
lain karena merasa malu, dan tidak pandai dalam memulai percakapan.
Masalah Keperawatan : Harga diri rendah
4. Spriritual
a. Nilai dan keyakinan
Nilai dan keyakinan yang dipegang oleh klien adalah nilai – nilai islam dan
klien mengatakan shalat itu wajib.
b. Kegiatan Ibadah
Kegiatan ibadah klien adalah shalat, dan tidak pernah lalai untuk shalat
2. Pembicaraan
Klien berbicara dengan keras, agak kacau serta terlihat cepat tersinggung
3. Aktivitas motorik
Klien terlihat sehat dan selalu mengikuti kegiatan yang ada di rumah sakit
4. Alam perasaan
Klien mengatakan merasa senang dan bahagia tinggal di Rumah Sakit.
5. Afek
Afek klien labil, cepat marah dan tersinggung.
7. Persepsi
Klien mengatakan tidak pernah mendengar bisikan-bisikan aneh ataupun
melihat bayangan-bayangan aneh juga.
8. Proses pikir
Proses fikir klien adalah flight of ideas karena sering megganti topic
pembicaraan tanpa menyelesaikan topic pertama.
9. Isi Pikir
Klien mengatakan dirinya memiliki suatu ilmu dan pernah bekerja di luar
daerah serta menganggap dirinya memiliki kekuatan.
10.Tingkat kesadaran
Compos mentis (Klien sadar akan dirinya)
Tingkat kesadaran klien baik dan klien tidak mengalami disorientasi terhadap
waktu, tempat dan orang. Buktinya klien masih mengingat tanggal masuk
rumah sakit dan dia tahu berada di ruang Angsoka.
11.Memori
Klien tidak mengalami gangguan daya ingat karena klien mampu menjelaskan
kegiatan sehari-hari dan juga menceritakan pengalaman-pengalaman saat
sebelum masuk rumah sakit.
13.Kemampuan penilaian
Kemampuan penilaian klien mengalami gangguan penilaian ringan. Klien bisa
tidak bisa memilih antara dua pilihan.
2. BAK/BAB
Klien dapat defekasi atau berkemih tanpa bantuan dengan frekueansi kurang
lebih 4x sehari.
3. Mandi
Klien bisa mandi 2 kali sehari pagi dan sore hari tanpa bantuan orang lain
4. Berpakaian/berhias
Klien dapat berpakaian dengan rapi tanpa bantuan orang lain.
6. Penggunaan obat
Untuk pengguanaan obat Klien tidak membutuhkan bantuan karena Klien
bisa melakukannya sendiri dan mengetahui obat-obat yang di konsumsi
7. Pemeliharaan kesehatan
Klien mengatakan jarang pergi ke pusat kesehatan untuk memeriksakan diri.
Perilaku Kekerasan
Resiko
Wahamperilaku
: Kebesaran
kekerasan
1. Resiko Prilaku
Kekerasan
2. Waham : Kebesaran
3. Harga Diri Rendah
C. INTERVENSI
Tgl Dx Perencanaan Paraf
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Kepera
watan
1/02/ Resiko TUM: klien tidak
2019 Perilaku menunjukan
Kekeras resiko perilaku
an kekerasan
TUK:
1. Klien dapat 1. Klien 1. Bina hubungan saling
membina menunjukkan percaya dengan:
hubungan tanda-tanda o Beri salam setiap
saling percaya kepada berinteraksi
o Perkenalkan nama,
percaya perawat:
o Wajah cerah, nama panggilan
perawat dan tujuan
tersenyum
perawat berkenalan
o Mau
o Tanyakan dan panggil
berkenalan
nama kesukaan klien
o Ada kontak o Tunjukkan sikap
mata empati, jujur dan
o Bersedia menepati janji setiap
menceritakan kali berinteraksi
o Tanyakan perasaan
perasaan
klien dan masalah
yang dihadapi klien
o Buat kontrak interaksi
yang jelas
o Dengarkan dengan
penuh perhatian
ungkapan perasaan
klien
2. Klien dapat 2. Klien 2. Bantu klien
mengidentifika menceritakan mengungkapkan
si penyebab penyebab perasaan marahnya:
perilaku perilaku o Motivasi klien untuk
kekerasan yang kekerasan yang menceritakan
dilakukannya dilakukannya: penyebab rasa kesal
o Menceritakan atau jengkelnya
o Dengarkan tanpa
penyebab
menyela atau
perasaan
memberi penilaian
jengkel/kesal
setiap ungkapan
baik dari diri
perasaan klien
sendiri
maupun
lingkunganny
a
3. Klien dapat 3. Klien 3. Bantu klien
mengidentifika menceritakan mengungkapkan tanda-
si tanda-tanda keadaan tanda perilaku kekerasan
perilaku o Fisik : mata yang dialaminya:
kekerasan merah, o Motivasi klien
tangan menceritakan kondisi
mengepal, fisik saat perilaku
ekspresi kekerasan terjadi
tegang, dan o Motivasi klien
lain-lain. menceritakan kondisi
o Emosional : emosinya saat terjadi
perasaan perilaku kekerasan
marah, o Motivasi klien
jengkel, menceritakan kondisi
bicara kasar. psikologis saat terjadi
o Sosial : perilaku kekerasan
bermusuhan o Motivasi klien
yang menceritakan kondisi
dialami saat hubungan dengan
terjadi orang lainh saat
perilaku terjadi perilaku
kekerasan. kekerasan
4. Klien dapat 4. Klien 4. Diskusikan dengan klien
mengidentifika menjelaskan: perilaku kekerasan yang
si jenis o Jenis- dilakukannya selama ini:
perilaku jenis ekspresi o Motivasi klien
kekerasan yang kemarahan menceritakan jenis-
pernah yang selama jenis tindak kekerasan
dilakukannya ini telah yang selama ini
dilakukannya permah dilakukannya.
o Perasaann o Motivasi klien
ya saat menceritakan
melakukan perasaan klien setelah
kekerasan tindak kekerasan
o Efektivita tersebut terjadi
s cara yang o Diskusikan
dipakai apakah dengan tindak
dalam kekerasan yang
menyelesaika dilakukannya masalah
n masalah yang dialami teratasi.
5. Klien dapat 5. Klien 5. Diskusikan dengan klien
mengidentifika menjelaskan akibat negatif (kerugian)
si akibat akibat tindak cara yang dilakukan
perilaku kekerasan yang pada:
kekerasan dilakukannya o Diri sendiri
o Diri o Orang
sendiri : luka, lain/keluarga
dijauhi o Lingkungan
teman, dll
o Orang
lain/keluarga
: luka,
tersinggung,
ketakutan, dll
o Lingkung
an : barang
atau benda
rusak dll
6. Klien dapat 6. Klien : 6. Diskusikan dengan
mengidentifika o Menjelas klien:
si cara kan cara-cara o Apakah klien mau
konstruktif sehat mempelajari cara
dalam mengungkap baru mengungkapkan
mengungkapka kan marah marah yang sehat
n kemarahan o Jelaskan berbagai
alternatif pilihan
untuk
mengungkapkan
marah selain perilaku
kekerasan yang
diketahui klien.
o Jelaskan cara-cara
sehat untuk
mengungkapkan
marah:
Cara fisik:
nafas dalam,
pukul bantal atau
kasur, olah raga.
Verbal:
mengungkapkan
bahwa dirinya
sedang kesal
kepada orang
lain.
Sosial: latihan
asertif dengan
orang lain.
Spiritual:
sembahyang/doa
, zikir, meditasi,
dsb sesuai
keyakinan
agamanya
masing-masing
7. Klien dapat 7. Klien 7. 1. Diskusikan cara yang
mendemonstras memperagakan mungkin dipilih dan
ikan cara cara mengontrol anjurkan klien
mengontrol perilaku memilih cara yang
perilaku kekerasan: mungkin untuk
kekerasan o Fisik: tarik mengungkapkan
nafas dalam, kemarahan.
memukul 7.2. Latih klien
bantal/kasur memperagakan cara
o Verbal: yang dipilih:
mengungkapk o Peragakan cara
I. Definisi
Defisit perawatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalai kelainan
dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan
sehari hari secara mandiri. Tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur, tidak
menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas, dan penampilan tidak rapi.
Defisit perawatan diri adalah ketidakmampuan dalam : kebersihan diri,
makan, berpakaian, berhias diri, makan sendiri, buang air besar atau kecil sendiri
(toileting) (Keliat B. A, dkk, 2011).
Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah timbul pada pasien
gangguan jiwa. Pasien gangguan iwa kronis sering mengalami ketidakpedulian
merawat diri. Keadaan ini merupakan gejala perilaku negatif dan menyebabkan
pasien dikucilkan baik dalam keluarga maupun masyarakat (Yusuf, Rizky &
Hanik,2015:154)
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri
secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian atau berhias, makan, dan BAB
atau BAK (toileting) (Fitria, 2009).
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi akibat adanya
perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan
diri menurun. Kurang perawatan diri tampak dari ketidakmampuan merawat
kebersihan diri diantaranya mandi, makan dan minum secara mandiri, berhias secara
mandiri, dan toileting.
Adaptif Maladaptif
Keterangan :
1. Pola perawatan diri seimbang : saat klien mendapatkan stresor dan mampu
untuk berperilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang,
klien masih melakukan perawatan diri.
2. Kadang perawatan diri kadang tidak : saat klien mendapatkan stresor
kadang kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya.
3. Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak peduli
dan tidak bisa melakukan perawatan saat stresor.
G. Mekanisme Koping
Mekanisme koping berdasarkan penggolongan nya di bagi 2 (Stuart & Sundeen,
2000), yaitu :
Mekanisme Koping Adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan,
belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah : Klien bisa memenuhi
kebutuhan perawatan diri secara mandiri.
TINJAUAN KASUS
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a) Identitas pasien
Nama klien : Tn. K
Umur : 35 tahun
Agama : Islam
Umur : 30 tahun
Agama : Islam
Ruang : Kamboja
No. RM : 21089
2. Alasan masuk
Keluarga klien mengatakan klien selalu di kamar, jarang berbicara, tidak mau
mandi selama 5 hari, badan bau, tidak sikat gigi, rambut acak-acakan, kuku
tangan dan kaki sudah panjang, selama di rumah klien tidak mau di motivasi
untuk mandi.
3. Faktor predisposisi
a. Riwayat penyakit sekarang
pasien mengeluuh sulit merawat dirinya, sulit berpakaian, tidak mau mandi
selama 5 hari, badan bau dan tampak kotor.
4. Pemeriksaan fisik
a. Survei umum
Tanda - tanda vital :
TD = 120/80 mmHg,
N = 70 x/mnt,
S = 37, 2 °C dan
RR = 18 x/mnt.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala, leher
Kepala : rambut pasien kusam, acak-acakan dan kusut, berwarna
hitam, pada saat dipalpasi tidak terdapat benjolan dan nyeri
tekan pada kepala.
2) Mata
Bentuk mata simetris, penglihatan baik, tidak memakai alat bantu
penglihatan.
3) Telinga
Bentuk simetris, pendengaran baik dibuktikan Tn. K dapat menjawab
pertanyaan perawat, telinga kotor
4) Hidung
Hidung Tn. K simetris, fungsi penciuman baik, tidak terdapat polip.
5) Mulut
Bibir Tn. K simetris, gigi Tn. K kotor, mukosa bibir kering, kotor dan
mulut bau.
6) Integumen
Warna kulit hitam, kulit tampak kering dan terlihat kotor, turgor kulit
kering
7) Dada
a. Dada : Simetris, tidak ada kelainan bentuk, tidak
ada sesak nafas
b. Abdomen : Tidak ada nyeri tekan pada Abdomen, tidak
asietas, tidak ada luka memar
c. Ekstremitas:
Ektremitas atas : Tangan kanan terpasang infus,
Ekstremitas bawah : kedua kaki nyeri, kaki terasa nyeri untuk
berjalan.
d. Genetalia : kotor
5. Psikososial
a. nogram
Keterangan :
Perempuan pasien
6. Status Mental
a) Penampilan
Penampilan klien kurang rapi, pakaian kotor dan jarang mandi
b) Pembicaraan
Klien berbicara dengan nada yang pelan dan lambat, tidak jelas dan sulit
dimengerti. Namun klien tidak mampu untuk memulai pembicaraan kepada
orang lain.
c) Aktivitas motorik
Klien tampak lesu, malas beraktivitas, klien lebih sering berdiam diri dan
sering menghabiskan waktunya ditempat tidur.
f) Alam perasaan
Klien mengatakan merasa sedih karena rindu dengan keluarga, klien juga
mengatakan merasa sedih dan marah karena tidak pernah di jenguk
keluarganya
g) Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien bingung. klien mengalami gangguan orientasi tempat,
terbukti dengan klien mengatakan bahwa dirinya berada di rumah sakit.
Orientasi waktu klien baik di buktikan dengan klien mengetahui hari dan
tanggal.
h) Memori
Klien mengalami gangguan daya ingat jangka panjang, namun klien
mengalami gangguan mengingat jangka pendek dan saat ini. Dibuktikan
dengan klien masih ingat ketika dibawa ke rumah sakit dan nama perawat
yang setiap hari merawatnya.
j) Kemampuan penilaian
Klien tidak ada masalah pada kemampuan penilaian, terbukti dengan pada saat
diberi pilihan mau makan setelah mandi atau mandi setelah makan, klien
memilih makan setelah mandi.
8. Mekanisme Koping
Klien mengatakan apabila memiliki masalah lebih baik menghindar dari malasah
tersebut, dan jika ada masalah, klien akan menceritaan pada istrinya
B. ANALISA DATA
Hari/tgl/jam No. Masalah
Data Fokus Paraf
DX keperawatan
D. POHON MASALAH
Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
Defisit perawatan
E. diri
Isolasi sosial
F. INTERVENSI
Rencana tindakan
DX. Kep. Rasional
Tujuan Kriteria evaluasi Tindakan kep.
IMPLEMENTASI EVALUASI
THERAPHY :
IMPLEMENTASI EVALUASI
Ajarkan klien bagaiman cara memenuhi kebutuhan makan - Berikan reinforcement atas
minum yang baik usaha yang klien lakukan
REGIMEN TERAPEUTIK TIDAK EFEKTIF
Menurut Herdman (2012) penatalaksanaan regimen terapeutik tidak efektif adalah sebuah
pola pengatur dan mengintegrasikan program pengobatan penyakit dan gejala sisa penyakit yang
tidak memuaskan untuk memenuhi tujuan kesehatan tertentu dalam rutinitas sehari-hari. Jadi
penatalaksanaan regimen terapeutik tidak efektif merupakan ketidakmampuan klien mematuhi,
menjalankan, dan mengambil tindakan pada program pengobatan untuk mencapai peningkatan
status kesehatan ke dalam rutinitas sehari-hari.
Karakteristik ketidakpatuhan pada pengobatan yang ditunjukkan klien saat dirawat seperti
harus dipaksa minum obat, minum obat harus dihaluskan, menyembunyikan obat dimulut, obat
dibuang, dan secara verbal klien menolak minum obat.
1. Subyektif:
a. Mengatakan tidak ada perubahan
b. Mengatakan bosan minum obat
c. Mengatakan takut keracunan
d. Tidak yakin obat bisa menyembuhkan
e. Mempercayai Pengobatan alternatif
2. Obyektif:
a. Membuang obat
b. Perilaku tidak berubah
c. Waktu menunggu efek obat lama
d. Ada obat yang seharusnya diminum
e. Kemajuan klien kurang
Alasan klien tidak mematuhi program pengobatan adalah ada kesalahan persepsi dari
klien terhadap obat yang diminum, seperti dapat menimbulkan ketergantungan dan kelemahan
saraf. Faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan klien dalam minum obat, yaitu keyakinan
individu, sikap negative dari keluarga besar dan sikap tenaga kesehatan. Keyakinan terhadap
kesehatan berkonstribusi terhadap ketidakpatuhan. Klien yang tidak patuh biasanya mengalami
depresi, ansietas dengan kesehatannya, memiliki ego lemah dan terpusat perhatian pada diri
sendiri. Sikap negative keluarga besar terhadap pengobatan seperti sikap mendukung
ketidakpatuhan dan ungkapan yang dapat menurunkan motivasi minum obat. Selain itu penyebab
yang bersumber dari perilaku tenaga kesehatan adalah informasi yang tidak jelas dan ungkapan
yang mematahkan semangat dari tenaga kesehatan secara tidak langsung menyebabkan
ketidakpatuhan terhadap pengobatan.
Menurut Tambayong (2002) faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah kurang
pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan, tidak mengertinya pasien tentang pentingnya
mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan sehubungan dengan prognosisnya, sukarnya
memperoleh obat di luar rumah sakit, mahalnya harga obat, dan kurangnya perhatian dan
kepedulian keluarga yang mungkin bertanggung jawab atas pembelian atau pemberian obat
kepada pasien. Terapi obat yang efektif dan aman hanya dapat dicapai bila pasien mengetahui
seluk beluk pengobatan serta kegunaannya. Menurut Siregar (2006) ketidakpatuhan pemakaian
obat akan mengakibatkan penggunaan suatu obat yang berkurang. Dengan demikian, pasien akan
kehilangan manfaat terapi yang diantisipasi dan kemungkinan mengakibatkan kondisi yang
diobati secara bertahap menjadi buruk. Adapun berbagai faktor yang berkaitan dengan
ketidakpatuhan, antara lain :
1. Penyakit
Sifat kesakitan pasien dalam beberapa keadaan, dapat berkontribusi pada
ketidakpatuhan. Pada pasien dengan gangguan psikiatrik, kemampuan untuk bekerja sama,
demikian juga sikap terhadap pengobatan mungkin dirusak oleh adanya kesakitan, dan
individu-individu ini lebih mungkin tidak patuh daripada pasien lain. Pasien cenderung
menjadi putus asa dengan program terapi yang lama dan tidak menghasilkan kesembuhan
kondisi.
Apabila seorang pasien mengalami gejala yang signifikan dan terapi dihentikan
sebelum waktunya, ia akan lebih memperhatikan menggunakan obatnya dengan benar.
Beberapa studi menunjukkan adanya suatu korelasi antara keparahan penyakit dan kepatuhan,
hal itu tidak dapat dianggap bahwa pasien ini akan patuh dengan regimen terapi mereka.
Hubungan antara tingkat ketidakmampuan yang disebabkan suatu penyakit dan kepatuhan
dapat lebih baik, serta diharapkan bahwa meningkatnya ketidakmampuan akan memotivasi
kepatuhan pada kebanyakan pasien. Permasalahan yang lain adalah model kepercayaan
pasien tentang kesehatannya, dimana menggambarkan pikiran pasien tentang penyebab dan
keparahan penyakit mereka.
Permasalahan yang lain adalah model kepercayaan pasien tentang kesehatannya,
dimana menggambarkan pikiran pasien tentang penyebab dan keparahan penyakit mereka.
Jadi jelas bahwa jika mereka mempercayai penyakitnya tidak begitu serius dan tidak penting
untuk diterapi maka ketidakpatuhan dapat terjadi. Begitu juga persepsi sosial juga
berpengaruh. Jika persepsi sosial buruk maka pasien akan berusaha menghindari setiap hal
tentang penyakitnya termasuk pengobatan. Sikap pasien terhadap pengobatan juga perlu
diperhitungkan dalam hubungannya terhadap kepatuhan pasien terhadap pengobatan.
Sangatlah penting untuk mengamati, berdiskusi dan jika memungkinkan mencoba untuk
merubah sikap pasien terhadap pengobatan.
2. Regimen Terapi
a. Terapi Multi Obat
Pada umumnya, makin banyak jenis dan jumlah obat yang digunakan pasien,
semakin tinggi resiko ketidakpatuhan. Bahkan, apabila instruksi dosis tertentu untuk obat
telah diberikan, masalah masih dapat terjadi. Kesamaan penampilan (misalnya, ukuran,
warna, dan bentuk) obat-obat tertentu dapat berkontribusi pada kebingungan yang dapat
terjadi dalam penggunaan multi obat.
b. Frekuensi Pemberian
Pemberian obat pada jangka waktu yang sering membuat ketidakpatuhan lebih
mungkin karena jadwal rutin normal atau jadwal kerja pasien akan terganggu untuk
pengambilan satu dosis obat dan dalam banyak kasus pasien akan lupa, tidak ingin susah
atau malu berbuat demikian. Sikap pasien terhadap kesakitan dan regimen pengobatan
mereka juga perlu diantisipasi dan diperhatikan. Dalam kebanyakan situasi adalah wajar
mengharapkan bahwa pasien akan setuju dan lebih cenderung patuh dengan suatu
regimen dosis yang sederhana dan menyenangkan.
c. Durasi dan Terapi
Berbagai studi menunjukkan bahwa tingkat ketidakpatuhan menjadi lebih besar,
apabila periode pengobatan lama. Seperti telah disebutkan, suatu risiko yang lebih besar
dari ketidakpatuhan perlu diantisipasi dalam pasien yang mempunyai penyakit kronik,
terutama jika penghentian terapi mungkin tidak berhubungan dengan terjadinya kembali
segera atau memburuknya kesakitan. Ketaatan pada pengobatan jangka panjang lebih
sulit dicapai. Walaupun tidak ada intervensi tunggal yang berguna untuk meningkatkan
ketaatan, kombinasi instruksi yang jelas, pemantauan sendiri oleh pasien, dukungan
sosial, petunjuk bila menggunakan obat, dan diskusi kelompok.
d. Efek Merugikan
Perkembangan dari efek suatu obat tidak menyenangkan, memungkinkan
menghindar dari kepatuhan, walaupun berbagai studi menyarankan bahwa hal ini tidak
merupakan faktor penting sebagaimana diharapkan. Dalam beberapa situasi adalah
mungkin mengubah dosis atau menggunakan obat alternatif untuk meminimalkan efek
merugikan. Namun, dalam kasus lain alternatif dapat ditiadakan dan manfaat yang
diharapkan dari terapi harus dipertimbangkan terhadap risiko. Penurunan mutu kehidupan
yang diakibatkan efek, seperti mual dan muntah yang hebat, mungkin begitu penting bagi
beberapa individu sehingga mereka tidak patuh dengan suatu regimen. Kemampuan
beberapa obat tertentu menyebabkan disfungsi seksual, juga telah disebut sebagai suatu
alasan untuk ketidakpatuhan oleh beberapa pasien dengan zat antipsikotik dan
antihipertensi. Bahkan, suatu peringatan tentang kemungkinan reaksi merugikan dapat
terjadi pada beberapa individu yang tidak patuh dengan instruksi.
e. Pasien Asimtomatik (Tidak Ada Gejala) atau Gejala Sudah Reda
Sulit meyakinkan seorang pasien tentang nilai terapi obat, apabila pasien tidak
mengalami gejala sebelum memulai terapi. Pada suatu kondisi dimana manfaat terapi
obat tidak secara langsung nyata, termasuk keadaan bahwa suatu obat digunakan berbasis
profilaksis. Dalam kondisi lain, pasien dapat merasa baik setelah menggunakan obat dan
merasa bahwa ia tidak perlu lebih lama menggunakan obatnya setelah reda. Situasi sering
terjadi ketika seorang pasien tidak menghabiskan obatnya ketika menghabiskan obatnya
selama terapi antibiotik, setelah ia merasa bahwa infeksi telah terkendali. Praktik ini
meningkatkan kemungkinan terjadinya kembali infeksi dan pasien wajib diberi nasihat
untuk menggunakan seluruh obat selama terapi antibiotik.
f. Harga Obat
Walaupun ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang relatif
tidak mahal, dapat diantisipasi bahwa pasien akan lebih enggan mematuhi instruksi
penggunaan obat yang lebih mahal. Biaya yang terlibat telah disebut oleh beberapa pasien
sebagai alasan untuk tidak menebus resepnya sama sekali, sedang dalam kasus lain obat
digunakan kurang sering dari yang dimaksudkan atau penghentian penggunaan sebelum
waktunya disebabkan harga.
g. Pemberian/Konsumsi Obat
Walau seorang pasien mungkin bermaksud secara penuh untuk patuh pada
instruksi, ia mungkin kurang hati-hati menerima kuantitas obat yang salah disebabkan
pengukuran obat yang tidak benar atau penggunaan alat ukur yang tidak tepat. Misalnya,
sendok teh mungkin volumenya berkisar antara 2mL sampai 9mL. Ketidakakurasian
penggunaan sendok teh untuk mengkonsumsi obat cair dipersulit oleh kemungkinan
tumpah apabila pasien diminta mengukur dengan sendok teh. Walaupun masalah ini telah
lama diketahui, masih belum diperhatikan secara efektif dan pentingnya menyediakan
mangkok ukur bagi pasien, sempril oral atau alat penetes yang telah dikalibrasi untuk
penggunaan cairan oral adalah jelas. Akurasi dalam pengukuran obat, harus ditekankan
dan apoteker mempunyai suatu tanggung jawab penting untuk memberikan informasi
serta jika perlu, menyediakan alat yang tepat untuk memastikan pemberian jumlah obat
yang dimaksudkan.
h. Rasa Obat
Rasa obat-obatan adalah yang paling umum dihadapi dengan penggunaan cairan
oral. Oleh karena itu, dalam formulasi obat cair oral, penambah penawar rasa, dan zat
warna adalah praktik yang umum dilakukan oleh industri farmasi untuk daya tarik serta
pendekatan formulasi demikian dapat mempermudah pemberian obat kepada pasien.
3. Interaksi Pasien dengan Profesional Kesehatan
Keadaan sekeliling kunjungan seorang pasien ke dokter dan/atau apoteker, serta mutu
dan keberhasilan (keefektifan) interaksi profesional kesehatan dengan pasien adalah penentu
utama untuk pengertian serta sikap pasien terhadap kesakitannya dan regimen terapi. Salah
satu kebutuhan terbesar pasien adalah dukungan psikologis yang diberikan dengan rasa
sayang. Selain itu, telah diamati bahwa pasien cenderung untuk lebih mematuhi instruksi
seorang dokter yang mereka kenal betul dan dihormati, serta dari siapa saja mereka menerima
informasi dan kepastian tentang kesakitan dan obat-obat mereka. Berbagai faktor berikut
adalah di antara faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan secara merugikan, jika perhatian
yang tidak memadai diberikan pada lingkup dan mutu interaksi dengan pasien.
a. Menunggu Dokter atau Apoteker
Apabila seorang pasien mengalami suatu waktu menunggu yang signifikan untuk
bertemu dengan dokter atau untuk mengerjakan (mengisi) resepnya, kejengkelan dapat
berkontribusi pada kepatuhan yang yang lebih buruk terhadap instruksi yang diberikan.
Dari suatu penelitian ditunjukkan bahwa hanya 31% dari pasien yang biasanya menunggu
lebih dari 60 menit untuk bertemu dengan dokternya yang benar-benar patuh, sedangkan
yang menunggu dalam 30 menit, 67% dari pasien tersebut benar-benar patuh.
b. Sikap dan Keterampilan Komunikasi Profesional Kesehatan
Berbagai studi menunjukkan ketidakpuasan pasien terhadap sikap pelaku pelayan
kesehatan. Uraian yang umum tentang pelaku pelayan kesehatan di rumah sakit
mencakup dingin, tidak tertarik, tidak sopan, agresif, kasar, dan otoriter. Walaupun uraian
demikian tersebut tidak demikian bagi banyak praktisi yang mengabdi dan terampil, sikap
yang tidak pantas terhadap pasien telah cukup terbukti menunjukkan suatu masalah yang
signifikan. Pelaku pelayan kesehatan cenderung menggunakan terminologi sehingga
pasien tidak dapat mengerti dengan mudah, mereka sering kurang pengetahuan tentang
teori dan praktik perilaku, dan mereka mempunyai kesadaran yang terbatas pada tingkat,
masalah, dan penyebabpasien tidak taat pada pengobatan. Ketaatan pada pengobatan,
berhubungan dengan kejelasan penjelasan dokter penulis resep, pasien sering merasa
bahwa instruksi dinyatakan kurang jelas atau sama sekali tidak jelas. Ketepatan waktu
dan kejelasan suatu pesan sangat kuat mempengaruhi bagaimana itu diterima, dimengerti,
dan diingat. Pasien mengingat dengan sangat baik instruksi pertama yang diberikan;
instruksi yang perlu penekanan adalah lebih baik diingatkan kembali; makin sedikit
instruksi diberikan, semakin besar bagian yang diingat. Jadi suatu pesan tidak saja harus
jelas dinyatakan, tetapi juga harus diorganisasikan dan disampaikan sedemikian rupa
sehingga memungkinkan pasien yang mengikuti dan memproses informasi secara
sempurna.
c. Gagal Mengerti Pentingnya Terapi
Alasan utama untuk tidak patuh adalah bahwa pentingnya terapi obat dan akibat
yang mungkin, jika obat tidak digunakan sesuai dengan instruksi yang tidak mengesankan
pasien. Pasien biasanya mengetahui relatif sedikit tentang kesakitan mereka, apalagi
manfaat dan masalah terapi yang diakibatkan terapi obat. Oleh karena itu, mereka
menyimpulkan pikiran sendiri berkenaan dengan kondisi dan pengharapan yang berkaitan
dengan efek terapi obat. Jika terapi tidak memenuhi pengharapan, mereka lebih
cenderung menjadi tidak patuh. Perhatian yang lebih besar diperlukan untuk memberi
edukasi pada pasien tentang kondisinya, dan manfaat serta keterbatasan dari terapi obat,
akan berkontribusi pada pengertian yang lebih baik dari pihak pasien tentang pentingnya
menggunakan obat dengan cara yang dimaksudkan.
d. Pengertian yang Buruk Pada Instruksi
Berbagai investigasi telah menguraikan masalah dari jenis ini. Dari suatu studi
pada sekitar 6000 resep, 4% dari resep itu terdapat instruksi pasien ditulis “Sesuai
Petunjuk”. Akibat yang mungkin dari salah pengertian dapat serius. Misalnya, seorang
pasien menggunakan tiga kali dua kapsul fenitoin (100mg) sehari, daripada seharusnya
tiga kali satu kapsul sehari seperti instruksi dokter. Alasan untuk penggunaan instruksi
oleh beberapa dokter “Gunakan sesuai petunjuk” telah diteliti. Walaupun penggunaan
penandaan ini diadakan dalam situasi yang terseleksi dipertahankan, kemungkinan untuk
membingungkan dan mengakibatkan kesulitan, dibuktikan dalam penelitian serta
menyimpulkan bahwa perlu membuat instruksi penggunaan obat sespesifik mungkin.
Bahkan, apabila petunjuk kepada pasien sudah lebih spesifik dari “ sesuai petunjuk”
kebingungan masih dapat terjadi.
e. Pasien takut bertanya
Pasien sering ragu bertanya kepada tim pelaku pelayan kesehatan untuk
menjelaskan kondisi kesehatan mereka atau pengobatan yang diajukan. Keraguraguan ini
dapat dihubungkan pada ketakutan dianggap bodoh, perbedaan status sosial, dan bahasa
atau tidak didorong oleh pelaku pelayan kesehatan tersebut. Interaksi pasien dengan
pelaku pelayan kesehatan yang lebih berhasil dapat didorong dengan meningkatkan
kepekaan pada pihak pelaku pelayan kesehatan.
f. Ketidakcukupan waktu konsultasi
Profesional pelayan kesehatan kebanyakan bersifat kurang berinteraksi dengan
pasien karena tekanan pekerjaan. Dalam beberapa bagian rumah sakit, waktu atau praktik
sibuk, waktu konsultasi sangat terbatas dan ini jelas menjadi sautu masalah. Jika seorang
pasien diberi hanya satu atau dua menit untuk waktu konsultasi, dapat terjadi hal yang
lebih buruk. Biaya yang dikeluarkan pasien tinggi, berkenaan dengan waktu, transport
dan pengeluaran untuk obat. Hal ini dapat meningkatkan ketidakpatuhan pasien terhadap
instruksi karena mereka merasa bahwa profesional pelayan kesehatan tidak ada perhatian
pada penyembuhan penyakit mereka. Untuk itu pentingnya rumah sakit agar
mempertimbangkan untuk memperpanjang waktu konsultasi bagi pasien. Profesional
pelayan kesehatan harus didorong untuk mengerti bahwa komunikasi yang efektif dengan
pasien bukanlah suatu ideal yang tidak realistik, tetapi merupakan suatu aspek inti dari
keberhasilan praktik klinik.
g. Kesediaan Informasi Tercetak
Ketaatan pada pengobatan mungkin meningkat, dengan tersedianya informasi
tercetak dalam bahasa yang sederhana. Di beberapa negara maju, semua IFRS (Instalasi
Farmasi Rumah Sakit) harus mempunyai lembaran informasi untuk pasien, tersedia untuk
setiap obat. Instruksi sederhana untuk obat yang paling banyak digunakan dan obat yang
paling banyak disalahgunakan dapat dicetak pada kertas murah.
Menurut Keliat (2010) prinsip pengobatan pasien gangguan jiwa harus terus menerus dan
berkesinambungan walaupun gejala tidak muncul lagi. Hal ini karena pengobatan pasien
gangguan jiwa bersifat simptomatis (mengatasi gejala). Kiat memberikan obat kepada pasien
gangguan jiwa :
1. Pastikan obat yang diminum tepat. Jangan sampai salah obat. Baca kemasan obat
dan nama pasien.
2. Perhatikan dosis yang dianjurkan. Jangan memberikan obat kurang dari ukuran
atau lebih dari yang dianjurkan.
3. Perhatikan waktu pemberian obat. Apabila obat harus diberikan 3x berarti selang
pemberian obat adalah setiap 8 jam.
4. Perhatikan cara pemberian obat. Apakah obat diberikan sesudah dan sebelum
makan.
5. Konsultasikan dengan dokter tentang pengurangan atau pemberhentian pemberian
obat.
6. Perhatikan efek obat, efek samping pengobatan yang mungkin terjadi dan tidak
berbahaya antara lain : mengantuk, tangan gemetar, gerakan menjadi kaku, mata melihat
ke atas, mondar-mandir, ada gerakan-gerakan bagian tubuh tertentu yang tidak terkontrol,
air liur berlebihan, wajah tidak ekspresif.
Rencana Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria
Intervensi
Hasil
Manejemen regimen NOC: NIC :
terapeutik tidak efektif - Complience Behavior Self Modification
- Knowledge :
berhubungan dengan : assistance
treatment regimen
Konflik dalam 1. Kaji pengetahuan
Setelah dilakukan
memutuskan terapi, pasien tentang
tindakan keperawatan
konflik keluarga, penyakit, komplikasi
selama…. manejemen
keterbatasan pengetahuan, dan pengobatan
regimen terapeutik tidak 2. Interview pasien dan
kehilangan kekuatan,
efektif pasien teratasi keluarga untuk
defisit support sosial.
dengan kriteria hasil: mendeterminasi
DS:
a. Mengembangkan dan masalah yang
- Pilihan tidak efektif
mengikuti regimen berhubungan dengan
terhadap tujuan
terapeutik regimen pengobatan
pengobatan/program
b. Mampu mencegah
tehadap gaya hidup
pencegahan
perilaku yang 3. Hargai alasan pasien
- Pernyataan keluarga
4. Hargai pengetahuhan
berisiko
dan pasien tidak
c. Menyadari dan pasien
mendukung regimen mencatat tanda-tanda 5. Hargai lingkungan
pengobatan/perawatan perubahan status fisik dan sosial pasien
- Pernyataan keluarga 6. Sediakan informasi
kesehatan
dan pasien tidak tentang penyakit,
mendukung/ tidak komplikasi dan
mengurangi faktor pengobatan yang
risiko perkembangan direkomendasikan
7. Dukung motivasi
penyakit atau skuelle
pasien untuk
DO :
melanjutkan
- Percepatan gejala-
pengobatan yang
gejala penyakit
berkesinambungan
2.7 Tindakan Keperawatan Pada Klien Dengan Regimen Terapeutik Tidak Efektif
Menurut Johnson & moorhed (2008) kreteria hasil yang diharapkan pada penatalaksanaan
regimen terapeutik tidak efektif adalah : perilaku kepatuhan, pengatahuan regimen pengobtan,
partisipasi klien dalam keputusan perawat kesehatan, pengobatan perilaku : penyakit atau cedera,
keyakinan terhadap kesehatan, keyakinan akan kemampuannya untuk melakukan, keyakinan
untuk control, keyakinan terhadap sumbaer daya yang diperlukan, keyakinan sebagai ancaman,
orientasi pada kesehatan, pengetahuan akan proses penyakit, visi atau tujuan dari kompensasi
perilaku.
Rencana tindakan keperawatan yang bisa diberikan pada diagnosis penatalaksanaan
regimen terapeutik tidak efektif menurut Mc Closkey & Bulechek (2008) sebagai berikut :
pendidikan kesehatan mengenai proses penyakit dan prosedur keperawatan, rekstrukturisasi
kognitif dan modifikasi perilaku, hubungan baik antar klien dengan petugas kesehatan melalui
konsling, intervensi krisis, memberi dukungan emosional dan keluarga, memperbaiki system
kesehatan, identifikasi terhadap factor resiko dan memberi bantuan self-modifikasi.
Pendekatan asuhan keperawatan spesialis jiwa pada klien penatalaksaan regimen
terapeutik tidak efektif dengan mengembangkan terapi modalitas sebagai pendamping terapi
psikofarmaka agar meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan. Terapi yang diberikan berupa
terapi kognitif, kognitif-perilaku dan terapi keluarga (Stuart & Sundeen, 1998). Terapi perilaku
menjadi dasar modifikasi perilaku pada intervensi penatalaksanaan regimen terapeutik tidak
efektif (Mc Closkey & Bulechek , 2008). Modifikasi perilaku menjadi prinsip diterapkannya
terapi perilaku pada klien dengan penatalaksanaan regimen teraputik tidak efektif. Dengan
perubahan perilaku positif diharapkan kepatuhan klien dalam menjalani regimen teraputik
berubah lebih baik, sehingga akan meminimalkan angka kekambuhan klien dirawat ulang di
rumah sakit. Selain modifikasi perilaku ada juga tindakan keperawatan generalis pada klien
dengan gangguan regimen teraputik tidak efektif sesuai standar operasional prosedur yang
berlaku, sebagai berikut: Sp1; membina hubungan saling percaya, mengidentifikai penyebab
yang menghambat pengelolaan yang efektif, mengidentifikasi keterampilan minum obat dan
kerjasama pasien dengan orang tua, mengidentifikasi keberhasilan mengelola masalah dimasa
lalu. Sp2: pasien mengidentifikasi harapan tentang lingkungannya, rutinitas dan perawat oleh
keluarga, memberi pendidikan kesehatan tentang aturan dan efek samping pengobatan dan
identifiksi sumber dukungan yang tersedia. Sp3 : pasien member obat sesuai program
pengobatan, memantau efektifitas dan efek samping obat yang diminum dan mengukur vital sign
secara verioik.