Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN TUNANETRA


PADA ANAK

Disusun oleh: kelompok II (kelas VA)


1. Rista aguskurdani
2. Ipa nurjanah
3. Muhajirin
4. Suciyati
5. Supriadi
6. Nurul jannah
7. Ahmad muhaji

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MATARAM

TA. 2016/2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji kehadirat Allah SWT, pencipta alam semesta, tidak lupa
sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw. karena atas rahmat
dan karunia Allah tugas ini dapat kami selesaikan. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih
kepada dosen pembimbing, dan teman–teman semua yang telah berpartisipasi dalam
pembuatan makalah ini.

Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas akademik terstruktur keperawatan Anak Program
Studi S1 Keperawatan dan untuk memudahkan mahasiswa dalam memahami makalah ini.

Demikianlah makalah ini kami susun. Dengan harapan dapat bermanfaat bagi siapa saja
yang membacanya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu, semua krtik dan saran senantiasa kami harapkan untuk kesempurnaan makalah ini
agar menjadi lebih baik.

Mataram, 29 November 2016.

Kelompok II

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................1

A. Latar belakang .............................................................................................1


B. Tujuan penulisan ........................................................................................2
Tujuan umum .......................................................................................2
Tujuan khusus ......................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................3

A. Definisi tunanetra ......................................................................................3


B. Klasifikasi tunanetra ...................................................................................4
C. Etologi tunanetra .........................................................................................5
D. Karaktristik anak tunanetra. ........................................................................8
E. Dampak tunanetra. ......................................................................................8
F. Pemeriksaan penunjang tunanetra...............................................................9

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN PADA TUNANETRA ...........................13

A. Pengkajian .................................................................................................13
B. Diagnosa ...................................................................................................14
C. Intervensi...................................................................................................14
D. Evaluasi ....................................................................................................16

BAB IV PENUTUP ...................................................................................................17

A. Kesimpulan ..............................................................................................17
B. Saran ........................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................18

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Sensori adalah stimulus atatu rangsangan yang datang dari dalam maupun luar
tubuh. Stimulus tersebut masuk kedalam tubuh melaui organ sensori (panca indera).
Stimulus yang sempurna memungkinkan seseorang untuk belajar berfungsi secara
sehat dan berkembang dengan normal. Gangguan penglihatan adalah kondisi yang
ditandai dengan penurunan tajam penglihatan ataupun menurunnya luas lapangan
pandang, yang dapat mengakibatkan kebutaan.

WHO memperkirakan terdapat 45 juta penderita kebutaan di dunia, di mana


sepertigannya berada di Asi Tenggara. Diperkirakan 12 orang menjadi buta tiap menit
di dunia, dan 4 orang diantaranya berasal dari Asia Tenggara, sedangkan di Indonesia
diperkirakan setiap menit ada satu orang menjadi buta. Sebagian besar orang buta
(tunanetra) di Indonesia berada di daerah miskin dengan kondisi sosial ekonomi
lemah. Survey kesehatan indera penglihatan dan pendengaran tahun, menunjukkan
angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,5%. Penyebab utama kebutaan adalah
katarak (0,78%), glaucoma (0,20%), kelainan refraksi (0,14%), dan penyakit-penyakit
lain yang berhubungan dengan lanjut usia (0,38%).

Sejak 1984, Upaya Kesehatan Mata atau pencegahan kebutaan (UKM/PK)


sudah diintegrasikan kedalam kegiatan pokok Puskesmas. Sedangkan program
Penanggulangan Kebutaan Katarak Paripurna (PKKP) dimulai sejak 1987 baik
melalui Rumah Sakit(RS) maupun Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM).
Namun demikian, hasil survei tahun 1993-1996 menunjukkan bahwa angka kebutaan
meningkat dari 1,2% (1982) menjadi 1,5% (1993-1996), padahal 90% kebutaan dapat
ditanggulangi (dicegah atau diobati). Disamping itu masalah kebutaan, gangguan
penglihatan akibat kelainan refraksi dengan prevalensi sebesar 22,1% juga menjadi
masalah serius. Sementara 10% dari 66 juta anak usia (5-19 tahun) menderita kelainan
refraksi. Sampai saat ini angka pemakaian kacamata koreksi masih rendah yaitu
12,5% dari prevalensi.

B. Tujuan penulisan

1. Tujuan umum:
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas terstruktur
keperawatan Anak dan untuk memberikan wawasan kepada mahasiswa/i tentang
tuna netra pada anak dan tindakan asuhan keperawatan pada pasien dengan tuna
netra.

2. Tujuan khusus:

a. Untuk mengetahui definisi dari.


b. Untuk mengetahui klasifikasi.
c. Untuk mengetahui etiologi.
d. Untuk mengetahui patofisiologi.
e. Untuk mengetahui manifestasi klinis.
f. Untuk mengetahui komplikasi.
g. Untuk mengetahui pemeriksaan medis.
h. Untuk mengetahui penatalaksanaan.
i. Untuk mengetahui asuhan keperawatan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Tunanetra adalah kondisi yang ditandai dengan penurunan tajam penglihatan


ataupun menurunnya luas lapangan pandang, yang dapat mengakibatkan kebutaan
(Quigley dan Broman, 2006).

Tunanetra adalah Seseorang yang terhambat mobilitas gerak yang disebabkan


oleh hilang/berkurangnya fungsi penglihatan sebagai akibat dari kelahiran, kecelakaan
maupun penyakit (Marjuki, 2009).

Menurut kamus besar bahasa Indonesia pengertian tunanetra ialah tidak dapat
melihat, buta. Sedangkan menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa yang
dimaksud dengan tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam
penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan. Karena adanya hambatan
dalam penglihatan serta tidak berfungsinya penglihatan (Heward & Orlansky, 1988 cit
Akbar 2011).

Anak yang mengalami gangguan penglihatan dapat didefinisikan sebagai anak


yang rusak penglihatannya yang walaupun dibantu dengan perbaikan, masih
mempunyai pengaruh yang merugikan bagi anak yang yang bersangkutan (Scholl,
1986:p.29). Pengertian ini mencakup anak yang masih memiliki sisa penglihatan dan
yang buta.
B. Klasifikasi

Klasifikasi yang dialami oleh anak tunanetra, antara lain : Menurut Lowenfeld,
(1955:p.219), klasifikasi anak tunanetra yang didasarkan pada waktu terjadinya
ketunanetraan, yaitu :

1. Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki
pengalaman penglihatan.
2. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan
serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
3. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki kesan-
kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses
perkembangan pribadi.
4. Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala
kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
5. Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan
penyesuaian diri.
6. Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan)

Klasifikasi anak tunanetra berdasarkan kemampuan daya penglihatan, yaitu:


1. Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang memiliki
hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti program-
program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang
menggunakan fungsi penglihatan.
2. Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang kehilangan
sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu
mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
3. Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak dapat
melihat.

Menurut WHO, klasifikasi didasarkan pada pemeriksaan klinis, yaitu :


1. Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau
memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.
2. Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai
dengan 20/200 yang dapat lebih baik melalui perbaikan.

Menurut Hathaway, klasifikasi didasarkan dari segi pendidikan, yaitu :


1. Anak yang memiliki ketajaman penglihatan 20/70 atau kurang setelah
memperoleh pelayanan medik.
2. Anak yang mempunyai penyimpangan penglihatan dari yang normal dan menurut
ahli mata dapat bermanfaat dengan menyediakan atau memberikan fasilitas
pendidikan yang khusus.

Kirk (1962:p.214) mengutip klasifikasi ketunanetraan, yaitu :


1. Anak yang buta total atau masih memiliki persepsi cahaya sampai dengan 2/2000,
ia tidak dapat melihat gerak tangan pada jarak 3 kaki di depan wajahnya.
2. Anak yang buta dengan ketajaman penglihatan sampai dengan 5/200, ia tidak
dapat menghitung jari pada jarak 3 kaki di depan wajahnya.
3. Anak yang masih dapat diharapkan untuk berjalan sendiri, yaitu yang memiliki
ketajaman penglihatan sampai dengan 10/200, ia tidak dapat membaca huruf-
huruf besar seperti judul berita pada koran.
4. Anak yang mampu membaca huruf-huruf besar pada koran, yaitu yang memiliki
ketajaman penglihatan sampai dengan 20/200, akan tetapi ia tidak dapat
diharapkan untuk membaca huruf 14 point atau tipe yang lebih kecil.
5. Anak yang memiliki penglihatan pada batas ketajaman penglihatan 20/200 atau
lebih, akan tetapi ia tidak memiliki penglihatan cukup untuk melakukan kegiatan-
kegiatan yang memerlukan penglihatan dan anak ini tidak dapat membaca huruf
10 point.

Menurut Howard dan Orlansky, klasifikasi didasarkan pada kelainan-kelainan


yang terjadi pada mata, kelainan ini disebabkan karena adanya kesalahan pembiasan
pada mata. Hal ini terjadi bila cahaya tidak terfokus sehingga tidak jatuh pada retina.
Peristiwa ini dapat diperbaiki dengan memberikan lensa atau lensa kontak. Kelainan-
kelainan itu, antara lain :

1. Myopia; adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di
belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk
membantu proses penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata koreksi
dengan lensa negatif.
2. Hyperopia; adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di
depan retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk
membantu proses penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata
koreksi dengan lensa positif.
3. Astigmatisme; adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan
karena ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata
sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh
pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita astigmatisme
digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris.

C. Etiologi

Faktor yang menyebabkan terjadinya ketunanetraan antara lain:

1. Pre-natal
Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal sangat erat hubungannya
dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan,
antara lain:

a. Keturunan
Ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor keturunan terjadi dari hasil
perkawinan bersaudara, sesama tunanetra atau mempunyai orang tua yang
tunanetra. Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lain Retinitis
Pigmentosa, penyakit pada retina yang umumnya merupakan keturunan.
Penyakit ini sedikit demi sedikit menyebabkan mundur atau memburuknya
retina. Gejala pertama biasanya sukar melihat di malam hari, diikuti dengan
hilangnya penglihatan periferal, dan sedikit saja penglihatan pusat yang
tertinggal.

b. Pertumbuhan seorang anak dalam kandungan


Ketunanetraan yang disebabkan karena proses pertumbuhan dalam
kandungan dapat disebabkan oleh:
Gangguan waktu ibu hamil.
Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah tertentu
selama pertumbuhan janin dalam kandungan.
Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau
cacar air, dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung dan
sistem susunan saraf pusat pada janin yang sedang berkembang.
Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma dan tumor. Tumor
dapat terjadi pada otak yang berhubungan dengan indera penglihatan atau
pada bola mata itu sendiri.
Kurangnya vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan pada mata
sehingga hilangnya fungsi penglihatan.

2. Post-natal
Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi sejak
atau setelah bayi lahir antara lain:
a. Kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan, akibat benturan
alat-alat atau benda keras.
b. Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga baksil
gonorrhoe menular pada bayi, yang pada ahkirnya setelah bayi lahir
mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya penglihatan.
c. Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya:
Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.
Trachoma; yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.
Catarac; yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa
mata menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi putih.
Glaucoma; yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam bola
mata, sehingga tekanan pada bola mata meningkat.
Diabetik Retinopathy; adalah gangguan pada retina yang disebabkan
karena diabetis. Retina penuh dengan pembuluh-pembuluh darah dan
dapat dipengaruhi oleh kerusakan sistem sirkulasi hingga merusak
penglihatan.
Macular Degeneration; adalah kondisi umum yang agak baik, dimana
daerah tengah dari retina secara berangsur memburuk. Anak dengan retina
degenerasi masih memiliki penglihatan perifer akan tetapi kehilangan
kemampuan untuk melihat secara jelas objek-objek di bagian tengah
bidang penglihatan.
Retinopathy of prematurity; biasanya anak yang mengalami ini karena
lahirnya terlalu prematur. Pada saat lahir masih memiliki potensi
penglihatan yang normal. Bayi yang dilahirkan prematur biasanya
ditempatkan pada inkubator yang berisi oksigen dengan kadar tinggi,
sehingga pada saat bayi dikeluarkan dari inkubator terjadi perubahan kadar
oksigen yang dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah menjadi
tidak normal dan meninggalkan semacam bekas luka pada jaringan mata.
Peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan pada selaput jala (retina) dan
tunanetra total.
d. Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya
benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari
kendaraan, dll.

D. Karaktristik anak tunanetra

1. Fisik (Physical)
Keadaan fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan anak sebaya lainnya.
Perbedaan nyata diantara mereka hanya terdapat pada organ penglihatannya.
Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik diantaranya :
a. Mata juling
b. Sering berkedip
c. Menyipitkan mata
d. (kelopak) mata merah
e. Mata infeksi
f. Gerakan mata tak beraturan dan cepat
g. Mata selalu berair (mengeluarkan air mata)
h. Pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata.

2. Perilaku
Ada beberapa gejala tingkah laku yang tampak sebagai petunjuk dalam
mengenal anak yang mengalami gangguan penglihatan secara dini :
a. Menggosok mata secara berlebihan.
b. Menutup atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala atau
mencondongkan kepala ke depan.
c. Sukar membaca atau dalam mengerjakan pekerjaan lain yang sangat
memerlukan penggunaan mata.
d. Berkedip lebih banyak daripada biasanya atau lekas marah apabila
mengerjakan suatu pekerjaan.
e. Membawa bukunya ke dekat mata.
f. Tidak dapat melihat benda-benda yang agak jauh.
g. Menyipitkan mata atau mengkerutkan dahi.
h. Tidak tertarik perhatiannya pada objek penglihatan atau pada tugas-tugas yang
memerlukan penglihatan seperti melihat gambar atau membaca.
i. Janggal dalam bermain yang memerlukan kerjasama tangan dan mata.
j. Menghindar dari tugas-tugas yang memerlukan penglihatan atau memerlukan
penglihatan jarak jauh

Penjelasan lainnya berdasarkan adanya beberapa keluhan seperti :


a. Mata gatal, panas atau merasa ingin menggaruk karena gatal.
b. Banyak mengeluh tentang ketidakmampuan dalam melihat.
c. Merasa pusing atau sakit kepala.
d. Kabur atau penglihatan ganda.

3. Psikis
Secara psikis anak tunanetra dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Mental/intelektual
Intelektual atau kecerdasan anak tunanetra umumnya tidak berbeda
jauh dengan anak normal/awas. Kecenderungan IQ anak tunanetra ada pada
batas atas sampai batas bawah, jadi ada anak yang sangat pintar, cukup pintar
dan ada yang kurang pintar. Intelegensi mereka lengkap yakni memiliki
kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan sebagainya. Mereka juga punya
emosi negatif dan positif, seperti sedih, gembira, punya rasa benci, kecewa,
gelisah, bahagia dan sebagainya.

b. Sosial
Hubungan sosial yang pertama terjadi dengan anak adalah hubungan
dengan ibu, ayah, dan anggota keluarga lain yang ada di lingkungan keluarga.
Kadang kala ada orang tua dan anggota keluarga yang tidak siap menerima
kehadiran anak tunanetra, sehingga muncul ketegangan, gelisah di antara
keluarga. Akibat dari keterbatasan rangsangan visual untuk menerima
perlakuan orang lain terhadap dirinya.

Tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadian


dengan timbulnya beberapa masalah antara lain:
Curiga terhadap orang lain
Perasaan mudah tersinggung
Ketergantungan yang berlebihan

4. Akademis
Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Akademis Tilman & Osborn
(1969) menemukan beberapa perbedaan antara anak tunanetra dan anak awas.
a. Anak tunanetra menyimpan pengalaman-pengalaman khusus seperti halnya
anak awas, namun pengalaman-pengalaman tersebut kurang terintegrasikan.
b. Anak tunanetra mendapatkan angka yang hampir sama dengan anak awas,
dalam hal berhitung, informasi, dan kosakata, tetapi kurang baik dalam hal
pemahaman (comprehention) dan persaman.
c. Kosa kata anak tunanetra cenderung merupakan kata-kata yang definitif.

5. Low Vision
Beberapa ciri yang tampak pada anak low vision antara lain:
a. Menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat.
b. Hanya dapat membaca huruf yang berukuran besar.
c. Mata tampak lain; terlihat putih di tengah mata (katarak) atau kornea (bagian
bening di depan mata) terlihat berkabut.
d. Terlihat tidak menatap lurus ke depan.
e. Memicingkan mata atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang atau
saat mencoba melihat sesuatu.
f. Lebih sulit melihat pada malam hari daripada siang hari.
g. Pernah menjalani operasi mata dan atau memakai kacamata yang sangat tebal
tetapi masih tidak dapat melihat dengan jelas.

E. Dampak tunanetra

Penglihatan merupakan salah satu saluran informasi yang sangat penting bagi
manusia selain pendengaran, pengecap, pembau, dan perabaan. Pengalaman manusia
kira-kira 80 persen dibentuk berdasarkan informasi dari penglihatan. Di bandingkan
dengan indera yang lain indera penglihatan mempunyai jangkauan yang lebih luas.
Pada saat seseorang melihat sebuah mobil maka ada banyak informasi yang sekaligus
diperoleh seperti misalnya warna mobil, ukuran mobil, bentuk mobel, dan lain-lain
termasuk detail bagian-bagiannya. Informasi semacam itu tidak mudah diperoleh
dengan indera selain penglihatan. Kehilangan indera penglihatan berarti kehilangan
saluran informasi visual. Sebagai akibatnya menyandang kelainan penglihatan akan
kekuarangan atau kehilangan informasi yang bersifat visual. Seseorang yang
kehilangan atau mengalami kelainan penglihatan, sebagai kompensasi, harus berupaya
untuk meningkatkan indera lain yang masih berfungsi. Seberapa jauh dampak
kehilangan atau kelainan penglihatan terhadap kemampuan seseorang tergantung pada
banyak faktor misalnya kapan (sebelum atau sesudah lahir, masa balita atau sesudah
lima tahun) terjadinya kelainan, berat ringannya kelainan, jenis kelainan dan lain-
lain. Seseorang yang kehilangan penglihatan sebelum lahir sering sampai usia lima
tahun pengalaman visualnya sangat sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.
Sedangkan yang kehilangan penglihatan setelah usia lima tahun atau lebih dewasa
biasanya masih memiliki pengalaman visual yang lebih baik tetapi memiliki dampak
yang lebih buruk terhadap penerimaan diri.

1. Dampak terhadap Kognisi


Kognisi adalamh persepsi individu tentang orang lain dan obyek-obyek yang
diorganisasikannya secara selektif. Respon individu terhadap orang dan obyek
tergantung pada bagaimana orang dan obyek tersebut tampak dalam dunia
kognitifnya ,dan citra atau “peta” dunia setiap orang itu bersifat individual. Setiap
orang mempunyai citra dunianya masing-masing karena citra tersebut merupakan
produk yang ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan fisik dan sosisalnya,
struktur fisiologisnya, keinginan dan tujuannya, dan pengalaman-pengalaman
masa lalunya. Dari keempat faktor yang menentukan kognisi individu tunanetra
menyandang kelainan dalam struktur fisiologisnya, dan mereka harus
menggantikan fungsi indera penglihatan dengan indera-indera lainnya untuk
mempersepsi lingkungannya. Banyak di antara mereka tidak pernah mempunyai
pengalaman visual, sehingga konsepsi mereka tentang dunia ini mungkin berbeda
dari konsepsi orang normal pada umumnya.

2. Dampak terhadap Keterampilan Sosial


Orang tua memainkan peranan yang penting dalam perkembangan sosial anak.
Perlakuan orang tua terhadap anaknya yang tunanetra sangat ditentukan oleh
sikapnya terhadap ketunanetraan itu, dan emosi merupakan satu komponen dari
sikap di samping dua komponen lainnya yaitu kognisi dan kecenderungan
tindakan. Ketunanetraan yang terjadi pada seorang anak selalu menimbulkan
masalah emosional pada orang tuanya. Ayah dan ibunya akan merasa kecewa,
sedih, malu dan berbagai bentuk emosi lainnya. Mereka mungkin akan merasa
bersalah atau saling menyalahkan, mungkin akan diliputi oleh rasa marah yang
dapat meledak dalam berbagai cara, dan dalam kasus yang ekstrem bahkan dapat
mengakibatkan perceraian. Persoalan seperti ini terjadi pada banyak keluarga yang
mempunyai anak cacat. Pada umumnya orang tua akan mengalami masa duka
akibat kehilangan anaknya yang “normal” itu dalam tiga tahap; tahap penolakan,
tahap penyesalan, dan akhirnya tahap penerimaan, meskipun untuk orang tua
tertentu penerimaan itu mungkin akan tercapai setelah bertahun-tahun. Proses
“dukacita” ini merupakan proses yang umum terjadi pada orang tua anak
penyandang semua jenis kecacatan. Sikap orang tua tersebut akan berpengaruh
terhadap hubungan di antara mereka (ayah dan ibu) dan hubungan mereka dengan
anak itu, dan hubungan tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi
perkembangan emosi dan sosial anak.

3. Dampak terhadap Bahasa


Pada umumnya para ahli yakin bahwa kehilangan penglihatan tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan memahami dan menggunakan
bahasa, dan secara umum mereka berkesimpulan bahwa tidak terdapat defisiensi
dalam bahasa anak tunanetra. Mereka mengacu pada banyak studi yang
menunjukkan bahwa siswa-siswa tunanetra tidak berbeda dari siswa-siswa yang
normal dalam hasil tes intelegensi verbal. Mereka juga mengemukakan bahwa
berbagai studi yang membandingkan anak-anak tunanetra dan normal tidak
menemukan perbedaan dalam aspek-aspek utama perkembangan bahasa. Karena
persepsi auditif lebih berperan daripada persepsi visual sebagai media belajar
bahasa, maka tidaklah mengherankan bila berbagai studi telah menemukan bahwa
anak tunanetra relatif tidak terhambat dalam fungsi bahasanya. Banyak anak
tunanetra bahkan lebih termotivasi daripada anak normal untuk menggunakan
bahasa karena bahasa merupakan saluran utama komunikasinya dengan orang
lain. Secara konseptual sama bagi anak tunanetra maupun anak normal, karena
makna kata-kata dipelajarinya melalui konteksnya dan penggunaannya di dalam
bahasa. Sebagaimana halnya dengan semua anak, anak tunanetra belajar kata-kata
yang didengarnya meskipun kata-kata itu tidak terkait dengan pengalaman nyata
dan tak ada makna baginya. Kalaupun anak tunanetra mengalami hambatan dalam
perkembangan bahasanya, hal itu bukan semata-mata akibat langsung dari
ketunanetraannya melainkan terkait dengan cara orang lain memperlakukannya.
Ketunanetraan tidak menghambat pemrosesan informasi ataupun pemahaman
kaidah-kaidah bahasa.

4. Dampak terhadap Orientasi dan Mobilitas


Mungkin kemampuan yang paling terpengaruh oleh ketunanetraan untuk
berhasil dalam penyesuaian social individu tunanetra adalamh kemampuan
mobilitas yaitu keterampilan untuk bergerak secara leluasa di dalam
lingkungannya. Ketrampilan mobilitas ini sangat terkait dengan kemampuan
orientasi, yaitu kemampuan untuk memahami hubungan lokasi antara satu obyek
dengan obyek lainnya di dalam lingkungan. Untuk membentuk mobilitas itu, alat
bantu yang umum dipergunakan oleh orang tuna netra di Indonesia adalamh
tongkat, sedangkan di banyak negara barat penggunaan anjing penuntun (guide
dog) juga populer. Dan penggunaan alat elektronik untuk membantu orientasi dan
mobilitas individu tunanetra masih terus dikembangkan. Agar anak tuna netra
memiliki rasa percaya diri untuk bergerak secara leluasa di dalam lingkungannya
dalam bersosialisasi, mereka harus memperoleh latihan orientasi dan mobilitas.
Program latihan orientasi dan mobilitas tersebut harus mencakup sejumlah
komponen, termasuk kebugaran fisik, koordinasi motor, postur, keleluasaan gerak,
dan latihan untuk mengembangkan fungsi indera –indera yang masih berfungsi.

F. Pemeriksaan penunjang
1. Tonometri (dengan schiøtz pneumatic atau tonometer aplanasi) mengukur tekanan
intraokuler dan memberikan nilai dasar untuk perujukan. Rentang tekanan
intraokuler normal berkisar dari 8 sampai 21mmHg. Akan tetapi, pasien yang
IOPnya menurun dari rentang normal dapat mengalami tanda dan gejala glaucoma
dan pasien yang mempunyai tekanan tinggi mungkin tidak menunjukkan efek
klinis.
2. Pemeriksaan slit lamp memperlihatkan efek glaucoma pada stuktur mata anterior,
meliputi kornea, iris dan lensa.
3. Gonioskopi menentukan sudut ruang anterior mata
4. Oftalmoskopi mempermudah visualisasi fundus.
5. Perimetrik atau pemeriksaan lapang pandang menentukan keluasaan kehilangan
penglihatan perifer
6. Fotografi fundus memantau dan mencatat perubahan pada discus optikus.
7. Pemeriksaan ketajaman penglihatan memastikan derajat kehilangan penglihatan.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TUNANETRA


A. Pengkajian

1. Aktivitas / Istirahat : Perubahan aktivitas biasanya / hobi sehubungan dengan


gangguan penglihatan.
2. Makanan / Cairan : Mual, muntah
3. Neurosensori : Gangguan penglihatan (kabur/tidak jelas), sinar terang
menyebabkan silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan
memfokuskan kerja dengan dekat/merasa di ruang gelap (katarak). Penglihatan
berawan/kabur, tampak lingkaran cahaya/pelangi sekitar sinar, kehilangan
penglihatan perifer, fotofobia(glaukoma akut). Perubahan kacamata/pengobatan
tidak memperbaiki penglihatan.
Tanda :
Pupil menyempit dan merah/mata keras dengan kornea berawan.
Peningkatan penyebab katarak mata.
4. Nyeri / Kenyamanan : Ketidaknyamanan ringan/mata berair, nyeri tiba-tiba/berat
menetap atau tekanan pada dan sekitar mata, sakit kepala.
5. Penyuluhan / Pembelajaran
Riwayat keluarga glaukoma, DM, gangguan sistem vaskuler.
Riwayat stres, alergi, gangguan vasomotor (contoh: peningkatan tekanan
vena), ketidakseimbangan endokrin. Terpajan pada radiasi,
steroid/toksisitas fenotiazin

B. Diagnosa keperawatan
1. DX 1: Gangguan persepsi sensori: penglihatan berhubungan dengan gangguan
penerimaan sensori dari organ penerima
2. DX 2: Kurang Pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai
penyakit
3. DX 3: Resiko jatuh berhubungan dengan keterbatasan lapang pandang
4. DX 4: Resiko Cedera berhubungan dengan keterbatasan lapang pandang.

C. Perencanaan keperawatan

RENCANA KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA
TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
DX KEPERAWATAN

1 Gangguan persepsi NOC : NIC


sensori: penglihatan
berhubungan dengan  Vision compensation Pencapaian Komunikasi:
behavior
gangguan penerimaan  Kriteria hasil: Defisit Penglihatan
sensori dari organ  Memakai kaca mata
penerima, atau lensa dengan  Kaji reaksi pasien
benar terhadap penurunan
penglihatan
 Memakai huruf braile
 Ajak pasien ntuk
 Memakai penyinaran/
menentukan tujuan dan
cahaya yang sesuai
belajar melihat dengan
cara yang lain
 Deskripsikan lingkungan
disekitar pasien
 Jangan memindahkan
sesuatu di ruangan pasien
tanpa memberi informasi
pada pasien
 Bacakan surat atau koran
atau info lainnya
 Sediakan huruf braile
 Informasikan letak benda-
benda yang sering
diperlukan pasien

Manajemen Lingkungan

 Ciptakan lingkungan yang


aman bagi pasien
 Pindahkan benda-benda
berbahaya dari lingkungan
pasien
 Pasang side rail
 Sediakan tempat tidur
yang rendah
 Tempatkan benda +benda
pada tempat yang dapat
dijangkau pasien

2. Kurang Pengetahuan NOC : NIC :


berhubungan dengan
kurangnya informsi  Kowlwdge : disease Teaching : disease Process
mengenai penyakit process
 Kowledge : health  Berikan penilaian tentang
Behavior tingkat pengetahuan
 Kriteria Hasil : pasien tentang proses
 Pasien dan keluarga penyakit yang spesifik
menyatakan  Jelaskan patofisiologi dari
pemahaman tentang penyakit dan bagaimana
penyakit, kondisi, hal ini berhubungan
prognosis dan dengan anatomi dan
program pengobatan fisiologi, dengan cara yang
 Pasien dan keluarga tepat.
mampu  Gambarkan tanda dan
melaksanakan gejala yang biasa muncul
prosedur yang pada penyakit, dengan
dijelaskan secara cara yang tepat
benar  Gambarkan proses
 Pasien dan keluarga penyakit, dengan cara
mampu menjelaskan yang tepat
kembali apa yang  Identifikasi kemungkinan
dijelaskan penyebab, dengna cara
perawat/tim yang tepat
kesehatan lainnya  Sediakan informasi pada
pasien tentang kondisi,
dengan cara yang tepat
 Hindari harapan yang
kosong
 Sediakan bagi keluarga
atau SO informasi tentang
kemajuan pasien dengan
cara yang tepat
 Diskusikan perubahan
gaya hidup yang mungkin
diperlukan untuk
mencegah komplikasi di
masa yang akan datang
dan atau proses
pengontrolan penyakit
 Diskusikan pilihan terapi
atau penanganan
 Dukung pasien untuk
mengeksplorasi atau
mendapatkan second
opinion dengan cara yang
tepat atau diindikasikan
 Eksplorasi kemungkinan
sumber atau dukungan,
dengan cara yang tepat
 Rujuk pasien pada grup
atau agensi di komunitas
lokal, dengan cara yang
tepat
 Instruksikan pasien
mengenai tanda dan gejala
untuk melaporkan pada
pemberi perawatan
kesehatan, dengan cara
yang tepat.

3. Resiko jatuh NOC NIC : Environment


berhubungan dengan Management (Manajemen
keterbatasan lapang  Risk Kontrol
lingkungan)
pandang  Kriteria Hasil :
 Klien terbebas dari  Sediakan lingkungan yang
cedera aman untuk pasien
 Klien mampu  Identifikasi kebutuhan
menjelaskan keamanan pasien, sesuai
cara/metode dengan kondisi fisik dan
untukmencegah fungsi kognitif pasien dan
injury/cedera riwayat penyakit terdahulu
 Klien mampu pasien
menjelaskan factor  Menghindarkan
resiko dari lingkungan yang
lingkungan/perilaku berbahaya (misalnya
personal memindahkan perabotan)
 Mampumemodifikasi  Memasang side rail tempat
gaya hidup tidur
untukmencegah  Menyediakan tempat tidur
injury yang nyaman dan bersih
 Menggunakan  Menempatkan saklar
fasilitas kesehatan lampu ditempat yang
yang ada mudah dijangkau pasien.
 Mampu mengenali  Membatasi pengunjung
perubahan status  Memberikan penerangan
kesehatan yang cukup
 Menganjurkan keluarga
untuk menemani pasien.
 Mengontrol lingkungan
dari kebisingan
 Memindahkan barang-
barang yang dapat
membahayakan
 Berikan penjelasan pada
pasien dan keluarga atau
pengunjung adanya
perubahan status
kesehatan dan penyebab
penyakit.

4. Resiko Cedera NOC: NIC : Environment


berhubungan dengan Management (Manajemen
keterbatasan lapang  Risk Kontrol
lingkungan)
pandang  Kriteria Hasil :
 Klien terbebas dari  Sediakan lingkungan yang
cedera aman untuk pasien
 Klien mampu  Identifikasi kebutuhan
menjelaskan keamanan pasien, sesuai
cara/metode dengan kondisi fisik dan
untukmencegah fungsi kognitif pasien dan
injury/cedera riwayat penyakit terdahulu
 Klien mampu pasien
menjelaskan factor  Menghindarkan
resiko dari lingkungan yang
lingkungan/perilaku berbahaya (misalnya
personal memindahkan perabotan)
 Mampumemodifikasi  Memasang side rail tempat
gaya hidup tidur
untukmencegah  Menyediakan tempat tidur
injury yang nyaman dan bersih
 Menggunakan  Menempatkan saklar
fasilitas kesehatan lampu ditempat yang
yang ada mudah dijangkau pasien.
 Mampu mengenali  Membatasi pengunjung
perubahan status  Memberikan penerangan
kesehatan yang cukup
 Menganjurkan keluarga
untuk menemani pasien.
 Mengontrol lingkungan
dari kebisingan
 Memindahkan barang-
barang yang dapat
membahayakan
 Berikan penjelasan pada
pasien dan keluarga atau
pengunjung adanya
perubahan status
kesehatan dan penyebab
penyakit.

D. Evaluasi
Setelah mendapat implementasi keperawatan, maka pasien dengan tunanetra
diharapkan sebagai berikut:
1. Gangguan persepsi sensori pengelihatan dapat teratasi
2. Pengetahuan pasien tentang penyakitnya bertambah
3. Pasien mampu beraktivitas dan terhindar dari resiko terjatu.
4. Pasien terhindar dari resiko cedera
BAB IV

PENUTUP
A. Keimpulan

Tunanetra adalah kondisi yang ditandai dengan penurunan tajam penglihatan


ataupun menurunnya luas lapangan pandang, yang dapat mengakibatkan kebutaan

Tunanetra adalah Seseorang yang terhambat mobilitas gerak yang disebabkan


oleh hilang/berkurangnya fungsi penglihatan sebagai akibat dari kelahiran, kecelakaan
maupun penyakit..

B. Saran

1. Bagi petugas kesehata atau instansi kesehatan agar lebih meningkatkan pelayanan
kesehatan terutama pada tunanetra untuk pencapaian kualitas keperawatan secara
optimal dan sebaiknya proses keperawatan selalu dilaksanakan secara
berkesinambungan.

2. Bagi klien dan keluarga, Perawatan tidak kalah pentingnya dengan pengobatan
karena bagaimanapun teraturnya pengobatan tanpa perawatan yang sempurna
maka penyembuhan yang diharapkan tidak tercapai, oleh sebab itu perlu adanya
penjelasan pada klien dan keluarga mengenai manfaat serta pentingnya kesehatan.

3. Bagi mahasiswa keperawatan, diharapkan mampu memahami dan menerapkan


asuhan keperawatan yang benar pada klien dengan tunanetra.
DAFTAR PUSTAKA
1. Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung : PT
Refika Aditama
2. Kartadinata, Sunaryo. 1996. Psikologi Anak Luar Biasa. Surabaya : Dikti
3. Efendi, Mohammad. (2006). Pengantar psikopedagogik anak berkelainan. Jakarta: PT
Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai