Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA TN.

F DENGAN GANGGUAN
RESIKO PERILAKU KEKERASAN

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa II
Dosen Pengampu: Ibu Shella Febrita Utomo, S. Kep., Ners., MNS.

Disusun oleh:
Kelompok 7

Anggi Aprilia Hayati ( 302017004 )


Desih Fira Wibowo ( 302017021 )
Eliza Ayunda Putri ( 302017030 )
Gina Padilah ( 302017035 )
Hesti Kartika Dewi ( 302017037 )

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAH BANDUNG
2019-2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang membahas “Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. F
Dengan Gangguan Resiko Perilaku Kekerasan”.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut
serta dalam pembuatan makalah ini terutama kepada Dosen Pembimbing yaitu Ibu
Shella Febrita Utomo.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan, baik dari segi penyusunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis
dapat memperbaiki makalah ini.

Bandung, Oktober 2019


DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perilaku kekerasan dilakukan karena ketidakmampuan dalam melakukan
koping terhadap stres, ketidakpahaman terhadap situasi sosial, tidak mampu untuk
mengidentifikasi stimulus yang dihadapi, dan tidak mampu mengontrol dorongan
untuk melakukan perilaku kekerasan (Volavka & Citrome, 2011). Perilaku
kekerasan yang muncul pada klien Skizofrenia dikarenakan ketidakmampuan
dalam menghadapi stresor, dan melakukan tindakan perilaku kekerasan sebagai
koping dalam menghadapai stresor.
Respons perilaku kekerasan berupa respons kognitif, respons afektif,
respons fisiologis, respons perilaku, respons sosial. Respons kognitif merupakan
respons yang pertama kali muncul yang mendasari perilaku kekerasan (status
mental tiba tiba berubah/ labil), respons afektif merupakan respons yang muncul
didasari oleh keyakinan emosi yang tidak rasional (marah, bermusuhan), respons
pada fisiologis merupakan respons yang dapat dilakukan observasi terkait dengan
perubahan (pernafasan meningkat di >20 x/i, nadi meningkat >80 x/i, produksi
keringat meningkat, pandangan mata tajam, pandangan tertuju pada satu objek,
muka merah) (Stuart, 2013).
Data statistik dari direktorat kesehatan jiwa, masalah kesehatan jiwa dengan
klien gangguan jiwa terbesar (70%) adalah skizofrenia. Skizofrenia adalah
sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi fungsi individu antara lain fungsi
berfikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterprestasikan realita,
merasakan dan menunjukkan emosi serta berperilaku (Stuart &Laraia, 2013).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan skizofrenia?
2. Apa saja tanda dan gejala pada skizofrenia?
3. Faktor apa yang mempengaruhi skizofrenia?
4. Sebutkan jenis-jenis skizofrenia?
5. Apa yang dimaksud dengan perilaku kekerasan?
6. Bagaimana respons pada perilaku kekerasan?
7. Seperti apa pengkajian pada perilaku kekerasan?
8. Apa saja faktor risiko yang mempengaruhi perilaku kekerasan?
9. Sebutkan tanda dan gejala pada perilaku kekerasan?
10. Bagaimana mekanisme koping pada perilaku kekerasan?
11. Bagaimana peran perawat pada pasien dengan perilaku kekerasan?

C. Tujuan Khusus
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar pembaca dapat mengetahui
respon spesifik pada pasien dengan gangguan perilaku kekerasan.

D. Tujuan Umum
Tujuan dari pembuatan makalah ini merupakan suatu pembahasan untuk
menjawab pertanyaan yang ada di rumusan masalah. Adapun tujuan dalam
makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui definisi dari skizofrenia.
2. Untuk mengetahui tanda dan gejala pada skizofrenia.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mrmpengaruhi skizofrenia.
4. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis skizofrenia.
5. Untuk mengetahui definisi dari perilaku kekerasan.
6. Untuk mengetahui respons perilaku kekerasan.
7. Untuk mengetahui pengkajian pada perilaku kekerasan.
8. Untuk mengetahui faktor risiko perilku kekerasan.
9. Untuk mengetahui tanda dan gejala pada perilaku kekerasan.
10. Untuk mengetahui mekanisme koping pada perilaku kekerasan.
11. Untuk mengetahui peran perawat pada pasien dengan perilaku kekerasan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Skizofernia
1. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia merupakan penyakit kronik dari gangguan jiwa yang umum
terjadi. Hal yang mendasari mekanisme psikopatologi skizofrenia sulit untuk
dipahami. Hal ini dapat disebabkan karena penyebab skizofrenia yang belum
jelas. Skizofrenia adalah berupa gangguan mental yang serius yang ditandai
dengan gangguan dalam proses pemikiran yang mempengaruhi perilaku
(Rubesa, Gudelj, dan Kubinska, 2011).
2. Tanda dan Gejala Skizofrenia
Gejala serangan skizofernia dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Gejala positif
Meliputi halusinasi, gaduh gelisah, waham, yang meliputi kurangnya
minat dan semangat, kurang inisiatif, dan emosi datar.
b. Gejala Negatif
Mencakup delusi, halusinasi, kekacauan kongnitif, disorganisasi
bicara, dan perilaku katatonik seperti perasaan gaduh gelisah. Berupa efek
datar, hilangnya kemauan, merasa tidak nyaman, dan menarik diri dari
masyarakat. Gejala negatif pada skizofrenia juga tampak dari menurunnya
motivasi, hilangnya kemauan melakukan aktivitas sehari-hari,
ketidakmampuan merawat diri sendiri, tidak mampu mengekspresikan
perasaan, serta hilangnya spontanitas dan rasa ingin.
3. Faktor Yang Mempengaruhi Skizofrenia
a. Faktor Genetik
Faktor genetik terhadap skizofrenia, diikuti adanya abnormalitas
perkembangan neurotransmiter, sehingga mengalami disfungsi otak. Hal ini
menyebabkan munculnya gejala psikosis yang menunjukkan ciri khas dari
skizofrenia. Ada beberapa virus yang berperan terjadinya skizofrenia
(misalnya toxoplasma gondii, rubella, herpes simplex virus tipe 2). Bahwa
virus atau mikroorganisme secara tidak langsung dapat menyebabkan
seseorang menderita skizofrenia. Maka dapat disimpulkan bahwa ketika
individu sakit dan perawatan kesehatannya kurang maksimal yang
menyebabkan sakitnya tidak sembuh sempurna, maka individu tersebut
beresiko mengalami skizofrenia (Scharko, 2011).
b. Faktor Biologis
Penyalahgunaan NAPZA. Penyalahgunaan NAPZA dapat
menyebabkan munculnya gejala psikotik diantaranya halusinasi dan waham.
Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian Pahlasari (2013) menunjukkan
73,38% pengguna NAPZA mengalami gejala psikotik yaitu gejala
halusinasi (45,8%) dan waham (45,8%). NAPZA menyebabkan susunan
saraf pusat (SSP) mengalami depresi yang mengakibatkan munculnya gejala
psikotik (Taylor & Stuart, 2016).
c. Faktor Psikososial
Secara umum skizofrenia disebabkan oleh stres yang dialami individu.
Hubungan antar stres dan gejala psikotik dapat merupakan dampak dari
suatu kerentanan yang mendasarinya. Stres akibat dari kejadian dalam
kehidupan dapat berupa kematian orang terdekat, konflik dengan orang di
rumah dan tetangga, tidak ada pekerjaan, kurangnya penghasil, hidup
sendirian. Stres yang dialami individu pada kondisi kritis dalam
kehidupannya merupakan faktor kritikal dalam perkembangan disfungsi
otak terhadap kerentanan psikosis, sedangkan stres saja merupakan faktor
pencetus ekpresi kerentanan biologi terhadap psikosis (Green, Girshkin,
Teroganova, & Quide, 2014). Stres meningkat kadar neurotransmiter
dopamine. Dopamin bersifat merangsang aksi pada sel terutama mengontrol
pergerakan, motivasi, kognisi, dan pengaturan respon emosional (Shives,
2012).
4. Jenis-jenis Skizofrenia
Ada beberapa Jenis-jenis skizofrenia Menurut Sadock (2010) yaitu:
a. Skizofrenia Paranoid
Biasanya ditandai dengan adanya waham, perasaan menjadi korban
yang dimata-matai atau waham kebesaran, halusinasi dan terkadang terdapat
waham agama berlebihan (Fokus waham agama) atau prilaku agresif dan
bermusuhan.
b. Skizofrenia Hebrefenik gejala khas ditandai dengan prilaku, pembicaran
yang kacau serta tidak logis.
c. Skizofrenia Katatonik
Gejala khas sering diawali dengan stress emosional, sehingga terjadi
gelisah katatonik atau stupor katatonik. Adapun gejala psikomotorik yaitu
wajah seperti topeng, kaku, tidak bergerak dalam waktu lama.
d. Skizofrenia Simplex
Sering timbul pada awal pertama pubertas. Gejala utama pada jenis
simplex adanya kadangkala emosi dan kemunduran kemauan. Waham dan
halusinasi jarang ditemukan.
e. Skizofrenia Residual
Keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat sedikitnya 1 periode
psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang kearah negative yang
lebih menonjol. Gejala negatifnya terdiri dari keterlambatan psikomotorik,
penurunan aktifitas, ekspresi non verbal menurun, serta buruknya perawatan
diri.

B. Perilaku Kekerasan
1. Definisi Perilaku Kekerasan
Risiko Perilaku Kekerasan merupakan perilaku seseorang yang
menunjukkan bahwa ia dapat membahayakan diri sendiri, orang lain atau
lingkungan baik secara fisik, emosional, seksual dan verbal (NANDA,2016).
Risiko perilaku kekerasan terbagi menjadi dua, yaitu risiko perilaku kekerasan
terhadap diri sendiri (risk for self-directed violence) dan risiko perilaku
kekerasan terhadap orang lain (risk for other-directed violence). NANDA
(2016) menyatakan bahwa risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri
merupakan perilaku yang rentan dimana seseorang indiidu bisa menunjukkan
atau mendemonstrasikan tindakan yang membahayakan dirinya sendiri, baik
secara fisik, emosional, maupun seksual. Hal yang sama juga berlaku untuk
risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain, hanya saja ditujukan langsung
kepada orang lain.
Perilaku kekerasan didefinisikan sebagai suatu keadaan hilangnya
kendala perilaku seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau
lingkungan. Perilaku kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri,
untuk membunuh diri atau membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri.
Perilaku kekerasan pada orang adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk
melukai atau membunuh orang lain. Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat
berupa perilaku merusak lingkungan, melempar kaca, genting dan semua yang
ada di lingkungan.
2. Respons Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan didefinisikan sebagai bagian dari rentang respons
marah yang paling maladaptif, yaitu amuk. Amuk merupakan respons
kemarahan yang paling maladaptif yang ditandai dengan perasaan marah dan
bermusuhan yang kuat dan merupakan bentuk perilaku destruktif yang tidak
dapat dikontrol (Yosep, 2009). Hal ini disertai dengan hilangnya kontrol
dimana individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, atau lingkungan.
Menurut Purwato (2015) Rentang respons kemarahan yang berfluktuasi
sepanjang respons adaptif dan maladaptif:

Respons adaptif Respons Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Perilaku Kekerasan

a. Perilaku Asertif merupakan perilaku individu yang mampu menyatakan


atau mengungkapkan rasa marah atau tidak setuju tanpa menyakiti atau
meyalahkan orang lain.
b. Frustasi merupakan respons yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan.
c. Perilaku Pasif merupakan perilaku individu yang tidak mampu
mengungkapkan perasaan marah yang dialami bertujuan untuk
menghindari suatu tuntutan nyata.
d. Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah, dorongan mental
untuk berindak dan masih terkontrol.
e. Violent (amuk) adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat dan disertai
kehilangan kontrol, yang dapat merusak diri dan lingkungan.
3. Pengkajian Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang, baik secara fisik maupun psikologis. Perilaku kekerasan
dapat dilakukan secara verbal yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan
llingkungan. Perilaku kekerasan mengacu pada dua bentuk, yaitu perilaku
kekerasan saat sedang berlangsung atau perilaku kekerasan terdahulu (riwayat
perilaku kekerasan).
a. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart (2013), masalah perilaku kekerasan dapat disebabkan
oleh adanya faktor predisposisi (faktor yang melatarbelakangi) munculnya
masalah dan faktor presipitasi (faktor yang memicu adanya masalah).
Didalam faktor predisposisi, terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan tejadinya masalah perilaku kekerasan, seperti faktor biologis,
psikologis dan sosiokultural.
1) Faktor Biologis
a) Teori dorongan naluri (Instinctual drive theory)
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh
suatu dorongan kebutuhan dasar yang kuat.
b) Teori psikomatik (Psycomatic theory)
Pengalaman marah dapat diakibatkan oleh respons psikologi
terhadap stimulus eksternal maupun intenal. Sehingga, sistem limbik
memiliki peran sebagai pusat untuk mengekspresikan maupun
menghambat rasa marah.
2) Faktor Psikologis
a) Teori Agresif Frustasi (Frustassion Aggresion theory)
Teori ini menerjemahkan perilaku kekerasan terjadi sebagai
hasil akumulasi frustasi. Hal ini dapat terjadi apabila keinginan indiidu
untuk mencapai sesuatu gagal atau terhambat. Keadaan frustasi dapat
mendorong indiidu untuk berperilaku agresif karena perasaan frustasi
akan bekurang melalui perilaku kekerasan.
b) Teori Perilaku (Behaviororal theory)
Kemarahan merupakan bagian dari proses belajar. Hal ini dapat
dicapai apabila tersedia fasilitas atau situasi yang mendukung.
Reinforcement yang diterima saat melakukan kekerasan sering
menimbulkan kekerasan didalam maupun diluar rumah.
c) Teori Eksistensi (Existential theory)
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah bertindak sesuai
perilaku. Apabila kebutuhan tersebut tidak dipenuhi melalui perilaku
konstruktif, maka indiidu akan memenuhi kebutuhannya melalui
perilaku destruktif.
3) Faktor soisal budaya
Menurut Iyus Yosep (2011), Social-Learning Theory, Teori yang
dikembangkan oleh Bundara (1977) ini mengemukakan bahwa agresi
tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat dipelajari
melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan
penguatan maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi
seseorang akan berespon terhadap kebangkitan emosionalnya secara
agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Pembelajaran ini bisa
internal dan eksternal. Contoh internal: orang yang mengalami
keterbangkitan seksual karena menonton film erotis menjadi lebih agresif
dibandingkan mereka yang tidak menonton film tersebut; seorang anak
yang marah karena tidak boleh beli es kemudian ibunya memberinya es
agar si anak berhenti marah, anak tersebut akan belajar bahwa bila ia
marah maka ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Contoh
eksternal: seorang anak menunjukkan perilaku agresif setelah melihat
seorang dewasa mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif
terhadap sebuah boneka.
Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya
norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat
diterima atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu individu
untuk mengekspresikan marah dengan cara yang asertif.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi ini berhubungan dengan pengaruh stressor yang
mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap indiidu. Stresor dapat
disebabkan dari luar maupun dari dalam. Stresor yang berasal dari luar
dapat berupa serangan fisik, kehilangan, kematian, dan lain-lain. Stresor
yang berasal dari dalam dapat berupa, kehilangan keluarga atau sahabat
yang dicintai, ketakutan terhadap penyakit fisik, penyakit dalam, dan lain-
lain. Selain itu, lingkungan yang kurang kondusif, seperti penuh
penghinaan, tindak kekerasan, dapat memicu perilaku kekerasan.
4. Faktor Risiko Perilaku Kekerasan
NANDA (2016) menyatakan faktor-faktor risiko dari risiko perilaku
kekerasan terhadap diri sendiri (risk for self directed violence) dan risiko
perilaku kekerasan terhadap orang lain (risk for other-directed violence).
1) Risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri (risk for self-directed
violence)
1) Usia ≥ 45 tahun
2) Usia 15-19 tahun
3) Isyarat tingkah laku (menulis catatan cinta yang sedih, menyatakan pesan
bernada kemarahan kepada orang tertentu yang telah menolak individu
tersebut, dll)
4) Konflik mengenai orientasi seksual
5) Konflik dalam hubungan interpersonal
6) Pengangguran atau kehilangan pekerjaan (masalah pekerjaan)
7) Terlibat dalam tindakan seksual autoerotik
8) Sumber daya personal yang tidak memadai
9) Status perkawinan (sendiri, menjanda, bercerai)
10) Isu kesehatan mental (depresi, psikosis, gangguan kepribadian)
11) Pekerjaan (profesional, eksekutif, administrator atau pemilik bisnis, dll)
12) Pola kesulitan dalam keluarga (riwayat bunuh diri, sesuatu yang bersifat
kekerasan atau konfliktual)
13) Gangguan psikologis
14) Isolasi sosial
15) Rencana bunuh diri
16) Isyarat verbal (membicarakan kematian, menanyakan tentang dosis
mematikan suatu obat,dll)
b. Risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain (risk for other-directed
violence)
1) Akses atau ketersediaan senjata
2) Alterasi (gangguan) fungsi kognitif
3) Perlakuan kejam terhadap binatang
4) Riwayat kekerasan masa kecil, baik secara fisik, psikologis maupun
seksual
5) Riwayat menyaksikan kekerasan dalam keluarga
6) Gangguan neurologis (trauma kepala, gangguan rangsangan, kejang,dll)
7) Pola perilaku kekerasan terhadap orang lain (menendang, upaya
perkosaan, memperkosa, pelecehan seksual,mengencingi orang lain,
memukul,dll)
8) Pola ancaman kekerasan (ancaman secara verbal terhadap objek atu
orang lain, menyumpah serapah, ancaman seksual,dll)
9) Pola perilaku kekerasan anti sosial (mencuri, meminjam dengan maksa,
penolakan terhadap medikasi, dll)
5. Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan
a. Data subjektif
a. Ungkapan berupa ancaman
b. Ungkapan kata-kata kasar
c. Ungkapan ingin memukul/ melukai
b. Data objektif
1) Wajah memerah dan tegang
2) Pandangan tajam
3) Mengatupkan rahang dengan kuat
4) Mengepalkan tangan
5) Bicara kasar
6) Suara tinggi, menjerit atau berteriak
7) Mondar mandir
8) Melempar atau memukul benda/ orang lain
6. Mekanisme Koping Perilaku Kekerasan
Perawat perlu mempelajari mekanisme koping untuk membantu klien
mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam mengekspresikan
marahnya. Secara umum, mekanisme koping yang sering digunakan, antara
lain mekanisme pertahanan ego, seperti displacement, sublimasi, proyeksi,
depresi, denial dan reaksi formasi.
7. Peran Perawat dalam Perilaku Kekerasan
Menurut Yosep (2011), peran perawat dalam perilaku kekerasan yaitu
sebagai seorang perawat yang harus berjaga-jaga terhadap adanya peningkatan
agitasi pada klien, hirarki perilaku agresif dan kekerasan. Disamping itu,
perawat harus mengkaji pula afek yang berhubungan dengan perilaku agresif.
a. Kelengkapan pengkajian dapat membantu perawat:
b. Membangun hubungan yang terapeutik dengan klien
c. Mengkaji perilaku klien yang berpotensial kekerasan
d. Mengembangkan suatu perencanaan
e. Mengimplementasikan perencanaan
f. Mencegah perilaku agresif dan kekerasan dengan terapi milleu.
Bila klien dianggap hendak melakukan kekerasan, maka perawat harus:
a. Melaksanakan prosedur klinik yang sesuai untuk melindungi klien dan
tenaga kesehatan
b. Beritahu ketua tim
c. Bila perlu, minta bantuan keamanan
d. Kaji lingkungan dan buat perubahan yang perlu
e. Beritahu dokter dan kaji PRN untuk pemberian obat.
Perilaku yang berhubungan dengan agresi:
a. Agitasi motoric: bergerak cepat, tidak mampu duduk diam, memukul
dengan tinju kuat, mengapit kuat, respirasi meningkat, membentuk aktivitas
motoric tiba-tiba (katatonia).
b. Verbal: mengancam pada objek yang tidak nyata, mengacau minta
perhatian, bicara keras-keras, menunjukkan adanya delusi atau pikiran
paranoid.
c. Afek: marah, permusuhan, kecemasan yang ekstrim, mudah terangsang,
euphoria tidak sesuai atau berlebihan, afek labil.
d. Tingkat kesadaran: bingung, status mental berubah tiba-tiba, disorientasi,
kerusakan memori, tidak mampu dialihkan.
Perawat dapat mengimplementasikan berbagai intervensi untuk
mencegah dan memenej perilaku agresif. Intervensi dapat melalui rentang
intervensi keperawatan.

Strategi preventif Strategi antisipatif Strategi pengurungan

Kesadaran diri Komunikasi Manajemen krisis


Pendidikan klien Perubahan lingkungan Seclusion
Latihan asertif Tindakan perilaku restrains
psikofarmakologi

1. Kesadaran diri
Perawat harus menyadari bahwa stress yang dihadapinya dapat
memperngaruhi komunikasinya dengan klien. Bila perawat tersebut merasa
letih, cemas, marah, atau apatis makaakan sulit baginya untuk membuat
klien tertarik. Oleh karenanya, bila perawat itu sendiri dipenuhi dengan
masalah, maka energi yang dimilikinya bagi klien menjadi berkurang.
Untuk mencegah semua itu, maka perawat harus terus menerus
meningkatkan kesadaran dirinya dan melakukan supervise dengan
memisahkan antara masalah pribadi dan masalah klien.
2. Pendidikan klien
Pendidikan yang diberikan mengenai cra berkomunikasi dan cara
mengekspresikan marah tepat. Banyak klien yang mengalami kesulitan
mengekspresikan perasaannya, kebutuhan, Hasrat, dan bahkan kesulitan
mengkomunikasian semua ini kepada orang lain. Jadi dengan perawat
berkomunikasi diharapkan agar klien mau mengekspresikan perasaannya,
lalu perawat menilai apakah respon yang diberikan klien adaptif atau
maladaptive.
3. Latihan asertif
Kemampuan dasar interpersonal yang harus dimiliki perawat:
a. Berkomunikasi secara langsung dengan setiap orang
b. Mengatakan tidak untuk sesuatu yang tidak beralasan
c. Sanggup melakukan complain
d. Mengekspresikan penghargaan dengan tepat.
4. Komunikasi
Strategi berkomunikasi dengan klien perilaku agresif:
a. Bersikap tenang
b. Bicara lembut
c. Bicara tidak dengan cara menghakimi
d. bicara netral dan dengan cara yang konkrit
e. tunjukkan respek pada klien
f. hindari intensitas kontak mata langsung
g. fasilitasi pembicaraan klien
h. dengarkan klien
i. jangan terburu-buru menginterpretasikan
j. jangan buat janji yang tidak dapat perawat tepati.
5. Perubahan lingkungan
Unit perawatan sebaiknya menyediakan berbagai aktivitas seperti:
membaca, grup program yang dapat mengurangi perilaku klien yang tidak
sesuai dan meningkatkan adaptasi sosialnya.
6. Tindakan perilaku
Pada dasarnya membuat kontrak dengan klien mengenai perilaku yang
dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, konsekuensi yang dapat bila
kontrak dilanggar, dan apa saja kontribusi perawat selama perawatan.
7. Psikofarmakologi
a. Antianxiety dan sedative-Hipnotics. Obat-obatan ini dapatmengendalikan
agitasi yang akut. Benzodiazepines seperti Lorazepam dan Clonazepam,
sering digunakan dalam kedaruratan psikiatrik untuk menenagkan
perlawanan klien. Tapi obat ini tidak direkomandasikan untuk
penggunaan dalam waktu lama karena dapat menyebabkan kebingungan
dan ketergantungan, juga bisa memperburuk simpthom depresi.
Selanjutnya, pada beberapa klien yang mengalami disinhibitingeffect dari
benzodiazepines, dapat mengkaibatkan peningkatan perilaku kekerasan
yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi. Ini ditunjukkan dengan
menurunnya perilaku agresif dan agitasi klien dengancedera kepala,
demensia, dan develop-mental disability.
b. Antidepressants, penggunaan obat ini mampu mengontrol implusif dan
perilaku agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood.
Amitriptyline dan Trazodone, efektif untuk menghilangkan agresivitas
yang berhubungan dengan cedera kepala dan gangguan mental organic.
c. Mood Stabilizers, penelitian menujukkan bahwa pemberia Lithium efektif
untuk agresif karena manik. Pada beberapa kasus, pemberiannya untuk
menurunkan perilaku agresif yang disebabkan oleh gangguan lain seperti
RM, cedera kepala, skizofrenia, gangguan kepribadian. Pada klien
dengan epilepsi lobus temporal, bisa meningkatkan perilaku agresif.
d. Pemberian Carbamazepines dapat mengendalikan perilaku agresif pada
klien dengan kelainan EEGs (elelctroencephalograms).
e. Antipsychotic, obat-obatan ini biasanya dipergunakan untuk perawatan
perilaku agresif. Bila agitasi terjadi karena delusi, halusinasi, atau
psikotik lainnya, maka pemberian obat ini dapat membantu, namun
diberikan hanya untuk 1-2 minggu sebelum efeknya dirasakan.
f. Medikasi lainnya, banyak kasus menunjukkan bahwa pemberian
Naltrexone (antagonis opiate), dapat menurunkan perilaku mencederai
diri. Betablockers seperti propranolol dapat menurunkan perilaku
kekerasan pada anak da pada klien dengan gangguan mental organic.
g. Manajemen Krisis
Bila pada waktu intervensi awal tidak berhasil, maka diperlukan
intervensi yang lebih aktif. Prosedur penanganan kedaruratan psikiatrik:
1. Identifikasi pemimpin tim krisis. Sebaiknya dari perawat karena yang
bertanggung jawab selama 24 jam.
2. Bentuk tim krisis. Meliputi, dokter, perawat, dan konselor.
3. Beritahu petugas keamanan jika perlu. Ketua tim harus menjelaskan
apa saja yang menjadi tugasnya selama penanganan klien.
4. Jauhkan klien lain dari lingkungan.
5. Lakukan pengekangan, jika memungkinkan.
6. Pikirkan suatu rencana penanganan krisis dan beritahu tim.
7. Tugaskan anggota tim untuk mengamankan anggota tubuh klien.
8. Pengekangan klien jika diminta oleh ketua tim krisis. Ketua tim harus
segera mengkaji situasi lingkungan sekitas untuk tetap melindungi
keselamatan klien dan timnya.
9. Berikan obat jika di intruksikan.
10. Pertahankan pendekatan yang tenang dan konsisten terhadap klien.
11. Tinjau kembali intervensi penanganan krisis dengan tim krisi.
12. Secara bertahap mengintegrasikan kembali kien dengan lingkungan.
h. Seclusion
Merupakan tindakan keperawatan yang terakhir. Ada dua macam,
pengekangan fisik secara mekanik (menggunakan manset, sprei
pengekang) atau isolasi (menempatkan klien dalam suatu ruangan
dimana klien tidak dapat keluar atas kemauannya sendiri).
Jenis pengekangan mekanik:
1. Camisoles (jaket pengekang)
2. Manset untuk pergelagan tangan
3. Manset untuk pergelangan kaki
4. Manggunakan sprei

Indikasi pengekangan:
1. Perilaku amuk yang membahayakan diri sendiri atau orang lain
2. Perilaku agitasi yang tidak dapat dikendalikan dengan pengobatan
3. Ancaman terhadap integritas fisik yang berhubungan dengan
penolakan klien untuk beristirahat, makan, dan minum.
4. Permintaan klien untuk pengendalian perilaku eksternal. Pastikan
tindakan ini telah dikaji dan berindikasi terapeutik.
i. Restain
Tujuan tindakan keperawatan adalah memonitor alat restrain
mekanik atau restrain manual terhadap pergerakan klien. Dapatkan ijin
dokter bila diharuskan karena kebijakan institusi.
j. Isolasi
Adalah menempatkan klien dalam suatu ruanagn dimana klien
tidka dapat keluar atau kemauannya sendiri. Tingkatan pengisolasian
dapat berkisar dari penempatan dalam ruangan yang tertutup tapi tidak
terkunci sampai pada penempatan dalam ruang terkunci dengan Kasur
tanpa sprei di lantai.
Indikasi penggunaan:
1. Pengendalian perilaku amuk yang potensial membahayakan klien
atau oranglain dan tidak dapat dikendalikan oleh orang lain dengan
intervensi pengendalian yang longgar, seperti kontak interpersonal
atau pengobatan
2. Reduksi stimulus lingkungan, terutama jika diminta oleh klien
Kontraindikasi:
1. Kebutuhan untuk pengamatan maslah medik
2. Risiko tinggi untuk bunuh diri
3. Potensial tiak dapat mentoleransi deprivasi sensori
4. Hukuman.
BAB III
TINJAUAN KASUS

Kasus: Resiko Perilaku Kekerasan


Tn.F berusia 24 tahun di bawa ke RSJ menurut keluarga 3 hari
yang lalu klien mengamuk dan mencekik ayahnya. Saat dilakukan pengkajian
oleh perawat, klien mengatakan tidak merasakan apapun hanya merasa batuk
dan malas.
Klien mengatakan kecewa dan kesal dengan keluarganya karena sudah
membohongi klien, yang berjanji akan membawa klien berjalan-jalan malah
membawa klien ke RSJ. Tampak mata tajam dan tangan mengepal. Klien
mengatakan saat SMA klien pernah melakukan tindakan tawuran bersama teman
– teman geng nya, dan Tn. F sempat mengalami luka ringan di bagian
kepala akibat terkena lemparan batu.
Ketika dikaji, Tn. F mengatakan bahwa dirinya tidak sakit jiwa,
hanya mengatakan beberapa waktu yang lalu juga klien pernah di rawat di
sini dan di ruang yang sama. Dokter mendiagnosa Tn. F schizophrenia
hebrefenik.
Menurut keluarganya, Tn. F memiliki riwayat menggunakan sabu, pil, gele
sudah sejak SMP dan memiliki kebiasaan minum-minuman keras. Ibunya
mengatakan jika ayahnya sering mendidik Tn. F dengan kekerasan, jika ada
hal yang tidak sesuai dengan keinginan ayahnya. Sejak 1 tahun yang lalu
Tn. F sempat di rawat di RSJ dengan keluhan yang sama yakni mengamuk.
Lalu, 3 bulan yang lalu menurut keluarga Tn. F menolak minum obat karena
malas dan bosan jika harus terus meminim obat yang di berikan dari rumah sakit
ini.
BAB IV

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Perilaku kekerasan adalah salah satu respon terhadap stressor yang dihadapi
oleh seseorang yang ditunjukkan dengan perilaku kekerasan baik pada diri sendiri
atau orang lain dan lingkungan baik secara verbal maupun non verbal. Perilaku
kekerasan dilakukan karena ketidakmampuan dalam melakukan koping terhadap
stres, ketidakpahaman terhadap situasi sosial, tidak mampu untuk
mengidentifikasi stimulus yang dihadapi, dan tidak mampu mengontrol dorongan
untuk melakukan perilaku kekerasan.
Rentang respons pada perilaku kekerasan diantaranya; asertif, frustasi, pasif,
agresif dan perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan bisa disertai dengan amuk,
yang bisa melukai dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan.
B. Saran
Diharapkan setelah diberikan materi, mahasiwa dapat mengerti dan
memahami mengenai gangguan resiko perilaku kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA

Purwanto, Teguh. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.
Rubesa, G., Gudelj, L., & Kubinska, N. (2011). Etiology of schizophrenia and
therapeutic options. Psychiatria Danubina, 23(3), 308-315.
Scharko, A. M. (2011). The infection hypothesis of schizophrenia: a systematic
review. Journal of Behavioral and Brain Science, 1, 47- 56. doi:
10.4236/jbbs.2011.12007.
Shives, L. R. (2012). Basic concepts of psychiatric-mental health nursing (8th
ed.). Philadelphia, PA: Wolters Kluwer Health and Lippincott Williams &
Wilkins.
Sutejo. (2017). Kepeawatan Jiwa. Yogyakarta: Pustaka Baru Press
Taylor, D. L. & Stuart, G. W. (2016). Respons terhadap bahan kimia dan
gangguan terkait penyalahgunaan obat. Dalam G. W. Stuart (Eds.). Prinsip
dan praktik keperawatan kesehatan jiwa. Singapore: Elsevier.
Yosep, Iyus. (2011). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT. Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai