Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA PASIEN

DENGAN HALUSINASI

Dosen Pengampu: Ns. Siti Istiqomah

Disusun Oleh Kelompok II :


1. Lusiana Rahel B1812412401
2. Melya Kristin B1812612601
3. Munawir B1812812801
4. Penina Hunitetu B1813113101
5. Rakhmat Fauzie B1813313301
6. Romaida Haloho B1813613601
7. Samsuriana B1813813801
8. Selfi Tandi B1814014001
9. Sri Amawati B1814214201
10. Sulastri B1814414401
11. Verawati A. Hutajulu B1814614601

STIKES WIYATA HUSADA


SAMARINDA
2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala puji dan
rahmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan Asuhan Keperawatan Jiwa yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien Dengan Halusinasi” yang
merupakan salah satu pemenuhan tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar dalam penyusunan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak guna
menyempurnakan makalah ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca pada umumnya dan mahasiswa keperawatan pada khususnya.

Balikpapan, 11 Oktober 2019

Kelompok II
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................

1. Latar Belakang.................................................................................

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................

1. Konsep Dasar Halusinasi ...............................................................

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi ............................

BAB III Asuhan Keperawatan ........................................................................

3.1 Kesimpulan .................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

LAMPIRAN ...................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami
oleh pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus yang nyata
Keliat, (2011) dalam Zelika, (2015). Sedangkan Menurut WHO, kesehatan
jiwa bukan hanya tidak ada gangguan jiwa, melainkan mengandung berbagai
karakteristik yang positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan
kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadiannya.
Data dari Departemen Kesehatan tahun 2009, jumlah penderita gangguan
jiwa di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 28 juta orang, dengan kategori
gangguan jiwa ringan 11,6 persen dan 0,46 persen menderita gangguan jiwa
berat. Hasil penelitian WHO di Jawa Tengah tahun 2009 menyebutkan dari
setiap 1.000 warga Jawa Tengah terdapat 3 orang yang mengalami gangguan
jiwa. Sementara 19 orang dari setiap 1.000 warga Jawa Tengah mengalami
stress Depkes RI, (2009) dalam Zelika, (2015). Data kunjungan rawat inap
Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta pada bulan Januari - April 2013 didapat
785 orang.
Pasien dengan halusinasi menempati urutan pertama dengan angka kejadian
44 persen atau berjumlah 345 orang, pasien isolasi sosial menempati urutan
kedua dengan angka kejadian 22 persen atau berjumlah pasien 173 orang,
pasien dengan resiko perilaku kekerasan menempati urutan ketiga dengan
angka kejadian 18 persen atau berjumlah pasien 141 orang pasien, pasien
dengan harga diri rendah menempati urutan keempat dengan angka kejadian
12 persen atau berjumlah 94 orang, sedangkan pasien dengan waham, defisit
perawatan diri 4 persen atau 32 orang Zelika, 2015.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas dan sebagai tugas untuk
memahami keperawatan jiwa yang harus dikuasai 5 kompone salah satunya
halusinasi, maka kelompok di berikan tugas untuk membahas masalah
gangguan jiwa dengan halusinasi. Oleh karena itu kelompok diberikan tugas
dalam bentuk makalah yang berjudul Laporan Pendahuluan, Asuhan
Keperawatan dan Strategi Pelaksanaan 1 pada Kasus Halusinasi
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang
dialami oleh pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus yang
nyata Keliat, (2011) dalam Zelika, (2015). Halusinasi adalah persepsi
sensori yang salah atau pengalaman persepsi yang tidak sesuai dengan
kenyataan Sheila L Vidheak,( 2001) dalam Darmaja (2014).
Menurut Surya, (2011) dalam Pambayung (2015) halusinasi adalah
hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal
(pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Halusinasi adalah persepsi
atau tanggapan dari pancaindera tanpa adanya rangsangan (stimulus)
eksternal (Stuart & Laraia, 2001).Halusinasi merupakan gangguan persepsi
dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, yang dimaksud dengan
halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dimana klien mempersepsikan
sesuatu melalui panca indera tanpa ada stimulus eksternal. Halusinasi
berbeda dengan ilusi, dimana klien mengalami persepsi yang salah terhadap
stimulus, salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus
eksternal yang terjadi, stimulus internal dipersepsikan sebagai sesuatu yang
nyata ada oleh klien.

B. Etiologi
Menurut Stuart dan Laraia (2001) dalam Pambayun (2015), faktor-
faktor yang menyebabkan klien gangguan jiwa mengalami halusinasi adalah
sebagai berikut :
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor genetis
Secara genetis, skizofrenia diturunkan melalui kromosom-
kromosom tertentu. Namun demikian, kromosom ke berapa yang
menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam
tahap penelitian. Anak kembar identik memiliki kemungkinan
mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami
skizofrenia, sementara jika dizigote, peluangnya sebesar 15%.
Seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia
berpeluang 15% mengalami skizofrenia, sementara bila kedua orang
tuanya skizofrenia maka peluangnya menjadi 35%.
b. Faktor neurobiologis
Klien skizofrenia mengalami penurunan volume dan fungsi otak
yang abnormal. Neurotransmitter juga ditemukan tidak normal,
khususnya dopamin, serotonin, dan glutamat.
1) Studi neurotransmitter
Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya
ketidakseimbangan neurotransmitter. Dopamin berlebihan, tidak
seimbang dengan kadar serotonin.
2) Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ketiga kehamilan dapat
menjadi faktor predisposisi skizofrenia.
3) Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi
skizofrenia antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang
pencemas, terlalu melindungi, dingin, dan tak berperasaan,
sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya.
2. Faktor Presipitasi
1) Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang menerima dan
memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
2) Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.
3) Kondisi kesehatan, meliputi : nutrisi kurang, kurang tidur,
ketidakseimbangan irama sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obat
sistem syaraf pusat, kurangnya latihan, hambatan untuk menjangkau
pelayanan kesehatan.
4) Lingkungan, meliputi : lingkungan yang memusuhi, krisis masalah di
rumah tangga, kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan
hidup, pola aktivitas sehari-hari, kesukaran dalam hubungan dengan
orang lain, isolasi social, kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja,
kurang ketrampilan dalam bekerja, stigmatisasi, kemiskinan,
ketidakmampuan mendapat pekerjaan.
5) Sikap/perilaku, meliputi : merasa tidak mampu, harga diri rendah,
putus asa, tidak percaya diri, merasa gagal, kehilangan kendali diri,
merasa punya kekuatan berlebihan, merasa malang, bertindak tidak
seperti orang lain dari segi usia maupun kebudayaan, rendahnya
kernampuan sosialisasi, perilaku agresif, ketidakadekuatan
pengobatan, ketidakadekuatan penanganan gejala.

C. Rentang Respon Halusinasi


Halusinasi merupakan salah satu respon maldaptive individual yang
berbeda rentang respon neurobiologi (Stuart and Laraia, 2005) dalam
Yusalia 2015. Ini merupakan persepsi maladaptive. Jika klien yang sehat
persepsinya akurat, mampu mengidentifisikan dan menginterpretasikan
stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera
(pendengaran, pengelihatan, penciuman, pengecapan dan perabaan) klien
halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun stimulus
tersebut tidak ada.Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu
yang karena suatu hal mengalami kelainan persensif yaitu salah
mempersepsikan stimulus yang diterimanya, yang tersebut sebagai ilusi.
Klien mengalami jika interpresentasi yang dilakukan terhadap stimulus
panca indera tidak sesuai stimulus yang diterimanya,rentang respon tersebut
sebagai berikut:
Respon adaptif Respon maladaptif

 Pikiran logis  Kadang-  Waham


 Persepsi akurat kadang proses  Halusinasi
pikir terganggu  Sulit berespons
 Emosi (distorsi  Perilaku
konsisten pikiran disorganisasi
dengan  Ilusi  Isolasi sosial
pengalaman  Menarik diri
 Perilaku sesuai  Reaksi emosi
 Hubungan >/<
sosial harmonis  Perilaku tidak
biasa

D. Jenis Halusinasi
Menurut Stuart (2007) dalam Yusalia (2015), jenis halusinasi antara lain:
1. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70 %
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara
orang, biasanya klien mendengar suara orang yang sedang
membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan
untuk melakukan sesuatu.
2. Halusinasi penglihatan (visual) 20 %
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk
pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau
panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan
atau menakutkan.
3. Halusinasi penghidu (olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang
menjijikkan seperti: darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu
bau harum.Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan
dementia.
4. Halusinasi peraba (tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa
stimulus yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari
tanah, benda mati atau orang lain.
5. Halusinasi pengecap (gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan
menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
6. Halusinasi cenesthetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah
mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan
urine.
7. Halusinasi kinesthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

E. Tanda Gejala
Beberapa tanda dan gejala perilaku halusinasi adalah tersenyum
atautertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibir tanpa suara,
bicarasendiri,pergerakan mata cepat, diam, asyik dengan
pengalamansensori,kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan
realitas rentangperhatian yang menyempit hanya beberapa detik atau menit,
kesukaranberhubungan dengan orang lain, tidak mampu merawat
diri,perubahan
Berikut tanda dan gejala menurut jenis halusinasi Stuart & Sudden,
(1998) dalam Yusalia (2015).
Jenis halusinasi Karakteriostik tanda dan gejala
Pendengaran Mendengar suara-suara / kebisingan,
paling sering suara kata yang jelas,
berbicara dengan klien bahkan sampai
percakapan lengkap antara dua orang yang
mengalami halusinasi. Pikiran yang
terdengar jelas dimana klien mendengar
perkataan bahwa pasien disuruh untuk
melakukan sesuatu kadang-kadang dapat
membahayakan.

Penglihatan Stimulus penglihatan dalam kilatan


cahaya, gambar giometris, gambar karton
dan atau panorama yang luas dan
komplek. Penglihatan dapat berupa
sesuatu yang menyenangkan /sesuatu
yang menakutkan seperti monster.

Penciuman Membau bau-bau seperti bau darah, urine,


fases umumnya baubau yang tidak
menyenangkan. Halusinasi penciuman
biasanya sering akibat stroke, tumor,
kejang / dernentia.

Pengecapan Merasa mengecap rasa seperti rasa darah,


urine, fases.

Perabaan Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan


tanpa stimulus yang jelas rasa tersetrum
listrik yang datang dari tanah, benda mati
atau orang lain.

Merasakan fungsi tubuh seperti aliran


Sinestetik darah divera (arteri), pencernaan
makanan.

Kinestetik Merasakan pergerakan sementara berdiri


tanpa bergerak

F. Fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien bisa berbeda intensitas dan
keparahannya Stuart & Sundeen, (2006) dalam Bagus, (2014), membagi
fase halusinasi dalam 4 fase berdasarkan tingkat ansietas yang dialami dan
kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase halusinasi,
klien semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh
halusinasinya.
Fase halusinasi Karakteristik Perilaku pasien

1 2 3

Fase 1 : Comforting- Klien mengalami keadaan emosi Menyeringai atau tertawa


ansietas tingkat seperti ansietas, kesepian, rasa yang tidak sesuai,
sedang, secara umum, bersalah, dan takut serta menggerakkan bibir tanpa
halusinasi bersifat mencoba untuk berfokus pada menimbulkan suara,
menyenangkan penenangan pikiran untuk pergerakan mata yang
mengurangi ansietas. Individu cepat, respon verbal yang
mengetahui bahwa pikiran dan lambat, diam dan dipenuhi
pengalaman sensori yang oleh sesuatu yang
dialaminya tersebut dapat mengasyikkan.
dikendalikan jika ansietasnya
bias diatasi

(Non psikotik)

Fase II: Condemning- Pengalaman sensori bersifat Peningkatan sistem syaraf


ansietas tingkat berat, menjijikkan dan menakutkan, otonom yang
secara umum, klien mulai lepas kendali dan menunjukkan ansietas,
mungkin mencoba untuk seperti peningkatan nadi,
menjauhkan dirinya dengan pernafasan, dan tekanan
halusinasi menjadi sumber yang dipersepsikan. darah; penyempitan
menjijikkan Klien mungkin merasa malu kemampuan konsentrasi,
karena pengalaman sensorinya dipenuhi dengan
dan menarik diri dari orang lain. pengalaman sensori dan
kehilangan kemampuan
(Psikotik ringan) membedakan antara
halusinasi dengan realita.

Fase III: Controlling- Klien berhenti menghentikan Cenderung mengikuti


ansietas tingkat berat, perlawanan terhadap halusinasi petunjuk yang diberikan
pengalaman sensori dan menyerah pada halusinasi halusinasinya daripada
menjadi berkuasa tersebut. Isi halusinasi menjadi menolaknya, kesukaran
menarik, dapat berupa berhubungan dengan
permohonan. Klien mungkin orang lain, rentang
mengalarni kesepian jika perhatian hanya beberapa
pengalaman sensori tersebut detik atau menit, adanya
berakhir. (Psikotik) tanda-tanda fisik ansietas
berat : berkeringat, tremor,
tidak mampu mengikuti
petunjuk.

Fase IV: Conquering Pengalaman sensori menjadi Perilaku menyerang-teror


mengancam dan menakutkan seperti panik, berpotensi
Panik, umumnya jika klien tidak mengikuti kuat melakukan bunuh diri
halusinasi menjadi perintah. Halusinasi bisa atau membunuh orang
lebih rumit, melebur berlangsung dalam beberapa jam lain, Aktivitas fisik yang
dalam halusinasinya atau hari jika tidak ada intervensi merefleksikan isi
terapeutik. halusinasi seperti amuk,
agitasi, menarik diri, atau
(Psikotik Berat) katatonia, tidak mampu
berespon terhadap
perintah yang kompleks,
tidak mampu berespon
terhadap lebih dari satu
orang.

G. Penatalaksanaan Medis
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), tindakan
keperawatan untuk membantu klien mengatasi halusinasinya dimulai
dengan membina hubungan saling percaya dengan klien. Hubungan saling
percaya sangat penting dijalin sebelum mengintervensi klien lebih lanjut.
Pertama-tama klien harus difasilitasi untuk merasa nyaman menceritakan
pengalaman aneh halusinasinya agar informasi tentang halusinasi yang
dialami oleh klien dapat diceritakan secara konprehensif. Untuk itu perawat
harus memperkenalkan diri, membuat kontrak asuhan dengan klien bahwa
keberadaan perawat adalah betul-betul untuk membantu klien. Perawat juga
harus sabar, memperlihatkan penerimaan yang tulus, dan aktif mendengar
ungkapan klien saat menceritakan halusinasinya. Hindarkan menyalahkan
klien atau menertawakan klien walaupun pengalaman halusinasi yang
diceritakan aneh dan menggelikan bagi perawat. Perawat harus bisa
mengendalikan diri agar tetap terapeutik.
Setelah hubungan saling percaya terjalin, intervensi keperawatan
selanjutnya adalah membantu klien mengenali halusinasinya (tentang isi
halusinasi, waktu, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang
menyebabkan munculnya halusinasi, dan perasaan klien saat halusinasi
muncul). Setelah klien menyadari bahwa halusinasi yang dialaminya adalah
masalah yang harus diatasi, maka selanjutnya klien perlu dilatih bagaimana
cara yang bisa dilakukan dan terbukti efektif mengatasi halusinasi. Proses
ini dimulai dengan mengkaji pengalaman klien mengatasi halusinasi. Bila
ada beberapa usaha yang klien lakukan untuk mengatasi halusinasi, perawat
perlu mendiskusikan efektifitas cara tersebut. Apabila cara tersebut efektif,
bisa diterapkan, sementara jika cara yang dilakukan tidak efektif perawat
dapat membantu dengan cara-cara baru.
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), ada beberapa cara
yang bisa dilatihkan kepada klien untuk mengontrol halusinasi, meliputi :
1. Menghardik halusinasi.
Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk mengatasinya, klien
harus berusaha melawan halusinasi yang dialaminya secara internal juga.
Klien dilatih untuk mengatakan, ”tidak mau dengar…, tidak mau lihat”.
Ini dianjurkan untuk dilakukan bila halusinasi muncul setiap saat. Bantu
pasien mengenal halusinasi, jelaskan cara-cara kontrol halusinasi,
ajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan cara pertama yaitu
menghardik halusinasi:
2. Menggunakan obat.
Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah akibat
ketidakseimbangan neurotransmiter di syaraf (dopamin, serotonin).
Untuk itu, klien perlu diberi penjelasan bagaimana kerja obat dapat
mengatasi halusinasi, serta bagairnana mengkonsumsi obat secara tepat
sehingga tujuan pengobatan tercapai secara optimal. Pendidikan
kesehatan dapat dilakukan dengan materi yang benar dalam pemberian
obat agar klien patuh untuk menjalankan pengobatan secara tuntas dan
teratur.
Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana penanganan
klien yang mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan keluarga.
Hal ini penting dilakukan dengan dua alasan. Pertama keluarga adalah
sistem di mana klien berasal. Pengaruh sikap keluarga akan sangat
menentukan kesehatan jiwa klien. Klien mungkin sudah mampu
mengatasi masalahnya, tetapi jika tidak didukung secara kuat, klien bisa
mengalami kegagalan, dan halusinasi bisa kambuh lagi. Alasan kedua,
halusinasi sebagai salah satu gejala psikosis bisa berlangsung lama
(kronis), sekalipun klien pulang ke rumah, mungkin masih mengalarni
halusinasi. Dengan mendidik keluarga tentang cara penanganan
halusinasi, diharapkan keluarga dapat menjadi terapis begitu klien
kembali ke rumah. Latih pasien menggunakan obat secara teratur:
Jenis-jenis obat yang biasa digunakan pada pasien halusinasi adalah:
a. Clorpromazine ( CPZ, Largactile ), Warna : Orange
Indikasi:
Untuk mensupresi gejala – gejala psikosa : agitasi, ansietas, ketegangan,
kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala – gejala lain yang
biasanya terdapat pada penderita skizofrenia, manik depresi, gangguan
personalitas, psikosa involution, psikosa masa kecil.
Cara pemberian:
Untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau suntikan
intramuskuler. Dosis permulaan adalah 25 – 100 mg dan diikuti
peningkatan dosis hingga mencapai 300 mg perhari. Dosis ini
dipertahankan selama satu minggu. Pemberian dapat dilakukan satu kali
pada malam hari atau dapat diberikan tiga kali sehari. Bila gejala psikosa
belum hilang, dosis dapat dinaikkan secara perlahan – lahan sampai 600
– 900 mg perhari.
Kontra indikasi:
Sebaiknya tidak diberikan kepada klien dengan keadaan koma,
keracunan alkohol, barbiturat, atau narkotika, dan penderita yang
hipersensitif terhadap derifat fenothiazine.
Efek samping:
Yang sering terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi orthostatik,
mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenore pada wanita,
hiperpireksia atau hipopireksia, gejala ekstrapiramida. Intoksikasinya
untuk penderita non psikosa dengan dosis yang tinggi menyebabkan
gejala penurunan kesadaran karena depresi susunan syaraf pusat,
hipotensi,ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan perubahan gambaran
irama EKG. Pada penderita psikosa jarang sekali menimbulkan
intoksikasi.
b. Haloperidol ( Haldol, Serenace ), Warna : Putih besar
Indikasi:
Yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilies de la tourette
pada anak – anak dan dewasa maupun pada gangguan perilaku yang berat
pada anak – anak.
Cara pemberian:
Dosis oral untuk dewasa 1 – 6 mg sehari yang terbagi menjadi 6 – 15 mg
untuk keadaan berat. Dosis parenteral untuk dewasa 2 -5 mg
intramuskuler setiap 1 – 8 jam, tergantung kebutuhan.
Kontra indikasi:
Depresi sistem syaraf pusat atau keadaan koma, penyakit parkinson,
hipersensitif terhadap haloperidol.
Efek samping:
Yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih, gelisah, gejala
ekstrapiramidal atau pseudoparkinson. Efek samping yang jarang adalah
nausea, diare, kostipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala gangguan
otonomik. Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi, reaksi
hematologis. Intoksikasinya adalah bila klien memakai dalam dosis
melebihi dosis terapeutik dapat timbul kelemahan otot atau kekakuan,
tremor, hipotensi, sedasi, koma, depresi pernapasan.
c. Trihexiphenidyl ( THP, Artane, Tremin ), Warna: Putih kecil
Indikasi:
Untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala
skizofrenia.
Cara pemberian:
Dosis dan cara pemberian untuk dosis awal sebaiknya rendah ( 12,5 mg
) diberikan tiap 2 minggu. Bila efek samping ringan, dosis ditingkatkan
25 mg dan interval pemberian diperpanjang 3 – 6 mg setiap kali suntikan,
tergantung dari respon klien. Bila pemberian melebihi 50 mg sekali
suntikan sebaiknya peningkatan perlahan – lahan.
Kontra indikasi:
Pada depresi susunan syaraf pusat yang hebat, hipersensitif terhadap
fluphenazine atau ada riwayat sensitif terhadap phenotiazine. Intoksikasi
biasanya terjadi gejala – gejala sesuai dengan efek samping yang hebat.
Pengobatan over dosis ; hentikan obat berikan terapi simtomatis dan
suportif, atasi hipotensi dengan levarteronol hindari menggunakan
ephineprine ISO, (2008) dalam Pambayun (2015).
3. Berinteraksi dengan orang lain.
Klien dianjurkan meningkatkan keterampilan hubungan sosialnya.
Dengan meningkatkan intensitas interaksi sosialnya, kilen akan dapat
memvalidasi persepsinya pada orang lain. Klien juga mengalami
peningkatan stimulus eksternal jika berhubungan dengan orang lain. Dua
hal ini akan mengurangi fokus perhatian klien terhadap stimulus internal
yang menjadi sumber halusinasinya. Latih pasien mengontrol halusinasi
dengan cara kedua yaitu bercakap-cakap dengan orang lain:
4. Beraktivitas secara teratur dengan menyusun kegiatan harian.
Kebanyakan halusinasi muncul akibat banyaknya waktu luang yang tidak
dimanfaatkan dengan baik oleh klien. Klien akhirnya asyik dengan
halusinasinya. Untuk itu, klien perlu dilatih menyusun rencana kegiatan
dari pagi sejak bangun pagi sampai malam menjelang tidur dengan
kegiatan yang bermanfaat. Perawat harus selalu memonitor pelaksanaan
kegiatan tersebut sehingga klien betul-betul tidak ada waktu lagi untuk
melamun tak terarah. Latih pasien mengontrol halusinasi dengan cara
ketiga, yaitu melaksanakan aktivitas terjadwal.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA PASIEN HALUSINASI

A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperawatan. Kegiatan perawatan dalam melakukan pengkajian
keperawatan ini dalah dengan mengkaji klien dan keluarga klien tentang
tanda gejalan serta factor penyebab, memfalidasi data dari klien
(kusumawati & Hartono, 2010)
Sedangkan Menurut keliat (2009) tahap pengkajian terdiri atas
pengumpulan data dan perumusan kebutuhan, atau masalah klien. Data yang
di kumpulkan meliputi biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.
Cara pengkajian lain berfokus pada 5 (lima) aspek, yaitu fisik,
emosional, intelektual, sosial dan spiritual (Yosep, 2011). Untuk dapat
menjaring data yang di perlukan, umumnya di kembangkan formulir
pengkajian dan petunjuk teknis pengkajian agar memudahkan dalam
pengkajian. Isi pengkajian meliputi : Identitas klien, keluhan utama atau
alasan masuk, faktor predisposisi, faktor presipitasi, pemicu tanda dan
gejala, hambatan.
Data pengkajian keperawatan jiwa dapat di kelompokan menjadi pengkajian
perilaku, faktor predisposisi, faktor resipitasi, penilaian terhadap setresor,
sumber koping dan kemampuan koping yang di miliki klien (Stuart, 2007).
Menurut Stuart (2007) data yang di peroleh dari pengkajian dapat
pula di kelopokan menjadi dua yaitu data subjektif dan data objektif yang
mana data di temukan secara nyata di peroleh mulai dari observasi atau
pemeriksaan langsung oleh perawat. Sadangkan data subjektif merupakan
data yang di sampaikan secara lisan baik oleh klien maupun dari keluarga
klien serta di peroleh melalui wawancara antara perawat dengan klien dan
keluarga.
Pengkajian di lakukan kelompok pada klien Ny.S pada tanggal 08
Oktober sampai tanggal 11 Oktober 2019 di ruang Punai RSJ Atma Husada
Samarinda. Berdasarkan hasil pengkajian di peroleh data klien datang ke
ruang Punai RSJD Atma Husada Samarinda pada tanggal 05 Oktober 2019
di antar oleh keluarganya untuk di rawat. Dari pengkajian data yang di
dapatkan data subjektif, keluarga klien mengatakan bahwa klien pada saat
di ruamh sering menyendiri, melamun, sering ngomong sendiri kalo malam
hari, kadang bicara ngelantur dan suka memberantakin rumah. Gejala ini
berlangsung pada tanggal 01 Oktober 2019 klien bertingkah laku tidak
seperti biasanya. Faktor predisposisi yang mendukung munculnya masalah
pada Ny. S yaitu keluarga klien mengatakan sudah 2x di rawat di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Samarinda pada bulan November 2015
tetapi proses penyembuhannya kurang maksimal karna tidak mengonsumsi
obat secara teratur dan lingkungan yang kadang membuat klien kambuh dari
penyakitnya. Faktor presipitasi yang terjadi pada klien yaitu kepikiran
anaknya yang akan masuk kuliah karna faktor ekonomi dan ada masalah
dengan suaminya. Halusinasi merupakan hilangnya kemampuan manusia
dalam membedakan rangsangan intelektual (pikiran) dan rangsangan
eksternal perubahan sensori persepsi : merupakan sensasi palsu berupa
penglihatan, pengecapan, perabaan, pnghidu, dan pendengaran (Direja,
2011).
Menurut Yosep (2011) karateristik perilaku yang dapat di tunjukan
klien dan kondisi halusinasi berupa seseorang yang merasakan meliputi
mendengar suara-suara, paling sering adalah suara orang, klien berbicara
sendiri, senyum dan tertawa sendiri berbicara kacau dan kadang tidak masuk
akal, tidak bisa membedakan hal yang nyata dan tidak nyata, menarik diri
dan menghindar dari orang lain, perasaan curiga, takut, gelisah, bingung,
dan kontak mata kosong. Tanda dan gejala menurut Direja (2010) klien pada
halusinasi cenderung menarik diri, sering di dapatkan duduk terpaku, pada
pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau berbicara sendiri,
secara tiba-tiba marah dan menyerang orang lain, gelisah atau melakukan
gerakan seperti sedang menikmati sesuatu.
Pada saat pengkajian hambatan yang di alami penulis terhadap klien
adalah kurang kooperatif, klien tanpak gelisah dan sering tidak konsentrasi
saat di tanya. Klien sering mengalihkan topik pembicaraan dan klien sering
bicara ngelantur dan tidak terkontrol klien tidak mengatahui bahwa yang di
alaminya adalah sebuah halusinasi yang merupakan salah satu penyakit
gangguan jiwa. Kemudian penulis memberikan pengetahuan tentang
pengertian halusinasi kepada klien dan tanda gejalan seseorang mengalami
halusinasi serta mengajaknya cara menghilangkan suara yang tidak tanpak
wujudnya.
Adanya fase halusinasi yang di alami klien pun menjadi salah satu
faktor penghambat dalam pengkajian. Klien mengalami fase conquering
atau panik yaitu klien lebur dengan halusinasinya. Klien yang sepenuhnya
sudah di kuasai dan menimbulkan kepanikan dan ketakutan. Karateristik
halusinasi berubah menjadi mengancam, memerintah, dan memarahi klien.
Klien menjadi takut, tidak berdaya, hilang kontrol dan tidak dapat
berhubungan secara nyata dengan orang lain di lingkungan.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Akibat : Resiko perilaku kekerasan
2. Masalah Utama : Gangguan persepsi : Halusinasi pendengaran
3. Etiologi : Defisit perawatan diri

C. Pohon Masalah
Gambar III.3 Pohon Masalah

Resiko perilaku mencederai


diri

Gangguan Perubahan
Persepsi Sensori : Halusinasi

Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah

(Sumber Yosep, 2011)


D. Intervensi
Menurut Yosep (2011), yaitu:
1. Gangguan sensori persepsi : Halusinasi
a) Tujuan umum
Klien dapat mengontrol halusinasi
b) Tujuan khusus
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya.
2) Klien dapat mengenal halusinasinya
3) Klien dapat mengontrol halusinasinya
4) Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi
5) Klien dapat memanfaatkan obat secara teratur
c) Intervensi
1) Bina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan
komunikasi terapeutik
2) Sapa klien dengan sopan
3) Perkenalkan diri dengan sopan
4) Tanyakan nama klien dengan lengkap
5) Jelaskan tujuan pertemuan
6) Tunjukan sikap empati
7) Observasi tingkah laku klien terkait halusinasi
8) Bantu klien mengenal halusinasinya
9) Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika
halusinasi
10) Diskusikan manfaat yang dilakukan klien dan beri pujian pada
klien

2. Risiko perilaku kekerasan


a) Tujuan umum
Klien dapat mengontrol atau mencegah perilaku kekerasan baik
secara fisik, sosial, verbal, spiritual.
b) Tujuan khusus
1) Bina hubungan sling percaya
2) Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan
3) Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
4) Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan
c) Intervensi
1) Bina hubungan saling percaya dengan menerapkan komunikasi
terapeutik
2) Bantu klien mengungkapkan perasaanya
3) Bantu klien untuk mengungkapkan tanda perilaku kekerasan
4) Diskusikan dengan klien keuntungan dan kerugian perilaku
kekerasan
5) Diskusikan dengan klien cara mengontrol perilaku kekerasan
6) Ajarkan klien mempraktekan cara mengontrol perilaku
kekerasan, beri pujian klien.

3. Defisit perawatan diri


a) Tujuan Umum :
Klien tidak mengalami masalah defisit perawatan diri.
b) Tujuan Khusus
1) Klien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
2) Klien mampu melakukan berhias secara baik
3) Klien mampu melakukan makan dengan baik
4) Klien mampu melakukan eliminasi secara mandiri
c) Intervensi
1) Melatih klien cara perawatan kebersihan diri
2) Membantu klien latihan berhias
3) Melatih klien makan secara mandiri
4) Mengajarkan klien melakukan BAB/BAK secara mandiri

E. Implementasi
Tndakan keperawatan (implementasi) dilakukan berdasarkan rencana yang
telah dibuat. Tindakan keperawatan dibuat dan dilakukan sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi klien saat ini. Perawat bekerja sama dengan klien,
keluarga, dan tim kesehatan lain dalam melakukan tindakan keperawatan
(Stuart, 2013).

F. Evaluasi
Evaluasi adalah suatu proses penilaian berkesinambungan tentang pengaruh
intervensi keperawatan dan program pengobatan terhadap status kesehatan
klien dan hasil kesehatan yang di harapkam (Stuart, 2013).
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Halusinasi banyak terjadi pada klien schizofrenia dengan masalah
keperawatan harg diri rendah dan atau menarik diri.
2. Halusinasi merupakan perubahan persepsi sensori terhadap
rangsangan eksternal dan atau internal.
3. Perencanaan keperawatan dengan masalah utama halusinasi berfokus
pada intervensi :
a) Membina hubungan saling percaya
b) Orientasi alam realita
c) Tingkatkan aktifitas
4. Tidak semua gejala halusinasi yang terdapat dalam teori di
jumpai pada kasus di ruangan.
5. Keluarga merupakan faktor pendukung utama dalam membantu klien
mengatasi masalahnya baik selama dirumah sakit maupun berada
dirumah.

B. Saran
1. Halusinasi merupakan perubahan persepsi sensori terhadap
rangsangan eksternal dan atau internal sehingga
menimbulkan resiko tinggi mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan, untuk itu perawat dan keluarga perlu mengenal tanda
dan gejala halusinasi dan membawa klien ke alam realita.
2. Komunikasi terapeutik antara perawat, klien dan keluarga harus
dipertahanakan
3. Oleh karena keluarga merupakan faktor pendukung utama dalam
perawatan klien maka keluarga perlu di motivasi untuk terlibat
secara aktif dalam perawatan klien halusinasi.
4. Perlunya meningkatkan kemampuan komunikasi klien pada perawat
dan keluarga
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Pan. 2014. Konsep Halusinasi Dan Strategi Pelaksanaan Halusinasi.


www.academia.edu diakses Oktober 2016.

Yusalia, Refiazka. 2015. Laporan Pendahuluan Dan Strategi Pelaksanaan


Halusinasi. www.academia.edu diakses Oktober 2016

Zelika, Alkhosiyah A. Dermawan, Deden. 2015. Kajian Asuhan Keperawatan Jiwa


Halusinasi Pendengaran Pada Sdr. D Di Ruang Nakula Rsjd Surakarta.
Jurnal Poltekkes Bhakti Mulia.

Darmaja, I Kade. 2014. Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada Tn.
“S” Dengan Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran Diruang
Kenari Rsj Dr. Radjiman Wedioningrat Lawang Malang. Program Studi
Profesi (Ners) Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Bakti Indonesia
Banyuwangi

Ii, B. A. B. (2017). Asuhan Keperawatan Pada..., Ichsanaini Rahmawati,


Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017. 65–90.

Anda mungkin juga menyukai