Anda di halaman 1dari 18

KEPERAWATAN ANAK II

LAPORAN HASIL ANALISIS SISTEM URINARIA

(KASUS 4)

OLEH :
KEPERAWATAN B
KELOMPOK 3
ABD. WAHAB BR
ULFA WILDANA HASAN
A.ARDIANSYAH
TEZA AINUN RAISY
NURFADILAH
UMRAH
HIKMAWATI

JURUSAN KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2018
LAPORAN HASIL ANALISIS SISTEM URINARIA PADA KASUS 4

A. Skenario Kasus Pemicu


Anak laki-laki usia 5 tahun diantar ke UGD karena lemas setelah beberapa mengalami
muntah-muntah. Hasil inspeksi anak tampak pucat dan terdapat edema palpebra. Hasil
pemeriksaan lab diperoleh Hb 8 gr/dl, LFG 30 mL/menit, ureum dan kreatinin meningkat.
Pengukuran tanda vital didapatkan tekanan darah meningkat diatas batas normal.

B. Daftar Istilah
1. Muntah : pengeluaran isi lambung dengan kekuatan secara aktif akibat adanya kontraksi
abdomen.
2. Edema palpebra : akumulasi abnormal cairan di dalam ruang intersitial (celah antar sel)
bagian palpebra.
3. Hb : protein yang kaya akan zat besi.
4. LFG :
5. Ureum : hasil akhir metabolisme protein dalam tubuh
6. Kreatinin : metabolisme endogen yang berguna untuk menilai fungsi glomerulus
7. Tekanan darah : tekanan yang dihasilkan oleh pompa jantung untuk menggerakkan
darah ke seluruh tubuh
8. Pucat : suatu keadan yang terjadi akibat penurunan jumlah hb didalam sirkulasi atau
vasokontraksi pembuluh darah kulit.
(Suraatmaja, 2010), (Schwartz, 2005), (Suryawan, Arjani., & Sudarmanto, 2016)

C. Learning Objektif
1. Memahami struktur anatomi dan fisiologi sistem urinaria pada anak
2. Memahami mekanisme tanda dan gejala yang biasa timbul pada anak dengam
gangguan ginjal
3. Memahami perbedaan penyakit tumor wilms, sindroma nefrotik dan glumerulonephritis
kronis
4. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada kasus gangguan ginjal
5. Mengetahui mekanisme pencegahan dan pengobatan pada kasus gangguan ginjal
6. Mengetahui diagnosa keperawatan yang ,ungkin muncul pada kasus gangguan ginjal
pada anak
7. Mengetahui intervensi keperawatan yang dapat diberikan pada anak dengan gangguan
ginjal

D. Hasil Analisis Sintesis


1. Anatomi dan fisiologi sistem urinaria
Sistem urinaria merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses penyaringan
darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan
menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan
oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih) (Speakman, 2008).
Susunan sistem perkemihan terdiri dari: a) dua ginjal (ren) yang menghasilkan urin, b)
dua ureter yang membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria (kandung kemih), c) satu
vesika urinaria tempat urin dikumpulkan, dan d) satu uretra urin dikeluarkan dari vesika
urinaria (A., R, & O, 2010)
a. Ginjal (Ren)
Ginjal terletak pada dinding posterior di belakang peritoneum pada kedua sisi
vertebra torakalis ke-12 sampai vertebra lumbalis ke-3. Bentuk ginjal seperti biji
kacang. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri, karena adanya lobus
hepatis dextra yang besar.
1) Fungsi ginjal
Fungsi ginjal adalah memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-
zat toksis atau racun, mempertahankan suasana keseimbangan cairan,
mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan
amoniak (A. et al., 2010).
2) Stuktur ginjal
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa,
terdapat korteks renalis di bagian luar, yang berwarna cokelat gelap, medulla
renalis di bagian dalam yang berwarna cokelat lebih terang dibandingkan
korteks. Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut piramides renalis,
puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil yang
disebut papilla renalis (A. et al., 2010)
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu
masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis
berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi
dua atau tiga calices renalis majores yang masing-masing akan bercabang
menjadi dua atau tiga calices renalis minores. Struktur halus ginjal terdiri dari
banyak nefron yang merupakan unit fungsional ginjal. Diperkirakan ada 1 juta
nefron dalam setiap ginjal. Nefron terdiri dari: glomerulus, tubulus proximal, ansa
henle, tubulus distal dan tubulus urinarius (A. et al., 2010)
b. Kandung Kemih (Vesica urinaria)
Kandung kemih (buli-buli atau bladder) merupakan sebuah kantong yang terdiri
atas otot halus, berfungsi menampung urin. Kandung kemih merupakan organ yang
berongga yang terletak di sebelah anterior tepat di belakang os pubis. Sebagian
besar dinding kandung kemih tersusun
dari otot polos yang dinamakan
muskulus detrusor. Kontraksi otot ini
berfungsi untuk mengosongkan
kandung kemih pada saat urinasi
(buang air kecil) (Brunner & Suddarth,
2002)
Pada dasar kandung kemih terdapat
lapisan tengah jaringan otot berbentuk
lingkaran bagian dalam atau disebut
sebagai otot lingkar yang berfungsi menjaga saluran antara kandung kemih dan
uretra, sehingga uretra dapat menyalurkan urine dari kandung kemih keluar tubuh.
Penyaluran rangsangan ke kandung kemih dan rangsangan motoris ke otot lingkar
bagian dalam diatur oleh sistem simpatis. Akibat dari rangsangan ini, otot lingkar
menjadi kendor dan terjadi kontraksi sfingter bagian dalam sehingga urine tetap
tinggal di dalam kandung kemih. Sistem parasimpatis menyalurkan rangsangan
motoris kandung kemih dan rangsangan penghalang ke bagian dalam otot lingkar.
Rangsangan ini dapat menyebabkan terjadinya kontraksi otot destrusor dan
kendurnya sfingter (Hidayat, 2009)
c. Uretra
Uretra merupakan organ yang berfungsi menyalurkan urine ke bagian luar.
Fungsi uretra pada wanita berbeda dengan yang terdapat pada pria. Pada pria,
uretra digunakan sebagai tempat pengaliran urine dan sistem reproduksi, berukuran
panjang 13,7-16,2 cm, dan terdiri atas tiga bagian, yaitu prostat, selaput (membran),
dan bagian yang berongga (ruang). Pada wanita, uretra memiliki panjang 3,7-6,2 cm
dan hanya berfungsi sebagai tempat menyalurkan urine ke bagian luar tubuh
(Hidayat, 2009)
Saluran perkemihan dilapisi oleh membran mukosa, dimulai dari meatus uretra
hingga ginjal. Meskipun mikroorganisme secara normal tidak ada yang bisa melewati
uretra bagian bawah, membran mukosa ini, pada keadaan patologis, yang terus-
menerus akan menjadikannya media yang baik untuk pertumbuhan beberapa
patogen (Hidayat, 2009)

2. Tanda dan gejala yang biasa timbul pada anak dengan gangguan ginjal
Manifestasi klinis PGK bervariasi tergantung dari penyakit yang mendasarinya.
Glomerulonefritis bermanifestasi edema, hipertensi, hematuria, dan proteinuria.
Sedangkan pasien dengan kelainan kongenital seperti displasia ginjal dan uropati
obstruktif datang berobat dengan keluhan gagal tumbuh, dehidrasi karena poliuria,
infeksi saluran kemih, maupun insufisiensi ginjal. Pada stadium lanjut pasien tampak
pucat, perawakan pendek, dan menderita kelainan tulang (O, Pardede, & Chunnaedy,
2009).
Pada pemeriksaan urinalisis didapatkan hematuria, proteinuria, atau berat jenis
urin rendah. Pemeriksaan memperlihatkan anemia normositik, peningkatan ureum dan
kreatinin, asidosis metabolik, hiperkalemia, hiponatremia, hipokalsemia, hiperfosfatemia,
hiperurikemia, hipoalbuminemia, serta peningkatan kadar trigliserida dan kolesterol
serum (O et al., 2009).

3. Perbedaan penyakit tumor wilms, sindroma nefrotik dan glumerulonephritis


kronis
a. Tumor wilms
Tumor Wilms (Nefroblastoma) adalah tumor ginjal yang ditemukan pada anak-
anak.Tumor wilms mreupakan tumor ginjal yang tubuh dari sel embrional primitive di 
ginjal.Makrokoskopis ginjal akan tampak membesar dank eras sedangkan gambaran
histo patologinya menunjukan gabungan dari pembentukan abortif dan gambaran
otot polos, otot serat lingkang, tulang rawan.
b. Sindorma nefrotik
Sindrom nefrotik dikenal juga sebagai nephrosis adalah suatu kondisi yang
ditandai adanya proteinuria dengan nilai dalam kisaran nefrotik, hiperlipidemia, dan
hipoalbuminemia. Sindrom nefrotik adalah suatu konstelasi temuan klinis, sebagai
hasil dari keluarnya protein melalui ginjal secara massif. Karenanya, sindrom nefrotik
sendiri sebenarnya bukan penyakit, tetapi manifestasi berbagai penyakit glomerular
berbeda. Sindrom nefrotik ini sering terjadi pada anak –anak
c. Glumerulonephritis
Suatu penyakit progresif lambat yang ditandai oleh peradangan dari glomeruli
yang menghasilkan sclerosis, jaringan parut dan pada tahap akhir menjadi gagal
ginjal.

4. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada kasus gangguan ginjal


a. Tes Darah
1) Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum – meningkat. kadar kreatinin 10
mg/dl diduga tahap akhir
2) Natrium dan Kalsium serum – menurun.
3) Kalium dan Fosfor serum – meningkat.
4) pH dan bikarbonat (HCO3) serum – menurun (asidosis metabolik).
5) Haemoglobin, hematokrit, trombosit – menurun (disertai penurunan fungsi sel
darah putih dan trombosit).
6) Glukosa serum – menurun (umum terjadi pada bayi)
7) Asam urat serum – meningkat.
8) Kultur darah – positif (disertai infeksi sistemik).
9) SDM:  menurun, defisiensi eritropoitin
10) GDA: asidosis metabolik, pH  kurang dari 7,
11) Protein (albumin) : menurun
12) Magnesium: meningkat (L & A, 2002)
b. Tes Urine
1) Urinalitas – sel darah putih dan silinder.
2) Elektrolit urine osmolalitas, dan berat jenis – bervariasi berdasarkan proses
penyakit dan tahap GGA.
3) Warna: secara abnormal warna urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, fosfat atau uratsedimen. Warna urine kotor, kecoklatan
menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin
4) Volume urine: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam bahkan tidak ada urine
(anuria)
5) Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkn kerusakan ginjal berat
6) Osmolalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal tubular
dan rasio urin/serum sering 1:1
7) Protein: Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkkan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada
8) Klirens kreatinin: mungkin agak menurun
9) Natrium: lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium
c. Elektrokardiogram (EKG) – perubahan yang terjadi berhubungan dengan
ketidakseimbangan elektrolit dan gagal jantung.
1) Kajian foto toraks dan abdomen – perubahan yang terjadi berhubungan dengan
retensi cairan.
a) Osmolalitas serum: Lebih dari 285 mOsm/kg
b) Pelogram Retrograd: Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
c) Ultrasonografi Ginjal : Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa ,
kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas
d) Endoskopi Ginjal, Nefroskopi: Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu,
hematuria dan pengangkatan tumor selektif
e) Arteriogram Ginjal:
f) Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular (L & A, 2002)

5. Mekanisme pencegahan dan pengobatan pada kasus gangguan ginjal


a. Pencegahan
1) Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari
diri dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan,
antara lain:
a) Modifikasi gaya hidup
Pola hidup memegang peranan penting dalam menentukan derajat
kesehatan seseorang. Mengatur pola makan rendah lemak dan mengurangi
garam, minum air yang cukup (disarankan 10 gelas atau dua liter per hari),
berolahraga secara teratur dan mengatur berat badan ideal, hidup dengan
santai merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga fungsi organ
tubuh untuk dapat bekerja maksimal. Bernafas dalam dan perlahan selama
beberapa menit perhari dapat menurunkan hormon kortisol sampai 50%.
Kortisol adalah hormon stress yang apabila terdapat dalam jumlah berlebihan
akan mengganggu fungsi hampir semua sel di dalam tubuh. Bersantai dan
melakukakn latihan relaksasi serta mendengarkan musik juga merupakan
alternatif untuk mengurangi stress
b) Hindari pemakaian obat-obat atau zat-zat yang bersifat nefrotoksik tanpa
sepengetahuan dokter, misalnya obat pereda nyeri yang dijual bebas dan
mengandung ibuprofen maupun obat-obatan herbal yang belum jelas
kandungannya.
c) Monitoring fungsi ginjal yang teliti pada saat pemakaian obat-obat yang
diketahui nefrotoksik (Wong, M., Wilson, D. Winkelsein, & Schawrtz, 2009).
2) Pencegahan Sekunder
a) Penegakan diagnosa secara tepat
Pengelolaan terhadap penyakit ginjal yang efektif hanya dapat
dimungkinkan apabila diagnosisnya benar. Pemeriksaan fisis yang diteliti dan
pemilahan maupun interpretasi pemeriksaan laboratorium yang tepat amat
membantu penegakan diagnosis dan pengelolaannya. Ginjal mempunyai
kaitan yang erat dengan fungsi organ-organ lain dan demikian pula
sebaliknya, oleh karena itu haruslah penderita dihadapi secara utuh bukan
hanya ginjalnya saja, baik pada pengambilan anamnesis maupun pada
pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan lainnya.
b) Penatalaksanaan medik yang adekuat29 Pada penderita gagal ginjal,
penatalaksanaan medik bergantung pada proses penyakit. Tujuannya untuk
memelihara keseimbangan kadar normal kimia dalam tubuh, mencegah
komplikasi, memperbaiki jaringan, serta meredakan atau memperlambat
gangguan fungsi ginjal progresif. Tindakan yang dilakukan diantaranya:
(1) Penyuluhan pasien/keluarga30 Pasien lebih mampu menerima
pendidikan setelah tahap akut. Materi yang dapat dimasukkan dalam
pendidikan kesehatan meliputi: penyebab kegagalan ginjal, obat yang
dipakai (nama obat, dosis, rasional, serta efek dan efek samping), terapi
diet termasuk pembatasan cairan (pembatasan kalium, fosfor dan protein,
makan sedikit tetapi sering), perawatan lanjutan untuk gejala/tanda yang
memerlukan bantuan medis segera (perubahan haluaran urine, edema,
berat badan bertambah tibatiba, infeksi, meningkatnya gejala uremia).
(2) Pengaturan diet protein, kalium, natrium.29,30,36 Pengaturan makanan
dan minuman menjadi sangat penting bagi penderita gagal ginjal. Bila
ginjal mengalami gangguan, zat-zat sisa metabolisme dan cairan tubuh
yang berlebihan akan menumpuk dalam darah karena tidak bisa
dikeluarkan oleh ginjal. Konsumsi protein terlalu banyak dapat
memperburuk kondisi kerusakan ginjal karena hasil metabolismenya
yang paling berbahaya, urea, menumpuk didalam darah sehingga terjadi
peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN). Diet gagal ginjal juga didukung
dengan pembatasan asupan natrium (garam) untuk mengatur
keseimbangan cairan-elektrolit, pemberian makanan yang kaya kalsium
untuk mencegah osteotrofi ginjal (penurunan masa jaringan, kelemahan
otot) dan memperbaiki gangguan irama jantung yang tidak seimbang
(aritmia).
(3) Pengaturan kebutuhan cairan dan keseimbangan elektrolit6,30
Perubahan kemampuan untuk mengatur air dan mengekskresi natrium
merupakan tanda awal gagal ginjal. Tujuan Dari pengendalian cairan
adalah memepertahankan status normotensif (tekanan darah dalam
batas normal) dan status normovolemik (volume cairan dalam batas
normal). Dapat dilakukan dengan pengendalian elektrolit, seperti:
Hiperkalemia dikendalikan dengan mengurangi asupan makanan yang
kaya dengan kalium (pisang, jeruk, kentang, kismis, dan sayuran berdaun
hijau) (Wong et al., 2009).
3) Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier merupakan langkah yang bisa dilakukan untuk
mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat, kecacatan dan kematian.
Pengobatan penyakit yang mendasari, sebagai contoh: masalah obstruksi
saluran kemih dapat diatasi dengan meniadakan obstruksinya, nefropati karena
diabetes dengan mengontrol gula darah, dan hipertensi dengan mengontrol
tekanan darah.
a) Cuci Darah (dialisis)
Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi
secara pasif melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen cair
menuju kompartemen cair lainnya. Hemodialisis dan dialysis merupakan dua
teknik utama yang digunakan dalam dialysis, dan prinsip dasar kedua teknik
itu sama, difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisis sebagai respons
terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
(1) Hemodialisis klinis di rumah sakit
Cara yang umum dilakukan untuk menangani gagal ginjal di
Indonesia adalah dengan menggunakan mesin cuci darah (dialiser) yang
berfungsi sebagai ginjal buatan.
(2) Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan atau CAPD
Dialisis peritoneal adalah metode cuci darah dengan bantuan
membran selaput rongga perut (peritoneum), sehingga darah tidak perlu
lagi dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan seperti yang terjadi pada
mesin dialisis. CAPD merupakan suatu teknik dialisis kronik dengan
efisiensi rendah sehingga perlu diperhatikan kondisi pasien terhadap
kerentanan perubahan cairan (seperti pasien diabetes dan
kardiovaskular).
b) Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi gagal ginjal
karena menghasilkan rehabilitasi yang lebih baik disbanding dialysis kronik
dan menimbulkan perasaan sehat seperti orang normal. Transplantasi ginjal
merupakan prosedur menempatkan ginjal yang sehat berasal dari orang lain
kedalam tubuh pasien gagal ginjal. Ginjal yang baru mengambil alih fungsi
kedua ginjal yang telah mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya.
Seorang ahli bedah menempatkan ginjal yang baru (donor) pada sisi
abdomen bawah dan menghubungkan arteri dan vena renalis dengan ginjal
yang baru. Darah mengalir melalui ginjal yang baru yang akan membuat urin
seperti ginjal saat masih sehat atau berfungsi. Ginjal yang dicangkokkan
berasal dari dua sumber, yaitu donor hidup atau donor yang baru saja
meninggal (donor kadaver) (Wong et al., 2009).
b. Pengobatan
Terapi nutrisi pada penderita gagal ginjal dapat digunakan sebagai terapi
pendamping (komplementer ) utama dengan tujuan mengatasi racun tubuh,
mencegah terjadinya infeksi dan peradangan, dan memperbaiki jaringan ginjal yang
rusak. Caranya adalah diet ketat rendah protein dengan kalori yang cukup untuk
mencegah infeksi atau berkelanjutannya kerusakan ginjal. Kalori yang cukup agar
tercapai asupan energi yang cukup untuk mendukung kegiatan sehari– hari,
dan berat badan normal tetap terjaga (Anonim, 2010).
Keberhasilan penatalaksanaan pengaturan pola konsumsi pangan pada
penderita gagal ginjal dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang dimaksud
antara lain motivasi atau keyakinan sembuh terhadap program pengobatan yang
diberikan. Sedangkan menurut Mechenbaum (1977) dikutip dari Rindiastuti (2006),
faktor penting dalam mencapai kepatuhan pasien yaitu melalui dukungan sosial
dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga yang lain, teman, dan
uang. Pengaturan diet pada penyakit gagal ginjal yang menjalani hemodialisis
sedemikian kompleks, pengaturan diet tersebut sangat sukar untuk di patuhi oleh
pasien sehingga memberikan dampak terhadap status gizi dan kualitas hidup
penderita (Y, 2008).
Penanganan serta pengobatan gagal ginjal tergantung dari penyebab terjadinya
kegagalan fungsi ginjal itu sendiri. Pada intinya, tujuan pengobatan adalah untuk
mengendalikan gejala, meminimalkan komplikasi dan memperlambat perkembangan
penyakit. Sebagai contoh, pasien mungkin perlu melakukan diet penurunan intake
sodium, kalium, protein dan cairan. Bila diketahui penyebabnya adalah dampak
penyakit lain, maka dokter akan memberikan obat-obatan atau therapy misalnya
pemberian obat untuk pengobatan hipertensi, anemia atau mungkin kolesterol yang
tinggi (Y, 2008)
Seseorang yang mengalami kegagalan fungsi ginjal sangat perlu dimonitor
pemasukan (intake) dan pengeluaran (output) cairan, sehingga tindakan dan
pengobatan yang diberikan dapat dilakukan secara baik. Dalam beberapa kasus
serius, Pasien akan disarankan atau diberikan tindakan pencucian darah
{Haemodialisa (dialysis)}. Kemungkinan lainnya adalah dengan tindakan
pencangkokan ginjal atau transplantasi ginjal (Y, 2008)
6. Diagnosa keperawatan yang ,ungkin muncul pada kasus gangguan ginjal pada
anak
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan disfungsi ginjal, menurunnya filtrasi
glomerulus, retensi cairan dan sodium.
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema polmonal.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
d. Kurang pengetahuan berhubungan dengan proses penyakit dan pengobatan.
e. Gangguan istirahat tidur berhubungan berhubungan dengan edema paru.
f. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan edema paru.
g. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan kelebihan volume cairan.
h. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan kadar ureum dalam
darah.
i. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemia iskemik (Doenges,
Moorhouse, & Geissler, 2014).

7. Intervensi keperawatan yang dapat diberikan pada anak dengan gangguan ginjal
a. Dx. Kep. I : Kelebihan volume cairan berhubungan dengan disfungsi ginjal,
menurunnya filtrasi glomerulus, retensi cairan dan sodium.
Tujuan                   : Tidak memperlihatkan tanda-tanda kelebihan cairan.
Kriteria hasil          : Tidak ada edema.
Intervensi:
1) Monitor intake dan output
R/ Perlu untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan, dan
penurunan resiko kelebihan cairan.
2) Pertahankan pembatasan cairan
R/  Membantu menghindari periode tanpa cairan, meminimalkan kebosanan
pilihan terbatas dan menurunkan rasa kekurangan dan haus.
3) Monitor berat badan
R/  Penimbangan BB harian adalah pengawasan status cairan terbaik.
Peningkatan  BB 0,5 kg/hari diduga adanya retensi cairan.
4) Monitor TD dan HB
R/  Tachycardi dan HT terjadi karena kegagalan ginjal untuk mengeluarkan urine
dan pembatasan cairan berlebihan selama mengobati hipovolemia/
hipotensi/perubahan fase oliguria gagal ginjal.
5) Kaji edema, turgor kulit, membran mukosa
R/  Edema terjadi terutama pada masa jaringan yang tergantung pada tubuh. BB
pasien dapat meningkat sampai 4,5 kg cairan sebelum edema pitting terdeteksi.
Edema periorbital dapat menunjukkan tanda perpindahan cairan ini, karena
jaringan rapuh ini mudah terdistensi oleh akumulasi cairan walaupun minimal
(Doenges et al., 2014).

b. Dx. Kep. II : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema polmonal.
Tujuan                   : Pola nafas anak menjadi efektif kembali.
Kriteria hasil          : Bunyi nafas bersih.
Intervensi  :
1) Kaji bunyi nafas
R/  Kelebihan cairan dapat menimbulkan edema paru dibuktikan oleh terjadinya
bunyi napas tambahan.
2) Bila sesak, posisikan kepala lebih tinggi, pemberian oksigen dan latihan nafas
dalam
R/  Meningkatkan lapang paru (Doenges et al., 2014).

c. Dx. Kep. III : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia.
Tujuan                   : Anak menunjukkan BB yang sesuai dan ada nafsu makan serta
dapat menyelesaikan makanan sesuai diit.
Kriteria hasil          : Klien menghabiskan porsi diitnya.
Intervensi  :
1) Timbang BB tiap hari
R/  Px. puasa/katabolik akan secara normal kehilangan 0,2 – 0,5 kg/hari.
Perubahan kelebihan 0,5 kg dapat menunjukkan perpindahan keseimbangan
cairan.
2) Kaji pola makan anak dan pembatasan makanan
R/  Memberikan Px. tindakan terkontrol dalam pembatasan diit.
3) Jelaskan tentang diit yang diberikan dan alasannya
R/  Pengetahuan Px./keluarganya tentang diit yang diberikan membuat
klien/keluarga lebih kooperatif (Doenges et al., 2014).
d. Dx. Kep. IV : Kurang pengetahuan berhubungan dengan proses penyakit dan
pengobatan.
Tujuan       : Anak dan keluarga akan memahami proses penyakit, prognosis dan
pengobatan yang diberikan.
Kriteria hasil          : Pengetahuan klien dan keluarga meningkat dan kooperatif
terhadap tindakan keperawatan.
Intervensi:
1) Kaji tingkat pamahaman anak dan keluarga tentang proses penyakit, prognosis
dan pengobatan.
R/  Memberikan dasar pengetahuan dimana Px./keluarga dapat membuat pilihan
informasi (Doenges et al., 2014).

e. Dx. Kep. V : Gangguan istirahat tidur berhubungan berhubungan dengan edema


paru.
Tujuan                   : Kebutuhan istirahat terpenuhi
Kriteria hasil          : Klien dapat beristirahat dengan tenang
Intervensi :          
1) Temani dan bantu bila anak muntah.
R/    Dengan ditemani dan dibantu pada saat muntah akan menghilangkan
kegelisahan dan kecemasan anak.
2) Batasi aktivitas fisik dan hindarkan anak dari stress emosional (menangis, sedih,
bercanda berlebihan).
R/    Pembatasan aktivitas fisik dan stress emosional penting untuk
menghindarkan adanya penyebab serangan batuk. 
3) Anjurkan keluarga memberikan lingkungan yang tenang.
R/    Lingkungan yang tenang merupakan sebagian dari terapi suportif yang
memberikan rasa aman dan nyaman bagi pasien (Doenges et al., 2014).

f. Dx. Kep. VI : Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan edema
paru.
Tujuan       : Bersihan jalan nafas efektif, pola nafas dan pertukaran gas efektif.
Kriteria hasil          :Suara nafas vesikuler.
Intervensi :          
1) Lakukan auskultasi suara 2 – 4 jam sekali.
R/ Mengetahui obstruksi pada saluran nafas dan menifestasinya pada suara
nafas. 
2) Berikan posisi kepala lebih tinggi dari posisi badan dan kaki
R/ Penurunan diafragma dapat membantu ekspansi paru maskimal.  
3) Ubah posisi klien tiap 2 jam.
R/ Posisi klien yang tetap secara terus menerus dapat mengakibatkan akumulasi
sekret dan cairan pada lobus yang berada dibagian bawah.   
4) Monitor tanda vital tiap 4 jam.  
R/ Peningkatan frekwensi nafas mengindikasi tingkat keparahan (Doenges et al.,
2014).

g. Dx. Kep. VII : Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan kelebihan volume
cairan.
Tujuan                   :Meningkatkan derajat rasa nyaman  klien.
Kriteria hasil          :Klien terlihat rileks, dapat tidur dan beristirahat.  
Intervensi :          
1) Biarkan pasien mengambil posisi yang nyaman pada waktu tidur atau duduk di
kursi. Tingkatkan istirahat di tempat tidur.
R/    Tirah baring mungkin diperlukan sampai perbaikan objektif dan subjektif
didapat.
2) Dorong penggunaan tekhnik manajemen sterss, misalnya relaksasi.
R/    Meningkatkan relaksasi, meningkatkan rasa kontrol dan mungkin
meningkatkan kemampuan koping.
3) Libatkan dalam aktivitas atau latihan yang direncanakan sesuai petunjuk. 
R/    Meningkatkan relaksasi, mengurangi tegangan otot / spasme memudahkan
untuk ikut serta dalam dalam terapi (Doenges et al., 2014).

h. Dx. Kep. VIII : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan


kadar ureum dalam darah.
Tujuan                   :Klien tidak menunjukkan tanda-tanda adanya kerusakan
integritas kulit.
Kriteria hasil          :Mempertahankan kulit utuh / kulit tidak pecah-pecah.  
Intervensi :          
1) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna dan turgor kulit.
R/    Menandakan area sirkulasi buruk/kerusakan yang dapat menimbulkan
decubitus atau infeksi.
2) Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit.
R/    Mendeteksi adanya dehidrasi/hidrasi berlebihan yang mempengaruhi
sirkulasi dan integritas pada tingkat seluler.   
3) Inspeksi area tergantung terhadap edema
R/    Jaringan edema lebih cenderung rusak atau robek.    
4) Ubah posisi dengan sering, beri bantalan pada tonjolan tulang.
R/    Menurunkan tekanan pada edema.     
5) Pertahankan linen tetap kering.
R/    Menurunkan iritasi dermal dan resiko kerusakan kulit
6) Anjurkan menggunakan pakaian katun longgar.
R/    Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab
pada kulit (Doenges et al., 2014).

i. Dx. Kep. IX : Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemia


iskemik
Tujuan       :Perfusi jaringan perifer tetap adekuat.
Kriteria hasil          :          
1) Suhu ekstremitas hangat, tidak lembab, warna merah muda.
2) Ekstremitas tidak nyeri, tidak ada pembengkakan.
3) Turgor kembali dalam 1 detik.
Intervensi :          
1) Kaji dan cacat tanda-tanda vital (kualitas dan frekuensi nadi, tensi, capilarry
refill).
R/    Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui penurunan perfusi jaringan.
2) Kaji dan catat sirkulasi pada ekstremitas (suhu, kelembaban dan warna).
R/    Suhu dingin, warna pucat dan ekstremitas menunjukkan sirkulasi darah
kurang adekuat.    
3) Nilai kemungkinan kematian jaringan ekstremitas lebih awal dapat berguna untuk
mencegah kematian jaringan. 
R/    Jaringan edema lebih cenderung rusak atau robek (Doenges et al., 2014).    
E. Daftar Pustaka
A., P., R, B., & O, R. (2010). Validity and Realibility of Persian Version of IPSS. Galen Medical
Journal, Vol.2; No.
Brunner, & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2014). Rencana Asuhan Keperawatan.
Jakarta: EGC.
Hidayat, A. A. A. (2009). Pengantar Ilmu: Keperawatan Anak 1. Jakarta: Salemba Medika.
L, B. C., & A, S. L. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC.
O, S., Pardede, & Chunnaedy, S. (2009). Penyakit Ginjal Kronik Pada Anak. Sari Pediatri, 11
No 23.
Schwartz, M. W. (2005). Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC.
Suraatmaja, S. (2010). Gastroenterologi Anak (3rd ed.). Jakarta: Sagung Seto.
Suryawan, D. G. A., Arjani., I. A. M. S., & Sudarmanto, I. G. (2016). GAMBARAN KADAR
UREUM DAN KREATININ SERUM PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIS YANG
MENJALANI TERAPI HEMODIALISIS DI RSUD SANJIWANI GIANYAR. Meditory, 4 No. 2.
Wong, L. D. H., M., Wilson, D. Winkelsein, M. L., & Schawrtz, P. (2009). Buku Ajar
Keperawatan Pediatrik (6th ed., Vol. 2). Jakarta: EGC.
Y, R. (2008). Deteksi Dini dan pencegahan penyakit Gagal Ginjal Kronik. Surakarta: FK UNS.
F. WOC

Anda mungkin juga menyukai