Anda di halaman 1dari 18

Keperawatan Keluarga

“Keperawatan Transkultural”

Disusun Oleh:
Keperawatan B
Kelompok 3
Ulfa Wildana Hasan
Fifi Lestari
Sri Muliana
A.M. Abd Wahab BR
Vilda Ameliah
Sri Mahardika

PRODI KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2019
KEPERAWATAN TRANSKULTURAL

A. Konsep Etnik dan Budaya


1. Etnik
Etnik adalah seperangkat kondisi spesifik yang dimiliki oleh kelompok
tertentu (kelompok etnik). Sekelompok etnik adalah sekelompok individu
yang mempunyai budaya dan sosial yag unik serta menurunkannya kepada
generasi berikutnya. Etnik berbeda dengan ras. Ras merupakan sistem
pengklasifikasian manusia berdasarkan karakteristik fisik, pigmentasi, bentuk
tubuh, bentuk wajah, bulu pada tubuh, dan benuk kepala.
Istilah atau terminologi yang sering digunakan dalam konsep etnik dan
budaya adalah kelompok dominan dan kelompok minoritas. Kelompok
dominan adalah sekelompok komunitas yang memiliki otoritas karena mereka
berfungsi sebagai pengawal (guardian), yaitu mengendalikan sistem nilai dan
memberi ganjaran kepada masyarakat. Kelompok minoritas adalah
sekelompok orang yang mempunyai fisik atau karakteristik budaya yang
berbeda dengan masyarakat setempat sehingga mengalami perbedaan
perlakuan.
2. Budaya
Budaya adalah keyakinan dan perilaku yang diturunkan atau diajarkan
manusia kepada generasi berikutnya. Menurut pandangan antropologi
tradisional, budaya dibagi menjadi dua, yaitu budaya material dan budaya
nonmaterial. Budaya material dapat berupa objek, seperti pakaian, seni,
benda-benda kepercayaan (jimat) atau makanan. Budaya nonmaterial
mencakup kepercayaan, kebiasaan, bahasa, dan institusi sosial. Ras memiliki
perbedaan kelompok etnk dan kelompok etnik memiliki perbedaan budaya.
Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang
harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan hasil studi dan karyanya.
Menurut konsep budaya Leininger (1978, 1984), karakteristik budaya dapat
digambarkan sebagai berikut:
a. Budaya adalah pengalaman yang bersifat universal sehingga tidak ada dua
budaya yang sama persis.
b. Budaya bersifat stabil, tetapi juga dinamis karena budaya tersebut
diturunkan kepada generasi berikutnya sehingga mengalami perubahan.
c. Budaya diisi dan ditentukan oleh kehidupan manusianya sendiri tanpa
disadari.
Budaya menurut Leininger (1991), ada 2 jenis yaitu, budaya yang
diturunkan oleh orangtuanya disebut etno caring dan budaya yang dipelajari
melalui kegiatan formal disebut professional caring. Perawat sebagai pemberi
asuhan keperawatan kepada klien yang dirawat memiliki budaya professional
caring, yang dipelajari selama mengikuti pendidikan keperawatan.
Professional caring yang dimiliki oleh perawat, antara lain memberikan
asuhan keperawatan dengan pendekatan proses keperawatan. Disisi lain,
perawat memiliki budaya etnocaring yang diperoleh selama berinteraksi
dengan keluarganya sendiri atau rumpun etniknya.

B. Konsep Dasar Keperawatan


Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan jesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan, dalam bentuk bio-psiko-sosiokultural-spiritual yang komprehensif
yang ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat
yang mencakup seluruh proses kehidupan. Dari batasan tersebut, perawat
meyakini bahwa setiap individu merpakan makhluk yang holistik dan unik.
Perawat menggunakan dirinya sendiri secara terapeutik untuk memberikan
stimulus yang konstruktif kepada klien dalam pelayanan keperawatan. Pelayanan
keperwatan adalah bantuan yang diberikan kepada klien karena adanya
kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya kemauan
menuju kepada kemampuan melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara
mandiri.
Kegiatan dilakukan daam upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,
penyembuhan, ppemulihan serta pemeliharaan kesehatan, dengan penekanan pada
upaya pelayanan kesehatan utama/dasar sesuai dengan wewenang tanggung jawab
dan etika profesi keperawtaan yang memungkinkan setiap orang mencapai
kemampuan hidup sehat dan produktif.
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan dalam
praktik keperawatan yang diberikan kepada klien pada berbagai tatanan pelayanan
kesehatan dengan menggunakan proses keperawatan, pedoman standar
keperawatan, serta landasan etika dan etiket keperawatan dalam lingkup
wewenang dan tanggung jawaab keperawatan.

C. Konsep Keperawatan Transkultural


1. Definisi
Ilmu dan kiat yang humanis, yang difokuskanpada perilaku individu
atau kelompok, serta proses untuk mempertahankan/meningkatkan perilaku
sehat atau perilaku sakit secara fisikdan psikokultural sesuai latar belakang
budaya (Leininger, 1984).
2. Tujuan
a. Membantu keluarga dengan budaya yang berbeda-beda untuk mampu
memahami kebutuhannya terhadap asuhan keperawatan dan kesehatan.
b. Membantu perawat dalam mengambil keputusan selama pemberian
asuhan keperawatan pada keluarga melalui pengkajian gaya hidup,
keyakinan tentang kesehatan dan praktik kesehatan klien.
c. Asuhan keperawatan yang relevan dengan budaya dan sensitif terhadap
kebutuhan klien akan menurunkan kemungkinan stres dan konflik karena
kesalahpahaman budaya.
3. Konsep Transkultural Nursing
a. Budaya adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang
dipelajari dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berpikir, bertindak
dan mengambil keputusan.
b. Nilai Budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih
diinginkan atau sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu
tertentu dan melandasi tindakan dan keputusan.
c. Perbedaan budaya. Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan
merupakan bentuk yang optimal daei pemberian asuhan keperawatan,
mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan keperawatan yang
dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang menghargai nilai
budaya individu, kepercayaan dan tindakantermasuk kepekaan terhadap
lingkungan dari individu yang datang danindividu yang mungkin kembali
lagi (Leininger, 1985).
d. Etnosentris adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap
bahwa budayanya adalah yang terbaik di antara budaya-budaya yang
dimiliki oleh orang lain.
e. Etnis berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya
yang digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim.
f. Ras adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada
mendiskreditkan asal muasal manusia
g. Etnografi adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologi
pada penelitian etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan
kesadaran yang tinggi pada perbedaan budaya setiap individu,
menjelaskan dasar observasi untuk mempelajari lingkungan dan orang-
orang, dan saling memberikan timbal balik di antara keduanya.
h. Care adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan,
dukungan perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya
kejadian untuk memenuhi kebutuhan baik aktual maupun potensial untuk
meningkatkan kondisi dan kualitas kehidupan manusia.
i. Caring adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing,
mendukung dan mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada
keadaan yang nyata atau antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi
kehidupan manusia
j. Cultural Care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui
nilai, kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk membimbing,
mendukung atau memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok
untuk mempertahankan kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup,
hidup dalam keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai.
k. Cultural imposition berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan
untuk memaksakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang
lain karena percaya bahwa ide yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi
daripada kelompok lain.
4. Paradigma Transcultural Nursing
Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transcultural
sebagai cara pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam
terlaksananya asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya
terhadap empat konsep sentral keperawatan yaitu : manusia, sehat, lingkungan
dan keperawatan (Andrew and Boyle, 1995).
a. Manusia
Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memiliki nilai-
nilai dan norma-norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan
pilihan dan melakukan pilihan. Menurut Leininger (1984) manusia
memiliki kecenderungan untuk mempertahankan budayanya pada setiap
saat dimanapun dia berada (Geiger and Davidhizar, 1995).
b. Sehat
Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam
mengisi kehidupannya, terletak pada rentang sehat sakit. Kesehatan
merupakan suatu keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya
yang digunakan untuk menjaga dan memelihara keadaan seimbang/sehat
yang dapat diobservasi dalam aktivitas sehari-hari. Klien dan perawat
mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mempertahankan keadaan sehat
dalam rentang sehat-sakit yang adaptif (Andrew and Boyle, 1995).
c. Lingkungan
Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang
mempengaruhi perkembangan, kepercayaan dan perilaku klien.
Lingkungan dipandang sebagai suatu totalitas kehidupan dimana klien
dengan budayanya saling berinteraksi. Terdapat tiga bentuk lingkungan
yaitu : fisik, sosial dan simbolik. Lingkungan fisik adalah lingkungan alam
atau diciptakan oleh manusia seperti daerah katulistiwa, pegunungan,
pemukiman padat dan iklim seperti rumah di daerah Eskimo yang hampir
tertutup rapat karena tidak pernah ada matahari
sepanjang tahun. Lingkungan sosial adalah keseluruhan struktur sosial
yang berhubungan dengan sosialisasi individu, keluarga atau kelompok ke
dalam masyarakat yang lebih luas. Di dalam lingkungan sosial individu
harus mengikuti struktur dan aturan-aturan yang berlaku di lingkungan
tersebut. Lingkungan simbolik adalah keseluruhan bentuk dan simbol
yang menyebabkan individu atau kelompok merasa bersatu seperti musik,
seni, riwayat hidup, bahasa dan atribut yang digunakan.
5. Proses Keperawatan Transkultural
Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam
menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam
bentuk matahari terbit (Sunrise Model). Geisser (1991) menyatakan bahwa
proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai landasan berfikir dan
memberikan solusi terhadap masalah klien (Andrew and Boyle, 1995).
Pengelolaan asuhan keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap pengkajian,
diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
a. Tahap Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi
masalah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger
and Davidhizar, 1995). Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen
yang ada pada “Sunrise Model” yaitu:
1) Faktor teknologi (technological factors). 
Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau
mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan
kesehatan. Perawat perlu mengkaji: persepsi sehat sakit, kebiasaan
berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan
kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi
klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi
permasalahan kesehatan saat ini.
2) Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors). 
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang
amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi
yangsangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya,
bahkan di atas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji
oleh perawat adalah: agama yang dianut, status pernikahan, cara
pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan
kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan.
3) Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kindship and social factors). 
Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor: nama lengkap,
nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status,
tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan
klien dengan kepala keluarga.
4) Faktor nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural values and lifeways
factors). 
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan
oleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma
budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas
pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah:
posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang
digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi
sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan
kebiasaan membersihkan diri.
5) Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal
factors). 
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala
sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan
keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995). Yang perlu
dikaji pada tahap ini adalah: peraturan dan kebijakan yang berkaitan
dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh
menunggu, cara pembayaran untuk klien yang dirawat.
6) Faktor ekonomi (economical factors). 
Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-
sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera
sembuh.Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat di antaranya:
pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh
keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya
dari kantor atau patungan antar anggota keluarga.
7) Faktor pendidikan (educational factors). 
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam
menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi
pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung oleh bukti-
bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar
beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya.
Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah: tingkat pendidikan klien,
jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif
mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali.
b. Tahap Diagnosa Keperawatan. 
Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang
budayanya yang dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi
keperawatan (Giger and Davidhizar, 1995). Terdapat tiga diagnose
keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan
transkultural yaitu: gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan
perbedaan kultur, gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi
sosiokultural dan ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan
sistem nilai yang diyakini.
c. Tahap Perencanaan dan Pelaksanaan.
Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan transkultural adalah
suatu proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan
adalah suatu proses memilih strategi yang tepat dan pelaksanaan adalah
melaksanakan tindakan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien
(Giger and Davidhizar, 1995). Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam
keperawatan transkultural (Andrew and Boyle, 1995) yaitu:
mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak
bertentangan dengankesehatan, mengakomodasi budaya klien bila budaya
klien kurang menguntungkan kesehatan dan merubah budaya klien bila
budaya yang dimiliki klien bertentangan dengan kesehatan.
1) Cultural care preservation/maintenance:
a) Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang
proses melahirkan dan perawatan bayi; b) Bersikap tenang dan
tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien; c)
Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan
perawat.
2) Cultural care accomodation/negotiation:
a) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien;
b) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan,
c) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana
kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien
dan standar etik.
3) Cultual care repartening/reconstruction: 
a) Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang
diberikan dan melaksanakannya;
b) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya
kelompok;
c) Gunakan pihak ketiga bila perlu;
d) Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan
yang dapat dipahami oleh klien dan orang tua,
e) Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan.
Perawat dan klien harus mencoba untuk memahami budaya masing-
masing melalui proses akulturasi, yaitu proses mengidentifikasi persamaan
dan perbedaan budaya yang akhirnya akan memperkaya budaya budaya
mereka. Bila perawat tidak memahami budaya klien maka akan timbul rasa
tidak percaya sehingga hubungan terapeutik antara perawat dengan klien akan
terganggu. Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas keberhasilan
menciptakan hubungan perawat dan klien yang bersifat terapeutik.

D. Komunikasi Lintas Budaya


Indonesia dikenal dengan Negara yang memiliki 6 pulau terbesar dengan 35
provinsi didalamnya. Bukan hanya provinsinya saja yang begitu banyak, akan
tetapi beragam kebudayaan dan bahasa juga ditemukan didalamnya. Indonesia
kaya akan ragam bahasa. Ditemukan jumlah bahasa terus bertambah seiring
dengan penelitiaan yang terus dilakukan. Indonesia memiliki sedikitnya 442
bahasa yang dikemukakan pada saat Kongres Bahasa ke-9 pada tahun 2008.
Kemudian pada tahun 2012 dilakukan penelitian selanjutnya dengan
menggunakan sampel 70 lokasi di wilayah Papua dan Maluku. Dari hasil
penelitian tersebut ditemukan penambahan yang signifikan yaitu jumlah bahasa
dan sub-bahasa di seluruh Indonesia mencapai 546 bahasa (Frank.H. Jurnal
Indonesia Kaya. 2015).
Liliweri (2003) mengatakan bahwa sebagai bagian dari tuntutan globalisasi
yang semakin tidak terkendali seperti saat ini, sehingga membuat kita melakukan
sebuah interaksi lintas kelompok, lintas budaya, serta lintas sektoral. Bukan hanya
hal tersebut akan tetapi banyak perubahan yang semakin deras dan menjadi bukti
nyata bahwa semua orang harus mengerti karakter komunikasi antar budaya
secara mendalam.
Saat sekelompok orang dengan latar belakang budaya yang berbeda
melakukan interaksi maka terjadilah komunikasi antar budaya. Hal ini sangat
jarang berjalan dengan lancar, karena kebanyakan situasi mereka yang melakukan
interaksi antar budaya tidak menggunakan bahasa yang sama, namun bahasa tetap
bisa dipelajari. Terjadi masalah komunikasi yang lebih besar dalam area baik
nonverbal maupun verbal. Pada komunikasi nonverbal sangatlah rumit, dan
kebanyakan merupakan proses yang spontan. Kebanyakan orang sering tidak
sadar akan sebagian besar perilaku nonverbal mereka, yang dilakukan tanpa
berpikir dan spontan serta tidak sadar (Samovar & Porter, 1994). Sebagian besar
kita sering tidak menyadari akan sikap dan tindakan kita sendiri, sehingga sulit
untuk menguasai perilaku verbal maupun nonverbal dalam budaya lain. Sering
kita merasa terganggu dalam budaya orang lain, dikarenakan kita sering merasa
bahwa ada yang salah dengan kebudayaan tersebut. Pada perilaku nonverlab
jarang untuk menjadi sesuatu yang disadari, sehingga kita sulit untuk mengetahui
pasti mengapa kita sering merasa tidak nyaman.
Komunikasi antar budaya menjadi sangat penting dikarenakan interaksi sosial
dalam kehidupan keseharian kita adalah sesuatu yang tidak dapat ditolak. Saat
melakukan percakapan, antara dua orang biasanya 35% percakapan yaitu
komunikasi verbal sedangkan 65% lainnya merupakan komunikasi nonverbal
(Birdehistell, 1969).
Akan tetapi studi sistematis tentang komunikasi nonverbal telah lama
diabaikan. Hal ini dikarenakan adanya semacam praduga tidak beralasan tentang
bidang tersebut. Contohnya kebanyakan program bahasa asing seringkali
mengabaikan perilaku komunikasi nonverbal. Akan tetapi pada kenyataan yang
ada hanya sedikit saja komunikasi nonverbal memiliki makna yang universal
seperti menangis, tersenyum, tertawa dan tanda marah. Oleh sebab itu orang
sering beranggapan sendiri bahwa bila mereka berada dalam suatu kebudayaan
yang berbeda dari mereka dan mereka juga tidak mengerti bahasa yang
digunakan, mereka berpikir bisa tertolong dengan cukup mengetahui gerakan-
gerakan manual. Akan tetapi karena setiap manusia memiliki perbedaan
pengalaman hidup dalam kebudayaan yang berbeda, orang tersebut akan
menyatakan secara berbeda pula simbol-simbol dan tanda-tanda yang
sama(Bennet 1998).
Studi tentang komunikasi dan kebudayaan juga berfokus pada pola-pola
tindakaan, bagaiamana makna dan pola-pola tersebut diartikan kedalam
masyarakat, bagaiamana menjaga makna, kelompok politik, proses pendidikan,
dan juga lingkungan teknologi yang melibatkan manusia untuk berinteraksi
(Liliweri, 2004).
Rahardjo (2005) mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain,
dikarenakan tingkat perbedaan yang relatif tinggi pada latar belakang pihak-pihak
yang berkomunikasi karena adanya perbedaan cultural maka komunikasi antar
budaya merupakan hal yang penting sehingga hal tersebut menjadi perbedaan
dengan kajian ilmu yang lainnya. Selanjutnya pendapat Kim yang dikemukakan
dalam Rahardjo ialah asumsi yang mendasari komuniksi antar budaya antaralain
dikarenakan setiap individu yang memiliki budaya yang sama biasanya berbagi
kesamaan-kesamaan dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka
daripada orang-orang yang berasal dari budaya yang berbeda.
Martin & Thomas (2007) dalam bukunya Intercultural Communication in
Context memiliki 2 komponen kompetensi yaitu komponen individu yang terdiri
dari: motivasi, sikap, perilaku dan pengetahuan, serta kemampuan. Termasuk
komponen kontekstual antaralain melihat konteks-konteks yang dapat
mempengaruhi komunikasi antar budaya sebagai contoh, konteks historis, konteks
hubungan, konteks budaya maupun konteks lainnya seperti gender, ras, dan
sebagainya (Martin & Thomas, 2007).
Pengetahuan perawat tentang keperawatan transkultural merupakan acuan
dasar tehadap terlaksana implementasi pelayanan keperawatan dan terkait erat
dengan dimensi teori dasar keperawatan (Potter & Perry 1993). Keberhasilan
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan sangat bergantung pada
kemampuannya mencerna berbagai ilmu dan mengaplikasikannya ke dalam
bentuk asuhan keperawatan yang sesuai latar belakang budaya pasien (Rew &
Boyle, 1995).
Terlaksananya asuhan keperawatan transkultural ditentukan oleh pengetahuan
perawat tentang teori transkultural, karena pemahaman yang dimiliki tersebut
akan mengklarifikasi fenomena, mengarahkan dan menjawab fenomena yang
dijumpai pada diri pasien dan keluarganya ketika memberikan asuhan
keperawatan (Farldan & Leininger 2002).

E. Hubungan Antara Budaya dengan Makanan


Konsumsi makanan pokok merupakan proporsi terbesar dalam susunan
hidangan di Indonesia, karena dianggap terpenting diantara jenis makanan lain.
Suatu hidangan bila tidak mengandung bahan makanan pokok dianggap tidak
lengkap oleh masyarakat (Sediaoetama, 1999). Di sisi lain makanan dalam
pandangan sosial budaya, memiliki makna lebih luas dari sekedar sumber gizi.
Hal ini terkait dengan kepercayaan, status, prestis, kesetiakawanan dan
ketentraman dalam kehidupan manusia.
Budaya dan makanan memiliki hubungan yang sangat erat. Makanan
berfungsi untuk mempertahankan, meningkatkan, dan mengembalikan kesehatan
yang optimal.
Budaya memengaruhi individu dan keluarga dalam menentukan makanan
yang dikonsumsi. Ada keluarga atau etnik tertentu percaya bahwa memakan darah
hewan akan meningkatkan vitalitas dan kekuatan, misalnya darah yang sudah
beku atau seperti etnik rian yang meminum darah babi segar.
Perawat harus menyadari dan memahami jenis makanan dan pola diet yang
dilakukan oleh keluarga. Keluarga Indonesia pada mmnya makan tiga kali sehari
walaupu ada etnik tertentu yang mempunya pola makan dua kali dalam sehari.
Etnik atau suku tertentu yang memiliki pola makan dua kali sehari, pada pagi hari
biasanya menyantap makanan ringan dengan kopi atau teh. Setiap kelarga yang
mempunyai pola jenis makanan yang berbeda untuk setiap kali makan, misalnya
sarapan pagi, makan siang atau makan malam. Perawat perlu mengidentifikasi
kebiasaan tersebut. Pola makan dalam keluarga amat erat dengan kebiasaan
menyimpan mkanan di lemari es atau dapur mereka.

F. Budaya Kesehatan di Indonesia


Indonesia sebagai Negara agraris, sebagian besar penduduknya bermukim di
daerah pedesaan dengan tingkat pendidikan mayoritas sekolah dasar dan belum
memiliki budaya hidup sehat. Hidup sehat adalah hidup bersih dan disiplin
sedangkan kebersihan dan kedisiplinan itu sendiri belum menjadi budaya sehari-
hari. Budaya memeriksakan secara dini kesehatan anggota keluarga belum
tampak. Hal ini terlihat dari banyaknya klien yang datang ke pelayanan kesehatan
untuk memeriksakan keadaan kesehatan sebagai tindakan kuratif belum didukung
sepenuhnya oleh upaya promotif dan preventif, misalnya gerakan 3M pada
pencegahan demam berdarah belum terdengar gaungnya jika belum mendekati
musim hujan atau sudah ada yang terkena demam berdarah.
Menanamkan budaya hidup sehat harus sejak dini dengan melibatkan pranata
yang ada di masyarakat, seperti posyandu atau sekolah. Posyandu yang ada di
komunitas seharusnya diberdayakan untuk menanamkan perilaku hidup
bersih,sehat, dan berbudaya pada anak.
Di dalam masyarakat sederhana, kebiasaan hidup dan adatistiadat dibentuk
untuk mempertahankan hidup diri sendiri, dan kelangsungan hidup suku mereka.
Berbagai kebiasaan dikaitkan dengan kehamilan, kelahiran, pemberian makanan
bayi, yang bertujuan supaya reproduksi berhasil, ibu dan bayi selamat. Dari sudut
pandangan modern, tidak semua kebiasaan itu baik. Ada beberapa yang
kenyataannya malah merugikan. Kebiasaan menyusukan bayi yang lama pada
beberapa masyarakat, merupakan contoh baik kebiasaan yang bertujuan
melindungi bayi. Tetapi bila air susu ibu sedikit, atau pada ibu-ibu lanjut usia,
tradisi budaya ini dapat menimbulkan masalah tersendiri. Dia berusaha menyusui
bayinya, dan gagal. Bila mereka tidak mengetahui nutrisi mana yang dibutuhkan
bayi (biasanya demikian), bayi dapat mengalami malnutrisi dan mudah terserang
infeksi.
Menjadi sakit memang tidak diharapkan oleh semua orang apalagi penyakit-
penyakit yang berat dan fatal. Masih banyak masyarakat yang tidak mengerti
bagaimana penyakit itu dapat menyerang seseorang. Ini dapat dilihat dari sikap
mereka terhadap penyakit itu sendiri. Ada kebiasaan dimana setiap orang sakit
diisolasi dan dibiarkan saja. Kebiasaan ini mungkin dapat mencegah penularan
dari penyakit-penyakit infeksi seperti cacar atau TBC. Bentuk pengobatan yang
diberikan biasanya hanya berdasarkan anggapan mereka sendiri tentang
bagaimana penyakit itu timbul. Kalau mereka anggap penyakit itu disebabkan
oleh hal-hal yang supernatural atau magis, maka digunakan pengobatan secara
tradisional. Pengobatan modern dipilih bila mereka duga penyebabnya faktor
alamiah. Ini dapat merupakan sumber konflik bagi tenaga kesehatan, bila ternyata
pengobatan yang mereka pilih berlawanan dengan pemikiran secara medis. Di
dalam masyarakt industri modern, iatrogenic disease merupakan problema.
Budaya modern menuntut merawat penderita di rumah sakit, padahal rumah sakit
itulah tempat ideal bagi penyebaran kuman-kuman yang telah resisten terhadap
antibiotika.
DAFTAR PUSTAKA
Isniati. (2013). Kesehatan Modern Dengan Nuansa Budaya. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Vol. 7 No. 1
Sudiharto. (2007). Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan Pendekatan Keperawatan
Transkultural. Jakarta:EGC
.

Anda mungkin juga menyukai