Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMA MAKSILOFASIAL

Disusun Oleh:
Nurjannah Intan Buana Putri
19.04.021

CI LAHAN CI INSTITUSI

(........................................) (.......................................)

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
STIKES PANAKKUKANG
MAKASSAR 2020
LAPORAN PENDAHULUAN
TRAUMA WAJAH (MAKSILOFASIAL)

BAB 1 KONSEP MEDIS


a. Definisi Trauma Maksilofasial
Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang pembentuk
wajah. Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian,
ialah sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan sepertiga bawah wajah. Bagian yang
termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus
frontalis. Maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang
vomer termasuk ke dalam sepertiga tengah wajah sedangkan mandibula termasuk ke dalam
bagian sepertiga bawah wajah.
Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras.
Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan
keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala
yang terdiri dari : tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila,
tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang dimaksud dengan trauma jaringan lunak
adalah:
- Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato
- Cedera saraf, cedera saraf fasial
- Cedera kelenjar paratiroid atau duktus Stensen
- Cedera kelopak mata
- Cedera telinga
- Cedera hidung

b. Etiologi Trauma Maksilofasial


Trauma wajah di perkotaan paling sering disebabkan oleh perkelahian, diikuti oleh
kendaraan bermotor dan kecelakaan industri. Para zygoma dan rahang adalah tulang
yang paling umum patah selama serangan. Trauma wajah dalam pengaturan masyarakat yang
paling sering adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor, maka untuk serangan dan
kegiatan rekreasi. Kecelakaan kendaraan bermotor menghasilkan patah tulang yang sering
melibatkan midface, terutama pada pasien yang tidak memakai sabuk pengaman merek.
Penyebab penting lain dari trauma wajah termasuk trauma penetrasi, kekerasan dalam rumah
tangga, dan pelecehan anak-anak dan orang tua.
Penyebab pada orang dewasa Persentase (%)
Kecelakaan lalu lintas 40-45
Penganiayaan / berkelahi 10-15
Olahraga 5-10
Jatuh 5
Lain-lain 5-0

Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena
harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai
ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian
oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas
(automobile).
Berikut ini tabel etiologi trauma maksilofasial :
Penyebab pada anak Persentase (%)
Kecelakaan lalu lintas 10-15
Penganiayaan / berkelahi 5-10
Olahraga 50-65
Jatuh 5-10

c. Patofisiologi Trauma Maksilofasial


Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa dikalikan
dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi menghasilkan
kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-dampak
kekuatan didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Ini
berdampak parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang dibutuhkan
untuk menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda regional. Tepi supraorbital,
mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang frontal memerlukan kekuatan tinggi-dampak yang
akan rusak.
Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi. Bagian anterior
dan/atau posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat
terjadi jika dinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.
Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang
terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan menyerang
pinggiran orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan
merusak bagian-bagian terlemah dari dasar dan dinding medial orbita. Herniasi dari isi orbit
ke dalam sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera okular cukup tinggi, namun jarang
menyebabkan kematian.
Patah Tulang Hidung : Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma langsung.
Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke
tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial, aparatus lacrimalis,
atau saluran nasofrontal.
Patah tulang lengkung zygomatic : Sebuah pukulan langsung ke lengkung zygomatic
dapat mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan zygomaticotemporal.
Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan patah
tulang dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui
zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan
tulang sphenoid. Garis fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen infraorbital dan
lantai orbit. Cedera mata serentak yang umum.
Fraktur mandibula : Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-rahang
dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari lokasi trauma
langsung.
Patah tulang alveolar : Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi langsung
atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang atas atau
rahang bawah.
Fraktur Panfacial : Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi
mengakibatkan cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah.

d. Manifestasi Klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :
- Dislokasi, berupa perubahan posisi yang menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur
mandibular
- Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur
- Rasa nyeri pada sisi fraktur
- Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran nafas
- Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah
fraktur
- Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran
- Laserasi yang terjadi pada daerah gusi,mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur
- Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
- Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah nervus
alveolaris
- Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan pergerakan
bola mata dan penurunan visus.

e. Komplikasi
- Perdarahan tulang
- Kebocoran cairan otak
- Infeksi pada luka atau sepsis
- Timbulnya edema serebri
- Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
- Nyeri kepala setelah penderita sadar
- konvulsi

f. Pemeriksaan Penunjang
a. Wajah Bagian Atas :
- CT-Scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
- CT-scan aksial koronal
- Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT-scan kepala dan X-ray kepala
b. Wajah Bagian Tengah :
- CT-Scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
- CT-scan aksial koronal
- Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan posteroanterior
(Caldwells), Submentovertek (Jughandles)
c. Wajah Bagian Bawah :
- CT-Scan 3D dan CBCT-scan 3D
- Panoramic X-ray
- Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi:
Posteroanterior (Caldwells)
Posisi lateral (Schedell)
Posisi towne

g. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala dan wajah selain dari factor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status
neurologis (disability, exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula adalah
mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian
oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan
oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi
usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara
menurunkan PaCO dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan
menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO ini yakin
dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat intermittent iatrogenic paralisis.
Intubasi dilakukan sedini mungkin kepala klien-lkien yang koma untuk mencegah
terjadinya PaCO yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah
peningkatan tekanan intracranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
- Bedrest total
- Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
- Pemberian obat-obatan: Dexmethason / kalmethason sebagai pengobatan anti-
edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
- Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
- Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau glukosa
40%, atau gliserol 10%.
- Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (pensilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidasol.
- Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan
apa-apa,hanya cairan infuse dextrose 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama
dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
- Pada trauma berat. Karena hai-hari pertama didapat klien mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-
hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer
dextrosa 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga, pada hari selanjutnya bila
kesadaran rendah maka makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500-300
TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.

BAB II ASKEP

a. Pengkajian Keperawatan
Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cedera dan mungkin di
persulit oleh cedera tambahan pada organ vital
- Aktifitas dan istirahat
Gejala : merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia cara berjalan tidak tegap,
masalah dlm keseimbangan, cedera/trauma ortopedi, kehilangan tonus otot.
- Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia disritmia)
- Integritas ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian
Tanda :Cemas,mudah tersinggung,delirium,agitasi,bingung,depresi
- Eliminasi
Gejala : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan fungsi
- Makanan/cairan
Gejala : mual,muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda : muntah,gangguan menelan
- Neurosensori
Gejala :Kehilangan kesadaran sementara,amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope,tinitus,kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan seperti
ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagain lapang pandang, gangguan pengecapan
dan penciuman
Tanda : Perubahan kesadran bisa sampai koma, perubahan status mental,
perubahan pupil, kehilangan penginderaan, wajah tdk simetris, genggaman lemah
tidak seimbang, kehilangan sensasi sebagian tubuh
- Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda biasanya lama
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri, nyeri yang
hebat,merintih
- Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor, tersedak,ronkhi,mengi
- Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan
- Kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna, tanda batle disekitar telinga, adanya aliran
cairan dari telinga atau hidung
- Gangguan kognitif
- Gangguan rentang gerak
- demam
b. diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik : kontusio dan abrasi kecelakaan
(terputusnya kontinuitas jaringan)
2. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhantuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakadekuatan asupan nutrisi dan kesulitan menelan
c. Rencana/intervensi keperawatan
No. diagnosa Tujuan Keperawatan (NOC) Rencana Tindakan (NIC)
1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pain Management :
selama 1 x 6 jam, maka pasien dengan a. Kaji lokasi, karakteristik dan
nyeri akut diharapkan dapat teratasi kualitas nyeri
dengan kriteria hasil : b. Bantu keluarga memberikan
Pain Level : support
a. Melaporkan nyeri berkurang dari c. Kolaborasi dengan dokter dalam
skala 7 (berat) menjadi 5 (sedang) pemberian obat analgetik
b. Ekspresi wajah rileks tidak gelisa d. Ajarkan penggunaan teknik non
c. Tidak ada kehilangan selera farmakologi (relaksasi/distralsi)
makan e. Berikan informasi tentang
d. Posisi proteksi terhadap nyeri penyebab dan antisipasi nyeri
tidah ada
2. Setelah dilakukan tindakan keperawatan Nutrition Management :
selama 1 x 6 jam pada pasien dengan a. Monitor vital sign
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b. Menanyakan apakah pasien alergi
tubuh dapat mulai teratasi dengan kriteria terhadap beberapa makanan
hasil : c. Memberikan informasi tentang
Nutritional Status (status nutrisi) : kebutuhan nutrisi terhadap
a. Intake nutrisi meningkat sesuai penyembuhan penyakit
dengan diet d. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam
b. Intake makanan dan cairan pemberian diet sesuai terapi
meningkat sesuai dengan diet
c. Mengerti pentingnya menjada
diet tinggi protein dan kalsium

Trauma wajah

kecelakaan lalu lintas


Trauma wajah

Jarigan keras

Fraktur mandibula (tulang


rahang bawah)

Terputusnya kuntinuitas Ganguan mengunya


jarigan tulang di area wajah

Ketidak mampuan
memakan makanan
Nyeri akut

Penurunan berat badan dengan


asupan makan adekuat

Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang


dari kebutuhan tubuh

DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne C. Brenda G.Bare. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth. Edisi 8. Jakarta:EGC
Muttaqin, Arif. 2017. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
M.Taylor, Cynthia., Ralph, Sheila. 2016. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana
Asuhan. Jakarta:EGC
Sofii I, Dachlan I. Correlation between midfacial fractures and intracranial
lesion in mild and moderate head injury patients. Available at:
http://bedahugm.com/Correlation-between-midfacial-fractures-and-
intracranial-lesion-in-mild-and-moderate-head-injury-patients.php.
Accesed on August 28, 2015.
Dwidarto D. Affandi M. Pengelolaan deformitas dentofasial pasca fraktur
panfascial (Management of the Dentofacial Defomity Post Panfacial
Fracture : Case Report). Available at:
http://www.pdgionline.com/web/index. php ?option=co ntent
&task=category&sectionid=4&id=10&Itemid=26. Accesed on August
28,2015.
Tucker MR, Ochs MW. Management of facial fractures. Dalam : Peterson lj et
al. contemporary oral and maxillofacial surgery. St louis: mosby co.
2016
Prasetiyono A. Penanganan fraktur arkus dan kompleks zigomatikus.
Indonesian journal of oral and maxillofacial surgeons. Feb 2016 no 1
tahun IX hal 41-50

Anda mungkin juga menyukai