Anda di halaman 1dari 25

TRAUMA WAJAH (MAKSILOFASIAL)

A. KONSEP MEDIS
1. Definisi Trauma Maksilofasial
Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang pembentuk
wajah. Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian,
ialah sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan sepertiga bawah wajah.
Bagian yang termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang frontalis, regio supra orbita,
rima orbita dan sinus frontalis. Maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus, nasal
konka inferior, dan tulang vomer termasuk ke dalam sepertiga tengah wajah
sedangkan mandibula termasuk ke dalam bagian sepertiga bawah wajah.
Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan
jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak
yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan
keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari : tulang hidung, tulang arkus
zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi, tulang
alveolus. Yang dimaksud dengan trauma jaringan lunak adalah:
- Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato
- Cedera saraf, cedera saraf fasial
- Cedera kelenjar paratiroid atau duktus Stensen
- Cedera kelopak mata
- Cedera telinga
- Cedera hidung
2. Anatomi Maksilofasial
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua
setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun,
besar cranium sudah mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam
tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia. Daerah
maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah wajah bagian atas, di
mana patah tulang melibatkan frontal dan sinus. Bagian kedua adalah midface
tersebut. Midface dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para midface atas adalah di
mana rahang atas Le Fort II dan III Le Fort fraktur terjadi dan / atau di mana patah
tulang hidung, kompleks nasoethmoidal atau zygomaticomaxillary, dan lantai orbit
terjadi. Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, di
mana patah tulang yang terisolasi ke rahang bawah.
Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak.
Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum
oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata(orbita).
a. Bagian hidung terdiri atas :
Os Lacrimal (tulang mata) letaknya di sebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut
mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas.
Dan Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam rongga hidung
dan bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah
sambungan dari tulang tapis yang tegak.
b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :
Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri dari
dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua
dua buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahang bawah,
terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu di
pertengahan dagu. Dibagian depan dari mandibula terdapat processus coracoids
tempat melekatnya otot.
3. Facial danger zones (Zona bahaya wajah)
Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar di
beberapa lokasi di wajah, ada 7 lokasi-lokasi penting di sekitar wajah yang apabila
terjadi trauma atau kesalahan dalam penanganan trauma maksilofasial akan berakibat
fatal, lokasi-lokasi tersebut disebut dengan facial danger zone.
4. Epidemiologi
Dari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar 6%
dari seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr.Soetomo. Kejadian
fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing-
masing sebesar 29,85 %, disusul fraktur zigoma 27,64 % dan fraktur nasal 12, 66
%. Penderita fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif,yaitu
usia 21-30 tahun, sekitar 64,38 % disertai cedera di tempat lain, dan trauma penyerta
terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat, sekitar 56%. Penyebab terbanyak
adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda motor.

Penyebab pada orang dewasa Persentase (%)


Kecelakaan lalu lintas 40-45

Penganiayaan / berkelahi 10-15


Olahraga 5-10
Jatuh 5
Lain-lain 5-10
5. Etiologi Trauma Maksilofasial

Trauma wajah di perkotaan paling sering disebabkan oleh perkelahian, diikuti oleh
kendaraan bermotor dan kecelakaan industri. Para zygoma dan rahang adalah tulang
yang paling umum patah selama serangan. Trauma wajah dalam pengaturan
masyarakat yang paling sering adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor, maka
untuk serangan dan kegiatan rekreasi. Kecelakaan kendaraan bermotor menghasilkan
patah tulang yang sering melibatkan midface, terutama pada pasien yang tidak
memakai sabuk pengaman mereka. Penyebab penting lain dari trauma wajah
termasuk trauma penetrasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan anak-anak
dan orang tua
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus
rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang
per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma
maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).
Berikut ini tabel etiologi trauma maksilofasial :
Penyebab pada orang anak Persentase (%)
Kecelakaan lalu lintas 10-15

Penganiayaan / berkelahi 5-10


Olahraga (termasuk naik sepeda) 50-65
Jatuh 5-10

6. Klasifikasi Trauma Maksilofasial


Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma
jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak
biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu
lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.
a. Trauma jaringan lunak wajah
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari
luar.
Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan :
 Berdasarkan jenis luka dan penyebab:
- Ekskoriasi
- Luka sayat, luka robek , luka bacok
- Luka bakar
- Luka tembak
 Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
- Dikaitkan dengan unit estetik
b. Trauma jaringan keras wajah
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi
dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari
terminologinya, trauma pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan:
 Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetika
- Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibulla,
gigi dan alveolus
- Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks
mandibular
 Berdasarkan Tipe fraktur :
- Fraktur simple
Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus,
koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi. Fraktur tidak mencapai
bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasukgreenstik fraktur yaitu keadaan
retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.
- Fraktur kompoun
Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak. Biasanya
pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe
fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan
beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.
- Fraktur komunisi
Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru
yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk. Bisa
terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan
kerusakan tulang dan jaringan lunak.
 Fraktur patologis
keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti
Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis
sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.

8. Patofisiologi Trauma Maksilofasial


Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa
dikalikan dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi
menghasilkan kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-
dampak kekuatan didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya
gravitasi. Ini berdampak parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya
yang dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda regional.
Tepi supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang frontal memerlukan
kekuatan tinggi-dampak yang akan rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah semua
yang diperlukan untuk merusak zygoma dan tulang hidung.
Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat dari pukulan
berat pada dahi. Bagiananterior dan / atau posterior sinus frontal mungkin
terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi jika dinding posterior sinus
frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.
Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang
terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan
menyerang pinggiran orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini
kekuatan dan merusak bagian-bagian terlemah dari dasar dan dinding medial orbita.
Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera
okular cukup tinggi, namun jarang menyebabkan kematian.
Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma
langsung.
Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke
tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial,
aparatus lacrimalis, atau saluran nasofrontal.
Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung
zygomatic dapat mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan
zygomaticotemporal.
Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan patah
tulang dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui
zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi
dengan tulang sphenoid. Garis fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen
infraorbital dan lantai orbit. Cedera mata serentak yang umum.
Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-
rahang dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari
lokasi trauma langsung.
Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi
langsung atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar
rahang atas atau rahang bawah
Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi
mengakibatkan cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah

9. Manifestasi Klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :
 Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur
mandibular
 Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur
 Rasa nyeri pada sisi fraktur
 Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas
 Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah
fraktur
 Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran
 Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur
 Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
 Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah nervus
alveolaris
 Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan
pergerakan bola mata dan penurunan visus

10. Pemeriksaan Penunjang


a. Wajah Bagian Atas :
- CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
- CT-scan aksial koronal
- Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepala dan X-ray kepala
b. Wajah Bagian Tengah :
- CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
- CT scan aksial koronal
- Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan posteroanterior
(Caldwells), Submentovertek (Jughandles)
c. Wajah Bagian Bawah :
- CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D
- Panoramic X-ray
- Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi:
Posteroanterior (Caldwells)
Posisi lateral (Schedell)
Posisi towne

11. Penatalaksanaan Medis


Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala dan wajah selain dari
factor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai
status neurologis (disability, exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula
adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan
pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative
memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang
meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan
tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat
dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi
asidosis intraserebral dan menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk
menurunkan PaCO2 ini yakin dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Tin
membuat intermittent iatrogenic paralisis. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepala
klien-lkien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip
ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan intracranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
 Bedrest total
 Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
 Pemberian obat-obatan: Dexmethason / kalmethason sebagai pengobatan anti-edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
 Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
 Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau glukosa
40%, atau gliserol 10%.
 Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (pensilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidasol.
 Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan
apa-apa,hanya cairan infuse dextrose 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
 Pada trauma berat. Karena hai-hari pertama didapat klien mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama
(2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8
jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga, pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah
maka makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500-300 TKTP). Pemberian
protein tergantung dari nilai urenitrogennya.

12. Komplikasi
- Perdarahan ulang
- Kebocoran cairan otak
- Infeksi pada luka atau sepsis
- Timbulnya edema serebri
- Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
- Nyeri kepala setelah penderita sadar
- Konvulsi
B. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cedera dan
mungkin di persulit oleh cedera tambahan pada organ vital
- Aktifitas dan istirahat
Gejala : merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia cara berjalan tidak tegap,
masalah dlm keseimbangan, cedera/trauma ortopedi, kehilangan tonus otot.
- Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia disritmia)
- Integritas ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian
Tanda :Cemas,mudah tersinggung,delirium,agitasi,bingung,depresi
- Eliminasi
Gejala : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan fungsi
- Makanan/cairan
Gejala : mual,muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda : muntah,gangguan menelan
- Neurosensori
Gejala :Kehilangan kesadaran sementara,amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope,tinitus,kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan seperti
ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagain lapang pandang, gangguan pengecapan
dan penciuman
Tanda : Perubahan kesadran bisa sampai koma, perubahan status mental, perubahan
pupil, kehilangan penginderaan, wajah tdk simetris, genggaman lemah tidak
seimbang, kehilangan sensasi sebagian tubuh
- Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda biasanya lama
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri, nyeri yang
hebat,merintih
- Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor, tersedak,ronkhi,mengi
- Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan
- Kulit : laserasi,abrasi,perubahan warna,tanda batle disekitar telinga,adanya aliran
cairan dari telinga atau hidung
- Gangguan kognitif
- Gangguan rentang gerak
- Demam
2. Diagnosa Keperawatan
- Risiko tinggi peningkatan tekanan intracranial yang berhubungan dengan desak ruang
sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat
intraserebral hematoma.
- Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat
pernapasan di otak, kelemahan oto-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi udara/cairan.
- Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan sputum,
peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan,
adanya jalan napas buatan pada trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.
- Perubahan kenyamanan: nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan
refleks spasme otot sekunder.
- Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi,
nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
3. Rencana Keperawatan
DX 1 : Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang
sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat
intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan
muntah, GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.
Intervensi Rasionalisasi
Mandiri
Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan Deteksi dini untuk memprioritaskan
individu/penyebab koma/penurunan intervensi, mengkaji status neurologis/
perfusi jaringan dan kemungkinan tanda-tanda kegagalan untuk menentukan
penyebab peningkatan TIK. perawatan kegawatan atau tindakan
pembedahan.
Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam Suatu keadaan normal bila sirkulasi
serebral terpelihara dengan baik atau
fluktuasi ditandai dengan tekanan darah
sistemik, penurunan dari autoregulator
kebanyakan merupakan tanda penurunan
difusi local vaskularisasi darah serebral.
Dengan peningkatan tekanan darah
(diastolic) maka dibarengi dengan
peningkatan tekanan darah intrakrinial.
Adanya peningkatan tekanan darah,
bradikardi, disritmia, dispnea merupakan
tanda terjadinya peningkatan TIK.
Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman, Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari
dan reaksi terhadap cahaya. bola mata merupakan tanda dari
gangguan nervus/saraf jika batang otak
terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf
III cranial (okulomotorik) yang
menunjukkan keseimbangan antara
parasimpatis dan simpatis. Respon
terhadap cahaya merupakan kombinasi
fungsi dari saraf cranial II dan III.
Monitor temperatur dan pengaturan suhu Panas merupakan refleks dari
lingkungan. hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan metabolism dan
O2 akan menunjang peningkatan TIK/
ICP (Intracranial Pressure).
Pertahankan kepala/ leher pada posisi Perubahan kepala pada satu sisi dapat
yang netral, usahakan dengan sedikit menimbulkan penekanan pada vena
bantal. Hindari penggunaan bantal yang jugularis dan menghambat aliran darah
tinggi pada kepala. otak (menghambat drainase pada vena
serebral), untuk itu dapat meningkatkan
TIK
Berikan periode istirahat antara tindakan Tindakan yang terus-menerus dapat
perawatan dan batasi lamanya prosedur. meningkatkan TIK oleh efek rangsangan
kumulatif.
Kurangi rangsangan ekstra dan berikan Memberikan suasana yang tenang
rasa nyaman seperti masase punggung, (colming effect) dapat mengurangi
lingkungan yang tenang. Sentuhan yang respons psikologis dan memberikan
ramah, dan suasana / pembicaraan yang istirahat untuk mempertahankan TIK
tidak gaduh. yang rendah.
Cegah/hindarkan terjadinya valsava Mengurangi tekanan intratorakal dan
maneuver intraabdominal sehingga menghindari
peningkatan TIK.
Bantu klien jika batuk, muntah Aktivitas ini dapat meningkatkan
intrathorakal/tekanan dalam thoraks dan
tekanan dalam abdomen dimana aktivitas
ini dapat meningkatkan tekanan TIK.
Kaji peningkatan istirahat dan tingkat Tingkah nonverbal ini dapat merupakan
laku. indikasi peningkatan TIK atau
memberikan refleks nyeri dimana klien
tidak mampu mengungkapkan keluhan
secara verbal, nyeri yang tidak menurun
dapat meningkatkan TIK.
Palpasi pada pembesaran/pelebaran Dapat meningkatkan repons otomatis
bladder, pertahankan drainase urine yang potensial menaikkan TIK.
secara paten jika di gunakan dan juga
monitor terdapatnya konstipasi.
Berikan penjelasan pada klien (jika Meningkatkan kerja sama dalam
sadar) dan keluarga tentang sebab-sebab meningakatkan perawatan klien dan
TIK meningkat. mengurangi kecemasan.
Observasi tingkat kesadaran dengan Perubahan kesadaran menunjukkan
GCS. peningkatan TIK dan berguna
menentukan lokasi dan perkembangan
penyakit.
Kolaborasi :
Pemberian O2 sesuai indikasi. Mengurangi hipoksemia, dimana dapat
meningkatkan vasodilatasi serebral,
volume darah, dan menaikkan TIK.
Kolaborasi untuk tindakan operatif Tindakan pembedahan untuk evakuasi
evakuasi darah dari dalam intracranial. darah dilakukan bila kemungkinan
terdapat tanda-tanda deficit neurologis
yang menandakan peningkatan
ntrakranial.
Berikan cairan intravena sesuai indikasi. Pemberian cairan mungkin di inginkan
untuk mengurangi edema serebral,
peningkatan minimum pada pembuluh
darah, tekanan darah dan TIK.
Berikan obat osmosis diuretic contohnya Diuretic mungkin digunakan pada fase
: manitol, furoscide. akut untuk mengalirkan air dari sel otak
dan mengurangi edema serebral dan TIK.
Berikan steroid contohnya : Untuk menurunkan inflamasi (radang)
dexamethason, methyl prenidsolon. dan mengurangi edema jaringan.
Berikan analgesic narkotik contoh : Mungkin di indikasikan untuk
kodein. mengurangi nyeri dan obat ini berefek
negatif pada TIK tetapi dapat digunakan
dengan tujuan untuk mencegah dan
menurunkan sensasi nyeri.
Berikan antipiretik contohnya : Mengurangi/mengontrol hari dan pada
asetaminofen. metabolisme serebral/oksigen yang
diinginkan.
Monitor hasil laboratorium sesuai dengan Membantu memberikan informasi tentang
indikasi seperti prothrombin, LED. efektifitas pemberian obat.

DX 2 : Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat


pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal
karena trauma.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas
kembali efektif.
Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami
perbaikan pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi Rasional
Berikan posisi yang nyaman, biasanya Meningkatkan inspirasi maksimal,
dengan peninggian kepala tempat tidur. meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi
Balik kesisi yang sakit. Dorong klien pada sisi yang tidak sakit.
untuk duduk sebanyak mungkin.
Observasi fungsi pernapasan, dispnea, Distress pernapasan dan perubahan pada
atau perubahan tanda-tanda vital. tanda vital dapat terjadi sebagai akibat
stress fisiologi dan nyeri atau dapat
menunujukkan terjadinya syok
sehubungan dengan hipoksia.
Jelaskan pada klien bahwa tindakan Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
tersebut dilakukan untuk menjamin mengembangkan kepatuhan klien
keamanan. terhadap rencana terapeutik.
Jelaskan pada klien tentang Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
etiologi/factor pencetus adanya sesak mengurangi ansietas dan
atau kolaps paru-paru. mengembangkan kepatuhan klien
terhadap rencana terapeutik.
Pertahankan perilaku tenang, bantu klien Membantu klien mengalami efek fisiologi
untuk control diri dengan menggunakan hipoksia, yang dapat dimanifestasikan
pernapasan lebih lambat dan dalam. sebagai ketakutan/ansietas.
Periksalah alarm pada ventilator sebelum Ventilator yang memiliki alarm yang bias
difungsikan. Jangan mematikan alarm. dilihat dan didengar misalnya alarm kadar
oksigen, tinggi/rendahnya tekanan
oksigen.
Tarulah kantung resusitasi disamping Kantung resusitasi/manual ventilasi
tempat tidur dan manual ventilasi untuk sangat berguna untuk mempertahankan
sewaktu-waktu dapat digunakan. fungsi pernapasan jika terjadi gangguan
pada alat ventilator secara mendadak.
Bantulah klien untuk mengontrol Melatih klien untuk mengatur napas
pernapasan jika ventilator tiba-tiba seperti napas dalam, napas pelan, napas
berhenti. perut, pengaturan posisi, dan teknik
relaksasi dapat membantu
memaksimalkan fungsi dan system
pernapasan.
Perhatikan letak dan fungsi ventilator Memerhatikan letak dan fungsi ventilator
secara rutin. sebagai kesiapan perawat dalam
Pengecekan konsentrasi oksigen, memberikan tindakan pada penyakit
memeriksa tekanan oksigen dalam primer setelah menilai hasil diagnostik
tabung, monitor manometer untuk dan menyediakan sebagai cadangan.
menganalisis batas/kadar oksigen.
Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg).
periksa fungsi spirometer.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Kolaborasi dengan tim kesehatan lain
Dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi. untuk mengevaluasi perbaikan kondisi
§ Pemberian antibiotik. klien atas pengembangan parunya.
§ Pemberian analgesic.
§ Fisioterapi dada.
§ Konsul foto thoraks.

DX 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan
napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan
batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan
napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube
bebas sumbatan, menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret
di saluran pernapasan.
Intervensi Rasional
Kaji keadaan jalan napas Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh
akumulasi sekret, sisa cairan mucus,
perdarahan, bronkhospasme, dan/atau
posisi dari endotracheal/tracheostomy
tube yang berubah.
Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi Pergerakan dada yang simetris dengan
suara napas pada kedua paru (bilateral). suara napas yang keluar dari paru-paru
menandakan jalan napas tidak terganggu.
Saluran napas bagian bawah tersumbat
dapat terjadi pada pneumonia/atelektasis
akan menimbulkan perubahan suara napas
seperti ronkhi atau wheezing.
Monitor letak/posisi endotracheal tube. Endotracheal tube dapat saja masuk ke
Beri tanda batas bibir. dalam bronchus kanan, menyebabkan
Lekatkan tube secara hati-hati dengan obstruksi jalan napas ke paru-paru kanan
memakai perekat khusus. dan mengakibatkan klien mengalami
Mohon bantuan perawat lain ketika pneumothoraks.
memasang dan mengatur posisi tube.
Catat adanya batuk, bertambahnya sesak Selama intubasiklien mengalami refleks
napas, suara alarm dari ventilator karena batuk yang tidak efektif, atau klien akan
tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret mengalami kelemahan otot-otot
melalui endotracheal/tracheostomy tube, pernapasan
bertambahnya bunyi ronkhi. (neuromuscular/neurosensorik),
keterlambatan untuk batuk. Semua klien
tergantung dari alternatif yang dilakukan
seperti mengisap lender dari jalan napas.
Lakukan penghisapan lender jika Pengisapan lendir tidak selamanya
diperlukan, batasi durasi pengisapan dilakukan terus-menerus, dan durasinya
dengan 15 detik atau lebih. Gunakan pun dapat dikurangi untuk mencegah
kateter pengisap yang sesuai, cairan bahaya hipoksia.
fisiologis steril. Diameter kateter pengisap tidak boleh
Berikan oksigen 100% sebelum lebih dari 50% diameter
dilakukan pengisapan dengan ambu bag endotracheal/tracheostomy tube untuk
(hiperventilasi). mencegah hipoksia.
Dengan membuat hiperventilasi melalui
pemberian oksigen 100% dapat mencegah
terjadinya atelektasis dan mengurangi
terjadinya hipoksia.
Anjurkan klien mengenai tekhik batuk Batuk yang efektif dapat mengeluarkan
selama pengisapan seperti waktu sekret dari saluran napas.
bernapas panjang, batuk kuat, bersin jika
ada indikasi.
Atur/ubah posisi klien secara teratur Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi
(tiap 2jam). segmen paru-paru, mengurangi risiko
atelektasis.
Berikan minum hangat jika keadaan Membantu pengenceran sekret,
memungkinkan. mempermudah pengeluaran sekret.
Jelaskan kepada klien tentang kegunaan Pengetahuan yang diharapkan akan
batuk efektif dan mengapa terdapat membantu mengembangkan kepatuhan
penumpukan sekret di saluran klien terhadap rencana terapeutik.
pernapasan.
Ajarkan klien tentang metode yang tepat Batuk yang tidak terkontrol adalah
untuk pengontrolan batuk. melelahkan dan tidak efektif, dapat
menyebabkan frustasi.
Napas dalam dan perlahan saat duduk Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
setegak mungkin.
Lakukan pernapasan diafragma. Pernapasan diafragma menurunkan
frekuensi napas dan meningkatkan
ventilasi alveolar.
Tahap napas selama 3-5 detik kemudian Meningkatkan volume udara dalam paru,
secara perlahan-lahan, dikeluarkan mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
sebanyak mungkin melalui mulut.
Lakukan napas kedua, tahan, dan Pengkajian ini membantu mengevaluasi
batukkan dari dada dengan melakukan 2 keefektifan upaya batuk klien.
batuk pendek dan kuat.
Auskultasi paru sebelum dan sesudah Sekresi kental sulit untuk di encerkan dan
klien batuk. dapat menyebabkan sumbatan mucus,
yang mengarah pada atelektasis.
Ajarkan klien tindakan untuk Untuk menghindari pengentalan dari
menurunkan viskositas sekresi. : sekret atau mosa pada saluran napas pada
mempertahankan hidrasi yang adekuat; bagian atas.
meningkatkan masukan cairan 1000-
1500 cc/hari bila tidak ada
kontraindikasi.
Dorong atau berikan perawatan mulut Higine mulut yang baik meningkatkan
yang baik setelah batuk. rasa kesejahteraan dan mencegah bau
mulut.
Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan Ekspektoran untuk memudahkan
fisioterapi. mengeluarkan lendir dan mengevaluasi
§ Pemberian ekspektoran. perbaikan kondisi klien atas
§ Pemberian antibiotic. pengembangan parunya.
§ Fisioterapi dada.
§ Konsul foto thoraks
Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi Mengatur ventilasi segmen paru-paru dan
seperti postural drainage, pengeluaran sekret.
perkusi/penepukan.
Berikan obat-obat bronchodilator sesuai Mengatur ventilasi dan melepaskan sekret
indikasi seperti aminophilin, meta- karena relaksasi muscle/bronchospasme.
proterenol sulfat (alupent), adoetharine
hydrochloride (bronkosol).

DX 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot
sekunder.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil : Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi,
dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien
tidak gelisah.
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan Pendekatan dengan menggunakan
pereda nyeri nonfarmakologi dan non- relaksasi dan nonfarmakologi lainnya
invasif. telah menunujukkan keefektifan dalam
mengurangi nyeri.
Ajarkan relaksasi :
Teknik-teknik untuk menurunkan Akan melansarkan peredaran darah
ketegangan otot rangka, yang dapat sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan
menurunkan intensitas nyeri dan juga akan terpenuhi dan akan mengurangi
tingkatkan relaksasi masase. nyerinya.
Ajarkan metode distraksi selama nyeri Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-
akut. hal yang menyenangkan.
Berikan kesempatan waktu istirahat bala Istirahat akan merelaksasikan semua
terasa nyeri dan berikan posisi yang jaringan sehingga akan meningkatkan
nyaman misalnya ketika tidur, kenyamanan.
belakangnya dipasang bantal kecil.
Tingkatkan pengetahuan tentang Pengkajian yang optimal akan
penyebab nyeri dan respons motorik memberikan perawat data yang objektif
klien, 30 menit setelah pemberian obat untuk mencegah kemungkinan
analgesic untuk mengkaji efektivitasnya komplikasi dan melakukan intervensi
serta setiap 1-2 jam setelah tindakan yang tepat.
perawatan selama 1-2 hari.
Kolaborasi dengan dokter, pemberian Analgetik memblok lintasan nyeri,
analgetik. sehingga nyeri akan berkurang.

DX 5 : Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah


(nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi
neurologis dapat d minimalkan /distabilkan.
Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi kognitif
dan motorik/sensorik, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan tidak ada tanda-
tanda peningktan TIK,
Intervensi Rasional
Kaji ulang tanda-tanda vital Mengkaji adanya kecenderungan pada
klien dan status relirologis klien tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan bermanfaat dalam
menentukan lokasi, perluasan dan
perkembangankerusakan ssp.
Monitor tekanan darah, catat adanya Peningkatan tekanan darah sistemik yang
hipertensi sistolik secara teratur dan diikuti penurunan tekanan darah distolik
tekanan nadi yang makin berat, obs, ht, (nadi yang
pada klien yang mengalami trauma membesar) merupakan tanda terjadinya
multiple. peningkatan TIK, juga diikuti ( yang
berhubungan
dengan trauma kesadaran.Hipovolumia/
Ht (yang berhubungan dengan trauma
multiples) dapat
mengakibatkan kerusakan / iskemik
serebral.
Monitor Heart Rate, catat adanya Perubahan pada ritme (paling sering
bradikardi, takikardi atau bentuk bradikardia) dan disritmia dapat timbul
disritmia lainya. yang encerminkan
adanya depresi / trauma pada batang otak
pada pasien yang tidak mempunyai
kelainan jantung sebelumnya.
Monitor pernafasan meliputi pola dan Nafas tidak teratur menunjukkan adanya
ritme, seperti periode apnea setelah gangguan
hiperventilasi serebral/ peningkatan TIK dan
(pernafasan cheyne – stokes). memerlukan intervensi lebih lanjut
termasuk kemungkinan
dukungan nafas buatan.
Kaji perubahan pada penglihatan ( Gangguan penglihatan dapat diakibatkan
penglihatan kabur, ganda, lap. Pandang oleh kerusakan mikroskopik pada otak,
menyempit merupakan konsekuensi terhadap
dan kedalaman persepsi. keamanan dan juga akan mempngaruhi
pilihan intervensi
Pertahankan kepala / leher pada posisi Kepala yang miring pada salah satu sisi
tengah/ pada posisi netral. Sokong menekan vena jugularis dan menghambat
dengan handuk kecil / aliran darah lain yang selanjutnya akan
bantal kecil. Hindari pemakaian bantal meningkat TIK.
besar pada kepala
Kolaborasi Tinggikan kepala pasien 15 – Meningkatkan aliran balik vena dari
45o sesuai indikasi / yang dapat kepala, sehingga mengurangi kongesti dan
ditoleransi. edema
/ resiko terjadinya peningkatan TIK.
Kolaborasi pemberian O2 tambahan Menurunkan hipoksemia yang mana dapat
sesuai menaikkan vasodilatasi dan vol darah
indikasi serebral yang meningkatkan TIK.
Kolaborasi pemberian obat sesuai - Untuk menurunkan air dari sel otak,
indikasi : menurunkan edema otak TIK.
- Diuretik - Menurunkan inflasi, yang
- Steroid selanjutnya menurunkan edema jaringan.
- Analgetik sedang - Menghilangkan nyeri dan dapat berakibat
- Sedatif Θ pada TIK tetapi harus digunakan
dengan hasil untuk mencegah gangguan
pernafasan.
- Untuk mengendalikan kegelisahan agitas
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C. Brenda G.Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth. Edisi 8. Jakarta:EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
M.Taylor, Cynthia., Ralph, Sheila. 2012. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan.
Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai