Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA WAJAH (MAKSILOFASIAL)

1. Definisi Trauma Maksilofasial

Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang pembentuk wajah. Berdasarkan
anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian, ialah sepertiga atas wajah, sepertiga
tengah wajah, dan sepertiga bawah wajah. Bagian yang termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang
frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal,
palatinus, nasal konka inferior, dan tulang vomer termasuk ke dalam sepertiga tengah wajah sedangkan
mandibula termasuk ke dalam bagian sepertiga bawah wajah.

Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud
dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang
dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari : tulang hidung, tulang
arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang
dimaksud dengan trauma jaringan lunak adalah:

- Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato

- Cedera saraf, cedera saraf fasial

- Cedera kelenjar paratiroid atau duktus Stensen

- Cedera kelopak mata

- Cedera telinga

- Cedera hidung

2. Anatomi Maksilofasial

Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah lahir dan lambat laun
akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar cranium sudah mencapai 90% cranium
dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk
wajah manusia. Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah wajah bagian atas,
di mana patah tulang melibatkan frontal dan sinus. Bagian kedua adalah midface tersebut. Midface
dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para midface atas adalah di mana rahang atas Le Fort II dan III Le
Fort fraktur terjadi dan / atau di mana patah tulang hidung, kompleks nasoethmoidal atau
zygomaticomaxillary, dan lantai orbit terjadi. Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang
lebih rendah, di mana patah tulang yang terisolasi ke rahang bawah.

Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak. Didalam tulang wajah
terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi)
dan rongga mata(orbita).
a. Bagian hidung terdiri atas :

Os Lacrimal (tulang mata) letaknya di sebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut mata. Os Nasal (tulang
hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas. Dan Os Konka nasal (tulang karang hidung),
letaknya di dalam rongga hidung dan bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah
sambungan dari tulang tapis yang tegak.

b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :

Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri dari dua tulang kiri dan
kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua dua buah tulang kiri dan kanan. Os
Mandibularis atau tulang rahang bawah, terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang
kemudian bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan dari mandibula terdapat processus coracoids
tempat melekatnya otot.

3. Facial danger zones (Zona bahaya wajah)

Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar di beberapa lokasi di
wajah, ada 7 lokasi-lokasi penting di sekitar wajah yang apabila terjadi trauma atau kesalahan dalam
penanganan trauma maksilofasial akan berakibat fatal, lokasi-lokasi tersebut disebut dengan facial
danger zone.

4. Epidemiologi

Dari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar 6% dari seluruh
trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr.Soetomo. Kejadian fraktur mandibula dan maksila
terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85 %, disusul fraktur zigoma 27,64
% dan fraktur nasal 12, 66 %. Penderita fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia
produktif,yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38 % disertai cedera di tempat lain, dan trauma penyerta
terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat, sekitar 56%. Penyebab terbanyak adalah kecelakaan
lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda motor.

5. Etiologi Trauma Maksilofasial

Trauma wajah di perkotaan paling sering disebabkan oleh perkelahian, diikuti oleh kendaraan bermotor
dan kecelakaan industri. Para zygoma dan rahang adalah tulang yang paling umum patah selama
serangan. Trauma wajah dalam pengaturan masyarakat yang paling sering adalah akibat kecelakaan
kendaraan bermotor, maka untuk serangan dan kegiatan rekreasi. Kecelakaan kendaraan bermotor
menghasilkan patah tulang yang sering melibatkan midface, terutama pada pasien yang tidak memakai
sabuk pengaman mereka. Penyebab penting lain dari trauma wajah termasuk trauma penetrasi,
kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan anak-anak dan orang tua

Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah
sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang
dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas
(automobile).

Berikut ini tabel etiologi trauma maksilofasial :

Penyebab pada orang dewasa

Persentase (%)

Kecelakaan lalu lintas

40-45

Penganiayaan / berkelahi

10-15

Olahraga

5-10

Jatuh

Lain-lain

5-10

Penyebab pada orang anak

Persentase (%)

Kecelakaan lalu lintas

10-15

Penganiayaan / berkelahi

5-10

Olahraga (termasuk naik sepeda)

50-65
Jatuh

5-10

6. Klasifikasi Trauma Maksilofasial

Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan
trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat
pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.

a. Trauma jaringan lunak wajah

Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar.

Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan :

ü Berdasarkan jenis luka dan penyebab:

- Ekskoriasi

- Luka sayat, luka robek , luka bacok

- Luka bakar

- Luka tembak

ü Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan

- Dikaitkan dengan unit estetik

b. Trauma jaringan keras wajah

Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan dalam hal ini
tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya, trauma pada jaringan keras
wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan:

ü Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetika

- Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibulla, gigi dan alveolus

- Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks mandibular

ü Berdasarkan Tipe fraktur :

- Fraktur simple
Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus, koronoideus, korpus dan
mandibula yang tidak bergigi. Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut.
Termasukgreenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.

- Fraktur kompoun

Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak. Biasanya pada fraktur korpus
mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran
periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada
kulit.

- Fraktur komunisi

Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru yang mengakibatkan
tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk. Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti
fraktur kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.

ü Fraktur patologis

keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor
ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.

Lokasi Anatomis Fraktur Maksilofasial

a. Fraktur Sepertiga Bawah Wajah (Fonseca, 2005)

Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah.

Klasifikasi fraktur berdasarkan istilah :

ü Simple atau Closed : merupakan fraktur yang tidak menimbulkan luka terbuka keluar baik melewati
kulit, mukosa, maupun membran periodontal.

ü Compound atau Open : merupakan fraktur yang disertai dengan luka luar termasuk kulit, mukosa,
maupun membran periodontal , yang berhubungan dengan patahnya tulang.

ü Comminuted : merupakan fraktur dimana tulang hancur menjadi serpihan.

ü Greenstick : merupakan fraktur dimana salah satu korteks tulang patah, satu sisi lainnya melengkung.
Fraktur ini biasa terjadi pada anak-anak.

ü Pathologic : merupakan fraktur yang terjadi sebagai luka yang cukup serius yang dikarenakan adanya
penyakit tulang.

ü Multiple : sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur pada tulang yang sama tidak
berhubungan satu sama lain.

ü Impacted : merupakan fraktur dimana salah satu fragmennya terdorong ke bagian lainnya.
ü Atrophic : merupakan fraktur yang spontan yang terjadi akibat dari atropinya tulang, biasanya pada
tulang mandibula orang tua.

ü Indirect : merupakan titik fraktur yang jauh dari tempat dimana terjadinya luka.

ü Complicated atau Complex : merupakan fraktur dimana letaknya berdekatan dengan jaringan lunak
atau bagian-bagian lainnya, bisa simple atau compound.

Klasifikasi Fraktur Mandibula berdasarkan lokasi anatominya:

ü Midline : fraktur diantara incisal sentral

ü Parasymphyseal : dari bagian distal symphysis hingga tepat pada garis alveolar yang berbatasan
dengan otot masseter (termasuk sampai gigi molar 3)

ü Symphysis : berikatan dengan garis vertikal sampai distal gigi kaninus

ü Angle : area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior otot masseter hingga perlekatan
poesterosuperior otot masseter (dari mulai distal gigi molar 3)

ü Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle hingga membentuk dua garis apikal pada sigmoid
notch

ü Processus Condylus : area pada superior prosesus kondilus hingga regio ramus

ü Processus Coronoid : termasuk prosesus koronoid pada superior mandibula hingga regio ramus

ü Processus Alveolaris : regio yang secara normal terdiri dari gigi.

b. Fraktur Sepertiga Tengah Wajah

Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang palatina, dan tulang nasal.
Tulang-tulang maksila membantu dalam pembentukan tiga rongga utama wajah : bagian atas rongga
mulut dan nasal dan juga fosa orbital. Rongga lainnya ialah sinus maksila. Sinus maksila membesar
sesuai dengan perkembangan maksila orang dewasa. Banyaknya rongga di sepertiga tengah wajah ini
menyebabkan regio ini sangat rentan terkena fraktur.

Fraktur tulang sepertiga tengah wajah berdasarkan klasifikasi Le Fort :

ü Fraktur Le Fort tipe I (Guerin’s)

Fraktur Le Fort I merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi, dan menyebabkan terpisahnya
prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan
yang disebut floating jaw. Hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya
edema.

ü Fraktur Le Fort tipe II


Fraktur Le Fort tipe II biasa juga disebut dengan fraktur piramidal. Manifestasi dari fraktur ini ialah
edema di kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis, yang terlihat seperti racoon sign. Biasanya
ditemukan juga hipoesthesia di nervus infraorbital. Kondisi ini dapat terjadi karena trauma langsung
atau karena laju perkembangan dari edema. Maloklusi biasanya tercatat dan tidak jarang berhubungan
dengan open bite. Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas pada saat palpasi di area
infraorbital dan sutura nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis juga dapat ditemukan
pada kasus ini

Fraktur Le Fort II (Fonseca, 2005)

ü Fraktur Le Fort III

Fraktur ini disebut juga fraktur tarnsversal. Fraktur Le Fort III (gambar 2.6) menggambarkan adanya
disfungsi kraniofasial. Tanda yang terjadi pada kasus fraktur ini ialah remuknya wajah serta adanya
mobilitas tulang zygomatikomaksila kompleks, disertai pula dengan keluarnya cairan serebrospinal,
edema, dan ekimosis periorbital.

Description: Description: http://4.bp.blogspot.com/-2wmUJAz9GW4/TtN7XXYmY-


I/AAAAAAAAAD0/sGy4UA8URlc/s320/26.jpg

Fraktur Le Fort III (Fonseca, 2005)

c. Fraktur Sepertiga Atas Wajah

Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus
frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat depressedke dalam atau hanya mempunyai garis
fraktur linier yang dapat meluas ke daerah wajah yang lain.

Patofisiologi Trauma Maksilofasial

Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa dikalikan dengan kuadrat
kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi menghasilkan kekuatan yang mengakibatkan
cedera. Berdampak tinggi dan rendah-dampak kekuatan didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari
50 kali gaya gravitasi. Ini berdampak parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang
dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda regional. Tepi supraorbital,
mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang frontal memerlukan kekuatan tinggi-dampak yang akan
rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah semua yang diperlukan untuk merusak zygoma dan tulang
hidung.
Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi. Bagiananterior dan / atau
posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi jika dinding posterior
sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.

Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang terisolasi atau dapat
disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan menyerang pinggiran orbital, tekanan
intraorbital meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan merusak bagian-bagian terlemah dari dasar
dan dinding medial orbita. Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden
cedera okular cukup tinggi, namun jarang menyebabkan kematian.

Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma langsung.

Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke tulang ethmoid dan
dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial, aparatus lacrimalis, atau saluran nasofrontal.

Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung zygomatic dapat
mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan zygomaticotemporal.

Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan patah tulang dari trauma
langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan
zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan tulang sphenoid. Garis fraktur biasanya memperpanjang
melalui foramen infraorbital dan lantai orbit. Cedera mata serentak yang umum.

Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-rahang dan leher
condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari lokasi trauma langsung.

Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi langsung atau dapat
hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang atas atau rahang bawah

Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi mengakibatkan cedera pada wajah
atas, midface, dan wajah yang lebih rendah

Manifestasi Klinis

Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :

ü Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur mandibular

ü Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur

ü Rasa nyeri pada sisi fraktur

ü Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas

ü Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur

ü Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran


ü Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur

ü Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan

ü Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah nervus alveolaris

ü Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan pergerakan bola mata
dan penurunan visus

Pemeriksaan Penunjang

a. Wajah Bagian Atas :

- CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)

- CT-scan aksial koronal

- Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepala dan X-ray kepala

b. Wajah Bagian Tengah :

- CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)

- CT scan aksial koronal

- Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan posteroanterior (Caldwells),
Submentovertek (Jughandles)

c. Wajah Bagian Bawah :

- CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D

- Panoramic X-ray

- Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi:

Posteroanterior (Caldwells)

Posisi lateral (Schedell)

Posisi towne

Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala dan wajah selain dari factor mempertahankan
fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status neurologis (disability, exposure), maka
factor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini
dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma
relative memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi disebabkan oleh edema
serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan
intracranial ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi
asidosis intraserebral dan menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan
PaCO2 ini yakin dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat intermittent iatrogenic
paralisis. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepala klien-lkien yang koma untuk mencegah terjadinya
PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan
intracranial.

Penatalaksanaan konservatif meliputi :

ü Bedrest total

ü Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).

ü Pemberian obat-obatan: Dexmethason / kalmethason sebagai pengobatan anti-edema serebral, dosis


sesuai dengan berat ringannya trauma.

ü Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.

ü Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau glukosa 40%, atau gliserol
10%.

ü Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (pensilin) atau untuk infeksi anaerob diberikan
metronidasol.

ü Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa,hanya
cairan infuse dextrose 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari
kemudian diberikan makanan lunak.

ü Pada trauma berat. Karena hai-hari pertama didapat klien mengalami penurunan kesadaran dan
cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak
cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga, pada hari
selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500-300 TKTP).
Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.

Komplikasi

- Perdarahan ulang

- Kebocoran cairan otak

- Infeksi pada luka atau sepsis

- Timbulnya edema serebri

- Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK


- Nyeri kepala setelah penderita sadar

- Konvulsi

Asuhan Keperawatan

Pengkajian

Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cedera dan mungkin di persulit oleh
cedera tambahan pada organ vital

- Aktifitas dan istirahat

Gejala : merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan

Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia cara berjalan tidak tegap, masalah dlm
keseimbangan, cedera/trauma ortopedi, kehilangan tonus otot.

- Sirkulasi

Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia
yang diselingi bradikardia disritmia)

- Integritas ego

Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian

Tanda :Cemas,mudah tersinggung,delirium,agitasi,bingung,depresi

- Eliminasi

Gejala : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan fungsi

- Makanan/cairan

Gejala : mual,muntah dan mengalami perubahan selera

Tanda : muntah,gangguan menelan

- Neurosensori

Gejala :Kehilangan kesadaran sementara,amnesia seputar kejadian, vertigo,


sinkope,tinitus,kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagain lapang pandang, gangguan pengecapan dan penciuman

Tanda : Perubahan kesadran bisa sampai koma, perubahan status mental, perubahan pupil,
kehilangan penginderaan, wajah tdk simetris, genggaman lemah tidak seimbang, kehilangan sensasi
sebagian tubuh
- Nyeri/kenyamanan

Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda biasanya lama

Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri, nyeri yang hebat,merintih

- Pernafasan

Tanda : Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor, tersedak,ronkhi,mengi

- Keamanan

Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan

Tanda : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan

- Kulit : laserasi,abrasi,perubahan warna,tanda batle disekitar telinga,adanya aliran cairan dari telinga
atau hidung

- Gangguan kognitif

- Gangguan rentang gerak

- Demam

Diagnosa Keperawatan

- Risiko tinggi peningkatan tekanan intracranial yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari
kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma.

- Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat pernapasan di
otak, kelemahan oto-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi
udara/cairan.

- Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan sputum, peningkatan
sekresi sekret, penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada
trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.

- Perubahan kenyamanan: nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme
otot sekunder.

- Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi, nemotuma),
edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.

Rencana Keperawatan
DX 1 : Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi
korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan
epidural hematoma.

Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.

Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah, GCS 4, 5, 6,
tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.

Intervensi

Rasionalisasi

Mandiri

Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab koma/penurunan perfusi jaringan dan
kemungkinan penyebab peningkatan TIK.

Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status neurologis/ tanda-tanda kegagalan
untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.

Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam

Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan
tekanan darah sistemik, penurunan dari autoregulator kebanyakan merupakan tanda penurunan difusi
local vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan tekanan darah (diastolic) maka dibarengi dengan
peningkatan tekanan darah intrakrinial. Adanya peningkatan tekanan darah, bradikardi, disritmia,
dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.

Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman, dan reaksi terhadap cahaya.

Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika
batang otak terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf III cranial (okulomotorik) yang menunjukkan
keseimbangan antara parasimpatis dan simpatis. Respon terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi
dari saraf cranial II dan III.

Monitor temperatur dan pengaturan suhu lingkungan.

Panas merupakan refleks dari hipotalamus.

Peningkatan kebutuhan metabolism dan O2 akan menunjang peningkatan TIK/ ICP (Intracranial
Pressure).

Pertahankan kepala/ leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan
bantal yang tinggi pada kepala.
Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat
aliran darah otak (menghambat drainase pada vena serebral), untuk itu dapat meningkatkan TIK

Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur.

Tindakan yang terus-menerus dapat meningkatkan TIK oleh efek rangsangan kumulatif.

Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase punggung, lingkungan yang tenang.
Sentuhan yang ramah, dan suasana / pembicaraan yang tidak gaduh.

Memberikan suasana yang tenang (colming effect) dapat mengurangi respons psikologis dan
memberikan istirahat untuk mempertahankan TIK yang rendah.

Cegah/hindarkan terjadinya valsava maneuver

Mengurangi tekanan intratorakal dan intraabdominal sehingga menghindari peningkatan TIK.

Bantu klien jika batuk, muntah

Aktivitas ini dapat meningkatkan intrathorakal/tekanan dalam thoraks dan tekanan dalam abdomen
dimana aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan TIK.

Kaji peningkatan istirahat dan tingkat laku.

Tingkah nonverbal ini dapat merupakan indikasi peningkatan TIK atau memberikan refleks nyeri dimana
klien tidak mampu mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak menurun dapat
meningkatkan TIK.

Palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder, pertahankan drainase urine secara paten jika di gunakan
dan juga monitor terdapatnya konstipasi.

Dapat meningkatkan repons otomatis yang potensial menaikkan TIK.

Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan keluarga tentang sebab-sebab TIK meningkat.

Meningkatkan kerja sama dalam meningakatkan perawatan klien dan mengurangi kecemasan.

Observasi tingkat kesadaran dengan GCS.

Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna menentukan lokasi dan
perkembangan penyakit.

Kolaborasi :

Pemberian O2 sesuai indikasi.


Mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi serebral, volume darah, dan
menaikkan TIK.

Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi darah dari dalam intracranial.

Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah dilakukan bila kemungkinan terdapat tanda-tanda deficit
neurologis yang menandakan peningkatan ntrakranial.

Berikan cairan intravena sesuai indikasi.

Pemberian cairan mungkin di inginkan untuk mengurangi edema serebral, peningkatan minimum pada
pembuluh darah, tekanan darah dan TIK.

Berikan obat osmosis diuretic contohnya : manitol, furoscide.

Diuretic mungkin digunakan pada fase akut untuk mengalirkan air dari sel otak dan mengurangi edema
serebral dan TIK.

Berikan steroid contohnya : dexamethason, methyl prenidsolon.

Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema jaringan.

Berikan analgesic narkotik contoh : kodein.

Mungkin di indikasikan untuk mengurangi nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK tetapi dapat
digunakan dengan tujuan untuk mencegah dan menurunkan sensasi nyeri.

Berikan antipiretik contohnya : asetaminofen.

Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme serebral/oksigen yang diinginkan.

Monitor hasil laboratorium sesuai dengan indikasi seperti prothrombin, LED.

Membantu memberikan informasi tentang efektifitas pemberian obat.

DX 2 : Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan,


kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma.

Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas kembali efektif.

Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas-
gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab.

Intervensi

Rasional
Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik kesisi yang sakit.
Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.

Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.

Observasi fungsi pernapasan, dispnea, atau perubahan tanda-tanda vital.

Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan
nyeri atau dapat menunujukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.

Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.

Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana
terapeutik.

Jelaskan pada klien tentang etiologi/factor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.

Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien
terhadap rencana terapeutik.

Pertahankan perilaku tenang, bantu klien untuk control diri dengan menggunakan pernapasan lebih
lambat dan dalam.

Periksalah alarm pada ventilator sebelum difungsikan. Jangan mematikan alarm.

Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai
ketakutan/ansietas.

Ventilator yang memiliki alarm yang bias dilihat dan didengar misalnya alarm kadar oksigen,
tinggi/rendahnya tekanan oksigen.

Tarulah kantung resusitasi disamping tempat tidur dan manual ventilasi untuk sewaktu-waktu dapat
digunakan.

Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat berguna untuk mempertahankan fungsi pernapasan jika
terjadi gangguan pada alat ventilator secara mendadak.

Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan jika ventilator tiba-tiba berhenti.

Melatih klien untuk mengatur napas seperti napas dalam, napas pelan, napas perut, pengaturan posisi,
dan teknik relaksasi dapat membantu memaksimalkan fungsi dan system pernapasan.

Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara rutin.

Pengecekan konsentrasi oksigen, memeriksa tekanan oksigen dalam tabung, monitor manometer untuk
menganalisis batas/kadar oksigen.

Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg). periksa fungsi spirometer.


Memerhatikan letak dan fungsi ventilator sebagai kesiapan perawat dalam memberikan tindakan pada
penyakit primer setelah menilai hasil diagnostik dan menyediakan sebagai cadangan.

Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :

Dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.

§ Pemberian antibiotik.

§ Pemberian analgesic.

§ Fisioterapi dada.

§ Konsul foto thoraks.

Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan
parunya.

DX 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas buatan pada
trakea, peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan
keletihan.

Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan napas.

Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas sumbatan,
menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran pernapasan.

Intervensi

Rasional

Kaji keadaan jalan napas

Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa cairan mucus, perdarahan,
bronkhospasme, dan/atau posisi dari endotracheal/tracheostomy tube yang berubah.

Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara napas pada kedua paru (bilateral).

Pergerakan dada yang simetris dengan suara napas yang keluar dari paru-paru menandakan jalan napas
tidak terganggu. Saluran napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada pneumonia/atelektasis akan
menimbulkan perubahan suara napas seperti ronkhi atau wheezing.

Monitor letak/posisi endotracheal tube. Beri tanda batas bibir.

Lekatkan tube secara hati-hati dengan memakai perekat khusus.

Mohon bantuan perawat lain ketika memasang dan mengatur posisi tube.
Endotracheal tube dapat saja masuk ke dalam bronchus kanan, menyebabkan obstruksi jalan napas ke
paru-paru kanan dan mengakibatkan klien mengalami pneumothoraks.

Catat adanya batuk, bertambahnya sesak napas, suara alarm dari ventilator karena tekanan yang tinggi,
pengeluaran sekret melalui endotracheal/tracheostomy tube, bertambahnya bunyi ronkhi.

Selama intubasiklien mengalami refleks batuk yang tidak efektif, atau klien akan mengalami kelemahan
otot-otot pernapasan (neuromuscular/neurosensorik), keterlambatan untuk batuk. Semua klien
tergantung dari alternatif yang dilakukan seperti mengisap lender dari jalan napas.

Lakukan penghisapan lender jika diperlukan, batasi durasi pengisapan dengan 15 detik atau lebih.
Gunakan kateter pengisap yang sesuai, cairan fisiologis steril.

Berikan oksigen 100% sebelum dilakukan pengisapan dengan ambu bag (hiperventilasi).

Pengisapan lendir tidak selamanya dilakukan terus-menerus, dan durasinya pun dapat dikurangi untuk
mencegah bahaya hipoksia.

Diameter kateter pengisap tidak boleh lebih dari 50% diameter endotracheal/tracheostomy tube untuk
mencegah hipoksia.

Dengan membuat hiperventilasi melalui pemberian oksigen 100% dapat mencegah terjadinya
atelektasis dan mengurangi terjadinya hipoksia.

Anjurkan klien mengenai tekhik batuk selama pengisapan seperti waktu bernapas panjang, batuk kuat,
bersin jika ada indikasi.

Batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret dari saluran napas.

Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2jam).

Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru-paru, mengurangi risiko atelektasis.

Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan.

Membantu pengenceran sekret, mempermudah pengeluaran sekret.

Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di
saluran pernapasan.

Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana
terapeutik.

Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk pengontrolan batuk.

Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, dapat menyebabkan frustasi.

Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.


Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.

Lakukan pernapasan diafragma.

Pernapasan diafragma menurunkan frekuensi napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.

Tahap napas selama 3-5 detik kemudian secara perlahan-lahan, dikeluarkan sebanyak mungkin melalui
mulut.

Meningkatkan volume udara dalam paru, mempermudah pengeluaran sekresi sekret.

Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.

Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.

Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.

Sekresi kental sulit untuk di encerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mucus, yang mengarah pada
atelektasis.

Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi. : mempertahankan hidrasi yang adekuat;
meningkatkan masukan cairan 1000-1500 cc/hari bila tidak ada kontraindikasi.

Untuk menghindari pengentalan dari sekret atau mosa pada saluran napas pada bagian atas.

Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.

Higine mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.

Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.

§ Pemberian ekspektoran.

§ Pemberian antibiotic.

§ Fisioterapi dada.

§ Konsul foto thoraks

Ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas
pengembangan parunya.

Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti postural drainage, perkusi/penepukan.

Mengatur ventilasi segmen paru-paru dan pengeluaran sekret.

Berikan obat-obat bronchodilator sesuai indikasi seperti aminophilin, meta-proterenol sulfat (alupent),
adoetharine hydrochloride (bronkosol).
Mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena relaksasi muscle/bronchospasme.

DX 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.

Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang/hilang.

Kriteria hasil : Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, dapat
mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.

Intervensi

Rasional

Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non-invasif.

Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunujukkan


keefektifan dalam mengurangi nyeri.

Ajarkan relaksasi :

Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan
juga tingkatkan relaksasi masase.

Akan melansarkan peredaran darah sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi dan akan
mengurangi nyerinya.

Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.

Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.

Berikan kesempatan waktu istirahat bala terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman misalnya ketika
tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.

Istirahat akan merelaksasikan semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.

Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan respons motorik klien, 30 menit setelah
pemberian obat analgesic untuk mengkaji efektivitasnya serta setiap 1-2 jam setelah tindakan
perawatan selama 1-2 hari.

Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang objektif untuk mencegah kemungkinan
komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.

Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik.

Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.


DX 5 : Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi,
nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.

Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi neurologis dapat d
minimalkan /distabilkan.

Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi kognitif dan


motorik/sensorik, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan tidak ada tanda-tanda peningktan TIK,

Intervensi

Rasional

Kaji ulang tanda-tanda vital

klien dan status relirologis klien

Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat
dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangankerusakan ssp.

Monitor tekanan darah, catat adanya hipertensi sistolik secara teratur dan tekanan nadi yang makin
berat, obs, ht, pada klien yang mengalami trauma multiple.

Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti penurunan tekanan darah distolik (nadi yang

membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, juga diikuti ( yang berhubungan

dengan trauma kesadaran.Hipovolumia/ Ht (yang berhubungan dengan trauma multiples) dapat

mengakibatkan kerusakan / iskemik serebral.

Monitor Heart Rate, catat adanya bradikardi, takikardi atau bentuk disritmia lainya.

Perubahan pada ritme (paling sering bradikardia) dan disritmia dapat timbul yang encerminkan

adanya depresi / trauma pada batang otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung
sebelumnya.

Monitor pernafasan meliputi pola dan ritme, seperti periode apnea setelah hiperventilasi

(pernafasan cheyne – stokes).

Nafas tidak teratur menunjukkan adanya gangguan

serebral/ peningkatan TIK dan memerlukan intervensi lebih lanjut termasuk kemungkinan

dukungan nafas buatan.


Kaji perubahan pada penglihatan ( penglihatan kabur, ganda, lap. Pandang menyempit

dan kedalaman persepsi.

Gangguan penglihatan dapat diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik pada otak,

merupakan konsekuensi terhadap keamanan dan juga akan mempngaruhi pilihan intervensi

Pertahankan kepala / leher pada posisi tengah/ pada posisi netral. Sokong dengan handuk kecil /

bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala

Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena jugularis dan menghambat aliran darah lain yang
selanjutnya akan

meningkat TIK.

Kolaborasi Tinggikan kepala pasien 15 –

45o sesuai indikasi / yang dapat ditoleransi.

Meningkatkan aliran balik vena dari kepala, sehingga mengurangi kongesti dan edema

/ resiko terjadinya peningkatan TIK.

Kolaborasi pemberian O2 tambahan sesuai

indikasi

Menurunkan hipoksemia yang mana dapat menaikkan vasodilatasi dan vol darah serebral yang
meningkatkan TIK.

Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi :

- Diuretik

- Steroid

- Analgetik sedang

- Sedatif

- Untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak TIK.

- Menurunkan inflasi, yang

selanjutnya menurunkan edema jaringan.

- Menghilangkan nyeri dan dapat berakibat Θ pada TIK tetapi harus digunakan dengan hasil untuk
mencegah gangguan
pernafasan.

- Untuk mengendalikan kegelisahan agitas

DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne C. Brenda G.Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth. Edisi 8. Jakarta:EGC

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:
Salemba Medika

M.Taylor, Cynthia., Ralph, Sheila. 2012. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan. Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai