Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

TRAUMA WAJAH

Disusun Untuk
Melengkapi Tugas
Keperawatan
Traumatologi
Dosen
Pengampu : Ns.
Nurul Fatmawati
Fitriana, S.Kep.,
M.Kep
Disusun Oleh :
KELOMPOK 2
KELAS D
SEMESTER 6
1. Tri Indriani (1611020169)
2. Khonsarizka Ayu (1611020172)
3. Triana Ayu A (1611020175)
4. (1611020181)
5. (16110202)
6. Amir Nur R (1611020217)
7. (1611020218)
8. (161102022)
9. (161102022)
10. (161102022)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN S1
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019

LAPORAN PENDAHULUAN
TRAUMA WAJAH (MAKSILOFASIAL)

1. Definisi Trauma Maksilofasial


Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang
pembentuk wajah. Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi
menjadi tiga bagian, ialah sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan
sepertiga bawah wajah. Bagian yang termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang
frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Maksila, zigomatikus,
lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang vomer termasuk ke
dalam sepertiga tengah wajah sedangkan mandibula termasuk ke dalam bagian
sepertiga bawah wajah.( Muttaqin,Arif. 2008 )
Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan
jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan
lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan
jaringan keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari : tulang hidung, tulang
arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi,
tulang alveolus. Yang dimaksud dengan trauma jaringan lunak adalah:
- Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato
- Cedera saraf, cedera saraf fasial
- Cedera kelenjar paratiroid atau duktus Stensen
- Cedera kelopak mata
- Cedera telinga
- Cedera hidung
2. Anatomi Maksilofasial
Gambar 1. Anatomi tulang maksilofasial ( Moore dkk, 2014)

Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua
setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5
tahun, besar cranium sudah mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial
tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah
manusia. Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah
wajah bagian atas, di mana patah tulang melibatkan frontal dan sinus. Bagian
kedua adalah midface tersebut. Midface dibagi menjadi bagian atas dan bawah.
Para midface atas adalah di mana rahang atas Le Fort II dan III Le Fort fraktur
terjadi dan / atau di mana patah tulang hidung, kompleks nasoethmoidal atau
zygomatico maxillary, dan lantai orbit terjadi. Bagian ketiga dari daerah
maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, di mana patah tulang yang
terisolasi ke rahang bawah.
Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak
otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut
(cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata(orbita).
a. Bagian hidung terdiri atas :
Os Lacrimal (tulang mata) letaknya di sebelah kiri/kanan pangkal hidung
disudut mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung
sebelah atas. Dan Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam
rongga hidung dan bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga
hidung) adalah sambungan dari tulang tapis yang tegak.
b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :
Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri
dari dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri
dari dua dua buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahang
bawah, terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian
bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan dari mandibula terdapat
processus coracoids tempat melekatnya otot.
3. Facial danger zones (Zona bahaya wajah)
Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar di
beberapa lokasi di wajah, ada 7 lokasi-lokasi penting di sekitar wajah yang
apabila terjadi trauma atau kesalahan dalam penanganan trauma maksilofasial
akan berakibat fatal, lokasi-lokasi tersebut disebut dengan facial danger  zone.
4. Epidemiologi
Dari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar
6% dari seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr.Soetomo.
Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang lainnya,
yaitu masing-masing sebesar 29,85 %, disusul fraktur zigoma 27,64 % dan fraktur
nasal 12, 66 %. Penderita fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia
produktif,yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38 % disertai cedera di tempat lain,
dan trauma penyerta terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat, sekitar
56%. Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah
pengendara sepeda motor.
5. Etiologi Trauma Maksilofasial
Trauma wajah di perkotaan paling sering disebabkan oleh perkelahian, diikuti
oleh kendaraan bermotor dan kecelakaan industri. Para zygoma dan rahang adalah
tulang yang paling umum patah selama serangan. Trauma wajah dalam
pengaturan masyarakat yang paling sering adalah akibat kecelakaan kendaraan
bermotor, maka untuk serangan dan kegiatan rekreasi. Kecelakaan kendaraan
bermotor menghasilkan patah tulang yang sering melibatkan midface, terutama
pada pasien yang tidak memakai sabuk pengaman mereka. Penyebab penting lain
dari trauma wajah termasuk trauma penetrasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan
pelecehan anak-anak dan orang tua.

Penyebab pada orang dewasa Presentase %

Kecelakaan lalu lintas 40-45

Penganiayaan/berkelahi 10-15

Olahraga 5-10

Jatuh 5

Lain-lain 5-10

Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena
harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai
ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh
trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas
(automobile).
Berikut ini tabel etiologi trauma maksilofasial :

Penyebab pada anak Presentase %

Kecelakaan lalu lintas 10-15

Penganiayaan/berkelahi 5-10

Olahraga ( Termasuk naik 50-65


sepeda )

Jatuh 5-10

6. Klasifikasi Trauma Maksilofasial


Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma
jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak
biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan
lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.
a. Trauma jaringan lunak wajah
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena
trauma dari luar.
Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan :
 Berdasarkan jenis luka dan penyebab:
- Ekskoriasi
- Luka sayat, luka robek , luka bacok
- Luka bakar
- Luka tembak
 Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
- Dikaitkan dengan unit estetik
b. Trauma jaringan keras wajah
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang
terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum
dilihat dari terminologinya, trauma pada jaringan keras wajah dapat
diklasifikasikan berdasarkan:
 Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetika
- Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum,
maxilla, mandibulla, gigi dan alveolus
- Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal
dan fraktur kompleks mandibular.
 Berdasarkan Tipe fraktur :
- Fraktur simple
Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada
kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi.
Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut.
Termasukgreenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama
pada anak dan jarang terjadi.
- Fraktur kompoun
Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan
lunak. Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung
gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran
periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah
dapat meluas dengan sobekan pada kulit.
- Fraktur komunisi
Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam
seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian
yang kecil atau remuk. Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga
seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan
lunak.
 Fraktur patologis
keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit
tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan
penyakit tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.
7. Lokasi Anatomis Fraktur Maksilofasial
a. Fraktur Sepertiga Bawah Wajah (Fonseca, 2005)
Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah.
Klasifikasi fraktur berdasarkan istilah :
 Simple atau Closed : merupakan fraktur yang tidak menimbulkan luka
terbuka keluar baik melewati kulit, mukosa, maupun membran
periodontal.
 Compound atau Open : merupakan fraktur yang disertai dengan luka
luar termasuk kulit, mukosa, maupun membran periodontal , yang
berhubungan dengan patahnya tulang.
 Greenstick : merupakan fraktur dimana salah satu korteks tulang
patah, satu sisi lainnya melengkung. Fraktur ini biasa terjadi pada
anak-anak.
 Pathologic : merupakan fraktur yang terjadi sebagai luka yang cukup
serius yang dikarenakan adanya penyakit tulang.
 Multiple : sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur pada
tulang yang sama tidak berhubungan satu sama lain.
 Impacted : merupakan fraktur dimana salah satu fragmennya
terdorong ke bagian lainnya.
 Atrophic  : merupakan fraktur yang spontan yang terjadi akibat dari
atropinya tulang, biasanya pada tulang mandibula orang tua.
 Indirect  : merupakan titik fraktur yang jauh dari tempat dimana
terjadinya luka.
 Complicated atau Complex : merupakan fraktur dimana letaknya
berdekatan dengan jaringan lunak atau bagian-bagian lainnya,
bisa simple atau compound.

Klasifikasi Fraktur Mandibula berdasarkan lokasi anatominya:


 Midline : fraktur diantara incisal sentral
 Parasymphyseal : dari bagian distal symphysis hingga tepat pada
garis alveolar yang berbatasan dengan otot masseter (termasuk
sampai gigi molar 3)
 Symphysis : berikatan dengan garis vertikal sampai distal gigi
kaninus
 Angle : area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior otot
masseter hingga perlekatan poesterosuperior otot masseter (dari
mulai distal gigi molar 3)
 Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle hingga
membentuk dua garis apikal pada sigmoid notch
 Processus Condylus : area pada superior prosesus kondilus hingga
regio ramus
 Processus Coronoid : termasuk prosesus koronoid pada superior
mandibula hingga regio ramus
 Processus Alveolaris : regio yang secara normal terdiri dari gigi.
b. Fraktur Sepertiga Tengah Wajah
Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila,
tulang palatina, dan tulang nasal. Tulang-tulang maksila membantu dalam
pembentukan tiga rongga utama wajah : bagian atas rongga mulut dan nasal
dan juga fosa orbital. Rongga lainnya ialah sinus maksila. Sinus maksila
membesar sesuai dengan perkembangan maksila orang dewasa. Banyaknya
rongga di sepertiga tengah wajah ini menyebabkan regio ini sangat rentan
terkena fraktur.
Fraktur tulang sepertiga tengah wajah berdasarkan klasifikasi Le Fort :
 Fraktur Le Fort tipe I (Guerin’s)
Fraktur Le Fort I merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi,
dan menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum.
Fraktur ini menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan yang
disebut floating jaw. Hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan
terjadi akibat dari adanya edema.
 Fraktur Le Fort tipe II
Fraktur Le Fort tipe II biasa juga disebut dengan fraktur piramidal.
Manifestasi dari fraktur ini ialah edema di kedua periorbital, disertai
juga dengan ekimosis, yang terlihat seperti racoon sign. Biasanya
ditemukan juga hipoesthesia di nervus infraorbital. Kondisi ini dapat
terjadi karena trauma langsung atau karena laju perkembangan dari
edema. Maloklusi biasanya tercatat dan tidak jarang berhubungan
dengan open bite. Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas
pada saat palpasi di area infraorbital dan sutura nasofrontal. Keluarnya
cairan cerebrospinal dan epistaksis juga dapat ditemukan pada kasus
ini. 

Fraktur Le
Fort II (Fonseca,
2005)
 F
r
aktur Le Fort III
Fraktur ini disebut juga fraktur tarnsversal. Fraktur Le Fort III (gambar
2.6) menggambarkan adanya disfungsi kraniofasial. Tanda yang
terjadi pada kasus fraktur ini ialah remuknya wajah serta adanya
mobilitas tulang zygomatikomaksila kompleks, disertai pula dengan
keluarnya cairan serebrospinal, edema, dan ekimosis periorbital.

Fraktur Le Fort III


(Fonseca, 2005)
c. Fraktur
Sepertiga Atas Wajah
Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra orbita,
rima orbita dan sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya
bersifat depressedke dalam atau hanya mempunyai garis fraktur linier yang
dapat meluas ke daerah wajah yang lain.
8. Patofisiologi Trauma Maksilofasial
Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa
dikalikan dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi
menghasilkan kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan
rendah-dampak kekuatan didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali
gaya gravitasi. Ini berdampak parameter pada cedera yang dihasilkan karena
jumlah gaya yang dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang wajah
berbeda regional. Tepi supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang
frontal memerlukan kekuatan tinggi-dampak yang akan rusak. Sebuah dampak
rendah-force adalah semua yang diperlukan untuk merusak zygoma dan tulang
hidung.
Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat  dari pukulan
berat pada dahi. Bagiananterior dan / atau posterior sinus frontal mungkin
terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi jika dinding posterior sinus
frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.
Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur
yang terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan
menyerang pinggiran orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini
kekuatan dan merusak bagian-bagian terlemah dari dasar dan dinding
medial orbita. Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus maksilaris adalah mungkin.
Insiden cedera okular cukup tinggi, namun jarang menyebabkan kematian.
Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma
langsung.
Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari
hidung ke tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus
medial, aparatus lacrimalis, atau saluran nasofrontal.
Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung
zygomatic dapat mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan
zygomaticotemporal.
Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan patah
Trauma Kepala dan Wajah
tulang dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui
zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi
Kulit
dengan kepala
tulang Tulang kepala
sphenoid. Garis fraktur danmemperpanjang
biasanya wajah Jaringan otak
melalui foramen
infraorbital dan lantai orbit. Cedera mata serentak yang umum.
Hematoma Fr. Linear, fr. Comminuted, fr.
pada kulit Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk Komusio, hematoma,
Fraktur mandibula: Depressed, fr. basis edema, kontusio
U-rahang dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi
terpisah dariotak
Cedera lokasi trauma langsung. TIK ↑ Gangguan kesadaran,
gangguan TTV, kelainan
Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi
neurologis
langsung atauprimer
Cedera otak dapat hasil dari perpanjangan garis otak
Respon fisiologis fraktur melalui bagian alveolar
(Ringan, sedang, berat)
rahang atas atau rahang bawah Hipoksemia serebral
Fraktur Panfacial: Ini biasanya
Cedera sekunder
otak skundermekanisme kecepatan tinggi
mengakibatkan cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah.
Kelainan metabolisme
Kerusakan sel otak↑

↑ rangsangan simpatis Stress lokalis


Gangguan autoregulasi

↑ tahanan vascular ↑katekolamin, ↑sekresi


O2 ↓  gangguan sistemik asam lambung
metabolisme

9. Pathways
↓ tek.pembuluh darah Mual, muntah
Aliran darah ke otak ↓ pulmonal

Intake nutrisi
↑ tekanan hidrostatik tidak adekuat
Produksi asam laktat ↑

Kebocoran cairan
kapiler
Edema otak

Edema paru
Gangguan perfusi
jaringan serebral ↓ Gangguan perfusi jaringan

Curah jantung ↓

Difusi O2 terhambat

Gangguan pola nafas Hipoksemia, hiperkapnea


10. Manifestasi Klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :
 Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada
fraktur mandibular
 Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur
 Rasa nyeri pada sisi fraktur
 Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas
 Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan
lokasi daerah fraktur
 Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran
 Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur
 Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
 Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi
dibawah nervus alveolaris
 Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan
pergerakan bola mata dan penurunan visus

11. Pemeriksaan Penunjang


a. Wajah Bagian Atas :
- CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
- CT-scan aksial koronal
- Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepala dan X-ray kepala
b. Wajah Bagian Tengah :
- CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
- CT scan aksial koronal
- Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan
posteroanterior (Caldwells), Submentovertek (Jughandles)
c. Wajah Bagian Bawah :
- CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D
- Panoramic X-ray
- Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi:
Posteroanterior (Caldwells)
Posisi lateral (Schedell)
Posisi towne
12. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala dan wajah selain
dari factor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan
menilai status neurologis (disability, exposure), maka factor yang harus
diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini
dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang
mengalami trauma relative memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang
meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan
tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat
dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang
mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolisme intraserebral.
Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakin dengan intubasi endotrakeal,
hiperventilasi. Tin membuat intermittent iatrogenic paralisis. Intubasi dilakukan
sedini mungkin kepala klien-lkien yang koma untuk mencegah terjadinya
PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah
peningkatan tekanan intracranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
 Bedrest total
 Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
 Pemberian obat-obatan: Dexmethason / kalmethason sebagai pengobatan anti-
edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
 Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
 Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau
glukosa 40%, atau gliserol 10%.
 Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (pensilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidasol.
 Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa,hanya cairan infuse dextrose 5%, aminofusin, aminofel (18
jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
 Pada trauma berat. Karena hai-hari pertama didapat klien mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit
maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5% 8
jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga, pada
hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan diberikan melalui
nasogastric tube (2500-300 TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai
urenitrogennya.

13. Komplikasi
- Perdarahan ulang
- Kebocoran cairan otak
- Infeksi pada luka atau sepsis
- Timbulnya edema serebri
- Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
- Nyeri kepala setelah penderita sadar
- Konvulsi

14. Asuhan Keperawatan


Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cedera dan
mungkin di persulit oleh cedera tambahan pada organ vital
- Aktifitas dan istirahat
Gejala : merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia cara berjalan
tidak tegap, masalah dlm keseimbangan, cedera/trauma ortopedi, kehilangan
tonus otot.
- Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi
jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia disritmia)
- Integritas ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian
Tanda :Cemas,mudah tersinggung,delirium,agitasi,bingung,depresi
- Eliminasi
Gejala : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan fungsi
- Makanan/cairan
Gejala : mual,muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda : muntah,gangguan menelan
- Neurosensori
Gejala :Kehilangan kesadaran sementara,amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope,tinitus,kehilangan pendengaran, Perubahan dalam
penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagain lapang
pandang, gangguan pengecapan dan penciuman
Tanda : Perubahan kesadran bisa sampai koma, perubahan status mental,
perubahan pupil, kehilangan penginderaan, wajah tdk simetris, genggaman
lemah tidak seimbang, kehilangan sensasi sebagian tubuh
- Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda biasanya
lama
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri, nyeri
yang hebat,merintih
- Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor,
tersedak,ronkhi,mengi
- Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan
- Kulit : laserasi,abrasi,perubahan warna,tanda batle disekitar telinga,adanya
aliran cairan dari telinga atau hidung
- Gangguan kognitif
- Gangguan rentang gerak
- Demam

Diagnosa Keperawatan
- Risiko tinggi peningkatan tekanan intracranial yang berhubungan dengan
desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan
baik bersifat intraserebral hematoma.
- Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada
pusat pernapasan di otak, kelemahan oto-otot pernapasan, ekspansi paru yang
tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.
- Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan
sputum, peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk sekunder akibat nyeri
dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada trakea, ketidakmampuan
batuk/batuk efektif.
- Perubahan kenyamanan: nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan
dan refleks spasme otot sekunder.
- Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
(nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.

Rencana Keperawatan

DX 1 : Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang


sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat
intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual
dan muntah, GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.
Intervensi Rasionalisasi
Mandiri
Kaji faktor penyebab dari Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi,
situasi/keadaan mengkaji status neurologis/ tanda-tanda
individu/penyebab kegagalan untuk menentukan perawatan
koma/penurunan perfusi kegawatan atau tindakan pembedahan.
jaringan dan kemungkinan
penyebab peningkatan TIK.
Monitor tanda-tanda vital tiap Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral
4 jam terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai
dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari
autoregulator kebanyakan merupakan
tanda  penurunan difusi local vaskularisasi darah
serebral. Dengan peningkatan tekanan darah
(diastolic) maka dibarengi dengan peningkatan
tekanan darah intrakrinial. Adanya peningkatan
tekanan darah, bradikardi, disritmia, dispnea
merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
Evaluasi pupil, amati ukuran, Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola
ketajaman, dan reaksi mata merupakan tanda dari gangguan
terhadap cahaya. nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Reaksi
pupil diatur oleh saraf III cranial (okulomotorik)
yang menunjukkan keseimbangan antara
parasimpatis dan simpatis. Respon terhadap
cahaya merupakan kombinasi fungsi dari saraf
cranial II dan III.
Monitor temperatur dan Panas merupakan refleks dari hipotalamus.
pengaturan suhu lingkungan. Peningkatan kebutuhan metabolism dan O2 akan
menunjang peningkatan TIK/ ICP (Intracranial
Pressure).
Pertahankan kepala/ leher Perubahan kepala pada satu sisi dapat
pada posisi yang netral, menimbulkan penekanan pada vena jugularis
usahakan dengan sedikit dan menghambat aliran darah otak
bantal. Hindari penggunaan (menghambat drainase pada vena serebral),
bantal yang tinggi pada untuk itu dapat meningkatkan TIK
kepala.
Berikan periode istirahat Tindakan yang terus-menerus dapat
antara tindakan perawatan dan meningkatkan TIK oleh efek rangsangan
batasi lamanya prosedur. kumulatif.
Kurangi rangsangan ekstra Memberikan suasana yang tenang (colming
dan berikan rasa nyaman effect) dapat mengurangi respons psikologis dan
seperti masase punggung, memberikan istirahat untuk mempertahankan
lingkungan yang tenang. TIK yang rendah.
Sentuhan yang ramah, dan
suasana / pembicaraan yang
tidak gaduh.
Cegah/hindarkan terjadinya Mengurangi tekanan intratorakal dan
valsava maneuver intraabdominal sehingga menghindari
peningkatan TIK.
Bantu klien jika batuk, Aktivitas ini dapat meningkatkan
muntah intrathorakal/tekanan dalam thoraks dan tekanan
dalam abdomen dimana aktivitas ini dapat
meningkatkan tekanan TIK.
Kaji peningkatan istirahat dan Tingkah nonverbal ini dapat merupakan indikasi
tingkat laku. peningkatan TIK atau memberikan refleks nyeri
dimana klien tidak mampu mengungkapkan
keluhan secara verbal, nyeri yang tidak menurun
dapat meningkatkan TIK.
Palpasi pada Dapat meningkatkan repons otomatis yang
pembesaran/pelebaran potensial menaikkan TIK.
bladder, pertahankan drainase
urine secara paten jika di
gunakan dan juga monitor
terdapatnya konstipasi.
Berikan penjelasan pada klien Meningkatkan kerja sama dalam meningakatkan
(jika sadar) dan keluarga perawatan klien dan mengurangi kecemasan.
tentang sebab-sebab TIK
meningkat.
Observasi tingkat kesadaran Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan
dengan GCS. TIK dan berguna menentukan lokasi dan
perkembangan penyakit.
Kolaborasi :
Pemberian O2 sesuai indikasi. Mengurangi hipoksemia, dimana dapat
meningkatkan vasodilatasi serebral, volume
darah, dan menaikkan TIK.
Kolaborasi untuk tindakan Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah
operatif evakuasi darah dari dilakukan bila kemungkinan terdapat tanda-
dalam intracranial. tanda deficit neurologis yang menandakan
peningkatan ntrakranial.
Berikan cairan intravena Pemberian cairan mungkin di inginkan untuk
sesuai indikasi. mengurangi edema serebral, peningkatan
minimum pada pembuluh darah, tekanan darah
dan TIK.
Berikan obat osmosis diuretic Diuretic mungkin digunakan pada fase akut
contohnya : manitol, untuk mengalirkan air dari sel otak dan
furoscide. mengurangi edema serebral dan TIK.
Berikan steroid contohnya : Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan
dexamethason, methyl mengurangi edema jaringan.
prenidsolon.
Berikan analgesic narkotik Mungkin di indikasikan untuk mengurangi nyeri
contoh : kodein. dan obat ini berefek negatif pada TIK tetapi
dapat digunakan dengan tujuan untuk mencegah
dan menurunkan sensasi nyeri.
Berikan antipiretik Mengurangi/mengontrol hari dan pada
contohnya : asetaminofen. metabolisme serebral/oksigen yang diinginkan.
Monitor hasil laboratorium Membantu memberikan informasi tentang
sesuai dengan indikasi seperti efektifitas pemberian obat.
prothrombin, LED.

DX 2 : Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi


pusat pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
maksimal karena trauma.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola
napas kembali efektif.
Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami
perbaikan pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor
penyebab.
Intervensi Rasional
Berikan posisi yang nyaman, Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan
biasanya dengan peninggian ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak
kepala tempat tidur. Balik sakit.
kesisi yang sakit. Dorong
klien untuk duduk sebanyak
mungkin.
Observasi fungsi pernapasan, Distress pernapasan dan perubahan pada tanda
dispnea, atau perubahan vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi
tanda-tanda vital. dan nyeri atau dapat menunujukkan terjadinya
syok sehubungan dengan hipoksia.
Jelaskan pada klien bahwa Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
tindakan tersebut dilakukan mengembangkan kepatuhan klien terhadap
untuk menjamin keamanan. rencana terapeutik.
Jelaskan pada klien tentang Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
etiologi/factor pencetus mengurangi ansietas dan mengembangkan
adanya sesak atau kolaps kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
paru-paru.
Pertahankan perilaku tenang, Membantu klien mengalami efek fisiologi
bantu klien untuk control diri hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai
dengan menggunakan ketakutan/ansietas.
pernapasan lebih lambat dan Ventilator yang memiliki alarm yang bias dilihat
dalam. dan didengar misalnya alarm kadar oksigen,
Periksalah alarm pada tinggi/rendahnya tekanan oksigen.
ventilator sebelum
difungsikan. Jangan
mematikan alarm.
Tarulah kantung resusitasi Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat
disamping tempat tidur dan berguna untuk mempertahankan fungsi
manual ventilasi untuk pernapasan jika terjadi gangguan pada alat
sewaktu-waktu dapat ventilator secara mendadak.
digunakan.
Bantulah klien untuk Melatih klien untuk mengatur napas seperti
mengontrol pernapasan jika napas dalam, napas pelan, napas perut,
ventilator tiba-tiba berhenti. pengaturan posisi, dan teknik relaksasi dapat
membantu memaksimalkan fungsi dan system
pernapasan.
Perhatikan letak dan fungsi Memerhatikan letak dan fungsi ventilator
ventilator secara rutin. sebagai kesiapan perawat dalam memberikan
Pengecekan konsentrasi tindakan pada penyakit primer setelah menilai
oksigen, memeriksa tekanan hasil diagnostik dan menyediakan sebagai
oksigen dalam tabung, cadangan.
monitor manometer untuk
menganalisis batas/kadar
oksigen.
Mengkaji tidal volume (10-
15 ml/kg). periksa fungsi
spirometer.
Kolaborasi dengan tim Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk
kesehatan lain : mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas
Dengan dokter, radiologi, dan pengembangan parunya.
fisioterapi.
§  Pemberian antibiotik.
§  Pemberian analgesic.
§  Fisioterapi dada.
§  Konsul foto thoraks.

DX 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan
napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan
batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan
napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal
tube bebas sumbatan, menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi
penumpukan sekret di saluran pernapasan.
Intervensi Rasional
Kaji keadaan jalan napas Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh
akumulasi sekret, sisa cairan mucus, perdarahan,
bronkhospasme, dan/atau posisi dari
endotracheal/tracheostomy tube yang berubah.
Evaluasi pergerakan dada dan Pergerakan dada yang simetris dengan suara
auskultasi suara napas pada napas yang keluar dari paru-paru menandakan
kedua paru (bilateral). jalan napas tidak terganggu. Saluran napas
bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada
pneumonia/atelektasis akan menimbulkan
perubahan suara napas seperti ronkhi atau
wheezing.
Monitor letak/posisi Endotracheal tube dapat saja masuk ke dalam
endotracheal tube. Beri tanda bronchus kanan, menyebabkan obstruksi jalan
batas bibir. napas ke paru-paru kanan dan mengakibatkan
Lekatkan tube secara hati-hati klien mengalami pneumothoraks.
dengan memakai perekat
khusus.
Mohon bantuan perawat lain
ketika memasang dan
mengatur posisi tube.
Catat adanya batuk, Selama intubasiklien mengalami refleks batuk
bertambahnya sesak napas, yang tidak efektif, atau klien akan mengalami
suara alarm dari ventilator kelemahan otot-otot pernapasan
karena tekanan yang tinggi, (neuromuscular/neurosensorik), keterlambatan
pengeluaran sekret melalui untuk batuk. Semua klien tergantung dari
endotracheal/tracheostomy alternatif yang dilakukan seperti mengisap
tube, bertambahnya bunyi lender dari jalan napas.
ronkhi.
Lakukan penghisapan lender Pengisapan lendir tidak selamanya dilakukan
jika diperlukan, batasi durasi terus-menerus, dan durasinya pun dapat
pengisapan dengan 15 detik dikurangi untuk mencegah bahaya hipoksia.
atau lebih. Gunakan kateter Diameter kateter pengisap tidak boleh lebih dari
pengisap yang sesuai, cairan 50% diameter endotracheal/tracheostomy tube
fisiologis steril. untuk mencegah hipoksia.
Berikan oksigen 100% Dengan membuat hiperventilasi melalui
sebelum dilakukan pemberian oksigen 100% dapat mencegah
pengisapan dengan ambu bag terjadinya atelektasis dan mengurangi terjadinya
(hiperventilasi). hipoksia.
Anjurkan klien mengenai Batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret
tekhik batuk selama dari saluran napas.
pengisapan seperti waktu
bernapas panjang, batuk kuat,
bersin jika ada indikasi.
Atur/ubah posisi klien secara Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi
teratur (tiap 2jam). segmen paru-paru, mengurangi risiko atelektasis.
Berikan minum hangat jika Membantu pengenceran sekret, mempermudah
keadaan memungkinkan. pengeluaran sekret.
Jelaskan kepada klien tentang Pengetahuan yang diharapkan akan membantu
kegunaan batuk efektif dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap
mengapa terdapat rencana terapeutik.
penumpukan sekret di saluran
pernapasan.
Ajarkan klien tentang metode Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan
yang tepat untuk dan tidak efektif, dapat menyebabkan frustasi.
pengontrolan batuk.
Napas dalam dan perlahan Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
saat duduk setegak mungkin.
Lakukan pernapasan Pernapasan diafragma menurunkan frekuensi
diafragma. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
Tahap napas selama 3-5 detik Meningkatkan volume udara dalam paru,
kemudian secara perlahan- mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
lahan, dikeluarkan sebanyak
mungkin melalui mulut.
Lakukan napas kedua, tahan, Pengkajian ini membantu mengevaluasi
dan batukkan dari dada keefektifan upaya batuk klien.
dengan melakukan 2 batuk
pendek dan kuat.
Auskultasi paru sebelum dan Sekresi kental sulit untuk di encerkan dan dapat
sesudah klien batuk. menyebabkan sumbatan mucus, yang mengarah
pada atelektasis.
Ajarkan klien tindakan untuk Untuk menghindari pengentalan dari sekret atau
menurunkan viskositas mosa pada saluran napas pada bagian atas.
sekresi. : mempertahankan
hidrasi yang adekuat;
meningkatkan masukan
cairan 1000-1500 cc/hari bila
tidak ada kontraindikasi.
Dorong atau berikan Higine mulut yang baik meningkatkan rasa
perawatan mulut yang baik kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
setelah batuk.
Kolaborasi dengan dokter, Ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan
radiologi, dan fisioterapi. lendir dan mengevaluasi perbaikan kondisi klien
§  Pemberian ekspektoran. atas pengembangan parunya.
§  Pemberian antibiotic.
§  Fisioterapi dada.
§  Konsul foto thoraks
Lakukan fisioterapi dada Mengatur ventilasi segmen paru-paru dan
sesuai indikasi seperti pengeluaran sekret.
postural drainage,
perkusi/penepukan.
Berikan obat-obat Mengatur ventilasi dan melepaskan sekret
bronchodilator sesuai indikasi karena relaksasi muscle/bronchospasme.
seperti aminophilin, meta-
proterenol sulfat (alupent),
adoetharine hydrochloride
(bronkosol).

DX 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme
otot sekunder.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil : Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat
diadaptasi, dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan
nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu klien Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan
dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi lainnya telah menunujukkan
nonfarmakologi dan non- keefektifan dalam mengurangi nyeri.
invasif.
Ajarkan relaksasi :
Teknik-teknik untuk Akan melansarkan peredaran darah sehingga
menurunkan ketegangan otot kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi dan
rangka, yang dapat akan mengurangi nyerinya.
menurunkan intensitas nyeri
dan juga tingkatkan relaksasi
masase.
Ajarkan metode distraksi Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang
selama nyeri akut. menyenangkan.
Berikan kesempatan waktu Istirahat akan merelaksasikan semua jaringan
istirahat bala terasa nyeri dan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
berikan posisi yang nyaman
misalnya ketika tidur,
belakangnya dipasang bantal
kecil.
Tingkatkan pengetahuan Pengkajian yang optimal akan memberikan
tentang penyebab nyeri dan perawat data yang objektif untuk mencegah
respons motorik klien, 30 kemungkinan komplikasi dan melakukan
menit setelah pemberian obat intervensi yang tepat.
analgesic untuk mengkaji
efektivitasnya serta setiap 1-2
jam setelah tindakan
perawatan selama 1-2 hari.
Kolaborasi dengan dokter, Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga
pemberian analgetik. nyeri akan berkurang.
DX 5 : Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
(nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi
neurologis dapat d minimalkan /distabilkan.
Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi
kognitif dan motorik/sensorik, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan
tidak ada tanda-tanda peningktan TIK,  
Intervensi Rasional
Kaji ulang tanda-tanda vital Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat
klien dan status relirologis kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan
klien bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan
dan perkembangankerusakan ssp.
Monitor tekanan darah, catat Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti
adanya hipertensi sistolik penurunan tekanan darah distolik (nadi yang
secara teratur dan tekanan membesar) merupakan tanda terjadinya
nadi yang makin berat, obs, peningkatan TIK, juga diikuti ( yang
ht, pada klien yang berhubungan
mengalami trauma multiple. dengan trauma kesadaran.Hipovolumia/ Ht (yang
berhubungan dengan trauma multiples) dapat
mengakibatkan kerusakan / iskemik serebral.
Monitor Heart Rate, catat Perubahan pada ritme (paling sering bradikardia)
adanya bradikardi, takikardi dan disritmia dapat timbul yang encerminkan
atau bentuk disritmia lainya. adanya depresi / trauma pada batang otak pada
pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung
sebelumnya.
Monitor pernafasan meliputi Nafas tidak teratur menunjukkan adanya
pola dan ritme, seperti gangguan
periode apnea setelah serebral/ peningkatan TIK dan memerlukan
hiperventilasi intervensi lebih lanjut termasuk kemungkinan
(pernafasan cheyne – dukungan nafas buatan.
stokes).
Kaji perubahan pada Gangguan penglihatan dapat diakibatkan oleh
penglihatan ( penglihatan kerusakan mikroskopik pada otak,
kabur, ganda, lap. Pandang merupakan konsekuensi terhadap keamanan dan
menyempit juga akan mempngaruhi pilihan intervensi
dan kedalaman persepsi.
Pertahankan kepala / leher Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan
pada posisi tengah/ pada vena jugularis dan menghambat aliran darah lain
posisi netral. Sokong dengan yang selanjutnya akan
handuk kecil / meningkat TIK.
bantal kecil. Hindari
pemakaian bantal besar pada
kepala
Kolaborasi Tinggikan kepala Meningkatkan aliran balik vena dari kepala,
pasien 15 – sehingga mengurangi kongesti dan edema
45o sesuai indikasi / yang / resiko terjadinya peningkatan TIK.
dapat ditoleransi.
Kolaborasi pemberian O2 Menurunkan hipoksemia yang mana dapat
tambahan sesuai menaikkan vasodilatasi dan vol darah serebral
Indikasi yang meningkatkan TIK.
Kolaborasi pemberian obat - Untuk menurunkan air dari sel otak,
sesuai indikasi : menurunkan edema otak TIK.
- Diuretik - Menurunkan inflasi, yang
- Steroid selanjutnya menurunkan edema jaringan.
- Analgetik sedang - Menghilangkan nyeri dan dapat berakibat Θ
- Sedatif pada TIK tetapi  harus digunakan dengan
hasil untuk mencegah gangguan
pernafasan.
- Untuk mengendalikan kegelisahan agitas
ASUHAN KEPERAWATAN

LAPORAN KASUS

A. Identitas Klien

Hasil pengkajian diperoleh data antara lain, nama pasien Sdr. S,

berjenis kelamin laki-laki dengan umur 17 tahun, berstatus belum

menikah, beragama islam, pendidikan sekolah dasar (SD), pekerjaan

swasta dan bertempat tinggal di Gemolong, Sragen. Identitas penanggung

jawabnya adalah Tn.S berumur 42 tahun, pendidikan terakhir sekolah

dasar (SD) dan pekerjaannya swasta, alamat di Gemolong, Sragen,

hubungan dengan pasien adalah sebagai saudara.

B. Pengkajian

Pengkajian dilakukan pada tanggal 9 Maret 2015 pukul 08.10

WIB. Keluhan utama yang dirasakan pasien adalah nyeri bagian wajah
kiri. Riwayat penyakit sekarang yaitu Sdr. S bertabrakan dengan sepeda

motor yang berlawanan arah pada tanggal 17 Maret 2015, Sdr. S dibawa

oleh penolong ke Rumah Sakit PKU untuk diperiksa. Di Rumah Sakit

PKU pasien mendapatkan infus, injeksi obat-obatan dan CT-Scan. Pasien

dirujuk ke RSUD Dr. Moewardi dikarenakan kamar penuh. Pada saat di

IGD, pasien mendapatkan infus Nacl, asam tranexamat 50 mg, ketorolac

30 mg, dan ranitidine 50 mg. Kemudian pasien di rawat inap di ruang

bangsal mawar 2 dengan keluhan nyeri wajah kiri dan tangan kiri.

Pasien mengatakan satu tahun yang lalu mengalami jatuh dan

belum pernah di rawat di rumah sakit. Pasien mengatakan tidak

mempunyai alergi terhadap makanan ataupun minuman.

Pasien mengatakan lingkungan rumahnya bersih, lingkungannya

juga jauh dari polusi udara, dan terdapat ventilasi. Pasien mengatakan di

dalam keluarganya tidak ada penyakit keturunan seperti diabetes mellitus,

hipertensi, dan jantung.

Pasien mengatakan anak pertama. Saat ini pasien tinggal bersama

ibunya dan ayahnya telah meninggal.


Keterangan :

: Laki-laki : Sakit

: Perempuan : Tinggal dalam serumah

: Meninggal

: Meninggal

Gambar 3.1 Genogram

Hasil pengkajian pola gordon, pada pola persepsi dan pemeliharaan

kesehatan pasien mengatakan bahwa kesehatan adalah suatu keadaan

dimana seseorang dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari, tidak dalam

keadaan sakit, sehat jasmani dan rohani. Apabila ada keluarga yang sakit

segera dibawa ke puskesmas atau rumah sakit terdekat.

Pola nutrisi dan metabolisme sebelum sakit pasien makan 3x sehari

dengan jenis nasi, sayur, dan lauk, habis 1 porsi, pasien tidak memiliki

keluhan. Minum pasien habis 6-8 gelas per hari, dengan air putih dan teh 1

gelas belimbing 250 ml x 6 = 1.500 ml, pasien mengatakan tidak ada

keluhan, selama sakit pasien makan 3x sehari dengan jenis porsi bubur dan

roti, habis 1 porsi, pasien mengatakan di rahang terasa nyeri. Minum

pasien habis 6 gelas per hari, dengan susu dan jus 1 gelas belimbing 250

ml x 6 = 1.500 ml, pasien mengatakan tidak ada keluhan.


Pola eliminasi BAB, baik sebelum sakit maupun selama sakit klien

tidak memiliki keluhan dalam BAB. Pasien BAB 1x sehari dengan

konsistensi lunak, kuning kecoklatan, berbau khas. Pola eliminasi BAK,

sebelum sakit klien mengatakan BAK 5-6x sehari, 50-100 cc setiap kali

BAK, berwarna kuning jernih, berbau khas amoniak, dan tidak ada

keluhan, selama sakit pasien mengatakan BAK 4-5x sehari, 60-100 cc

setiap kali BAK, berwarna kuning jernih, berbau khas amoniak, dan tidak

ada keluhan.

Pola aktivitas dan latihan, sebelum sakit pasien mampu melakukan

perawatan diri secara mandiri (score 0), selama sakit untuk makan/minum,

berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, ambulasi/ROM, pasien

memerlukan bantuan orang lain (score 2) dan untuk toileting memerlukan

bantuan orang lain dan alat (score 3). Data diatas disimpulkan bahwa

Sdr.S total dibantu keluarga.

Pola istirahat tidur, sebelum sakit pasien tidur nyenyak baik siang

maupun malam hari, tidur siang 1 jam dan tidur malam 8 jam tanpa

menggunakan obat tidur, selama sakit pasien sering terbangun merasakan

nyeri pada siang dan malam hari, tidur siang 30 menit, tidur malam 5 jam,

tanpa menggunakan obat tidur, hasil pengkajian pola tidur pritzburg sleep

quality index yaitu nilai kualitas tidur buruk > 5. Pola kognitif-perseptual

sebelum sakit klien dapat berbicara, dengan lancar. Indera penglihatan,

pendengaran, pengecapan, penciuman normal, selama sakit pasien dapat

berbicara tetapi sedikit-sedikit, wajah kiri dan tangan kiri luka, tangan
digips karena telapak tangan retak. Pasien mengatakan nyeri saat bangun

tangan kiri dan wajah kiri di gerakkan, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri di

bagian tangan kiri dan wajah kiri dengan skala nyeri 6, nyeri hilang timbul

selama 4 detik.

Pola persepsi konsep diri, gambaran diri pasien menerima keadaan

sakitnya saat ini, ideal diri pasien mengatakan dengan mengalami kejadian

semoga dapat beraktivitas lagi seperti biasanya, harga diri pasien

mengatakan bahwa dirinya merasa berharga karena ditengok oleh tetangga

di rumah sakit, peran diri pasien sebagai anak dan sekarang tidak mampu

untuk bekerja, sedangkan identitas diri pasien berjenis kelamin laki-laki

berusia 17 tahun, pekerjaan swasta.

Pola hubungan peran, pasien mengatakan sebelum sakit dan selama

sakit hubungan pasien dengan keluarga harmonis dengan masyarakat di

lingkungan cukup baik dengan ditandai di jenguk atau ditengok. Pola

seksualitas reproduksi, pasien berjenis kelamin laki-laki, dan belum

menikah. Pola mekanisme koping, pasien mengatakan untuk

menghilangkan kepenatan dengan beristirahat dan berkumpul bersama

keluarga atau tetangga, apabila ada masalah selalu bercerita dengan

keluarga, dan ketika mengambil keputusan di lakukan secara musyawarah.

Pola nilai dan keyakinan, pasien beragama islam dan selalu

menjalankan sholat 5 waktu, selama sakit pasien tidak mampu

menjalankan sholat dan menerima penyakitnya sebagai ujian dari Allah

SWT.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan pasien lemas dengan

kesadaran composmentis, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 88x/menit

teraba kuat dan irama teratur, respirasi 20x/menit irama teratur, dan suhu

36,2oC. Bentuk kepala mesochepal, kulit kepala tidak bersih, ada luka

lecet-lecet, rambut tidak ada kutu, berwarna hitam. Pemeriksaan mata

didapatkan data mata simetris kanan kiri, fungsi penglihatan baik,

konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupil isokor, tidak

menggunakan alat bantu penglihatan. Pemeriksaan hidung bersih, tidak

terdapat sekret, tidak ada nafas cuping hidung. Mulut simetris, mukosa

bibir kering, berwarna hitam, terdapat fraktur maxilla. Gigi tidak bersih.

Telinga simetris, tidak ada serumen, tidak ada gangguan pendengaran.

Pemeriksaan leher, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada

pembesaran limfe.

Pemeriksaan fisik paru, didapatkan hasil inspeksi: bentuk dada

simetris, tidak menggunakan otot bantu nafas, ekspansi dada kanan/kiri

sama, palpasi: vocal fremitus kanan/kiri sama, perkusi: sonor, auskultasi:

suara vesikuler dan irama reguler. Pemeriksaan fisik jantung inspeksi:

ictus cordis tidak nampak, palpasi: ictus cordis teraba di ICS V, perkusi:

pekak, auskultasi: bunyi jantung I, II sama, tidak ada suara tambahan.

Pemeriksaan fisik abdomen inspeksi: perut simetris, tidak ada jejas,

terdapat umbilikus, auskultasi: bising usus 12x/menit, perkusi: pekak pada

kuadran I, tympani kuadran II, III. palpasi: tidak ada nyeri tekan pada

semua kuadran, tidak ada massa.


Pemeriksaan genetalia, didapatkan hasil genetalia bersih, tidak ada

jejas, terpasang DC pada tanggal 13 Maret 2015. Pemeriksaan rektum

bersih, tidak ada luka. Pemeriksaan ekstremitas bagian atas didapatkan

hasil kekuatan otot tangan kanan 5 (bergerak bebas), tangan kiri di gips

dan tangan kanan terpasang infus Nacl 0,9% 20 tpm, perabaan akral

hangat, wajah kiri dan tangan kiri oedema, capilary refile < 2 detik. Pada

pemeriksaan ekstremitas bagian bawah diperoleh hasil kekuatan otot kaki

kanan dan kiri 5 (bergerak bebas), perabaan akral hangat, tidak ada

oedema, dan capilary refile < 2 detik.

Hasil pemeriksaan laboratorium darah pada tanggal 8 Maret 2015

diperoleh hasil: hemoglobin 12.3 g/dl (nilai normal 14.00 - 17.5),

hematokrit 36 % (nilai normal 33 - 45), leukosit 10.9 ribu/ul (nilai normal

4.5 - 14.5), trombosit 409 ribu/ul (nilai normal 150-450), eritrosit 3.97

juta/ul (nilai normal 3.80 - 5.80), golongan darah O. Tanggal 12 Maret

2015 diperoleh hasil pemeriksaan urin: PT: 14.6 detik (nilai normal 10.0 -

15.0), APTT 25.1 detik (nilai normal 20.0 - 40.0), INR 1.210, creatinin 0.7

mg/dl (nilai normal 0.5 - 1.0), ureum 30 mg/dl (nilai normal < 48),

natrium darah 138 mmol/L (nilai normal 132 - 145), kalium darah 3.8

mmol/L (3.1 - 5.1), clorida darah 106 mmol/L (nilai normal 98 - 106).

Hasil pemeriksaan CT-scan dan rontgen pada tanggal 7 Maret 2015

adanya fraktur maxilla dan fraktur os metacarpal 2 manus sinistra, aposisi

dan aligmen tulang cukup baik.


Selama di rawat di ruang mawar 2, pasien mendapat therapy Nacl

0,9% 20 tpm untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada

dehidrasi, injeksi ketorolak 30 mg/8 jam untuk penatalaksanaan jangka

pendek (maksimal 2 hari) terhadap nyeri akut derajat sedang-berat, injeksi

asam tranexsamat 50 mg/8 jam untuk fibrinolisis dan epistaksis lokal,

prostatektomi, konisasi serviks, edema angioneurotik, perdarahan

abnormal setelah operasi, perdarahan setelah ekstraksi gigi pada pasien

hemofili), injeksi ranitidine 50 mg/12 jam untuk pengobatan tukak

lambung jangka pendek, injeksi ceftriaxon 1 g/12 jam untuk infeksi gram

positif dan negatif pada saluran nafas.

C. Perumusan Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan data pengkajian dan observasi di atas, penulis

melakukan analisa data dan merumuskan diagnosa keperawatan. Data

subyektif pasien mengatakan nyeri saat digerakan, nyeri seperti ditusuk-

tusuk dengan skala 6, nyeri di bagian wajah kiri dan tangan kiri, nyeri

hilang timbul selama 4 detik. Data obyektif pasien tampak meringis

kesakitan, tangan kiri digips, wajah kiri luka, hasil CT Scan dan rontgen

menunjukan adanya fraktur maxilla dan fraktur os metacarpal 2 manus

sinistra, aposisi dan aligmen tulang cukup baik. Berdasarkan data diatas

maka penulis merumuskan masalah keperawatan yaitu nyeri akut

berhubungan dengan agen cedera fisik (fraktur maxilla).


Data subyektif pasien mengatakan tidur siang 30 menit, tidur

malam 5 jam dan sering terbangun merasakan nyeri. Data obyektif pasien

tampak pucat, tidak fresh, tampak lemas, hasil pengkajian pola tidur

pritzburg sleep quality index yaitu nilai kualitas tidur Sdr.S buruk > 5.

Berdasarkan data di atas maka penulis merumuskan masalah keperawatan

yaitu gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri.

Data subyektif pasien mengatakan makan/minum, berpakaian,

mobilitas di tempat tidur, berpindah, ambulasi/ROM di bantu keluarga,

toileting di bantu keluarga dan alat. Data obyektif pasien tampak lemas,

kesulitan bergerak, tangan kiri digips dan tangan kanan dipasang infus,

data diatas didapatkan hasil pasien total dibantu keluarga. Berdasarkan

data di atas maka penulis merumuskan masalah keperawatan yaitu

hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan muskuloskeletal.

D. Intervensi Keperawatan

Berdasarkan diagnosa pertama nyeri berhubungan dengan agen

cedera fisik (fraktur maxilla), maka penulis menyusun rencana

keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24

jam nyeri berkurang atau hilang dengan kriteria hasil skala nyeri 0, pasien

mampu mengontrol nyeri (menggunakan teknik non farmakologi), tidak

meringis kesakitan, pasien menyatakan rasa nyaman setelah nyeri

berkurang. Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan

adalah observasi karakteristik nyeri meliputi PQRST dengan rasional


70

untuk mengetahui skala nyeri, observasi tanda-tanda vital dengan rasional

untuk mengetahui perkembangan klien, berikan perubahan posisi yang

nyaman dengan rasional untuk mengurangi nyeri dan mencegah kesalahan

posisi tulang, ajarkan teknik terapi spiritual emotional freedom tehnique

dengan rasional untuk meningkatkan kualitas tidur, kolaborasi dengan tim

medis dalam pemberian obat analgesik (ketorolak 30 mg/8 jam, asam

tranexsamat 50 mg/8 jam, ranitidin 50 mg/12 jam, ceftriaxon 1 g/12 jam)

dengan rasional untuk mengurangi nyeri.

Berdasarkan diagnosa kedua gangguan pola tidur berhubungan

dengan nyeri. Maka penulis menyusun intervensi atau rencana

keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan

selama 3 x 24 jam diharapkan pola tidur terpenuhi dengan kriteria hasil

wajah pasien tidak pucat, tidak menunjukan wajah gelisah, batas normal

tidur 7- 8 jam, hasil pritzburg sleep quality index nilai kualitas tidur < 5

yaitu baik. Intervensi atau rencana keperawatan yang dilakukan adalah kaji

pola tidur dengan rasional untuk mengetahui kemudahan dalam tidur,

ciptakan suasana nyaman dengan rasional untuk meningkatkan

kenyamanan, batasi pengunjung selama istirahat dengan rasional untuk

memberikan ketenangan, ajarkan teknik spiritual emotional freedom

tehnique dengan rasional untuk memudahkan tidur, kolaborasi dengan tim

medis dalam pemberian obat dengan rasional mengurangi nyeri.

Berdasarkan diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik

berhubungan dengan muskuloskeletal. Maka penulis menyusun intervensi


71

atau rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan tingkat mobilitas optimal,

dengan kriteria hasil pasien tidak mengalami gangguan keseimbangan,

pasien dapat melakukan pergerakan dan perpindahan, dapat melakukan

aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri. Intervensi atau rencana

keperawatan yang dilakukan adalah kaji kemampuan pasien dalam

mobilisasi dengan rasional mengetahui tingkat pasien dalam melakukan

aktivitas, observasi tanda-tanda vital dengan rasional untuk mengetahu

keadaan umum pasien, latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADL

secara mandiri sesuai kemampuan dengan rasional gerakan aktif

memberikan kekuatan otot serta memperbaiki fungsi jantung dan

pernafasan, bantu pasien saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan ADL

dengan rasional untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan,

konsultasikan dengan ahli terapi fisik dengan rasional peningkatan

kemampuan imobilisasi dari latihan ahli fisioterapi.

E. Implementasi Keperawatan

Tindakan keperawatan pada diagnosa pertama nyeri akut

berhubungan dengan agen cedera fisik (fraktur maxilla) pada hari Senin, 9

Maret 2015 pukul 08.25 WIB yaitu mengobservasi karakteristik nyeri

meliputi PQRST. Respon subyektif: pasien mengatakan nyeri saat

digerakan, nyeri seperti ditusuk-tusuk skala nyeri 6, nyeri dibagian wajah

kiri dan tangan kiri, nyeri hilang timbul selama 4 detik. Respon obyektif:
72

pasien tampak meringis kesakitan, tangan kiri digips, wajah kiri luka, hasil

CT-Scan dan rontgen menunjukan adanya fraktur maxilla dan fraktur os

metacarpal 2 manus sinistra, aposisi dan aligmen tulang cukup baik.

Pukul 08.40 WIB mengobservasi tanda-tanda vital. Respon subyektif:

pasien mengatakan bersedia dilakukan pemeriksaan. Respon obyektif:

pasien terlihat tenang, tekanan darah: 110/80 mmHg, nadi: 88x/menit,

respirasi: 20x/menit, suhu: 36,2oC. Pukul 08.55 WIB memberikan

perubahan posisi yang nyaman. Respon subyektif: pasien mengatakan

nyaman dengan posisinya tidur sekarang. Respon obyektif: pasien tampak

tenang. Pukul 09.05 WIB mengajarkan relaksasi nafas dalam. Respon

subyektif: pasien mengatakan bersedia diberikan relaksasi nafas dalam.

Respon obyektif: pasien tampak rileks, dapat melakukan relaksasi dengan

baik. Pukul 09.15 WIB berkolaborasi dengan tim medis dalam pemberian

obat analgesik (ketorolak 30 mg/8 jam, asam tranexsamat 50 mg/8 jam,

ranitidin 50 mg/12 jam, ceftriaxon 1 g/12 jam). Respon subyektif: pasien

mengatakan bersedia diberikan injeksi. Respon obyektif: pasien tampak

tenang, obat sudah masuk melalui IV.

Pukul 09.30 WIB diagnosa kedua gangguan pola tidur

berhubungan dengan nyeri. Mengkaji pola tidur. Respon subyektif : pasien

mengatakan tidur siang 30 menit, tidur malam 5 jam sering terbangun

merasakan nyeri. Respon obyektif: pasien tampak pucat, tidak fresh,

tampak lemas, hasil pengkajian pola tidur pritzburg sleep quality index

yaitu nilai kualitas tidur Sdr.S buruk > 5. Pukul 09.40 WIB menciptakan
73

suasana nyaman. Respon subyektif: pasien mengatakan merasa nyaman.

Respon obyektif: pasien tampak tenang. Pukul 10.00 WIB membatasi

pengunjung selama istirahat. Respon subyektif: pasien mengatakan

lingkungannya lebih tenang. Respon obyektif: pasien tampak rileks. Pukul

10.10 WIB mengajarkan terapi spiritual emotional freedom tehnique.

Respon subyektif: pasien mengatakan bersedia diberikan terapi untuk

meningkatkan tidur. Respon obyektif: pasien tampak rileks, dapat

melakukan terapi dengan baik. Pukul 10.20 WIB berkolaborasi dengan tim

medis dalam pemberian obat analgesik (ketorolak 30 mg/8 jam, asam

tranexsamat 50 mg/8 jam, ranitidin 50 mg/12 jam, ceftriaxon 1 g/12 jam).

Respon subyektif: pasien mengatakan bersedia diberikan obat injeksi.

Respon obyektif: pasien tampak tenang, obat sudah masuk melalui IV.

Pukul 11.30 WIB diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik

berhubungan dengan muskuloskeletal. Mengkaji kemampuan pasien

dalam mobilisasi. Respon subyektif: pasien mengatakan tubuh terasa

lemah, hanya mampu terbaring di tempat tidur, dan aktivitas dibantu

keluarga. Respon obyektif: pasien tampak lemah, aktivitas pasien terlihat

dibantu keluarga. Pukul 11.45 WIB mengobservasi tanda-tanda vital.

Respon subyektif: pasien mengatakan bersedia dilakukan pemeriksaan.

Respon obyektif: pasien terlihat tenang, tekanan darah: 110/80 mmHg,

nadi: 88x/menit, respirasi: 20x/menit, suhu: 36,2oC. Pukul 12.15 WIB

melatih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADL secara mandiri sesuai

kemampuan. Respon subyektif: pasien mengatakan makan/ minum,


74

berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, ambulasi/ ROM dibantu

keluarga, toileting dibantu keluarga dan alat. Respon obyektif: pasien

tampak lemas hanya bisa terbaring di tempat tidur, data diatas didapatkan

hasil pasien total dibantu keluarga. Pukul 12.40 WIB membantu pasien

saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan ADL. Respon subyektif: pasien

mengatakan ingin melakukan aktivitas mandiri. Respon obyektif: pasien

tampak lemas, aktivitas masih dibantu keluarga. Pukul 13.05 WIB

mengkonsultasikan dengan ahli terapi fisik. Respon subyektif: pasien

mengatakan bersedia diberikan terapi. Respon obyektif: pasien tampak

tenang.

Tindakan keperawatan yang dilakukan hari kedua, kamis 12 Maret

2015 pukul 08.05 WIB diagnosa pertama nyeri akut berhubungan dengan

agen cedera fisik (fraktur maxilla). Mengobservasi karakteristik nyeri

meliputi PQRST. Respon subyektif: pasien mengatakan nyeri saat

digerakan, nyeri seperti ditusuk-tusuk skala nyeri 5, nyeri dibagian wajah

kiri dan tangan kiri, nyeri hilang timbul. Respon obyektif: pasien tampak

meringis kesakitan, tangan kiri digips, wajah kiri luka, hasil CT-Scan dan

rontgen menunjukan adanya fraktur maxilla dan fraktur os metacarpal 2

manus sinistra, aposisi dan aligmen tulang cukup baik. Pukul 08.20 WIB

mengobservasi tanda-tanda vital. Respon subyektif: pasien mengatakan

bersedia dilakukan pemeriksaan. Respon obyektif: pasien terlihat tenang,

tekanan darah: 120/80 mmHg, nadi: 81x/menit, respirasi: 22x/menit, suhu:

36,5oC. Pukul 08.30 WIB memberikan perubahan posisi yang nyaman.


75

Respon subyektif: pasien mengatakan nyaman dengan posisinya tidur

sekarang. Respon obyektif: pasien tampak tenang. Pukul 08.40 WIB

mengajarkan relaksasi nafas dalam. Respon subyektif: pasien mengatakan

bersedia diberikan relaksasi nafas dalam untuk mengurangi nyeri. Respon

obyektif: pasien tampak rileks, dapat melakukan relaksasi dengan baik.

Pukul 08.50 WIB berkolaborasi dengan tim medis dalam

pemberian obat analgesik (ketorolak 30 mg/8 jam, asam tranexsamat 50

mg/8 jam, ranitidin 50 mg/12 jam, ceftriaxon 1 g/12 jam). Respon

subyektif: pasien mengatakan bersedia diberikan injeksi. Respon obyektif:

pasien tampak tenang, obat injeksi sudah masuk melalui IV. Pukul 09.10

WIB diagnosa gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri. Mengkaji

pola tidur. Respon subyektif: pasien mengatakan tidur siang 1 jam, tidur

malam 8 jam 1-2 kali terbangun merasakan nyeri. Respon obyektif : pasien

tampak fresh, hasil pengkajian pola tidur pritzburg sleep quality index

yaitu nilai kualitas tidur Sdr.S baik < 5.

Pukul 09.35 WIB menciptakan suasana nyaman. Respon subyektif:

pasien mengatakan merasa nyaman. Respon obyektif: pasien tampak

tenang. Pukul 09.50 WIB membatasi pengunjung selama istirahat. Respon

subyektif: pasien mengatakan lingkungannya lebih tenang. Respon

obyektif: pasien tampak rileks. Pukul 10.05 WIB mengajarkan terapi

spiritual emotional freedom tehnique. Respon subyektif: pasien

mengatakan bersedia diberikan terapi untuk meningkatkan tidur. Respon

obyektif: pasien tampak rileks, dapat melakukan terapi dengan baik. Pukul
76

10.20 WIB berkolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat

analgesik (ketorolak 30 mg/8 jam, asam tranexsamat 50 mg/8 jam,

ranitidin 50 mg/12 jam, ceftriaxon 1 g/12 jam). Respon subyektif: pasien

mengatakan bersedia diberikan obat injeksi. Respon obyektif: pasien

tampak tenang, obat sudah masuk melalui IV.

Pukul 10.45 WIB diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan

dengan muskuloskeletal. Mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi.

Respon subyektif: pasien mengatakan tubuh terasa lemah, hanya mampu

terbaring di tempat tidur, dan aktivitas dibantu keluarga. Respon obyektif:

pasien tampak lemah, aktivitas pasien terlihat dibantu keluarga. Pukul

11.00 WIB mengobservasi tanda-tanda vital. Respon subyektif: pasien

mengatakan bersedia dilakukan pemeriksaan. Respon obyektif: pasien

terlihat tenang, tekanan darah: 110/80 mmHg, nadi: 81x/menit, respirasi:

22x/menit, suhu: 36,5oC.

Pukul 11.20 WIB melatih pasien dalam pemenuhan kebutuhan

ADL secara mandiri sesuai kemampuan. Respon subyektif: pasien

mengatakan makan/ minum, berpakaian, mobilitas di tempat tidur,

berpindah, ambulasi/ ROM dibantu keluarga, toileting dibantu keluarga

dan alat. Respon obyektif: pasien tampak lemas hanya bisa terbaring di

tempat tidur, didapatkan hasil pasien total dibantu keluarga. Pukul 13.00

WIB membantu pasien saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan ADL.

Respon subyektif: pasien mengatakan ingin melakukan aktivitas mandiri.

Respon obyektif: pasien tampak lemas, aktivitas masih dibantu keluarga.


77

Pukul 13.15 mengkonsulkan dengan ahli terapi fisik. Respon subyektif:

pasien mengatakan bersedia diberikan terapi. Respon obyektif: pasien

tampak tenang.

Tindakan keperawatan yang dilakukan hari ketiga, jumat 13 Maret

2015 pukul 08.00 WIB diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen

cedera fisik (fraktur maxilla). Mengobservasi karakteristik nyeri meliputi

PQRST. Respon subyektif: pasien mengatakan nyeri saat digerakan, nyeri

seperti ditusuk-tusuk skala nyeri 4, nyeri dibagian wajah kiri dan tangan

kiri, nyeri hilang timbul selama 4 detik. Respon obyektif: pasien tampak

meringis kesakitan, tangan kiri digips, wajah kiri luka, hasil CT-Scan dan

rontgen menunjukan adanya fraktur maxilla dan fraktur os metacarpal 2

manus sinistra, aposisi dan aligmen tulang cukup baik.

Pukul 08.20 WIB mengobservasi tanda-tanda vital. Respon

subyektif: pasien mengatakan bersedia dilakukan pemeriksaan. Respon

obyektif: pasien terlihat tenang, tekanan darah: 110/70 mmHg, nadi:

86x/menit, respirasi: 22x/menit, suhu: 36,5oC. Pukul 08.40 WIB

memberikan perubahan posisi yang nyaman. Respon subyektif: pasien

mengatakan nyaman dengan posisinya tidur sekarang. Respon obyektif:

pasien tampak tenang.

Pukul 08.50 WIB mengajarkan relaksasi nafas dalam. Respon

subyektif: pasien mengatakan bersedia diberikan relaksasi nafas dalam

untuk mengurangi nyeri. Respon obyektif: pasien tampak rileks, dapat

melakukan relaksasi dengan baik. Pukul 09.00 WIB berkolaborasi dengan


78

tim medis dalam pemberian obat analgesik (ketorolak 30 mg/8 jam, asam

tranexsamat 50 mg/8 jam, ranitidin 50 mg/12 jam, ceftriaxon 1 g/12 jam).

Respon subyektif: pasien mengatakan bersedia diberikan injeksi. Respon

obyektif: pasien tampak tenang, obat injeksi sudah masuk melalui IV.

Pukul 09.20 WIB pada diagnosa gangguan pola tidur berhubungan dengan

nyeri. Mengkaji pola tidur. Respon subyektif: pasien mengatakan tidur

siang 2 jam, tidur malam 9 jam 1-2 kali terbangun merasakan nyeri.

Respon obyektif: pasien fresh, hasil pengkajian pola tidur pritzburg sleep

quality index yaitu nilai kualitas tidur Sdr.S baik < 5. Pukul 09.35 WIB

menciptakan suasana nyaman. Respon subyektif: pasien mengatakan

merasa nyaman. Respon obyektif: pasien tampak tenang.

Pukul 09.50 WIB membatasi pengunjung selama istirahat. Respon

subyektif: pasien mengatakan lingkungannya lebih tenang. Respon

obyektif: pasien tampak rileks. Pukul 10.05 WIB mengajarkan terapi

spiritual emotional freedom tehnique. Respon subyektif: pasien

mengatakan bersedia diberikan terapi untuk meningkatkan tidur. Respon

obyektif: pasien tampak rileks, dapat melakukan terapi dengan baik.

Pukul 10.20 WIB berkolaborasi dengan tim medis dalam

pemberian obat analgesik (ketorolak 30 mg/8 jam, asam tranexsamat 50

mg/8 jam, ranitidin 50 mg/12 jam, ceftriaxon 1 g/12 jam). Respon

subyektif: pasien mengatakan bersedia diberikan obat injeksi. Respon

obyektif: pasien tampak tenang, obat sudah masuk melalui IV. Pukul 10.50

WIB mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi. Respon subyektif:


79

pasien mengatakan tubuh terasa lemah, hanya mampu terbaring di tempat

tidur, dan aktivitas dibantu keluarga. Respon obyektif: pasien tampak

lemah, aktivitas pasien terlihat dibantu keluarga. Pukul 11.05 WIB

mengobservasi tanda-tanda vital. Respon subyektif: pasien mengatakan

bersedia dilakukan pemeriksaan. Respon obyektif: pasien terlihat tenang,

tekanan darah: 110/70 mmHg, nadi: 86x/menit, respirasi: 22x/menit, suhu:

36,5oC.

Pukul 11.20 WIB melatih pasien dalam pemenuhan kebutuhan

ADL secara mandiri sesuai kemampuan. Respon subyektif: pasien

mengatakan makan/ minum, berpakaian, mobilitas di tempat tidur,

berpindah, ambulasi/ ROM dibantu keluarga, toileting dibantu keluarga

dan alat. Respon obyektif: pasien tampak lemas hanya bisa terbaring di

tempat tidur, didapatkan hasil pasien total dibantu keluarga. Pukul 12.40

WIB membantu pasien saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan ADL.

Respon subyektif: pasien mengatakan ingin melakukan aktivitas mandiri.

Respon obyektif: pasien tampak lemas, aktivitas masih dibantu keluarga.

Pukul 13.00 berkolaborasi dengan tim medis dalam memberikan terapi

fisik. Respon subyektif: pasien mengatakan bersedia diberikan terapi.

Respon obyektif: pasien tampak tenang.

F. Evaluasi

Tindakan keperawatan yang dilakukan oleh penulis kemudian

dievaluasi pada hari Senin, 9 Maret 2015 pukul 13.30 WIB dengan metode
SOAP pada diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik

(fraktur maxilla). Subyektif: pasien mengatakan nyeri saat digerakan, nyeri

seperti ditusuk-tusuk skala nyeri 5, nyeri dibagian wajah kiri dan tangan

kiri, nyeri hilang timbul selama 4 detik. Obyektif: pasien tampak meringis

kesakitan, tangan kiri digips, wajah kiri luka, hasil CT-Scan dan rontgen

menunjukan adanya fraktur maxilla dan fraktur os metacarpal 2 manus

sinistra, aposisi dan aligmen tulang cukup baik. Analisa: masalah

keperawatan nyeri akut belum teratasi. Planning: observasi karakteristik

nyeri meliputi PQRST, observasi tanda-tanda vital, berikan perubahan

posisi yang nyaman, ajarkan relaksasi nafas dalam, kolaborasi dengan tim

medis dalam pemberian obat analgesik (ketorolac 30 mg, asam

tranexsamat 50 mg, ranitidin 50 mg, ceftriaxon 1 g).

Pukul 13.40 WIB penulis melakukan evaluasi untuk diagnosa

gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri. Subyektif: pasien

mengatakan tidur siang 30 menit, tidur malam 5 jam dan sering terbangun

merasakan nyeri. Obyektif: pasien tampak pucat, tidak fresh, tampak

lemas, hasil pengkajian pola tidur pritzburg sleep quality index yaitu nilai

kualitas tidur Sdr.S baik < 5. Analisa masalah keperawatan gangguan pola

tidur teratasi sebagian. Planning: kaji pola tidur, ciptakan suasana nyaman,

batasi pengunjung selama istirahat, ajarkan terapi spiritual emotional

freedom tehnique, kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat

analgesik (ketorolac 30 mg, asam tranexsamat 50 mg, ranitidin 50 mg,

ceftriaxon 1 g).
Pukul 14.00 WIB penulis melakukan evaluasi untuk diagnosa

hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan muskuloskeletal. Subyektif:

pasien mengatakan makan/ minum, berpakaian, mobilitas di tempat tidur,

berpindah, ambulasi/ ROM di bantu keluarga, toileting di bantu keluarga

dan alat. Obyektif: pasien tampak lemas, kesulitan bergerak, tangan kiri

digips dan tangan kanan dipasang infus, data diatas didapatkan hasil

pasien total dibantu keluarga. Analisa: masalah keperawatan hambatan

mobilitas fisik belum teratasi. Planning: kaji kemampuan pasien dalam

mobilisasi, observasi tanda-tanda vital, latih pasien dalam pemenuhan

kebutuhan ADL secara mandiri sesuai kemampuan, bantu pasien saat

mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan ADL, konsultasikan dengan ahli

terapi fisik.

Pada hari kedua kamis, 12 Maret 2015 pukul 13.30 WIB dengan

metode SOAP. Subyektif: pasien mengatakan nyeri saat digerakan, nyeri

seperti ditusuk-tusuk skala nyeri 4, nyeri dibagian wajah kiri dan tangan

kiri, nyeri hilang timbul selama 4 detik. Obyektif: pasien tampak meringis

kesakitan, tangan kiri digips, wajah kiri luka, hasil CT-Scan dan rontgen

menunjukan adanya fraktur maxilla dan fraktur os metacarpal 2 manus

sinistra, aposisi dan aligmen tulang cukup baik. Analisa: masalah

keperawatan nyeri akut belum teratasi. Planning: observasi karakteristik

nyeri meliputi PQRST, observasi tanda-tanda vital, berikan perubahan

posisi yang nyaman, ajarkan relaksasi nafas dalam, kolaborasi dengan tim
medis dalam pemberian obat analgesik (ketorolac 30 mg, asam

tranexsamat 50 mg, ranitidin 50 mg, ceftriaxon 1 g).

Pukul 13.45 WIB penulis melakukan evaluasi untuk diagnosa

gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri. Subyektif: pasien

mengatakan tidur siang 1 jam, tidur malam 8 jam 1-2 kali terbangun

merasakan nyeri. Obyektif: pasien tampak fresh, hasil pengkajian pola

tidur pritzburg sleep quality index yaitu nilai kualitas tidur Sdr.S baik < 5.

Analisa: masalah keperawatan gangguan pola tidur teratasi sebagian.

Planning: kaji pola tidur, ciptakan suasana nyaman, batasi pengunjung

selama istirahat, ajarkan terapi spiritual emotional freedom tehnique,

kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat analgesik (ketorolac

30 mg, asam tranexsamat 50 mg, ranitidin 50 mg, ceftriaxon 1 g).

Pukul 13.55 WIB penulis melakukan evaluasi untuk diagnosa

hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan muskuloskeletal. Subyektif:

pasien mengatakan makan/ minum, berpakaian, mobilitas di tempat tidur,

berpindah, ambulasi/ ROM di bantu keluarga, toileting di bantu keluarga

dan alat. Obyektif: pasien tampak lemas, kesulitan bergerak, tangan kiri

digips dan tangan kanan di pasang infus, data diatas didapatkan hasil

pasien total dibantu keluarga. Analisa: masalah keperawatan hambatan

mobilitas fisik belum teratasi. Planning: kaji kemampuan pasien dalam

mobilisasi, observasi tanda-tanda vital, latih pasien dalam pemenuhan

kebutuhan ADL secara mandiri sesuai kemampuan, bantu pasien saat


mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan ADL, konsultasikan dengan ahli

terapi fisik.

Pada hari ketiga jumat, 13 Maret 2015 pukul 13.35 WIB dengan

metode SOAP pada diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cedera

fisik (fraktur maxilla). Subyektif: pasien mengatakan nyeri saat digerakan,

nyeri seperti ditusuk-tusuk skala nyeri 3, nyeri dibagian wajah kiri dan

tangan kiri, nyeri hilang timbul selama 4 detik. Obyektif: pasien tampak

meringis kesakitan, tangan kiri digips, wajah kiri luka, hasil CT-Scan dan

rontgen menunjukan adanya fraktur maxilla dan fraktur os metacarpal 2

manus sinistra, aposisi dan aligmen tulang cukup baik. Analisa: masalah

keperawatan nyeri akut teratasi sebagian. Planning: observasi karakteristik

nyeri meliputi PQRST, observasi tanda-tanda vital, berikan perubahan

posisi yang nyaman, ajarkan relaksasi nafas dalam, kolaborasi dengan tim

medis dalam pemberian obat analgesik (ketorolac 30 mg, asam

tranexsamat 50 mg, ranitidin 50 mg, ceftriaxon 1 g).

Pukul 13.55 WIB penulis melakukan evaluasi untuk diagnosa

gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri. Subyektif: pasien

mengatakan tidur siang 2 jam, tidur malam 9 jam 1-2 kali terbangun

merasakan nyeri. Obyektif: pasien fresh, hasil pengkajian pola tidur

pritzburg sleep quality index yaitu nilai kualitas tidur Sdr.S baik > 5.

Analisa: masalah keperawatan gangguan pola tidur teratasi.

Pukul 14.05 WIB penulis melakukan evaluasi untuk diagnosa

hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan muskuloskeletal. Subyektif:


pasien mengatakan makan/ minum, berpakaian, mobilitas di tempat tidur,

berpindah, ambulasi/ ROM di bantu keluarga, toileting di bantu keluarga dan

alat. Obyektif: pasien tampak lemas, kesulitan bergerak, tangan kiri digips dan

tangan kanan dipasang infus, data diatas didapatkan hasil pasien total di bantu

keluarga. Analisa: masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik belum

teratasi. Planning: kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, observasi tanda-

tanda vital, latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADL secara mandiri

sesuai kemampuan, bantu pasien saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan

ADL, konsultasikan dengan ahli terapi fisik.


DAFTAR PUSTAKA

Saleh, Edwin. 2016. Fraktuk maksila dan tulang wajah sebagai akibat trauma kepala.
Yogyakarta : PDGI CABANG GUNUNG KIDUL diakses pada
repository.umy.ac.id
Slametkhoironhadi.2015.Askep-Trauma-Wajah. Diunduh 12 Mei 2019 pukul 1.00
http://slametkhoironhadi.blogspot.com/2015/11/askep-trauma-wajah.html?
m=1
Smeltzer, Suzanne C. Brenda G.Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth. Edisi 8. Jakarta:EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
M.Taylor, Cynthia., Ralph, Sheila. 2012. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana
Asuhan. Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai