DISUSUN OLEH :
AHMAD EKA AKTAVIANA
LAPORAN PENDAHULUAN
1
KONSEP MEDIS
1. DEFINISI
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung merupakan suatu
keluhan atau tanda, bukan penyakit. Perdarahan yang terjadi di hidung adalah
akibat kelainan setempat atau penyakit umum. Penting sekali mencari asal
perdarahan dan menghentikannya, di samping perlu juga menemukan dan
mengobati sebabnya. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin
hampir 90% dapat berhenti dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan
sederhana yang dilakukan oleh pasien sendiri dengan jalan menekan
hidungnya. Epistaksis berat, walaupun jarang dijumpai, dapat mengancam
keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal,bila tidak segera
ditolong. Epistaksis atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60%
populasi umum. Puncak kejadian dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak
(bimodal) yaitu pada usia <10 >50 tahun.
2. ETIOLOGI
Secara Umum penyebab epistaksis dibagi dua yaitu Lokal dan Sistemik
a) Lokal
Penyebab lokal terutama trauma, sering karena kecelakaan lalulintas, olah
raga, (seperti karena pukulan pada hidung) yang disertai patah tulang
hidung , mengorek hidung yang terlalu keras sehingga luka pada mukosa
hidung, adanya tumor di hidung, ada benda asing (sesuatu yang masuk ke
hidung) biasanya pada anak-anak, atau lintah yang masuk ke hidung, dan
infeksi atau peradangan hidung dan sinus (rinitis dan sinusitis).
b) Sistemik
Penyebab sistemik artinya penyakit yang tidak hanya terbatas pada hidung,
yang sering meyebabkan mimisan adalah hipertensi, infeksi sistemik seperti
penyakit demam berdarahdengue atau cikunguya, kelainan darah seperti
hemofili, autoimun trombositipenic purpura.
Selain itu ada juga penyebab lainnya, diantaranya:
a. Trauma, Perdarahan hidung dapat terjadi setelah trauma ringan,
misalnya mengeluarkan ingus secara tiba-tiba dan kuat, mengorek
hidung, dan trauma yang hebat seperti terpukul, jatuh atau
kecelakaan. Selain itu juga dapat disebabkan oleh iritasi gas yang
merangsang, benda asing di hidung dan trauma pada pembedahan.
2
b. Infeksi, Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau
sinusitis juga dapat menyebabkan perdarahan hidung.
c. Neoplasma, Hemangioma dan karsinoma adalah yang paling sering
menimbulkan gejala epitaksis.
d. Kongenital, Penyakit turunan yang dapat menyebabkan epitaksis
adalah telengiaktasis hemoragik herediter.
e. Penyakit kardiovaskular, Hipertensi dan kelainan pada pembuluh
darah di hidung seperti arteriosklerosis, sirosis, sifilis dan penyakit
gula dapat menyebabkan terjadinya epitaksis karena pecahnya
pembuluh darah.
f. Kelainan Darah
g. Trombositopenia, hemophilia, dan leukemia
h. Infeksi sistemik
i. Demam berdarah, Demam tifoid, influenza dan sakit morbili
j. Perubahan tekanan atmosfer
k. Caisson disease (pada penyelam)
3. KLASIFIKASI
1. Mimisan Depan
Jika yang luka adalah pembuluh darah pada rongga hidung bagian
depan, maka disebut 'mimisan depan' (=epistaksis anterior). Lebih dari
90% mimisan merupakan mimisan jenis ini. Mimisan depan lebih
sering mengenai anak-anak, karena pada usia ini selapun lendir dan
pembuluh darah hidung belum terlalu kuat.
Mimisan depan biasanya ditandai dengan keluarnya darah lewat
lubang hidung, baik melalui satu maupun kedua lubang hidung. Jarang
sekali perdarahan keluar lewat belakang menuju ke tenggorokan,
kecuali jika korban dalam posisi telentang atau tengadah.
Pada pemeriksaan hidung, dapat dijumpai lokasi sumber pedarahan.
Biasanya di sekat hidung, tetapi kadang-kadang juga di dinding
samping rongga hidung.
Mimisan depan akibat :
1. Mengorek-ngorek hidung
2. Terlalu lama menghirup udara kering, misalnya pada ketinggian
atau ruangan berAC
3. Terlalu lama terpapar sinar matahari
4. Pilek atau sinusitis
5. Membuang ingus terlalu kuat
Biasanya relatif tidak berbahaya. Perdarahan yang timbul ringan
dan dapat berhenti sendiri dalam 3 - 5 menit, walaupun kadang-
3
kadang perlu tindakan seperti memencet dan mengompres hidung
dengan air dingin.
Beberapa langkah untuk mengatasi mimisan depan:
1) Penderita duduk di kursi atau berdiri, kepala ditundukkan sedikit
ke depan. Pada posisi duduk atau berdiri, hidung yang berdarah
lebih tinggi dari jantung. Tindakan ini bermanfaat untuk
mengurangi laju perdarahan. Kepala ditundukkan ke depan agar
darah mengalir lewat lubang hidung, tidak jatuh ke tenggorokan,
yang jika masuk ke lambung menimbulkan mual dan muntah, dan
jika masuk ke paru-paru dapat menimbulkan gagal napas dan
kematian.
2) Tekan seluruh cuping hidung, tepat di atas lubang hidung dan
dibawah tulang hidung. Pertahankan tindakan ini selama 10 menit.
Usahakan jangan berhenti menekan sampai masa 10 menit
terlewati.Penderita diminta untuk bernapas lewat mulut.
3) Beri kompres dingin di daerah sekitar hidung. Kompres dingin
membantu mengerutkan pembuluh darah, sehingga perdarahan
berkurang.
4) Setelah mimisan berhenti, tidak boleh mengorek-ngorek hidung
dan menghembuskan napas lewat hidung terlalu kuat sediktinya
dalam 3 jam.
5) Jika penanganan pertama di atas tidak berhasil, korban sebaiknya
dibawa ke rumah sakit, karena mungkin dibutuhkan pemasangan
tampon (kasa yang digulung) ke dalam rongga hidung atau
tindakan kauterisasi. Selama dalam perjalanan, penderita sebaiknya
tetap duduk dengan posisi tunduk sedikit kedepan.
2. Mimisan Belakang
Mimisan belakang (=epistaksis posterior) terjadi akibat perlukaan pada
pembuluh darah rongga hidung bagian belakang. Mimisan belakang
jarang terjadi, tapi relatif lebih berbahaya. Mimisan belakang
kebanyakan mengenai orang dewasa, walaupun tidak menutup
kemungkinan juga mengenai anak-anak.
Perdarahan pada mimisan belakang biasanya lebih hebat sebab yang
mengalami perlukaan adalah pembuluh darah yang cukup besar.
4
Karena terletak di belakang, darah cenderung jatuh ke tenggorokan
kemudian tertelan masuk ke lambung, sehingga menimbulkan mual
dan muntah berisi darah. Pada beberapa kasus, darah sama sekali tidak
ada yang keluar melalui lubang hidung.
Beberapa penyebab mimisan belakang :
1. Hipertensi
2. Demam berdarah
3. Tumor ganas hidung atau nasofaring
4. penyakit darah seperti leukemia, hemofilia, thalasemia dll.
5. kekurangan vitamin C dan K.
6. Dan lain-lain
Perdarahan pada mimisan belakang lebih sulit diatasi. Oleh
karena itu, penderita harus segera dibawa ke puskesmas atau RS.
Biasanya petugas medis melakukan pemasangan tampon belakang.
Caranya, kateter dimasukkan lewat lubang hidung tembus rongga
belakang mulut (faring), kemudian ditarik keluar melalui mulut. Pada
ujung yang keluar melalui mulut ini dipasang kasa dan balon. Ujung
kateter satunya yang ada di lubang hidung ditarik, maka kasa dan
balon ikut tertarik dan menyumbat rongga hidung bagian belakang.
Dengan demikian diharapkan perdarahan berhenti. Jika tindakan ini
gagal, petugas medis mungkin akan melakukan kauterisasi. Langkah
lain yang mungkin dipertimbangkan adalah operasi untuk mencari
pembuluh darah yang menyebabkan perdarahan, kemudian
mengikatnya. Tindakan ini dinamakan ligasi.
4. PATOFISIOLOGI
Rongga hidung memiliki banyak pembuluh darah. Pada rongga bagian
depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung, terdapat anyaman
pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian
belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang
cukup besar antara lain dari arteri sphenopalatina.
Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris
(maksila=rahang atas) interna yaitu arteri palatina (palatina=langit-langit)
mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan
dari arteri fasialis (fasial=muka). Bagian depan septum terdapat anastomosis
(gabungan) dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior,
5
arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut sebagai pleksus
kiesselbach (littles area).
Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir
keluar melalui dua jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat
belakang masuk ke tenggorokan. Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior
(depan) dan posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal
dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus
kiesselbach. Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa
perdarahan dari lubang hidung.
Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior
melalui cabang arteri sfenopalatina Epistaksis posterior seringkali
menunjukkan gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk
darah, anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah
besar sehingga perdarahan lebih hebat dan jarang berhenti spontan.
5. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis pada epistaksis dapat dibagi sesuai dengan sumber
perdarahannya, yaitu;
a. Epistaksis Anterior
Kebanyakan berasal dari pleksus kisselbach di septum bagian anterior atau
dari arteri etmoidalis anterior. Darah keluar dari hidung. Perdarahan pada
septum anterior biasanya ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis
atau kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan terjadi pada anak,
seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.
b. Epistaksis posterior
Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina.
Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri.
Perdarahan dapat keluar lewat mulut. Sering ditemukan pada pasien
dengan hipertensi, arteriosclerosis, atau pasien dengan penyakit
kardiovaskuler karena pecahnya arteri sfenopalatina.
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
1) Rinoskopi anterior Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari
anterior ke posterior.Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi,
dinding lateral hidung dan konkhainferior harus diperiksa dengan cermat.
6
2) Rinoskopi posterior Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior
penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik
untuk menyingkirkan neoplasma.
3) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi,
karenahipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering
berulang.
4) Rontgen sinus: Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi.
5) Skrining terhadap koagulopati: Tes-tes yang tepat termasuk waktu
protrombin serum, waktu tromboplastin parsial,jumlah platelet dan
waktu perdarahan
6) Riwayat penyakit: Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan
setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis.
Jika perdarahan sedikit dan tidak berulang, tidak perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang. Jika perdarahan berulang atau hebat lakukan
pemeriksaan lainnya untuk memperkuat diagnosis epistaksis.
a) Pemeriksaan darah tepi lengkap
b) Fungsi hemostatis
c) EKG
d) Tes fungsi hati dan ginjal
e) Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring.
f) CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya
rinosinusitis, benda asing dan neoplasma.
7. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat timbul :
-sinusitis
-septal hematom (bekuan darah pada sekat hidung)
-deformitas (kelainan bentuk) hidung
-aspirasi (masuknya cairan ke saluran napas bawah)
-kerusakan jaringan hidung
-infeksi
8. PENATALAKSANAAN DIAGNOSTIK
Penatalaksanaan medis tergantung pada lokasi tempat perdarahan.
Spekulum nasal atau head-ligth dapat digunakan untuk menentukan letak
perdarahan didalam rongga nasal. Sebagian perdarahan hidung berasal dari
bagian anterior hidung. Penanganan awal termasuk memberikan tekanan
secara langsung. Pasien duduk tegak dengan kepala didongakkan kearah
7
depan untuk mencegah tertelan dan aspirasi darah dan diarahkan untuk
memencet hidung kearah tengah septum selama 5-10 menit terus-menerus.
Jika tindakan ini tidak berhasil diperlukan tindakan tambahan. Pada
perdarahan hidung anterior, area mungkin diatasi dengan penggunaan
aplikator perak nitrat dan Gelfoam, atau dengan elektrokauteri.
Vasokonstriktor topikal seperti adrenalin (1:1000), kokain (0.5 %), dan
fenilefrin mungkin diresepkan.
Jika perdarahan terjadi dari region posterior, penyumbatan kapas yang
basah dengan larutan vasokonstriktor dapat dimasukkan kedalam hidung
untuk mengurangi aliran darah dan memperbaiki pandangan pemeriksa
kedalam letak perdarahan. Atau tampon kapas mungkin digunakan untuk
mencoba menghentikan perdarahan.
Jika asal dari perdarahan belum dapat diidentifikasi, hidung mungkin
disumbat dengan kasa yang dicelupkan kedalam petrolatum, sprei anastesi
topikal dan dekongestan mungkin digunakan sebelum memasukkan sumbat
kasa atau mungkin juga digunakan balon kateter yang dikembangkan. Sumbat
tersebut dapat didiamkan selama 48 jam atau 5-6 hari jika diperlukan untuk
mengontrol perdarahan.
9. KONSEP KEPERAWATAN
a. Pengkajian
Pengkajian merupakan data yang perlu dikaji pada proses perawatan
keluarga dengan masalah Diabetes Mellitus menurut Friedman (1998)
meliputi data dasar keluarga, lingkungan keluarga, struktur keluarga,
fungsi keluarga, stress dan koping keluarga dan fungsi perawatan
kesehatan.
1. Data dasar keluarga, data yang perlu dikaji antara lain: nama keluarga,
amanat dan nomor telepon, komposisi keluarga, tipe keluarga, latar
belakang budaya (etnis), identifikasi religi, status kelas keluarga,
aktivitas rekreasi dan waktu senggang keluarga.
2. Data lingkungan keluarga, data yang perlu dikaji antara lain:
karakteristik rumah, karakteristik dan lingkungan sekitar dan
komunitas yang lebih besar, mobilitas geografi keluarga, perkumpulan
dan interaksi keluarga dengan masyarakat, serta sistem-sistem
pendukung keluarga.
8
3. Struktur keluarga yang terdiri dai: pola komunikasi keluarga: data yang
harus dikaji adalah observasi seluruh anggota keluarga dalam
berhubungan satu sama lain, apakah komunikasi dalam keluarga
berfungsi atau tidak, seberapa balk setiap anggota keluarga menjadi
pendengar, jelas dalam penyampaian, perasaan terhadap komunikasi
dan interaksi, apakah keluarga melibatkan emosi atau tidak dalam
penyampaian pesan.
4. Fungsi keluarga terdiri dan: fungsi afektif, atau yang dapat dikaji
antara lain: pola kebutuhan keluarga dan respon, apakah anggota
keluarga merasakan keutuhan individu lain dalam keluarga, apakah
orang tua / pasangan mampu menggambarkan kebutuhan persoalan
lain dan anggota yang lain, bagaimana sensitifnya anggota keluarga
dengan melihat tanda-tanda yang berhubungan dengan perasaan dan
kebutuhan orang lain. Fungsi reproduksi, data yang perlu dikaji, berapa
jumlah anak, bagaimana keluarga merencanakan jumlah anak, metode
apa yang digunakan keluarga dalam pengendalian jumlah anak.
5. Stress dan koping keluarga hal yang perlu dikaji, stressor jangka
pendek dan jangka panjang, kemampuan keluarga berespon dalam
masalah, strategi koping yang digunakan, strategi adaptasi
difungsional dan pemeriksaan fisik dilakukan secara head to head.
6. Fungsi perawatan kesehatan dalam melaksanakan lima tugas kesehatan
keluarga, hal yang perlu dikaji meliputi;
a) Kemampuan keluarga mengenal masalah kesehatan, data yang
perlu dikaji, pengetahuan keluarga tentang masalah kesehatan
epistaksis yang meliputi pengertian, faktor penyebab, tanda dan
gejala dan persepsi keluarga terhadap masalah.
b) Kemampuan keluarga mengambil keputusan mengenai tindakan
yang tepat untuk mengatasi masalah epistaksis, hal yang perlu
dikaji adalah kemampuan keluarga tentang pengertian, sifat dan
luasnya masalah epistaksis, apakah masalah dirasakan keluarga.
apakah keluarga pasrah terhadap masalah, apakah keluarga akut
dan akibat tindakan penyakitnya, apakah keluarga mempunyai
sikap negatif terhadap masalah kesehatan, apakah ada informasi
yang salah terhadap tindakan dalam menghadapi masalah.
9
c) Untuk mengetahui kemampuan keluarga merawat anggota
keluarga dengan epistaksis, data yang perlu dikaji adalah sejauh
mana keluarga mengetahui keadaan penyakit, bagaimana sifat dan
perkembangan perawatan yang dibutuhkan, bagaimana
pengetahuan keluarga tentang fasilitas yang diperlukan untuk
perawatan, apakah keluarga mengetahui sumber-sumber yang ada,
sikap keluarga terhadap sakit.
d) Kemampuan keluarga untuk memelihara lingkungan rumah yang
sehat, hal yang perlu dikaji adalah pengetahuan keluarga tentang
sumber-sumber yang dimiliki keluarga, manfaat pemeliharaan
lingkungan, sejauh mana keluarga mengetahui pentingnya hygiene
sanitasi, keluarga mengetahui upaya pencegahan penyakit,
bagaimana sikap atau pandangan keluarga terhadap hygiene
sanitasi, sejauh mana kekompakan keluarga.
e) Kemampuan kelu1irga dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan,
hal yang perlu dikaji adalah sejauh mana keluarga mengetahui
keberadaan fasilitas kesehatan, keuntungan-keuntungan dan
fasilitas kesehatan.
b. Diagnosa Keperawatan
Menurut Bailon dan Maglaya (1989) dan modifikasi oleh Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia (2000), bahwa etialogi diagnosa
keperawatan ada 3 yaitu:
1) Aktual (deficit atau gangguan kesehatan), bila didapatkan data tanda
dan gejala gangguan kesehatan.
2) Resiko (ancaman kesehatan), sudah ada data yang menunjang namun
belum terjadi gangguan.
3) Potensial (keadaan sejahtera atau wellness), kejadian dimana keluarga
dalam keadaan sejahtera sehingga kesehatan keluarga dapat
ditingkatkan.
4) Pada pembuatan diagnosa keluarga ini, etiologi berdasarkan lima
fungsi keperawatan keluarga, dimana apabila ditentukan lebih dari satu
10
fungsi kesehatan yang terganggu maka yang menjadi etiologi adalah
ketidakmampuan keluarga merawat.
c. Perencanaan
a) Penapisan Masalah
Dalam menyusun prioritas masalah keperawatan yang telah
teridentifikasi perlu dilakukan penapisan masalah keperawatan dengan
menggunakan kriteria sebagai berikut :
Kriteria Skor Bobot Pembenaran
Sifat Masalah
1998)
Kemungkinan Pengetahuan dan tekhnologi untuk
a. Mudah 3 2
Sebagian 2
c. Tidak dapat 1
diubah
Potensi Masalah Beratnya penyakit, prognosa penyakit
11
c. Rendah 2
1
Menonjolnya Persepsi keluarga melihat masalah.
ditangani
tidak perlu 1
ditangani
c. Masalah Tidak
dirasakan
0
b) Perencanaan Keperawatan
Setelah menyusun prioritas masalah maka pada tahap berikutnya
adalah:
1) Rencana keperawatan harus berdasarkan atas analisa secara
instansi kesehatan.
12
4) Rencana keperawatan harus dibuat bersama keluarga, hal ini sesuai
untuk keluarga.
5) Rencana keperawatan dibuat secara tertulis, hall ini berguna bagi
d. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan merupakan salah satu proses keperawatan keluarga
karena mungkin ada faktor 1inkungan yang tidak dapat teratasi. Tahap
13
pada umumnya, tahap evaluasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
kualitatif adalah evaluasi yang difokuskan pada tiga dimensi yang saling
perawat.
DAFTAR PUSTAKA
Arif,Mansjoer, et al, 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 1, Media
14
Aesculapius, Jakarta.
Johnson. M. Maas. M. Moorhead. S. 2000. Nursing Outcome
Classification(NOC). Mosby. Philadelpia.
15