PENDAHULUAN
Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan
lunak pada wajah. Wajah tersusun dari beragam tulang, yang terdiri dari tulang mandibula,
maksila, zigoma, nasal dan otot-ototnya. Trauma pada wajah sering mengakibatkan terjadinya
gangguan saluan pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap
fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang
tepat dan secepat mungkin.1
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan presentase yang tinggi terjadinya
kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka
terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72%
kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas..2,3
Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma maksilofasial dan
dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta penerangan yang baik Trauma pada
rahang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka pada
jaringan lunak.
Kedaruratan trauma maksilofasial yang merupakan suatu penatalaksanaan tindakan
darurat pada orang yang baru saja mengalami trauma pada daerah maksilofasial (wajah).
Penatalaksanaan kegawatdaruratan pada trauma maksilofasial oleh dokter umum hanya
mencakup bantuan dasar hidup (basic life support) yang berguna menurunkan tingkat kecacatan
dan kematian pasien sampai diperolehnya penanganan selanjutnya. Kemudian penanganan
1
selanjutnya dengan cara terapi pembedahan. Terapi ini dimaksudkan untuk mengatasi morbiditas
yang terjadi, seperti cacat tulang wajah (dishface deformity); deformitas hidung (deviasi ke
lateral atau ke dalam/pesek); obstruksi ductus nasolacrimalis yang menyebabkan epiphoria (mata
berair); destruksi nervus olfactorius menyebabkan anosmia (hilangnya pembauan); kelainan mata
seperti diplopia (penglihatan dobel); perubahan dari garis pupil kedua mata (pupil tidak simetris),
sampai dengan kebutaan.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Maksilofasial
Pertumbuhan kranium terjadi dengan sangat cepat pada tahun pertama dan kedua
setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar
cranium sudah mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah
yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia.5
C. Epidemiologi
Dari data penelitian menunjukkan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar
6% dari seluruh trauma. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2
tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29.85%, diikuti fraktur zigoma 27.64% dan
fraktur nasal 12.66%.
Penderita dengan fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif,
yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64.38% disertai cedera ditempat lain, dan trauma penyerta
terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat, sekitar 56%. Penyebab terbanyak
adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara bermotor.3
D. Etiologi
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,
kekerasan fisik, terjatuh, olahraga dan trauma akibat dari senjata api. Kecelakaan lalu
lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat membawa kematian dan
kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar
biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun.6
E. Klasifikasi
5
Berdasarkan kekhususan
a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita)
b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II dan Le Fort III
c. Fraktur segmental mandibula
c. Fraktur komunisi
d. Fraktur patologis
Perluasaan tulang yang terlibat
a. Komplit, fraktur yang mencakup seluruh tulang
b. Tidak komplit, seperti pada greenstick, hair line, dan kropresi (lekuk)
Konfigurasi
Hubungan antar fragmen
10
G. Manifestasi klinis
Gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa:
11
1.
2.
3.
4.
5.
fraktur
6. Krepitasi, berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung tulang
fraktur
7. Laserasi yang terjadi pada daerah gusi, mukoasa mulut dan daerah sekitar fraktur.
8. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah
nervus alveolaris
9. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda.1
H. Diagnosis
Dalam menegakkan sebuah kejadian yang dicurigai dengan fraktur maksilofasial, dapat
dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Anamnesa
Anamnesa dapat dilakukan langsung dengan pasien atau dengan orang lain yang
melihat langsung kejadian. Yang harus ditanyakan adalah: 1
Penyebab pasien mengalami trauma:
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Trauma tumpul
3. Trauma benda keras
4. Terjatuh
5. Kecelakaan olahraga
6. Berkelahi
Dimana kejadiannya
Sudah berapa lama sejak saat kejadian sampai tiba di Rumah Sakit
Apakah setelah kejadian pasien sadar atau tidak, jika tidak sadar, berapa lama
pasien tidak sadarkan diri.
b. Pemeriksaan fisik
Inspeksi:
1. Secara simetris bergerak dari atas ke bawah:
2. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema
3.
4.
5.
6.
7.
8. Deficit pendengaran
9. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas.
Palpasi :
1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak,
ecchymosis, jaringan hilang luka, dan perdarahan. Periksa luka terbuka
untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil.
2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi,
mengesampingkan adanya aspirasi.
3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi dan mati langkah, terutama di
daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan
zygomatic dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal dan
rahang atas.
4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophtalmus atau enophthalmos,
menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan
ocular, jarak interpupillary dan ukuran pupil, bentuk, dan reaksi terhadap
cahaya, baik langsung dan konsesual.
5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis dan
proptosis.
6. Balikkan keopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi
7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti
hyphema.
8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan
kerusakan pada kompleks nasoethomoidal.
9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung. Bius dan tekan intranasal terhadap
lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika
tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal yang retak.
10. Lakukan tes traksi, pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik terhadap
bagian medialnya. Jika tarikan tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari
canthus medial.
13
11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau
dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi.
12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan,
laserasi pelebaran mukosa, fraktur atau dislokasi dan rhinorrhea cairan
cerebrospinal.
13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebospinal,
integritas membrane timpani, hemotympanum, perforasi, atau ecchymosis
daerah mastoid (battle sign).
14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis atau bengkak. Secara
bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau
mobilitas.
15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya
disisi tengah hidung. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur Le Fort I.
gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.
16. Menanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingival dan
perdarahan intraoral, air mata atau adanya krepitasi.
17. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk mengigit keras pada pisau.
Jika rahang retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami
rasa sakit.
18. Meraba seluruh bagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk
memeriksa nyeri, kelainan bentuk atau ecchymosis.
19. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari disaluran
telinga eksternal, sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa
sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.
20. Periksa paresthesia atau anestesi saraf.
Secara umum yang dinilai adalah sebagai berikut:
14
a.
b.
c.
d.
I. Fraktur Maksilofasial
a. Fraktur Nasal 8
Fraktur nasal adalah fraktur yang merupakan insiden terbesar yang terjadi pada
fraktur-fraktur tulang wajah. Hal ini dikarenakan pada tulang nasal tidak terlindungi dari
15
luar dan merupakan bagian yang menonjol dari tulang wajah. Kejadian yang sering
terjadi adalah simple fraktur dan dislokasi yang biasanya terjadi bersamaan.
Klasifikasi fraktur pada nasal:
1. Simple depresi
2. Lateral displacement dari jembatan tulang hidung, dengan adanya pemisahan
artikulasi dari kedua sisi diantara tulang hidung dan tulang maksilla, jadi dapat
terjadi terlihat adanya deviasi septum.
3. Pendataan dari jembatan hidung disertai adanya dislokasi dan fraktur
cominutive.
Selain itu, fraktur tulang hidung juga dapat dibagi atas 3 macam yaitu:
1. Fraktur hidung sederhana
2. Fraktur tulang hidung terbuka
3. Fraktur tulang hidung nasoethmoid
16
17
Pipi menjadi lebih rata dibandingkan dengan sisi kontralateral atau sebelum trauma.
Deformatis yang dapat diraba pada lingkar bawah orbita.
18
3.
Diplopia saat melirik ke atas karena hancurnya dasar orbita yang cedera pada nervus
4.
5.
6.
infraorbita.
Edema periorbita dan ekimosis periorbita.
Ptosis
Emfisema subkutis.
Penanganan Fraktur Zigoma
Fraktur midfasial merupakan tantangan dibidang THT karena struktur anatomi
yang kompleks dan padat. Penanganan fraktur harus ditunda sampai peradangan minimal
dan untuk lebih memantapkan evaluasi medis pasien. Pengompresan dengan ice packs
dan memposisikan pasien dengan posisi semi-Fowler dapat mempercepat pengurangan
edema.
Penatalaksanaan fraktur zigoma tergantung derajat pergeseran tulang, segi estetika
dan deficit fungsional. Kira-kira 6% fraktur tulang zigoma tidak menunjukkan kelainan,
fraktur jenis ini tidak membutuhkan reduksi.
Perbaikan fraktur zigoma tterkadang dilakukan dengan teknik reduksi tertutup,
namun lebih sering memerlukan teknik reduksi terbuka. Reduksi dari fraktur zigoma
disfiksasi dengan kawat baja atau mini plate.
e. Fraktur Tulang Maksilaris (Mid-Facial Fracture)
Anatomi tulang maksilaris
Tulang maksilaris memiliki beberapa fungsi diantaranya sebagai tempat melekatnya
gigi, membentuk atap dari rongga mulut, merupakan dasar dan melekatnya pada
dinding lateral dan atap dari rongga hidung, merupakan dasar dari sinus maksilaris.,
juga berperan pada rima orbita inferior dan merupakan dasar dari orbita. Dua tulang
maksila bersatu digaris tengah untuk membentuk tulang wajah tengah ketiga.
Etiologi
19
Fraktur maksila sering terjadi akibat trauma dengan energy yang cukup tinggi yang
menyebabkan kerusakan pada tulang wajah. Hal ini sering terjadi pada trauma
kecelakaan kendaraan bermotor atau terjatuh.
Klasifikasi fraktur maksila :
Fraktur maksila merupakan salah satu cedera wajah yang paling berat dan dicirikan
oleh:
1. Mobilitas atau pergeseran palatum
2. Mobilitas hidung yang menyertai palatum
3. Epistaksis
4. Mobilitas atau pergesaran seluruh bagian sepertiga tengah wajah.
Guerin membuat deskripsi fraktur maksila 35 tahun sebelum Le Fort membuat
klasifikasi fraktur maksila dalam 3 kategori dengan menggunakan namanya. Ketiga
kategori ini yaitu fraktur Le Fort I, II, III dan masih dipakai sampai sekarang.
f. Fraktur mandibula
Fraktur mandibula merupakan fraktur tulang wajah yang paling sering terjadi. Hal
ini disebabkan oleh kondisi mandibula yang terpisah dari cranium.
Fraktur mandibula ini sangat penting dihubungkan dengan adanya otot yang
bekerja dan beorigo atau berinsersio. Otot tersebut adalah otot elevator, otot depressor
dan otot protusor.
Klasifikasi fraktur mandibula :
Digman mengklasifikasikan fraktur mandibula secara simple dan praktis.
Mandibula dibagi menjadi 7 regio yaitu: badan, simpfisis, sudut, ramus, prosesus
koronoid, prosesus kondilar, prosesus alveolar. Fraktur yang terjadi dapat satu, dua
atau lebih pada region mandibula.
Fraktur prosesus condylus merupakan fraktur mandibula yang paling sering
terjadi. Trauma pada dagu dapat menyebabkan fraktur prosesus condylus bilateral.
Trauma sebelah sisi mandibula fraktur badan mandibula ipsilateral dan leher
mandibula kontralateral.
20
Gejala
Diagnosis fraktur mandibula tidak sulit, ditegakkan berdasarkan adanya riwayat
kerusakan tulang rahang bawah dengan menandakan gejala berikut: makoklusi gigi,
gigi dapat digerakkan, laserasi intraoral, nyeri mengunyah, deformitas tulang. Fraktur
mandibula dapat disertai dengan gejala lainnya, antara lain:
1. Pembengkakan dan ekimosis pada kulit yang meliputi mandibula
2. Rasa sakit yang disebabkan oleh kerusakan pada nervus alveolaris inferior
3. Anesthesia yang terjadi pada satu bibir bawah, pada gusi atau pada gigi
4.
5.
6.
7.
BAB III
KESIMPULAN
Wajah tersusun otot-otot wajah dan tulang-tulang wajah, yaitu orbita, nasal, mandibula,
maksila dan zigoma. Trauma wajah merupakan jenis trauma yang cukup sering terjadi akibat
21
kecelakaan. Luka atau jejas yang terjadi harus segera ditangani agar tidak terjadi komplikasi atau
perburukan keadaan sehingga menimbulkan kecacatan atau perburukan lainnya.
Penanganan pertama pada emergensi fraktur maksilofasial adalah dengan membuka jalan
nafas (airway) apabila tersumbat atau mempertahankan jalan nafas sampai penanganan
selanjutnya dilakukan, kemudian breathing dan sirkulasi darah pasien, lalu mengontrol
perdarahan yang ada agar tidak terjadi syok.
DAFTAR PUSTAKA
3. Kateren E. A. Penanganan Awal Dokter Gigi Pada Trauma Orafacial. Medan. Dentika
Dental Jurnal. 2000.
4. Syaiful Saanin. Cedera Kepala. Padang. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Sumatera Barat. 2010.
5. Mansjoer A. Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2.
Jakarta. 2000.
6. Facial Danger Zone. Facial Anatomy. Diakses dari : http://www.avshalomshalom.com/interns/face%20lift/facial%20anatomy.pdf
7. Boies , Hilger, Pries. Fundamental of Otolaryngoloy a TextBook of Ear, Nose and Throat
Disease. Fourth Edition. 1964. London: W. B. Sounders Company.
8.
23