Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan
lunak pada wajah. Wajah tersusun dari beragam tulang, yang terdiri dari tulang mandibula,
maksila, zigoma, nasal dan otot-ototnya. Trauma pada wajah sering mengakibatkan terjadinya
gangguan saluan pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap
fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang
tepat dan secepat mungkin.1
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan presentase yang tinggi terjadinya
kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka
terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72%
kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas..2,3
Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma maksilofasial dan
dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta penerangan yang baik Trauma pada
rahang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka pada
jaringan lunak.
Kedaruratan trauma maksilofasial yang merupakan suatu penatalaksanaan tindakan
darurat pada orang yang baru saja mengalami trauma pada daerah maksilofasial (wajah).
Penatalaksanaan kegawatdaruratan pada trauma maksilofasial oleh dokter umum hanya
mencakup bantuan dasar hidup (basic life support) yang berguna menurunkan tingkat kecacatan
dan kematian pasien sampai diperolehnya penanganan selanjutnya. Kemudian penanganan
1

selanjutnya dengan cara terapi pembedahan. Terapi ini dimaksudkan untuk mengatasi morbiditas
yang terjadi, seperti cacat tulang wajah (dishface deformity); deformitas hidung (deviasi ke
lateral atau ke dalam/pesek); obstruksi ductus nasolacrimalis yang menyebabkan epiphoria (mata
berair); destruksi nervus olfactorius menyebabkan anosmia (hilangnya pembauan); kelainan mata
seperti diplopia (penglihatan dobel); perubahan dari garis pupil kedua mata (pupil tidak simetris),
sampai dengan kebutaan.4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Maksilofasial
Pertumbuhan kranium terjadi dengan sangat cepat pada tahun pertama dan kedua
setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar
cranium sudah mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah
yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia.5

Gambar 1. Anatomi tulang maksilofasial


Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak.
Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris), dan
rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata (orbita). Tengkorak wajah dibagi atas dua bagian:5
3

1. Bagian hidung terdiri atas:


Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung di sudut
mata. Os nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas. Dan Os
konka nasal (tulang karang hidung), letaknya didalam rongga hidung dan bentuknya
berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan dari tulang tapis
yang tegak.
2. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang dari:
Os maksilaris (tulang rahang atas), Os zigomaticum, tulang pipi yang terdiri dari
dua tulang kiri dan kanan. Os palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua buah
tulang kiri dan kanan. Os mandibularis atau tulang rahang bawah, terdiri dari bagian yaitu
bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu dipertengahan dagu. Dibagian depan dari
mandibula terdapat processus coracoids tempat melekatnya otot.
B. Definisi
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan daerah
sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan
keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi
jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang
kepala.6
-

Trauma Jaringan Lunak:


1. Laserasi, tusukan
2.
3.
4.
5.
6.

Cedera saraf, cabang saraf fasial


Cedera kelenjar parotid atau duktus stensen
Cedera kelopak mata
Cedera telinga
Cedera hidung
4

Trauma jaringan keras:


1. Fraktur sepertiga atas wajah
2. Fraktur sepertiga tengah wajah
a. Fraktur hidung (os nasale)
b. Fraktur maksila (os maxilla)
Le fort I, fraktur maksilaris tranversa
Le fort II, fraktur pyramidal
Le fort III, disjunksi kraniofasial
c. Fraktur zigomatikum (os zygomaticum dan arcus zygomaticus)
d. Fraktur orbital (os orbita)
3. Fraktur sepertiga bawah wajah
a. Fraktur mandibula (os mandibula)
b. Gigi (dens)
c. Tulang alveolus (os alveolaris).7

C. Epidemiologi
Dari data penelitian menunjukkan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar
6% dari seluruh trauma. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2
tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29.85%, diikuti fraktur zigoma 27.64% dan
fraktur nasal 12.66%.
Penderita dengan fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif,
yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64.38% disertai cedera ditempat lain, dan trauma penyerta
terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat, sekitar 56%. Penyebab terbanyak
adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara bermotor.3
D. Etiologi
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,
kekerasan fisik, terjatuh, olahraga dan trauma akibat dari senjata api. Kecelakaan lalu
lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat membawa kematian dan
kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar
biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun.6
E. Klasifikasi
5

Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma


jaringan keras pada wajah dan trauma jaringan lunak pada wajah. Trauma jaringan lunak
biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas
atau pisau dan golok dari perkelahian.
a. Trauma jaringan lunak pada wajah
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma
dari luar. Trauma pada jaringam lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan:
Berdasarkan jenis luka dan penyebab
Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
Berdasarkan derajat kontaminasi
b. Trauma jaringan keras pada wajah
Klasifikasi trauma jaringan keras wajah dilihat dari fraktur tulang yang terjadi dan
dalam hal ini tidak ada klasifikasi yang definif.
Dibedakan berdasarkan lokasi anatomi dan estetik
Berdiri sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla,
mandibulla, gigi dan alveolus.
Bersifat multiple : fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur
kompleks mandibula.

Berdasarkan kekhususan
a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita)
b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II dan Le Fort III
c. Fraktur segmental mandibula

Berdasarkan tipe fraktur


a. Fraktur simple
b. Fraktur kompoun
7

c. Fraktur komunisi
d. Fraktur patologis
Perluasaan tulang yang terlibat
a. Komplit, fraktur yang mencakup seluruh tulang
b. Tidak komplit, seperti pada greenstick, hair line, dan kropresi (lekuk)
Konfigurasi
Hubungan antar fragmen

F. Facial danger zones (zona bahaya wajah)


Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar
dibeberapa lokasi diwajah, ada 7 lokasi-lokasi penting disekitar wajah yang apabila terjadi
trauma atau kesalahan dalam penanganan trauma maksilofasial akan berakibat fatal, lokasilokasi tersebut disebut dengan facial danger zone.7

Berikut pengklasifikasikan dari facial danger zone:


1. Facial danger zone 1 (N. aurikularis)
a. N. aurikularis, terletak 6,5 cm dibawah meatus acusticus
b. Terletak di posterior SMAS (superficial musculoaponeurotic system)

2. Facial danger zone 2 (cabang dari n. VII)


a. Terletak 1,5 cm disisi lateral dari alis mata

3. Facial danger zone 3 (cabang marginal mandibular dari n.VII)


a. Terletak di regio mandibular

4. Facial danger zone 4 (cabang buccal & zygomaticus dari N.VII)


a. Terletak di daerah buccal & zygomaticus

5. Facial danger zone 5 (nn. Supraorbita & nn. Supratrochlearis)

10

6. Facial danger zone 6 (n. infra orbita)


a. Terletak tepat dibawah mata

7. Facial danger zone 7 (n. mentalis)


a. Terletak di mandibula, 1,5 cm dibawah bibir.

G. Manifestasi klinis
Gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa:
11

1.
2.
3.
4.
5.

Dislokasi, berupa perubahan posisi yang menyebabkan maloklusi


Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur
Rasa nyeri pada sisi fraktur
Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran nafas
Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah

fraktur
6. Krepitasi, berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung tulang
fraktur
7. Laserasi yang terjadi pada daerah gusi, mukoasa mulut dan daerah sekitar fraktur.
8. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah
nervus alveolaris
9. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda.1
H. Diagnosis
Dalam menegakkan sebuah kejadian yang dicurigai dengan fraktur maksilofasial, dapat
dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Anamnesa
Anamnesa dapat dilakukan langsung dengan pasien atau dengan orang lain yang
melihat langsung kejadian. Yang harus ditanyakan adalah: 1
Penyebab pasien mengalami trauma:
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Trauma tumpul
3. Trauma benda keras
4. Terjatuh
5. Kecelakaan olahraga
6. Berkelahi
Dimana kejadiannya
Sudah berapa lama sejak saat kejadian sampai tiba di Rumah Sakit
Apakah setelah kejadian pasien sadar atau tidak, jika tidak sadar, berapa lama
pasien tidak sadarkan diri.
b. Pemeriksaan fisik
Inspeksi:
1. Secara simetris bergerak dari atas ke bawah:
2. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema
3.
4.
5.
6.
7.

Asimetris atau tidak


Adanya makloklusi/trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal
Otorrhoea/ rinorrhea
Cedera kelopak mata
Ecchymosis, epistaksis
12

8. Deficit pendengaran
9. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas.
Palpasi :
1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak,
ecchymosis, jaringan hilang luka, dan perdarahan. Periksa luka terbuka
untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil.
2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi,
mengesampingkan adanya aspirasi.
3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi dan mati langkah, terutama di
daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan
zygomatic dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal dan
rahang atas.
4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophtalmus atau enophthalmos,
menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan
ocular, jarak interpupillary dan ukuran pupil, bentuk, dan reaksi terhadap
cahaya, baik langsung dan konsesual.
5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis dan
proptosis.
6. Balikkan keopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi
7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti
hyphema.
8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan
kerusakan pada kompleks nasoethomoidal.
9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung. Bius dan tekan intranasal terhadap
lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika
tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal yang retak.
10. Lakukan tes traksi, pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik terhadap
bagian medialnya. Jika tarikan tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari
canthus medial.
13

11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau
dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi.
12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan,
laserasi pelebaran mukosa, fraktur atau dislokasi dan rhinorrhea cairan
cerebrospinal.
13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebospinal,
integritas membrane timpani, hemotympanum, perforasi, atau ecchymosis
daerah mastoid (battle sign).

14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis atau bengkak. Secara
bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau
mobilitas.
15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya
disisi tengah hidung. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur Le Fort I.
gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.
16. Menanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingival dan
perdarahan intraoral, air mata atau adanya krepitasi.
17. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk mengigit keras pada pisau.
Jika rahang retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami
rasa sakit.
18. Meraba seluruh bagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk
memeriksa nyeri, kelainan bentuk atau ecchymosis.
19. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari disaluran
telinga eksternal, sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa
sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.
20. Periksa paresthesia atau anestesi saraf.
Secara umum yang dinilai adalah sebagai berikut:
14

a.
b.
c.
d.

Lokasi nyeri dan durasi nyerinya


Adanya krepitasi
Fraktur
Deformitas, kelainan bentuk

e. Trismus (tonik kontraksi jantung)


f. Edema
g. Ketidakstabilan atau keabnormalan bentuk dan gerakan yang terbatas.

Meningitis dan mengevaluasi integritas saraf cranial II-VIII


1. N. opticus (II), ketajaman visual, bidang visual, reflex cahaya.
2. N. occulomoturius (III), ukuran pupil, bentuk, keseimbangan, reflek
diplopia
3. N. occulomotorious (III), N. trochlearis (IV), N. abducens (VI),
diplopia.
4. N. trigeminus (V), test sensorik, sentuh di dahi, bibir atas, dan dagu
digaris tengah. Bandingkan satu sisi ke sisi lain untuk membuktikan
adanya deficit sensorik. Test motorik, merapatkan gigi dan rahang lalu
bergerak ke lateral.
5. N. facial (VII):
a. Area temporal, menaikkan alis , dahi dikerutkan
b. Area zygomatic, memejamkan mata sampai tertutup rapat
c. Area buccal, mengerutkan hidung, membusungkan pipi
d. Area marjinal mandibula, mengerutkan bibir
e. Area servical, menarik leher (saraf otot platysma, namun fungsi ini
tidak terlalu penting perannya dalam kehidupan sehari-hari).
f. N. vestibulocochlearis (VIII), pendengaran, keseimbangan, gosok jari
atau berbisik di samping setiap telinga pasien. Jika terjadi gangguan
konduktif akan terdengar lebih keras pada sisi yang terkena.

I. Fraktur Maksilofasial
a. Fraktur Nasal 8
Fraktur nasal adalah fraktur yang merupakan insiden terbesar yang terjadi pada
fraktur-fraktur tulang wajah. Hal ini dikarenakan pada tulang nasal tidak terlindungi dari

15

luar dan merupakan bagian yang menonjol dari tulang wajah. Kejadian yang sering
terjadi adalah simple fraktur dan dislokasi yang biasanya terjadi bersamaan.
Klasifikasi fraktur pada nasal:
1. Simple depresi
2. Lateral displacement dari jembatan tulang hidung, dengan adanya pemisahan
artikulasi dari kedua sisi diantara tulang hidung dan tulang maksilla, jadi dapat
terjadi terlihat adanya deviasi septum.
3. Pendataan dari jembatan hidung disertai adanya dislokasi dan fraktur
cominutive.
Selain itu, fraktur tulang hidung juga dapat dibagi atas 3 macam yaitu:
1. Fraktur hidung sederhana
2. Fraktur tulang hidung terbuka
3. Fraktur tulang hidung nasoethmoid

Gejala dari fraktur nasal adalah :


1. Pembengkakan pada hidung luar dengan disertai atau tidak disertai adanya
deformintas
2. Ekimosis
3. Epistaksis
4. Krepitasi
b. Fraktur Septum Nasal
Penanganan trauma hidung yang salah dapat menyebabkan trauma pada kartilago
septum hidung. Diagnosa ditegakkan dengan palpasi dengan menggunakan jari pada
dorsum hidung untuk dicari kemungkinan adanya depresi dibawah dorsum tulang
yang merupakan tanda adanya comminuted fracture dan atau dislokasi dari septum
kartilago.
Pada fraktur septum nasal dapat ditemukan adanya edema dan hematom pada
dorsum dan ujung hidung yang dapat menyebabkan deformitas dan obstruksi saluran
pernafasan.

16

Komplikasi-komplikasi yang disebabkan oleh fraktur pada tulang hidung


antara lain :
1. Komplikasi neurologic
a. Robeknya durameter
b. Keluar cairan LCS dengan kemungkinan timbulnya meningitis
c. Laserasi otak
2. Komplikasi pada mata
a. Hematoma pada mata
b. Kerusakan n. optikus
c. Epifora
d. Ptosis
e. Kerusakan bola mata
3. Komplikasi pada hidung
a. Perubahan bentuk hidung
b. Obstruksi tulang hidung
c. Gangguan penciuman
d. Epistaksis posterior yang hebat
e. Kerusakan duktus nasofrontalis dengan efek terjadinya sinusitis
c. Fraktur orbita
Trauma pada wajah bisa menyebabkan fraktur pada tulang-tulang yang
membentuk orbita. Ada beberapa fraktur tulang orbita yang bisa menyebabkan gangguan
penglihatan.
Gejala klinis dari fraktur orbita:
1. Enophthalmus
2. Exophthalmus
3. Diplopia
4. Memar disekitar mata
5. Proptosis
6. Gangguan saraf sensoris
Diagnosa

17

Dilakukan pemeriksaan mata lengkap untuk mengetahui adanya kerusakan pada


mata. Pemeriksaan ini meliputi penilaian otot mata. CT scan dilakukan untuk menilai
luasnya fraktur.
d. Fraktur Tulang Zygomatikum
Tulang zigoma dibentuk oleh bagian-bagian yang dibentuk oleh tulang temporal,
frontal, tulang sphenoid dan tulang maksilla. Fraktur zigoma merupakan salah satu
fraktur midfasial yang paling sering terjadi, ini disebabkan karena letak tulang zigoma
yang lebih menonjol. Trauma pada tulang zigoma bisa menyebabkan fraktur pada seluruh
bagian zigoma atau hanya pada arkus zigoma saja.
Predileksi fraktur zigoma terutama pada laki-laki, dengan perbandingan 4:1
dengan perempuan. Penyebab yang paling sering adalah dikarenakan kecelakaan
kendaraan bermotor.
Klasifikasi fraktur komplek zigomatikum :
Fraktur zigoma diklasifikasikan berdasarkan rotasi dari os. Zigoma yang fraktur
terhadap sumbu vertical dan horizontal. Sumbu vertical dimulai antara satura
frontozigomatikum dan molar pertama, sedangkan sumbu horizontal melintang pada
arkus zigomatikus.
1. Fraktur stable after elevation
2. Fraktur unstable after elevation
Gejala dan tanda klinis fraktur zigoma:
1.
2.

Pipi menjadi lebih rata dibandingkan dengan sisi kontralateral atau sebelum trauma.
Deformatis yang dapat diraba pada lingkar bawah orbita.
18

3.

Diplopia saat melirik ke atas karena hancurnya dasar orbita yang cedera pada nervus

4.
5.
6.

infraorbita.
Edema periorbita dan ekimosis periorbita.
Ptosis
Emfisema subkutis.
Penanganan Fraktur Zigoma
Fraktur midfasial merupakan tantangan dibidang THT karena struktur anatomi
yang kompleks dan padat. Penanganan fraktur harus ditunda sampai peradangan minimal
dan untuk lebih memantapkan evaluasi medis pasien. Pengompresan dengan ice packs
dan memposisikan pasien dengan posisi semi-Fowler dapat mempercepat pengurangan
edema.
Penatalaksanaan fraktur zigoma tergantung derajat pergeseran tulang, segi estetika
dan deficit fungsional. Kira-kira 6% fraktur tulang zigoma tidak menunjukkan kelainan,
fraktur jenis ini tidak membutuhkan reduksi.
Perbaikan fraktur zigoma tterkadang dilakukan dengan teknik reduksi tertutup,
namun lebih sering memerlukan teknik reduksi terbuka. Reduksi dari fraktur zigoma
disfiksasi dengan kawat baja atau mini plate.
e. Fraktur Tulang Maksilaris (Mid-Facial Fracture)
Anatomi tulang maksilaris
Tulang maksilaris memiliki beberapa fungsi diantaranya sebagai tempat melekatnya
gigi, membentuk atap dari rongga mulut, merupakan dasar dan melekatnya pada
dinding lateral dan atap dari rongga hidung, merupakan dasar dari sinus maksilaris.,
juga berperan pada rima orbita inferior dan merupakan dasar dari orbita. Dua tulang
maksila bersatu digaris tengah untuk membentuk tulang wajah tengah ketiga.
Etiologi
19

Fraktur maksila sering terjadi akibat trauma dengan energy yang cukup tinggi yang
menyebabkan kerusakan pada tulang wajah. Hal ini sering terjadi pada trauma
kecelakaan kendaraan bermotor atau terjatuh.
Klasifikasi fraktur maksila :
Fraktur maksila merupakan salah satu cedera wajah yang paling berat dan dicirikan
oleh:
1. Mobilitas atau pergeseran palatum
2. Mobilitas hidung yang menyertai palatum
3. Epistaksis
4. Mobilitas atau pergesaran seluruh bagian sepertiga tengah wajah.
Guerin membuat deskripsi fraktur maksila 35 tahun sebelum Le Fort membuat
klasifikasi fraktur maksila dalam 3 kategori dengan menggunakan namanya. Ketiga
kategori ini yaitu fraktur Le Fort I, II, III dan masih dipakai sampai sekarang.
f. Fraktur mandibula
Fraktur mandibula merupakan fraktur tulang wajah yang paling sering terjadi. Hal
ini disebabkan oleh kondisi mandibula yang terpisah dari cranium.
Fraktur mandibula ini sangat penting dihubungkan dengan adanya otot yang
bekerja dan beorigo atau berinsersio. Otot tersebut adalah otot elevator, otot depressor
dan otot protusor.
Klasifikasi fraktur mandibula :
Digman mengklasifikasikan fraktur mandibula secara simple dan praktis.
Mandibula dibagi menjadi 7 regio yaitu: badan, simpfisis, sudut, ramus, prosesus
koronoid, prosesus kondilar, prosesus alveolar. Fraktur yang terjadi dapat satu, dua
atau lebih pada region mandibula.
Fraktur prosesus condylus merupakan fraktur mandibula yang paling sering
terjadi. Trauma pada dagu dapat menyebabkan fraktur prosesus condylus bilateral.
Trauma sebelah sisi mandibula fraktur badan mandibula ipsilateral dan leher
mandibula kontralateral.
20

Gejala
Diagnosis fraktur mandibula tidak sulit, ditegakkan berdasarkan adanya riwayat
kerusakan tulang rahang bawah dengan menandakan gejala berikut: makoklusi gigi,
gigi dapat digerakkan, laserasi intraoral, nyeri mengunyah, deformitas tulang. Fraktur
mandibula dapat disertai dengan gejala lainnya, antara lain:
1. Pembengkakan dan ekimosis pada kulit yang meliputi mandibula
2. Rasa sakit yang disebabkan oleh kerusakan pada nervus alveolaris inferior
3. Anesthesia yang terjadi pada satu bibir bawah, pada gusi atau pada gigi
4.
5.
6.
7.

dimana nervus alveolaris inferior menjadi rusak.


Gangguan morbilitas atau adanya krepitasi.
Malfungsi berupa trismus, rasa sakit waktu mengunyah dan lain-lain
Gangguan jalan nafas
Fraktur condylus bilateral menyebabkan tertariknya otot pterigois eksternal
sehingga mandibula tertarik kedepan. Akibatnya, oklusi gigi molar tidak
sempurna.

BAB III
KESIMPULAN

Wajah tersusun otot-otot wajah dan tulang-tulang wajah, yaitu orbita, nasal, mandibula,
maksila dan zigoma. Trauma wajah merupakan jenis trauma yang cukup sering terjadi akibat
21

kecelakaan. Luka atau jejas yang terjadi harus segera ditangani agar tidak terjadi komplikasi atau
perburukan keadaan sehingga menimbulkan kecacatan atau perburukan lainnya.
Penanganan pertama pada emergensi fraktur maksilofasial adalah dengan membuka jalan
nafas (airway) apabila tersumbat atau mempertahankan jalan nafas sampai penanganan
selanjutnya dilakukan, kemudian breathing dan sirkulasi darah pasien, lalu mengontrol
perdarahan yang ada agar tidak terjadi syok.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fahrev. Penanganan Kegawat daruratan Pada Pasien Trauma Maksilofasial. 2009.


Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Apley AG. Apleys System of Orthopeadicsed Fractures. Ahli bahasa Nugroho. 7th. Edisi
Jakarta. Widya Medika. 1995.
22

3. Kateren E. A. Penanganan Awal Dokter Gigi Pada Trauma Orafacial. Medan. Dentika
Dental Jurnal. 2000.
4. Syaiful Saanin. Cedera Kepala. Padang. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Sumatera Barat. 2010.
5. Mansjoer A. Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2.
Jakarta. 2000.
6. Facial Danger Zone. Facial Anatomy. Diakses dari : http://www.avshalomshalom.com/interns/face%20lift/facial%20anatomy.pdf
7. Boies , Hilger, Pries. Fundamental of Otolaryngoloy a TextBook of Ear, Nose and Throat
Disease. Fourth Edition. 1964. London: W. B. Sounders Company.
8.

23

Anda mungkin juga menyukai