A. Epidemiologi
Dari data penelitian Di RS Dr. Soetomo tahun 2015 menunjukan bahwa kejadian
trauma maksilofasial sekitar 6% dari seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah
RS Dr.Soetomo. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang
lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85 %, disusul fraktur zigoma 27,64 % dan fraktur
nasal 12, 66 %. Penderita fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif,yaitu
usia 21-30 tahun, sekitar 64,38 % disertai cedera di tempat lain, dan trauma penyerta
terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat, sekitar 56%. Penyebab terbanyak adalah
kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda motor.
B. Definisi Trauma Maksilofasial
Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang pembentuk wajah.
Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian, ialah
sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan sepertiga bawah wajah. Bagian yang
termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus
frontalis. Maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang
vomer termasuk ke dalam sepertiga tengah wajah sedangkan mandibula termasuk ke dalam
bagian sepertiga bawah wajah.
Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan
keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi
jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang
kepala yang terdiri dari : tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang
maksila, tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang dimaksud dengan trauma jaringan
lunak adalah:
1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato
2. Cedera saraf, cedera saraf fasial
3. Cedera kelenjar paratiroid atau duktus Stensen
4. Cedera kelopak mata
5. Cedera telinga
6. Cedera hidung
D. Anatomi Maksilofasial
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah
lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar cranium
sudah mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang
tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia. Daerah maksilofasial dibagi menjadi
3 bagian. Bagian pertama adalah wajah bagian atas, di mana patah tulang melibatkan frontal
dan sinus. Bagian kedua adalah midface tersebut. Midface dibagi menjadi bagian atas dan
bawah. Para midface atas adalah di mana rahang atas Le Fort II dan III Le Fort fraktur
terjadi dan / atau di mana patah tulang hidung, kompleks nasoethmoidal atau
zygomaticomaxillary, dan lantai orbit terjadi. Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah
wajah yang lebih rendah, di mana patah tulang yang terisolasi ke rahang bawah.
Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak.
Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris), dan
rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata(orbita).
1. Bagian hidung terdiri atas :
Os Lacrimal (tulang mata) letaknya di sebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut mata.
Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas. Dan Os Konka
nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam rongga hidung dan bentuknya berlipat-
lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan dari tulang tapis yang tegak.
2. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :
Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri dari dua
tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua dua buah
tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahang bawah, terdiri dari dua bagian
yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan
dari mandibula terdapat processus coracoids tempat melekatnya otot.
E. Pembagian pola trauma wajah
1. Fraktur Sepertiga Tengah Wajah
Pembagian pola trauma wajah pertama kali diungkapkan oleh Rene Le Fort pada 1901,
melaporkan penelitian pada jenazah yang mengalami trauma tumpul. Disimpulkan
terdapat pola prediksi fraktur berdasarkan kekuatan dan arah trauma. Terdapat tiga
predominan tipe yaitu Le Fort (I-III)
a) Fraktur Le Fort I (fraktur Guerin, transversal )
Garis fraktur pada maksilabagian bawah dapat memisahkan palatum
dari korpus maksila. Bila komplit garis fraktur dapat meliputi septum nasi bagian
bawah, dasar hidung, bagian lateral apertura piriformis, fosa kanina, dasar sinus
maksilaris dan dinding anterolateral maksila.
b) Fraktur Le Fort II (piramidal)
Merupakan 35-55% dari fraktur maksilofasial, arah dapat juga dari horizontal. Bila
komplit garis fraktur pada tulang nasal, prosesus frontalis maksila, tulang lakrimal,
daerah infra orbita (mendekati garis sutura zygomatiko maksilaris) dan lateral inferior
dinding sinus maksilaris.
c) Le Fort III (craniofacial disjunction)
Merupakan tipe terberat karena dapat memisahkan bagian bawah maksila dengan
basis kepala, namun tipe ini jarang dijumpai sekitar 5-15%. Arah trauma dapat
oblik maupun horizontal. Bila komplit garis fraktur terletak pada sisi atas hidung
(sutura fronto nasal) yaitu fraktur tulang nasal, prosesus frontal maksila, tulang
lakrimal, lamina papirasea, sinus ethmoid dan fisura orbitalis inferior.
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari
luar.
Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan : 3,5
1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab:
a. Ekskoriasi
b. Luka sayat, luka robek , luka bacok.
c. Luka bakar
d. Luka tembak
2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
3. Dikaitkan dengan unit estetik
G. Manifestasi Klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :
1. Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada
fraktur mandibular
2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur
3. Rasa nyeri pada sisi fraktur
4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas
5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi
daerah fraktur
6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran
7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur
8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah
nervus alveolaris
10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan
pergerakan bola mata dan penurunan visus
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Wajah Bagian Atas :
a. CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
b. CT-scan aksial koronal
c. Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepala dan X-ray kepala
2. Wajah Bagian Tengah :
a. CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
b. CT scan aksial koronal
c. Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan posteroanterior
(Caldwells), Submentovertek (Jughandles)
3. Wajah Bagian Bawah :
a. CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D
b. Panoramic X-ray
c. Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi:
Posteroanterior (Caldwells)
Posisi lateral (Schedell)
Posisi towne
I. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala dan wajah selain dari factor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status
neurologis (disability, exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula adalah
mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian
oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan
oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi,
tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara
menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan
menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO 2 ini yakin
dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Tim membuat intermittent iatrogenic
paralisis. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepala klien-lkien yang koma untuk
mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip CAB dan ventilasi yang teratur dapat
mencegah peningkatan tekanan intracranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
1. Bedrest total
2. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
3. Pemberian obat-obatan: Dexmethason / kalmethason sebagai pengobatan anti-
edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
4. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
5. Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau
glukosa 40%, atau gliserol 10%.
6. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (pensilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidasol.
7. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa,hanya cairan infuse dextrose 5%, aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
8. Pada trauma berat. Karena hai-hari pertama didapat klien mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari
pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer
dextrosa 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga, pada hari selanjutnya bila
kesadaran rendah maka makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500-300
TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.
J. Komplikasi
a. Perdarahan ulang
b. Kebocoran cairan otak
c. Infeksi pada luka atau sepsis
d. Timbulnya edema serebri
e. Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
f. Nyeri kepala setelah penderita sadar
g. Konvulsi (kejang)
ASKEP TRAUMA FACIAL
1. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cedera dan
mungkin di persulit oleh cedera tambahan pada organ vital
Initial assement dilakukan terlebih dahulu.
Jika terjadi trauma yang menyebabkan henti jantung gunakan metode CAB
(Circulation, Airway, Breathing) serta kaji kondisi neurologis (Disability) Exposure dan
gunakan AED, untuk pengkajian dan pertahankan pada pasien mengalami penurunan
kesadaran dapat menggunakan metode A,B,C,D,E (Airway, breating, circulation,
disability, exposure) saat primary survey dan dilanjutkan dengan secondary survey
(anamneses lengkap memvalidasi data primary survey dan AMPLE (Alergi, Medikasi,
Penyakit penyerta, Last meal, Event), pemeriksaan head to toe dan pemeriksaan
tambahan (darah,CTscan, thorax, EKG)
Data identitas pasien.
Data dasar temuan pada pasien trauma facial :
a. Aktifitas dan istirahat
Gejala : merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia cara berjalan tidak tegap,
masalah dlm keseimbangan, cedera/trauma ortopedi, kehilangan tonus otot.
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia disritmia)
c. Integritas ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian
Tanda :Cemas,mudah tersinggung,delirium,agitasi,bingung,depresi
d. Eliminasi
Gejala : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan fungsi
e. Makanan/cairan
Gejala : mual,muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda : muntah,gangguan menelan
f. Neurosensori
Gejala :Kehilangan kesadaran sementara,amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope,tinitus,kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan seperti
ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagain lapang pandang, gangguan pengecapan
dan penciuman
Tanda : Perubahan kesadran bisa sampai koma, perubahan status mental,
perubahan pupil, kehilangan penginderaan, wajah tdk simetris, genggaman lemah
tidak seimbang, kehilangan sensasi sebagian tubuh
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda biasanya lama
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri, nyeri yang
hebat,merintih
h. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas (trauma kepala herniasi system pernafasan di otak),
nafas berbunyi, stridor, tersedak,ronkhi,mengi, takepnea,dangkal. Cepat pernafasan
keras.
i. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan
j. Kulit : laserasi,abrasi,perubahan warna,tanda batle disekitar telinga,adanya aliran
cairan dari telinga atau hidung
k. Gangguan kognitif
l. Gangguan rentang gerak
m. Demam
2. Diagnose
a) Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi,
nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia dan peningktan
intracranial.
b) Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat
pernapasan di otak, kelemahan oto-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi udara/cairan.
c) Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan sputum,
peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan,
adanya jalan napas buatan pada trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.
d) nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot
sekunder.
DX 1: Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi, nemotuma),
edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi neurologis dapat d
minimalkan /distabilkan.
Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi kognitif dan
motorik/sensorik, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan tidak ada tanda-tanda peningktan TIK,
Intervensi Rasional
Kaji ulang tanda-tanda vital Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat
klien dan status relirologis klien kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan
bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan
perkembangankerusakan ssp.
Monitor tekanan darah, catat adanya hipertensi Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti
sistolik secara teratur dan tekanan nadi yang makin penurunan tekanan darah distolik (nadi yang
berat, obs, ht, pada klien yang mengalami trauma membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan
multiple. TIK, juga diikuti ( yang berhubungan
dengan trauma kesadaran.Hipovolumia/ Ht (yang
berhubungan dengan trauma multiples) dapat
mengakibatkan kerusakan / iskemik serebral.
Monitor Heart Rate, catat adanya bradikardi, Perubahan pada ritme (paling sering bradikardia) dan
takikardi atau bentuk disritmia lainya. disritmia dapat timbul yang encerminkan
adanya depresi / trauma pada batang otak pada pasien
yang tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya.
Monitor pernafasan meliputi pola dan ritme, seperti Nafas tidak teratur menunjukkan adanya gangguan
periode apnea setelah hiperventilasi serebral/ peningkatan TIK dan memerlukan intervensi
(pernafasan cheyne stokes). lebih lanjut termasuk kemungkinan
dukungan nafas buatan.
Kaji perubahan pada penglihatan ( penglihatan Gangguan penglihatan dapat diakibatkan oleh
kabur, ganda, lap. Pandang menyempit kerusakan mikroskopik pada otak,
dan kedalaman persepsi. merupakan konsekuensi terhadap keamanan dan juga
akan mempngaruhi pilihan intervensi
Pertahankan kepala / leher pada posisi tengah/ pada Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena
posisi netral. Sokong dengan handuk kecil / jugularis dan menghambat aliran darah lain yang
bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada selanjutnya akan
kepala meningkat TIK.
Kolaborasi Tinggikan kepala pasien 15 Meningkatkan aliran balik vena dari kepala, sehingga
45o sesuai indikasi / yang dapat ditoleransi. mengurangi kongesti dan edema
/ resiko terjadinya peningkatan TIK.
Kolaborasi pemberian O2 tambahan sesuai Menurunkan hipoksemia yang mana dapat menaikkan
Indikasi vasodilatasi dan vol darah serebral yang
meningkatkan TIK.
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi : - Untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan
- Diuretik edema otak TIK.
- Steroid - Menurunkan inflasi, yang
- Analgetik sedang selanjutnya menurunkan edema jaringan.
- Sedatif - Menghilangkan nyeri dan dapat berakibat pada
TIK tetapi harus digunakan dengan hasil untuk
mencegah gangguan
pernafasan.
- Untuk mengendalikan kegelisahan agitas
DX 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas buatan pada
trakea, peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan
keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas sumbatan,
menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran pernapasan.
Intervensi Rasional
Kaji keadaan jalan napas Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi
sekret, sisa cairan mucus, perdarahan,
bronkhospasme, dan/atau posisi dari
endotracheal/tracheostomy tube yang berubah.
Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara Pergerakan dada yang simetris dengan suara napas
napas pada kedua paru (bilateral). yang keluar dari paru-paru menandakan jalan napas
tidak terganggu. Saluran napas bagian bawah
tersumbat dapat terjadi pada pneumonia/atelektasis
akan menimbulkan perubahan suara napas seperti
ronkhi atau wheezing.
Monitor letak/posisi endotracheal tube. Beri tanda Endotracheal tube dapat saja masuk ke dalam
batas bibir. bronchus kanan, menyebabkan obstruksi jalan napas
Lekatkan tube secara hati-hati dengan memakai ke paru-paru kanan dan mengakibatkan klien
perekat khusus. mengalami pneumothoraks.
Mohon bantuan perawat lain ketika memasang dan
mengatur posisi tube.
Catat adanya batuk, bertambahnya sesak napas, Selama intubasiklien mengalami refleks batuk yang
suara alarm dari ventilator karena tekanan yang tidak efektif, atau klien akan mengalami kelemahan
tinggi, pengeluaran sekret melalui otot-otot pernapasan (neuromuscular/neurosensorik),
endotracheal/tracheostomy tube, bertambahnya keterlambatan untuk batuk. Semua klien tergantung
bunyi ronkhi. dari alternatif yang dilakukan seperti mengisap lender
dari jalan napas.
Lakukan penghisapan lender jika diperlukan, batasi Pengisapan lendir tidak selamanya dilakukan terus-
durasi pengisapan dengan 15 detik atau lebih. menerus, dan durasinya pun dapat dikurangi untuk
Gunakan kateter pengisap yang sesuai, cairan mencegah bahaya hipoksia.
fisiologis steril. Diameter kateter pengisap tidak boleh lebih dari 50%
Berikan oksigen 100% sebelum dilakukan diameter endotracheal/tracheostomy tube untuk
pengisapan dengan ambu bag (hiperventilasi). mencegah hipoksia.
Dengan membuat hiperventilasi melalui pemberian
oksigen 100% dapat mencegah terjadinya atelektasis
dan mengurangi terjadinya hipoksia.
Anjurkan klien mengenai tekhik batuk selama Batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret dari
pengisapan seperti waktu bernapas panjang, batuk saluran napas.
kuat, bersin jika ada indikasi.
Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2jam). Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen
paru-paru, mengurangi risiko atelektasis.
Berikan minum hangat jika keadaan Membantu pengenceran sekret, mempermudah
memungkinkan. pengeluaran sekret.
Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk Pengetahuan yang diharapkan akan membantu
efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana
saluran pernapasan. terapeutik.
Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan
pengontrolan batuk. tidak efektif, dapat menyebabkan frustasi.
Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
mungkin.
Lakukan pernapasan diafragma. Pernapasan diafragma menurunkan frekuensi napas
dan meningkatkan ventilasi alveolar.
Tahap napas selama 3-5 detik kemudian secara Meningkatkan volume udara dalam paru,
perlahan-lahan, dikeluarkan sebanyak mungkin mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
melalui mulut.
Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan dari Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan
dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat. upaya batuk klien.
Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk. Sekresi kental sulit untuk di encerkan dan dapat
menyebabkan sumbatan mucus, yang mengarah pada
atelektasis.
Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan Untuk menghindari pengentalan dari sekret atau mosa
viskositas sekresi. : mempertahankan hidrasi yang pada saluran napas pada bagian atas.
adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000-1500
cc/hari bila tidak ada kontraindikasi.
Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik Higine mulut yang baik meningkatkan rasa
setelah batuk. kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan Ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir
fisioterapi. dan mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas
Pemberian ekspektoran. pengembangan parunya.
Pemberian antibiotic.
Fisioterapi dada.
Konsul foto thoraks
Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti Mengatur ventilasi segmen paru-paru dan pengeluaran
postural drainage, perkusi/penepukan. sekret.
Berikan obat-obat bronchodilator sesuai indikasi Mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena
seperti aminophilin, meta-proterenol sulfat relaksasi muscle/bronchospasme.
(alupent), adoetharine hydrochloride (bronkosol).
DX 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil : Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, dapat mengidentifikasi
aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan
nyeri nonfarmakologi dan non-invasif. nonfarmakologi lainnya telah menunujukkan
keefektifan dalam mengurangi nyeri.
Ajarkan relaksasi :
Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot Akan melansarkan peredaran darah sehingga
rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi dan akan
dan juga tingkatkan relaksasi masase. mengurangi nyerinya.
Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut. Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang
menyenangkan.
Berikan kesempatan waktu istirahat bala terasa Istirahat akan merelaksasikan semua jaringan
nyeri dan berikan posisi yang nyaman misalnya sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
ketika tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat
dan respons motorik klien, 30 menit setelah data yang objektif untuk mencegah kemungkinan
pemberian obat analgesic untuk mengkaji komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.
efektivitasnya serta setiap 1-2 jam setelah tindakan
perawatan selama 1-2 hari.
Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik. Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri
akan berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Goodman, A. Soft Tissue Injuries to the Face in: Facial plastic and reconstruction
surgery. Ed.Papel, I.D.Mosby year book, St.Louis.1992.:449. Akses pada tanggal :
28 Oktober 2017
Smeltzer, Suzanne C. Brenda G.Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth. Edisi 8. Jakarta:EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
M.Taylor, Cynthia., Ralph, Sheila. 2012. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana
Asuhan.Jakarta:EGC