Anda di halaman 1dari 19

TRAUMA WAJAH (MAKSILOFASIAL)

A. Epidemiologi
Dari data penelitian Di RS Dr. Soetomo tahun 2015 menunjukan bahwa kejadian
trauma maksilofasial sekitar 6% dari seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah
RS Dr.Soetomo. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang
lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85 %, disusul fraktur zigoma 27,64 % dan fraktur
nasal 12, 66 %. Penderita fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif,yaitu
usia 21-30 tahun, sekitar 64,38 % disertai cedera di tempat lain, dan trauma penyerta
terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat, sekitar 56%. Penyebab terbanyak adalah
kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda motor.
B. Definisi Trauma Maksilofasial
Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang pembentuk wajah.
Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian, ialah
sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan sepertiga bawah wajah. Bagian yang
termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus
frontalis. Maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang
vomer termasuk ke dalam sepertiga tengah wajah sedangkan mandibula termasuk ke dalam
bagian sepertiga bawah wajah.
Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan
keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi
jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang
kepala yang terdiri dari : tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang
maksila, tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang dimaksud dengan trauma jaringan
lunak adalah:
1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato
2. Cedera saraf, cedera saraf fasial
3. Cedera kelenjar paratiroid atau duktus Stensen
4. Cedera kelopak mata
5. Cedera telinga
6. Cedera hidung

C. Etiologi Trauma Maksilofasial


Trauma wajah di perkotaan paling sering disebabkan oleh perkelahian, diikuti oleh
kendaraan bermotor dan kecelakaan industri. Para zygoma dan rahang adalah tulang yang
paling umum patah selama serangan. Trauma wajah dalam pengaturan masyarakat yang
paling sering adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor, maka untuk serangan dan
kegiatan rekreasi. Kecelakaan kendaraan bermotor menghasilkan patah tulang yang sering
melibatkan midface, terutama pada pasien yang tidak memakai sabuk pengaman mereka.
Penyebab penting lain dari trauma wajah termasuk trauma penetrasi, kekerasan dalam rumah
tangga, dan pelecehan anak-anak dan orang tua.
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus
rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per
tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial
paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).
Berikut ini tabel etiologi trauma maksilofasial :
Penyebabpada
Penyebab padaorang
orangdewasa
anak Persentase (%)
Persentase (%)
Kecelakaan
Kecelakaan lalu
lalu lintas
lintas 10-15
40-45
Penganiayaan
Penganiayaan // berkelahi
berkelahi 5-10
10-15
Olahraga
Olahraga (termasuk naik sepeda) 50-65
5-10
Jatuh
Jatuh 55-10
Lain-lain 5-10

D. Anatomi Maksilofasial
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah
lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar cranium
sudah mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang
tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia. Daerah maksilofasial dibagi menjadi
3 bagian. Bagian pertama adalah wajah bagian atas, di mana patah tulang melibatkan frontal
dan sinus. Bagian kedua adalah midface tersebut. Midface dibagi menjadi bagian atas dan
bawah. Para midface atas adalah di mana rahang atas Le Fort II dan III Le Fort fraktur
terjadi dan / atau di mana patah tulang hidung, kompleks nasoethmoidal atau
zygomaticomaxillary, dan lantai orbit terjadi. Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah
wajah yang lebih rendah, di mana patah tulang yang terisolasi ke rahang bawah.
Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak.
Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris), dan
rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata(orbita).
1. Bagian hidung terdiri atas :
Os Lacrimal (tulang mata) letaknya di sebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut mata.
Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas. Dan Os Konka
nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam rongga hidung dan bentuknya berlipat-
lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan dari tulang tapis yang tegak.
2. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :
Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri dari dua
tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua dua buah
tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahang bawah, terdiri dari dua bagian
yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan
dari mandibula terdapat processus coracoids tempat melekatnya otot.
E. Pembagian pola trauma wajah
1. Fraktur Sepertiga Tengah Wajah
Pembagian pola trauma wajah pertama kali diungkapkan oleh Rene Le Fort pada 1901,
melaporkan penelitian pada jenazah yang mengalami trauma tumpul. Disimpulkan
terdapat pola prediksi fraktur berdasarkan kekuatan dan arah trauma. Terdapat tiga
predominan tipe yaitu Le Fort (I-III)
a) Fraktur Le Fort I (fraktur Guerin, transversal )
Garis fraktur pada maksilabagian bawah dapat memisahkan palatum
dari korpus maksila. Bila komplit garis fraktur dapat meliputi septum nasi bagian
bawah, dasar hidung, bagian lateral apertura piriformis, fosa kanina, dasar sinus
maksilaris dan dinding anterolateral maksila.
b) Fraktur Le Fort II (piramidal)
Merupakan 35-55% dari fraktur maksilofasial, arah dapat juga dari horizontal. Bila
komplit garis fraktur pada tulang nasal, prosesus frontalis maksila, tulang lakrimal,
daerah infra orbita (mendekati garis sutura zygomatiko maksilaris) dan lateral inferior
dinding sinus maksilaris.
c) Le Fort III (craniofacial disjunction)
Merupakan tipe terberat karena dapat memisahkan bagian bawah maksila dengan
basis kepala, namun tipe ini jarang dijumpai sekitar 5-15%. Arah trauma dapat
oblik maupun horizontal. Bila komplit garis fraktur terletak pada sisi atas hidung
(sutura fronto nasal) yaitu fraktur tulang nasal, prosesus frontal maksila, tulang
lakrimal, lamina papirasea, sinus ethmoid dan fisura orbitalis inferior.

2. Fraktur Sepertiga Bawah Wajah


Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah.
Klasifikasi fraktur berdasarkan istilah :
a) Simple atau Closed : merupakan fraktur yang tidak menimbulkan luka terbuka keluar
baik melewati kulit, mukosa, maupun membran periodontal.
b) Compound atau Open : merupakan fraktur yang disertai dengan luka luar termasuk
kulit, mukosa, maupun membran periodontal , yang berhubungan dengan patahnya
tulang.
c) Comminuted : merupakan fraktur dimana tulang hancur menjadi serpihan.
d) Greenstick : merupakan fraktur dimana salah satu korteks tulang patah, satu sisi
lainnya melengkung. Fraktur ini biasa terjadi pada anak-anak.
e) Pathologic : merupakan fraktur yang terjadi sebagai luka yang cukup serius yang
dikarenakan adanya penyakit tulang.
f) Multiple : sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur pada tulang yang
sama tidak berhubungan satu sama lain.
g) Impacted : merupakan fraktur dimana salah satu fragmennya terdorong ke bagian
lainnya.
h) Atrophic : merupakan fraktur yang spontan yang terjadi akibat dari atropinya tulang,
biasanya pada tulang mandibula orang tua.
i) Indirect : merupakan titik fraktur yang jauh dari tempat dimana terjadinya luka.
j) Complicated atau Complex : merupakan fraktur dimana letaknya berdekatan dengan
jaringan lunak atau bagian-bagian lainnya, bisa simple atau compound.
3. Fraktur Sepertiga Atas Wajah
Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan
sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat depressedke dalam atau hanya
mempunyai garis fraktur linier yang dapat meluas ke daerah wajah yang lain.
Gambar 1. Le Fort (I-III)

Gambar faktur mandibula


Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-
rahang dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari
lokasi trauma langsung.
Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi
langsung atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang
atas atau rahang bawah
Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi mengakibatkan
cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah

F. Patofisiologi Trauma Maksilofasial


Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa
dikalikan dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi
menghasilkan kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-
dampak kekuatan didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi.
Ini berdampak parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang
dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda regional. Tepi
supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang frontal memerlukan kekuatan
tinggi-dampak yang akan rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah semua yang
diperlukan untuk merusak zygoma dan tulang hidung.
Fraktur os frontal dan sinus frontal.
Fraktur ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi. Bagiananterior dan / atau
posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi
jika dinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.
Fraktur os frontal umumnya bersifat depressed ke dalam sinus atau hanya mempunyai
garis fraktur yang linier, garis fraktur mana dapat meluas ke daerah fasial yang
lain. Apabila trauma mengenai dinding depan os frontal, maka fraktur yang mungkin
terjadi dapat bersifatdepressed atau communited. Apabila fraktur tersebut juga terdapat
pada dinding belakang sinus frontal, maka dapat terjadi perobekan dura dengan akibat
terjadinya likuore.
Diagnosis dapat ditegakan dengan palpasi apabila fraktur hanya mengenai
dinding depan dari sinus frontal. Likuore menunjukan kemungkinan adanya robekan
dura. Pada dugaan fraktur os frontal dan sinus frontal perlu dilakukan pemeriksaan
radiologik dengan proyeksi Waters, lateral dan postero-anterior atau CT-Scan.
Apabila terdapat fraktur terbuka, dapat langsung dilakukan eksplorasi, reposisi
serta fiksasi dari fragmen-fragmen fraktur. Pada fraktur tertutup, perlu dibuat insisi untuk
mencapai daerah fraktur tersebut. Insisi tersebut dapat berupa insisi sepanjang batas
rambut untuk membuat suatu frontal flap, atau dapat juga berupa insisi terbatas bilateral
pada bagian medial alis mata yang dihubungkan satu dengan yang lain (brill incision).
Fraktur tulang hidung
Fraktur akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke tulang ethmoid dan
dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial, aparatus lacrimalis, atau saluran
nasofrontal. Fraktur tulang hidung merupakan fraktur yang tersering terdapat pada wajah.
Fraktur tersebut dapat berbentuk suatu angulasi tulang hidung kearah lateral, atau suatu
bentuk fraktur depressed atau juga bentuk comminuted.. Diagnosis umumnya dapat
ditegakan dengan pemeriksaan klinik yaitu adanya deformitas tulang hidung, krepitasi,
disamping kemungkinan adanya epistaksis. Dapat juga dilakukan foto Rontgen proyeksi
lateral tulang hidung (spot nasal).
Fraktur tulang hidung jarang merupakan fraktur yang terbuka. Pada reposisi
selain faktor kosmetik, sangat penting diperhatikan fungsi hidung sebagai sistim saluran
pernafasan bagian atas. Hal yang kadang-kadang memerlukan perhatian segera adalah
penghentian epistaksis.
Pada reposisi ini juga harus diperhatikan tentang kemungkinan adanya
hematom septum. Hematom septum ini apabila tidak segera dievakuasi, akan
menimbulkan suatu perforasi septum nasi. Pada fraktur tulang hidung, hampir tidak
pernah dilakukan reposisi secara terbuka. Pada fraktur septum nasi, apabila terdapat
obstruksi kavum nasi yang berat, diperlukan suatu reposisi terbuka seperti akan
melakukan suatu operasi septum reseksi. Dianjurkan untuk melakukan reposisi fraktur
tulang hidung dalam waktu secepat-cepatnya, maksimal sebelum 10 hari pasca trauma.
Fraktur os zigomatikus
Sebuah pukulan langsung ke lengkung zygomatic dapat mengakibatkan fraktur
terisolasi melibatkan jahitan zygomaticotemporal. Fraktur os zigomatikus merupakan
urutan kedua tersering setelah fraktur os nasalis. Gejala tersering adalah ekimosis
periobita. Gejala lain adalah depresi malar eminence, depresi orbital rim inferior,
hipestesi daerah yang didistribusi oleh n. infra orbitalis. Diplopia jarang merupakan suatu
gejala yang hanya disebabkan oleh fraktur os zigomatikus saja.
Apabila terjadi depresi os zigoma, pada umumnya terdapat tiga tempat garis
fraktur yaitu sepanjang infra orbital rim, pada sutura zigomatikofrontalis, dan pada
hubungan antara os temporal dan arkus zigomatikus. Umumnya fraktur zigoma ini jarang
berdiri sendiri. Garis fraktur biasanya dapat meluas ke arah orbital rim dan ke arah lantai
orbita.
Rontgenologik dapat dilihat pada proyeksi Waters atau submentovertex dan CT-
Scan. Tidak jarang terdapat perdarahan kedalam sinus maksila, dan secara radiologik
sering didiagnosis sebagai sinusitis maksilaris kronik.
Reposisi fraktur jenis ini umumnya adalah reposisi secara terbuka. Insisi
dilakukan pada bagian bawah palbebra inferior, diatas orbital rim yaitu bagian lateral dari
alis mata. Reposisi ini bisa dilakukan dalam anestesi lokal. Fiksasi dilakukan dengan
memakai kawat yang tidak dapat berkarat antara kedua fragmen yang mengalami fraktur
tersebut, atau dengan menggunakan miniplate.
Fraktur Blow out Orbita
Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang terisolasi atau dapat
disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan menyerang pinggiran orbital,
tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan merusak bagian-
bagian terlemah dari dasar dan dinding medial orbita. Herniasi dari isi orbit ke dalam
sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera okular cukup tinggi, namun jarang
menyebabkan kematian.
Pada trauma tumpul yang mengenai bola mata, misalnya akibat terkena bola tennis,
maka dapat terjadi fraktur lantai orbita. Fraktur semacam ini terkenal dengan nama blow
out fracture. Fraktur lantai orbita ini sering tidak terdiagnosis. Oleh karena itu perlu
dikenal secara tepat gejala-gejalanya. Umumnya terdapat ekimosis orbita, konjunngtiva
dan sclera. Pada kasus yang hebat dapat terjadi enoftalmos. Gejala yang juga dapat terjadi
adalah terbatasnya pergerakan bola mata ke arah superior karena terjepitnya m.rektus
inferior atau m. oblikus inferior oleh fragmen-fragmen fraktur pada lantai orbita atau
karena edema jaringan. Juga hipestesia sampai anesthesia pada daerah-daerah yang
dipersarafi oleh n.infraorbitalis.
Pemeriksaan radiologik yang dianjurkan ialah proyeksi Waters dan CT-Scan,
dimana jelas terlihat orbital rim intact dan fraktur lantai orbita, yang kadang-kadang
disertai dengan herniasi isi bola mata kedalam sinus maksila. Perlu dilakukan
pemeriksaan oleh spesialis mata.
Ada dua alternatif terapi, pertama adalah reposisi transantral, yaitu melalui
sinus maksila dan yang kedua adalah melalui insisi dibawah palpebra inferior tepat
diatas orbital rim inferior, dimana lantai orbita perlu disanggah oleh bahan sintetik
misalnya jala tantalum, lembaran silastik atau dapat juga disanggah oleh tulang rawan
yang diambil dari septum nasi.
Fraktur os maksila
Bermacam-macam bentuk fraktur os maksila dapat terjadi. Fraktur os maksila
yang terkenal adalah menurut pembagian Le Fort yaitu tipe I (transversed), tipe II
(pyramidal), dan tipe III (craniofacial disjunction), akan tetapi, pada umumnya terdapat
kombinasi dari bermacam-macam jenis fraktur terutama pada trauma fasial yang hebat.
Gejala klinik yang umumnya didapat adalah maloklusi. Kadang-kadang
terdapat pembengkakan periorbital atau ekimosis. Perlu diperhatikan terhadap
kemungkinan adanya likuore. Ini disebabkan karena fraktur meluas ke arah lamina
kribrosa. Pada umumnya likuore ini akan berhenti pada hari kelima, akan tetapi dapat
berlangsung terus sampai kira-kira 3 minggu.
Diagnosis Le Fort I-II-III dapat dilakukan dengan palpasi dan mencoba untuk
menggerakan bagian maksila yang diduga mengalami fraktur. Pemeriksaan terhadap
fungsi sensorik n.infraorbitalis perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan kompresi
terhadap saraf tersebut.
Pada reposisi dan fiksasi fraktur maksila ini perlu diperhatikan tentang fungsi
oklusi. Pada Le Fort I umumnya cukup dilakukan fiksasi dengan inter-maxillary
fixation. Fraktur-fraktur yang lebih kompleks, selain intermaxillary fixation perlu
dilakukan fiksasi interna dengan memakai halo (alat Visor-halo dan Diaden) sering
dilakukan pada fraktur-fraktur yang sangat kompleks.
Diagnosis fraktur maksilofasial ditegakkan secara klinis ditunjang oleh
pemeriksaan lainnya. Fraktur maksila sulit terlihat secara jelas dengan pemeriksaan
radiologi biasa tapi mudah terlihat melalui CT scan kraniofasial potongan koronal dan
aksial. CT scan sangat dibutuhkan khususnya untuk daerah orbita. Pemeriksaan radiologi
biasa yang masih dapat digunakan adalah Waters, skull lateral.
Trauma jaringan lunak wajah

Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari
luar.
Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan : 3,5
1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab:
a. Ekskoriasi
b. Luka sayat, luka robek , luka bacok.
c. Luka bakar
d. Luka tembak
2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
3. Dikaitkan dengan unit estetik

G. Manifestasi Klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :
1. Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada
fraktur mandibular
2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur
3. Rasa nyeri pada sisi fraktur
4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas
5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi
daerah fraktur
6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran
7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur
8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah
nervus alveolaris
10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan
pergerakan bola mata dan penurunan visus
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Wajah Bagian Atas :
a. CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
b. CT-scan aksial koronal
c. Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepala dan X-ray kepala
2. Wajah Bagian Tengah :
a. CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D)
b. CT scan aksial koronal
c. Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan posteroanterior
(Caldwells), Submentovertek (Jughandles)
3. Wajah Bagian Bawah :
a. CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D
b. Panoramic X-ray
c. Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi:
Posteroanterior (Caldwells)
Posisi lateral (Schedell)
Posisi towne
I. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala dan wajah selain dari factor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status
neurologis (disability, exposure), maka factor yang harus diperhitungkan pula adalah
mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian
oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan
oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi,
tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara
menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan
menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO 2 ini yakin
dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Tim membuat intermittent iatrogenic
paralisis. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepala klien-lkien yang koma untuk
mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip CAB dan ventilasi yang teratur dapat
mencegah peningkatan tekanan intracranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
1. Bedrest total
2. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
3. Pemberian obat-obatan: Dexmethason / kalmethason sebagai pengobatan anti-
edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
4. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
5. Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau
glukosa 40%, atau gliserol 10%.
6. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (pensilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidasol.
7. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa,hanya cairan infuse dextrose 5%, aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
8. Pada trauma berat. Karena hai-hari pertama didapat klien mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari
pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer
dextrosa 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga, pada hari selanjutnya bila
kesadaran rendah maka makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500-300
TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.
J. Komplikasi
a. Perdarahan ulang
b. Kebocoran cairan otak
c. Infeksi pada luka atau sepsis
d. Timbulnya edema serebri
e. Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
f. Nyeri kepala setelah penderita sadar
g. Konvulsi (kejang)
ASKEP TRAUMA FACIAL
1. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cedera dan
mungkin di persulit oleh cedera tambahan pada organ vital
Initial assement dilakukan terlebih dahulu.
Jika terjadi trauma yang menyebabkan henti jantung gunakan metode CAB
(Circulation, Airway, Breathing) serta kaji kondisi neurologis (Disability) Exposure dan
gunakan AED, untuk pengkajian dan pertahankan pada pasien mengalami penurunan
kesadaran dapat menggunakan metode A,B,C,D,E (Airway, breating, circulation,
disability, exposure) saat primary survey dan dilanjutkan dengan secondary survey
(anamneses lengkap memvalidasi data primary survey dan AMPLE (Alergi, Medikasi,
Penyakit penyerta, Last meal, Event), pemeriksaan head to toe dan pemeriksaan
tambahan (darah,CTscan, thorax, EKG)
Data identitas pasien.
Data dasar temuan pada pasien trauma facial :
a. Aktifitas dan istirahat
Gejala : merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia cara berjalan tidak tegap,
masalah dlm keseimbangan, cedera/trauma ortopedi, kehilangan tonus otot.
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia disritmia)
c. Integritas ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian
Tanda :Cemas,mudah tersinggung,delirium,agitasi,bingung,depresi
d. Eliminasi
Gejala : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan fungsi
e. Makanan/cairan
Gejala : mual,muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda : muntah,gangguan menelan
f. Neurosensori
Gejala :Kehilangan kesadaran sementara,amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope,tinitus,kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan seperti
ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagain lapang pandang, gangguan pengecapan
dan penciuman
Tanda : Perubahan kesadran bisa sampai koma, perubahan status mental,
perubahan pupil, kehilangan penginderaan, wajah tdk simetris, genggaman lemah
tidak seimbang, kehilangan sensasi sebagian tubuh
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda biasanya lama
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri, nyeri yang
hebat,merintih
h. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas (trauma kepala herniasi system pernafasan di otak),
nafas berbunyi, stridor, tersedak,ronkhi,mengi, takepnea,dangkal. Cepat pernafasan
keras.
i. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan
j. Kulit : laserasi,abrasi,perubahan warna,tanda batle disekitar telinga,adanya aliran
cairan dari telinga atau hidung
k. Gangguan kognitif
l. Gangguan rentang gerak
m. Demam
2. Diagnose
a) Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi,
nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia dan peningktan
intracranial.
b) Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat
pernapasan di otak, kelemahan oto-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi udara/cairan.
c) Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan sputum,
peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan,
adanya jalan napas buatan pada trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.
d) nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot
sekunder.

DX 1: Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi, nemotuma),
edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi neurologis dapat d
minimalkan /distabilkan.
Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi kognitif dan
motorik/sensorik, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan tidak ada tanda-tanda peningktan TIK,
Intervensi Rasional
Kaji ulang tanda-tanda vital Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat
klien dan status relirologis klien kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan
bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan
perkembangankerusakan ssp.
Monitor tekanan darah, catat adanya hipertensi Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti
sistolik secara teratur dan tekanan nadi yang makin penurunan tekanan darah distolik (nadi yang
berat, obs, ht, pada klien yang mengalami trauma membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan
multiple. TIK, juga diikuti ( yang berhubungan
dengan trauma kesadaran.Hipovolumia/ Ht (yang
berhubungan dengan trauma multiples) dapat
mengakibatkan kerusakan / iskemik serebral.
Monitor Heart Rate, catat adanya bradikardi, Perubahan pada ritme (paling sering bradikardia) dan
takikardi atau bentuk disritmia lainya. disritmia dapat timbul yang encerminkan
adanya depresi / trauma pada batang otak pada pasien
yang tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya.
Monitor pernafasan meliputi pola dan ritme, seperti Nafas tidak teratur menunjukkan adanya gangguan
periode apnea setelah hiperventilasi serebral/ peningkatan TIK dan memerlukan intervensi
(pernafasan cheyne stokes). lebih lanjut termasuk kemungkinan
dukungan nafas buatan.
Kaji perubahan pada penglihatan ( penglihatan Gangguan penglihatan dapat diakibatkan oleh
kabur, ganda, lap. Pandang menyempit kerusakan mikroskopik pada otak,
dan kedalaman persepsi. merupakan konsekuensi terhadap keamanan dan juga
akan mempngaruhi pilihan intervensi
Pertahankan kepala / leher pada posisi tengah/ pada Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena
posisi netral. Sokong dengan handuk kecil / jugularis dan menghambat aliran darah lain yang
bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada selanjutnya akan
kepala meningkat TIK.
Kolaborasi Tinggikan kepala pasien 15 Meningkatkan aliran balik vena dari kepala, sehingga
45o sesuai indikasi / yang dapat ditoleransi. mengurangi kongesti dan edema
/ resiko terjadinya peningkatan TIK.
Kolaborasi pemberian O2 tambahan sesuai Menurunkan hipoksemia yang mana dapat menaikkan
Indikasi vasodilatasi dan vol darah serebral yang
meningkatkan TIK.
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi : - Untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan
- Diuretik edema otak TIK.
- Steroid - Menurunkan inflasi, yang
- Analgetik sedang selanjutnya menurunkan edema jaringan.
- Sedatif - Menghilangkan nyeri dan dapat berakibat pada
TIK tetapi harus digunakan dengan hasil untuk
mencegah gangguan
pernafasan.
- Untuk mengendalikan kegelisahan agitas

DX 2 : Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan,


kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas-
gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi Rasional
Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan
peninggian kepala tempat tidur. Balik kesisi yang ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak
mungkin.
Observasi fungsi pernapasan, dispnea, atau Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital
perubahan tanda-tanda vital. dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri
atau dapat menunujukkan terjadinya syok sehubungan
dengan hipoksia.
Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
dilakukan untuk menjamin keamanan. mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana
terapeutik.
Jelaskan pada klien tentang etiologi/factor pencetus Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi
adanya sesak atau kolaps paru-paru. ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien
terhadap rencana terapeutik.
Pertahankan perilaku tenang, bantu klien untuk Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia,
control diri dengan menggunakan pernapasan lebih yang dapat dimanifestasikan sebagai
lambat dan dalam. ketakutan/ansietas.
Periksalah alarm pada ventilator sebelum Ventilator yang memiliki alarm yang bias dilihat dan
difungsikan. Jangan mematikan alarm. didengar misalnya alarm kadar oksigen,
tinggi/rendahnya tekanan oksigen.
Tarulah kantung resusitasi disamping tempat tidur Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat berguna
dan manual ventilasi untuk sewaktu-waktu dapat untuk mempertahankan fungsi pernapasan jika terjadi
digunakan. gangguan pada alat ventilator secara mendadak.
Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan jika Melatih klien untuk mengatur napas seperti napas
ventilator tiba-tiba berhenti. dalam, napas pelan, napas perut, pengaturan posisi,
dan teknik relaksasi dapat membantu memaksimalkan
fungsi dan system pernapasan.
Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara rutin. Memerhatikan letak dan fungsi ventilator sebagai
Pengecekan konsentrasi oksigen, memeriksa kesiapan perawat dalam memberikan tindakan pada
tekanan oksigen dalam tabung, monitor manometer penyakit primer setelah menilai hasil diagnostik dan
untuk menganalisis batas/kadar oksigen. menyediakan sebagai cadangan.
Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg). periksa
fungsi spirometer.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk
Dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi. mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas
Pemberian antibiotik. pengembangan parunya.
Pemberian analgesic.
Fisioterapi dada.
Konsul foto thoraks.

DX 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas buatan pada
trakea, peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan
keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas sumbatan,
menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran pernapasan.
Intervensi Rasional
Kaji keadaan jalan napas Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi
sekret, sisa cairan mucus, perdarahan,
bronkhospasme, dan/atau posisi dari
endotracheal/tracheostomy tube yang berubah.
Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara Pergerakan dada yang simetris dengan suara napas
napas pada kedua paru (bilateral). yang keluar dari paru-paru menandakan jalan napas
tidak terganggu. Saluran napas bagian bawah
tersumbat dapat terjadi pada pneumonia/atelektasis
akan menimbulkan perubahan suara napas seperti
ronkhi atau wheezing.
Monitor letak/posisi endotracheal tube. Beri tanda Endotracheal tube dapat saja masuk ke dalam
batas bibir. bronchus kanan, menyebabkan obstruksi jalan napas
Lekatkan tube secara hati-hati dengan memakai ke paru-paru kanan dan mengakibatkan klien
perekat khusus. mengalami pneumothoraks.
Mohon bantuan perawat lain ketika memasang dan
mengatur posisi tube.
Catat adanya batuk, bertambahnya sesak napas, Selama intubasiklien mengalami refleks batuk yang
suara alarm dari ventilator karena tekanan yang tidak efektif, atau klien akan mengalami kelemahan
tinggi, pengeluaran sekret melalui otot-otot pernapasan (neuromuscular/neurosensorik),
endotracheal/tracheostomy tube, bertambahnya keterlambatan untuk batuk. Semua klien tergantung
bunyi ronkhi. dari alternatif yang dilakukan seperti mengisap lender
dari jalan napas.
Lakukan penghisapan lender jika diperlukan, batasi Pengisapan lendir tidak selamanya dilakukan terus-
durasi pengisapan dengan 15 detik atau lebih. menerus, dan durasinya pun dapat dikurangi untuk
Gunakan kateter pengisap yang sesuai, cairan mencegah bahaya hipoksia.
fisiologis steril. Diameter kateter pengisap tidak boleh lebih dari 50%
Berikan oksigen 100% sebelum dilakukan diameter endotracheal/tracheostomy tube untuk
pengisapan dengan ambu bag (hiperventilasi). mencegah hipoksia.
Dengan membuat hiperventilasi melalui pemberian
oksigen 100% dapat mencegah terjadinya atelektasis
dan mengurangi terjadinya hipoksia.
Anjurkan klien mengenai tekhik batuk selama Batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret dari
pengisapan seperti waktu bernapas panjang, batuk saluran napas.
kuat, bersin jika ada indikasi.
Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2jam). Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen
paru-paru, mengurangi risiko atelektasis.
Berikan minum hangat jika keadaan Membantu pengenceran sekret, mempermudah
memungkinkan. pengeluaran sekret.
Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk Pengetahuan yang diharapkan akan membantu
efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana
saluran pernapasan. terapeutik.
Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan
pengontrolan batuk. tidak efektif, dapat menyebabkan frustasi.
Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
mungkin.
Lakukan pernapasan diafragma. Pernapasan diafragma menurunkan frekuensi napas
dan meningkatkan ventilasi alveolar.
Tahap napas selama 3-5 detik kemudian secara Meningkatkan volume udara dalam paru,
perlahan-lahan, dikeluarkan sebanyak mungkin mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
melalui mulut.
Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan dari Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan
dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat. upaya batuk klien.
Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk. Sekresi kental sulit untuk di encerkan dan dapat
menyebabkan sumbatan mucus, yang mengarah pada
atelektasis.
Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan Untuk menghindari pengentalan dari sekret atau mosa
viskositas sekresi. : mempertahankan hidrasi yang pada saluran napas pada bagian atas.
adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000-1500
cc/hari bila tidak ada kontraindikasi.
Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik Higine mulut yang baik meningkatkan rasa
setelah batuk. kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan Ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir
fisioterapi. dan mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas
Pemberian ekspektoran. pengembangan parunya.
Pemberian antibiotic.
Fisioterapi dada.
Konsul foto thoraks
Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti Mengatur ventilasi segmen paru-paru dan pengeluaran
postural drainage, perkusi/penepukan. sekret.
Berikan obat-obat bronchodilator sesuai indikasi Mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena
seperti aminophilin, meta-proterenol sulfat relaksasi muscle/bronchospasme.
(alupent), adoetharine hydrochloride (bronkosol).
DX 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil : Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, dapat mengidentifikasi
aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan
nyeri nonfarmakologi dan non-invasif. nonfarmakologi lainnya telah menunujukkan
keefektifan dalam mengurangi nyeri.
Ajarkan relaksasi :
Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot Akan melansarkan peredaran darah sehingga
rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi dan akan
dan juga tingkatkan relaksasi masase. mengurangi nyerinya.
Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut. Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang
menyenangkan.
Berikan kesempatan waktu istirahat bala terasa Istirahat akan merelaksasikan semua jaringan
nyeri dan berikan posisi yang nyaman misalnya sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
ketika tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat
dan respons motorik klien, 30 menit setelah data yang objektif untuk mencegah kemungkinan
pemberian obat analgesic untuk mengkaji komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.
efektivitasnya serta setiap 1-2 jam setelah tindakan
perawatan selama 1-2 hari.
Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik. Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri
akan berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Goodman, A. Soft Tissue Injuries to the Face in: Facial plastic and reconstruction
surgery. Ed.Papel, I.D.Mosby year book, St.Louis.1992.:449. Akses pada tanggal :
28 Oktober 2017
Smeltzer, Suzanne C. Brenda G.Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth. Edisi 8. Jakarta:EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
M.Taylor, Cynthia., Ralph, Sheila. 2012. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana
Asuhan.Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai