(102019031)
Kelompok : B6
Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Email : clara.102019031@civitas.ukrida.ac.id
Abstrak
Trauma wajah merupakan kasus yang sering terjadi, menimbulkan masalah pada medis dan
kehidupan sosial. Meningkatnya kejadian tersebut disebabkan bertambahnya jumlah tumpul
yang cukup keras merupakan etiologi dari trauma tersebut. Trauma merupakan urutan
keempat penyebab kematian, dapat terjadi pada semua usia terutama 1-37 tahun. Hampir 50%
di Amerika Serikat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Fraktur pada sepertiga tengah
tulang wajah sering terjadi dan merupakan trauma yang membahayakan. Fraktur pada bagian
ini memerlukan pemeriksaan yang teliti dan penatalaksanaan yang tepat. Berdasarkan
eksperimen yang dilakukan oleh Rene Le Fort, terdapat tiga pola fraktur maksila, yaitu Le
Fort I, II, dan III. Sekarang ini treatment fraktur Le Fort tidak hanya bertujuan untuk
memperbaiki oklusi sebelum fraktur, tapi juga proyeksi, lebar, dan panjang wajah serta
integritas kavitas nasal, orbita dan kontur soft tissue.
Abstract
Facial trauma is a common case, causing problems in medical and social life. The increased
incidence is due to the increase in the number of blunts which is quite violent is the etiology
of the trauma. Trauma is the fourth cause of death, can occur at all ages, especially 1-37
years. Nearly 50% in the United States are caused by traffic accidents. Fractures in the
middle third of the facial bone are common and are dangerous traumas. Fractures in this
section require careful examination and proper management. Based on experiments
conducted by Rene Le Fort, there are three maxillary fracture patterns, namely Le Fort I, II,
and III. Currently the Le Fort fracture treatment aims not only to correct the pre-fracture
occlusion, but also to the projection, width and length of the face as well as the integrity of
the nasal cavity, orbits and soft tissue contours.
Trauma wajah merupakan kasus yang sering terjadi, menimbulkan masalah pada
medis dan kehidupan sosial. Meningkatnya kejadian tersebut disebabkan bertambahnya
jumlah tumpul yang cukup keras merupakan etiologi dari trauma tersebut. Trauma
merupakan urutan keempat penyebab kematian, dapat terjadi pada semua usia terutama 1-37
tahun. Maksila atau rahang atas merupakan tulang berpasangan. Maksila memiliki sepasang
rongga berupa sinus maksilaris, ke atas berhubungan dengan tulang frontal dan tulang nasal,
ke lateral dengan tulang zygoma dan inferior – medial pada prosesus frontalis maksila.
Maksila merupakan tulang yang tipis, pada bagian lateral lebih tebal dan padat, pada bagian
ini disangga oleh zygomatikomaksilari. 2
Epidemiologi
Trauma adalah penyebab utama kematian dan kecacatan dari Amerika usia kurang
dari 40 tahun. Di Amerika Serikat, lebih dari 150.000 kematian akibat kekerasan terjadi
setiap tahun, dan lebih dari 500.000 korban trauma yang tersisa dengan cacat permanen.
Setiap tahun, sekitar 30 sampai 40 juta kunjungan dibuat untuk unit gawat darurat untuk
perawatan cedera.3
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Rowe dan Killey pada tahun 1995, rasio antara
fraktur mandibula dan maksila melebihi 4:1. Data lainnya juga dilaporkan dari trauma centre
level 1, bahwa diantara 663 pasien fraktur tulang wajah, hanya 25.5% berupa fraktur maksila.
Di University of Kentucky Medical Centre, dari 326 pasien wanita dewasa dengan facial
trauma, sebanyak 42.6% trauma terjadi akibat kecelakan kendaraan bermotor, 21.5% akibat
terjatuh, akibat kekerasan 13.8%, penyebab yang tidak ingin diungkapkan oleh pasien 10,7%,
cedera saat berolahraga 7,7%, akibat kecelakaan lainnya 2,4%,dan luka tembak sebagai
percobaan bunuh diri serta akibat kecelakan kerja masing-masing 0.6%. osteoporosis ternyata
juga berpengaruh terhadap insiden fraktur maksilofasial termasuk maksila. Hal tersebut
didapatkan dari review retrospektif yang dilakukan pada 59 pasien fraktur maksilofasial yang
berusia 60 tahun ke atas di sebuah trauma centre antara tahun 1989 dan 2000. Didapat bahwa
semakin parah kondisi osteoporosis, semakin besar kemungkinan jumlah fraktur
maksilofasial yang dialami.4
Pada anak-anak prevalensi fraktur tukang wajah secara keseluruhan jauh lebih rendah
dibandingkan pada dewasa. Sekitar 5-15% dari keseluruhan fraktur wajah terjadi pada anak.4
Etiologi
Secara konseptual kerangka wajah terdiri dari empat pasang dinding penopang
(buttress) vertikal dan horizontal. Buttress merupakan daerah tulang yang lebih tebal yang
menyokong unit fungsional wajah (otot, mata, oklusi dental, airway) dalam relasi yang
optimal dan menentukan bentuk wajah dengan cara memproyeksikan selubung soft tissue
diatasnya. Vertical buttresses terdiri dari sepasang maksilari lateral (+ dinding orbital lateral)
atau zygomatic buttress, maksilari medial (+ dinding orbital medial) atau nasofrontal buttress,
pterygomaxillary buttress, dan posterior vertical buttress atau mandibular buttress. Horizontal
buttresses juga terdiri dari sepasang maksilari tranversal atas (+ lantai orbital), maksilari
transversal bawah (+ palatum), mandibular transversal atas dan mandibular tranversal
bawah.5
Maksila sendiri dirancang untuk menyerap gaya yang timbul saat mengunyah dan
menyediakan buttress vertikal oklusi gigi. Sesuai dengan karakter buttress, beban
didistribusikan menuju ke kerangka kraniofasial secara keseluruhan. Gaya tersebut
didistribusikan melalui arkus palatum dan artikulasi maksila melawan sutura frontomaxilary,
zygomaticomaxilary, dan ethmoidomaxilary. Fraktur dapat bervariasi mulai dari fraktur
sederhana prosesus alveolar maksila sampai dengan fraktur comminuted pada keseluruhan
area wajah bagian tengah.5
Ketika fraktur maksila dihubungkan dengan fraktur zygoma, otot masseter memegang
peranan penting dalam displacement segmen fraktur karena perlekatannya yang kuat pada
badan zygoma. Pada fraktur maksila atas, sistem nasolakrimal dapat pula terlibat. Kanal
nasolakrimal sering kali terpotong oleh garis fraktur. Pada beberapa kasus fungsi drainase
lakrimal dapat terganggu akibat malalignment fraktur atau proliferasi tulang sekunder
terhadap proses penyembuhan.6
Fraktur Maxilla
Fraktur pada sepertiga tengah tulang wajah sering terjadi dan merupakan trauma yang
membahayakan. Fraktur pada bagian ini memerlukan pemeriksaan yang teliti dan
penatalaksanaan yang tepat. Pada tahun 1901, Le Fort melaporkan tentang trauma tumpul
yang dilakukan pada tengkorak kadaver yang diberikan berbagai besar kekuatan dan berbagai
arah trauma. Fraktur cenderung terjadi pada lokasi tertentu, yang berhubungan dengan
wilayah- wilayah yang lemah pada skeleton wajah. Le Fort menyimpulkan adanya alur yang
dapat diprediksi mengikuti tipe dari arah trauma. Fraktur sepertiga tengah tulang wajah
lainnya sering terjadi berhubungan dengan fraktur Le Fort, termasuk fraktur palatoalveolar
dan mandibula yang memberikan pengaruh pada oklusal dan berpengaruh pula pada
penatalaksanaannya. Berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Rene Le Fort, terdapat
tiga pola fraktur maksila, yaitu Le Fort I, II, dan III. Selain fraktur Le Fort, terdapat pula
fraktur alveolar. 7
Fraktur Le Fort I
Pada fraktur Le Fort 1, garis frakturnya dalam jenis fraktur transversus rahang
atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge. Di atas lantai sinus maxillaris, dan
meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan
maxilla dan palatum durun bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai
sebuah blok yang terpisah tunggal. fraktur Le Fort 1 ini sering di sebut sebagai fraktur
transmaxillari 7
Fraktur Le Fort II
Hasil dari trauma pada mid maksila. Seperti fraktur yang mempunyai bentuk
terygoid dan melewati nasal bridge atau di bawah sutura nasofrontal melalui prosesus
frontal dari maksila, di bagian inferolateral melewati os lakrimal dan lantai serta rima
orbita inferior atau dekat dengan foramen orbita inferior teryg inferior melalui dinding
anterior sinus maksila. Ini kemudian berjalan di bawah zigoma, ke fisura
pterigomaksilaris dan melalui terygoid plate. 8
Fraktur Alveolar
Patofisiologi fraktur
Fraktur terjadi ketika tenaga yang diterapkan melebihi kemampuan stres tulang,
mengarah ke gangguan mineral matriks dan gangguan jaringan lunak yang terkait. Fraktur
bisa bersifat sederhana/ simpel, melibatkan gangguan tunggal antara dua segmen tulang, atau
bersifat comminuted, yang berarti terdiri dari beberapa fragmen tulang. Pergeseran mengacu
pada perubahan dalam hubungan anatomi segmen tulang. Perubahan ini dapat terjadi sebagai
akibat dari energi dari pukulan itu sendiri atau karena tarikan otot yang dilawan. 9
Rotasi adalah perubahan orientasi segmen tulang sepanjang sumbu panjang mereka.
Fraktur dianggap menguntungkan jika orientasi vektor tarik otot bertindak untuk kompresi
fraktur. Fraktur yang tidak menguntungkan yaitu salah orientasi sehingga vektor tarik otot
bertindak untuk menjauhkan fragmen 9
Fraktur terbuka berarti ada paparan antara tulang yang patah dengan lingkungan luar
jaringan lunak, yang mengarah ke kontaminasi bakteri. Biasanya, fraktur yang melibatkan
bantalan tulang gigi bahkan tanpa laserasi mukosa dianggap terbuka karena dari paparan flora
mulut melalui jaringan periodontal. 9
Manifestasi Klinis
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort 1 dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni
secara exstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edeme pada bibir atas dan
ekimosis. Sedangkan secara palpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada sutura
zygomaticomaxillary, mengindikasikan fraktur pada rima orbital inferior. Pada pemeriksaan
intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri. Selanjutnya
pemerikdaan Le Fort 1 dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi wajah anterolater. 10
Trauma jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan
kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian. Luka adalah
kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar. Trauma
pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan bedasarkan jenis luka dan penyebab 11
1. eksplorasi
2. Luka sayat (vulnus scissum), luka robek (vulnus leceratum), luka tusuk
(vulnus punctum)
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah dilihat dari fraktur tulang yang
terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yang definitif. Secara umum dilihat dari
terminologinya trauma pada jaringan keras wajah dapat di klasifikasikan bedasarkan
11
Dengan melihat cara perawatan, maka pola fraktur Os maxilla dapat digolongkan menjadi,
Fraktur Unilateral
Fraktur ini biasanya hanya tunggal, tetapi kadang terjadi lebih dari satu fraktur
yang dapat dijumpai pada satu sisi maksila dan bila hal ini terjadi, sering didapatkan
pemindahan fragmen secara nyata. Suatu fraktur korpus maksila unilateral sering
terjadi. 12
Fraktur Bilateral
Fraktur Multipel
Gabungan yang sempurna dari kecelakaan langsung dan tidak langsung dapat
menimbulkan terjadinya fraktur multiple. Pada umumnya fraktur ini terjadi karena
trauma tepat mengenai titik tengah dagu yang mengakibatkan fraktur simfisis dan
kedua kondilus. 12
Fraktur ini hamper selalu diakibatkan oleh kecelakaan langsung yang cukup
keras pada daerah fraktur, seperti pada kasus kecelakaan terkena peluru saat perang.
Dalam sehari-hari, fraktur ini sering terjadi pada simfisis dan parasimfisis. Fraktur
yang disebabkan oleh kontraksi muskulus yang berlebihan. Kadang fraktur pada
prosesus koronoid terjadi karena adanya kontraksi reflex yang datang sekonyong-
konyong mungkin juga menjadi penyebab terjadinya fraktur pada leher kondilar.12
Penatalaksanaan
Sekarang ini treatment fraktur Le Fort tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki
oklusi sebelum fraktur, tapi juga proyeksi, lebar, dan panjang wajah serta integritas kavitas
nasal, orbita dan kontur soft tissue.
Fiksasi Maksilomandibular
Teknik ini merupakan langkah pertama dalam treatment fraktur maksila untuk
memungkinkan restorasi hubungan oklusal yang tepat dengan aplikasi arch bars serta
kawat interdental pada arkus dental atas dan bawah. Prosedur ini memerlukan anestesi
umum yang diberikan melalui nasotracheal tube. Untuk ahli bedah yang sudah
berpengalaman dapat pula diberikan melalui oral endotracheal tube yang ditempatkan
pada gigi molar terakhir. Tracheostomy biasanya dihindari kecuali terjadi perdarahan
masif dan cedera pada kedua rahang, karena pemakaian fiksasi rigid akan
memerlukan operasi selanjutnya untuk membukannya.13
Akses Fiksasi
Reduksi Fraktur
Fiksasi dengan plat kecil dan sekrup lebih disukai. Pada Le Fort I, plat mini
ditempatkan pada tiap buttress nasomaxillary dan zygomaticomaxillary. Pada Le Fort
II, fiksasi tambahan dilakukan pada nasofrontal junction dan rima infraorbital. Pada
Le Fort III, plat mini ditempatkan pada artikulasi zygomaticofrontal untuk stabilisasi.
Plat mini yang menggunakan sekrup berukuran 2 mm dipakai untuk stabilisasi
buttress maksila. Ukuran yang sedemikian kecil dipakai agar plat tidak terlihat dan
teraba. Kompresi seperti pada metode yang dijukan oleh Adam tidak dilakukan
kecuali pada daerah zygomaticofrontal. Sebagai gantinya maka dipakailah plat mini
agar dapat beradaptasi secara pasif menjadi kontur rangka yang diinginkan.
Pengeboran untuk memasang sekrup dilakukan dengan gurdi bor yang tajam dengan
diameter yang tepat. Sebelumnya sekrup didinginkan untuk menghindari terjadinya
nekrosis dermal tulang serta dilakukan dengan kecepatan pengeboran yang rendah.
Fiksasi maksilomandibular dengan traksi elastis saja dapat dilakukan pada fraktur Le
Fort tanpa mobilitas. Namun, apabila dalam beberapa hari oklusi tidak membaik,
maka dilakukan reduksi terbuka dan fiksasi internal.13
Tulang yang rusak parah atau hilang saat fraktur harus diganti saat
rekonstruksi awal. Bila Gap yang terbentuk lebih dari 5 mm maka harus digantikan
dengan cangkok tulang. Cangkok tulang diambil dari kranium karena aksesibilitasnya
(terutama jika diakukan insisi koronal), morbiditas tempat donor diambil minimal,
dan memiliki densitas kortikal tinggi dengan volum yang berlimpah. Pemasangan
cangkokan juga dilakukan dengan plat mini dan sekrup. Penggantian defek dinding
antral lebih dari 1.5 cm bertujuan untuk mencegah prolaps soft tissue dan kelainan
pada kontur pipi.13
Pada saat menutup luka, soft tissue yang telah terpisah dari rangka
dibawahnya ditempelkan kembali. Untuk menghindari dystopia lateral kantal,
displacement massa pipi malar ke inferior, dan kenampakan skleral yang menonjol,
dilakukan canthoplexy lateral dan penempelan kembali massa soft tissue pipi pada
rima infraorbita.13
Manajemen pasca operasi terdiri dari perawatan secara umum pada pasien
seperti kebesihan gigi dan mulut, nutrisi yang cukup, dan antibiotik selama periode
perioperasi.13
Prognosis
Fiksasi intermaksilari merupakan treatment paling sederhana dan salah satu yang
paling efektif pada fraktur maksila. Jika teknik ini dapat dilakukan sesegera mungkin setelah
terjadi fraktur, maka akan banyak deformitas wajah akibat fraktur dapat kita eliminasi.
Mandibula yang utuh dalam fiksasi ini dapat membatasi pergeseran wajah bagian tengah
menuju ke bawah dan belakang, sehingga elongasi dan retrusi wajah dapat dihindari.
Sedangkan fraktur yang baru akan ditangani setelah beberapa minggu kejadian, dimana sudah
mengalami penyembuhan secara parsial, hampir tidak mungkin untuk direduksi tanpa full
open reduction, bahkan kalaupun dilakukan tetap sulit untuk direduksi. 14
Komplikasi
Pada luka yang parah, tidak jarang mendapatkan hasil kurang sempurna, meskipun
rekonstruksi yang baik sering diterima oleh pasien yang menghargai keparahan cedera awal
mereka. Namun, operasi revisi selektif dapat meningkatkan hasil dan mengkonversi hasil
yang dapat diterima. Bijaksana dalam penggunaan graf tulang atau implan alloplastic
diperlukan untuk membentuk daerah tulang yang hilang atau untuk reposisi bola mata.
Kadang-kadang, malunion bisa terjadi, cara mengatasinya adalah dengan remobilisasi dari
tulang wajah via osteotomy diikuti oleh reposisi dan refixation dengan graf tulang yang
diperlukan. 15
Simpulan
Pada kasus ini pasien mengalami fraktur maxilla le fort I yang diakibatkan oleh
benturan dinding di rahang atas pasien. Treatment yang paling efektif dalam menangani
kasus ini ada dengan teknik fikasi intermaksilari, dan sebaiknya dilakukan tindakan segera
agar banyak deformitas wajah yang dapat dieliminasi akibat fraktur maksila. 12
Daftar Pustaka
1. Arosarena Oneida A, MD, et al. Maxillofacial Injuries and Violence Against Women.
Arch Facial Plast Surgery. 2009; 11(1):48-25.
2. Tiwana Paul S, et al. Maxillary Sinus Augmentation. Dent Clin N Am.2006; 50: 409-
424.
3. Kellman R, Morehead J. Midfacial trauma. In: Resident manual of trauma to the face,
head and neck. 1st ed. AAO-HNS Foundation; 2012. p.74– 99.
4. Hoppe IC, Halsey JN, Ciminello FS, Lee ES, Granick MS. A single - center review of
palatal fractures : etiology, patterns, concomitant injuries , and management. E Plasty.
2017; 17:180–7.
5. Alcala-Galiano Andrea, MD, et al. Pediatric Facial Fractures: Children Are Not Just
Small Adults. Radiographics. 2008; 28:441-461.
6. Thornton FJ, Talavera F, Garza RJ eds. Facial Trauma, maxillary and Le fort
fractures. E medicine. Last update June 8, 2006. Accesed 9-20- 2008
7. Dodson TB, Jafek WB. Zygomatic, maksillary and orbital fractures. In: Jafek WB,
Murrow.
8. Hopper Richard A, MD, et al. Diagnosis of Midface Fractures with CT : What the
Surgeon Need To Know. Radiographics. 2006; 26:783-793.
10. Shankar A, Shankar V, Hegde N, Sharma, Prasad R. The pattern of the maxillofacial
fractures - A multicentre retrospective study. J Cranio-Maxillofacial Surg. 2012;
40:675–9.
11. Werning John W, MD, et al. The Impact of Osteoporosis on Patients With
Maxillofacial Trauma. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2004; 130:353-356.
12. Kaur J, Chopra R. Three dimensional CT reconstruction for the evaluation and
surgical planning of mid face fractures: A 100 case study. J Maxillofac Oral Surg.
2010; 9(4):323–8. ed. Elsevier Inc.Philadelphia; 2006: 229-255
13. Fraioli Rebecca E, MD,et al. Facial Fractures: Beyond Le Fort. Otolaryngol Clin N
Am. 2008; 41:51-76.
14. Stack BC, Ruggiero FP. Midface fracture. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD.
Bailey’s head and neck surgery Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer
Lippincot Williams and Wilkins; 2014. p.1209–24.