Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

1. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya (Brunner & Suddarth, 2010). Fraktur merupakan salah satu
gangguan atau masalah yang terjadi pada sistem muskuloskeletal yang
menyebabkan perubahan bentuk dari tulang maupun otot yang melekat pada
tulang. Fraktur dapat terjadi di berbagai tempat dimana terdapat persambungan
tulang maupun tulang itu sendiri. Salah satu contoh dari fraktur adalah yang
terjadi pada tulang maksila.
Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga
bagian, ialah sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan sepertiga bawah
wajah (gambar 2.1). Bagian yang termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang
frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Maksila, zigomatikus,
lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang vomer termasuk ke
dalam sepertiga tengah wajah sedangkan mandibula termasuk ke dalam bagian
sepertiga bawah wajah (Kruger, 1984). Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang
terjadi pada tulang-tulang pembentuk wajah.
Di University of Kentucky Medical Centre, dari 326 pasien wanita dewasa
dengan facialtrauma, sebanyak 42.6% trauma terjadi akibat kecelakan kendaraan
bermotor, 21.5% akibatterjatuh, akibat kekerasan 13.8%, penyebab yang tidak
ingin diungkapkan oleh pasien 10,7%,cedera saat berolahraga 7,7%, akibat
kecelakaan lainnya 2,4%,dan luka tembak sebagaipercobaan bunuh diri serta
akibat kecelakan kerja masing-masing 0.6%. Diantara 45 pasienkorban
kekerasan, 19 orang diantaranya mengalami trauma wajah akibat intimate
partnerviolence (IPV) atau kekerasan dalam rumah tangga.

2. DASAR ANATOMI
Secara konseptual kerangka wajah terdiri dari empat pasang dinding
penopang (buttress)vertikal dan horizontal. Buttress merupakan daerah tulang
yang lebih tebal yang menyokong unitfungsional wajah (otot, mata, oklusi dental,
airway) dalam relasi yang optimal dan menentukanbentuk wajah dengan cara
memproyeksikan selubung soft tissue diatasnya. Vertical buttressesterdiri dari
sepasang maksilari lateral (+ dinding orbital lateral) atau zygomatic
buttress,maksilari medial (+ dinding orbital medial) atau nasofrontal buttress,
pterygomaxillary buttress,dan posterior vertical buttress atau mandibular buttress.
Horizontal buttresses juga terdiri darisepasang maksilari tranversal atas (+ lantai
orbital), maksilari transversal bawah (+ palatum),mandibular transversal atas dan
mandibular tranversal bawah.
Gambar 2: Kerangka wajah
Maksila terbentuk dari dua bagian komponen piramidal iregular yang
berkontribusiterhadap pembentukan bagian tengah wajah dan bagian orbit,
hidung, dan palatum. Maksilaberlubang pada aspek anteriornya untuk
menyediakan celah bagi sinus maksila sehinggamembentuk bagian besar dari
orbit, nasal fossa, oral cavity, dan sebagian besar palatum, nasalcavity, serta
apertura piriformis. Maksila terdiri dari badan dan empat prosesus;
frontal,zygomatic, palatina, adan alveolar. Badan maksila mengandung sinus
maksila yang besar. Padamasa anak-anak, ukuran sinus ini masih kecil, tapi pada
saat dewasa ukuran akan mebesar dan menembus sebagian besar struktur
sentral pada wajah.

3. KLASIFIKASI
 Fraktur Sepertiga Bawah Wajah (Fonseca, 2005)
Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah.
 Fraktur Sepertiga Tengah Wajah
Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila,
tulang palatina, dan tulang nasal. Tulang-tulang maksila membantu dalam
pembentukan tiga rongga utama wajah : bagian atas rongga mulut dan
nasal dan juga fosa orbital. Rongga lainnya ialah sinus maksila. Sinus
maksila membesar sesuai dengan perkembangan maksila orang dewasa.
Banyaknya rongga di sepertiga tengah wajah ini menyebabkan regio ini
sangat rentan terkena fraktur.Fraktur Le Fort dibagi atas 3, yaitu :
a. Le Fort I
Pada fraktur lefort tipe satu alveolus, bagian yg menahan gigi pada
rahang atas terputus, dan mungkin jatuh ke dalam gigi bawah.
Ketidaksetabilan terjadi jika dilakukan pemeriksaan fisik pada hidung dan
gigi incisivus. Garis Fraktur berjalan dari sepanjang maksila bagian bawah
sampai dengan bawah rongga hidung. Disebut juga dengan fraktur “guerin”.
Kerusakan yang mungkin :
1) Prosesus arteroralis
2) Bagian dari sinus maksilaris
3) Palatum durum
4) Bagian bawah lamina pterigoid

Gambar 3. Le fort 1
b. Le Fort II
Pada tipe dua terdapat ketidakstabilan setinggi os. Nasal. Garis
fraktur melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar
orbita, pinggir infraorbita dan menyeberang ke bagian atas dari sinus
maksilaris juga kea rah lamina pterogoid sampai ke fossa pterigo palatine.
Disebut juga fraktur “pyramid”. Fraktur ini dapat merusak system lakrimalis,
karena sangat mudah digerakkan maka disebut juga fraktur ini sebagai
“floating maxilla (maksila yang melayang) ”

Gambar 4. Le Fort 2
c. Le Fort III
Pada tipe tiga, fraktur dengan disfungsi kraniofacial komplit. Tipe
fraktur ini mungkin kombinasi dan dapat terjadi pada satu sisi atau dua sisi.
Garis Fraktur melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid
junction melalui fissure orbitalis superior melintang kea rah dinding lateral
ke orbita, sutura zigomatikum frontal dan sutura temporo-zigomatikum.
Disebut juga sebaga “cranio-facial disjunction”. Merupakan fraktur yang
memisahkan secara lengkap sutura tulang dan tulang cranial. Komplikasi
yang mungkin terjadi pada fraktur ini adalah keluarnya cairan otak melalui
atap ethmoid dan lamina cribiformis.

Gambar 5. Fraktur Le Fort III


 Fraktur Sepertiga Atas Wajah
Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra
orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya
bersifat depressed ke dalam atau hanya mempunyai garis fraktur linier
yang dapat meluas ke daerah wajah yang lain.
 Fraktur Dentoalveolar (Fonseca, 2005; Andreasen et al., 2007)
Fraktur dentoalveolar sering terjadi pada anak-anak karena terjatuh
saat bermain atau dapat pula terjadi akibat kecelakaan kendaraan
bermotor. Struktur dentoalveolar dapat terkena trauma yang langsung
maupun tidak langsung. Trauma langsung biasanya dapat menyebabkan
trauma pada gigi insisif sentral maksila karena berhubungan dengan
posisinya yang terekspos.

Klasifikasi Fraktur Secara Umum


1) Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi.
b) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.

2) Berdasarkan komplit atau ketidak klomplitan fraktur.


a) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
b) Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
c) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
d) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
e) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

3) Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan


mekanisme trauma.
a) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk
sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma
angulasijuga.
c) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
d) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang
4) Berdasarkan jumlah garis patah.
a) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
c) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
5) Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
a) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang
yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
c) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran
searah sumbu dan overlapping).
d) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
e) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
6) Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a) 1/3 proksimal
b) 1/3 medial
c) 1/3 distal
7) Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
8) Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera
jaringan lunak sekitarnya.
b) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
d) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.

4. ETIOLOGI

Terjadinya fraktur pada daerah 1/3 tengah wajah adalah karena yang hebat,
tetapi kebanyakan oleh oleh karena kecelakaan lalu lintas.
Fraktur maksilofasial dapat diakibatkan karena tindak kejahatan atau
penganiayaan, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga dan industri, atau
diakibatkan oleh hal yang bersifat patologis yang dapat menyebabkan rapuhnya
bagian tulang (Fonseca, 2005).
Fraktur pada midface seringkali terjadi akibat kecelakan kendaraan
bermotor, terjatuh,kekerasan, dan akibat trauma benda tumpul lainnya.4 Untuk
fraktur maksila sendiri, kejadiannyalebih rendah dibandingkan dengan fraktur
midface lainnya. Berdasarkan studi yang dilakukanoleh Rowe dan Killey pada
tahun 1995, rasio antara fraktur mandibula dan maksila melebihi4:1. Beberapa
studi terakhir yang dilakukan pada unit trauma rumah sakit-rumah sakit
dibeberapa negara menunjukkan bahwa insiden fraktur maksila lebih banyak
terkait dengan frakturmandibula.2 Data lainnya juga dilaporkan dari trauma centre
level 1, bahwa diantara 663 pasienfraktur tulang wajah, hanya 25.5% berupa
fraktur maksila.

5. MANIFESTASI KLINIS
Anamnesis. Jika memungkinkan, riwayat cedera seharusnya didapatkan
sebelum pasientiba di departemen emergency. Pengetahuan tentang mekanisme
cedera memungkinkan dokteruntuk mencurigai cedera yang terkait selain cedera
primer. Waktu diantara cedera ataupenemuan korban dan inisiasi treatment
merupakan informasi yang amat berharga yangmempengaruhi resusitasi pasien.
Tanda-tanda patah pada tulang rahang meliputi :
a. Dislokasi, berupa perubahan posisi rahang yg menyebabkan maloklusi atau
tidak berkontaknya rahang bawah dan rahang atas
b. Pergerakan rahang yang abnormal, dapat terlihat bila penderita menggerakkan
rahangnya atau pada saat dilakukan
c. Rasa sakit pada saat rahang digerakkan
d. Pembengkakan pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah
fraktur.
e. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung
tulang yang fraktur bila rahang digerakkan
f. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.
g. Discolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
h. Disability, terjadi gangguan fungsional berupa penyempitan pembukaan mulut.
i. Hipersalivasi dan Halitosis, akibat berkurangnya pergerakan normal mandibula
dapat terjadi stagnasi makanan dan hilangnya efek “self cleansing” karena
gangguan fungsi pengunyahan.
j. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di bawah
nervus alveolaris.
k. Inspeksi. Epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral), edema,
danhematoma subkutan mengarah pada fraktur segmen maksila ke bawah dan
belakangmengakibatkan terjadinya oklusi prematur pada pergigian posterior.
l. Palpasi. Palpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada
suturazygomaticomaxillary, mengindikasikan fraktur pada rima orbital inferior.
m. Manipulasi Digital. Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara memegang
dengankuat bagian anterior maksila diantara ibu jari dengan keempat jari
lainnya, sedangkan tanganyang satunya menjaga agar kepala pasien tidak
bergerak. Jika maksila digerakkan maka akanterdengar suara krepitasi jika
terjadi fraktur.
n. Cerebrospinal Rhinorrhea atau Otorrhea. Cairan serebrospinal dapat
mengalamikebocoran dari fossa kranial tengah atau anterior (pneumochepalus)
yang dapat dilihat padakanal hidung ataupun telinga. Fraktur pada fossa kranial
tengah atau anterior biasanya terjadipada cedera yang parah. Hal tersebut
dapat dilihat melalui pemeriksaaan fisik dan radiografi.
o. Maloklusi Gigi. Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan dugaan
kuatke arah fraktur maksila. Informasi tentang kondisi gigi terutama pola oklusal
gigi sebelumnyaakan membantu diagnosis dengan tanda maloklusi ini. Pada Le
Fort III pola oklusal gigi masihdipertahankan, namun jika maksila berotasi dan
bergeser secara signifikan ke belakang danbawah akan terjadi maloklusi komplit
dengan kegagalan gigi-gigi untuk kontak satu sama lain.
Fraktur pada sepertiga tengah wajah pasien mempunyai gambaran yang
tidak menguntungkan karena dapat menyebabkan:
a. Sering terjadi fraktur multipel berbentuk fragmen 50 atau lebih.
b. Cedera pada saraf cranial yaitu pada: saraf gigi infraorbital dan superior.
c. Ethmoid, mungkin terjadi fraktur atau duramater robek yang menyebabkan
rhinorrhea
d. Orbita, mungkin terjadi fraktur orbital blow out syndrome
e. Sirkulasi pada mata terganggu sehingga menyebabkan opthalmic canal
syndrome.
f. Sinus maksilaris mungkin penuh dengan darah.
g. Duktus nasolakrimalis mungkin cedera

6. PATOFISIOLOGI
Pada dasarnya penyebab fraktur itu sama yaitu trauma, tergantung
dimana fraktur tersebut mengalami trauma, begitu juga dengan fraktur femur
ada dua faktor penyebab fraktur femur, faktor-faktor tersebut diantaranya,
fraktur fisiologis merupakan suatu kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan
dari kecelakaan, tenaga fisik, olahraga, dan trauma dan fraktur patologis
merupakan kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur (Rasjad, 2007).
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh
trauma gangguan adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik,
gangguan metabolik dan patologik. Kemampuan otot mendukung tulang
turun, baik yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan
mengakibatkan pendarahan, maka volume darah menurun. COP atau curah
jantung menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan
mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edema lokal maka terjadi
penumpukan didalam tubuh. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai
jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi
dengan udara luar dan kerusakan jaringan lunak yang akan mengakibatkan
kerusakan integritas kulit.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik
fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut syaraf yang dapat
menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai
tulang sehingga akan terjadi masalah neurovaskuler yang akan
menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Pada
umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan
immobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah
dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh.
7. TAHAPAN BONE HEALING

Setiap tulang yang mengalami cedera, misalnya fraktur karena


kecelakaan, akan mengalami proses penyembuhan. Fraktur tulang dapat
mengalami proses penyembuhan dalam 5 tahap yaitu:
1. Fase hematoma
Apabila tejadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil
yang melewati kanalikuli dalam system haversian mengalami robekan
dalam daerah fraktur dan akan membentuk hematoma diantara kedua sisi
fraktur. Hematoma yang besar diliputi oleh periosteum. Periosteum akan
terdorong dan mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi
sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah kedalam jaringan lunak.
Osteosit dengan lakunannya yang terletak beberapa millimeter dari
daerah fraktur akan kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan
suatu daerah cincin avaskular tulang yang mati pada sisi – sisi fraktur
segera setelah trauma.
Waktu terjadinya proses ini dimulai saat fraktur terjadi sampai 2 – 3
minggu.
2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal
Pada saat ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu
reaksi penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel –
sel osteogenik yang berproliferasi dari periosteum untuk membentuk
kalus eksterna serta pada daerah endosteum membentuk kalus interna
sebagi aktivitas seluler dalam kanalis medularis. Apabila terjadi robekan
yang hebat pada periosteum, maka penyembuhan sel berasal dari
diferansiasi sel – sel mesenkimal yang berdiferensiasi kedalam jaringan
lunak. Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi
penambahan jumlah dari sel – sel osteogenik yang memberi
penyembuhan yang cepat pada jaringan osteogenik yang sifatnya
lebih cepat dari tumor ganas. Jaringan seluler tidak terbentuk dari
organisasi pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah beberapa
minggu, kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi
jaringan osteogenik. Pada pemeriksaan radiologist kalus belum
mengandung tulang sehingga merupakan suatu daerah radioluscen. Pada
fase ini dimulai pada minggu ke 2 – 3 setelah terjadinya fraktur dan
berakhir pada minggu ke 4 – 8.
3. Fase pembentukan kalus (Fase union secara klinis)
Setelah pembentukan jaringan seluler yang tumbuh dari setiap fragmen
sel dasar yang berasal dari osteoblast dan kemudian pada kondroblast
membentuk tulang rawan. Tempat osteoblas diduduki oleh matriks
interseluler kolagen dan perlekatan polisakarida oleh garam – garam
kalsium pembentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk tulang ini disebut
moven bone. Pada pemeriksaan radiolgis kalus atau woven bone sudah
terlihat dan merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya
penyembuhan fraktur.
4. Fase konsolidasi (Fase union secara radiology)
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan – lahan
diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang
menjadi struktur lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi secara
bertahap.
Pada fase 3 dan 4 dimulai pada minggu ke 4 – 8 dan berakhir pada
minggu ke 8 – 12 setelah terjadinya fraktur.
5. Fase remodeling
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru akan
membentuk bagian yang meyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi
tanpa kanalis medularis. Pada fase remodeling ini perlahan – lahan
terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetapi terjadi osteoblastik pada
tulang dan kalus eksterna secara perlahan – lahan menghilang. Kalus
intermediet berubah menjadi tulang yang kompak dan berisi system
haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk
membentuk susmsum. Pada fase terakhir ini, dimulai dari minggu ke 8 –
12 dan berakhir sampai beberapa tahun dari terjadinya fraktur.
8. KOMPLIKASI
Komplikasi terbagi dua pada saat kecelakaan atau luka dan setelah
penatalaksanaan atau operasi. Pada saat kecelakaan komplikasi yang terjadi syok
dan tekanan pada saraf, ligament, tendon, otot, pembuluh darah atau jaringan
sekitarnya.
Komplikasi post operatif berhubungan dengan penatalaksanaan fraktur
rahang termasuk maloklusi, osteomyelitis, sequester tulang, penundaan union,
non union, deformitas wajah, fistula oronasal dan berbagai macam abnormalitas
bentuk gigi.
Maloklusi postoperasi, komplikasi serius pada tatalaksana fraktur rahang,
dapat dicegah dengan assesment yang hati-hati dan sering pada oklusi yang
benar selama reduksi dan stabilisasi lokasi fraktur. Pilihan penatalaksanaan untuk
maloklusi post operatif meliputi pencabutan segera alat fixasi, diikuti reduksi.
Ekstraksi selektif dari gigi yang malokusi menyebabkan pasien menutup mulut
secara jelek setelah operasi. Tetapi hal ini dianggap sebagai tehnik reduksi yang
dimaklumi.
Osteomyelitis dan sequestrasi tulang mungkin muncul setelah fraktur
rahang. Gigi yang sakit pada lokasi fraktur dapat memicu semua komplikasi ini.
Komplikasi ini sering dihubungkan dengan delayed dan non union yang
terdiagnosa secara radiologis. Pembuangan squester tulang dan gigi yang sakit
sering menghasilkan penyatuan tulang.

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi, luasnya fraktur, trauma,
dan jenis fraktur.
2) Scan tulang, temogram, CT scan/MRI :memperlihatkan tingkat keparahan
fraktur, juga dan mengidentifikasi kerusakan jaringan linak.
3) Arteriogram : dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
4) Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
multipel trauma) peningkatan jumlah SDP adalah proses stres normal
setelah trauma.
5) Kretinin : trauma otot meningkatkan beban tratinin untuk klien ginjal.
6) Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilingan darah, tranfusi
mulpel atau cedera hati (Lukman & Ningsih, 2009).

10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada fraktur maksila meliputi penegakan airway, kontrol
pendarahan,penutupan luka pada soft tissue, dan menempatkan segmen tulang yang
fraktur sesuai denganposisinya melalui fiksasi intermaksilari.Sebelumnya, fraktur
midface direkonstruksi dengan teknik yang pertama kalidiperkenalkan oleh Milton
Adams. Adam mendeskripsikan reduksi terbuka direk dan fiksasiinternal rima orbita
serta kombinasi reduksi tertutup dengan fiksasi maksilomandibular midfacebawah dan
kompresi menggunakan kawat. Namun teknik ini menyebabkan wajah pasienmemendek
dan tetap mengalami retrusi. Sekarang ini treatment fraktur Le Fort tidak hanyabertujuan
untuk memperbaiki oklusi sebelum fraktur, tapi juga proyeksi, lebar, dan panjangwajah
serta integritas kavitas nasal, orbita dan kontur soft tissue. Tujuan tersebut dicapai
denganmelakukan CT scan potongan tipis, reduksi terbuka ekstensif semua fraktur,
stabilisasi rigidmenggunakan plat dan sekrup, cangkok tulang apabila terdapat gap
akibat hilangnya segmentulang, dan reposisi selubung soft tissue.

Gambar 8: Penatalaksanaan

Tujuan perawatan fraktur Le fort:


1. Memperbaiki jalan nafas
Pasien mengalami sulit bernafas, karena :
a. Jalan nafas tersumbat oleh darah
b. Palatum mole tertarik dibawah lidah oleh pergeseran karena fraktur
tersebut.
2. Mengontrol pendarahan
3. Agar gigi dapat menggigit secara normal
4. Untuk mencegah deformitas dengan melakukan reduksi pada fraktur hidung
dan zigoma.

Fiksasi Maksilomandibular
Teknik ini merupakan langkah pertama dalam treatmentfraktur maksila untuk
memungkinkan restorasi hubungan oklusal yang tepat dengan aplikasiarch bars
serta kawat interdental pada arkus dental atas dan bawah. Prosedur ini
memerlukananestesi umum yang diberikan melalui nasotracheal tube. Untuk ahli
bedah yang sudahberpengalaman dapat pula diberikan melalui oral endotracheal
tube yang ditempatkan pada gigimolar terakhir. Tracheostomy biasanya dihindari
kecuali terjadi perdarahan masif dan cederapada kedua rahang, karena pemakaian
fiksasi rigid akan memerlukan operasi selanjutnya untukmembukannya.
Akses Fiksasi
Akses untuk mencapai rangka wajah dilakukan pada tempat-tempattertentu
dengan pertimbangan nilai estetika selain kemudahan untuk mencapainya.
Untukmencapai maksila anterior dilakukan insisi pada sulkus gingivobuccal, rima
infraorbital, lantaiorbital, dan maksila atas melalui blepharoplasty (insisi subsiliari).
Daerah zygomaticofrontaldicapai melalui batas lateral insisi blepharoplasty. Untuk
daerah frontal, nasoethmoidal, orbitalateral, arkus zygomatic dilakukan melalui insisi
koronal bila diperlukan.

Reduksi Fraktur
Segmen-segmen fraktur ditempatkan kembali secara anatomis.Tergantung
pada kompleksitas fraktur, stabilisasi awal sering dilakukan dengan
kawatinterosseous. CT scan atau visualisasi langsung pada fraktur membantu
menentukan yang manadari keempat pilar/buttress yang paling sedikit mengalami
fraktur harus direduksi terlebih dahulusebagai petunjuk restorasi yang tepat dari
panjang wajah. Sedangkan fiksasi maksilomandibulardilakukan untuk memperbaiki
lebar dan proyeksi wajah.
Stabilisasi Plat dan Sekrup
Fiksasi dengan plat kecil dan sekrup lebih disukai. Pada LeFort I, plat mini
ditempatkan pada tiap buttress nasomaxillary dan zygomaticomaxillary. Pada LeFort
II, fiksasi tambahan dilakukan pada nasofrontal junction dan rima infraorbital. Pada
Le FortIII, plat mini ditempatkan pada artikulasi zygomaticofrontal untuk stabilisasi.
Plat mini yangmenggunakan sekrup berukuran 2 mm dipakai untuk stabilisasi
buttress maksila. Ukuran yangsedemikian kecil dipakai agar plat tidak terlihat dan
teraba. Kompresi seperti pada metode yangdijukan oleh Adam tidak dilakukan
kecuali pada daerah zygomaticofrontal. Sebagai gantinyamaka dipakailah plat mini
agar dapat beradaptasi secara pasif menjadi kontur rangka yangdiinginkan.
Pengeboran untuk memasang sekrup dilakukan dengan gurdi bor yang tajam
dengandiameter yang tepat. Sebelumnya sekrup didinginkan untuk menghindari
terjadinya nekrosisdermal tulang serta dilakukan dengan kecepatan pengeboran
yang rendah. Fiksasimaksilomandibular dengan traksi elastis saja dapat dilakukan
pada fraktur Le Fort tanpamobilitas. Namun, apabila dalam beberapa hari oklusi
tidak membaik, maka dilakukan reduksiterbuka dan fiksasi internal.
Cangkok Tulang Primer
Tulang yang rusak parah atau hilang saat fraktur harus digantisaat
rekonstruksi awal. Bila Gap yang terbentuk lebih dari 5 mm maka harus digantikan
dengancangkok tulang. Cangkok tulang diambil dari kranium karena
aksesibilitasnya (terutama jikadiakukan insisi koronal), morbiditas tempat donor
diambil minimal, dan memiliki densitaskortikal tinggi dengan volum yang berlimpah.
Pemasangan cangkokan juga dilakukan denganplat mini dan sekrup. Penggantian
defek dinding antral lebih dari 1.5 cm bertujuan untukmencegah prolaps soft tissue
dan kelainan pada kontur pipi.
Pelepasan Fiksasi Maksilomandibular
Setelah reduksi dan fiksasi semua frakturdilakukan, fiksasi
maksilomandibular dilepaskan, oklusi diperiksa kembali. Apabila terjadigangguan
oklusi pada saat itu, berarti fiksasi rigid harus dilepas, MMF dipasang kembali,
reduksidan fiksasi diulang.
ResuspensiSoft tissue
Pada saat menutup luka, soft tissue yang telah terpisah darirangka
dibawahnya ditempelkan kembali. Untuk menghindari dystopia lateral
kantal,displacement massa pipi malar ke inferior, dan kenampakan skleral yang
menonjol, dilakukancanthoplexy lateral dan penempelan kembali massa soft tissue
pipi pada rima infraorbita.
Fraktur Sagital dan Alveolar Maksila
Pada fraktur ini dapat terjadi rotasi pada segmenalveolar denta, dan
merubah lebar wajah. Sebagian besar terjadi mendekati garis tengah padapalatum
dan keluar di anterior diantara gigi-gigi kuspid. Fraktur sagital dan juga tuberosity
dapatdistabilkan setelah fiksasi maksilomandibular dengan fiksasi sekrup dan plat
pada tiap buttressnasomaksilari dan zygomaticomaxillary.
Perawatan Postoperative Fraktur Maksila
Manajemen pasca operasi terdiri dariperawatan secara umum pada pasien
seperti kebesihan gigi dan mulut, nutrisi yang cukup, danantibiotik selama periode
perioperasi.
Perawatan segera jika terjadi cedera maksilofasial, termasuk pada fraktur le fort.
1. Apakah Pasien dapat bernapas, jika sulit :
a. Ada obstruksi
b. Palatum mole tertarik ke bawah lidah
c. Lidahnya jatuh kearah belakang atau tidak
2. Palatum Mole apakah, tertarik ke arah lidah.?
Kait dg jari tangan anda mengelilingi bagian belakang palatum durum, dan
tarik tulang wajah bag tengah dengan lembut kearah atas dan depan untuk
memperbaiki jalan napas dan sirkulasi mata. Reduksi ini diperlukan pengetahuan
dan ketrampilan yang baik juga gaya yg besar jika fraktur terjepit dan reduksi tidak
berhasil, maka dilakukan tracheostomi. Untuk melepaskan himpitan tulang pegang
alveolus maksilaris dengan forcep khusus (Rowe’s) atau forcep bergerigi tajam, yg
kuat dan goyangkan.
3. Jika lidah atau rahang bawah jatuh ke arah belakang
a. Lakukan beberapa jahitan atau jepitan handuk melaluinya, dan secara lembut
tarik kearah depan, lebih membantu jika posisi pasien berbaring, saat evakuasi
sebaiknya dibaringkan pada salah satu sisi.
b. Catatan : Tapi jika pernapasan membahayakan dan perlu merujuk maka
sebaiknya dilakukan tracheostomi tetapi untuk pembebasan airway
segera krikotirodotomi
4. Jika cedera rahang yang berat dan kehilangan banyak jaringan
Pada saat mengangkutnya, baringkan pasien dg kepala pada salah satu ujung
usungan dan dahinya ditopang dg pembalut diantara pegangan.
5. Jika pasien merasakan lebih enak dengan posisi duduk
a. Biarkan posisi demikian karena kemungkin jalan napas akan membaik dengan
cepat ketika ia melakukannya.
b. Isap mulutnya dari sumbatan bekuan darah dan lain-lain.
c. Jalan napas buatan (OPA, ETT) mungkin tidak membantu
6. Jika hidungnya cedera parah dan berdarah
Isap bersih dan pasang NPA atau pipa karet tebal yang sejenis ke satu
sisiPerlu dilakukan Trakheostomi jika ditemukan hal-hal dibawah ini:
1) Tidak dapat melepaskan himpitan fraktur atau mereduksi fraktur pada sepertiga
wajah pasien .
2) Tidak dapat mengontrol perdarahan yang berat.
3) Edema glottis.
4) Cedera berat dengan kehilangan banyak jaringan.
Perawatan pada cedera maksilofacial
1. Jika pasien sadar.
Dudukan pasien menghadap kedepan agar lidah, saliva, dan darah
mengalir keluar.
2. Jika pasien tidak sadar.
Saat perawatan perlu ditidurkan pada posisi recoveri dan hati – hati bila
ada cidera lain yang membahayakan.
Dan apabila akan dilakukan operasi tetap siapkan sebagai operasi dengan
general anastesi. Untuk kebersihan dan disinfeksi apabila pasien sadar disuruh
untuk kumur –kumur dengan:
a. Cairan kumur clorheksidin 0,5 %
b. Larutan garam 2%
c. Jika tidak mungkin kumur dengan air bersih
Hasil yang diharapkan dari perawatan pada pasien fraktur maksilofasial
adalah penyembuhan tulang yang cepat, normalnya kembali okular, sistem
mastikasi, dan fungsi nasal, pemulihan fungsi bicara, dan kembalinya estetika wajah
dan gigi. Selama fase perawatan dan penyembuhan, penting untuk meminimalisir
efek lanjutan pada status nutrisi pasien dan mendapatkan hasil perawatan dengan
minimalnya kemungkinan pasien merasa tidak nyaman.

Prinsip Penanganan Fraktur Secara Umum


Prinsip penanganan fraktur ada 4, yaitu: rekognisi, reduksi, retensi
dan rehabilitasi.
1) Rekognisi, mengenal jenis fraktur, lokasi dan keadaan secara umum;
riwayat kecelakaan, parah tidaknya luka, diskripsi kejadian oleh pasien,
menentukan kemungkinan tulang yang patah dan adanya krepitus.
2) Reduksi, mengembalikan fragmen tulang ke posisi anatomis normal untuk
mencegah jarinagn lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena
edema dan perdarahan. Reduksi ada 3 (tiga), yaitu:
a) Reduksi tertutup (close reduction), dengan cara manual/
manipulasi, dengan tarikan untuk menggerakan fragmen tulang/
mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan)
b) Traksi, digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi,
dimana beratnya traksi di sesuaikan dengan spasme otot. Sinar X
digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen
tulang
c) Reduksi terbuka, dengan memasang alat untuk
mempertahankan pergerakan, yaitu fiksasi internal (kawat, sekrup,
plat, nail dan batang dan implant logam) dan fiksasi ekterna
(pembalutan, gips, bidai, traksi kontinue, pin dan tehnik gips
Jenis-jenis Traksi, yaitu:
1) Traksi kulit
Traksi kulit digunakan untuk mengontrol sepasme kulit dan
memberikan imobilisasi . Traksi kulit apendikuler ( hanya pada
ektermitas digunakan pada orang dewasa) termasuk “ traksi ektensi
Buck, traksi russell, dan traksi Dunlop”.
a) Traksi buck
Ektensi buck ( unilateral/ bilateral ) adalah bentuk traksi kulit
dimana tarikan diberikan pada satu bidang bila hanya imobilisasi
parsial atau temporer yang diinginkan . Digunakan untuk
memberikan rasa nyaman setelah cidera pinggulsebelum
dilakukan fiksasi bedah (Smeltzer & Bare,2001 ).
Traksi buck merupakan traksi kulit yang paling sederhana, dan
paling tepat bila dipasang untuk anak muda dalam jangka waktu
yang pendek. Indikasi yang paling sering untuk jenis traksi ini
adalah untuk mengistirahatkan sendi lutut pasca trauma sebelum
lutut tersebut diperiksa dan diperbaiki lebih lanjut (Wilson, 1995 ).
b) Traksi Russell
Dapat digunakan pada fraktur plato tibia, menyokong lutut yang
fleksi pada penggantung dan memberikan gaya tarik
horizontal melalui pita traksi balutan elastis ketungkai bawah.
Bila perlu, tungkai dapat disangga dengan bantal agar lutut
benar- benar fleksi dan menghindari tekanan pada tumit (Smeltzer
& Bare, 2001 ).
c) Traksi Dunlop
Adalah traksi pada ektermitas atas. Traksi horizontal diberikan
pada lengan bawah dalam posisi fleksi.
d) Traksi kulit bryant
Traksi ini sering digunakan untuk merawat anak kecil yang
mengalami patah tulang paha. Traksi Bryant sebaiknya tidak
dilakukan pada anak-anak yang berat badannya lebih dari 30 kg.
kalau batas ini dilampaui maka kulit dapat mengalami kerusakan
berat.
2) Traksi skelet
Traksi skelet dipasang langsung pada tulang. Metode traksi ini
digunakan paling sering untuk menangani fraktur femur, tibia,
humerus dan tulang leher.
a) Traksi rangka
seimbang
Traksi rangka seimbang ini terutama dipakai untuk merawat patah
tulang pada korpus femoralis orng dewasa. Sekilas
pandangan traksi ini tampak komplek, tetapi sesunguhnya
hanyalah satu pin rangka yang ditempatkan tramversal melalui
femur distal atau tibia proksimal. Dipasang pancang traksi dan tali
traksi utama dipasang pada pancang tersebut. Ektermitas
pasien ditempatkan dengan posisi panggul dan lutut membentuk
sekitar 35°.
b) Traksi 90-90-90
Traksi 90-90-90 sangat berguna untuk merawat anak- anak usia 3
tahun sampai dewasa muda. kontrol terhadap fragmen –
fragmen
pada fraktur tulang femur hamper selalu memuaskan dengan
traksi
90-90-90 penderita masih dapat bergerak dengan cukup
bebas diatas tempat tidur.
3) Reposisi, setelah fraktur di reduksi, fragmen tulang harus di imobilisasi
atau dipertahankan dalam posisi penyatuan yang tepat. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan cara fiksasi internal dan eksternal.
a) fiksasi internal
fragmen tulang dapat diikat dengan skrup,pen, atau paku pengikat,plat
logam yang diikat dengan skrup,paku intramedular yang panjang
(dengan atau tanpa skrup pengunci) , ciscumferential bands, atau
kombinasi dari metode ini.
b) fiksasi eksternal
fraktur dipertahankan dengan skrup pengikat atau kawat penekan
yang melalui tulang diatas dan dibawah fraktur, dan dilekatkan pada
suatu kerangka luar.
4) Rehabilitasi, mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Pada umumnya, sebelum dan setelah pelaksanaan terapi latihan, bagian
yang mengalami operasi yaitu 1/3 distal femur pasien dalam keadaan
dielevasikan sekitar 30˚
a) Static Contraction
Terjadi kontraksi otot tanpa disertai perubahan panjang otot dan tanpa
gerakan pada sendi (Kisner,1996). Latihan ini dapat meningkatkan
tahanan perifer pembuluh darah, vena yang tertekan oleh otot yang
berkontraksi menyebabkan darah di dalam vena akan terdorong
ke proksimal yang dapat mengurangi oedem, dengan oedem
berkurang, maka rasa nyeri juga dapat berkurang.
b) Passive Movement
Passive movement adalah gerakan yang ditimbulkan oleh adanya
kekuatan dari luar sementara itu otot pasien lemas (Priatna,1985).
Passive movement ada 2, yaitu :
(1) Relaxed Passive
Movement
Gerakan pasif hanya dilakukan sebatas timbul rasa nyeri. Bila
pasien sudah merasa nyeri pada batas lingkup gerak sendi
tertentu, maka gerakan dihentikan (Priatna,1985).
(2) Forced Passive Movement
Forced Passive Movement bertujuan untuk menambah lingkup
gerak sendi. Tekniknya hampir sama dengan relaxed passive
movement, namun di sini pada akhir gerakan diberikan penekanan
sampai pasien mampu menahan rasa nyeri (Priatna,1985).
c) Active Movement
Merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot anggota gerak tubuh
pasien itu sendiri (Kisner,1996). Pada kondisi oedem, gerakan aktif ini
dapat menimbulkan “pumping action” yang akan mendorong cairan
bengkak mengikuti aliran darah ke proksimal. Latihan ini juga dapat
digunakan untuk tujuan mempertahankan kekuatan otot, latihan
koordinasi dan mempertahankan mobilitas sendi. Active Movement
terdiri dari :
(1) Free Active Movement
Gerakan dilakukan sendiri oleh pasien, hal ini dapat meningkatkan
sirkulasi darah sehingga oedem akan berkurang, jika oedem
berkurang maka nyeri juga dapat berkurang. Gerakan ini dapat
menjaga lingkup gerak sendi dan memelihara kekuatan otot.
(2) Assisted Active Movement
Gerakan ini berasal dari pasien sendiri, sedangkan terapis
memfasilitasi gerakan dengan alat bantu, seperti sling, papan licin
ataupun tangan terapis sendiri. Latihan ini dapat mengurangi nyeri
karena merangsang relaksasi propioseptif.
(3) Ressisted Active Movement
Ressisted Active Movement merupakan gerakan yang dilakukan
oleh pasien sendiri, namun ada penahanan saat otot berkontraksi.
Tahanan yang diberikan bertahap mulai dari minimal sampai
maksimal. Latihan ini dapat meningkatkan kekuatan otot.
d) Hold Relax
Hold Relax adalah teknik latihan gerak yang mengkontraksikan otot kelompok
antagonis secara isometris dan diikuti relaksasi otot tersebut. Kemudian
dilakukan penguluran otot antagonis tersebut. Teknik ini digunakan untuk
meningkatkan lingkup gerak sendi ( Kisner,1996).
e) Latihan Jalan
Latihan transfer dan ambulasi penting bagi pasien agar pasien dapat kembali
ke aktivitas sehari-hari. Latihan transfer dan ambulasi di sini yang penting
untuk pasien adalah latihan jalan. Mula-mula latihan jalan dilakukan
dengan menggunakan dua axilla kruk secara bertahap dimulai dari non
weight bearing atau tidak menumpu berat badan sampai full weight bearing
atau menumpu berat badan. Metode jalan yang digunakan adalah swing,
baik swing to ataupun swing through dan dengan titik tumpu, baik two point
gait, three point gait ataupun four point gait. Latihan ini berguna untuk pasien
agar dapat mandiri walaupun masih menggunakan alat bantu.

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Kaji tingkat kesadaran pasien dengan GCS.
(Doenges, 2000:761)
a. Aktifitas/ Istirahat
Tanda: keterbatasan/ kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera,
fraktur itu sendiri, atau terjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri)

b. Sirkulasi
Tanda: hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri/ ansietas)
atau hipotensi (kehilangan darah), Takikardi (respon stress, hipovolemia), Penurunan/
tak ada nadi pada bagian distal yang cedera; pengisisa kapiler lambat, pucat pada
bagian yang terkena, Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi
cedera
c. Neurosensori
Gejala: hilang gerakan/ sensasi, spasme otot, Kebas/ kesemutan (parestesis)
Tanda: deformitas local: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme
otot, terlihat kelemahan/ hilang fungsi.
Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ ansietas atau trauma lain).
d. Nyeri/ Kenyamanan
Gejala: Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area
jaringan/ kerusakan tulang; dapat berkurang pada imobilisasi); tak ada nyeri akibat
kerusakan saraf.
Spasme/ kram otot (setelah imobilisasi).
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor memperberat
dan faktor yang memperingan/ mengurangi nyeri
2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
e. Keamanan
Tanda: laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna
Pembengkakan local (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba)

.
2. Diagnosa Keperawatan
Pre operasi:
a. Perubahan perfusi jaringan peerifer berhubungan dengan trauma pembuluh darah
atau kompresi pada pembuluh darah
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka, pemasangan traksi
(pen, kawat, sekrup)
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler,
nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
d. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cedera jaringan lunak
e. Resiko ketidakseimbangan cairan elektrolit berhubungan dengan pendarahan
f. Ansietas berhubungan dengan prosedur pembedahan

Post operasi:
a. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler,
nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilisasi, pemasangan gips
c. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cedera jaringan lunak
d. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer
(kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka, pemasangan traksi
(pen, kawat, sekrup)
f. Gangguan body image berhubungan dengan perubahan pada anggota tubuh pasca
post operasi
DAFTAR PUSTAKA
John L. Triplane Fracture. Available from: http://www.emedicine.com/sports-/TOPIC24.HTM

Manfra Marretta S, Schrader SC, Matthiesen DT.1990.Problems associated with the


management and treatment of jaw fractures. Prob Vet Med (Dentistry) 2:220,
Reksoprodjo, S. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Fakultas Kedoktran Universitas Indonesia.
Jakarta: Binarupa Aksara.

Sjamsuhidajat R, Jong W. 2004.Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta: EGC.

Suardi, NPEP&AA GN Asmara Jaya. 2012. Fraktur Pada Tulang Maksila. Bagian Ilmu Bedah
RSUP Sanglah: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Brunner & Suddarth. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Lukman, N & Ningsih, N. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Mansjoer, A. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Medica Aesculpalus.

Moffat, D & Faiz, O. 2002. At a Glance Series Anatomi. Jakarta: PT. Glora Aksara
Pratama.

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Ganggua


Muskuloskeletal. Jakarta:EGC.

Muttaqin, A. 2011. Buku Saku Gangguan Mulskuloskeletal Aplikasi pada Praktik Klinik
Keperawatan. Jakarta:EGC.

Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT.Yarsif Watampone. Siddiqui, Z.
2015. Rehabilitations Following Intramedullary Nailing Of Femoral

Shaft Fracture: A Case Report. International Journal of Physical Therapy & Rehabilitation
Science. Vol 1 (1): 30-35.

Anda mungkin juga menyukai