DISUSUN OLEH :
Idawati Muhajir, drg.
160121150009
DOSEN PEMBIMBING :
Endang Syamsudin, drg., Sp.BM.
Idawati Muhajir
Abstrak
PENDAHULUAN
Pencetus awal aplikasi klinis dari observasi Le Fort yaitu terjadinya ribuan
jejas berat pada jaringan lunak dan keras pada wajah akibat Perang Dunia I. Gillies
dan Kazanjian saat ini memperkenalkan pentingnya lengkung gigi dalam
menstabilisasi wajah tengah melalui pengunaan berbagai alat fiksasi ekstraskeletal
yang sekarang merupakan suatu bagian yang utama. Era antibiotik selama Perang
Dunia II, bagaimanapun merupakan awal kesuksesan intervensi bedah primer
melalui prinsip reduksi anatomis dan stabilisasi tulang interna. Pada awal tahun
1930, Ipsen memperkenalkan fiksasi K-wire internal pada fraktur wajah, kemudian
dipopulerkan oleh Brown dan McDowell. Dingman dan Natvig memperkenalkan
imobilisasi fraktur wajah tengah dengan traksi rubber band. Pada tahun 1942,
Milton Adams pertama kali memperkenalkan reduksi terbuka dan fiksasi internal
(Open Reduction and Internal Fixation, ORIF) dengan menggunakan kawat
suspensi pada basis kranium yang stabil (1).
1. Melibatkan jalan nafas, yang harus dilakukan tindakan cepat dan langsung.
2. Menampilkan oklusi gigi, yang dapat membantu sebagai pedoman dalam
pengembalikan perlekatan dan stabilisasi fraktur.
3. Terdapat suplay darah yang sangat bagus ke wajah, sehingga membantu dalam
proses penyembuhan yang cepat.
TINJAUAN PUSTAKA
I. ANATOMI MAKSILA
Tidak ada gambaran pola fraktur pada wajah tengah seberhasil Le Fort.
Klasifikasi Le Fort bukan merupakan klasifikasi maksila murni, sebagaimana
banyak tulang-tulang wajah yang ikut terlibat. Bagaimanapun, perlu dicatat
bahwa keutamaan fraktur maksila biasanya bersifat comminuted, melibatkan
sejumlah kombinasi fraktur tipe Le Fort. Le Fort menggambarkan tiga zona
lemah transversal pada tulang wajah tengah yang dapat memberikan prediksi
pola fraktur (Gambar 3) (1).
Gambar 3. a. Gambaran frontal, b. lateral oblique dari tengkorak,
mengilustrasikan pola fraktur Le Fort I, II dan III (1).
a. Fraktur Le Fort I:
Suatu pola fraktur horizontal yang terjadi dalam arah transmaksila pada
tingkat margin piliformis, bilateral dan menghasilkan suatu “floating
palate” yang memutuskan hubungan alveolaris maksilaris atas dari basis
kranial (1).
Fraktur Le Fort I merupakan hasil benturan yang terjadi diatas level gigi.
Fraktur yang terjadi mulai dari batas lateral sinus piriformis, berjalan
sepanjang dinding antral lateral, belakang tuberositas maksilaris, dan
melewati pteriogoid junction. Septum nasal dapat terjadi fraktur, dan
kartilago nasal mungkin terkena. Karena tarikan baik dari otot pterigoid
eksternal dan internal, maksila dapat berada pada posisi posterior dan
inferior. Pada fraktur ini, biasanya tampak open bite klasik (2)
Fraktur Le Fort II terjadi akibat benturan yang didapat pada level tulang
nasal. Fraktur terjadi sepanjang sutura nasofrontalis, melalui tulang
lakrimalis, dan melewati garis infraorbita pada area sutura
zigomatikomaksilaris (2).
III. EPIDEMIOLOGI
2. Breathing (Pernafasan)
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding
dada dan diafragma. Dada pasien harus dibuka untuk melihat ekspansi
pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke
dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah
dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan
kelainan dinding dada yang mungkin menggangu ventilasi.
3. Circulation (Sirkulasi)
4. Disability
6 - - Bisa melakukan
perintah
2. Pemeriksaan Klinis
Fraktur midfasial biasanya didiagnosa secara klinis dan
dikuatkan dengan pemeriksaan radiologis. Sejumlah faktor bisa
membuat pemeriksaan klinis menjadi sulit, termasuk kehadiran edema
fasial, epistaksis, maksila yang tumpang tindih atau bahkan pasien yang
tidak sadar atau tidak kooperatif (1).
a. Pemeriksaan Ekstra oral
Pemeriksaan pada area fasial harus dilakukan dalam teknik
yang terorganisir dan berkelanjutan. Wajah dan kranii harus
diinspeksi secara hati-hati terhadap kemungkinan trauma termasuk
laserasi, abrasi, kontusio, edema ataupun hematom dan
kemungkinan cacat pada kontur. Area ekimosis harus dievaluasi
secara hati-hati.
Wajah dievaluasi terhadap kemungkinan terdapatnya
laserasi dan depresi tulang yang jelas. Asimetri area wajah perlu
dicatat, dan cairan yang keluar baik dari hidung maupun telinga
diasumsikan sebagai cairan serebrospinal hingga terbukti bukan itu.
Jika diduga terdapat cairan serebrospinal, hidung maupun telinga
sebaiknya tidak ditutup tampon, karena dapat menyebabkan infeksi
retrograde yang menyebabkan meningitis (2).
Tulang wajah dipalpasi untuk mengetahui adanya
diskontinuitas tulang. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan secara
bimanual dan disiplin. Pertama kita lakukan pemeriksaan rima
orbitalis, lalu berlanjut ke bawah untuk meliputi rima lateral dan
infraorbitalis, dimana apabila terdapat edema yang cukup besar
dapat membuat pemeriksaan menjadi sulit. Lengkung zigomatikus
dipalpasi lalu ke tulang nasal. Pemeriksaan berakhir dengan
pemeriksaan maksila dan mandibula.
Evaluasi midfasial dimulai dengan penilaian mobiliti
maksila, sendiri ataupun kombinasi dengan zygoma atau os nasal.
Untuk menilai mobiliti pada maksila, kepala pasien harus
distabilkan dengan menggunakan satu tangan menekan dahi.
Dengan menggunakan jempol dan jari telunjuk dari tangan yang
lain, memegang maksila, digoyang dengan hati-hati untuk melihat
adanya mobiliti pada maksila. Fasial dan midfasial sebaiknya
dipalpasi untuk melihat adanya gap pada dahi, rima orbita, nasal atau
zygoma (6).
Pembukaan mandibula dievaluasi baik untuk fraktur
lengkung zigoma maupun zigoma yang terdisposisi ke lateral, yang
dapat mengobstruksi pergerakan prosesus koronoid ke depan.
Vestibulum bukalis dipalpasi dengan jari telunjuk. Terdapatnya
krepitasi dan pergeseran dinding antral lateral dan zigoma dapat
mudah didapatkan dengan teknik ini. Oklusi dievaluasi, keadaan dan
kualitas gigi perlu dicatat, faktor ini berpengaruh besar terhadap
metode perawatan (2).
Daerah ekimosis, terutama pada palatum, merupakan
gambaran umum pada fraktur maksila. Faring diperiksa untuk
laserasi atau perdarahan retrofaringeal. Pasien sebaiknya ditanya
mengenai keluarnya cairan rasa metal dan asin, yang merupakan
indikasi terdapatnya drainase cairan serebrospinal.
Gambar 4. Ekimosis subkonjungtival
Pada Le Fort II, tanda dan gejala yang dapat kita temukan
adalah adanya oedem wajah dan terjadi retrusi mid fasial yang
menyebabkan wajah terlihat datar. Keadaan ini disebut sebagai
deformitas dish face atau pan face. Terjadi haemoragi
subkonjunctiva dan diplopia. Kadang timbul parestesi daerah pipi
karena trauma pada nervus infraorbita. Terdapat hematom pada
sulcus bukalis rahang atas posterior, karena garis fraktur melewati
tulang zygoma. Segmen maksila bergeser ke posterior dan inferior,
hal ini akan menyebabkan kontak prematur gigi molar dan open bite
anterior (7).
b. Pemeriksaan Intraoral
Pemeriksaan intra oral dapat melihat keadaan oklusi, gigi
geligi, stabilitas alveolar ridge dan palatum serta jaringan lunak.
Palpasi intra oral dengan jari pada maksila dapat memberikan
informasi tentang integritas dinding nasomaksilaris, dinding sinus
maksilaris anterior, dan dinding zigomatikomaksilaris.
Selama pemeriksaan mata dan tulang orbita, dapat dilihat
integritas dari lingkar orbita dan dasar orbita, penglihatan, pergerakan
ektra ocular dan posisi bola mata, serta jarak intercanthal. Tidak seperti
fraktur Le fort II, Le fort III berhubungan dengan adanya cedera pada
zygomatikus. Perubahan penglihatan menandakan adanya gangguan pada
persyarafan mata, masalah pada retina ataupun masalah neurologic
lainnya. Gangguan pada pergerakan ekstraokular atau enopthalmos
menandakan adanya suatu blow out pada dasar orbita. Peningkatan jarak
interchantal menandakan adanya perubahan pada tulang frontomaksilaris
atau tulang lacrimalis ataupun adanya avulsi dari ligamentum canthal
medialis . Dalam hal kerusakan yang parah pada mata dan tulang orbita
dapat dikonsultasikan kepada opthalmologis.
Deformitas pada kontur tulang dapat tertutupi oleh
pembengkakan, tetapi permeriksaan dapat menemukan adanya
kehilangan kontinuitas tulang atau displacement. Gangguan pada
oklusi dapat melokalisir adanya fraktur. Pergerakan abnormal pada
tulang dapat didiagnosa dan jika terjadi maka akan diikuti oleh sakit
dan krepitasi akibat dari ujung tulang yang keras bergesekan satu
sama lain. Hilangnya fungsi pada rahang merupakan hal biasa
sebagai akibat dari trismus atau sakit (7).
Fraktur transversal pada Le Fort membuat muskulus
pterygoid medial yang kuat menciptakan tarikan posteroinferior
pada segmen yang bergerak menciptakan maloklusi klas III, kontak
prematur pada molar dan anterior open bite (1).
Gambar 7. Pemeriksaan mobiliti pada maksila. A. Dahi difiksasi
dengan tangan kiri, maksila digoyang-goyangkan untuk menilai
adanya mobiliti. B. Tangan kiri juga dapat diletakkan pada os nasal
untuk menilai mobiliti pada os nasal (6).
2. Le fort II
Manifestasi klasik Le Fort II antara lain :
1. Oedema periorbital secara bilateral, diikuti dengan
ecchymosis yang memberikan kesan seperti raccoon sign
(menyerupai kucing).
2. Hipoesthesia dari nervus infra orbital juga ditemukan,
kondisi ini muncul karena perkembangan odema yang sangat
cepat.
3. Suatu maloklusi dapat terjadi bersamaan dengan open bite.
4. Suatu kelainan bentuk ini dapat dideteksi pada daerah rima
infra orbital atau daerah sutura naso frontal. Cara
pendeteksian ini dapat dengan mengandalkan genggaman
pada gigi anterior maksila dan menggerakannya arah
anterior- posterior, sehingga frakmen yang pecah dari lantai
orbita atau dinding media bisa terlihat dan ikut bergerak.
5. Dari gambaran foto roentgen dapat terlihat pemisahan atau
pergeseran pada sutura zygomaticomaksilaris serta
terputusnya kontinuitas rima orbital inferior didekat sutura
tersebut (2,5).
3. Le fort III
Manifestasi klinis Le Fort III antara lain :
a. Sering terlihat kebocoran cairan cerebrospinal akibat
sobeknya meninge (selaput otak)
b. Oedema yang hebat dan ecchymosis peri orbital terlihat
bilateral karena terjadinya perdarahan subkonjungtiva dalam
berbagai tingkat keparahan.
c. Trauma telecantus dapat terasa seperti halnya juga ephypora.
Ada baiknya temuan ini dikomfirmasikan dengan CT
coronal dan sagital scan, hal ini berguna dalam rencana
perawatan dan pertolongan nyawa pasien.
d. Fraktur ini biasanya diikuti dengan fraktur zygoma, dan naso
orbita eithmoid, luka yang dihasilkan pun berfariasi.
e. Pada waktu dilakukan tes mobilitas dari maksila akan
memperlihatkan pergerakan dari seluruh bagian atas wajah
(2,5)
.
c. Pemeriksaan Radiologis
Setelah dilakukan pemeriksaan klinis pada area fasial dan
keadaan pasien stabil, pemeriksaan radiologi harus dilakukan untuk
memberikan tambahan informasi tentang trauma fasial. Evaluasi
pada fraktur midfasial secara umum ditambahkan dengan gambaran
radiografik, minimal foto Water’s, scheidel anteroposterior, lateral
dan foto submentovertex. Foto Towne’s sangat bermanfaat dalam
menggambarkan lengkung zigomatikus dan rami mandibula.
Lengkung zigoma paling bagus digambarkan pada foto
submentovertex. Foto Water’s memperlihatkan antrum hampir jelas.
Foto lateral skull berguna dalam menggambarkan kehadiran cairan
pada sinus paranasal dan udara intrakranial. Jika pasien tidak dapat
tengkurap, dapat menggunakan reverse Water’s (frontoosipital).
Kekurangannya yaitu bertambahnya jarak antara tulang wajah ke
film (2).
V. PERAWATAN
1. Reduksi
a. Reduksi tertutup (close red)
Metode ini dilakukan tanpa melakukan insisi untuk mereduksi
kembali bagian tulang yang fraktur seperti pada frakmen fraktur ini
bergerak, biasanya gigi geligi yang terdapat pada segmen fraktur
mengalami kegoyahan. Pada kasus ini dibutuhkan tekanan berulang
(digital) untuk mereduksi tulang yang patah.
Pada kasus fraktur unilateral maksila atau terpisahnya sisi kanan
dan kiri palatum pada sutura palatine, maka digunakan alat Rowe
Disimpaction forceps atau Hayton-Williams forcep untuk mereduksi
kembali kedua sisi palatum tersebut. Arch bar dipasang pada lengkung
maksila dan mandibula. Gigi yang goyah diikat dengan kawat (wiring)
kearch bar maksila, sedangkan gigi yang terdapat pada segment yang
tidak fraktur dilindungi dengan fiksasi intermaksila. Kemudian fiksasi
dilanjutkan kedaerah fraktur yang telah direduksi tadi. Fiksasi dibiarkan
selama 4 sampai 6 minggu didalam mulut pasient dan pasien diberikan
diet lunak selama fiksasi.
2. Fiksasi Internal
3. Fiksasi eksternal
Pesawat Cranio-Maxilla.
Dimana digunakan suatu alat Head Appliances yang
dihubungkan dengan alat lain yang dipasang pada maksila. Head
appliances yaitu suatu alat yang dipasang pada kepala yang
berfungsi sebagai penahan untuk fiksasi fraktur maksila dengan
tulang cranial. Alat ini ada beberapa macam yang biasa digunakan
yaitu:
a. Plaster of Paris head cap.
b. Woodards appliance.
c. Englands appliance.
d. Bisnoffs head band.
e. Crawford head frame.
f. Crawford bloom head appliance
KOMPLIKASI
1. Parestesi n. Infraorbital
2. Enopthalmus
3. Infeksi
4. Alat terekspos
5. Deviasi septum
6. Obstruksi nasal
7. Perubahan penglihatan
8. Nonunion
9. Malunion atau maloklusi
10. Epiphora
11. Reaksi benda asing
12. Jaringan parut
13. Sinusitis
Terjadinya obstruksi jalan nafas perioperatif dan postoperatif jarang terjadi
pada fraktur maksila tunggal. Bagaimanapun, kondisi ini dapat terjadi sehubungan
dengan ekstubasi, dengan hematom septum atau nasal packing, dan dengan edem
berat jaringan lunak yang menghalangi pernafasan melalui jalan nafas nasal. Pasien
dengan fiksasi intermaksilari dan gigi lengkap biasanya mengalami kesulitan
pernafasan pada saat ini. Reintubasi, pembukaan jalan nafas nasofaringeal, dan
pembukaan fikasi intermaksilari dapat efektif menghilangkan gangguan jalan nafas.
Faktur pada septum nasal yang tidak diperbaiki dapat menyebabkan terjadinya
obstruksi jalan nafas postoperatif yang akan tetap ada hingga semua pembengkakan
jaringan lunak hilang (3).
Sinusitis akut dapat terjadi akibat tindakan intubasi trakheal yang
berkepanjangan. Sinusitis akut atau kronik dapat juga terjadi pada sinus ethmoid,
sphenoid, frontal, dan maksila, karena fraktur dapat mengobstruksi duktus sinus
atau ostia (3).
Hemoragi post operatif dapat terjadi jika arteri dan vena tidak diligasi ketika
memperbaiki laserasi, jika reduksi tulang inadekuat dapat menyebabkan perdarahan
berlanjut, jika terjadi aneurisma, atau jika arteri sebagian terpotong. Laserasi
sebaiknya diperiksa ulang sehingga hemoragi dapat dikontrol. Hematom yang ada,
sebaiknya didrainase. Pada perdarahan tulang sebaiknya dilakukan reduksi ulang
atau menggunakan bone wax. Hemoragi dari arteri utama harus segera ditangani,
apabila sumbernya tidak dapat diidentifikasi, maka perlu dilakukan arteriografi dan
embolisasi. Aneurisma dan pseudoaneurisma merupakan komplikasi trauma pada
maksilofasial tetapi jarang terjadi akibat fraktur maksila tersendiri (3).
Karena kedekatan maksila dengan orbita, maka dapat terjadi komplikasi
yang berhubungan dengan penglihatan. Kebutaan jarang terjadi sehubungan dengan
fraktur midfasial dan paling sering terjadi pada pola fraktur yang melibatkan orbita,
seringkali dengan mekanisme jejas yang lebih berat. Kebutaan postoperatif imediet
dapat merupakan komplikasi reduksi pada fraktur Le Fort III (atau fraktur yang
melibatkan orbita) dan terjadi akibat peningkatan hemoragi atau tekanan
intraorbital, spasme arteri retinal, hemoragi retrobulbar, dan menekannya fragmen
tulang pada nervus optikus. Fraktur pada dasar orbita yang tidak terdiagnosa atau
ditangani dengan tidak adekuat (sendiri atau kombinasi dengan komponen zigoma)
dapat menyebabkan terjadinya enopthalmus dan diplopia (3).
Komplikasi postoperatif lain yaitu salah penempatan segmen tulang atau
alat fiksasi. Komplikasi ini dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan klinis (misal,
maloklusi) atau pemeriksaan radiografi postoperatif. Perlu dilakukan prosedur
pembedahan kedua untuk memperbaiki komplikasi tersebut (3).
DAFTAR PUSTAKA
1. Thaller, S.R., McDonald, W.S. 2004. Facial Trauma. Miami: Marcel Dekker,
Inc.
2. Fonseca. 2005. Oral and Maxillofacial Trauma vol.2. St. Louis: Elsevier.
3. Peterson. 2004. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery, 2nd ed.
Hamilton: BC Decker Inc.
4. Ellis, Edward. 2000. Assesment of Patients with Facial Fractures.Dallas:
Saunders.
5. Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC.
6. Peterson. 2003. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, 4th ed. St.
Louis: Mosby.
7. Moore, U.J. 2001. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. 5th ed.
Oxford: Blackwell-Science.
8. http://www.gla.ac.uk/ibls/US/cal/anatomy/trauma/maxillaclinfeat.htm