PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN KISTA
Sebuah kista adalah kavitas patologis yang berisi cairan, yang dibatasi oleh
epitelium, dan dikelilingi oleh dinding jaringan pengikat. Cairan kista disekresi oleh batasan
sel pada kavitas atau dari cairan di sekitar jaringan 1. Kista pada tulang rahang dengan dinding
epitel dikelompokkan ke dalam kista odontogenik (berhubungan dengan elemen pembentukan
gigi) dan kista non odontogenik.
Gambaran klinis
Kista terjadi lebih sering pada rahang daripada tulang lain karena kebanyakan
kista berasal dari sisa epitelial odontogenik dari pembentukan gigi. Kista adalah lesi yang
radiolusen, dan prevalensi klinisnya adalah pembengkakan, rasa nyeri yang tidak terlalu parah
(kecuali kista terkena infeksi sekunder atau terkait dengan gigi non vital dan berhubungan
dengan gigi yang belum erupsi, terutama molar ketiga1.
Gambaran Radiografik
1. Lokasi : Kista dapat terjadi diantara tulang pada tempat manapun pada maksila dan
mandibula tetapi jarang pada kondilus dan prosesus koronoideus. Kista odontogenik
ditemukan paling sering pda regio dengan gigi. Pada mandibula, kista bermula diatas
kanalis nervus alveolaris inferior. Kista odontogenik dapat tumbuh ke antrum
maksilaris, berasal dari antrum, ataupun timbul dari jaringan lunak regio orofasial 1 .
2. Periferal : Kista yang berasal dari tulang biasanya mempunyai batasan yang jelas dan
terkortikasi (dilihat dari garis uniform, tipis, dan radiopak).Meski begitu, infeksi
sekunder atau pada fase kronis dapat mengubah bentukan ini menjadi lebih tebal,
menghasilkan batasan yang sklerotik, atau membuat korteks tidak terlalu terlihat 1 .
3. Bentuk : Kista biasanya berbentuk bundar atau oval, tampak seperti balon yang berisi
air. Beberapa kista juga mempunyai batasan scalloped 1 .
4. Struktur internal : Bentukan kista adalah radiolusen yang sangat jelas. Meski begitu,
kista yang berlangsung lama dapat mengalami kalsifikasi distropik. Beberapa kista
memiliki septa, yang menghasilkan lokulasi multipel yang dipisahkan oleh dinding
bertulang atau septa. Kista yang mempunyai batasan scalloped dapat terlihat
mempunyai bentukan septa internal. Terkadang gambaran ridge tulang yang dihasilkan
1
oleh batasan scalloped diposisikan hingga gambarannya melampaui aspek internal dari
kista, memberikan impresi yang semu mengenai septa internal 1 .
5. Dampak pada struktur sekitar : Kista tumbuh secara lambat, terkadang menyebabkan
dislokasi dan resorpsi dari gigi. resorpsi gigi mempunyai bentukan yang tajam dan
melengkung. Kista dapat mengekspansi mandibula, biasanya pada bentukan yang halus
dan melengkung, dan mengubah cortical plate bagian bukal atau lingual menjadi
batasan kortikal yang tipis. Kista dapat menggeser kanalis nervus alveolaris inferior
pada arah inferior atau menginvaginasi ke antrum maksila, menjaga lapisan tipis dari
tulang yang memisahkan aspek internal dari kista terhadap antrum 1 .
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KISTA ODONTOGENIK
Menurut Whaites, 2003, klasifikasi kista odontogenik berdasarkan WHO adalah sebagai
berikut :
1. Kista radikuler
Kista radikuler dapat disebut juga kista periapikal, kista periodontal apikal, atau
kista dental. Kista radikuler merupakan kista yang berasal dari sel epitel pada ligamen
periodontal yang terstimulasi oleh keradangan dari gigi non vital (gigi yang telah hilang
vitalitasnya dikarenakan karies yang dalam, restorasi yang terlalu luas, dan trauma. Kista ini
paling sering dijumpai pada rahang 1 . Etiologi umumnya adalah sebuah gigi non vital yang
terinfeksi sehingga memicu nekrosis pulpa. Toksin keluar dari akar gigi kemudian memicu
inflamasi periapikal. Inflamasi ini merangsang sisa epitel malasses yang ditemukan dalam
ligamen periodontal untuk menghasilkan pembentukan granuloma periapikal yang
bisa menimbulkan infeksi 2 . Gambaran klinis kista radikuler, yaitu 3 :
a. Terjadi pada bagian periapikal gigi non)vital, dapat terjadi pada gigi mana saja (60%
pada maksila insisive dan kaninus) dan dapat terjadi pada segala usia
b. Asimptomatik
c. Jarang terjadi rasa sakit
3
merasakan sakit. Terkadang kista dapat berlanjut pada perluasan rahang yang bersangkutan
(Ghom, 2008). Menurut White, 2014, kista residual merupakan kista yang berkembang setelah
proses pengambilan kista apial yang tidak sempurna. Kista yang tersisa ini biasanya merupakan
kista radikuler yang masih tersisa maupun kista radikuler yang berkembang setelah pencabutan
gigi. Gambaran klinis menurut Whites, 2004, gambaran klinis kista residual, yaitu :
a. Kista residual terjadi pada penderita dnegan ri:ayat pencabutan gigi. Biasanya terjadi
pada orang dewasa, berusia di atas 20 tahun.
b. Asimptomatik
c. Dapat terjadi ekspansi pada rahang
d. Dapat menimbulkan sakit apabila terjadi infeksi sekunder
e. Memiliki ukuran yang bervariasi, pada umumnya diameter kista 2 cm
Gambaran radiografik
Pada gambaran radiografi terlihat gambaran radiolusen pada daerah periapikal
gigi yang diekstraksi. Gambaran terlihat berbatas jelas, unilokular dan dikelilingi oleh garis
hiperostotik. akan tetapi apabila kista telah terinfeksi, garis hiperostotik tersebut akan
menghilang. Dalam kasus kronis, gambaran radiolusen akan menunjukkan struktur
terkalsisikasi yang radiopak. Kista ini dapat mengakibatkan displacement pada kanal
mandibula atau gigi yang berdekatan. Kista ini dapat terjadi pada maksila maupun mandibular,
tetapi biasanya terdapat pada maksila 4.
3. Kista Dentigerous
Kista dentigerous atau yang disebut juga kista folikular, adalah kista yang
terbentuk mengelilingi mahkota dari gigi yang tidak erupsi. Kista ini mulai ketika cairan
berakumulasi pada lapisan dari reduced enamel epithelium atau diantara epitel dan mahkota
4
dari gigi yang tidak erupsi. Kista erupsi merupakan counterpart jaringan lunak dari kista
dentigerous 1 .
Menurut Ghom, 2008, gambaran klinis dari kista dentigerous, yaitu :
a. Dapat ditemukan pada anak)anak, biasanya dapat ditemukan juga pada remaja, dan
tingkat insiden tertinggi ditemukan pada orang dewasa berusia 30 tahun.
b. Tidak ada batasan jenis kelamin pada faktor tingkat insiden
c. Banyak dari kasus penderita kista dentigerous pertama kali diketahui melalui foto
radiografi dengan ditemukannya dislokasi atau bahkan hilangnya gigi geligi
d. Biasanya ditemukan pada molar ketiga mandibula dan kaninus maksila
e. Asimptomatik
f. Palpasi keras
g. Pada ukuran kista yang cukup besar, dapat menyebabkan asimetris pada wajah
Kista ini merupakan kista kedua paling sering dijumpai pada rahang. Kista ini berkembang
pada sekitar mahkota dari gigi yang tidak erupsi atau supernumerary 1 .
Gambaran radiografik mempunyai korteks yang well-defined dengan outline yang sirkuler atau
melengkung. apabila terjadi infeksi, korteks dapat menghilang 1 . Struktur internal
8spek internal seluruhnya radiolusen kecuali mahkota dari gigi yang terlibat 1 .
Gambar 3. Kista dentigerous pada molar ketiga mandibular yang belum erupsi (Kiri) dan kista dentigerous yang
meresorbsi akar moler ke dua mandibula (Kanan) (White 2014)
5
lateral permukaan dari gigi vital pada kaninus atau premolar mandibula dan pada lateral
insisive maksila 2 . Menurut White, 2014, gambaran klinis dari kista lateral periodontal adalah
sebagai berikut :
a. Tidak ada predileksi jenis kelamin pada penderita kista lateral periodontal
b. Rata-rata terjadi pada usia 50 tahun
c. Besar diameter kista kurang dari 1 cm
d. Apabila terjadi infeksi sekunder, akan timbul periodontal lateral abses
Gambaran radiofrafik kista ini terlihat sebagai bentukan unilokular raduolusen yang terbentuk
dari celah ligamen periodontal. Kista terlihat berbatas jelas radiopak dan terkadang terlihat
sklerotik. Kista ini tidak menyebabkan resorbsi akar. Beberapa kista lateral periodontal
berbentuk unilokuler dan disebut kista odontogenik botrioid, botrioid berarti berbentuk seperti
sekumpulan anggur. Kista unilokuler ini kemungkinan dapat didiagnosa sebagai keratocyst
atau ameloblastoma (diffeerential diagnosis )5.
6
rasa nyeri dan bengkak. Hal ini terkadang menyebabkan perluasan pada tulang yang dapat
memicu terjadinya fraktur patologis. Gigi-gigi dapat mengalami displacement . Pada aspirasi,
terdapat bahan creamy tebal tidak berbau 4 .
Gambaran Radiografik
Tidak seperti kista lainnya, odontogenic keratocyst terlihat radiolusen
berhubugan dengan gigi baik dalam perikoronal, interadikular, atau periapikal, atau
berhubungan dengan gigi yang hilang. Pada umumnya terletak pada molar daerah ramus pada
mandibula. Secara radiografi kista ini terlihat radiolusen sebagai bulatan atau bentukan oval
uniokular atau multilokular 4 .
Secara radiografis kista ini memiliki garis pembatas yang well-defined dan sklerotik. Hal ini
dapat terlihat disekitar gambaran radiolusen jika lesi belum terinfeksi 4. Diferensial diagnosis
dari kista ini adalah kista radikuler, kista dentigerous, kista residual, dan ameloblastoma
(Ghom, 2008)
B. KISTA NON-ODONTOGENIK
7
halangan, sensasi terbakar dari alae, distorsi lubang hidung, dan rasa penuh pada bibir atas.
Jika terinfeksi, maka akan masuk ke rongga hidung. Kista ini biasanya unilateral, tetapi lesi
bilateral juga dapat terjadi. Usia deteksi berkisar dari 12 sampai 75 tahun, dengan usia rata-
rata 44 tahun. Sekitar 75% dari lesi ini terjadi pada wanita 1.
Gambaran radiografis
Kista nasolabial adalah lesi jaringan lunak yang terletak berdekatan dengan
proses alveolar atas apeks dari gigi insisif. Karena kista ini adalah lesi jaringan lunak, gambaran
radiografi biasa mungkin tidak menunjukkan perubahan terdeteksi. Investigasi dapat mencakup
baik dengan menggunakan CT atau Magnetic Resonance Imaging (MRI), yang keduanya dapat
memberikan gambar yang lebih halus 1 .
8
berdekatan. Kista ini juga dapat menyerupai furunkel hidung jika mendorong ke atas ke lantai
rongga hidung . Sebuah ekstravasasi kista mukosa besar atau saliva adenoma kistik juga harus
dipertimbangkan dalam diagnosis dferensial dari suatu kista nasolabial yang tidak terinfeksi 1
.
Pengobatan
Kista nasolabial sebaiknya diambil melalui pendekatan intraoral. Kista ini tidak cenderung
berulang 1 .
9
Gambaran Radiografik
Lokasi
Kebanyakan kista duktus nasopalatinus ditemukan di foramen nasopalatinal
atau kanal nasopalatinal. Namun, jika kista ini meluas ke posterior melibatkan palatum keras,
yang sering disebut sebagai kista palatal median. Jika berkembang ke anterior antara gigi
insisivus tengah, menghancurkan atau memperluas lempeng labial tulang dan menyebabkan
gigi menyimpang, kadang-kadang disebut sebagai kista rahang atas anterior median. Kista ini
tidak selalu diposisikan secara simetris 1.
Bentuk dan periferal
Bagian periferal dari kista biasanya didefinisikan dengan baik dan bentuknya
corticated dan melingkar atau oval. Bayangan tulang belakang hidung kadang-kadang
ditumpangkan pada kista , memberikan bentuk hati.
Struktur internal
Kebanyakan kista duktus nasopalatinus benar-benar radiolusen. Beberapa kista
langka mungkin memiliki kalsifikasi dystrophic internal , yang mungkin muncul sebagai tidak
jelas, amorf, dan radioopasitasnya tersebar.
10
pemeriksaan klinis harus mengungkapkan sifat ekspansi, sifat dari kista dan perubahan lain
yang terjadi dengan ruang menduduki lesi, seperti perpindahan gigi. Pandangan lateral rahang
atas anterior, dengan film oklusal dilakukan di luar mulut dan pipi, juga dapat membantu dalam
membuat diagnosis banding, seperti yang biasa dilakukan oleh gambaran cross-sectional
(standar) oklusal. Apabila masih ada keraguan, perbanding an dengan gambar sebelumnya
mungkin berguna, atau aspirasi dapat dicoba, atau gambar lain dapat dilakukan dalam 6 bulan
ke I tahun untuk menilai adanya perubahan dalam ukuran. Kista radikuler atau granuloma yang
terkait dengan gigi insisivus sentralis mirip dalam tampilannya kista nasopalatinal asimetris.
Ada atau tidak adanya lamina dura dan pembesaran dari ruang ligamen periodontal di sekitar
puncak gigi insisivus sentralis mengindikasikan lesi in#lamasi. Sebuah tes vitalitas gigi
insisivus sentralis mungkin berguna. Pandangan periapikal kedua diambil pada angulasi
horisontal yang berbeda harus menunjukkan posisi berubah citra saluran kista nasopalatine,
sedangkan kista radikuler harus tetap berpusat tentang puncak gigi insisivus1 .
Pengobatan
Pengobatan yang tepat untuk kista nasopalatinus adalah enukleasi dari palatal
untuk menghindari saraf nasopalatinal.
3. Kista Dermoid
Kista dermoid adalah bentuk kistik teratoma yang dianggap berasal dari sel-sel
embrio terperangkap yang totipotensial. Kista yang dihasilkan dilapisi dengan epidermis dan
pelengkap kulit dan diisi dengan keratin atau materi sebaceous (dan dalam kasus yang jarang
dengan tulang, gigi, otot, atau rambut, dalam hal ini mereka disebut benar teratoma)1 .
Gambaran klinis
Kista dermoid dapat berkembang pada jaringan lunak pada setiap saat sejak
lahir, tetapi kista ini biasanya terlihat secara klinis antara 12 dan 25 tahun dengan proporsi yang
sama antara pria dan wanita. Pembengkakan, yang lambat dan menyakitkan, dapat tumbuh
sampai beberapa sentimeter dengan diameter, dan ketika berada di leher atau lidah, dapat
mengga nggu pernapasan, berbicara, dan cara makan. Tergantung pada seberapa dalam kista
diposisikan di leher, kista ini dapat merusak daerah submental. Pada palpasi kista ini mungkin
berfluktuasi atau pucat, menurut isinya. karena kista ini biasanya berada di garis tengah,
mereka tidak mempengaruhi gigi.
Gambaran radiografi
Karena kista dermoid adalah kista jaringan lunak, diagnostik terbaik dicapai
dengan menggunakan CT atau MRI. Kista dermoid adalah anomali perkembangan langka yang
11
mungkin terjadi di mana saja pada tubuh. Sekitar 10% atau lebih sedikit muncul di kepala dan
leher, dan hanya 1% hingga 2% yang berkembang di rongga mulut. Dari jumlah tersebut,
sekitar 15% terjadi di dasar mulut dan lidah. 1okasinya dapat berada di garis tengah maupuun
lateral.
Bentuk &an periferal
Pinggiran lesi biasanya didefinisikan dengan baik oleh lebih jaringan lunak
radiopak kista ini dibandingkan dengan sekitar jaringan lunak, seperti yang terlihat dalam
Struktur lnternal CT scan.
Struktur internal
Kista dermoid jarang memiliki struktur internal yang termineralisasi ketika
terjadi di rongga mulut, oleh karena itu mereka radiolusen pada radiografi konvensional.
namun, CT scan pada daerah tersebut dapat mengungkapkan penampilan multilokular jaringan
lunak. Jika gigi atau tulang terbentuk pada kista, gambar radiopak terlihat secara jelas pada
pemeriksaan radiografik.
Diferensial Diagnosis
Lesi yang secara klinis mirip dengan kista dermoid adalah ranula (penyumbat
saluran Wharton, baik secara unilateral maupun multilateral, kista saluran tiroglosus, kista
hygroma, kista branchial cleft, selulitis, tumor (lipoma dan liposarcoma) dan massa lemak
normal di daerah submental 1 .
Manajemen
Kista dermoid tidak akan muncul kembali setelah diambil.
b. Tipe retensi
Tipe retensi terjadi karena adanya penyumbatan ductus glandula salivarius, dan tipe
iini banyak terjadi pada glandula salivarius mayor. Apabila mucocele terjadi pada
dasar mulut makada disebut dengan ranula6. Dsebut demikian karena memiliki
bentuk yang menyerupai kodok.
13
superfisial dan mucocele dalam. Mucocele superfisial berwarna kebiruan sedangkan mucocele
yang dalam memiliki warna yang sama dengan warna epitel disekitarnya6.
menurut Singh, 2015, Lokasi mucocele yang paling sering, yaitu :
a) Bibir bawah
b) Mukosa bukal
c) Dasar mulut
d) Lidah
e) Bibir ats
f) Palatum keras
g) Area retromolar
Gambar 10. Lesi Mucocele pada bibir bawah (Singh, dkk, 2015)
Diferensial diagnosis ditetapkan tergantung dari lokasi keberadaan lesi, seperti pada bibir
bawah, pada bibir bawah terdiri daroi jaringan lemak, pembuluh darah, nervus, jaringan ikat
dan glandula saliva. Oleh karena itu pathosis dari jaringan tersebutsangatlah dimungkinkan.
Berikut ini adalah Tabel diferensial diagnosis mucocele.
14
6 Limfangioma bibir KOngenital
Pada aspirasi terdapat cairan limfe
7 Kista Superfisial Banayk ditemukan pada bayi
Berwarna putih
Pada pemeriksaan radiografis terdapat resorbsi tulang
8 Ranula Hanya terdapat pada dasar mulut
9 Karsinoma epidermoid Jarang terdapat pada bibir bawah
tingkat rendah Lesinya maligna /ganas
Perawatan Mucocele
Tindakan bedah konvensional merupakan metode yang digunakan untuk
merawat mucocele. Pilihan perawatan yang lain, meliputi : bedah cryo, ablasi laser CO2,
injeksi kortikosteroid intralesi, marsupialisasi, dan pada mucocele yang kecil dilakukan
katerisasielektro dan dihilangkan bersama dengan glandula saliva minor yang terlibat,
sedangkan pada mucocele yang besar dilakukan marsupialisasi. Kateter lakrimal dapat dipakai
untuk melebarkan ductus glandula untuk menghilangkan sumbatan, pada kasus mucocele tipe
retensi.
Gambar 11. Tindakan penghilangan mucocele dengan bedah konvensional dan penjahitan pasca bedah
(Singh,dkk, 2015)
15
relaps dan komplikasi. Prognosis lesi baik, Dan hingga literature saat ini, tidak ada yang
menyebutkan timbulnya keganasan dari lesi mucocele 6,7.
2. RANULA
Ranula adalah bentuk kista akibat obstruksi glandula saliva mayor yang terdapat
pada dasar mulut yang akan berakibat pembengkakan di bawah lidah yang berwarna kebiru-
biruan. Ranula merupakan fenomena retensi duktus pada glandula sublingualis (yang kadang-
kadang menunjukkan adanya lapisan epitel), dengan gambaran khas pada dasar mulut 8.
Mukosa di atasnya terlihat tipis, meregang, dan hampir transparan. Ukuran ranula dapat
membesar, dan apabila tidak segera diatasi akan memberikan dampak yang buruk, karena
pembengkakannya dapat mengganggu fungsi bicara, mengunyah, menelan, dan bernafas dan
kadang menyebabkan terangkatnya lidah 9.
Etiologi ranula belum diketahui secara pasti namun diduga ranula terjadi akibat
trauma, obstruksi glandula saliva, dan aneurisma duktus glandula saliva. Ranula juga dikatakan
berkaitan dengan penyakit glandula saliva dan anomali kongenital duktus saliva yang tidak
terbuka.Banyak teori yang diajukan untuk mengetahui asalnya. Hippocrates dan Celcius
mengatakan bahwa kista berasal dari proses inflamasi yang sederhana. Pare mensugestikan
berasal dari glandula pituitary yang menurun dari otak ke lidah. Ada juga yang mensugestikan
bahwa kista tersebut berasal dari degenerasi myxomatous glandula saliva. Teori yang terakhir
mengatakan bahwa kista terjadi karena Obstruksi ductus saliva dengan pembentukan kista atau
ekstravasasi (kebocoran) saliva pada jaringan yang disebabkan karena trauma. Obstruksi
ductus tersebut dapat disebabkan karena calculus atau infeksi 10.
16
Trauma dari tindakan bedah yang dilakukan untuk mengeksisi ranula
menimbulkan jaringan parut atau disebut juga jaringan fibrosa pada permukaan superior ranula,
sehingga apabila kambuh kembali ranula akan tumbuh dan berpenetrasi ke otot milohioideus
dan membentuk ranula servikal. Sekurang-kurangnya 45% dari ranula servikal terjadi setelah
eksisi ranula superfisial.
Secara klinis ranula memiliki gambaran sebagai adanya benjolan simple pada
dasar mulut, mendorong lidah ke atas, umumnya unilateral, jarang bilateral, benjolan
berdinding tipis transparan, berwarna biru kemerah-merahan, benjolan tumbuh lambat,
gambaran seperti perut katak, pembengkakan selain intra oral dapat juga ekstra oral, bila
benjolan membesar dapat mengganggu bicara, makan maupun menelan, benjolan oleh karena
suatu sebab dapat pecah sendiri, cairan keluar, mengempes kemudian timbul atau kambuh
kembali, dan pada simple ranula, benjolan terletak superfisial sedangkan plunging ranula
benjolan terletak lebih dalam, bisa menyebar ke dasar otot mylohyoid, daerah submandibular,
ke leher bahkan ke mediastinum 8.
Ranula tidak diikuti rasa sakit. Keluhan yang paling sering diungkapkan pasien
adalah mulutnya terasa penuh dan lidah terangkat ke atas. Apabila tidak segera diatasi akan
terus mengganggu fungsi bicara, mengunyah, menelan, dan bernafas. Ranula yang berukuran
17
besar akan menekan duktus glandula saliva dan menyebabkan aliran saliva menjadi terganggu.
Akibatnya muncul gejala obstruksi glandula saliva seperti sakit saat makan atau sakit pada saat
glandula saliva terangsang untuk mengeluarkan saliva dan akhirnya glandula saliva
membengkak
Gambar 12 . Ranula superfisial / Simpel Ranula (Shehata, 2008) Gambar 13. Plungging Ranula (Shehata, 2008)
Penanganan Ranula
Penanganan bedah dapat menjadi sangat sulit dan berbahaya Sebagian besar literatur
sepakat bahwa pengambilan kelenjar sublingual melalui mulut tanpa pendekatan servikal
merupakan penanganan awal. TIndakan ini akan menghilangkan sumber sekresi sehingga akan
mencegah rekurensi dan akan menghindarkan dari kesulitan diseksi leher. Studi yang dilakukan
oleh Zhao et al. (2005) menunjukkan hanya 1% lesi yang mengalami rekurensi bila dilakukan
pengambilan kelenjar sublingual dibandingkan 58% kekambuhan bila ranula dieksisi saja dan
67% bila hanya dilakukan marsupialisasi12.
Terapi pada ranula telah diteliti oleh Catone, dengan kesimpulan bahwa terapi
definitive adalah dengan pengambilan kelenjar sublingual. Beberapa studi menyimpulkan
angka kesembuhan bila dilakukan eksisi kelenjar sublingual dapat mencapai 100%,
dibandingkan hasil pada marsupialisasi yang hanya mencapai 63% kesembuhan13.
Pendekatan intraoral dilakukan dengan insisi sepanjang aksis kelenjar lateral dari
pembukaan duktus. Duktus submandibula diidentifikasi dengan diseksi atau kanulasi
menggunakan probe lakrimal. Kemudian, dilakukan diseksi kelenjar bidang subcapsuler
dengan sangat memperhatikan hemostasis. Pada sisi posterior, dapat teridentifikasi saraf
lingualis yang berjalan menyilang duktus dan harus dipertahankan. Kelenjar sublingual
didiseksi dari sisi anterior dan eksisi final di sisi posterior setelah dapat memisahkan saraf
lingual13.
18
Gambar 14 . Teknik Marsupialisasi ranula (Fragiskos, 2007)
Menurut Y.F. Zhao dkk indikasi dilakukan operasi pada kasus plunging ranula
adalah adanya hambatan saluran napas, gangguan fungsi lidah untuk berbicara dan menelan,
gangguan fungsi kelenjar submandibula, ranula yang terinfeksi, serta lesi asimptomatik yang
diambil untuk mencegah terjadinya tersebut13.
Terapi yang terbaik untuk plunging ranula adalah dengan melakukan eksisi
kelenjar sublingualis baik melalui insisi intraoral maupun servikal. Insisi intra oral lebih
disarankan karena lebih tidak invasif. Pada beberapa jurnal terdapat beberapa cara terapi untuk
ranula, yaitu : cryosurgery, marsupialisasi dengan atau tanpa kauterisasi pada tepi lesi, eksisi dari
ekstra oral dengan mengikutsertakan kelenjar sublingualis atau kelenjar submandibula, eksisi
intraoral kelenjar sublingualis dan drainase lesi tersebut. Dari beberapa jenis terapi ranula
tersebut, beberapa pasien akan mengalami kekambuhan, bahkan dapat timbul lebih besar. Eksisi
ranula dengan kelenjar sublingual merupakan terapi yang paling tepat dengan tingkat
kekambuhan rendah12,13,14 .
19
BAB III
KESIMPULAN
1. Menurut WHO, klasifikasi kista odontogen antara lain adalah kista radikuler, kista
residual radikuler, kista dentigerous, kista lateral periodontal, dan odontogenic
keratocyst.
2. Kista radikuler merupakan ki sktear yataoncgy sbte.rasal dari sel epite l pada ligamen
periodontal yang terstimulasi oleh peradangan dari gigi non vital (gigi yang telah hilang
vitalitasnya dikarenakan karies yang dalam, restorasi yang terlalu luas, dan trauma).
Kista ini paling sering dijum pai pada rahang pada umumnya. Kista radikuler pada
gambaran radiografi dapat ditemukan pada bagian apeks gigi non vital yang berbentuk
bulat atau oval tampak radiolusen dengan ukuran yang bervariasi, pada umumnya
berbatas radiopak.
3. Kista residual merupakan kista yang berkembang setelah proses pengambilan kista
awal yang tidak sempurna. Kista yang tersisa ini biasanya merupakan kista radikuler
yang masih tersisa maupun kista radikuler yang berkembang setelah pencabutan gigi.
Pada gambaran radiografi terlihat gambaran radiolusen pada daerah periapikal gigi
yang diekstraksi. Gambaran terlihat berbatas jelas, unilokular dan dikelilingi oleh garis
hiperostotik. Kista ini dapat mengakibatkan displacement pada kanal mandibula atau
gigi yang berdekatan.
4. Kista dentigerous merupakan kista odontogenik yang terjadi akibat pembentukan cairan
antara lapisan sisa epitel enamel luar dan dalam atau antara lapisan sisa epitel enamel
organ dan mahkota gigi yang telah terbentuk sempurna yang belum erupsi. ada
gambaran radiografisnya, kista dentigerous ini unilokuler, berbatas jelas berbentuk
sirkular dengan bagian dalam terlihat radiolusen dan batas radiopak mengelilingi
mahkota gigi impaksi yang terlibat.
5. Kista lateral periodontal termasuk kista odontogen yang terjadi dari celah membran
periodontal dari gigi vital. Kista ini biasanya terlihat sebagai bentukan unilokular
raduolusen yang terbentuk dari celah ligamen periodontal. Kista terlihat berbatas jelas
radiopak dan terkadang terlihat sklerotik.
20
6. Odontogenic keratocyst termasuk dalam developmental odontogenic cyst yang berasal
dari sisa jaringan dental lamina. Kista ini menunjukkan bentuk yang berbeda karena
memiliki karakteristik berupa keratinisasi dan lapisan kista berbentuk bud yang
menjadikannya memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi. odontogenic keratocyst
terlihat radiolusen berhubugan dengan gigi baik dalam perikoronal, inter)radikular, atau
periapikal, atau berhubungan dengan gigi yang hilang. Sementara kista non
odontogenik diklasifikasikan sebagai kista duktus nasopalatinus, kista nasolabial, dan
kista dermoid.
7. Kista nasolabialis adalah kista nonnodontogenik yang berasal dari sisa-sisa epitel di
tempat penyatuan prosesus nasalis lateralis dan prosesus maksilaris yang muncul pada
lipatan nasolabial dibawah alae nasi. Untuk mendeteksinya terlebih dahulu diinjeksikan
bahan kontras kedalamnya, sehingga dapat terlihat gambaran radiografisnya.
8. Kista duktus nasopalatinus adalah kista nonodontogenik yang berasal dari sisa-sisa
epitel duktus nasopalatin us dalam kanalis insisivus yang muncul di antara akar-akar
gigi insisivus sentralis atas. ;ambaran radiografinya adalah radiolusen berbatas tegas,
bentuknya bervariasi tergantung ada atau tidaknya gigi. Untuk membedakannya dengan
Foramen insisivus dapat dilihat dari diameter radiolusen di daerah tersebut. 9ika
diameternya kurang dari 6 mm dan tidak ada simtom klinik, kemungkinan ini
merupakan foramen insisivus tetapi kalau lebih besar dari 6 mm dan disertai sindrom
klinik, bisa diduga adanya kista duktus nasopalatinus.
9. Kista dermoid adalah bentuk kistik teratoma yang dianggap berasal dari sel)sel embrio
terperangkap yang totipotensial. Kista yang dihasilkan dilapisi dengan epidermis dan
pelengkap kulit dan diisi dengan keratin atau materid sebaceous. Karena kista ini
biasanya berada di garis tengah, mereka tidak mempengaruhi gigi.
10. Mucocele juga dikenal dengan sebutan fenomena ekstravasasi mukus, dan merupakan
lesi glandula saliva minor yangs erring terjadi. Dikaraktristikan sebagai lesi yang
tunggal atau multiple, sferis, berbentuk nodul yang memiliki fluktuasi, yang biasanya
asimtomatis.
11. Ranula merupakan sebuah benjolan yang terjadi karena adanya obstruksi glandula
saliva mayor yang akan mengakibatkan pembengkakan di bawah lidah dan berwarna
kebiru-biruan. Ranula yang terbagi menjadi ranula sublingual yang terdapat di bawah
lidah dan plunging ranula yang meluas hingga ke leher. Etiologi ranula belum diketahui
secara pasti namun terjadinya trauma merupakan salah satu faktor penyebab dan
21
ditambah dengan faktor predisposisi lainnya. Ranula sublingualis dapat ditangani yaitu
dengan eksisi dan marsupialisasi pada benjolan.
DAFTAR PUSTAKA
1. White, Stuart C, Oral Radiology Principles and Interpretation 7th Ed, US, Mosby,
2014,p.356-362
2. Whaites, E, Essentials of Dental Radiography and Radiology. Philadelphia, Churchill
Livingstone, 2003, p. 295-6
3. Rajendran, Shafer’s Textbook of Oral Pathology, India, Elsevier, 2009: p.268
4. Ghom, Anil , G, Textbook of Oral Medicine ,New Delhi Jaypee Brothers Medical
Piblishers, Elsevier, 2008, : p.493-7
5. Bailoor, Durgesh M., Nagesh K.S., Fundamentals of Oral Medicines and Radiology,
India, Jaypee, 2005, p.174
6. Shingh, S., Indra Deo Singh, Abhijeet A, Malika Kishore, Prakash Chandra J., Asad I.,
Mocous Extravasation Cyst: Acase Series and Reviews of Literature, Int J Dent Med Res
2015 (1):p.76-79
7. Badjatia, R.G., Badjatia, S., Kulkarni, V.K., Sharma, D.S., Oral Mucocele: Case Report,
NDJSR , 2014 (2) :Vol. 1, p. 13-16
8. Shehata EA, Hussain H. Surgical treatment of ranula : comparison between
marsupialization and sublingual sialadenectomy in pediatric patients. Ann Pediatr Surg
2008 (4): 89-93
9. Manimaran JS, Kannan, Mabel C. Ranula a case report. J Indian Acad Dent Spec
2010;1(3):52-3
10. Gaurav V. Ranula: a review of literature. Arch Craniorofac Sci 2013;1(3):44-9
11. Paolo BR, Da Mosto Mari C. Submandibular space infection: a potentially lethal
infection. Int J Infect Dis 2009 (13): 327-33.
12. Shear M, Speight P. Cysts of the oral and maxillofacial regions 4th ed. Blackwell
Munksgaard; 2007. h.176-7.
13. Ord RA, Pazoki AE. Salivary gland disease and tumour. In: Milloro M, et al. editors.
Peterson’s principles of oral and maxillofacial surgery 2nd ed. London: BcDeeckers; 2004.
Hal 676-7.
22
14. Woo JS, Hwang SJ, Lee HM, “Recurrent plunging ranula treated with OK-432,” European
Archives of Oto-Rhino-Laryngology, 2003; 260(4): 226–8.
15. Zhao YF, Jia Y, Chen XM, Zhang MF. “Clinical review of 580 ranulas,” Oral Surgery,
Oral Medicine, Oral Pathology, Oral Radiology and Endodontology, 2004; 98(3):, 281–7.
16. Fragiskos FD. Surgical treatment of salivary gland lesions. In: Fragiskos FD, ed. Oral
surgery. Heidelberg: Springers; 2007. Hal 334-5.
23