FRAKTUR MAKSILA
Oleh :
Pembimbing :
dr. Dewi Haryanti K, SpBP
A. Pendahuluan
Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.
Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu
tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula.
Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak ketimbang tulang lainnya,
yaitu masing-masing sebesar 29,85%, disusul fraktur zigoma 27,64% dan
fraktur nasal 12,66%.
Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktor yang
datngnya dari luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan
akibat olah raga dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tujuan utama
perawatan fraktur maksilofasial adalah rehabilitasi penderita secara maksimal
yaitu penyembuhan tulang yang cepat, pengembalian fungsi okuler, fungsi
pengunyah, fungsi hidung, perbaikan fungsi bicara, mencapai susunan wajah
dan gigi-geligi yang memenuhi estetis serta memperbaiki oklusi dan
mengurangi rasa sakitakibat adanya mobilitas segmen tulang.Pada fraktur
maksila juga dapat muncul berbagai komplikasi yang cukup berat, dimana
apabila tidak ditangani dengan baik dapat mengakibatkan kecacatan dan
kematian.
Trauma maxillofacial cukup sering terjadi. Hampir semua dokter baik itu
dokter umum maupun dokter spesialis bedah mendapatkan pasien trauma wajah
selama praktiknya. Dokter bedah plastik yang memiliki keahlian khusus dalam
anatomi wajah, latar belakang estetika, dan keahlian dalam penyembuhan luka
sering kali mendapatkan rujukan untuk menangani pasien trauma wajah.
B. Dasar Anatomi
Rahang atas memiliki beberapa peran. Tulang ini tempat gigi
atas,membentuk atap rongga mulut, membentuk lantai dan memberikan
kontribusi kedinding lateral dan atap rongga hidung, membentuk sinus
maksilaris, danmemberikan kontribusi ke dinding inferior dan dasar dari orbital.
Dua tulang maksilaris yang bergabung di garis tengah membentuk sepertiga
tengah wajah.
Maksila dirancang untuk menyerap gaya yang timbul saat mengunyah dan
menyediakan buttress vertikal oklusi gigi. Sesuai dengan karakter buttress,
beban didistribusikan menuju ke kerangka kraniofasial secara keseluruhan.
Gaya tersebut didistribusikan melalui arkus palatum dan artikulasi maksila
melawan sutura frontomaxilary, zygomaticomaxilary, dan ethmoidomaxilary.
Fraktur dapat bervariasi mulai dari fraktur sederhana prosesus alveolar maksila
sampai dengan fraktur comminuted pada keseluruhan area wajah bagian tengah.
Pola dan distribusi fraktur bergantung pada besar dan arah gaya (dari arah
frontal atau lateral). Kontraksi muskular memegang peranan yang kurang
penting dalam displacement maksila dibandingkan dengan yang terlibat dalam
fraktur mandibula. Ketika fraktur maksila dihubungkan dengan fraktur zygoma,
otot masseter memegang peranan penting dalam displacement segmen fraktur
karena perlekatannya yang kuat pada badan zygoma. Pada fraktur maksila atas,
system nasolakrimal dapat pula terlibat. Kanal nasolakrimal sering kali
terpotong oleh garis fraktur.2
C. Epidemiologi dan Mekanisme Terjadinya Fraktur Maksila
Fraktur pada midface seringkali terjadi akibat kecelakan kendaraan
bermotor, terjatuh, kekerasan, dan akibat trauma benda tumpul lainnya. Untuk
fraktur maksila sendiri, kejadiannya lebih rendah dibandingkan dengan fraktur
midface lainnya..
Penyebab trauma maksilo fasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu
lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api.
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat
membawa kematiandan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah
usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia
21-30 tahun. Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi
masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang
dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan,
72 % kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan kecelakaan
lalu lintas.
Disamping mekanisme yang disebutkan di atas, osteoporosis ternyata juga
berpengaruh terhadap insiden fraktur maksilofasial termasuk maksila. Hal
tersebut didapatkan dari review retrospektif yang dilakukan pada 59 pasien
fraktur maksilofasial yang berusia 60 tahun ke atas di sebuah trauma centre
antara tahun 1989 dan 2000. Didapat bahwa semakin parah kondisi
osteoporosis, semakin besar kemungkinan jumlah fraktur maksilofasial yang
dialami. Oleh karena itu, benturan yang lebih ringan akibat terjatuh bisa
menimbulkan fraktur maksilofasial multipel sebagaimana yang terjadi pada
kecelakaan kendaraan bermotor jika pasien mengalami osteoporosis yang
parah.
D. Klasifikasi
Berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Rene Le Fort, terdapat tiga
pola fraktur maksila, yaitu Le Fort I, II, dan III.Selain fraktur Le Fort, terdapat
pula fraktur alveolar, danvertikal atau sagital maupun parasagital.
1. Fraktur Le Fort I
2. Frakrur Le Fort II
Pukulan pada maksila atas atau pukulan yang berasal dari arah frontal
menimbulkan fraktur dengan segmen maksilari sentral yang berbentuk
piramida. Karena sutura zygomaticomaxillary dan frontomaxillary
(buttress) mengalami fraktur maka keseluruhan maksila akan bergeser
terhadap basis kranium.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi: Epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral),
edema, dan hematoma subkutan mengarah pada fraktur segmen maksila
ke bawah dan belakang mengakibatkan terjadinya oklusi prematur pada
pergigian posterior.
b. Palpasi: Palpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada sutura
zygomaticomaxillary, mengindikasikan fraktur pada rima orbital
inferior.
c. Manipulasi Digital: Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara
memegang dengan kuat bagian anterior maksila diantara ibu jari dengan
keempat jari lainnya, sedangkan tangan yang satunya menjaga agar
kepala pasien tidak bergerak. Jika maksila digerakkan maka akan
terdengar suara krepitasi jika terjadi fraktur.
d. Maloklusi Gigi: Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi
menunjukkan dugaan kuat ke arah fraktur maksila. Informasi tentang
kondisi gigi terutama pola oklusal gigi sebelumnya akan membantu
diagnosis dengan tanda maloklusi ini. Pada Le Fort III pola oklusal gigi
masih dipertahankan, namun jika maksila berotasi dan bergeser secara
signifikan ke belakang dan bawah akan terjadi maloklusi komplit
dengan kegagalan gigi-gigi untuk kontak satu sama lain.
e. Cerebrospinal Rhinorrhea atau Otorrhea: Cairan serebrospinal dapat
mengalami kebocoran dari fossa kranial tengah atau anterior
(pneumochepalus) yang dapat dilihat pada kanal hidung ataupun telinga.
Fraktur pada fossa kranial tengah atau anterior biasanya terjadi pada
cedera yang parah. Hal tersebut dapat dilihat melalui pemeriksaaan fisik
dan radiografi.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto AP: Walaupun garis patah kadang tidak jelas, dengan
membandingkan sisi kontralateral, bias ditemui diskontinuitas tulang
secara radiologis. Perhatikan pengisian sinus oleh darah yang
menyebabkan pengaburan gambar sinus.
b. CT Scan bisa melihat garis patah yang tidak nampak dalam foto
radiologis biasa. CT Scan 3-dimensi akan menggambarkan bentuk
tulang muka keseluruhan fan lubang tulang yang patah atau melesak
dapat dikenali dengan lebih jelas, dikerjakan atas indikasi khusus. CT
scan pada potongan axial maupun coronal merupakan gold standard
pada pasien dengan kecurigaan fraktur zigoma, untuk mendapatkan pola
fraktur, derajat pergeseran, dan evaluasi jaringan lunak orbital. Secara
spesifik CT scan dapat memperlihatkan keadaan dari midfasial, seperti
nasomaxillary, zygomaticomaxillary, infraorbital, zygomaticofrontal,
zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal.
c. Penilaian radiologis dari foto polos dapat menggunakan foto waters,
caldwel, submentovertek dan lateral. Dari foto waters dapat dilihat
pergeseran pada tepi orbita inferior, maksila, dan zigoma. Foto caldwel
dapat menunjukkan region frontozigomatikus danarkus zigomatikus.
Foto submento vertek menunjukkan arkus zigomatikus.
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada fraktur maksila meliputi penegakan airway, kontrol
pendarahan, penutupan luka pada soft tissue, dan menempatkan segmen tulang
yang fraktur sesuai dengan posisinya melalui fiksasi intermaksilari.
Sekarang ini treatment fraktur Le Fort tidak hanya bertujuan untuk
memperbaiki oklusi sebelum fraktur, tapi juga proyeksi, lebar, dan panjang
wajah serta integritas kavitas nasal, orbita dan kontur soft tissue. Tujuan tersebut
dicapai dengan melakukan CT scan potongan tipis, reduksi terbuka ekstensif
semua fraktur, stabilisasi rigid menggunakan plat dan sekrup, cangkok tulang
apabila terdapat gap akibat hilangnya segmen tulang, dan reposisi selubung soft
tissue .
2. Akses Fiksasi: Akses untuk mencapai rangka wajah dilakukan pada tempat-
tempat tertentu dengan pertimbangan nilai estetika selain kemudahan untuk
mencapainya. Untuk mencapai maksila anterior dilakukan insisi pada sulkus
gingivobuccal, rima infraorbital, lantai orbital, dan maksila atas melalui
blepharoplasty (insisi subsiliari). Daerah zygomaticofrontal dicapai melalui
batas lateral insisi blepharoplasty. Untuk daerah frontal, nasoethmoidal,
orbita lateral, arkus zygomatic dilakukan melalui insisi koronal bila
diperlukan.
3. Reduksi Fraktur: Segmen-segmen fraktur ditempatkan kembali secara
anatomis. Tergantung pada kompleksitas fraktur, stabilisasi awal sering
dilakukan dengan kawat interosseous. CT scan atau visualisasi langsung
pada fraktur membantu menentukan yang mana dari keempat pilar/buttress
yang paling sedikit mengalami fraktur harus direduksi terlebih dahulu
sebagai petunjuk restorasi yang tepat dari panjang wajah. Sedangkan fiksasi
maksilomandibular dilakukan untuk memperbaiki lebar dan proyeksi wajah.
4. Stabilisasi Plat dan Sekrup: Fiksasi dengan plat kecil dan sekrup lebih
disukai. Pada Le Fort I, plat mini ditempatkan pada tiap buttress
nasomaxillary dan zygomaticomaxillary. Pada Le Fort II, fiksasi tambahan
dilakukan pada nasofrontal junction dan rima infraorbital. Pada Le Fort III,
plat mini ditempatkan pada artikulasi zygomaticofrontal untuk stabilisasi.
Plat mini yang menggunakan sekrup berukuran 2 mm dipakai untuk
stabilisasi buttress maksila. Ukuran yang sedemikian kecil dipakai agar plat
tidak terlihat dan teraba. Kompresi seperti pada metode yang dijukan oleh
Adam tidak dilakukan kecuali pada daerah zygomaticofrontal. Sebagai
gantinya maka dipakailah plat mini agar dapat beradaptasi secara pasif
menjadi kontur rangka yang diinginkan. Pengeboran untuk memasang
sekrup dilakukan dengan gurdi bor yang tajam dengan diameter yang tepat.
Sebelumnya sekrup didinginkan untuk menghindari terjadinya nekrosis
dermal tulang serta dilakukan dengan kecepatan pengeboran yang rendah.
Fiksasi maksilomandibular dengan traksi elastis saja dapat dilakukan pada
fraktur Le Fort tanpa mobilitas. Namun, apabila dalam beberapa hari oklusi
tidak membaik, maka dilakukan reduksi terbuka dan fiksasi internal.
5. Cangkok Tulang Primer: Tulang yang rusak parah atau hilang saat fraktur
harus diganti saat rekonstruksi awal. Bila Gap yang terbentuk lebih dari 5
mm maka harus digantikan dengan cangkok tulang. Cangkok tulang diambil
dari kranium karena aksesibilitasnya (terutama jika diakukan insisi koronal),
morbiditas tempat donor diambil minimal, dan memiliki densitas kortikal
tinggi dengan volum yang berlimpah. Pemasangan cangkokan juga
dilakukan dengan plat mini dan sekrup. Penggantian defek dinding antral
lebih dari 1.5 cm bertujuan untuk mencegah prolaps soft tissue dan kelainan
pada kontur pipi.
7. Resuspensi Soft tissue: Pada saat menutup luka, soft tissue yang telah
terpisah dari rangka dibawahnya ditempelkan kembali. Untuk menghindari
dystopia lateral kantal, displacement massa pipi malar ke inferior, dan
kenampakan skleral yang menonjol, dilakukan canthoplexy lateral dan
penempelan kembali massa soft tissue pipi pada rima infraorbita.
8. Fraktur Sagital dan Alveolar Maksila: Pada fraktur ini dapat terjadi rotasi
pada segmen alveolar denta, dan merubah lebar wajah. Sebagian besar terjadi
mendekati garis tengah pada palatum dan keluar di anterior diantara gigi-gigi
kuspid. Fraktur sagital dan juga tuberosity dapat distabilkan setelah fiksasi
maksilomandibular dengan fiksasi sekrup dan plat pada tiap buttress
nasomaksilari dan zygomaticomaxillary.
G. Komplikasi
Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan ekstensif serta
gangguan pada jalan nafas akibat pergeseran fragmen fraktur, edema, dan
pembengkakan soft tissue. Infeksi pada luka maksilari lebih jarang
dibandingkan pada luka fraktur mandibula. Padahal luka terkontaminasi saat
tejadi cedera oleh segmen gigi dan sinus yang juga mengalami fraktur. Infeksi
akibat fraktur yang melewati sinus biasanya tidak akan terjadi kecuali terdapat
obstruksi sebelumnya. Pada Le Fort II dan III, daerah kribiform dapat pula
mengalami fraktur, sehingga terjadi rhinorrhea cairan serebrospinal. Selain itu,
kebutaan juga dapat terjadi akibat pendarahan dalam selubung dural nervus
optikus. Komplikasi akhir dapat berupa kegagalan penyatuan tulang yang
mengalami fraktur, penyatuan yang salah, obstruksi sistem lakrimal,
anestesia/hipoestesia infraorbita, devitalisasi gigi, ketidakseimbangan otot
ekstraokuler, diplopia, dan enoftalmus.Kenampakan wajah juga dapat berubah
(memanjang, retrusi).
H. Prognosis
Fiksasi intermaksilari merupakan treatment paling sederhana dan salah
satu yang paling efektif pada fraktur maksila. Jika teknik ini dapat dilakukan
sesegera mungkin setelah terjadi fraktur, maka akan banyak deformitas wajah
akibat fraktur dapat kita eliminasi. Mandibula yang utuh dalam fiksasi ini dapat
membatasi pergeseran wajah bagian tengah menuju ke bawah dan belakang,
sehingga elongasi dan retrusi wajah dapat dihindari. Sedangkan fraktur yang
baru akan ditangani setelah beberapa minggu kejadian, dimana sudah
mengalami penyembuhan secara parsial, hampir tidak mungkin untuk direduksi
tanpa full open reduction, bahkan kalaupun dilakukan tetap sulit untuk
direduksi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pruitt BA. 2008. Towsend: sabiston textbook of surgery, 18th ed. Saunders
Elsevier.
2. Mullholand MW, Lillemoe KD, Doherty GM, Maier RV, Upchurch GR. 2006.
Greenfield surgery : scientific principles and practice 4th edition. Lippinkot
Williams & Willkins
3. Fraioli Rebecca E, MD,et al. Facial Fractures: Beyond Le Fort. Otolaryngol
Clin N Am. 2008; 41:51-76.
4. Sudjatmiko G. 2011. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi.
Jakarta: Yayasan Khasanah Kebajikan.
5. Sudjatmiko G. 2011. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi.
Jakarta: Yayasan Khasanah Kebajikan.
6. Arosarena Oneida A, MD, et al. Maxillofacial Injuries and Violence Against
Women. Arch Facial Plast Surgery. 2009; 11(1):48-25.
7. Sudjatmiko G. 2011. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi.
Jakarta: Yayasan Khasanah Kebajikan.
8. Werning John W, MD, et al. The Impact of Osteoporosis on Patients With
MaxillofacialTrauma. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2004; 130:353-356#
9. Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
10. Sjamsuhidajat R dan De Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah.2nded. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
11. Cuschieri A, Grace P.A, Darzi A, Borley N, Rowley DI. 2003. Clinical surgery
second ed. Oxford: Blackwell Publishing