Arifin
Divisi Penyakit Tropik Dan Infeksi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNS / RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Abstrak
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh respon
host yang tidak baik terhadap infeksi. Sedangkan syok sepsis adalah bagian dari
sepsis dimana terjadi abnormalitas sirkulasi dan metabolisme seluler. Sepsis dan syok
sepsis adalah keadaan yang masih menjadi masalah di dunia, di mana satu dari empat
orang yang dalam keadaan sepsis akan meninggal. Seperti halnya kasus trauma, infark
miokard akut, atau stroke, identifikasi awal dan penanganan yang sesuai terhadap
sepsis dengan segera setelah terjadinya sepsis akan meningkatkan prognosis dari
pasien. Diperlukan managemen yang komprehensif terhadap pasien sepsis, mulai dari
kontrol infeksi yang mencakup pemberian antibiotik dan pengendalian sumber infeksi
juga stabilisasi hemodinamik yang mencakup resusitasi cairan dan pemberian obat
obatan vasoaktif.
Definisi
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh
respon host yang tidak baik terhadap infeksi. Sedangkan syok sepsis adalah bagian
dari sepsis dimana terjadi abnormalitas sirkulasi dan metabolisme seluler yang
ditandai adanya hipotensi meskipun resusitasi cairan sudah cukup atau masih
membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan MAP ≥ 65 mmHg, atau kadar laktat
darah > 2 mmol/ L. Sepsis dan syok sepsis adalah keadaan yang masih menjadi
masalah di dunia, di mana satu dari empat orang yang dalam keadaan sepsis akan
meninggal. Identifikasi keadaan sepsis dini dan penatalaksanaan yang cepat dapat
memperbaiki prognosis pasien (Rhodes et al 2017).
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan bahwa
sepsis termasuk sepuluh penyebab utama kematian secara keseluruhan di Amerika
Serikat. Sepsis berat menjadi penyebab paling utama kematian non koroner di ICU.
Tingkat kematian sepsis berat mencapai 25% sampai 30% sedangkan syok septik
hingga 40% sampai 70% (Artero et al, 2012).
1
a. Sepsis
Adapun kriteria klinis pasien sepsis dapat diketahui dengan menggunakan
skor Sequential (Sepsis-Related) Organ Failure Assessment (SOFA). Skor SOFA
dirasa lebih mudah untuk dimengerti dan sederhana. Apabila Skor SOFA ≥ 2
menunjukkan adanya disfungsi organ. Berikut adalah skor SOFA :
(Singer et al 2016)
2
pertimbangan untuk merujuk ke tempat perawatan kritis atau meningkatkan
pengawasan. Jika qSOFA positif selanjutnya akan dilakukan skoring dengan
metode SOFA (Singer et al 2016).
b. Syok sepsis
Pasien dengan syok sepsis dapat diidentifikasi dengan adanya klinis sepsis
dengan hipotensi menetap yang membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan
MAP ≥65 mmHg dan level serum laktat >2 mmol/L (18 mg/dL) meskipun volume
resusitasi memadai. Dengan kriteria ini, resiko kematian di rumah sakit lebih dari
40% (Singer et al 2016).
Identifikasi kriteria klinis pasien dengan sepsis dan syok sepsis (Singer et al
2016) :
(Singer et al 2016)
3
2. Penatalaksanaan Sepsis
Penatalaksanaan pasien sepsis secara garis besar ada 2 yaitu kontrol infeksi dan
stabilisasi hemodimaik. Kontrol infeksi dengan cara pemberian antibiotik yang adekuat
dan pengendalian sumber infeksi (source control). Sedangkan stabilisasi hemodinamik
dilakukan dengan cara resusitasi cairan dan pemberian obat obatan vasoaktif (Vincent JL,
2011).
4
glycocalyx. Lapisan glycocalyx ini terletak pada sel endotel dan berfungsi menyaring protein
plasma yang dapat berpindah ke sel endotel. Selain itu, glycocalyx berfungsi menghalangi
leukosit dan agregasi platelet. Glycocalyx dapat rusak akibat kondisi sepsis. Ketika lapisan ini
rusak, maka saringan protein plasma pun juga rusak, dan terjadi “kebocoran” plasma ke sel
endotel yang kemudian akan terus ke jaringan interstitial, dan dapat menyebabkan edema
interstitial (Myburgh dan Mythen, 2013).
Cairan resusitasi dapat dibagi menjadi cairan koloid dan kristaloid. Cairan koloid
berarti suspensi dari molekul yang terkandung dalam cairan, memiliki berat molekul lebih
besar, dan tidak dapat menembus membran semipermeabel pembuluh darah kapiler.
Sedangkan cairan kristaloid terdiri dari ion yang dapat menembus membran semipermeabel
pembuluh darah kapiler, dan mengandung natrium dan klorida. Masing-masing cairan
resusitasi memiliki keuntungan atau kelebihan masing-masing untuk mencapai tujuan
resusitasi yang dibutuhkan (Marik dan Bellomo, 2013).
Cairan koloid lebih efektif dalam meningkatkan volume intravaskular, karena cairan
koloid tidak dapat menembus membran semipermeabel pembuluh darah kapiler, sehingga
akan tetap ada dalam pembuluh darah. Sedangkan cairan kristaloid jauh lebih murah
dibandingkan dengan cairan koloid, serta memiliki efek yang sama. Namun, penggunaan
cairan kristaloid terlalu lama dapat menyebabkan edema pada jaringan interstitial,
dikarenakan kandungan cairan kristaloid yang dapat menembus membran semipermeabel,
sehingga terjadi kemungkinan cairan akan tersimpan dalam jaringan interstitial (Marik dan
Bellomo, 2013).
Guideline Surviving Sepsis Campaign terbaru, merekomendasikan pemberian
kristaloid 30 cc/KgBB dalam waktu 3 jam pertama. Selama pemberian cairan harus selalu
dilakukan evaluasi kecukupan cairan dalam tubuh. Jika sudah mencapai 30 cc/KgBB dalam 3
jam pasien masih membutuhkan cairan lebih banyak maka dianjurkan penggunaan albumin
konsentrasi rendah (4-5%). Sedangkan bila belum mencapai 30 cc/KgBB sudah didapatkan
tanda tanda overload cairan misalnya sesak nafas, ronki pada pemeriksaan auskultasi paru
pemberian resusitasi cairan harus segera dihentikan (Dellinger R P, et al. 2017; Rhodes et al,
2017 ).
Prinsip pemberian cairan yang agresif pada sepsis seperti protokol Early Goal
Directed Therapy (EGDT) oleh Emanuel Rivers dengan target CVP 8-12 cmH2O sudah tidak
direkomendasikan lagi. Resusitasi cairan yang agresif akan menyebabkan konsekuensi buruk
berupa peningkatan tekanan pengisian jantung, merusak endothelial glicocalyx, vasodilatasi
arteri dan edema jaringan. Pemberian resusitasi cairan agresif meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pasien sepsis. (Dellinger R P, et al. 2017; Rhodes et al, 2017).
5
Dellinger R P, et al. 2017
6
Teknik PLR dilakukan sekitar 30 detik
Monitor cairan yang telah diberikan harus lebih ketat pada pasien sepsis. Monitor
cairan harus dilakukan setiap hari dan dilakukan penghitungan secara kumulatif setiap
harinya. Karena kalau tidak dilakukan penjumlahan secara kumulatif sering terjadi kesalahan
berapa jumlah cairan yang telah diberikan dan akan kesulitan untuk melakukan koreksinya.
Kelebihan cairan 1 liter yang berlangsung selama 24 jam akan meningkatkan 20 % risiko
kematian pasien (Clark WR, 2009) .
Pustaka