Fraktur pada maksilla merupakan cedera yang serius dan memerlukan penanganan yang khusus karena
melibatkan struktur-struktur penting, seperti nasal cavity, sinus maksilla, dan otak yang dapat terlibat baik
secara primer saat trauma terjadi, maupun melalui infeksi sekunder. Menurut survey yang dilakukan oleh
District of Columbia General Hospital, 6% dari keseluruhan fraktur rahang adalah fraktur maksilla.
KLASIFIKASI
Fraktur Le Fort I
Merupakan jenis fraktur maksila yang paling sering terjadi. Fraktur Le fort dapat terjadi sebagai
suatu kesatuan tunggal atau bergabung dengan fraktur Le fort II maupun Le Fort III. Disebut juga
dengan horizontal fraktur/low level fraktur, dimana garis fraktur berupa garis transversal di atas
processus alveolaris maksilla. Garis frakturnya dalam jenis fraktur transversal rahang atas melalui
lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai sinus maksilla, dan meluas ke posterior yang
melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini mengakibatkan adanya freely movable dari rahang atas,
yang disebut floating jaw. Fraktur tambahan dapat terjadi pada garis tengah palatum.
Faktur Le fort II
Disebut juga dengan pyramidal fraktur. Garis fraktur melalui tulang hidung dan diteruskan ke
tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infra orbita, dan menyeberang ke bagian atas dari sinus
maksillaris juga kearah lamina pterygoid sampai ke fossa pterigo-palatine. Bila fraktur Le fort I
biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur pyramidal melibatkan sutura-sutura.
Sutura zigomatimaksillaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering terlibat.
Fraktur Le fort I
Dari anamnesa, pasien merasa bahwa maksilanya dapat bergerak, dan keadaan
tersebut dapat diidentifikasi dengan mudah leh ooperator, kecuali apabila segmen fraktur
Fraktur Le fort II
Pada fraktur Le fort II, ditemukan adanya pembengkakan wajah, edema pada
kelopak mata, sirkum orbital ekimosis dan subkonjungtival ekimosis. Dari anamnesa
pasien, pasien merasa seluruh bagian hidung dan maksila akan terasa bergerak. Pada
fraktur ini, dapat meliputi daerah orbta, os.Nasalis, dan mungkin juga os.ethmoidale serta
kompleks zigomatikus, sehingga menyebabkan edema yang luas (Balooning of the face).
Dapat terjadi pula perdarahan hidung dan nasopharing. Ada kemungkinan terjadi
parasthesia daerah infra orbital. Pada test mobilitas maksila negatif, sedangkan tandatanda klinis menunjang adanya fraktur, kemungkina terjadi impaksi fraktur sehingga
tidak terjadi gerakan. Palpasi pada daerah nasal bridge dan daerah infra orbital
didapatkan adanya step ataupun krepitasi. Pemeriksaan intra oral didapatkan edema dan
hematoma vestibular atas dan open bite gigi anterior.
Pada pemeriksaan radiologi, CT scan, baik potongan coronal maupun axial,
sangat diperlukan untuk mengevaluasi secara keseluruhan garis-garis fraktur. 3D
reformatting juga sangat berguna untuk evaluasi dari bentuk dan garis fraktur.
Projeksi Basic Scull tidak banyak membantu dalam mendeteksi jenis fraktur ini.
Foto
Waters dapat berguna dalam mendeteksi kerusakan bilateral dari arkus
zygomatikus. CT scan, potongan aksial dan koronal diperlukan untuk mengevaluasi
bentuk dan garis fraktur, terutama kerusakan pada bagian fronto-nasal.
PENATALAKSANAAN
Komplikasi Awal
1. Perdarahan
Dapat terjadi perdarahan massif oleh karena trauma akibat roekan jaringan lunak, dan
pembuluh darah yang disebabkan oleh fragmen fraktur.
2. Sumbatan Jalan Nafas
Garis fraktur di atas gigi, kavum nasal, dan sinus maksillaris akan menyebabkan
sumbatan jalan nafas akibat adanya bekuan darah, fragmen tulang dan lepasan gigi. Jalan
nafas harus dibersihkan dari benda asing tersebut, apabila perlu digunakan
nasopharyngeal tube atau tracheostomy.
3. Infeksi
Pada fraktur maksilla dapat terjadi komplikasi infeksi baik dari benda asing dari luar
maupun karena adanya gigi yang terlepas. Pada umumnya akan terjadi infeksi di sinus
maksillaris dan jaringan lunak. Tindakan yang dilakukan adalah debridement dan
mengeluarkan benda asing, serta pemberian antibiotic yang tepat.
Komplikasi Lambat
Dapat terjadi malunion, obstruksi nasal, chronic sinusitis, maloklusi, deformitas wajah,
gangguan fungsi kelenjar lakrimal, hilangnya fungsi penciuman dan paraesthesia.