Anda di halaman 1dari 13

BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi Fraktur

Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur maksilofasial
adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang frontal, temporal,
orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula (Pedersen, 1996).

2.2 Patofisiologi Fraktur


Kerangka wajah tersusun atas sejumlah tulang, sinus paranasalis, dan gigi-gigi. Adanya
garis-garis sutura, foramina, dinding yang tipis dari sinus dan perkembangan serta erupsi gigi-
gigi menyebabkan beberapa daerah mudah mengalami fraktur. Sutura zygomaticofrontalis,
zygomaticotemporalis, zygomaticomaxillaris, frontomaksillaris, dan frontonasalis merupakan
daerah yang lemah yang mudah mengalami fraktur apabila terkena benturan. Dinding sinus yang
bersifat unikortikal, khususnya pada maksila dan os ethmoidale, biasanya tipis dan seperti kulit
telur. Benturan secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan fraktur, biasanya
berupa fraktur kecil-kecil yang disebut fraktur kominusi. Gigi bisa merugikan maupun
mengutungkan pada fraktur orofasial. Pada satu sisi, keberadaan gigi-gigi mungkin memudahkan
terjadinya fraktur, sedangkan di sisi lain oklusi gigi geligi dapat dipakai pedoman untuk reduksi
frakmen, dan gigi - gigi bisa digunakan untuk fiksasi maksilomandibular. Sebelum gigi-gigi
permanen erupsi pada anak-anak, corpus mandibula hampir seluruhnya terisi dengan gigi,
sehingga hanya sedikit bagian tulang yang bisa digunakan untuk menahan tekanan eksternal.
Meskipun demikian, anak-anak muda sangat rentan terhadap fraktur mandibula di daerah
subkondilar. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan (16-18 tahun), setiap trauma yang
cukup besar pada daerah anterior angulus mandibulae sering mengakibatkan terjadinya fraktur
pada daerah molar ketiga bawah yang sedang berkembang, karena memang merupakan daerah
yang lemah (pertemuan antara ramus yang tipis dengan corpus yang tebal). Dengan tanggalnya
gigi dan resorbsi processus alveolaris, basis mandibulae yang tidak bergigi akan menjadi rentan
terhadap fraktur, terutama pada pertemuan antar ramus atau corpus mandibulae daripada daerah
foramen mentale (Pedersen, 1996).
2.2.1 Pergeseran elemen fraktur
Apabila terjadi suatu tekanan yang cukup besar makan akan mengakibatkan tulang menjadi
fraktur, biasanya pada daerah anatomis relayif lemah. Akibat langsungnya adalah hilangnya
kekontinuan, terputusnya komponen netrovaskular, dan cedera jaringan di sekitar fraktur.
Hilangnya kekontinuan memudahkan perpindahan frakmen-frakmen sebagai akibat tekanan yang
diterima atau aksi ketidakseimbangan muskular atau keduanya. Perpindahan tulang pada fraktur
bagian tengah wajah yang meliputi kompleks zygomaticomaxillaris, pada banyak kasus
disebabkan karena arah gaya fraktur dan orientasi spasial dari garis fraktur. Tarikan otot ikut
berperan walaupun kecil. Pada mandibula, pergeseran frakmen kebanyakan disebabkan karena
tarikan otot yang tidak seimbang. Derajat pergeseran berhubungan dengan orientasi garis fraktur,
baik menahan atau mendukung pergeseran frakmen yaitu menguntungkan atau tidak
menguntungkan (Pedersen, 1996).

2.2.2 Cedera pada saraf


Terganggunya elemen neurovaskular dari tulang mengakibatkan cedera saraf
langsung:neurapraksia; sifatnya ringan tetapi mengakibatkan mati rasa; aksonotmesis, tingkat
sedang, disebabkan karena tergores atau hancur; dan neurotmesis, yaitu terputusnya batang saraf
(Pedersen, 1996).

2.2.3 Perdarahan
Perdarahan bisa bersifat akut dengan kehilangan darah yang cukup banyak atau hanya
rembesan sedang atau ringan. Darah bisa menyusup di sepanjang permukaan tulang dan
mengangkat periosteum. Pengumpulan darah ekstravaskular (hematom), dan ukurannya
tergantung pada banyaknya perdarahan dan kondisi jaringan. Periosteum menjadi sobek dan
terpisah dari tulang. Dengan berpindahnya frakmen fraktur, bisa terjadi kerusakan yang parah
pada otot, mukosa dan kulit (Pedersen, 1996).

2.2.4 Fraktur terbuka dan tertutup


Suatu fraktur terbuka terjadi jika penyebab fraktur juga mengakibatkan sobeknya mukosa
dan kulit atau apabila pergeseran frakmen begitu kuat sehingga mampu menyobek mukosa atau
kulit atau apabila fraktur melibatkan alveolus gigi yang erupsi. Fraktur tertutup adalah jenis
fraktur yang lain di mana tidak ada hubungan dengan permukaan tubuh atau rongga tubuh
(Pedersen, 1996).
2.3 Klasifikasi Fraktur Maksila
Klasifikasi fraktur maksilofasial yang keempat adalah fraktur maksila, yang mana fraktur
ini terbagi atas tiga jenis fraktur, yakni ; fraktur Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III. Dari beberapa
hasil penelitian sebelumnya, insidensi dari fraktur maksila ini 3,19 masing-masing sebesar 9,2%
dan 29,85%.

2.3.1 Fraktur Le Fort I


Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung dengan
fraktur – fraktur Le Fort II dan III. Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur
transverses rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai sinus
maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini
memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah
sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur
transmaksilari (Pedersen, 1996).

2.3.2 Fraktur Le Fort II


Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan fraktur
hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur
piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan
sutura yang sering terkena. Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas,
biasanya merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering
tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada
Le Fort I (Pedersen, 1996).

2.3.3 Fraktur Le Fort III


Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah. Bagian tengah wajah
benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini biasanya disertai
dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari
trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma
intrakranial (Pedersen, 1996).

2.4 Pemeriksaan Klinis Fraktur Maksila


Fraktur maksila terbagi atas fraktur Le Fort I, Le Fort II dan Le Fort III, dimana
pemeriksaan klinis pada masing-masing fraktur Le Fort tersebut berbeda.

a. Le Fort I
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara
ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan
ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada
pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi
dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri.
Selanjutnya pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi wajah
anterolateral (Pedersen, 1996).
b. Le Fort II
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara
ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis,
dan edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak bersama
dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh nervus infraorbitalis.
Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika dibandingkan dengan
fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang
atas.Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah
anterolateral, foto wajah polos dan CT scan (Pedersen, 1996).

c. Le Fort III
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra oral. Pada pemeriksaan
ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat
pembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan
tes mobilitas pada maksila akan mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas
wajah.Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi
wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan (Pedersen, 1996).

2.5 Perawatan Gawat Darurat

Prinsip utama perawatan gawat darurat (emergency care) adalah menyelamatkan hidup
dan memberikan kenyamanan yang layak bagi pasien.Secara berurutan primary survey dalam
perawatan gawat darurat disingkat denganABCD (Miloro, 2004).

a. Airway

Menjaga kelancaran jalan nafas. Meliputi tindakan pemeriksaanadanya obstruksi jalan


nafas yang disebabkan benda asing, fraktur tulangwajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur
gigi, dental prothesa, fraktur laring atau trakea. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus
melindungivertebra servikal, adapun cara yang dapat dilakukan yaitu chin lift,headtilt atau jaw
trust. Pada penderita yang dapat berbicara dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun
demikian penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan. Pada penderita dengan
gangguan kesadaran atau GCS samaatau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway
definitif. Selama memeriksa dan memperbaiki airway, harus diperhatikan bahwa tidak boleh ada
ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher. Kecurigaan adanya kelainanvertebra servikalis didasarkan
pada riwayat perlukaan, pemeriksaanneurologis tidak sepenuhnya dapat menyingkirkannya. Ke-7
vertebraservikalis dan vertebra torakalis perrtama dapat dilihat dengan foto lateral,walaupun
tidak semua jenis fraktur akan terlihat dengan foto ini (Miloro, 2004).

Dalam keadaan kecurigaan fraktur servikal, harus dipakai alat imobilisasi. Bila
alatimobilisasi ini harus dibuka untuk sementara maka terhadap kepala harusdilakukan
imobilisasi manual. Alat imobilisasi ini harus dipakai sampaikemungkinan fraktur servikal dapat
disingkirkan.

b. Breathing dan Ventilasi

Air way yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada
saat bernafas mutlak untuk pertukaranoksigen dan mengeluarkan CO 2 dari tubuh. Ventilasi yang
baik meliputifungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen iniharus
dievaluasi secara cepat. Dada penderita harus dibuka untukmelihatekspansi pernafasan.
Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknyaudara ke dalam paru-paru. Perkusi dilakukan
untuk menilai adanya udaraatau darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat
memperlihatkankelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi. Perlukaan
yangmengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension pneumothorax, flail chest
dengan kontusio paru dan open pneumothorax. Keadaan ini harusdikenali pada saat dilakukan
primary survey (Miloro, 2004).

c. Circulation

Dengan control perdarahan, perdarahan merupakan sebab utama pasca bedah yang
mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat dirumah sakit. Ada 3 penemuan klinis
yang dapat memberikan informasimengenai keadaan hemodinamik yaitu tingkat kesadaran,
warna kulit dannadi. Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang
akanmengakibatkan penurunan kesadaran. Warna kulit dapat membantu diagnosishipovalemia.
Penderita trauma yang kulitnya kemerahan, terutama padawajah dan ekstremitas jarang yang
dalam keadaan hipovalemia. Sebaliknya wajah pucat, keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang
pucat merupakan tandahipovalemia. Periksalah pada nadi yang besar untuk kekuatan
nadi,kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanyamerupakan tanda
normovalemia. Nadi yang cepat dan kecil merupakan tandahipovalemia. Nadi yang tidak teratur
biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar
merupakan pertandadiperlukannya resusitasi dengan segera. Perdarahan luar harus dikelola pada
primary survey. Perdarahan luar luar dihentikan dengan penekanan pada luka.Tourniquet
sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan danmenyebabkan iskemia distal, sehingga
tourniquet hanya dipakai bila sudahada amputasi traumatik. Sumber perdarahan internal bisa
berasal dari perdarahan dalam rongga toraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang,
retroperitoneal akibat fraktur pelvis atau sebagai akibat dari lukatembus dada/ perut

(Miloro, 2004).

d. Disability (Neurologic Evaluation)


menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara
cepat. GCSmerupakan sistem scoring yang sederhana dan dapat meramal kesudahan penderita.
Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau dan penurunan perfusi ke
otak, atau disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya
reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi. Bila diperlukan konsul ke ahli
bedah syok (Miloro, 2004).

2.6 Penatalaksaan Fraktur Le fort I


Tujuan utama pengelolaan fraktur Le Fort 1 adalah mengembalikan fungsi oklusi gigi.
Pada fraktur Le Fort 1 menggunakan reposisi tertutup yaitu suatu tindakan reposisi fraktur tanpa
pembedahan. Reposisi terutup secara spesifik diindikasikan pada kasus terdapat gigi pada semua
segmen atau segmen edentulous disebelah proksimal dengan pergeseran fragmen fraktur yang
hanya sedikit.
Pada reposisi tertutup, imobilisasi dan reposisi fraktur dicapai dengan penempatan
peralatan fiksasi maksilomandibular sehingga diperlukan gigi-gigi untuk fungsi perlekatan alat
fiksasi tersebut, misalnya arch bar atau splint, dan pengawatan langsung.
Indikasi reposisi tertutup diantaranya adalah :
a. Gigi masih lengkap atau cukup di kedua rahang, sehingga oklusi dapat tercapai kembali
dan gigi-gigi dapat dipakai sebagai pegangan untuk alat fiksasi.
b. Pada pasien edentulous parsial (sebagian tidak bergigi) yang terjadi fraktur korpus
mandibula dengan displacement minimal.
c. Fraktur subkondilar.
d. Reduksi tertutup paling bagus digunakan pada fraktur favorable.
e. Fraktur pada anak yang dalam masa pertumbuhan gigi
Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular,
dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari pengawatan sirkumzigomatik selama 8
minggu. Arch bar yang dipakai adalah bar yang sudah dibuat oleh pabrik. Banyak macamnya
seperti yang dibuat oleh Winter, Jalenko, Schuchardt dan lain-lain. Bar ini ada yang kaku dan
ada yang lunak. Bar diikatkan pada gigi rahang atas dan gigi rahang bawah dengan kawat.
Kemudian rahang atas dan rahang bawah dioklukasikan dan diikat. Sebaiknya penanganan tidak
lebih dari 2 minggu dari trauma, karena setelah 10 hari sudah mulai tampak adanya
penyembuhan tulang dan penanganannya menjadi lebih sulit.
Pemasangan arch bar (A. menekuk arch bar untuk membentuk nya B. menyesuaikannya dengan
maksila C. mengikatkannya ke maksila D. arch bar disesuaikan dengan putaran gigi
E. maksila dan mandibula di oklusikan dan diikat)

Indikasi pemasangan arch bar antara lain, pada gigi kurang atau tidak cukup untuk
pemasangan cara lain, fraktur maksila, terdapat fragmen dentoalveolar pada salah satu ujung
rahang yang perlu direposisi sesuai dengan lengkungan rahang sebelum dipasang fiksasi
intermaksilaris.
Keuntungan penggunaan arch bar pada umumnya ialah mudah didapat, biaya murah,
mudah adaptasi dan aplikasinya. Pada arch bar tipe langsung, keuntungannya adalah dapat
langsung digunakan tanpa memerlukan proses pembuatan di laboratorium. Umumnya arch bar
ini dipasang pada gigi-gigi di rahang atas dan rahang bawah. Setelah proses ligasi selesai barulah
dilakukan MMF (Maxillomandibular Fixation). MMF dapat dilakukan dengan menggunakan
karet (rubber) maupun dengan menggunakan kawat misalnya ukuran 0,4 mm. Pada beberapa
kasus tertentu kadang-kadang perlu dilakukan pemasangan arch bar secara terpisah-pisah dalam
satu rahang, misalnya dipotong menjadi dua atau tiga bagian untuk mendapatkan hasil reposisi
yang lebih baik.
Sedangkan pada arch bar tipe tidak langsung, keuntungannya adalah bentuk arch bar
sesuai dengan bentuk rahang dan gigi pasien. Selain itu, di model dan artikulator dapat juga
dilakukan penyesuaian oklusi dari model sehingga intraoperatif lebih mudah untuk mendapatkan
oklusi dan artikulasi yang baik. Arch bar adalah metode fiksasi yang telah diakui
keuntungannya. Namun, kerugian penggunaan arch bar secara umum adalah:
1. Resiko cedera tertusuk wire pada operator.
2.Memerlukan tambahan waktu pada operasi untuk penempatan dan pelepasannya.
3. Trauma jaringan lunak pada jaringan periodensium, gingiva dan mukosa bukal
4. Kebersihan mulut harus selalu dijaga.
5. Memerlukan gigi yang sehat sebagai penempatannya.
Untuk jenis arch bar tipe langsung, kerugiannya ialah dapat merusak jaringan
periodonsium dan terjadi dislokasi pada gigi, serta fiksasi dengan arch bar jenis ini sering kali
terlalu kencang, sehingga dapat menyebabkan ankilosis dari gigi tersebut. Adapun kerugian arch
bar tipe tidak langsung adalah diperlukan tambahan waktu dan biaya untuk pembuatannya.
Setelah dilakukan reposisi yang tepat maka fragmen fraktur harus difiksasi selama lebih
kurang 5 minggu pada pasien dewasa yang kesehatannya baik dan tanpa infeksi pada daerah
fraktur. Sedangkan pada anak-anak, fiksasi dilakukan antara 3 minggu sampai 1 bulan karena
penyatuan daripada fragmen terjadi lebih cepat. Pada orangtua dan fraktur dengan infeksi
memerlukan waktu yang lebih panjang yaitu kurang lebih 6-7 minggu. Fiksasi menggunakan
dental wire. Fiksasi jenis ini dilakukan bila pasien masih mempunyai gigi yang lengkap. Kawat
yang sering digunakan adalah stainless-steel dengan diameter 0,35 mm.
Apabila segmen fraktur mengalami impaksi, maka dilakukan pengungkitan. Untuk itu
diperlukan tekanan dengan kekuatan yang besar, baik secara langsung dengan menggunakan tang
pengungkit, atau secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan pada alat gigi rahang atas
(splint atau arch bar).
Bila frakturnya menimbulkan maloklusi atau komunitif maka perlu dilakukan operasi
reposisi terbuka dan fiksasi dengan pemasangan wire atau miniplate. Reposisi terbuka dan fiksasi
interna mempunyai keuntungan berupa stabilitas yang lebih terjamin, malposisi lebih minimal
dan mempercepat pemulihan. Setelah arch bar (fiksasi antara maksila dan mandibula) dilepas,
dilakukan latihan untuk mengembalikan mobilitas mandibula dan temporo mandibular joint.
Tahapan yang paling kritis adalah reposisi fraktur maksila dengan jalan mendorong
(dengan jari) mandibula kearah superior (tekanan balik akan terjadi di daerah dahi) sebelum
dilakukan pengawatan dengan kawat suspensi. Kawat suspensi secara tidak langsung dilekat
pada alat mandibular (splint atau arch bar) dengan menggunakan kawat sekunder. Apabila tidak
berhasil mendapatkan suspensi pada fraktur Le Fort 1 maka bisa terjadi hilangnya freeway space,
atau cacat kosmetik yaitu wajah panjang atau keduanya.

2.7 Penyembuhan Tulang Maksilofasial


Dalam proses penyembuhan fraktur pada tulang, maka tipe apapun frakturnya biasdanya
terjadi penyembuhan langsung (primery) atau melewati fase pembentukan kallus (secondary).
Yang membuat penyembuhan tulang wajah dan kalvaria berbeda dengan tulang panjang lainnya
karena pada maksilofasial lebih kaya vaskularisasi serta fragmen patah tulangnya pada umumnya
lebih kecil, disamping secara embriologis asalnya memang berbeda (Wijayahadi, 2006).

Primery healing bone terjadi bila kedua ujung patah tulang dalam kondisi aposisi baik
dan stabil (Spiessl, 1989). Bila jarak antara kedua ujung fragmen 0,1 mm maka disebut contact
healing; bila 0,1-1mm, maka proses yang terjadi disebut gap healing, memerlukan dua fase yaitu
fase inflamasi dan fase remodeling. Pada fase inflamasi seperti halnya pada penyembuhan luka
jaringan lunak, terjadi proliferasi kapiler, osteoblas dan osteoklas pada masing-masing ujung;
kegiatan ini didukung oleh endosteum, kanal haversian dari tulang dan periosteum. Osteoblas
mendasari pembentukan tulang baru; osteoklas melakukan remodeling dan menata konstruksi
tulang yang diperlukan (Wijayahadi, 2006).

Pada contact healing, proses penyembuhan terjadi langsung; jembatan antara dua
permukaan fraktur langsung terbentuk system haversian baru yang bagus. Rahn-Spiessl, 1989
melaporkan hasil pengamatan mikroskop elektron pada proses penyembuhan ini (Wijayahadi,
2006).

Pada gap healing, antara kedua ujung terisi oleh jaringan granulasi osteogenik, yang
membentuk trabekula tulang secara parallel. Pada fase kedua akan terjadi remodeling , trabekula
ini dirubah menjadi tulang struktur lamella. Penyembuhan seperti ini lebih lambat daripada
contact healing akan tetapi lebih kuat (Wijayahadi, 2006).

Secondary bone healing terjadi pada fraktur yang tidak termobilisasi dengan baik.
Perdarahan pada tempat fraktur menjadi hematom yang kemudian di terobos oleh vaskuler baru,
makrofag dan fobroblast. Hematom ini merupakan bahan induksi terbentuknya tulang (Mizuno
dkk, 1990). Terbentuk kolagen, disusul sel osteoblas dan kondroblas. Kedua bahan tersebut
menjadi perekat dari kedua ujung, kemudian melalui suplai perdarahan darah, kartilago
berangsur menjadi tulang dengan deposit kalsium menjadi semakin keras. Pada fase remodeling,
kallus dikonversi menjadi tulang kortikal dan tulang trabekuler (Wijayahadi, 2006).
Pengaturan penyembuhan tulang diatur oleh beberapa growth factor, trutama PDGR dan
IGF-1 sangat berperan (Lynch dkk 1989). Protein yang ada di matriks tulang tersebut berperan
juga sebagai stimulator selluler local, disebut bone morphogenetic protein. Aktifitas bioelektrik
berperan pada penyembuhan local, sedangkan parathormon berperan secara sistemik yaitu
mengatur pelepasan growth factors (Mohan & Baylink 1990) (Wijayahadi, 2006).

Penyembuhan tulang maksilofasial bisa terjadi campuran antara kedua tipe tersebut.
Akan tetapi pada umumnya yang terjadi tipe primer dan pada beberapa fraktur yang berjarak
maka terjadi gap bone healing. Hanya pada mandibula yang sering didapat penyembuhan dengan
pembentukan kallus meskipun telah dilakukan immobilisasi pada fraktur mandibula tersebut
(Rowe & Killey, 1955). Dengan menggunakan fiksasi plat dan sekrup mini bisa dicapai
penyembuhan primer pada fraktur maksilofasial (Rever dkk, 1991) (Wijayahadi, 2006).

2.8 Komplikasi fraktur maksila

Komplikasi awal (Banks, 1992):

1. Perdarahan
Dapat terjadi perdarahan karena trauma akut akibat robekan jaringan lunak, pembuluh
darah yang disebabkan oleh frakmen fraktur. Apabila perdarahan tidak diatasi dapat
mengakibatkan ancaman jiwa (Banks, 1992).
2. Sumbatan jalan nafas
Garis fraktur diatas gigi, kavum nasal, dan sinus maksilaris akan menyebabkan sumbatan
jalan nafas akibat adanya bekuan darah fragmen tulang dan lepasan gigi. Jalan nafas
harus dibersihkan dari benda asing tersebut, apabila perlu digunakan nasopharingeal tube
atau tracheostomi (Banks, 1992).
3. Infeksi
Pada fraktur maksila dapat terjadi komplikasi infeksi oleh karena adanya gigi yang
terlepas, robekan jaringan lunak. Pada umumnya akan terjadi infeksi pada sinus
maksilaris, jaringan lunak. Tindakan yang dilakukan adalah dengan melakukan drainase
dan mengluarkan benda asing, serta pemberian antibiotik yang adekuat (Banks, 1992).

Komplikasi lambat (Banks, 1992).


Dapat terjadi :

1. Malunion
2. Obstruksi nasal
3. Chronik sinusitis
4. Maloklusi
5. Deformitas
6. Gangguan fungsi kelenjar lakrimal
7. Hilangnya fungsi penciuman

Anda mungkin juga menyukai