Anda di halaman 1dari 15

PBL 3 (Fraktur Dentoalveolar)

A 23-years-old female patient went to the hospital emergency room. There was an opened
wound bleeding around upper lip and she couldn’t cheewing. The intra oral examinition
showed that 11 and 12 tooth was luxation and traumatic occlusion. The radiographic discription
was fracture alveolar 11 and 12. General examinition : blood pressure : 110/80 mm/Hg and
respiration : 20 times/minute.

1. Definisi fraktur dentoalveolar (bagian dari fraktur maksilofasial)

 Definisi fraktur secara umum  hilangnya kontinuitas dari tulang


 Fraktur dentoalveolar dapat didefinisikan sebagai fraktur yang dapat menyebabkan
perpindahan, subluksasi, avulsi gigi atau fraktur pada struktur gigi yang melibatkan
tulang alveolar (Ardayanti, 2015)
2. Etiologi
 Penyebab fraktur rahang secara umum karena beberapa faktor:
Faktor Predisposisi :
a. Penyakit tulang menyeluruh yang menyebabkan kerusakan pada tulang:
penyakit ricketsia, osteomalacia
b. Penyakit tulang rahang lokal : adanya kista, tumor rahang , osteomyelitis, dll.
Faktor Exciting :akibat rudapaksa atau trauma atau benturan pada tulang
rahang.
a. Langsung : patah tulang terjadi pada tempat yang terkena trauma atau benturan
b. Tidak langsung : patah tulang terjadi tidak pada tempat
trauma/rudapaksa/benturan melainkan jauh dari tempat terjadinya trauma.
c. Kontraksi otot yang terjadi secara mendadak dapat menyebabkan patah tulang
ditempat perlekatan otot tersebut. Sering terjadi pada daerah yang mempunyai
predisposisi untuk patah tulang baik karena faktor lokal maupun menyeluruh.
 Fraktur maksilofasial dapat diakibatkan karena tindak kejahatan atau
penganiayaan, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga dan industri, atau
diakibatkan oleh hal yang bersifat patologis yang dapat menyebabkan rapuhnya
bagian tulang (contoh : kista) (Fonseca, 2005).
 Etiologi dari fraktur itu sendiri dibagi menjadi dua yaitu ekstrinsik dan intinsik.
a. Penyebab ekstrinsik antara lain direct violence (fraktur pada bagian yang
terkena), indirect violence (fraktur karena trasmisi dari yang terkena),
bending forces, torsional forces, compression forces, dan shearing forces.
(Balaji : 2007).
b. Penyebab Intrinsik dapat disebabkan karena lemah secara intrinsic dari
tulang tanpa adanya force of impact. Fraktur patologis terjadi karena
penyakit sistemik atau dari tulang itu sendiri memiliki sistem yang abnormal
sehingga dapat menyebakan fraktur. (Balaji : 2007)
c. Klasifikasi fraktur dentoalveolar
 Klasifikasi fraktur dentoalveolar menurut WHO tahun 1995 terdiri atas empat
tipe rudapaksa yaitu (1) tipe 1 yang menyangkut jaringan keras gigi dan pulpa;
(2) tipe 2 yang mengenai jaringan keras gigi, pulpa, dan tulang alveolar, (3) tipe
3 fraktur pada jaringan periodontal, seperti luksasi dan avulsi gigi (4) tipe 4 pada
jaringan lunak, seperti abrasi dan laserasi gingiva atau mukosa (Sirait dkk.,
2008)
Sumber  makalah drg edwyn.
c. Injuri pada jaringan periodontal
 Concussion: tidak ada perpindahan gigi tetapi ada reaksi bila di perkusi
 Subluksasi : Kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan gigi
 Luksasi ekstrusif : disebut juga partial avulsi, perpindahan gigi sebagian dari
soket
 Luksasi lateral : perpindahan kearah aksial (palatal/buccal/labial) disertai
fraktur soket alveolar
 Luksasi intrusive : perpindahan kea arah tulang alveolar disertai fraktur soket
alveolar
 Avulsi : gigi lepas dari soketnya

d. Klasifikasi fraktur tulang penyusun wajah / tulang fasial

Sumber  makalah drg edwyn/ppt baca aja ya lur. Ini sumpah banyak bgt.

a. 1/3 bawah wajah : tulang seluruh mandibula

b. 1/3 tengah wajah (Le Fort)  yang harus tahu!!! : meliputi tulang

maksila, zygoma, dan tulang hidung

Banyaknya rongga di sepertiga tengah wajah ini menyebabkan regio ini


sangat rentan terkena fraktur. Fraktur tulang sepertiga tengah wajah berdasarkan
klasifikasi Le Fort:

 Fraktur Le Fort tipe I (Guerin’s)/ transversal


Fraktur Le Fort I merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi dan
menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum.
Fraktur ini menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan yang
disebut floating jaw. Garis fraktur berjalan transversal di atas gigi geligi,
dan segmen fraktur terdiri atas proc alveolaris, dasar sinus maksilaris
dan sebagian dindingnya, palatum dan bagian bawah prosesus
pterygoideus os sphenoidalis.

 Fraktur Le Fort tipe II


Fraktur Le Fort tipe II biasa juga disebut dengan fraktur piramidal.
Manifestasi dari fraktur ini ialah edema di kedua periorbital, disertai
juga dengan ekimosis. Biasanya ditemukan juga hipoesthesia di nervus
infraorbital. Kondisi ini dapat terjadi karena trauma langsung atau
karena laju perkembangan dari edema.
Garis fraktur :
a. Ke arah lateral : melalui os lacrimalis, rima orbita inferior, dasar orbita, dan
sekitar zigomatico maksilaris
b. Ke arah posterolateral : melalui dinding lateral maksila menuju pterygoid
plates dan masuk ke dalam fossa pterygomaksillaris
c. Ke arah midline : meluas dari sutura nasofrontalis ke belakang melalui
bagian atas dari os ethmoidale dan os vomer. Pada fraktur ini terjadi separasi
os nasale dan proc frontonasalis maksilaris dengan os frontalis.
 Fraktur Le Fort III
Disebut juga fraktur tarnsversal. Fraktur Le Fort III menggambarkan
adanya disfungsi kraniofasial. Tanda yang terjadi pada kasus fraktur ini
ialah remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila
kompleks, disertai pula dengan keluarnya cairan serebrospinal, edema,
dan ekimosis periorbital. Garis fraktur berjalan dari sutura frontonasalis
atau sutura frontomaksilaris lewat os. Lacrimale, dinding medial orbita,
foramen optikum. Dari sini garis fraktur berjalan berjalan terus ke sutura
zigomatikofrontalis. Pada intinya terjadi separasi menyeluruh tulang
fasial dari perlekatan cranial, dan hanya dilekatkan oleh jaringan lunak.

c. 1/3 atas wajah : meliputi tulang frontalis


3. Tanda fraktur dentoalveolar

Tanda klinis :

Tanda-tanda klinis fraktur alveolar diantaranya adalah adanya kegoyangan, dan


pergeseran beberapa gigi dalam satu segmen, laserasi pada gingiva dan vermilion bibi
r, serta adanya pembengkakan atau luka pada dagu, luka pada gingiva dan hematom
diatasnya, serta adanya nyeri tekan pada daerah garis fraktur (KTI anak Unpad).
Tanda definitif (tanda pasti) :

dislokasi, ada krepitasi, pergerakan yang tidak normal dari hidung, nampak jelas adanya
fragmen atau patahan dari tulang tersebut
Tanda tidak pasti (perlu dilakukan pemeriksaan penunjang):

adanya rasa sakit, pembengkakan, hematoma, fungsiolaesa seperti trismus. gangguan


saat menelan dan bicara , maloklusi, parastesi.
4. Faktor predisposisi fraktur dentoalveolar

Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan fraktur dentoalveolar ialah oklusi yang
abnormal, adanya overjet lebih dari 4mm, inklinasi gigi insisal ke arah labial, bibir yang
inkompeten, pendeknya bibir atas, dan bernafas lewat hidung. Kondisi tersebut dapat
dilihat pada individu dengan kelainan maloklusi kelas II divisi I Angle, atau pada orang
dengan kebiasaan buruk menghisap ibu jari  makalah drg Edwyn.
5. Pemeriksaan yang dilakukan

Pemeriksaan terhadap pasien meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terdiri
atas keadaan umum, kondisi ekstra oral dan intra oral (Sirait dkk., 2008).
 Anamnesis terkait pertanyaan seperti : Lima pertanyaan yang harus diketahui
untuk mengetahui riwayat penyakit pasien penderita fraktur maksilofasial ialah:
• Bagaimana kejadiannya?
• Kapan kejadiannya?
• Spesifikasi luka, termasuk tipe objek yang terkena, arah terkena, dan alat yang
kemungkinan dapat menyebabkannya?
• Apakah pasien mengalami hilangnya kesadaran?
• Gejala apa yang sekarang diperlihatkan oleh pasien, termasuk nyeri, sensasi,
perubahan penglihatan, dan maloklusi?
 Pemeriksaan fisik/objektif :

a. Keadaan umum meliputi pemeriksaan ttv pasien.

b. Pada pemeriksaan ekstra oral dapat ditemukan asimetri wajah berupa


bengkak di bibir, hematoma, abrasi, dan laserasi. Kedalaman laserasi
sebaiknya diperiksa untuk mengetahui apakah ada struktur vital yang
terlibat, seperti duktus kelenjar parotis atau nervus fasialis.
c. Pemeriksaan intra oral meliputi jaringan lunak dan jaringan keras.

Jaringan lunak  Trauma di anterior biasanya mengakibatkan kerusakan


bibir yang parah. Bibir bawah dapat tergigit sehingga terjadi laserasi. Bila
gigi avulsi, pada gingiva akan tampak luka seperti bekas ekstraksi. Selain
itu bisa ditemukan juga laserasi gingiva dan deformitas tulang alveolar.
Pada anterior mandibula dapat terjadi degloving, yaitu sobekan horisontal
di sulkus labialis pada perbatasan attached dan free gingiva.

Jaringan keras  Pada gigi dapat terjadi fraktur mahkota, dengan atau tanpa
terbukanya kamar pulpa, dengan perkusi yang positif. Gigi dapat goyang,
bergeser ke segala arah, ekstrusi, intrusi dan bahkan avulsi. Perubahan
tersebut dapat menimbulkan maloklusi. Gigi yang tidak tampak bergeser
tetapi goyang dicurigai telah mengalami fraktur akar, baik vertikal maupun
horisontal. Fraktur yang paling sulit dideteksi adalah fraktur akar yang stabil
dan retak vertikal mahkota gigi posterior. Dalam keadaan itu harus
dilakukan sondasi, perkusi dan tekan. Bila ada gigi yang tampak hilang,
perlu dipastikan bahwa tidak ada akar gigi yang tertinggal.

d. Pemeriksaan radiografis (penunjang)

Pemeriksaan radiografis pada mandibula biasanya memerlukan foto radiografis


panoramic. Biasanya bila foto-foto diatas kurang memberikan informasi yang
cukup, dapat juga digunakan foto oklusal dan periapikal. Banyak pasien dengan
trauma wajah sering menerima atau mendapatkan CT-scan untuk menilai
gangguan neurologi.
e. Pemeriksaan laboratorium (penunjang)

Pemeriksaan darah meliputi pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, leukosit,


hitung trombosit, laju endap darah, dan hitung eritrosit.
6. Penatalaksanaan  sumber : PPT drg edwyn (secara teori seperti ini, tapi nanti

tetap menyesuaikan kasusnya)

a. Emergency

Pada perawatan Emergency, sebagian besar tindakan diarahkan untuk life saving.,
yang meliputi prinsip ABCDE, stabilisasi kondisi pasien, dan debridement.
 Prinsip ABCDE :
Control Airway : Menghilangkan fragmen-fragmen gigi dan tulang yang
fraktur, Yang perlu dilakukan adalah melindungi jalan pernapasan dengan
membersihkan mulut dan orofaring.
Breathing : Pada tahapan ini yang dinilai adalah ada atau tidaknya henti
napas dan kemampuan pasien untuk menghembuskan udara keluar dengan
baik dari dalam dada.
Circulation : dilakukan dengan cara  Kontrol perdarahan dari hidung atau
luka intraoral untuk meningkatkan jalan nafas dan mengontrol perdarahan.
Terakhir, menempatkan pembalut untuk mengontrol perdarahan dari
laserasi wajah yang meluas dan perdarahan kepala. Ada 3 penemuan klinis
yang dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik, yakni
tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi. Jika volume darah menurun, perfusi
oksigen ke otak menjadi berkurang dan akhirnya menyebabkan penurunan
tingkat kesadaran. Warna kulit juga dapat menunjukkan keadaan penurunan
volume darah yakni ditandai oleh wajah dan kulit ekstrimitas yang pucat.
Kecepatan nadi juga dapat menunjukkan adanya penurunan volume darah
yang ditandai oleh nadi yang cepat dan kecil.
Disablity : dengan pemeriksaan neurologis.
Exposure : Pada tahapan ini, hal yang perlu dilakukan adalah melonggarkan
atau melepaskan pakaian pasien agar dapat memeriksa bagian depan dan
belakang tubuhnya. Jika sulit melepaskan pakaian pasien, dapat juga
dilakukan dengan memotong pakaian pasien dengan gunting. Hal yang
penting lainnya adalah menutupi tubuh pasien dengan selimut hangat untuk
mencegah pasien mengalami hipotermia.
 Prinsip stabilisasi kondisi pasien : Stabilisasi keadaan umum pasien dapat
dilakukan dengan Memposisikan bagian paha dan kaki lebih tinggi dari
kepala (autotransfusi), Substitusi cairan secara intravena, Pemberian obat
analgetik yang cukup, dan Melindungi pasien dari kedinginan.
 Debridement : Debridement adalah suatu proses usaha menghilangkan
jaringan nekrotik atau jaringan nonvital dan jaringan yang sangat
terkontaminasi dari luka dengan mempertahankan secara maksimal struktur
anatomi yang penting seperti syaraf, pembuluh darah, tendo dan tulang.
Tujuan dasar debridement adalah mengurangi kontaminasi pada luka untuk
mengontrol dan mencegah infeksi.
b. Dini : Perawatan Dini, harus segera dilakukan dalam upaya mengurangi komplikasi
trauma dan menunjang penyembuhan. Mengurangi komplikasi trauma antara lain,
mengurangi perdarahan, mengurangi rasa sakit dan mengurangi mal fungsi
c. Definitif
Meliputi :
a. Reposisi/ reduction : Mengembalikan letak fragmen ke posisi yang benar
secara anatomi. Dapat dilakukan secara terbuka/ open reduction berarti dengan
operasi dan tertutup/ close reduction berarti tanpa operasi. Pedoman yang paling
baik dalam tindakan reduksi adalah oklusi dari gigi geligi.

KELEBIHAN KEKURANGAN

TERBUKA 1. Reposisi > baik ( Oklusi + 1. Jendalan darah hilang


Alignment)
2. Kemungkinan infeksi lebih
2. Dapat untuk Fraktur yang besar
sudah lama.
3. Biaya > besar
3. Dapat untuk Mal Union & Non
Union 4. Ada luka incisi

4. Fiksasi intermaksiler tak lama/


tak perlu

TERUTUP 1. Proses penyembuhan wajar 1. Reposisi berdasar oklusi


2. Infeksi > kecil 2. Fraktur baru
3. Biaya > murah 3. Fiksasi Intermaksiler lebih
4. Tal ada luka insisi lama
4. Tak dapat untuk merawat
Mal Union & Non Union
b. Imobilisasi/retensi
Dapat menggunakan IDW/fiksasi interdental, miniplat ataupun
sekrup.dilakukan dengan metode fiksasi. Tujuannya adalah agar fragmen yang
telah direposisi dan mendapat retensi tidak bergerak selama masa awal
penyembuhan, fiksasi ini dapat menggunakan metode fiksasi maksilomandibula
c. Mobilisasi
Dilakukan dengan intermaksilari fiksasi (RA+RA digabung supaya
tidak bergerak dan melakukan suatu fungsi). Fiksasi intermasilar Adalah suatu
metode immobilisasi fraktur rahang yang melibatkan gigi- geligi, maksilla dan
Mandibula, sehingga dalam kurun waktu tertentu rahang tidak dapat
difungsikan untuk pengunyahan.

Catatan penatalaksanaan dari drg. bahrul saat plendis (vidio) :

1. Persiapan alat bahan dan memakai APD


2. Anestesi pasien, debridement, deep bleeding (jika perdarahan)
3. Reposisi gigi (dengan menggunakan jari) sesuai pada tempatnya
4. Fiksasi (bisa dengan manggunakan wire, arch bar, atau komposit)
dengan teknik ivy, stout, essig sesuai kasusnya.
5. Cek traumatik oklusi pada pasien
6. Diresepkan obat seperti Antibiotika (yang terbaik adalah golongan
sefalosforin). Anti inflamasi, Analgetika, dan Roburantia (vitamin).
7. Di triming dengan jari tangan  dilihat apakah ada kawat yang
mengganggu atau tidak
8.
7. Perawatan pasca bedah
Fraktur dentoalveolar sering mengakibatkan luka terbuka, sehingga perlu diberikan
antibiotik profilaksis dan obat kumur antiseptic (Sirait dkk., 2008). Antibiotika post
operasi dilanjutkan hingga 2-3 hari pasca debridement.
8. Proses penyembuhan fraktur

Proses penyembuhan fraktur dibedakan secara primer dan sekunder.

a. Primer : Penyembuhan cara ini terjadi internal remodelling yang meliputi upaya
langsung oleh korteks untuk membangun kembali dirinya ketika kontinuitas
terganggu. Agar fraktur menjadi menyatu, tulang pada salah satu sisi korteks
harus menyatu dengan tulang pada sisi lainnya (kontak langsung) untuk
membangun kontinuitas mekanis. Tidak ada hubungan dengan pembentukan
kalus. Terjadi internal remodelling dari haversian system dan penyatuan tepi
fragmen fraktur dari tulang yang patah.
b. sekunder
Penyembuhan sekunder meliputi respon dalam periostium dan jaringan-
jaringan lunak eksternal dan terjadi secara tumpang tindih. Proses penyembuhan
fraktur ini secara garis besar dibedakan :
1. inflamasi

 Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cidera dan pembentukan hematoma


di tempat patah tulang.
 Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan
darah terjadi hipoksia dan inflamasi yang menginduksi ekpresi gen dan
mempromosikan pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur untuk
memulai penyembuhan.
 Berkumpulnya darah pada fase hematom awalnya diduga akibat robekan
pembuluh darah lokal yang terfokus pada suatu tempat tertentu. Namun pada
perkembangan selanjutnya hematom bukan hanya disebabkan oleh robekan
pembuluh darah tetapi juga berperan faktor inflamasi yang menimbulkan
kondisi pembengkakan lokal.
 Waktu terjadinya proses ini dimulai saat fraktur terjadi sampai 2 – 3 minggu.
2. proliferasi

 Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk benang-


benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk
revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast.
 Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endotel, dan sel
periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks
kolagen pada patahan tulang.
 Terbentuk jaringan ikat fibrous dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum,
tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang
oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang
berlebihan akan merusak struktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh
menunjukkan potensial elektronegatif.
 Pada fase ini dimulai pada minggu ke 2 – 3 setelah terjadinya fraktur dan
berakhir pada minggu ke 4 – 8.
3. pembentukan kalus

 Merupakan fase lanjutan dari fase hematom dan proliferasi mulai terbentuk
jaringan tulang yakni jaringan tulang kondrosit yang mulai tumbuh atau
disebut sebagai jaringan tulang rawan.
 Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh
mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan
tulang digabungkan dengan jaringan fibrous, tulang rawan, dan tulang serat
matur
 Regulasi dari pembentukan kalus selama masa perbaikan fraktur dimediasi
oleh ekspresi dari faktor-faktor pertumbuhan. Salah satu faktor yang paling
dominan dari sekian banyak faktor pertumbuhan adalah Transforming
Growth Factor-Beta 1 (TGF-B1) yang menunjukkan keterlibatannya dalam
pengaturan differensiasi dari osteoblast dan produksi matriks ekstra seluler.
Faktor lain yaitu: Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) yang
berperan penting pada proses angiogenesis selama penyembuhan fraktur.
4. stadium konsolidasi
 Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus menerus, tulang yang
immature (woven bone) diubah menjadi mature (lamellar bone). Keadaan
tulang ini menjadi lebih kuat sehingga osteoklast dapat menembus jaringan
debris pada daerah fraktur dan diikuti osteoblast yang akan mengisi celah di
antara fragmen dengan tulang yang baru. Proses ini berjalan perlahan-lahan
selama beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk menerima beban
yang normal.
5. fase remodelling

 Selama berbulan bulan bahkan hingga tahunan proses penulangan yang


pada awalnya kasar akan mengalami formasi dan reasorbsi tulang secara
terus menerus. Akhirnya tulang akan kembali mendekati bentuk semulanya.
PETA PIKIRAN

Fraktur Dentoalveolar

Tanda dan Gejala

Pemeriksaan

Etiologi Anamnesa Fisik Penunjang

Klasifikasi Commented [fkdik1]: 1.Lefort


2.WHO
3.Derajat berat ringan luka
Diagnosis Commented [fkdik2]: 4.fraktur dentoalveolar gigi 11
dan 12 disertai fraktur alveolar 11 , 12 dan lateral luksasi
11, 12
Penatalaksanaan Kasus Kegagalan
Commented [fkdik3]: a.debridement luka
b.instalasi kawat splintingradiograf panoramic,
c.peresepan amoksisilin 500mg dan sodium diklofenat
25mg
-post treatment
Emergency Dini Definitif a.menjaga OHI dan makan makanan yang lunak

Commented [fkdik4]:
Commented [fkdik5]:
PROGNOSIS

Anda mungkin juga menyukai