Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ORTODONSIA
Ortodonsia (Orthodontia, Bld., Orthodontic, Ingg.) berasal dari bahasa
Yunani (Greek) yaitu orthos dan dons yang berarti orthos (baik, betul) dan dons
(gigi). Jadi ortodonsia dapat diterjemahkan sebagai ilmu pengetahuan yang
bertujuan memperbaiki atau membetulkan letak gigi yang tidak teratur atau tidak
rata. Keadaan gigi yang tidak teratur disebabkan oleh malposisi gigi, yaitu
kesalahan posisi gigi pada masing-masing rahang. Malposisi gigi akan
menyebabkan malrelasi, yaitu kesalahan hubungan antara gigi-gigi pada rahang
yang berbeda. Keadaan tersebut menimbulkan maloklusi, yaitu penyimpangan
terhadap oklusi normal. Maloklusi dapat terjadi karena adanya kelainan gigi
(dental), tulang rahang (skeletal), kombinasi gigi dan rahang (dentoskeletal)
maupun karena kelainan otot-otot pengunyahan (muskuler) (Adam,2006).
2.2 TUJUAN UTAMA ORTODONSIA
Tujuan dari ilmu orthodonsia yaitu (Duyzing,2007):
1. Mencegah terjadinya keadaan abnormal dari bentuk muka yang
disebabkan oleh kelainan rahang dan gigi. Adanya cacat muka yang disebabkan
oleh kelainan rahang dan susunan gigi yang tidak teratur dapat menyebabkan
bentuk muka yang kurang harmonis dan faktor estetis kurang.
2. Mempertinggi fungsi pengunyahan yang benar. Pengunyahan yang
benar dan efisien dapat dicapai setinggi mungkin jika susunan gigi-gigi itu baik,
stabil dan seimbang, begitu juga hubungan rahangnya. Pada gigi-gigi yang tidak
teratur atau pada lengkung gigi yang sempit dapat mengakibatkan gerakan lidah
tidak bebas sehingga terjadi penelanan yang salah, dan keadaan ini dapat
menimbulkan kelainan yang lebih lanjut.
3. Mempertinggi daya tahan gigi terhadap terjadinya karies. Gigi-gigi yang
tidak teratur akan menyebabkan sisa-sisa makanan mudah melekat pada
permukaan gigi dan self cleansing dari giginya menjadi tidak ada. Karena
pengaruh Lactobacillus, karbohidrat dalam sisa makanan akan diubah menjadi
asam laktat yang dapat melarutkan kalsium dari email dan dentin dan terjadilah

karies gigi. Dengan membetulkan letak gigi menjadi teratur berarti akan
mempertinggi daya tahan gigi terhadap karies.
4. Menghindarkan perusakan gigi terhadap penyakit periodontal. Gigi
yang posisinya tidak baik dan tidak teratur akan menyulitkan dalam menjaga
kebersihannya. Dengan demikian selain dapat terjadi karies pada gigi-giginya,
keadaan demikian juga dapat menimbulkan penyakit periodontal. Gigi yang tidak
teratur juga dapat menyebabkan terjadinya oklusi traumatik, sehingga dapat
memperparah penyakit periodontal yang terjadi.
5. Mencegah perawatan ortodontik yang berat pada usia lebih lanjut.
Pencegahan terhadap timbulnya maloklusi akan lebih efektif dan bermanfaat
daripada perawatan terhadap maloklusi yang sudah terjadi.
6. Memperbaiki cara bicara yang salah. Orang yang mempunyai kebiasaan
meletakkan lidah di antara kedua lengkung giginya akan menimbulkan gigitan
terbuka. Keadaan ini akan menyebabkan gangguan dalam proses artikulasinya
(proses pembentukan suara), sehingga akan mengakibatkan pengucapan kata atau
cara bicara yang salah. Dengan merawat maloklusinya, maka akan memperbaiki
cara bicaranya.
7. Menghilangkan kebiasaan buruk yang dapat menimbulkan kelainan
yang lebih berat. Kebiasaan buruk seperti menggigit kuku, ibu jari, pensil atau
lainnya, menghisap bibir, mendorong lidah pada gigi-gigi depannya, menekan
dagu dan sebagainya dapat menimbulkan kalainan baru atau memperberat
kelainan yang sudah ada.
2.3 Maloklusi
Maloklusi merupakan oklusi abnormal yang ditandai

dengan tidak

harmonisnya hubungan antar lengkung di setiap bidang spasial atau anomali


abnormal dalam posisi gigi.8Maloklusi menunjukkan kondisi oklusi intercuspal
dalam pertumbuhan gigi yang tidak reguler. Penentuan maloklusi dapat
didasarkan pada kunci oklusi normal. Angle membuat pernyataan key of occlusion
artinya molar pertama merupakan kunci oklusi (Mavreas 2008).

Menurut Angle yang dikutip oleh Dewanto, oklusi normal sebagai hubungan
dari bidang-bidang inklinasi tonjol gigi pada saat kedua rahang atas dan rahang
bawah dalam keadaan tertutup, disertai kontak proksimal dan posisi aksial semua
gigi yang benar, dan keadaan pertumbuhan, perkembangan posisi dan relasi antara
berbagai macam jaringan penyangga gigi yang normal pula (Dewanto,1993).
Menurut Andrew yang dikutip oleh Bisara, terdapat enam kunci oklusi
normal, sebagai berikut (Bishara, 2011):
1. Relasi molar menujukkan tonjol mesiobukal molar pertama rahang atas
beroklusi dalam celah antara mesial dan sentral dari molar pertama rahang
bawah.
2. Angulasi mahkota yang benar.
3. Inklinasi mahkota menjamin dari keseimbangan maloklusi.
4. Inklinasi mahkota menjamin dari keseimbangan oklusi.
5. Tidak ada rotasi gigi.
6. Tidak ada celah diantara gigi geligi.
7. Adanya curve of spee yang datar terhadap dataran oklusal.
Menurut Graber yang dikutip oleh Dewanto maloklusi merupakan penyakit
gigi terbesar kedua setelah karies gigi. Gambaran maloklusi pada remaja di
Indonesia masih sangat tinggi, mulai dari tahun 1983 adalah 90% sampai tahun
2006 adalah 89%, sementara perilaku kesehatan gigi pada remaja khususnya
tentang maloklusi masih belum cukup baik dan pelayanan kesehatan gigi belum
optimal (Dewanto,1993).
Tingginya prevalensi maloklusi juga dapat dilihat dari beberapa hasil survei
yang telah dilakukan terhadap populasi di berbagai tempat. Survei tersebut

membuktikan bahwa kebanyakan anak-anak memiliki gigi yang tidak teratur atau
maloklusi (Raharjo,2008).
2.4. PENYEBAB MALOKLUSI
Menurut Profit (1993), maloklusi dapat disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya :
1. Faktor keturunan, seperti sistem neuromuskuler, tulang, gigi dan bagian lain
di luar otot dan saraf.
2. Gangguan pertumbuhan.
3. Trauma, yaitu trauma sebelum lahir dan trauma saat dilahirkan serta trauma
setelah dilahirkan.
4. Keadaan fisik, seperti prematur ekstraksi.
5. Kebiasaan buruk seperti menghisap jari yang dapat menyebabkan insisivus
rahang atas lebih ke labial sedangkan insisivus rahang bawah ke lingual,
menjulurkan lidah, menggigit kuku, menghisap dan menggigit bibir.
6. Penyakit yang terdiri dari penyakit sistemik, kelainan endokrin, penyakit
lokal (gangguan saluran pernapasan, penyakit gusi, jaringan penyangga gigi,
tumor, dan gigi berlubang).
7. Malnutrisi.
2.5 KLASIFIKASI MALOKLUSI
Menurut Angle yang dikutip oleh Rahardjo, mendasarkan klasifikasinya atas
asumsi bahwa gigi molar pertama hampir tidak pernah berubah posisinya. Angle
mengelompokkan maloklusi menjadi tiga kelompok, yaitu maloklusi Klas I, Klas
II, dan Klas III ( Raharjo,2008).

1. Maloklusi Klas I : relasi normal anteroposterior dari mandibula dan


maksila.Tonjol mesiobukal cusp molar pertama permanen berada pada bukal
groove molar pertama permanen mandibula.
Terdapat relasi lengkung anteroposterior yang normal dilihat dari relasi
molar pertama permanen (netrooklusi). Kelainan yang menyertai maloklusi klas I
yakni: gigi berjejal, rotasi dan protrusi (Raharjo,2008).
Tipe 1 : Klas I dengan gigi anterior letaknya berdesakan atau crowded
atau gigi C ektostem
Tipe 2 : Klas I dengan gigi anterior letaknya labioversi atau protrusi
Tipe 3 : Klas I dengan gigi anterior palatoversi sehingga terjadi gigitan
terbalik (anterior crossbite).
Tipe 4 : Klas I dengan gigi posterior yang crossbite.
Tipe 5 : Klas I dimana terjadi pegeseran gigi molar permanen ke arah
mesial akibat prematur ekstraksi. 15

Gambar 2.1 Maloklusi Klas I


2. Maloklusi Klas II: relasi posterior dari mandibula terhadap maksila. Tonjol
mesiobukal cusp molar pertama permanen atas berada lebih mesial dari bukal
groove gigi molar pertama permanen mandibula.

Gambar 2.2 Maloklusi Klas II


Divisi 1

: insisivus sentral atas proklinasi sehingga didapatkan jarak


gigit besar (overjet), insisivus lateral atas juga proklinasi,
tumpang gigit besar (overbite), dan curve of spee positif.

Divisi 2

: insisivus sentral atas retroklinasi, insisivus lateral atas


proklinasi, tumpang gigit besar (gigitan dalam). Jarak gigit
bisa normal atau sedikit bertambah.

Pada penelitian di New York Amerika Serikat diperoleh 23,8%


mempunyai maloklusi Klas II. Peneliti

lain mengatakan

bahwa 55% dari

populasi Amerika Serikat mempunyai maloklusi Klas II Divisi I.


3. Maloklusi klas III : relasi anterior dari mandibula terhadap maksila.

12

Tonjol

mesiobukal cusp molar pertama permanen atas berada lebih distal dari bukal
groove gigi molar pertama permanen mandibula dan terdapat anterior
crossbite (gigitan silang anterior).

Gambar 2.3 Maloklusi Klas III


Tipe 1

: adanya lengkung gigi yang baik tetapi relasi lengkungnya


tidak normal.

10

Tipe 2

: adanya lengkung gigi yang baik dari gigi anterior maksila


tetapi ada linguoversi dari gigi anterior mandibula.

Tipe 3

: lengkung maksila kurang berkembang; linguoversi dari gigi


anterior maksila; lengkung gigi mandibula baik.

Untuk kasus crossbite ada yang membaginya menjadi crossbite anterior dan
crossbite posterior.
a. Crossbite anterior
Suatu keadaan rahang dalam relasi sentrik, namun terdapat satu atau
beberapa gigi anterior maksila yang posisinya terletak di sebelah lingual
dari gigi anterior mandibula.
b. Crossbite posterior
Hubungan bukolingual yang abnormal dari satu atau beberapa gigi
posterior mandibula.
Selain Klasifikasi Angle, terdapat berbagai jenis maloklusi, seperti (Finn,2003):
1. Deepbite adalah suatu keadaan dimana jarak menutupnya bagian insisal gigi
insisivus maksila terhadap insisal gigi insisivus mandibula dalam arah vertikal
melebihi 2-3 mm. Pada kasus deepbite, gigi posterior sering linguoversi atau
miring ke mesial dan insisivus mandibula sering berjejal, linguoversi, dan
supra oklusi.
2. Openbite adalah keadaan adanya ruangan oklusal atau insisal dari gigi saat
rahang atas dan rahang bawah dalam keadaan oklusi sentrik. Macam-macam
open bite menurut lokasinya antara lain :

a.

Anterior openbite

11

Klas I Angle anterior openbite terjadi karena rahang atas yang sempit, gigi depan
inklinasi ke depan, dan gigi posterior supra oklusi, sedangkan Klas II Angle divisi
I disebabkan karena kebiasaan buruk atau keturunan.
b. Posterior openbite pada regio premolar dan molar.
c. Kombinasi anterior dan posterior/total openbite terdapat baik di anterior,
posterior, dapat unilateral ataupun bilateral.
3. Crowded (Gigi berjejal)
Gigi berjejal adalah keadaan berjejalnya gigi di luar susunan yang normal.
Penyebab gigi berjejal adalah lengkung basal yang terlalu kecil daripada lengkung
koronal. Lengkung basal adalah lengkung pada prossesus alveolaris tempat dari
apeks gigi itu tertanam, lengkung koronal adalah lengkung yang paling lebar dari
mahkota gigi atau jumlah mesiodistal yang paling besar dari mahkota gigi
geligi.Faktor keturunan merupakan salah satu penyebab gigi bejejal, misalnya
ayah mempunyai struktur rahang besar dengan gigi yang besar-besar, ibu
mempunyai struktur rahang kecil dengan gigi yang kecil. Kombinasi genetik
antara rahang kecil dan gigi yang besar membuat rahang tidak cukup dan gigi
menjadi berjejal. Kasus gigi berjejal dibagi berdasarkan derajat keparahannya,
yaitu (Mavreas, 2008).
a. Gigi berjejal kasus ringan
Terdapat gigi-gigi yang sedikit berjejal, sering pada gigi depan mandibula,
dianggap suatu variasi yang normal dan dianggap tidak memerlukan
perawatan.

b. Gigi berjejal kasus berat

12

Terdapat gigi-gigi yang sangat berjejal sehingga dapat menimbulkan oral


hygiene yang buruk.
4. Diastema (Gigi renggang)
Gigi renggang adalah suatu keadaan terdapatnya ruang di antara gigi geligi
yang seharusnya berkontak. Diastema ada 2 macam, yaitu:
a. Lokal, jika terdapat diantara 2 atau 3 gigi. Penyebabnya antara lain
frenulum labial yang abnormal, kehilangan gigi, kebiasaan jelek, dan
persistensi.
b. Umum, jika terdapat pada sebagian besar gigi, dapat disebabkan oleh
faktor keturunan, lidah yang besar dan oklusi gigi yang traumatis.
2.6 Indeks Maloklusi
Menurut Toung dan Striffler, indeks maloklusi adalah nilai numerik yang
menjelaskan status relatif suatu populasi pada suatu skala bertingkat dengan batas
atas dan batas bawah yang jelas. Hal ini dirancang agar mampu memberi
kesempatan dan fasilitas untuk dibandingkan dengan populasi lain yang telah
dikelompokkan dengan kriteria dan metode yang sama (Sundaresa, 2006).
Indeks maloklusi yang diperlukan adalah penilaian kuantitatif dan objektif
yang dapat memberikan batasan adanya penyimpangan dari oklusi ideal yang
masih dianggap normal, dan dapat memisahkan kasus- kasus abnormal menurut
tingkat keparahan dan kebutuhan masyarakat. Kriteria dari indeks maloklusi
tersebut adalah sebagai berikut (Sundaresa, 2006):
1. Valid yaitu indeks harus dapat mengukur apa yang akan diukur.
2. Reliable (dapat dipercaya) yaitu indeks dapat mengukur serta konsisten pada
saat yang berbeda dan dalam kondisi yang bermacam- macam serta pengguna
yang berbeda-beda.
3. Mudah digunakan.
4. Diterima oleh kelompok pengguna indeks.

13

Indeks maloklusi telah banyak ditemukan dan indeks itu dibuat untuk
suatu tujuan tertentu. Tujuan inilah yang membedakan indeks yang satu dengan
yang lain, diantaranya (Sundaresa, 2006):
1. Untuk menentukan klasifikasi maloklusi menggunakan klasifikasi Angle.
2. Keperluan epidemiologi yaitu Epidemiological Registration of Malocclusion,
Indeks oleh WHO.
3. Mengukur

kebutuhan

Handicapping

perawatan

labio-lingual

yaitu,

deviations

Treatment
(HLD)

index,

Priority

Index,

Handicapping

Malocclusion Assesment Record (HMAR), dan Index of Orthodontic Treatment


Need (IOTN).
4. Estetik dento-fasial yaitu Photographic Index dan Dental Aesthetic Index
(DAI), SCAN Index.
5. Menentukan keberhasilan perawatan yaitu Occlusal Index, Peer Assesment
Rating (PAR Index) dan ABOs Objective Grading System (OGS).
6. Menentukan keberhasilan perawatan dan kebutuhan perawatan yaitu Index of
Complexity, Outcome and Need (ICON).
Syarat indeks menurut Jamison H.D dan Mc Millan R.S:
a. Indeks sebaiknya sederhana, akurat, dapat dipercaya dan dapat ditiru
b. Indeks harus objektif dalam pengukuran dan menghasilkan data kuantitatif
sehingga dapat dianalisi dengan metode statistik tertentu
c. Indeks harus di design untuk membedakan maloklusi yang merugikan dan
tidak merugikan
d. Pemeriksaan yang dibutuhkan dapat dilakukan dengan cepat oleh pemeriksa
walaupun tanpa instruksi khusus dalam diagnosis ortodonti
e. Indeks sebaiknya dapat dimodifikasi untuk sekelompok data epidemiologi
tentang maloklusi dari segi prevalensi, insiden dan keparahan, contohnya
frekuensi malposisi dari masing- masing gigi
f. Indeks sebaiknya dapat digunakan pada pasien atau model studi
g. Indeks sebaiknya mengukur derajat keparahan malklusi (Sundaresa, 2006).

2.7 Macam Indeks Maloklusi


1. Dental Aesthetic Index (DAI)

14

Dental Aesthetics Index (DAI), dikembangkan di Amerika Serikat dan


diintegrasikan ke dalam Studi Kolaborasi Internasional Oral Health oleh
Organisasi Kesehatan Dunia. DAI dapat membantu untuk menentukan apakah
pasien perlu untuk dirujuk ke dokter spesialis, hal ini dapat mengurangi jumlah
pasien yang melakukan konsultasi awal ke dokter gigi atau ortodontis. DAI
digunakan untuk mengevaluasi komponen estetika dan anatomi maloklusi, tetapi
DAI tidak memberikan informasi apapun tentang bagaimana maloklusi
mempengaruhi citra diri dan kualitas hidup pasien dari segi fungsi kesejahteraan
subjektif dan harian (Sundaresa, 2006).
Dental Aesthetics Index (DAI), yang diadopsi oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO), mengevaluasi 10 karakteristik oklusal, yaitu overjet, negatif
overjet, kehilangan gigi, diastema, anterior open bite, crowding anterior, diastema
anterior, lebar penyimpangan anterior (mandibula dan maksila) dan hubungan
anterior-posterior. DAI memiliki empat tahapan keparahan maloklusi, yaitu skor
yang lebih rendah dari atau sama dengan 25 (kebutuhan perawatan tidak ada atau
sedikit), skor antara 26 dan 30 (perawatan elektif), skor antara 31 dan 35 (sangat
menginginkan perawatan) dan skor lebih besar dari 36 (wajib melakukan
perawatan). Dental Aesthetic Index (DAI) adalah suatu indeks ortodonti yang
berasaskan definisi standar sosial yang berguna dalam survey epidemiologi untuk
menemukan kebutuhan perawatan ortodonti di kalangan masyarakat dan juga
sebagai alat screening untuk mendeterminasikan prioritas subsidi terhadap
perawatan ortodonti (Sundaresa, 2006).
Cara Pengukuran Dental Aesthetics Index (DAI)
1. Gigi hilang (Insisif, Kaninus, dan Premolar). Rongak pada gigi yang hilang
tersebut masih terlihat. Perhitungan dimulai dari premolar kedua kanan sampai
premolar kedua kiri. Dalam satu rahang harus ada sepuluh gigi. Gigi hilang
dihitung per gigi, misalnya yang hilang satu gigi, diberi skor 1, yang hilang 2
gigi diberi skor 2, dan seterusnya. Jika kurang dari sepuluh harus dicatat
sebagai gigi hilang, kecuali jika ruang antar gigi sudah menutup, masih ada
gigi sulung, ada gigi hilang yang sudah diganti dengan protesa.
2. Berdesakan pada gigi anterior termasuk gigi yang rotasi dan gigi yang terletak
tidak sesuai lengkung (Gambar 1). Bila tidak ada berdesakan maka diberi skor

15

0; bila pada salah satu rahang ada berdesakan diberi skor 1; bila pada kedua
rahang ada berdesakan diberi skor 2.
3. Ruang antar gigi (rongak) pada gigi anterior. Dilihat dari kaninus kanan sampai
kaninus kiri. Jika tidak ada ruang antar gigi atau setiap gigi kontak dengan baik
diberi skor 0; jika dalam satu rahang ada ruang antar gigi diberi skor 1; jika
pada kedua rahang ada ruang antar gigi diberi skor 2.
4. Diastema sentral. Dicatat jika ada diastema sentral pada rahang atas dan diukur
dengan ukuran millimeter kemudian dicatat sesuai jarak yang ada (mm). Jika
tidak ada diastema sentral diberi skor 0.
5. Ketidakteraturan terparah pada maksila. Diukur pada salah satu gigi yang
paling tidak teratur (termasuk rotasi) dengan menggunakan jangka sorong,
dengan ukuran millimeter. Jika gigi terletak rapi dan tidak ada berdesakan atau
rotasi diberi skor 0.
6. Ketidakteraturan terparah pada mandibula.Diukur pada salah satu gigi yang
paling tidak teratur (termasuk rotasi) dengan menggunakan jangka sorong,
dengan ukuran millimeter. Jika gigi terletak rapi dan tidak ada berdesakan
diberi skor 0.
7. Jarak gigit anterior pada maksila Pengukuran ini dilakukan pada posisi oklusi
sentries. Yang dicatat hanya pada bagian yang jarak gigitnya besar (lebih dari
normal (> 2mm)). Jika semua gigi insisif bawah hilang dan terdapat gigitan
terbalik, tidak perlu dicatat. Bila jarak gigit normal diberi skor 0 (Jarak gigit
normal= 2mm).
8. Jarak gigit anterior pada mandibula (protrusi mandibula).Dicatat jika ada
protrusi mandibula yang paling parah, tapi jika ada gigitan terbalik satu gigi
karena gigi tersebut rotasi tidak perlu dicatat.
9. Gigitan terbuka anterior .Yang dicatat hanya gigitan terbuka terbesar dalam
ukuran millimeter. Jika tidak ada gigitan terbuka diberi skor 0.
10. Relasi molar anteroposterior dan deviasi terbesar dari normal baik kanan
maupun kiri. Penilaian berdasarkan relasi molar pertama permanen atas dan
bawah. Nilai 0 untuk relasi molar yang normal, nilai 1 jika molar pertama
bawah kanan atau kiri setengah tonjol distal atau mesial dari molar pertama

16

atas dan nilai 2 jika molar pertama bawah kanan atau kiri satu tonjol penuh
atau lebih atau distal dari molar pertama atas (Sundaresa, 2006).
Skor DAI diciptakan dari jumlah total sepuluh komponen yang telah
dikalikan dengan bobot masing-masing kemudian hasil penilaian ditambahn
dengan konstanta. Hasil skor tiap kasus dikelompokkan sesuai dengan keparahan
maloklusinya. Pengelompokan maloklusi berdasarkan skor DAI (Sundaresa,
2006):

<25 maloklusi ringan

26-30 maloklusi sedang

31-35 maloklusi parah

>36 maloklusi yang sangat parah

2. Handicapping malocclusion asessment index (HMA)


Penilaian maloklusi pada metode ini dengan menggunakan HMAR
(Handicapping Malocclusion Assesment Record) yaitu suatu lembar isian yang
dirancang oleh Salzmann pada tahun 1967 dan digunakan untuk melengkapi cara
menentukan priorotas perawatan orthodontik menurut keparahan maloklusi yang
dapat dilihat pada besarnya skor yang tercatat pada lembar isian tersebut
(Sundaresa, 2006).
Ciri-ciri maloklusi yang dicatat dan diskor terdaftar dalam HMAR sebagai
berikut (Sundaresa, 2006):
A. Penyimpangan gigi dalam satu rahang (Intra Arch Deviation) :
a. Gigi absen (missing)
b. Gigi berjejal (crowded)
c. Gigi rotasi (rotation)
d. Gigi renggang (spacing)
Skor untuk setiap gigi anterior rahang atas (4 gigi insisivus) yang terkena
= 2. Skor untuk setiap gigi posterior dan setiap gigi anterior dan posterior rahang
bawah = 1 (Sundaresa, 2006).

17

B. Kelainan hubungan gigi kedua rahang dalam keadaan oklusi (Inter Arch
deviation) (Sundaresa, 2006):
1. Segmen Anterior
a. Jarak gigit (over jet)
b. Tumpang gigit (over bite)
c. Gigitang silang (cross bite)
d. Gigitang terbuka (open bite)
2. Segmen posterior
a. Kelainan antero-posterior
Penilaian dapat dilakukan pada model gigi atau di dalam mulut. Di
samping pengisian HMAR juga dilakukan pada lembat SOAR
(Suplementary Oral Assesmment Record). Jika penilaian dilakukan dalam
mulut, sebelum mencatat ciri-ciri maloklusi yang ada pada SOAR, HMAR
dilengkapi terlebih dahulu. Untuk mengetahui seberapa besar keinginan
seseorang untuk dirawat (treatment diserability), dicatat pula kebutuhan
perawatan, keinginan untuk dirawat, dan tidak adanya permintaan untuk
dirawat. Hal ini semua ditanyakan pada pasien, orang tua dan guru
(Sundaresa, 2006).
Keuntungan HMA ialah mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi
dan peka terhadap semua tingkatan maloklusi. Untuk penilaian maloklusi
tidak memerlukan alat khusus. Kalau dibandingkan dengan indeks yang
lain penilaian subjektif tidak begitu kritis karena hanya mencatat
perbedaan full cusp. Kalau ada error tidak serius sebab sistem
penilaiannya hanya di bagian anterior dan lebih kearah penilaian estetik.
Keuntungan lain ialah adanya penilaian renggang dan absensi gigi
posterior yang dicatat, sedang pada lain-lain metode hal tersebut
diabaikan. Keuntungan terbesar adalah bahwa sekali metode tersebut
dipelajari dengan baik, tidak diperlukan catatan lain dan skor keparahan
maloklusi dapat dikalkulasi dengan cepat. Jadi cara penilaian maloklusi
dengan HMAR lebih menyerupai penilaian status kesehatan dengan indeks
DMF (Sundaresa, 2006).

18

Kerugian metode ini hanya sedikit. Terutama ialah bahwa cara ini
memerlukan latihan untuk memberi pelajaran kepada para petugas
pelayanan kesehatan gigi agar memahami bagaimana menggunakan
HMAR tersebut. Tetapi sekali mereka mempelajari dan memahami,
kemungkinan membuat kesalahan tidak sebanyak metode-metode yang
lain dan setiap orang yang telah mempelajari cara ini menjadi
berpengalaman dalam melihat oklusi (Sundaresa, 2006).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan HMAR
untuk menilai maloklusi pada gigi geligi bercampur ialah (Sundaresa,
2006):
a. Penilaian absen gigi molar kedua susu, bila tidak ada penyempitan
ruang sebaiknya tidak diberi skor.
b. Renggang antara gigi insisivus lateral dan kaninus atau yang disertai
renggang antara gigi kaninus dan premolar tidak dinilai sebagai
renggang terbuka anterior.
c. Penilaian overbite termasuk bila seluruh mahkota gigi insisivus bawah
tertutup oleh gigi insisivus atas pada keadaan oklusi.
d. Bila posisi gigi premolar dan kaninus normal, tetapi belum erupsi
penuh, sebaiknya tidak dinilai sebagai gigitan terbuka posterior.
Cara penilaian
1) Segmen Anterior
Untuk setiap gigi rahang atas yang terlibat diberi skor 2
a) Jarak gigit, penilaian jarak gigit ialah bila gigi insisivus atas labioversi
sehingga gigi insisivus bawah pada waktu oklusi mengenai mukosa
palatum. Apabila gigi insisivus atas tidal labioversi maka kelainan itu
hanya diskor sebagai kelainan tumpang gigit.
b) Tumpang gigit, penilaian tumpang gigit ialah apabila pada waktu oklusi,
gigi insisivus atas mengenai mukosa gingiva gigi insisivus bawah,
sedang gigi bawah tersebut mengenai mukosa palatum. Jika insisivus atas
labioversi maka kelainan tumpang gigit juga jarak gigit.
c) Gigitan silang, yaitu apabila gigi insisivus atas pada waktu oklusi
disebelah lingual gigi insisivus bawah.

19

d) Gigitan terbuka, yaitu apabila waktu oklusi gigi depan atas dan bawah
tidak berkontak (Sundaresa, 2006).
2) Segmen posterior
Untuk setiap gigi yang terlibat diberi skor 1.
a) Kelainan anteroposterior, yaitu kelainan oklusi dimana pada waktu oklusi
gigi kaninus, premolar pertama dan premolar kedua serta gigi molar
pertama bawah berada disebelah distal atau mesial gigi antagonisnya.
Kelainan tersebut diskor bila terdapat satu tonjol atau lebih dari gigi
molar, premolar dan kaninus beroklusi di daerah interproksimal lebih ke
mesial atau ke distal dari posisi normal.
b) Gigitan silang, yaitu bila pada waktu oklusi terdapat gigi pada segmen
bukal yang posisinya lebih ke lingual atau bukal diluar kontak oklusi
terhadap gigi antagonisnya.
c) Gigitan terbuka, yaitu bila pada waktu oklusi terdapat celah antara gigi
posterior atas dan bawah. Hubungan tonjol lawan tonjol tidak termasuk
gigitan terbuka (Sundaresa, 2006).
Setiap ciri maloklusi yang berupa kelainan dentofasial diberi skor 8. Ciriciri tersebut yaitu: celah bibir dan celah mulut, bibir bawah terletak di palatal
gigi insisivus atas, gangguan oklusal (oklusal interference), gangguan fungsi
rahang (functional jaw limitation), asimetri muka/wajah, gangguan bicara
(speech impairment) (Sundaresa, 2006).
Indikator kebutuhan perawatan berdasarkan kriteria tingkat keparahan
maloklusi menunjukan keparaham maloklusi berkisar antara (Sundaresa,
2006):
a. Skor 0 4 : variasi oklusi normal
b. Skor 5 9 : maloklusi ringan, tidak perlu perawatan
c. Skor 10-14 : maloklusi ringan, kasus tertentu memerlukan perawatan
d. Skor 15 19 : maloklusi berat, memerlukan perawatan
e. Skor = 20 : maloklusi berat, sangat memerlukan perawatan
3. Handicapping Labio-lingual Deviation Indeks (HLD Indeks)

20

HLD Indeks disusun oleh para Draker pada tahun 1960, dengan maksud untuk
diajukan sebagai cara penilaian yang obyektif bagi epidemiologi maloklusi. Ciriciri maloklusi yang dinilai pada metode ini ialah meliputi 9 macam cirri maloklusi
dimana 2 diantaranya merupakan ciri khas yang dapat menentukan adanya cacat
muka (phisical handicap) (Sundaresa, 2006).
Macam ciri maloklusi yang dinilai dan cara member skor sebagai berikut
(Sundaresa, 2006):
Macam ciri maloklusi

Skor HLD

1. Celah langit (cleft palate) skor 15


2. Penyimpangan traumatik yang berat skor 15
3. Jarak gigit (dalam mm)

4. Tumpang gigit (dalam mm)


5. Protusi mandibula

x 5

6. Gigitan terbuka (dalam mm) x 4


7. Erupsi ectopic, hanya gigi depan, tiap gigi x3
8. Gigi berjejal anterior: Maksila, Mandibula, tiap rahang skor 5
9. Penyimpangan Labio-lingual (dsalam mm)
Jumlah
Menurut draker (1960), skor 13 atau lebih sudah termasuk phisical
handicap. Draker menyatakan bahwa metode ini sederhana, obyektif dan
reproducible, penilaian maloklusi dapat dilakukan langsung pada subyek yang
diteliti atau pada model gigi tanpa menggunakan alat khusus, dan dapat dipakai
untuk menentukan cut off point bagi program kesehatan yang telah ditentukan,
sehingga dapat disesuaikan dengan perubahan dana yang tersedia tanpa
mengesampingkan objektivitas penelitian (Sundaresa, 2006).
Apabila indeks ini diterapkan dengan sempurna, secara epidemiologi akan
dapat memisahkan kelainan handicapping labio-lingual deviation dari sampel
yang diteliti. Dengan demikian akan memudahkan tim pelayanan kesehatan gigi
dalam melaksanakan programnya. Menurut Draker handicapping malocclusion
adalah satu-satunya faktor yang sangat menarik bagi kesehatan masyarakat.
Definisi yang spesifik dan tepat bagi handicapping malocclusion sukar ditentukan

21

sebab ada sejumlah kemungkinan variasi yang tidak terbatas dari maloklusi
terutama variasi individual tentang handicap (Sundaresa, 2006).
Untuk menilai handicapping malocclusion dibutuhkan suatu alat penilai
semacam indeks yang dapat menunjukkan ada atau tidak adanya handicap dan
untuk mengukur keparahannya. Jadi bukan suatu pengetahuan spesialisasi.
Presentase yang tinggi dari orang-orang yang menderita maloklusi, yang menurut
ahli Orthodonti memerlukan perawatan, ternyata kasusnya tidak merupakan
masalah dalam kesehatan masyarakat. Sebaliknya panilaian maloklusi oleh ahli
Kesehatan Masyarakat. Sebaliknya penilaian oleh ahli Kesehatan Masyarakat
(petugas lapangan) tidak perlu memuaskan bagi dokter gigi ahli Orthodontia tau
dokter gigi yang bekerja di klinik (petugas klinik). Handicap ialah suatu keadaan
yang dapat diamati. Jadi indeks untuk menilai handicap semacam DLD indeks
sebaiknya berdasarkan pada penggunaan oleh dokter gigi Kesehatan Masyarakat
bukan oleh spesialis Orthodonti (Sundaresa, 2006).
4. Metode Penialaian menurut FDI
Untuk mengukur atau menialai ciri-ciri maloklusi, pada tahun 1959 sebuah
komisi yang menangani klasifikasi dan statistik kondisi mulut dari FDI (FDI
Commission on Classification and Statistic for Oral Condition = COCSTOC)
telah mengusulkan Method of measuring Occlusal Traits yang telah diterima
secara resmi oleh FDI pada Mexico City tahun 1972. Pengukuran menurut metode
ini terbatas pada penilaian tertentu in situ dari gigi-gigi itu sendiri, hubungan
antara gigi-gigi dalam satu rahang (intra-arch), dan hubungan gigi-gigi dalam
kedua rahang (inter-arch). Tidak ada penilaian umum tentang jaringan lunak
(misalnya profil jaringan lunak) sebab penilaian semacam itu sangat subyektif
(Sundaresa, 2006).
System pengukuran ini merupakan langkah pertama yang pasti kearah metode
komprehensif untuk mendapatkan informasi kombinasi sifat-sifat atau cirri-ciri
yang mempengaruhi penampilan wajah seseorang. Jika data yang diperoleh
cukup, diharapkan dapat menentukan cut-off point bagi sifat-sifat individu yang
bisa membedakan orang-orang yang membutuhkan perawatan dan yang tidak
(Sundaresa, 2006).

22

5. Malalignment Index (Mal I)


Indeks ini diajukan oleh van kirk dan Pannell tahun 1959. Ciri maloklusi yang
dinilai adalah letak gigi yang tidak teratur (Malalignment teeth). Kriteria penilaian
dengan skor berikut (Sundaresa, 2006):
Skor 0 = ideal alignment = letak gigi teratur dalam deretan normal
Skor 1 = Minor malalignment = letak gigi tak teratur ringan.
Ini ada 2 tipe yaitu (Sundaresa, 2006):
(1) Rotasi <45 derajat
(2) Penyimpangan (displacement)< 1,5mm
Skor 2 = Major Malalignment = letak gigi tak teratur berat
Ini juga ada 2tipe yaitu (Sundaresa, 2006):
(1) Rotasi >45 derajat
(2) Penyimpangan >1,5 mm
Pada penilaian ini gigi geligi dibagi menjadi 6 segmen yaitu : segmen depan
atas, kanan atas, kiri atas, depan bawah, kanan bawah dan kiri bawah. Skor tiap
segmen didapat dengan menjumlahkan skor tiap gigi, dan skor Mal I tiap individu
didapat dengan menjumlahkan skor tiap segmen. Jadi untuk 32 gigi skor Mal I
berkisar antara 0-64. Tetapi dalam praktek hanya sedikit individu yang skornya 0
dan di atas 18. Alat ukur yang dipakai adalah penggaris plastik kecil dengan
ukuran 1x4 inci, ujung penggaris miring 45 derajat dan di atas ujung lain diberi
garis mendatar dan tegak pada jarak 1,5mm dari tepi penggaris (Sundaresa, 2006).
Penilaian dapat dilakukan di model gigi atau langsung pada mulut. Metode
ini sederhana, objektif dan praktis untuk program lapangan sangat cocok. Indeks
ini tidak hanya menilai kuantitas maloklusi tetapi juga dapat untuk
mengelompokkan tingkat keparahan maloklusi dalam masyarakat. Metode ini
berbeda dengan pemeriksaan klinik secara rutin yang dilakukan oleh ahli
Orthodontia atau dokter gigi umum lainnya. Metode penilaian tersebut tidak
memerlukan kursi gigi dan alat pemeriksaan gigi yang lain seperti sonde, pinset

23

atau lampu penerang. Cukup kaca mulut, alat penggaris plastik kecil dan
penerangan alam. Van Kirk dan Pennell memilih penilaian maloklusi berdasarkan
ketidakteraturan letak gigi karena seringnya ciri maloklusi ini terjadi dan ciri erat
hubungannya dengan ciri-ciri maloklusi yang lain (Sundaresa, 2006).
6. IOTN (Index of Orthodontic Treatment Need)
Terdapat dua komponen yaitu (Sundaresa, 2006):
a. Dental Health Component (DHC)
b. Aesthetic Component (AC)
DHC dari IOTN memiliki lima kategori yang tersusun dari 1 (tidak
memerlukan perawatan) sampai 5 (sangat memerlukan perawatan) yang dapat
diaplikasikan secara klinis atau pada studi kasus pasien. Pada pasien grade 5
termasuk pasien dengan cleft lip dan cleft palate, beberapa gigi yang hilang atau
maloklusi destruktif, dan juga termasuk didalamnya beberapa gigi yang terjadi
perpindahan tempat. Dental Health Component menggunakan aturan yang simpel
serta menggunakan istilah MOCDO untuk membimbing peneliti dalam meneliti
maloklusi. MOCDO mewakili Missing Teeth atau kehilangan gigi, Overjet,
Crossbite, Displacement of Contact Points atau perpindahan titik kontak, dan
Overbite. Pada pasien dengan gigi insisivus yang impaksi dikategorikan menjadi
grade 5. Pada pasien dimana tidak memiliki anomali jumlah gigi atau posisi, maka
aturan dapat digunakan untuk mengukur overjet. Pada kasus overjet 6 sampai 9
milimeter akan dikategorikan dalam grade 4 (Sundaresa, 2006).
7. The Peer Assesment Rating Index ( PAR INDEX)
The Peer Assesment Rating Index ( Par Index) dikembangkan oleh Richmond
Dkk (1992). Digunakan untun membandingkan maloklusi sebelum dan sesudah
perawatan dalam melakukan evaluasi standart kualitas hasil perawatan. Indeks
PAR menguji reliabilitas (Sundaresa, 2006).
Cara pengukuran dilakukan dengan dua cara, yaitu menghitung pengurangan
bobot indeks PAR sebelum dan sesudah perawatan dan menghitung persentase
pengurangan bobot indeks PAR sebelum dan sesudah perawatan. Penilaian antara
kasus sebelum dan sesudah perawatan menggunakan Indeks PAR memiliki

24

komponen, masing-masing komponen memiliki beberapa skor yang dinilai


dengan kriteria tertentu berdasarkan keparahannya (Sundaresa, 2006).
Dari 11 komponen tabel 1, beberapa komponen individual tidak dimasukkan
dalam bobot indeks PAR karena tidak memiliki nilai yang bermakna dalam
memprediksi keberhasilan perawatan ortodonti. Segmen bukal (berjarak, berjejal
dan impaksi) merupakan salah satu komponen yang dikeluarkan dari bobot indeks
PAR. Salah satu alasan yang mungkin dijelaskan adalah titik kontak antara gigi
bukal sangat bervariasi. Jika perubahan letak (displacement) gigi parah, akan
menghasilkan oklusi crossbite dan skornya dicatat pada oklusi bukal kanan atau
kiri (tidak lagi pada penilaian titik kontak). Adanya premolar impaksi juga tidak
dimasukkan dalam bobot indeks PAR. Selain karena prevalensinya sangat sedikit,
pencabutan premolar juga sering dilakukan pada kasus yang membutuhkan ruang
sehingga tidak memberikan pengaruh dalam menilai keberhasilan perawatan
(Sundaresa, 2006).
Komponen-komponen Indeks PAR
1. Segmen bukal rahang atas kanan
2. Segmen anterior rahang atas
3. Segmen anterior rahang atas
4. Segmen bukal rahang bawah kanan
5. Segmen anterior rahang bawah
6. Segmen bukal rahang bawah kiri
7. Oklusi bukal kanan
8.Overjet
9.Overbite
10.Garis median
11.Oklusi bukal kiri (Sundaresa, 2006).

8. Index of Complexity, Outcome and Need (ICON)


Index of Complexity, Outcome and Need (ICON) terdiri dari 5 komponen,
yang

masing-

masing

memiliki

bobot

yang

berbeda

sesuai

dengan

kepentingannya. Komponen pertama diadaptasi dari komponen estetik IOTN.

25

Komponen lainnya termasuk berdesakan/diastema rahang atas, crossbite,


openbite/overbite anterior, dan relasi anteroposterior segmen bukal. Masingmasing komponen dapat dilihat dari model studi dan model progres. Skor ICON
mencerminkan tingkat dari kebutuhan, kekomplekan dan derajat perubahan
sebagai hasil dari perawatan (Sundaresa, 2006).
Cara kerja penelitian ini dengan meletakkan model studi dan model progres
pada meja, kemudian masing-masing diamati kelima komponen Index of
Complexity, Outcome and Need (ICON) untuk dicatat skornya masing-masing
komponen (Sundaresa, 2006).
1. Komponen Estetik
Gigi-geligi rahang atas dan rahang bawah pada model dioklusikan,
kemudian dibandingkan dan dipilih yang paling mendekati dengan keadaan gigigeligi yang ada pada foto hitam putih. Lalu diberi skor sesuai dengan skor yang
ada pada foto tersebut. Skala tersebut antara 1, untuk estetik yang baik, sampai 10,
untuk komponen estetik yang terburuk (Sundaresa, 2006).
2. Crossbite
Gigi-geligi rahang atas dan rahang bawah pada model dioklusikan,
kemudian dilihat ada tidaknya crossbite. Skor yang diberikan bila dijumpai
adanya crossbite adalah 1 dan 0 bila tidak (Sundaresa, 2006).
Tabel 1. Skor penilaian crossbite
Skor Ciri
oklusal
Crossbite

tidak ada
crossbite

ada
crossbite

3. Relasi Vertikal Anterior


Disini yang dilihat adalah adanya gigitan terbuka (open bite) dan gigitan
dalam (deep bite) (Sundaresa, 2006).
Tabel 2. Skor Penilaian Relasi Vertikal Anterior
Skor
Ciri
oklusal

26

Open
bite
anterior
Deep
bite
anterior

norma
l

< 1 mm

1,1 - 2
mm

2,1 - 4 mm

sampa
i 1/3
gigi

1/32/3
bagian
insisiv
yang
tertutupi

2/3
sampai
seluruh
insisiv
bawah
tertutup
i

Seluruh
bagian insisiv
bawah
tertutup
semua

> 4 mm

4. Diastema/Berdesakan Rahang Atas


Komponen ini didapat dengan mengukur diskrepansi jumlah lebar
mesiodistal gigi dengan lengkung geligi (Sundaresa, 2006).
Skor Ciri
Oklusal
Berdesakan
Rahang
Atas
Diastema
Rahang
Atas
1.

Tabel 3. Skor penilaian Diastema atau berdesakan rahang atas


0
1
2
3
4
5
<2
mm

2,1 5
mm

5,1 9
mm

9,1 13
mm

>2
mm

2,1 5
mm

5,1 9
mm

> 9 mm

13,1 17
mm

> 17 mm

Relasi Anteroposterior Segmen Bukal


Gigi-geligi rahang atas dan rahang bawah pada model dioklusikan dan
dilihat bagaimana relasi anteroposterior pada sisi kanan dan kiri, kemudian skor
kedua sisi tersebut dijumlahkan. Setelah kelima komponen Index of Complexity,
Outcome and Need (ICON) pada model studi dan progres dicatat skornya masingmasing, kemudian skor tersebut dikalikan dengan bobot yang dimiliki oleh
masing-masing komponen dan dijumlahkan (Sundaresa, 2006).
Setelah kelima komponen Index of Complexity, Outcome and Need (ICON)
pada model studi dan progres dicatat skornya masing-masing, kemudian skor
tersebut dikalikan dengan bobot yang dimiliki oleh masing-masing komponen dan
dijumlahkan (Sundaresa, 2006).
Tabel 4. Skor Penilaian Relasi Anteroposterior Segmen Bukal
Skor
Ciri oklusal

27

Anteroposterior
segmen bukal

Hanya
relasi cusp
ke
embrasure

Relasi cusp yang


lain kecuali
cusp to cusp

Relasi cusp to cusp

Tabel 5. Tingkat Keparahan Maloklusi


Complexity
grade
Easy
Mild
Moderate
Difficult
Very Difficult

Score range
< 29
29 - 50
51 - 63
64 - 77
> 77

Tabel 6. Bobot masing-masing komponen Index of Complexity, Outcome and


Need (ICON)
Ciri Oklusal
Komponen Estetik
Crossbite
Relasi Vertikal
Anterior
Diastema/Berdesakan
Rahang Atas
Relasi
Anteroposterior
Segmen Bukal

Bobot
7
5
4
5
3

Pada model studi, angka yang didapatkan dari penjumlahan tersebut


digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui kebutuhan perawatan dan juga
tingkat keparahan maloklusi (Sundaresa, 2006).
Tabel 7. Kategori Kebutuhan Perawatan
Kategori
Tidak dibutuhkan perawatan
Butuh perawatan

Skor
< 43
> 43

2.8 Ekspansi
Dalam melakukan perawatan ortodontik sering sekali diperlukan penambahan
ruang untuk mengatur gigi-gigi yang malposisi, sehingga setelah perawatan gigi-

28

gigi dapat tersusun dalam lengkung yang baik. Tergantung pada jumlah
kekurangan ruang yang diperlukan untuk mengatur gigi-gigi yang malposisi
tersebut, dapat dilakukan (Bishara, 2001):
1. Grinding/ slicing/ stripping pada gigi-gigi anterior
2. Melebarkan (ekspansi) perimeter lengkung gigi
3. Kombinasi antara ekspansi lengkung gigi dan grinding gigi-gigi anterior
4. Pencabutan satu atau beberapa gigi.
Pelebaran dengan alat ekspansi dapat dilakukan secara ortodontik (pelebaran
lengkung gigi) maupun ortopedik (pelebaran lengkung basal). Pelebaran lengkung
gigi sangat efektif dilakukan pada periode gigi bercampur, pada saat sutura
palatina belum menutup dan pertumbuhan pasien masih aktif sehingga selain
lengkung gigi (lengkung koronal) melebar, maka lengkung basal juga mengalami
pelebaran. Pada periode gigi permanen hanya dapat dilakukan perubahan inklinasi
gigi saja, yaitu melebarkan lengkung gigi tanpa diikuti pelebaran lengkung basal
(Bishara, 2001).
1. Indikasi Perawatan dengan Ekspansi
Indikasi perawatan ekspansi adalah sebagai berikut (Bishara, 2001):
1. Gigitan silang anterior (anterior crossbite)
2. Gigitan silang posterior (posterior crossbite) bilateral atau unilateral
3. Lengkung gigi atau lengkung basal yang sempit yang disebabkan
pertumbuhan ke arah lateral kurang
4. Adanya space loss, sebagai akibat pergeseran gigi molar permanen ke
mesial pada pencabutan gigi desidui terlalu awal (premature loss)
5. Adanya gigi depan berjejal yang ringan, dengan diskrepansi lengkung gigi
4 6 mm.
2. Macam Alat Ekspansi
a. Berdasarkan cara pemakaiannya alat ekspansi dapat bersifat:
1. Fixed/ cekat, misalnya RME (Rapid Maxillary Expansion)
2. Semi cekat, misalnya Quad Helix.
3. Removable/ lepasan, misalnya plat ekspansi
b. Berdasarkan pergerakan/ reaksi jaringan yang dihasilkan :

29

1. Alat ekspansi yang menghasilkan gerakan ortodontik , misalnya : plat


ekspansi
2.

Alat ekspansi yang menghasilkan gerakan ortopedik, misalnya RME


(Bishara, 2001).
2.9 Rapid Maxillary Expansion (RME)
Rapid Maxillary Expansion (RME) atau Rapid Palatal Expansion adalah
suatu prosedur ortopedik untuk melebarkan maksila dengan cara membuka sutura
palatina mediana. RME menggunakan alat cekat dan kaku dengan retensi yang
kuat, menghasilkan kekuatan lateral yang besar. Kekuatan yang dihasilkan adalah
sebesar 3-10 pon, atau setara dengan 1,5-5 kg. Kekuatan yang terjadi bukan
ditujukan pada gigi,tetapi pada sutura yang menghubungkan dua lengkung tulang
palatum sehingga akan menyebabkan terbelahnya sutura palatina dan dua
lengkung maksila akan terpisah dengan cepat (Rahardjo, 2012).
RME merupakan suatu alat cekat, kaku dan kuat, pada umumnya berupa
sekrup dengan retensi pada gigi molar dan premolar. Teknik RME dapat
digunakan untuk mengoreksi gigitan silang posterior tipeskeletal dengan
penyempitan maksila bilateral yang menghasilkan ekspansi skeletal dengan cara
membukasutura palatina mediana (Rahardjo, 2012).
Alat ini bersifat cekat, menghasilkan pelebaran arah lateral, paralel dan
simetris, digunakan untuk melakukan pelebaran lengkung basal pada periode gigi
bercampur. RME terdiri dari cincin stainless yang disemenkan pada gigi-gigi
molar satu desidui atau premolar satu dan gigi molar satu permanen kanan dan
kiri, dihubungkan dengan sekrup ekspansi yang mempunyai daya pelebaran yang
besar. Dengan alat ini terjadi pelebaran sutura palatina mediana ke arah lateral dan
lengkung gigi bergerak secara bodily. Gigitan silang posterior adalah hubungan
bukolingual yang abnormal antara satu atau lebih gigirahang atas dengan satu atau
lebih gigi rahang bawah, ketika kedua rahang berada dalam relasi sentrik
(Rahardjo, 2012).
Variasi hubungan bukolingual gigi posterior yang dapat terjadi adalah
gigitan silang bukal dan gigitansilang lingual. Gigitan silang lingual lebih sering
ditemukan daripada gigitan silang bukal. Gigitan silanglingual adalah satu atau
beberapa gigi atas berada di sebelah lingual dari gigi bawah, sedangkan gigitan

30

silang bukal adalah tonjol lingual gigi posterior atas seluruhnya berada di sebelah
bukal tonjol bukal gigibawah (Rahardjo, 2012).

Gigitan silang posterior bisa melibatkan satu gigi atas dan satu gigi bawah
ataupun melibatkanseluruh gigi posterior pada satu sisi atau kedua sisi pada kedua
rahang. Jumlah gigi yang terlibatmenunjukkan tingkat keparahan kelainan yang
terjadi. Jumlah gigi yang sedikit biasanya dihubungkan dengan tingkat keparahan
yang lebih rendah dan sebaliknya (Rahardjo, 2012).
Menurut Bishara (2001), RME dapat dilakukan pada keadaan-keadaan
berikut: gigitan silang posterior akibat penyempitan maksila, gigi berdesakan,
palatum tinggi dan sempit, bila diperlukan ekspansisebesar 4-12 mm, pasien
masih dalam masa pertumbuhan (sampai usia 16 tahun), penderita bernafas
melalui mulut dengan palatum tinggi dan sempit. RME merupakan kontra indikasi
pada keadaan sebagai berikut (Rahardjo, 2012):
Tidak kooperatif, gigitan terbuka dan bidang mandibula yang tinggi,
rahang atau maksila yang asimetris,inklinasi gigi molar ke arah bukal, disertai
kelainan skeletal dengan indikasi perawatan bedah (Rahardjo, 2012).
Alat-alat RME telah banyak mengalami perkembangan dan modifikasi
hingga saat ini (gambar 2). Beberapa tipe alat RME yang umum digunakan, yaitu:
tipe Haas, menggunakan gabungan sekrup ekspansidan plat akrilik pada palatum.
Di bagian lingual terdapat kawat yang disolder pada band yang dipasang pada
premolar pertama dan molar pertama. Desain ini memberikan tekanan yang lebih

31

merata pada jaringan palatum dan gigi; tipe Hyrax, adalah sekrup yang terbuat
seluruhnya dari logam dengan 4 lengan disolder pada band yang dipasang pada
premolar pertama dan molar pertama; disertai dengan kawat lingual yang
menghubungkan kedua band; Bonded expander, sekrup ekspansi yang retensinya
tidak menggunakan band tetapi menggunakan akrilik yang menutupi gigi
posterior dengan cara direkatkan pada permukaan bukal danlingual gigi; Twobanded RME, RME dengan menggunakan 2 gigi sebagai retensi. Digunakan bila
menemui kesulitan menempatkan band pada premolar (Rahardjo, 2012).
Menurut Silverstein (2004), perlu beberapa tahap kunjungan pasien agar
mendapatkan alat yang sesuai dengan mulut pasien, yaitu:16 pada kunjungan
pertama, dilakukan pemasangan separator pada gigiyang akan dipasangi band;
pada kunjungan kedua, mencoba band dan dilakukan pencetakan kemudiandibuat
model. Dari model dapat dibuat alat RME; pada kunjungan berikutnya, dilakukan

pemasangan
alat RME dan pemberian instruksi pada pasien (Rahardjo, 2012).
Perawatan dengan RME meliputi beberapa tahap, yaitu: aktivasi,
dilakukan oleh pasien sendiri atau orang tuanya dengan memutar sekrup 2 kali
sehari selama 2 minggu, atau sesuai dengan ekspansi yang dibutuhkan. Ekspansi
yang dihasilkan adalah sebesar 0,5 mm/hari. Stabilisasi, alat dibiarkan dalam
mulut dalam keadaan tidak aktif selama 3 bulan, untuk menstabilkan hasil
ekspansi yang telah dicapai. Retensi,menggunakan Hawley Retainer atau alat lain

32

yang sesuai setelah alat RME dilepas, untuk mencegahterjadinya relaps (Rahardjo,
2012).
Biasanya prosedur perawatan dengan RME tidak menimbulkan rasa sakit.
Namun tekanan yang timbul akibat terbukanya sekrup akan menyebabkan rasa
gatal pada langit-langit mulut dan atau rasa tertekanpada gigi. Tekanan seringkali
terasa pada daerah frontal dan tulang nasal, juga dapat terasa pada daerah
zygomatik dan sutura zygomatico-temporal. Dalam praktek, mungkin ada
beberapa variasi dan perbedaan pada tiap-tiap pasien, dipengaruhi jenis alat yang
digunakan, banyaknya aktivasi, lamanya waktu perawatan atau besarnya ekspansi
yang diperlukan. Pada saat RME dipasang, sekrup harus terletak tegak lurus
terhadap garis median dan paralel dengan bidang oklusal. Tanda panah pada
sekrup diletakkan menghadap keposterior. Tanda panah tersebut menunjukkan
arah aktivasi sekrup, yaitu ke arah posterior (gambar 3).Besar aktivasi adalah
putaran, yaitu sampai lubang berikutnya terlihat. Dilakukan sebanyak 3
kalibertahap setiap 5 menit. Aktivasi berikutnya dilakukan oleh pasien sendiri atau
orang tuanya, 2 kali sehari, dipagi hari dan di malam hari.12 Setiap putaran
menghasilkan pelebaran sekitar 0,25 mm. Jadi pelebaran yang dihasilkan adalah
sekitar 0,5 mm setiap hari. Pelebaran dilakukan sedikit berlebih sebagai

kompensasi

terjadinya

relaps (Rahardjo, 2012).

Dalam masa aktivasi, timbul diastema sentral sebagai tanda terbukanya


sutura palatina mediana. Pada foto rontgen terlihat adanya daerah radiolusen
berbentuk V. Tanda tersebut menunjukkan adanya pembukaan sutura pada daerah
anterior lebih banyak daripada posterior. Selama masa aktivasi, pasien melakukan
kunjungan ke dokter seminggu sekali (gambar 4). Aktivasi dilakukan selama kirakira 2 minggu atau sampai besar ekspansi yang diperlukan tercapai,yaitu sampai
tonjol lingual gigi posterior rahang atas berkontak dengan tonjol bukal gigi

33

posterior rahangbawah. Sebelum alat dilepas, dilakukan foto roentgen untuk


meyakinkan bahwa tulang yang baru telahterbentuk (Rahardjo, 2012).
Setelah aktivasi selesai, alat dibiarkan berada di dalam mulut dalam
keadaan tidak aktif selama 3bulan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan waktu
bagi terbentuknya tulang pada ruang sutura palatinayang membelah, di samping
itu juga untuk menghilangkan pengaruh sisa-sisa kekuatan pada jaringan.
Diastema sentral yang terjadi dalam masa aktivasi akan menutup dengan
bergeraknya insisif sentral ke arah garis median. Sebelum alat dilepas, dilakukan
foto roentgen untuk meyakinkan bahwa tulang yang baru telah terbentuk. Setelah
alat

dilepas,

dilanjutkan

dengan

pemakaian

Hawley

Retainer

untuk

mempertahankan hasil ekspansi yang telah dicapai, atau dengan alat lain yang
sesuai (Rahardjo, 2012).
Pada beberapa hari pertama pemakaian, pasien mungkin merasa tidak
nyaman dan mengalami kesulitan menelan dan berbicara, hal ini biasanya akan
membaik dalam waktu 3-5 hari setelah pasien terbiasa dengan adanya alat RME
dalam

mulutnya.

RME

berpengaruh

pada

struktur

dentofasial

dan

mengakibatkanperubahan skeletal, dental, dan alveolar. Pada saat ekspansi, tulang


palatal tidak sepenuhnya bergerak secaratranslasi ke arah lateral, tetapi mengalami
rotasi atau pembengkokan ke arah bukal. Gigi posterior mengalami rotasi dan
tipping ke arah bukal serta juga mengalami ekstrusi (Rahardjo, 2012).

Pembengkokan tulang palatal dan tipping gigi posterior ke arah bukal


menyebabkan pergerakan mandibula ke bawah dan ke belakang, terjadinya gigitan

34

terbuka, dan bertambahnya dimensi vertikal wajah. Pemeriksaan pada model,


didapati adanya pelebaran jarak interkaninus dan intermolar; sedangkan pada
pemeriksaan sefalogram postero-anterior dapatdilihat adanya pelebaran maksila
dan pelebaran rongga hidung. Pada pemeriksaan sefalometrik lateral, terlihat
adanya pergerakan maksila ke depan, pergerakan mandibula ke belakang dan
pertambahan dimensivertikal. Selama pemakaian alat RME, pasien perlu menjaga
kebersihan rongga mulut maupun alatnya dengan cara menyikat gigi secara benar,
menggunakan dental floss dan berkumur-kumur untukmenghilangkan sisa-sisa
makanan. Pasien tidak dianjurkan mengonsumsi makanan yang keras dan lengket
(Rahardjo, 2012).

Anda mungkin juga menyukai