PENDAHULUAN
Sleep bruxism atau bruxism yang terjadi pada saat tidur adalah suatu kelainan berupa
gerakan yang stereotip ditandai dengan grinding atau clenching gigi geligi sewaktu tidur.
Sleep bruxism dapat menyebabkan terjadinya abrasi gigi, hipermobilitas gigi,
hipersensitivitas gigi, hipertfrofi otot pengunyahan dan rasa sakit pada otot
pengunyahan.1 Tidak terdapat perebedaan jenis kelamin pada penderita sleep bruxism.
Sleep bruxism juga dapat terjadi pada anak-anak. Tetapi distribusi umur yang
menunjukkan angka insidensi sleep bruxism tertinggi terjadi pada individu berusia
antara 20 hingga 45 tahun.2
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya bruxism. Faktor yang
diduga dapat menyebabkan bruxism dibedakan atas faktor oklusal perifer dan faktor
patopsikofisiologik sentral. Diantaranya konsumsi alkohol, kafein, rokok, stress,
pergantian waktu kerja, sakit kondisi medis, kelainan psikiatrik, dan lain-lain. Pada
waktu tidur bruxism dapat dipengaruhi dan dikendalikan oleh pusat dan tingkat stress.3
Beberapa orang terkadang memiliki kebiasaan menggeretakkan giginya sewaktu tidur
di malam hari. Ternyata kebiasaan menggeretakkan gigi saat tidur salah satu faktor
penyebabnya adalah stress yang terjadi pada penderita sleep bruxism di siang hari.4
Kelainan mental, kecemasan dan stress adalah faktor yang secara signifikan
berhubungan dengan grinding gigi pada saat tidur dan hal ini telah dilakukan penelitian
bahwa hampir 70% kejadian sleep bruxism terjadi akibat stress pada suatu individu.2
Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa stress adalah salah satu faktor penyebab
terjadinya sleep bruxism. Rugh dan Soldberg melaporkan bahwa sleep bruxism akan
terjadi di malam hari apabila penderita mengalami hari yang melelahkan dan penuh
dengan stress.5 Seseorang yang bekerja dan memiliki jadwal bekerja yang irregular
dapat meningkatkan terjadinya sleep bruxism dan ditambah dengan sikap seorang
pekerja yang sangat agresif, kompetitif, atau kepribadian yang hiperaktif, mudah marah
atau frustasi dapat berkontribusi meningkatkan terjadinya sleep bruxism pada pekerja.
Stress pada para pekerja juga dipengaruhi oleh tuntutan pada pekerjaan, kontrol yang
dimiliki atas pekerjaan, dukungan yang diterima, hubungan pekerjaan yang dimiliki,
peran dan tanggung jawab, dan segala hal proses perubahan yang memiliki efek pada
seorang pekerja. Sebuah penelitian yang dilakukan di Bangalore pada suatu perusahaan
software, prevalensi bruxism para pekerja di perusahaan software ini adalah 35.8%,
prevalensi bruxism dari penelitian ini menunjukkan hubungan antara sleep bruxism pada
para pekerja diakibatkan profesi sebagai seorang engineer software menuntut skill yang
mumpuni, kerja keras, dan kerja secara cepat sehingga menyebabkan tingkat stress yang
dialami para pekerja semakin tinggi. Pada penelitian lainnya menunjukkan bahwa 1339
karyawan perusahaan broadcasting di Finlandia, frekuensi kejadian bruxism pada para
karyawan secara signifikan memiliki hubungan dengan posisi pekerjaan mereka.
Semakin tinggi posisi pekerjaan yang mereka miliki maka tingkat stress yang terjadi
semakin tinggi pula dan dapat berakibat semakin parahnya sleep bruxism yang terjadi.6
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Winocur, dkk mengatakan bahwa terdapat
perbedaan tingkat stress secara signifikan pada pada penderita sleep bruxism baik pada
perempuan maupun laki-laki.7 Secara lebih lanjut, Schenider dkk melaporkan tingkat
stress pada pekerja sleep bruxism dan non-sleep bruxism. Pada pekerja sleep bruxism
secara signifikan dilaporkan bahwa mereka tidak mampu menghadapi stress yang
dialaminya dengan cara yang sesuai. Mereka lebih sering memilih strategi untuk
melarikan diri dan menghindari masalah yang ada. Sedangkan pada pekerja non-sleep
bruxism cenderung mampu untuk mengatasi berbagai hal yang dituntut dalam
pekerjaannya. 5
Penelitian yang dilakukan pada 100 pekerja Indian Air Force mengatakan bahwa
lingkungan pekerjaan mewakili suatu lingkungan yang unik sebab stress dan kepribadian
memainkan peran penting dalam hal performa. Oleh sebab itu, ini adalah salah satu dari
masalah yang berhubungan dengan stress. Aspek yang mempengaruhi antara lain adalah
amibiguitas, konflik, beban pekerjaan, sebagaimana pekerjaan yang menuntut tingkat
fokus yang tinggi. Karyawan yang bekerja di Indian Air Force secara khusus mewakili
populasi yang selalu terkespos dengan stress pekerjaan bahkan pada selama waktu
tenang dan berdasarkan pemeriksaan klinis yang didapat dari hasil kunjungan rutin ke
dokter gigi para pekerja ini mengalami keausan gigi yang moderate dan mengalami sakit
pada temporomandibular joint dan mereka juga melaporkan secara sendiri bahwa
mereka mengalami sleep bruxism yang berlangsung cukup lama.7 Kondisi lain yang
berhubungan dengan stress dan memiliki dampak terhadap rongga mulut adalah
ketakutan terhadap dokter gigi, kecemasan berlebih, dan phobia. Hal ini tentu saja akan
mengganggu perawatan gigi dan mengganggu kesehatan rongga mulut dan dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pada kunjungan rutin ke dokter gigi diakibatkan rasa
stress yang berlebihan. 8
Secara keseluruhan, sebagian besar penelitian menunjukkan hubungan antara stres
dan sleep bruxism, meskipun peningkatan kasus sleep bruxism sebagai akibat langsung
dari stres belum dapat dibuktikan. Masih diperdebatkan apakah stress merupakan faktor
utama atau hanya sebagai faktor resiko terjadinya sleep bruxism.8
Menurut manajemen penanganan stress, stress tergantung pada dampak dari stressor
eksternal, yang dimediasi oleh penilaian dari stressor ( penilaian utama ) di satu sisi, dan
penilaian kemampuan individu untuk menangani situasi stress di sisi lain. Mengatasi
stress merupakan strategi sebenarnya bagi seorang individu untuk menghadapi berbagai
faktor terjadinya stress. 7
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui mengenai gambaran kejadian stress pada pekerja yang
menderita sleep bruxism.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka rumusan masalah pada penelitian ini
adalah:
Apakah terdapat hubungan antara hubungan antara stress di tempat kerja dengan
sleep bruxism pada karyawan?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara hubungan antara
stress di tempat kerja dengan sleep bruxism pada karyawan
Dengan terlaksananya penelitian ini maka akan didapat suatu kesimpulan mengenai
ada atau tidaknya hubungan antara stress di tempat kerja dengan sleep bruxism pada
karyawan. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai penelitian lebih lanjut
mengenai gambaran kejadian stress pada pekerja yang menderita sleep bruxism di
perusahaan-perusahaan lainnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bruxism
2.1.1 Definisi
Istilah bruxism berasal dari kata Greek (brychein), yang berarti to gnash the teeth
atau mengerotkan gigi-gigi. Menurut “American Sleep Disorder Association (ASDA)”
bruxism sewaktu tidur (sleep bruxism) adalah kelainan gerakan yang sterreotip yang
ditandai dengan grinding atau clenching gigi geligi waktu tidur. Sedangkan menurut The
Academy of Prosthodontics, bruxism didefinisikan sebagai grinding parafungsi dari gigi
geligi yang merupakan suatu kebiasaan yang tanpa disadari dan berulang atau tidak
beraturan. 1,2
Bruxism didefinisikan sebagai aktifitas parafungsi dari gigi geligi pada siang hari
atau malam hari berupa gerkaan clenching, braching, gnashing dan grinding yang terjadi
pada sebagian besar manusia. Hal ini dapat dilihat melalui tumpukan gigi yang
mengalami keausan yang merupakan akibat dari bruxism.3,4
2.1.2 Prevalensi
Fenomena bruxism yang tercatata yaitu kira-kira pada 600-200 BC, dan konsep ini
dinyatakan oleh Olkinura, Faulkner, dan Sjoholm.5 Fenomena bruxism telah
mempengaruhi banyak orang di seluruh dunia. Di Amerika Serikat diduga sebanyak 45
juta orang memiliki tanda dan gejala dari bruxism (sewaktu tidur) dan 20 % dari
penduduk mengalami bruxism sewaktu bangun dan 10% pada malam hari dengan
frekuensi satu kali dalam seminggu.4,6
Hampir semua orang mengalami bruxism mulai dari anak-anak hingga lanjut usia.
Prevalensi terjadinya bruxism lebih sering terjadi pada usia remaja. Seiring
bertambahnya usia, bruxism semakin jarang terjadi. Kelompok usia 20 hingga 45 tahun
paling sering terjadi bruxism baik pada laki-laki maupun perempuan.7,8
Kebanyakan dari para mereka tidak memperhatikan kondisi bruxism ini. Biasanya
anggota keluarga yang lebih memperhatikan dan memberitahukan keadaan tersebut
karena merasa terganggu dengan suara yang dikeluarkan penderita bruxism yang
mengerotkan gigi-giginya.
2.1.3 Etiologi
Sejak beberapa dekade yang lalu pencarian etiologi dan physiologi bruxism terbatas
hanya pada faktor mekanis (oklusi) dan adoptif atau perilaku maladaptive (stress) dan
pada kasus yang ekstrim disfungsi medis dari dopamine. Berbagai investigasi terbaru
telah dikemukakan seperti terlihat pada gambar 1 dibawah ini:
Gambar 1. Evolusi dari etiologi dan patophysiologi dari bruxism (lingkaran = teori lama; panah = teori baru). GABA == gamma-
aminobutyric acid
Adanya konsep bahwa oklusi gigi berperan dalam genesis bruxism berdasarkan
observasi klinis sejak pertengahan abad 21. Walaupun telah dikenal peran oklusi dalam
rehabilitasi sempurna seluruh mulut atau ortodonti, tampak masih adanya kekurangan
bukti yang meyakinkan pemakaian terapi oklusal untuk mengatasi bruxism, prakteknya
tetap kontroversial9.
Terdapat dua kelompok faktor penyebab bruxism yaitu periferal (morfologis) dan
sentral (physiopatologis dan psikologis). Faktor periferal pada waktu lalu
dipertimbangkan sebagai etiologi utama bruxism. Ramfjorf menyarankan bahwa
bruxism dapat dihilangkan dengan penyesuaian oklusal.11 Tapi dari berbagai studi
menunjukkan bahwa hubungan antara bruxism dan faktor oklusal adalah lemah atau
tidak ada. Sementara itu, Michelotti dkk, dalam eksperimennya, bahwa suprakontak
nyata berhubungan dengan pengurangan kegiatan elektomiografi (EMG) ketika
bangun.10 Hasil double-blind randomized controlled studies di Finland menunjukkan
bahwa interferensi oklusal artifisial tampaknya mengganggu keseimbangan oromotor
pada mereka dengan kelainan temporomandibular.14 Artikel tinjauan Luther menyatakan
tidak ada bukti bahwa interferens oklusal sebagai etiologi bruxism, atau penyesuaian
oklusal dapat mencegahnya.15
Pathophysiologi dari bruxism sewaktu tidur tampaknya belum dapat dijelaskan
sepenuhnya, tetapi mungkin disebabkan mulai dari faktor psikososial seperti stres,
kecemasan, respon yang eksesif sampai microarousals. Microarousals didefinisi sebagai
periode singkat (3-15 detik) dari aktivitas cortikal sewaktu tidur, yang berhubungan
peningkatan aktivitas sistem syaraf sympatetik16. Hampir 80% episod bruxism terjadi
dalam kelompok, sewaktu tidur dan berhubungan dengan microarousal. Mengerotkan
gigi didahului urutan kejadian psikologis: peningkatan aktivitas sympatetik (pada 4
menit sebelum mengerot dimulai), diikuti aktivasi cortikal (1 menit sebelumnya) dan
peningkatan ritme jantung dan tonus otot pembukaan mulut (1 detik sebelumnya).16
Bukti terbaru yang mendukung hipotesis bahwa bruxism dimediasi secara sentral
dibawah rangsangan autonom dan otak. Bukti mendukung peran syaraf sentral dan
sistem syaraf autonom pada awal aktivitas oromandibular bruxism selama tidur malam.17
Autonomic cardiac activation
Studi oleh Lobbezoo dan Naeije menyatakan bahwa pengalaman stres dan faktor
psikososial berperan penting pada penyebab bruxism.21 Menurut literatur berdasarkan
laporan sendiri (self-reported) dan observasi klinik adanya keausan gigi adalah satu cara
untuk menilai bruxism dalam hubungannya dengan kecemasan dan stres. 22 Tetapi, ada
keterbatasan dari metoda tersebut, karena keausan gigi digambarkan sebagai indikator
yang lemah dari konsep bruxism dan tidak membedakan clenching dan grinding.23
Besarnya keausan gigi dipengaruhi oleh kepadatan email atau kualitas saliva dan
efektivitas lubrikasinya.24 Dokter gigi diklinik perlu perhatian untuk mengenal kelainan
psikis dan psikiatrik, seperti kecemasan atau kecemasan patologis, kondisi hati (mood)
dan kelainan personaliti. Pada kondisi tersebut seorang psikolog sangat diperlukan.
Menurut Lavigne, dkk. untuk memahami penyebab bruxism adalah sangat sulit untuk
mengisolir peran stres dan kecemasan dari perubahan yang terjadi pada autonomik dan
kegiatan motorik. Adanya keberagaman psikososial dan penanda biologis akan saling
mempengaruhi, sehingga sulit untuk mendapatkan deskripsi yang jelas, sederhana dan
sahih hubungan sebab diantara stres, kecemasan dan bruxism.25
Beberapa peneliti telah melakukan investigasi mengenai stress sebagai salah satu
faktor penyebab sleep bruxism. Rugh dan Soldberg melaporkan sleep bruxism akan
terjadi pada individu yang mengalami hari yang melelahkan dan dengan tingkat stress
yang tinggi. 23 Pada sebuah penelitian yang lain menunjukkan bahwa para pekerja yang
bekerja di lingkungan perkantoran frekuensi terjadinya bruxism secara signifikan
berhubungan dengan beberapa situasi yang penuh dengan tingkat stress yang tinggi di
lingkungan kerja. Study epidemiologi yang lain melaporkan hubungan antara
psychososial stress pekerjaan dan sleep bruxism pada populasi di Jepang sebanyak 1944
perempuan dan 736 laki-laki pekerja di sebuah perusahaan. Study tersebut melaporkan
bahwa sleep bruxism secara lemah berhubungan dengan beberapa aspek stress
pekerjanaan pada laki-laki dari keselurahan populasi pekerja di Jepang. 26
Penelitian yang dilakukan oleh Winocur, dkk melaporkan bahwa pada 151 laki-laki
dan 251 perempuan terdapat perbedaan signifikan antara tingkat stress dan kejadian
bruxism baik pada laki-laki maupun perempuan. Para responden yang dilaporkan
bruxism melaporkan bahwa mereka memiliki level stress yang tinggi dibandingkan
dengan responden non-bruxism. 27
Menurut tingkatan dan dampaknya, stres dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama,
eustres. Eustres adalah stres yang masih dalam tingkatan rendah. Kemunculannya justru
memberi manfaat bagi Anda. Stres ini merupakan motivasi yang baik yang mendorong
Anda menghadapi sumber stres tersebut dengan cekatan. Akan tetapi, ketika cara
merespons eustres salah, maka muncullah apa yang disebut distres. Distres merupakan
keadaan ketika Anda tak dapat menaklukkan eustres sedemikian sehingga tubuh dan
pikiran meresponsnya dengan destruktif.11 Dengan mengetahui definisi stres, yaitu
respons yang muncul sebagai akibat dari ancaman atau tekanan, dapat dipahami bahwa
penyebab stres tidak lain yaitu ancaman atau tekanan itu sendiri. Bentuk ancaman dapat
berupa ancaman konkret maupun abstrak. Ancaman konkret dipahami sebagai ancaman
fisik sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Ancaman ini lebih sering ditemui
binatang atau manusia purba. Cara mengatasi ancaman fisik ini cukup dengan respons
yang juga bersifat fisik. Sementara itu, ancaman abstrak dipahami sebagai ancaman
psikologis. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ancaman psikologis lebih sering
dijumpai pada masyarakat modern. Sebagai contoh, ketika atasan menutut Anda untuk
segera menyelesaikan pekerjaan. Tuntutan tersebut dapat menjadi ancaman yang pada
ujungnya dapat membuat Anda stres. Salah satu penyebab stress adalah tekanan di
tempat kerja. entang waktu deadline yang mencekik, tuntutan kesempurnaan hasil kerja
dari atasan, dan kesulitan mengimplementasikan rencana kerja dapat menjadi pemicu
munuculnya stres di diri Anda. Terlambatnya hasil dari divisi lain yang membuat Anda
ikut terlambat dalam memrosesnya akan menambah tingkat stres. Stres di tempat kerja
juga dapat muncul lantaran Anda harus mempresentasikan rencana kerja Anda di depan
atasan dan rekan kerja. Anda juga harus memperhatikan hubungan dan persaingan
dengan rekan Anda. 9
Penyebab stres di tempat kerja juga dapat berupa rasa bosan karena tugas yang
monoton, kompetensi yang diragukan, baik oleh diri sendiri atau oleh rekan dan atasan,
lingkungan kerja yang tidak nyaman dan kondusif, tanggung jawab yang tinggi yang
tidak sepadan dengan pangkat atau gaji, dan masih banyak lagi. 10
Untuk mengukur tingkat stress digunakan workplace stress survey by The American
Institute of Stress. Pertanyaan yang terdapat pada kuesioner ini terdapat 10 pertanyaan
yang berhubungan dengan stress pada pekerja.. Responden diminta untuk menjawab
secara terbuka dan jujur dan mengindikasikan bagaimana perasaan yang sebenarnya
dimiliki. Kuesioner ini dinilai berdasarkan penilaian angka, penilaian 1-4 untuk kategori
sangat tidak setuju, penilaian 5-7 setuju, penilaian 8-10 sangat setuju.
BAB III
Bruxism
Sleep Awake
Bruxism Bruxism
etiologi etiologi
periferal pathophysiologi
respon
kecemasan stress yang
eksesif
: variabel diteliti
: variabel tidak diteliti
BAB IV
METODE PENELITIAN
Tempat Penelitian
Waktu Penelitian
1. Stress ditempat kerja adalah suatu kondisi ketika seseorang tidak mampu
mengontrol keadaan emosi, memiliki perasaan kekecewaan yang berlebihan, dan
selalu merasakan ketidakmampuan dalam mengatasi suatu masalah di
lingkungan tempat mereka bekerja.
2. Sleep bruxism adalah suatu kelainan yang terjadi dalam keadaan tidak sadar pada
saat tidur, yaitu gigi melakukan sistem pengunyahan yang dapat menyebabkan
keausan pada permukaan oklusal/insisal gigi.
3. Karyawan adalah seseorang yang bekerja sesuai dengan tempat diadakan
penelitian dan termasuk dalam kriteria inklusi penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh karyawan di Honda Sanggar Laut Selatan,
berjumlah 200 orang
Kriteria Inklusi:
1. Berusia 20-45 tahun
2. Bekerja sebagai pegawai di Kantor Honda Sanggar Laut Selatan
3. Mengalami sleep bruxism
4. Bersedia untuk mengikuti penelitian
Kriteria Eksklusi
Tidak bersedia untuk mengikuti penelitian
1. Laki-laki atau perempuan berusia 20-45 tahun dan bekerja sebagai karyawan di
Honda Sanggar Laut Selatan yang menjadi subjek penelitian akan diberikan
kuesioner yang menanyakan tentang hal-hal yang berkaitan bruxism berdasarkan
questionnaire for detection bruxism by American Academy of Sleep Medicine
2005.
2. Setelah subjek mengisi kuesioner lalu dilakukan pemeriksaan keausan gigi
karena bruxism menggunakan tooth wear index.
3. Kemudian subjek akan diberikan kuesioner mengenai stress dengan
menggunakan workplace stress survey by The American Institute of Stress
dan diminta untuk menjawab seluruh pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner
tersebut.
4. Setelah semua data terkumpul, lalu data akan diolah menggunakan program
SPSS
HASIL PENELITIAN
diambil untuk dijadikan sampel penelitian ini. Seluruh sampel menderita bruxism dan
perempuan hanya berjumlah 11 orang (27.5%). Selan itu, kategori usia 21-23 tahun
merupakan kategori dengan sampel terbanyak dalam penelitian ini, yaitu sebanyak 15
sampel (37.5%). Adapun rata-rata usia sampel penelitian mencapai 25 tahun. Pekerjaan
terbanyak yang mengalami bruxism dalam penelitian ini adalah pekerjaan teknisi, yaitu
deteksi bruxism. Kuisioner ini ditujukan untuk mendeteksi apakah seseorang menderita
bruxism atau tidak. Bila seseorang menjawab “ya” untuk dua pertanyaan, maka dapat
disimpulkan bahwa dia menderita bruxism. Seluruh sampel dalam penelitian ini
menderita bruxism dan diseleksi melalui kuisioner ini. Hasil penelitian yang ditunjukkan
melakukan gertakan gigi ketika tertidur. Sebanyak 27 sampel (67.5%) juga mengaku
bahwa ada orang lain yang mendengarkan gertakan gigi mereka ketika tertidur.
Walaupun demikian, sebanyak 18 orang (45%) tidak merasakan sakit pada rahang ketika
bangun tidur dan tidak ada seorang pun yang juga merasakan sakit kepala. Hal yang baik
juga karena tidak ditemukan sampel yang menggeretakkan gigi pada siang hari.
tempat kerja. Survei stres diisi dengan skor mulai dari satu hingga 10 dengan ketentuan
bahwa semakin tinggi nilai tersebut, maka semakin sesuai dengan keadaan tersebut. Skor
setiap pertanyaan diterjemahkan dalam kategorik jawaban, yaitu sangat tidak setuju (skor
1-4), setuju (skor 5-7), sangat setuju (skor 8-10). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat 31 orang (77.5%) yang tidak dapat jujur mengatakan apa yang mereka pikirkan
di tempat kerja dan terdapat 35 orang (87.5%) yang pekerjaannya menuntut tanggung
jawab, namun tidak diimbangi dengan kekuasaan. Sebanyak 30 orang (75%) yang jarang
menerima pengakuan atau penghargaan atas pekerjaan mereka dan terdapat 31 orang
(77.5%) yang merasa pekerjaannya terganggu dengan hubungan keluarga dan sosialnya.
ditunjukkan pada tabel 4. Tingkat keparahan stres diukur dengan menggunakan survei
keparahan stres tempat kerja, sedangkan tingkat keparahan bruxism dinilai menggunakan
tooth wear index (TWI). Hasil penelitian menunjukkan setelah skor survei stres
dikategorikan, diperoleh bahwa seluruh sampel memiliki stres yang cukup dapat
diperoleh bahwa sampel terbanyak memiliki risiko keausan gigi yang rendah atau
keparahan bruxism yang masih rendah. Terdapat 32 sampel (80%) yang masuk kategori
demikian, sedangkan terdapat satu sampel yang kategori keausan giginya mencapai risiko
Tabel 5. Distribusi jenis kelamin, usia, lama bekerja, dan kategori stres
berdasarkan keparahan bruxism (tooth wear index)
Keparahan Bruxism (Tooth Wear Index)
Jenis kelamin, Usia, Total
TWI 1 TWI 2 TWI 3 TWI 4
Lama bekerja & Stres
n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)
Jenis kelamin
Laki-laki 5(12.5%) 23(57.5%) 1(2.5%) 0(0%) 29(72.5%)
Perempuan 2(5%) 9(22.5%) 0(0%) 0(0%) 11(27.5%)
Usia
21-23 tahun 3(7.5%) 12(30%) 1(2.5%) 0(0%) 15(37.5%)
24-26 tahun 0(0%) 12(30%) 1(2.5%) 0(0%) 13(32.5%)
27-29 tahun 4(10%) 3(7.5%) 0(0%) 0(0%) 7(17.5%)
30-32 tahun 0(0%) 5(12.5%) 0(0%) 0(0%) 5(12.5%)
Lama Bekerja
1 tahun 2(5%) 6(15%) 1(2.5%) 0(0%) 9(22.5%)
2 tahun 3(7.5%) 13(32.5%) 0(0%) 0(0%) 16(40%)
3 tahun 1(2.5%) 7(17.5%) 0(0%) 0(0%) 8(20%)
4 tahun 1(2.5%) 3(7.5%) 0(0%) 0(0%) 4(10%)
5 tahun 0(0%) 3(7.5%) 0(0%) 0(0%) 3(7.5%)
Kategori Stres
Terkontrol sangat baik 0(0%) 0(0%) 0(0%) 0(0%) 0(0%)
Stres cukup terkontrol 7(17.5%) 32(80%) 1(2.5%) 0(0%) 40(100%)
Stres tidak terkontrol 0(0%) 0(0%) 0(0%) 0(0%) 0(0%)
Total 7(17.5%) 32(80%) 1(2.5%) 0(0%) 40(100%)
Distribusi jenis kelamin, usia, lama bekerja, dan kategori stres berdasarkan
keparahan bruxism yang dinilai dengan indeks TWI diperlihatkan pada tabel 5. Skor
Seperti yang telah diperlihatkan pada tabel 4, TWI 1 adalah kategori tidak ada risiko
keausan gigi, TWI 2 adalah risiko keausan rendah atau keparahan bruxism rendah, TWI 3
adalah kategori keausan sedang atau keparahan bruxism sedang dan TWI 4 adalah
kategori keausan gigi tinggi atau keparahan bruxism parah. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa tidak seorang pun sampel yang masuk kategori bruxism parah.
Terlihat jumlah laki-laki dan perempuan terbanyak terdapat pada kategori TWI 2, yaitu
usia, seluruh kategori usia memiliki jumlah sampel terbanyak pada kategori TWI 2,
kecuali pada kategori usia 27-29 tahun, yang jumlah sampel terbanyak berada pada
kategori TWI 1. Pada kategori lama bekerja, sampel terbanyak berada pada kategori TWI
2, namun terdapat satu orang pada lama bekerja satu tahun, yang masuk dalam kategori
TWI 3. Adapun, pada kategori stres cukup terkontrol, terdapat tujuh orang (17.5%) tidak
memiliki risiko keausan gigi, 32 orang (80%) yang memiliki keparahan bruxism ringan,
berdasarkan jenis kelamin, usia, dan lama bekerja. Hasil skor survei stress per
tinggi nilai skor survei stress, maka berarti stress yang diderita sampel tersebut semakin
parah atau tidak dapat dikontrol dengan baik. Hal yang sama berlaku untuk indeks TWI.
Hasil penelitian memperlihatkan laki-laki memiliki skor stress yang lebih tinggi
daripada perempuan, namun skor TWI yang lebih rendah daripada perempuan.
Berdasarkan usia, kategori usia yang memiliki skor stres tertinggi adalah kategori usia
termuda, yaitu 21-23 tahun. Namun, yang memilki nilai TWI tertinggi adalah kategori
usia 24-26 tahun. Adapun, sampel dengan lama bekerja empat tahun memiliki skor stres
yang paling tinggi diantara lainnya, namun sampel yang telah bekerja lima tahun
bruxism. Tingkat keparahan stres diukur dengan menggunakan skor survei stres,
sedangkan tingkat keparahan bruxism diukur dengan menggunakan indeks tooth wear
index (TWI). Semakin tinggi nilai skor survey stres, maka sampel dapat disimpulkan
memiliki stres yang semakin parah. Hal yang sama berlaku untuk indeks TWI. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa rata-rata skor survey stres dalam populasi sampel
penelitian mencapai 50.60, sedangkan rata-rata skor indeks TWI mencapai 4.03. Melalui
hasil uji statistik korelasi pearson, diperoleh nilai p:0.480 (p>0.05), hal ini menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keparahan stres dengan keparahan
bruxism. Hal ini juga terlihat dari nilai koefisien korelasi yang hanya sebesar 0.115, yang
berarti bahwa semakin tinggi nilai skor survey stres, maka akan diikuti dengan
PEMBAHASAN
sampel yang termasuk dalam kriteria inklusi. Sebanyak 40 sampel tersebut terdiri dari 29
(25.05±2.86) hasil ini tidak menunjukkan kesesuaian dengan penelitian yang dilakukan
oleh Wincour yang mengatakan bahwa pada perempuan frekuensi terjadinya bruxism
lebih tinggi dibanding laki-laki. Dan adapaun untuk kelompok usia terbanyak yang
mengalami bruxism ketika tidur adalah dari kelompok usia 21-23 tahun. Hasil dari
bahwa kelompok usia 20 hingga 45 tahun yang paling sering terjadi bruxism7,8.
administrasi, marketing dan teknisi. Hal ini sesuai dengan penelitian Kausik yang
tinggi7. Pekerjaan sebagai seorang mekanik yang setiap hari harus berurusan dengan
mesin yang rusak, ketepatan waktu dalam hal memperbaiki kendaraan konsumen,
maupun ketakutan akan resiko terjadinya kecelakaan kerja menyebabkan kelompok
dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa semakin lama waktu bekerja
seseorang maka tingkat terjadinya bruxism selama tidur semakin tinggi. Dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa para pekerja yang telah bekerja selama dua tahun
kelompok lama bekerja lainnya. Hal ini bisa diasumsikan karena pekerja yang baru
bekerja dalam waktu sebentar masih dalam fase adaptasi untuk dapat bekerja sesuai
sampel ini mengandung unsur jawaban “iya” lebih dari dua sehingga dapat
mereka ketika tertidur dan sebanyak 27 sampel (67.5%) mengakau bahwa ada orang lain
yang mendengarkan gertakan gigi mereka tertidur. Hal ini sesuai dengan penelitian
sampel (45%) tidak merasakan sakit pada rahang ketika mereka bangun tidur dan tidak
bahwa terdapat 31 orang (77.5%) tidak dapat jujur mengatakan apa yang mereka
pikirkan ditempat kerja dan terdapat 35 orang (87.5%) yang pekerjaannya menuntut
tanggung jawab, namun tidak diimbangi kekuasaan. Sebanyak 30 orang (75%) yang
jarang menerima pengakuan atau penghargaan atas pekerjaan mereka dan terdapat 31
orang (77.5%) yang merasa pekerjaannya terganggu dengan hubungan keluarga dan
sosialnya. Namun, secara keseluruhan sampel yang diteliti dalam penelitian ini temasuk
dalam kategori stress cukup terkontrol. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian dengan
yang menunjukkan bahwa tingkat stress pada karyawan yang bekerja di kantor termasuk
dalam kategori strees tidak terkontrol 4. Perbedaan tersebut dapat dilihat melalui regulasi
pada kantor dari masing-masing perusahaan yang dapat diasumsikan bahwa regulasi di
Adapun untuk kategori tingkat keparahan bruxism berdasarkan tooth wear index
dapat dilihat dalam tabel 4. Pada tabel ini menunjukkan bahwa sampel terbanyak
memiliki resiko keausan gigi yang rendah atau keparahan bruxism yang masih rendah.
Namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut apakah keausan gigi pada sampel tersebut
benar-benar disebabkan oleh bruxism atau terdapat faktor lain seperti mengkonsumsi
minuman beralkohol yang terlalu sering atau kondisi sistemik. Tooth wear index adalah
suatu indeks yang digunakan untuk mengukur tingkat keausan gigi 23. Pada penelitian ini
menunjukkan bahwa tidak seorang pun sampel yang masuk dalam kategori bruxism
parah. Terlihat bahwa jumlah laki-laki dan perempuan yang terbanyak terdapat pada
kategori tooth wear index 2 (keausan rendah atau keparahan bruxism rendah) sebanyak
kategori usia termasuk dalam kategori TWI 2 kecuali pada kategori usia 27-29 tahun
yang jumlah sampel terbanyak terdapat pada kategori TWI 1 (tidak ada resiko keausan
gigi).. Pada kategori lama bekerja, sampel terbanyak berada pada kategori TWI 2,
namun terdapat satu orang pada lama bekerja satu tahun, yang masuk dalam kategori
TWI 3. Adapun, pada kategori stres cukup terkontrol, terdapat tujuh orang (17.5%) tidak
memiliki risiko keausan gigi, 32 orang (80%) yang memiliki keparahan bruxism ringan,
dan satu orang (2.5%) yang memiliki keparahan bruxism sedang. Pada tabel 6
menunjukkan distribusi rata-rata skor survey dan indeks TWI berdasarkan jenis kelamin,
usia, dan lama bekerja. Hasil penelitian memperlihatkan laki-laki memiliki skor stress
yang lebih tinggi daripada perempuan, namun skor TWI yang lebih rendah daripada
perempuan. Berdasarkan usia, kategori usia yang memiliki skor stres tertinggi adalah
kategori usia termuda, yaitu 21-23 tahun. Namun, yang memilki nilai TWI tertinggi
adalah kategori usia 24-26 tahun. Adapun, sampel dengan lama bekerja empat tahun
memiliki skor stres yang paling tinggi diantara lainnya, namun sampel yang telah
Hasil penelitian memperlihatkan laki-laki memiliki skor stress yang lebih tinggi
daripada perempuan, namun skor TWI yang lebih rendah daripada perempuan.
Berdasarkan usia, kategori usia yang memiliki skor stres tertinggi adalah kategori usia
termuda, yaitu 21-23 tahun. Namun, yang memilki nilai TWI tertinggi adalah kategori
usia 24-26 tahun. Adapun, sampel dengan lama bekerja empat tahun memiliki skor stres
yang paling tinggi diantara lainnya, namun sampel yang telah bekerja lima tahun
memiliki skor TWI yang paling tingg Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata skor
survey stres dalam populasi sampel penelitian mencapai 50.60, sedangkan rata-rata skor
indeks TWI mencapai 4.03. Melalui hasil uji statistik korelasi pearson, diperoleh nilai
p:0.480 (p>0.05), hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara keparahan stres dengan keparahan bruxism. Hal ini juga terlihat dari nilai koefisien
korelasi yang hanya sebesar 0.115, yang berarti bahwa semakin tinggi nilai skor survey
stres, maka akan diikuti dengan peningkatan skor TWI hanya sebesar 11.5% (korelasi
sangat lemah).
antara kejadian sleep bruxism dan kejadiaan stress sesuai dengan apa yang dikemukakan
oleh Lavigne bahwa untuk memahami kecemasan dari perubahan yang terjadi pada
biologis akan saling mempengaruhi, sehingga sulit untuk mendapatkan deskripsi yang
jelas, sederhana dan sahih hubungan sebab diantara stres, kecemasan dan bruxism. Hal
ini sesuai pula dengan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di Jepang yang
melaporkan bahwa sleep bruxism secara lemah berhubungan dengan beberapa aspek