Anda di halaman 1dari 38

BAGIAN ILMU KESEHATAN GIGI MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS HASANUDDIN

HUBUNGAN STRESS DI TEMPAT KERJA DENGAN


SLEEP BRUXISM PADA KARYAWAN

Nama : Nurfitri Amaliah


Nim : J111 11 140
Pembimbing : Prof. Dr. drg. Burhanuddin Dg. Pasiga, M,Kes

BAGIAN ILMU KESEHATAN GIGI MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sleep bruxism atau bruxism yang terjadi pada saat tidur adalah suatu kelainan berupa
gerakan yang stereotip ditandai dengan grinding atau clenching gigi geligi sewaktu tidur.
Sleep bruxism dapat menyebabkan terjadinya abrasi gigi, hipermobilitas gigi,
hipersensitivitas gigi, hipertfrofi otot pengunyahan dan rasa sakit pada otot
pengunyahan.1 Tidak terdapat perebedaan jenis kelamin pada penderita sleep bruxism.
Sleep bruxism juga dapat terjadi pada anak-anak. Tetapi distribusi umur yang
menunjukkan angka insidensi sleep bruxism tertinggi terjadi pada individu berusia
antara 20 hingga 45 tahun.2
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya bruxism. Faktor yang
diduga dapat menyebabkan bruxism dibedakan atas faktor oklusal perifer dan faktor
patopsikofisiologik sentral. Diantaranya konsumsi alkohol, kafein, rokok, stress,
pergantian waktu kerja, sakit kondisi medis, kelainan psikiatrik, dan lain-lain. Pada
waktu tidur bruxism dapat dipengaruhi dan dikendalikan oleh pusat dan tingkat stress.3
Beberapa orang terkadang memiliki kebiasaan menggeretakkan giginya sewaktu tidur
di malam hari. Ternyata kebiasaan menggeretakkan gigi saat tidur salah satu faktor
penyebabnya adalah stress yang terjadi pada penderita sleep bruxism di siang hari.4
Kelainan mental, kecemasan dan stress adalah faktor yang secara signifikan
berhubungan dengan grinding gigi pada saat tidur dan hal ini telah dilakukan penelitian
bahwa hampir 70% kejadian sleep bruxism terjadi akibat stress pada suatu individu.2
Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa stress adalah salah satu faktor penyebab
terjadinya sleep bruxism. Rugh dan Soldberg melaporkan bahwa sleep bruxism akan
terjadi di malam hari apabila penderita mengalami hari yang melelahkan dan penuh
dengan stress.5 Seseorang yang bekerja dan memiliki jadwal bekerja yang irregular
dapat meningkatkan terjadinya sleep bruxism dan ditambah dengan sikap seorang
pekerja yang sangat agresif, kompetitif, atau kepribadian yang hiperaktif, mudah marah
atau frustasi dapat berkontribusi meningkatkan terjadinya sleep bruxism pada pekerja.
Stress pada para pekerja juga dipengaruhi oleh tuntutan pada pekerjaan, kontrol yang
dimiliki atas pekerjaan, dukungan yang diterima, hubungan pekerjaan yang dimiliki,
peran dan tanggung jawab, dan segala hal proses perubahan yang memiliki efek pada
seorang pekerja. Sebuah penelitian yang dilakukan di Bangalore pada suatu perusahaan
software, prevalensi bruxism para pekerja di perusahaan software ini adalah 35.8%,
prevalensi bruxism dari penelitian ini menunjukkan hubungan antara sleep bruxism pada
para pekerja diakibatkan profesi sebagai seorang engineer software menuntut skill yang
mumpuni, kerja keras, dan kerja secara cepat sehingga menyebabkan tingkat stress yang
dialami para pekerja semakin tinggi. Pada penelitian lainnya menunjukkan bahwa 1339
karyawan perusahaan broadcasting di Finlandia, frekuensi kejadian bruxism pada para
karyawan secara signifikan memiliki hubungan dengan posisi pekerjaan mereka.
Semakin tinggi posisi pekerjaan yang mereka miliki maka tingkat stress yang terjadi
semakin tinggi pula dan dapat berakibat semakin parahnya sleep bruxism yang terjadi.6
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Winocur, dkk mengatakan bahwa terdapat
perbedaan tingkat stress secara signifikan pada pada penderita sleep bruxism baik pada
perempuan maupun laki-laki.7 Secara lebih lanjut, Schenider dkk melaporkan tingkat
stress pada pekerja sleep bruxism dan non-sleep bruxism. Pada pekerja sleep bruxism
secara signifikan dilaporkan bahwa mereka tidak mampu menghadapi stress yang
dialaminya dengan cara yang sesuai. Mereka lebih sering memilih strategi untuk
melarikan diri dan menghindari masalah yang ada. Sedangkan pada pekerja non-sleep
bruxism cenderung mampu untuk mengatasi berbagai hal yang dituntut dalam
pekerjaannya. 5
Penelitian yang dilakukan pada 100 pekerja Indian Air Force mengatakan bahwa
lingkungan pekerjaan mewakili suatu lingkungan yang unik sebab stress dan kepribadian
memainkan peran penting dalam hal performa. Oleh sebab itu, ini adalah salah satu dari
masalah yang berhubungan dengan stress. Aspek yang mempengaruhi antara lain adalah
amibiguitas, konflik, beban pekerjaan, sebagaimana pekerjaan yang menuntut tingkat
fokus yang tinggi. Karyawan yang bekerja di Indian Air Force secara khusus mewakili
populasi yang selalu terkespos dengan stress pekerjaan bahkan pada selama waktu
tenang dan berdasarkan pemeriksaan klinis yang didapat dari hasil kunjungan rutin ke
dokter gigi para pekerja ini mengalami keausan gigi yang moderate dan mengalami sakit
pada temporomandibular joint dan mereka juga melaporkan secara sendiri bahwa
mereka mengalami sleep bruxism yang berlangsung cukup lama.7 Kondisi lain yang
berhubungan dengan stress dan memiliki dampak terhadap rongga mulut adalah
ketakutan terhadap dokter gigi, kecemasan berlebih, dan phobia. Hal ini tentu saja akan
mengganggu perawatan gigi dan mengganggu kesehatan rongga mulut dan dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pada kunjungan rutin ke dokter gigi diakibatkan rasa
stress yang berlebihan. 8
Secara keseluruhan, sebagian besar penelitian menunjukkan hubungan antara stres
dan sleep bruxism, meskipun peningkatan kasus sleep bruxism sebagai akibat langsung
dari stres belum dapat dibuktikan. Masih diperdebatkan apakah stress merupakan faktor
utama atau hanya sebagai faktor resiko terjadinya sleep bruxism.8
Menurut manajemen penanganan stress, stress tergantung pada dampak dari stressor
eksternal, yang dimediasi oleh penilaian dari stressor ( penilaian utama ) di satu sisi, dan
penilaian kemampuan individu untuk menangani situasi stress di sisi lain. Mengatasi
stress merupakan strategi sebenarnya bagi seorang individu untuk menghadapi berbagai
faktor terjadinya stress. 7
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui mengenai gambaran kejadian stress pada pekerja yang
menderita sleep bruxism.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka rumusan masalah pada penelitian ini
adalah:
Apakah terdapat hubungan antara hubungan antara stress di tempat kerja dengan
sleep bruxism pada karyawan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara hubungan antara
stress di tempat kerja dengan sleep bruxism pada karyawan

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan terlaksananya penelitian ini maka akan didapat suatu kesimpulan mengenai
ada atau tidaknya hubungan antara stress di tempat kerja dengan sleep bruxism pada
karyawan. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai penelitian lebih lanjut
mengenai gambaran kejadian stress pada pekerja yang menderita sleep bruxism di
perusahaan-perusahaan lainnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bruxism

2.1.1 Definisi

Istilah bruxism berasal dari kata Greek (brychein), yang berarti to gnash the teeth
atau mengerotkan gigi-gigi. Menurut “American Sleep Disorder Association (ASDA)”
bruxism sewaktu tidur (sleep bruxism) adalah kelainan gerakan yang sterreotip yang
ditandai dengan grinding atau clenching gigi geligi waktu tidur. Sedangkan menurut The
Academy of Prosthodontics, bruxism didefinisikan sebagai grinding parafungsi dari gigi
geligi yang merupakan suatu kebiasaan yang tanpa disadari dan berulang atau tidak
beraturan. 1,2
Bruxism didefinisikan sebagai aktifitas parafungsi dari gigi geligi pada siang hari
atau malam hari berupa gerkaan clenching, braching, gnashing dan grinding yang terjadi
pada sebagian besar manusia. Hal ini dapat dilihat melalui tumpukan gigi yang
mengalami keausan yang merupakan akibat dari bruxism.3,4

2.1.2 Prevalensi

Fenomena bruxism yang tercatata yaitu kira-kira pada 600-200 BC, dan konsep ini
dinyatakan oleh Olkinura, Faulkner, dan Sjoholm.5 Fenomena bruxism telah
mempengaruhi banyak orang di seluruh dunia. Di Amerika Serikat diduga sebanyak 45
juta orang memiliki tanda dan gejala dari bruxism (sewaktu tidur) dan 20 % dari
penduduk mengalami bruxism sewaktu bangun dan 10% pada malam hari dengan
frekuensi satu kali dalam seminggu.4,6
Hampir semua orang mengalami bruxism mulai dari anak-anak hingga lanjut usia.
Prevalensi terjadinya bruxism lebih sering terjadi pada usia remaja. Seiring
bertambahnya usia, bruxism semakin jarang terjadi. Kelompok usia 20 hingga 45 tahun
paling sering terjadi bruxism baik pada laki-laki maupun perempuan.7,8
Kebanyakan dari para mereka tidak memperhatikan kondisi bruxism ini. Biasanya
anggota keluarga yang lebih memperhatikan dan memberitahukan keadaan tersebut
karena merasa terganggu dengan suara yang dikeluarkan penderita bruxism yang
mengerotkan gigi-giginya.

2.1.3 Etiologi

Sejak beberapa dekade yang lalu pencarian etiologi dan physiologi bruxism terbatas
hanya pada faktor mekanis (oklusi) dan adoptif atau perilaku maladaptive (stress) dan
pada kasus yang ekstrim disfungsi medis dari dopamine. Berbagai investigasi terbaru
telah dikemukakan seperti terlihat pada gambar 1 dibawah ini:

Gambar 1. Evolusi dari etiologi dan patophysiologi dari bruxism (lingkaran = teori lama; panah = teori baru). GABA == gamma-
aminobutyric acid
Adanya konsep bahwa oklusi gigi berperan dalam genesis bruxism berdasarkan
observasi klinis sejak pertengahan abad 21. Walaupun telah dikenal peran oklusi dalam
rehabilitasi sempurna seluruh mulut atau ortodonti, tampak masih adanya kekurangan
bukti yang meyakinkan pemakaian terapi oklusal untuk mengatasi bruxism, prakteknya
tetap kontroversial9.
Terdapat dua kelompok faktor penyebab bruxism yaitu periferal (morfologis) dan
sentral (physiopatologis dan psikologis). Faktor periferal pada waktu lalu
dipertimbangkan sebagai etiologi utama bruxism. Ramfjorf menyarankan bahwa
bruxism dapat dihilangkan dengan penyesuaian oklusal.11 Tapi dari berbagai studi
menunjukkan bahwa hubungan antara bruxism dan faktor oklusal adalah lemah atau
tidak ada. Sementara itu, Michelotti dkk, dalam eksperimennya, bahwa suprakontak
nyata berhubungan dengan pengurangan kegiatan elektomiografi (EMG) ketika
bangun.10 Hasil double-blind randomized controlled studies di Finland menunjukkan
bahwa interferensi oklusal artifisial tampaknya mengganggu keseimbangan oromotor
pada mereka dengan kelainan temporomandibular.14 Artikel tinjauan Luther menyatakan
tidak ada bukti bahwa interferens oklusal sebagai etiologi bruxism, atau penyesuaian
oklusal dapat mencegahnya.15
Pathophysiologi dari bruxism sewaktu tidur tampaknya belum dapat dijelaskan
sepenuhnya, tetapi mungkin disebabkan mulai dari faktor psikososial seperti stres,
kecemasan, respon yang eksesif sampai microarousals. Microarousals didefinisi sebagai
periode singkat (3-15 detik) dari aktivitas cortikal sewaktu tidur, yang berhubungan
peningkatan aktivitas sistem syaraf sympatetik16. Hampir 80% episod bruxism terjadi
dalam kelompok, sewaktu tidur dan berhubungan dengan microarousal. Mengerotkan
gigi didahului urutan kejadian psikologis: peningkatan aktivitas sympatetik (pada 4
menit sebelum mengerot dimulai), diikuti aktivasi cortikal (1 menit sebelumnya) dan
peningkatan ritme jantung dan tonus otot pembukaan mulut (1 detik sebelumnya).16
Bukti terbaru yang mendukung hipotesis bahwa bruxism dimediasi secara sentral
dibawah rangsangan autonom dan otak. Bukti mendukung peran syaraf sentral dan
sistem syaraf autonom pada awal aktivitas oromandibular bruxism selama tidur malam.17
Autonomic cardiac activation

(4-8 minutes before)

Increase in electroencephalographic activity (alpha waves


( 4 s before)

Increase in cardiac rhythm


(1 s before)

Increase in the suprahyoid muscle tone


(0.8 s before)

Beginning bruxism episode (masseters)

Gambar 2. Tahapan kejadian psikologis sebelum episode bruxism17.

Hasil studi polisomnografik terkontrol Lobbezoo, dkk, menujukkan bahwa


pemakaian jangka pendek dari L-Dopa (prekursor-dopamine) dan bromokriptin (D2
agonis reseptor) menghambat bruxism,18 sementara menurut Lavigne, dkk menyatakan
tidak ada efek ketika memakai bromokriptin. Adanya bukti bahwa kebanyakan bruxism
malam hari tampak dibawah pengaruh aktivitas symphatetik jantung antara lain
tachykardia awal dari Rhythmic Masticatory Muscle Activity (RMMA).19
Sebagai tambahan, hasil penelitian Miyawaki, dkk, 2004, terdapat hubungan antara
aktivitas bruxism dengan posisi tidur terlentang, refluks gastroesophageal, episod
penurunan pH esophageal dan penelanan.20
2.2 Hubungan antara Stress dengan Bruxism

Studi oleh Lobbezoo dan Naeije menyatakan bahwa pengalaman stres dan faktor
psikososial berperan penting pada penyebab bruxism.21 Menurut literatur berdasarkan
laporan sendiri (self-reported) dan observasi klinik adanya keausan gigi adalah satu cara
untuk menilai bruxism dalam hubungannya dengan kecemasan dan stres. 22 Tetapi, ada
keterbatasan dari metoda tersebut, karena keausan gigi digambarkan sebagai indikator
yang lemah dari konsep bruxism dan tidak membedakan clenching dan grinding.23
Besarnya keausan gigi dipengaruhi oleh kepadatan email atau kualitas saliva dan
efektivitas lubrikasinya.24 Dokter gigi diklinik perlu perhatian untuk mengenal kelainan
psikis dan psikiatrik, seperti kecemasan atau kecemasan patologis, kondisi hati (mood)
dan kelainan personaliti. Pada kondisi tersebut seorang psikolog sangat diperlukan.
Menurut Lavigne, dkk. untuk memahami penyebab bruxism adalah sangat sulit untuk
mengisolir peran stres dan kecemasan dari perubahan yang terjadi pada autonomik dan
kegiatan motorik. Adanya keberagaman psikososial dan penanda biologis akan saling
mempengaruhi, sehingga sulit untuk mendapatkan deskripsi yang jelas, sederhana dan
sahih hubungan sebab diantara stres, kecemasan dan bruxism.25
Beberapa peneliti telah melakukan investigasi mengenai stress sebagai salah satu
faktor penyebab sleep bruxism. Rugh dan Soldberg melaporkan sleep bruxism akan
terjadi pada individu yang mengalami hari yang melelahkan dan dengan tingkat stress
yang tinggi. 23 Pada sebuah penelitian yang lain menunjukkan bahwa para pekerja yang
bekerja di lingkungan perkantoran frekuensi terjadinya bruxism secara signifikan
berhubungan dengan beberapa situasi yang penuh dengan tingkat stress yang tinggi di
lingkungan kerja. Study epidemiologi yang lain melaporkan hubungan antara
psychososial stress pekerjaan dan sleep bruxism pada populasi di Jepang sebanyak 1944
perempuan dan 736 laki-laki pekerja di sebuah perusahaan. Study tersebut melaporkan
bahwa sleep bruxism secara lemah berhubungan dengan beberapa aspek stress
pekerjanaan pada laki-laki dari keselurahan populasi pekerja di Jepang. 26
Penelitian yang dilakukan oleh Winocur, dkk melaporkan bahwa pada 151 laki-laki
dan 251 perempuan terdapat perbedaan signifikan antara tingkat stress dan kejadian
bruxism baik pada laki-laki maupun perempuan. Para responden yang dilaporkan
bruxism melaporkan bahwa mereka memiliki level stress yang tinggi dibandingkan
dengan responden non-bruxism. 27

2.4 Kejadiaan Stress dan Pekerjaan

Menurut tingkatan dan dampaknya, stres dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama,
eustres. Eustres adalah stres yang masih dalam tingkatan rendah. Kemunculannya justru
memberi manfaat bagi Anda. Stres ini merupakan motivasi yang baik yang mendorong
Anda menghadapi sumber stres tersebut dengan cekatan. Akan tetapi, ketika cara
merespons eustres salah, maka muncullah apa yang disebut distres. Distres merupakan
keadaan ketika Anda tak dapat menaklukkan eustres sedemikian sehingga tubuh dan
pikiran meresponsnya dengan destruktif.11 Dengan mengetahui definisi stres, yaitu
respons yang muncul sebagai akibat dari ancaman atau tekanan, dapat dipahami bahwa
penyebab stres tidak lain yaitu ancaman atau tekanan itu sendiri. Bentuk ancaman dapat
berupa ancaman konkret maupun abstrak. Ancaman konkret dipahami sebagai ancaman
fisik sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Ancaman ini lebih sering ditemui
binatang atau manusia purba. Cara mengatasi ancaman fisik ini cukup dengan respons
yang juga bersifat fisik. Sementara itu, ancaman abstrak dipahami sebagai ancaman
psikologis. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ancaman psikologis lebih sering
dijumpai pada masyarakat modern. Sebagai contoh, ketika atasan menutut Anda untuk
segera menyelesaikan pekerjaan. Tuntutan tersebut dapat menjadi ancaman yang pada
ujungnya dapat membuat Anda stres. Salah satu penyebab stress adalah tekanan di
tempat kerja. entang waktu deadline yang mencekik, tuntutan kesempurnaan hasil kerja
dari atasan, dan kesulitan mengimplementasikan rencana kerja dapat menjadi pemicu
munuculnya stres di diri Anda. Terlambatnya hasil dari divisi lain yang membuat Anda
ikut terlambat dalam memrosesnya akan menambah tingkat stres. Stres di tempat kerja
juga dapat muncul lantaran Anda harus mempresentasikan rencana kerja Anda di depan
atasan dan rekan kerja. Anda juga harus memperhatikan hubungan dan persaingan
dengan rekan Anda. 9
Penyebab stres di tempat kerja juga dapat berupa rasa bosan karena tugas yang
monoton, kompetensi yang diragukan, baik oleh diri sendiri atau oleh rekan dan atasan,
lingkungan kerja yang tidak nyaman dan kondusif, tanggung jawab yang tinggi yang
tidak sepadan dengan pangkat atau gaji, dan masih banyak lagi. 10

2.5 Kriteria Penilaian Bruxism dan Tingkat Stress

Bruxism didefinisikan sebagai suatu aktivitas rongga mulut memiliki karakteristik


grinding dan clenching. Gejala yang ditunjukkan oleh bruxism ditandai oleh kelainan
sebagai berikut: bunyi grinding, sakit pada otot rahang, sakit pada temporomandibular
joint, sakit kepala, dan sakit leher. Secara klinis pasien yang menderita bruxism akan
memperlihatkan hal seperti berikut: keausan gigi, menghisap pipi, fraktur gigi,
ankylosis, kegagalan protesa atau restorasi dikarenakan kelainan temporomandibular
joint dan kesulitan pada rehabilitasi prostetik.
Evaluasi atau penilaian sleep bruxism menggunakan kuesioner berdasarkan kriteria
diagnostic dari American Academy of Sleep Medicine (2005). Kuesioner ini mengacu
pada kejadian yang terjadi selama 6 bulan yang lalu. Kuesioner ini berisi beberapa
pertanyaan mengenai kondisi bruxism dan penilaiannya berdasarkan jawaban “iya” atau
“tidak” pada setiap pertanyaan. 28
Berdasarkan beberapa literature, tooth wear index lebih dapat dihubungkan dengan
bruxism dibandingkan dengan TMJD. Walaupun hubungan antara tooth wear index dan
TMJD sudah pernah dilapotkan, namun kebanyakan study mengindikasihkan bahwa
TMJD adalah bukan faktor resiko untuk tooth wear index. Disisi lain, bruxism secara
konsisten mengimplikasikan dalam hal tooth wear index. Tooth wear index adalah suatu
aturan untuk menjelaskan kehilangan progresif permukaan gigi karena hal lain selain
karies gigi maupun trauma. Tooth wear index disebabkan oleh 3 fenomena: erosi, atrisi,
dan abrasi. Salah satu dari ketiga fenomena tersebut berhubungan dengan bruxism yaitu
atrisi. Atrisi adalah kehilangan progresif substansi jaringan keras gigi diakibatkan
mastikasi atau grinding diantara gigi yang berlawanan. Atrisi akan semakin parah
apabila terjadi pada individu yang mengalami sleep bruxism. Karena mereka biasanya
melakukan grinding atau clenching gigi mereka secara tidak sadar pada saat tidur. 27
Derajat keparahan tooth wear index untuk masing-masing gigi diklasifikasikan
berdasarkan metode yang berasal dari kriteria yang diatur oleh Johansson dkk. Prosedur
pengukuran ini dilakukan dengan cara pasien duduk di dental chair, permukaan gigi
diseka dengan menggunakan semprotan air dan kapas. Derajat keparahan dilihat melalui
penglihatan secara langsung atau melalui kaca mulut.

Untuk mengukur tingkat stress digunakan workplace stress survey by The American
Institute of Stress. Pertanyaan yang terdapat pada kuesioner ini terdapat 10 pertanyaan
yang berhubungan dengan stress pada pekerja.. Responden diminta untuk menjawab
secara terbuka dan jujur dan mengindikasikan bagaimana perasaan yang sebenarnya
dimiliki. Kuesioner ini dinilai berdasarkan penilaian angka, penilaian 1-4 untuk kategori
sangat tidak setuju, penilaian 5-7 setuju, penilaian 8-10 sangat setuju.
BAB III

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

Bruxism

Sleep Awake
Bruxism Bruxism

etiologi etiologi
periferal pathophysiologi

respon
kecemasan stress yang
eksesif

Kondisi Kematian Hubungan Hubungan


penyakit Pekerjaan Kegagalan
finansial Seseorang Personal Sosial

Hubungan antara stress


ditempat kerja dengan sleep
bruxism pada karyawan

: variabel diteliti
: variabel tidak diteliti
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 DESAIN PENELITIAN

Desain penelitian ini adalah observasional analitik

4.2 RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional study

4.3 TEMPAT DAN WAKTU

Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di kantor Honda Sanggar Laut Selatan

Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada tanggal 14 dan 15 Maret 2015


4.4 VARIABEL PENELITIAN

variabel menurut fungsinya:

1. Variabel sebab (independen variabel) : stress di tempat kerja


2. Variabel akibat (dependen variabel): sleep bruxism

4.5 DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL

1. Stress ditempat kerja adalah suatu kondisi ketika seseorang tidak mampu
mengontrol keadaan emosi, memiliki perasaan kekecewaan yang berlebihan, dan
selalu merasakan ketidakmampuan dalam mengatasi suatu masalah di
lingkungan tempat mereka bekerja.
2. Sleep bruxism adalah suatu kelainan yang terjadi dalam keadaan tidak sadar pada
saat tidur, yaitu gigi melakukan sistem pengunyahan yang dapat menyebabkan
keausan pada permukaan oklusal/insisal gigi.
3. Karyawan adalah seseorang yang bekerja sesuai dengan tempat diadakan
penelitian dan termasuk dalam kriteria inklusi penelitian

4.6 POPULASI PENELITIAN

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh karyawan di Honda Sanggar Laut Selatan,
berjumlah 200 orang

4.7 SAMPEL PENELITIAN

Metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling


4.8 KRITERIA SAMPEL

Kriteria Inklusi:
1. Berusia 20-45 tahun
2. Bekerja sebagai pegawai di Kantor Honda Sanggar Laut Selatan
3. Mengalami sleep bruxism
4. Bersedia untuk mengikuti penelitian

Kriteria Eksklusi
Tidak bersedia untuk mengikuti penelitian

4.9PENGUMPULAN DATA PENELITIAN

Data yang dikumpulkan untuk penelitian ini meliputi:

1. Data survey wawancara terstruktur dan pengisian kuesioner bruxism berdasarkan


questionnaire for detection bruxism by American Academy of Sleep Medicine
2005.
2. Pemeriksaan keausan gigi yang karena bruxism menggunakan tooth wear index
3. Data survey wawancara terstruktur dan pengisisan kuesioner mengenai stress
dengan menggunakan workplace stress survey by The American Institute of
Stress
4.10 PROSEDUR PENELITIAN

Prosedur penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Laki-laki atau perempuan berusia 20-45 tahun dan bekerja sebagai karyawan di
Honda Sanggar Laut Selatan yang menjadi subjek penelitian akan diberikan
kuesioner yang menanyakan tentang hal-hal yang berkaitan bruxism berdasarkan
questionnaire for detection bruxism by American Academy of Sleep Medicine
2005.
2. Setelah subjek mengisi kuesioner lalu dilakukan pemeriksaan keausan gigi
karena bruxism menggunakan tooth wear index.
3. Kemudian subjek akan diberikan kuesioner mengenai stress dengan
menggunakan workplace stress survey by The American Institute of Stress
dan diminta untuk menjawab seluruh pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner
tersebut.
4. Setelah semua data terkumpul, lalu data akan diolah menggunakan program
SPSS

4.11 KRITERIA PENILAIAN

1. Data survey wawancara terstruktur dan pengisisan kuesioner bruxism


berdasarkan questionnaire for detection bruxism by American Academy of Sleep
Medicine 2005 terdiri dari 9 pertanyaan. Kesembilan pertanyaan ini akan dijawab
“iya”, “tidak”, atau “tidak tau” oleh masing-masing responden. Apabila terdapay
jawaban “iya” sebanyak dua dari kesembilan pertanyaan tersebut maka sampel
dikatakan menderita sleep bruxism.
2. Derajat keparahan tooth wear index untuk masing-masing gigi diklasifikasikan
berdasarkan metode yang berasal dari kriteria yang diatur oleh Smith and Knight.
Prosedur pengukuran ini dilakukan dengan cara pasien duduk di dental chair,
permukaan gigi diseka dengan menggunakan semprotan air dan kapas. Derajat
keparahan dilihat melalui penglihatan secara langsung atau melalui kaca mulut.
Kriteria penilaian tooth wear index adalah sebagai berikut: 27
 Skor 0: tidak ada keausan gigi pada enamel. Morfologi dari oklusal/insisal masih
terlihat utuh.
 Skor 1: terlihat keausan gigi pada enamel. Morfologi dari oklusal/insisal telah
berubah.
 Skor 2: keausan masuk ke dalam dentin. Dentin terlihat pada permukaan oklusal
atau pada permukaan gigi . Morfologi oklusal/insisal telah berubah bentuk
karena pengurangan tinggi mahkota gigi.
 Skor 3: keausan gigi yang meluas hingga ke dentin. Area dentin yang mengalami
keausan terlihat pada oklusal/insisal ( > 2mm). morfologi oklusal/insisal hilang
secara keseluruhan maupun sebagian.
 Skor 4: keausan gigi pada dentin sekunder
Kemudian masing-masing skor tooth wear index yang telah didapat pada masing-
masing permukaan gigi (bukal, lingual/palatal, insisal/oklusal) pada setiap gigi
ditambahkan untuk setiap individu. Jika total skor yang didapat adalah 0-2 maka
termasuk dalam kategori tidak beresiko, 3-8 termasuk dalam kategori resiko rendah, 9-
13 termasuk kategori sedang, dan 14+ termasuk dalam kategori resiko tinggi.

3. Untuk mengukur tingkat stress pada karyawan digunakan workplace stress


survey by The American Institute of Stress. Pertanyaan yang terdapat pada
kuesioner ini terdiri dari 10 pertanyaan yang berhubungan dengan stress pada
pekerja. Responden diminta untuk menjawab secara terbuka dan jujur dan
mengindikasikan bagaimana perasaan yang sebenarnya dimiliki. Kuesioner ini
dinilai berdasarkan penilaian angka, penilaian 1-4 untuk kategori sangat tidak
setuju, penilaian 5-7 setuju, penilaian 8-10 sangat setuju.
Kriteria penilaian kuesioner ini adalah sebagai berikut:
a. apabila skor yang didapat adalah 10-30 maka karyawan tersebut termasuk
dalam individu yang bisa mengontrol stress dengan sangat baik
b. apabila skor yang didapat adalah 40-60 karyawan tersebut termasuk dalam
individu yang bisa mengontrol stress dengan cukup baik
c. apabila skor yang didapat adalah 70-100 maka karyawan tersebut termasuk
dalam individu yang mengontrol stress dengan sangat buruk
BAB V

HASIL PENELITIAN

Sebanyak 40 karyawan suatu perusahaan yang memenuhi kriteria seleksi sampel

diambil untuk dijadikan sampel penelitian ini. Seluruh sampel menderita bruxism dan

telah dideteksi dengan menggunakan kuisioner deteksi bruxism. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa jumlah laki-laki yang menderita bruxisim lebih banyak

dibandingkan perempuan. Terlihat jumlah laki-laki mencapai 29 orang (72.5%) dan

perempuan hanya berjumlah 11 orang (27.5%). Selan itu, kategori usia 21-23 tahun

merupakan kategori dengan sampel terbanyak dalam penelitian ini, yaitu sebanyak 15

sampel (37.5%). Adapun rata-rata usia sampel penelitian mencapai 25 tahun. Pekerjaan

terbanyak yang mengalami bruxism dalam penelitian ini adalah pekerjaan teknisi, yaitu

sebanyak 13 orang (32.5%) dengan rata-rata lama bekerja dua tahun.


Tabel 1. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan lama
bekerja
Jenis kelamin, usia, pekerjaan,
Frekuensi (n) Persen (%) Mean ± SD
dan lama bekerja
Jenis kelamin
Laki-laki 29 72.5
Perempuan 11 27.5
Usia 25.05 ± 2.86
21-23 tahun 15 37.5
24-26 tahun 13 32.5
27-29 tahun 7 17.5
30-32 tahun 5 12.5
Pekerjaan
Administrasi 9 22.5
Marketing 4 10.0
Mekanik 14 35.0
Teknisi 13 32.5
Lama Bekerja 2.40 ± 1.17
1 tahun 9 22.5
2 tahun 16 40.0
3 tahun 8 20.0
4 tahun 4 10.0
5 tahun 3 7.5
Total 40 100

Tabel 2 menunjukkan distribusi sampel berdasarkan jawaban kuisioner untuk

deteksi bruxism. Kuisioner ini ditujukan untuk mendeteksi apakah seseorang menderita

bruxism atau tidak. Bila seseorang menjawab “ya” untuk dua pertanyaan, maka dapat

disimpulkan bahwa dia menderita bruxism. Seluruh sampel dalam penelitian ini

menderita bruxism dan diseleksi melalui kuisioner ini. Hasil penelitian yang ditunjukkan

tabel 2 menemukan bahwa sembilan dari 40 sampel, merasakan bahwa mereka

melakukan gertakan gigi ketika tertidur. Sebanyak 27 sampel (67.5%) juga mengaku
bahwa ada orang lain yang mendengarkan gertakan gigi mereka ketika tertidur.

Walaupun demikian, sebanyak 18 orang (45%) tidak merasakan sakit pada rahang ketika

bangun tidur dan tidak ada seorang pun yang juga merasakan sakit kepala. Hal yang baik

juga karena tidak ditemukan sampel yang menggeretakkan gigi pada siang hari.

Tabel 2. Distribusi sampel berdasarkan jawaban kuisioner untuk deteksi bruxism


Jawaban Kuisioner Bruxism
Total
Pertanyaan Kuisioner untuk Deteksi Bruxism Ya Tidak Tidak tahu
n (%) n (%) n (%) n (%)
Apakah anda menggeretakan gigi anda ketika
9(22.5%) 4(10%) 27(67.5%) 40(100%)
tertidur?
Apakah ada orang lain yang mendengar anda
27(67.5%) 3(7.5%) 10(25%) 40(100%)
menggeretakkan gigi anda ketika anda tertidur?
Pada saat anda bangun, apakah anda biasanya
4(10%) 24(60%) 12(30%) 40(100%)
mendapatkan diri anda menggeretakkan gigi?
Pada saat anda bangun, apakah anda biasanya
8(20%) 18(45%) 14(35%) 40(100%)
merasa sakit pada rahang anda?
Pada saat anda bangun, apakah anda biasanya
16(40%) 22(55%) 2(5%) 40(100%)
memiliki perasaan bahwa gigi anda hilang?
Pada saat anda bangun, apakah anda biasanya
4(10%) 32(80%) 4(10%) 40(100%)
mengalami sakit pada gigi atau gusi?
Pada saat anda bangun, apakah anda biasanya
0(0%) 27(92.5%) 3(7.5%) 40(100%)
mengalami sakit kepala?
Pada saat anda bangun apakah anda biasanya
4(10%) 35(87.5%) 1(2.5%) 40(100%)
mengalami rahang anda terkunci?
Apakah anda pernah mendapatkan diri anda
0(0%) 40(100%) 0(0%) 40(100%)
menggeretakkan gigi anda pada siang hari?
Tabel 3. Distribusi sampel berdasarkan jawaban survei stres di tempat kerja
Jawaban Survei Stres
Sangat tidak Sangat Total
Pertanyaan Survei Stres Tempat Kerja Setuju
setuju setuju
n (%) n (%) n (%) n (%)
Saya tidak bisa jujur mengatakan apa yang
9(22.5%) 31(77.5%) 0(0%) 40(100%)
benar-benar saya pikirkan di tempat kerja
Pekerjaan saya menuntut tanggung jawab yang
4(10%) 35(87.5%) 1(2.5%) 40(100%)
tinggi, tetapi saya tidak punya banyak kekuasaan
Saya biasanya dapat mengejakan suatu pekerjaan
7(17.5%) 16(40%) 17(42.5%) 40(100%)
lebih baik apabila diberi waktu lebih panjang
Saya jarang menerima pengakuan memadai atau
9(22.5%) 30(75%) 1(2.5%) 40(100%)
penghargaan ketika pekerjaan saya sangat baik
Secara umum, saya terlalu bangga atau puas
8(20%) 32(80%) 0(0%) 40(100%)
dengan pekerjaan saya
Saya memiliki kesan bahwa saya berulang kali
9(22.5%) 30(75%) 1(2.5%) 40(100%)
mengalami diskriminasi di tempat kerja
Lingkungan pekerjaan saya tidak terlalu
8(20%) 32(80%) 0(0%) 40(100%)
menyenangkan atau tidak terlalu aman
Pekerjaan saya terkadang mengganggu
9(22.5%) 31(77.5%) 0(0%) 40(100%)
hubungan keluarga dan sosial saya
Saya cenderung memiliki argumen dengan
7(17.5%) 32(80%) 1(2.5%) 40(100%)
atasan, rekan kerja, atau pelanggan
Sebagian besar dalam waktu saya, saya merasa
4(10%) 36(90%) 0(0%) 40(100%)
memiliki sedikit kontrol atas hidup saya

Tabel 3 menunjukkan distribusi sampel berdasarkan jawaban survei stress di

tempat kerja. Survei stres diisi dengan skor mulai dari satu hingga 10 dengan ketentuan

bahwa semakin tinggi nilai tersebut, maka semakin sesuai dengan keadaan tersebut. Skor

setiap pertanyaan diterjemahkan dalam kategorik jawaban, yaitu sangat tidak setuju (skor
1-4), setuju (skor 5-7), sangat setuju (skor 8-10). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

terdapat 31 orang (77.5%) yang tidak dapat jujur mengatakan apa yang mereka pikirkan

di tempat kerja dan terdapat 35 orang (87.5%) yang pekerjaannya menuntut tanggung

jawab, namun tidak diimbangi dengan kekuasaan. Sebanyak 30 orang (75%) yang jarang

menerima pengakuan atau penghargaan atas pekerjaan mereka dan terdapat 31 orang

(77.5%) yang merasa pekerjaannya terganggu dengan hubungan keluarga dan sosialnya.

Tabel 4. Distribusi sampel berdasarkan kategori stres dan tingkat


keparahan bruxism (kategori tooth wear index)
Jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan
Frekuensi (n) Persen (%)
lama bekerja
Kategori Stres
Stres terkontrol sangat baik 0 0
Stres cukup terkontrol 40 100
Stres tidak terkontrol 0 0
Keparahan Bruxism (Kategori TWI)
Tidak ada risiko keausan gigi (TWI 1) 7 17.5
Keausan gigi risiko rendah (TWI 2) 32 80
Keausan gigi risiko sedang (TWI 3) 1 2.5
Keausan gigi risiko tinggi (TWI 4) 0 0
Total 40 100

Distribusi sampel berdasarkan kategori stres dan tingkat keparahan bruxism

ditunjukkan pada tabel 4. Tingkat keparahan stres diukur dengan menggunakan survei

keparahan stres tempat kerja, sedangkan tingkat keparahan bruxism dinilai menggunakan

tooth wear index (TWI). Hasil penelitian menunjukkan setelah skor survei stres

dikategorikan, diperoleh bahwa seluruh sampel memiliki stres yang cukup dapat

dikontrol. Adapun, berdasarkan keparahan bruxism, setelah skor TWI dikategorikan,

diperoleh bahwa sampel terbanyak memiliki risiko keausan gigi yang rendah atau

keparahan bruxism yang masih rendah. Terdapat 32 sampel (80%) yang masuk kategori
demikian, sedangkan terdapat satu sampel yang kategori keausan giginya mencapai risiko

sedang (keparahan bruxism sedang).

Tabel 5. Distribusi jenis kelamin, usia, lama bekerja, dan kategori stres
berdasarkan keparahan bruxism (tooth wear index)
Keparahan Bruxism (Tooth Wear Index)
Jenis kelamin, Usia, Total
TWI 1 TWI 2 TWI 3 TWI 4
Lama bekerja & Stres
n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)
Jenis kelamin
Laki-laki 5(12.5%) 23(57.5%) 1(2.5%) 0(0%) 29(72.5%)
Perempuan 2(5%) 9(22.5%) 0(0%) 0(0%) 11(27.5%)
Usia
21-23 tahun 3(7.5%) 12(30%) 1(2.5%) 0(0%) 15(37.5%)
24-26 tahun 0(0%) 12(30%) 1(2.5%) 0(0%) 13(32.5%)
27-29 tahun 4(10%) 3(7.5%) 0(0%) 0(0%) 7(17.5%)
30-32 tahun 0(0%) 5(12.5%) 0(0%) 0(0%) 5(12.5%)
Lama Bekerja
1 tahun 2(5%) 6(15%) 1(2.5%) 0(0%) 9(22.5%)
2 tahun 3(7.5%) 13(32.5%) 0(0%) 0(0%) 16(40%)
3 tahun 1(2.5%) 7(17.5%) 0(0%) 0(0%) 8(20%)
4 tahun 1(2.5%) 3(7.5%) 0(0%) 0(0%) 4(10%)
5 tahun 0(0%) 3(7.5%) 0(0%) 0(0%) 3(7.5%)
Kategori Stres
Terkontrol sangat baik 0(0%) 0(0%) 0(0%) 0(0%) 0(0%)
Stres cukup terkontrol 7(17.5%) 32(80%) 1(2.5%) 0(0%) 40(100%)
Stres tidak terkontrol 0(0%) 0(0%) 0(0%) 0(0%) 0(0%)
Total 7(17.5%) 32(80%) 1(2.5%) 0(0%) 40(100%)

Distribusi jenis kelamin, usia, lama bekerja, dan kategori stres berdasarkan

keparahan bruxism yang dinilai dengan indeks TWI diperlihatkan pada tabel 5. Skor

indeks TWI diterjemahkan ke dalam kategori TWI berdasarkan tingkat keparahannya.

Seperti yang telah diperlihatkan pada tabel 4, TWI 1 adalah kategori tidak ada risiko

keausan gigi, TWI 2 adalah risiko keausan rendah atau keparahan bruxism rendah, TWI 3

adalah kategori keausan sedang atau keparahan bruxism sedang dan TWI 4 adalah

kategori keausan gigi tinggi atau keparahan bruxism parah. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa tidak seorang pun sampel yang masuk kategori bruxism parah.

Terlihat jumlah laki-laki dan perempuan terbanyak terdapat pada kategori TWI 2, yaitu

sebanyak 23 laki-laki (57.5%) dan sembilan perempuan (22.5%). Berdasarkan kategori

usia, seluruh kategori usia memiliki jumlah sampel terbanyak pada kategori TWI 2,

kecuali pada kategori usia 27-29 tahun, yang jumlah sampel terbanyak berada pada

kategori TWI 1. Pada kategori lama bekerja, sampel terbanyak berada pada kategori TWI

2, namun terdapat satu orang pada lama bekerja satu tahun, yang masuk dalam kategori

TWI 3. Adapun, pada kategori stres cukup terkontrol, terdapat tujuh orang (17.5%) tidak

memiliki risiko keausan gigi, 32 orang (80%) yang memiliki keparahan bruxism ringan,

dan satu orang (2.5%) yang memiliki keparahan bruxism sedang.

Tabel 6. Distribusi rata-rata skor survey stres dan indeks TWI


berdasarkan jenis kelamin, usia, dan lama bekerja
Jenis kelamin, Usia, dan Skor Survei Stres Skor TWI
Lama bekerja Mean ± SD Mean ± SD
Jenis kelamin
Laki-laki 51.00 ± 3.58 3.79 ± 2.12
Perempuan 49.55 ± 3.44 4.64 ± 2.42
Usia
21-23 tahun 52.27 ± 3.28 3.80 ± 2.17
24-26 tahun 51.85 ± 1.51 5.15 ± 2.11
27-29 tahun 47.00 ± 3.51 2.43 ± 2.14
30-32 tahun 47.40 ± 3.13 4.00 ± 1.41
Lama Bekerja
1 tahun 50.56 ± 3.43 3.67 ± 2.95
2 tahun 48.44 ± 3.42 4.13 ± 2.02
3 tahun 52.50 ± 1.06 4.38 ± 1.92
4 tahun 54.75 ± 3.50 3.25 ± 2.50
5 tahun 51.67 ± 1.52 4.67 ± 2.08
Keseluruhan 50.60 ± 3.56 4.03 ± 2.21
Tabel 6 menunjukkan distribusi rata-rata skor survey dan indeks TWI

berdasarkan jenis kelamin, usia, dan lama bekerja. Hasil skor survei stress per

pertanyaan diakumulasikan untuk mendapatkan skor survei secara keseluruhan. Semakin

tinggi nilai skor survei stress, maka berarti stress yang diderita sampel tersebut semakin

parah atau tidak dapat dikontrol dengan baik. Hal yang sama berlaku untuk indeks TWI.

Hasil penelitian memperlihatkan laki-laki memiliki skor stress yang lebih tinggi

daripada perempuan, namun skor TWI yang lebih rendah daripada perempuan.

Berdasarkan usia, kategori usia yang memiliki skor stres tertinggi adalah kategori usia

termuda, yaitu 21-23 tahun. Namun, yang memilki nilai TWI tertinggi adalah kategori

usia 24-26 tahun. Adapun, sampel dengan lama bekerja empat tahun memiliki skor stres

yang paling tinggi diantara lainnya, namun sampel yang telah bekerja lima tahun

memiliki skor TWI yang paling tinggi.

Tabel 7. Hubungan tingkat keparahan stres (skor suvei stres) dengan


tingkat keparahan bruxism (skor indeks TWI total)
Skor Survei Stres Skor Indeks TWI
p-value Koefisien korelasi (r)
Mean ± SD Mean ± SD

50.60 ± 3.56 4.03 ± 2.21 0.480a 0.115


a
Pearson correlation test: p>0,05, tidak signifikan

Tabel 7 menunjukkan hubungan tingkat keparahan stres dengan tingkat keparahan

bruxism. Tingkat keparahan stres diukur dengan menggunakan skor survei stres,

sedangkan tingkat keparahan bruxism diukur dengan menggunakan indeks tooth wear

index (TWI). Semakin tinggi nilai skor survey stres, maka sampel dapat disimpulkan
memiliki stres yang semakin parah. Hal yang sama berlaku untuk indeks TWI. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa rata-rata skor survey stres dalam populasi sampel

penelitian mencapai 50.60, sedangkan rata-rata skor indeks TWI mencapai 4.03. Melalui

hasil uji statistik korelasi pearson, diperoleh nilai p:0.480 (p>0.05), hal ini menunjukkan

bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keparahan stres dengan keparahan

bruxism. Hal ini juga terlihat dari nilai koefisien korelasi yang hanya sebesar 0.115, yang

berarti bahwa semakin tinggi nilai skor survey stres, maka akan diikuti dengan

peningkatan skor TWI hanya sebesar 11.5% (korelasi sangat lemah).


BAB VI

PEMBAHASAN

Fenomena terjadinya bruxism telah mempengaruhi banyak orang diseluruh dunia

ini tanpa terkecuali di Indonesia. Berdasarkan penelitian ini didapatkan sebanyak 40

sampel yang termasuk dalam kriteria inklusi. Sebanyak 40 sampel tersebut terdiri dari 29

sampel berjenis kelamin laki-laki dan 11 sampel berjenis kelamin perempuan

(25.05±2.86) hasil ini tidak menunjukkan kesesuaian dengan penelitian yang dilakukan

oleh Wincour yang mengatakan bahwa pada perempuan frekuensi terjadinya bruxism

lebih tinggi dibanding laki-laki. Dan adapaun untuk kelompok usia terbanyak yang

mengalami bruxism ketika tidur adalah dari kelompok usia 21-23 tahun. Hasil dari

penelitian ini menunjukkan kesesuaian dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan

bahwa kelompok usia 20 hingga 45 tahun yang paling sering terjadi bruxism7,8.

Berdasarkan kategori pekerjaan, kelompok pekerja mekanik merupakan sampel yang

lebih banyak mengalami bruxism dibandingkan kelompok pekerja lain seperti

administrasi, marketing dan teknisi. Hal ini sesuai dengan penelitian Kausik yang

mengatakan bahwa resiko pekerjaan menunjukkan frekuensi kejadian bruxism semakin

tinggi7. Pekerjaan sebagai seorang mekanik yang setiap hari harus berurusan dengan

mesin yang rusak, ketepatan waktu dalam hal memperbaiki kendaraan konsumen,
maupun ketakutan akan resiko terjadinya kecelakaan kerja menyebabkan kelompok

pekerja mekanik mengalami frekuensi kejadian bruxism yang tertinggi dibandingkan

kelompok pekerja lainnya.

Lamanya waktu bekerja dalam penelitian ini tidak menunjukkan kesesuaian

dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa semakin lama waktu bekerja

seseorang maka tingkat terjadinya bruxism selama tidur semakin tinggi. Dalam

penelitian ini menunjukkan bahwa para pekerja yang telah bekerja selama dua tahun

merupakan kelompok terjadinya frekuensi bruxism yang lebih tinggi dibandingkan

kelompok lama bekerja lainnya. Hal ini bisa diasumsikan karena pekerja yang baru

bekerja dalam waktu sebentar masih dalam fase adaptasi untuk dapat bekerja sesuai

dengan etos kerja yang diinginkan oleh perusahaan tersebut.

Seluruh sampel dalam penelitian ini menderita bruxism berdasarkan hasil

jawaban kuesioner untuk mendeteksi bruxism. Jawaban-jawaban yang diberikan oleh 40

sampel ini mengandung unsur jawaban “iya” lebih dari dua sehingga dapat

dikategorikan keempat puluh sampel ini menderita bruxism. Hasil penelitian

menunjukkan bawa sembilan dari 40 sampel merasakan mereka menggeretakkan gigi

mereka ketika tertidur dan sebanyak 27 sampel (67.5%) mengakau bahwa ada orang lain

yang mendengarkan gertakan gigi mereka tertidur. Hal ini sesuai dengan penelitian

sebelumnya yang mengatkan bahwa anggota keluarga mereka lebih memperhatikan


5,6
kondisi bruxism yang mereka alami sewaktu tidur . Walaupun begitu sebanyak 18

sampel (45%) tidak merasakan sakit pada rahang ketika mereka bangun tidur dan tidak

ada seorang pun dari penelitian yang merasakan sakit kepala.


Untuk kondisi stress yang dialami para sampel dalam penelitian ini menunjukkan

bahwa terdapat 31 orang (77.5%) tidak dapat jujur mengatakan apa yang mereka

pikirkan ditempat kerja dan terdapat 35 orang (87.5%) yang pekerjaannya menuntut

tanggung jawab, namun tidak diimbangi kekuasaan. Sebanyak 30 orang (75%) yang

jarang menerima pengakuan atau penghargaan atas pekerjaan mereka dan terdapat 31

orang (77.5%) yang merasa pekerjaannya terganggu dengan hubungan keluarga dan

sosialnya. Namun, secara keseluruhan sampel yang diteliti dalam penelitian ini temasuk

dalam kategori stress cukup terkontrol. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian dengan

penelitian yang telah dilakukan di Finlandia pada karyawan perusahaan broadcasting

yang menunjukkan bahwa tingkat stress pada karyawan yang bekerja di kantor termasuk

dalam kategori strees tidak terkontrol 4. Perbedaan tersebut dapat dilihat melalui regulasi

pada kantor dari masing-masing perusahaan yang dapat diasumsikan bahwa regulasi di

Finlandia lebih ketat dibandingkan di Indonesia.

Adapun untuk kategori tingkat keparahan bruxism berdasarkan tooth wear index

dapat dilihat dalam tabel 4. Pada tabel ini menunjukkan bahwa sampel terbanyak

memiliki resiko keausan gigi yang rendah atau keparahan bruxism yang masih rendah.

Namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut apakah keausan gigi pada sampel tersebut

benar-benar disebabkan oleh bruxism atau terdapat faktor lain seperti mengkonsumsi

minuman beralkohol yang terlalu sering atau kondisi sistemik. Tooth wear index adalah

suatu indeks yang digunakan untuk mengukur tingkat keausan gigi 23. Pada penelitian ini

menunjukkan bahwa tidak seorang pun sampel yang masuk dalam kategori bruxism

parah. Terlihat bahwa jumlah laki-laki dan perempuan yang terbanyak terdapat pada
kategori tooth wear index 2 (keausan rendah atau keparahan bruxism rendah) sebanyak

23 laki-laki (57.5%) dan 9 perempuan (22.5%). Berdasarkan kategori usia seluruh

kategori usia termasuk dalam kategori TWI 2 kecuali pada kategori usia 27-29 tahun

yang jumlah sampel terbanyak terdapat pada kategori TWI 1 (tidak ada resiko keausan

gigi).. Pada kategori lama bekerja, sampel terbanyak berada pada kategori TWI 2,

namun terdapat satu orang pada lama bekerja satu tahun, yang masuk dalam kategori

TWI 3. Adapun, pada kategori stres cukup terkontrol, terdapat tujuh orang (17.5%) tidak

memiliki risiko keausan gigi, 32 orang (80%) yang memiliki keparahan bruxism ringan,

dan satu orang (2.5%) yang memiliki keparahan bruxism sedang. Pada tabel 6

menunjukkan distribusi rata-rata skor survey dan indeks TWI berdasarkan jenis kelamin,

usia, dan lama bekerja. Hasil penelitian memperlihatkan laki-laki memiliki skor stress

yang lebih tinggi daripada perempuan, namun skor TWI yang lebih rendah daripada

perempuan. Berdasarkan usia, kategori usia yang memiliki skor stres tertinggi adalah

kategori usia termuda, yaitu 21-23 tahun. Namun, yang memilki nilai TWI tertinggi

adalah kategori usia 24-26 tahun. Adapun, sampel dengan lama bekerja empat tahun

memiliki skor stres yang paling tinggi diantara lainnya, namun sampel yang telah

bekerja lima tahun memiliki skor TWI yang paling tinggi.

Hasil penelitian memperlihatkan laki-laki memiliki skor stress yang lebih tinggi

daripada perempuan, namun skor TWI yang lebih rendah daripada perempuan.

Berdasarkan usia, kategori usia yang memiliki skor stres tertinggi adalah kategori usia

termuda, yaitu 21-23 tahun. Namun, yang memilki nilai TWI tertinggi adalah kategori

usia 24-26 tahun. Adapun, sampel dengan lama bekerja empat tahun memiliki skor stres
yang paling tinggi diantara lainnya, namun sampel yang telah bekerja lima tahun

memiliki skor TWI yang paling tingg Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata skor

survey stres dalam populasi sampel penelitian mencapai 50.60, sedangkan rata-rata skor

indeks TWI mencapai 4.03. Melalui hasil uji statistik korelasi pearson, diperoleh nilai

p:0.480 (p>0.05), hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara keparahan stres dengan keparahan bruxism. Hal ini juga terlihat dari nilai koefisien

korelasi yang hanya sebesar 0.115, yang berarti bahwa semakin tinggi nilai skor survey

stres, maka akan diikuti dengan peningkatan skor TWI hanya sebesar 11.5% (korelasi

sangat lemah).

Hasil penelitian yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan

antara kejadian sleep bruxism dan kejadiaan stress sesuai dengan apa yang dikemukakan

oleh Lavigne bahwa untuk memahami kecemasan dari perubahan yang terjadi pada

autonomik dan kegiatan motorik. Adanya keberagaman psikososial dan penanda

biologis akan saling mempengaruhi, sehingga sulit untuk mendapatkan deskripsi yang

jelas, sederhana dan sahih hubungan sebab diantara stres, kecemasan dan bruxism. Hal

ini sesuai pula dengan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di Jepang yang

melaporkan bahwa sleep bruxism secara lemah berhubungan dengan beberapa aspek

stress pekerjanaan pada laki-laki dari keselurahan populasi pekerja di Jepang.26


DAFTAR PUSTAKA

1. Wendari AH, Nunung R, Aprilia A. Bruksisma, Jurnal Dentofasial; 2011: 10


(3): 135-250
2. Tanzil, A. Peran Oral Splin pada Bruxism. Indonesian Journal of Dentistry;
2008: 15 (1): 36-43.
3. Wijaya Y, Laura SH, Roselani WO. Occlusal Grinding Pattern During Sleep
Bruxism and Temporomandibular Disorder. Journal of Dentistry Indonesian;
2012: 20 (2): 25-31.
4. Basic, Vladimir, Mehulic K. Bruxism: An Unsolved Problem in Dental
Medicine, Acta Stomatol Croac; 2004: 38,br.1.
5. Ahlberg K. Self-reported bruxism. Academic dissertation. Department of
Stomatognathic Physiology and Prosthetic Dentistry . Institute of Dentistry.
Faculty of Medicine. University of Helsinki. Finland. 2008.
6. Antonio AG, Santo de SP, Cople ML. Bruxism in Children: A Warning Sign For
Psychological Problems. J Can Dent Assoc; 2006: 72(2); 155-60.
7. Kaushik, et al. Aviation stress and dental attrition. Ind J Aerospace Med 53 (1);
India.2009.
8. AASM: THE INTERNATIONAL CLASSIFICATION of Sleep Disorder, Revised:
Diagnostic and Coding Manual Westchester, IL: American Academy of Sleep
Medicine, 2. 2005.
9. Bader G, Lavigne G. Sleep Bruxism; an Overview of an Oromandibular Sleep
Movement Disorder. Sleep Med Rev 2004, 4: 27-43.
10. Kato T, Saber M, Rompre PH, Montplaisir JY, Lavigne GJ. Relationship among
slow activity (SWA), microaurosal (MA) and sleep bruxism (SB). J Dent Res.
2003:82(B):B-316 No. 2446.
11. Michelotti A, Farella M, Gallo LM, Veltri A, Palla S, Martma R. Effect of
occlusal interference on habitual activity of human masseter. J Dent Res.
2005;84:644-648.
12. Graf H. Bruxism. Dent Clin North Am. 1969;13:659-665.
13. Lavigne GJ, Rompre PH, Montplaisir JY. Sleep bruxism: validity of clinical
research diagnostic criteria in a controlled polysomnographic study. J Dent Res.
1996;75:546-552.
14. Manfredini D, landi N, Tognini F, montagnani G, Brosco M. Psyhic and occlusal
factorsin bruxism. Aust Dent J 2004a;49:84-9.
15. Niemi PM, Alanen P, Kylmälä M, Jämsä T, Alanen P. Psychological factors and
responses to artificial interferences in subjects with and without a history of
temporomandibular disorder. Acta Odontol Scand 2006;64:300-5.
16. Luther F. TMD and occlusion part II. Damned if we dont? Functional occlusal
problems: TMD epidemiology in a wilder context. Br Dent J 2007;13:202(1):1-6.
17. Kato T, Rompre P, Montplaisir JY, Sessle BJ, lavigne GJ. Sleep bruxism an
oromotor activity secondary to microaurosal. J Dent Res. 2001;80(10):1940-².
18. Lavigne GJ, Huynh N, Kato T, Okura K, Yao D, et al. Genesis of sleep bruxism:
otor and autonomic-cardiac interaction. Arch Oral Biol. 2007;52:361-381.
19. Lobbezoo F, Soucy JP, harman NG, Montplaisir JY, Lavigne GJ. Effects of the
dopamine D2 receptor agonist bromocriptine on sleep bruxism: report of two
singe-patient Clinical trial. J Dent Res.1997;76:1610-14.
20. Kato T, Montplaisir JY, Guitard F, Sessle BJ, Lund JP, Lavigne GJ. Evidence
that experimentally induced sleep bruxism is a consequence of transient arousal.
J Dent Res. 2003;82:284-8.
21. Miyawaki S, tanimoto Y,Araki Y, Katayama A, Imai M, Takano-yamamoto T.
Relationships among nocturnal jaw muscle activities, decreased wsophageal pH,
and sleep position. Am J dentifacial Orthop. 2004;126:615-19.
22. Lobbezoo F, Neije M. Bruxism is mainly regulated centrally not peripherally. J
Oral Rehabil. 2001;28:1085-91.
23. Janal MN, Raphael KG, Klausner JJ, Teaford MF. The role of tooth-grinding in
the maintenance of myofacial face pain: a test of alternative models. Pain Med.
2007;8:468-496.
24. Marbach J, raphael G. Dohrendwend P, Lennon C. The validity of tooth grinding
measures:etiology of pain dysfunction syndrome revisited. J Am Dent Assoc.
1990;120:327-333.
25. Lavigne GJ, Kato T, Kolta A, Sessle BJ. Neurobiological mechanism involved in
sleep bruxism. Crit Rev Oral Biol. Med. 2003;14:30-46.
26. Lavigne GJ, Khoury S, Abe S, Yamaguchi T, Raphael K. Bruxism physiology
and pathology: an overview for clinicians. J Oral Rehab. 2008;35:476-494.
27. A Sucheta, S Koduro, BM Darshan, C Nandhita. Tooth Wear- A Literature
Review. Indian Journal of Dent. Sciences. 2014;6:116-20.
28. Luca P, et all. Tooth Wear Among Patients Suffering From Mental Disorders.
Annali di Stomatologia 2014; V (2): 52-60.
29. Cohen S, Williamson G. Perceived stress in a probability sample of the united
states. pacapan, S. and Oskamp, S. (Eds.) The Social Psychology of Health.
Newbury Park, CA: Sage, 1988.

Anda mungkin juga menyukai