Anda di halaman 1dari 10

TUGAS ILMU PENYAKIT MULUT

Inviolita Annisaa M

160112170069

Pembimbing :

Drg. Wahyu Hidayat., Sp. PM

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2020
1. Faktor Predisposisi

Etiologi RAS terjadi belum diketahui secara pasti tetapi terjadinya RAS memiliki

beberapa faktor predisposisi. Faktor predisposisi terjadinya RAS dapat merupakan

kombinasi dari beberapa faktor predisposisi lain tersebut. Faktor-faktor tersebut terdiri

dari genetik, trauma, obat-obatan, siklus menstruasi, alergi, defiensi nutrisi, stres, dan

penyakit sistemik.

1) Genetik

Peran adanya faktor genetik merupakan penyebab utama yang menyebabkan

terjadinya RAS. Kerentanan terhadap RAS secara signifikan meningkat dengan

adanya satu atau kedua orang tua yang memiliki riwayat RAS. Individu dengan

riwayat keluarga RAS, maka cenderung mempermudah RAS untuk berkembang

atau untuk diturunkan pada anaknya. Beberapa gen spesifik HLA yang telah

teridentifikasi pada pasien RAS yaitu : HLA-A2, HLA-B5, HLA-B12, HLA-B44,

HLA-B51, HLA-B52, HLA-DR2, HLA-DR7, dan HLA-DQ. Beberapa gene yang

terdeteksi polimorfisme (gen yang mengkoding/ menginduksi sitokin

proinflamatori (TNF-alpha dan IL)) yang menjelaskan adanya peningkatan respon

imun pada beberapa antigen yang mengarah pada pembentukan ulser atau

pembentukan erosi (Slebioda, et al., 2014).

2) Stres Psikologis

Stress dan ketidakseimbangan psikologis telah dikaitkan dengan terjadinya RAS.

Kehidupan yang penuh dengan tekanan dapat meningkatkan terjadinya RAS.

Salah satu penelitian melaporkan bahwa tekanan mental sangat terkait dengan
terjadinya RAS lebih sering dibandingkan dengan stress fisik. Stress berhubungan

dengan adanya hormon kortisol. Hormone kortisol merupakan hormone stress

yang disekresikan oleh korteks adrenal dan digunakan sebagai indikator level

stress seseorang. Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa stress mengubah

regulasi cabang sistem RASaf simpatis dan parasimpatis, dengan perubahan

konsekuensi pada HPA (Hypothamus Pituitary Adrenal axis). Aktivasi otonom

dan peningkatan hormone, termasuk yang di produksi oleh aksis HPA yang

memainkan peran pentin dalam meregulasi pertahanan tubuh. Aktivitasi regulasi

imun dengan adanya peningkatan jumlah leukosit pada bagian terjadinya

inflamasi di induksi oleh adanya stresss psikologis (Nadendia, et al., 2105).

3) Defisiensi Nutrisi

Defisiensi nutrisi seperi (besi, vitamin B12, dan asam folik) dan zink telah di

laporkan pada beberapa pasien RAS. Defisiensi zat besi, vitamin B12, atau asam

folik dapat menimbulkan anemia pada pasien RAS, karena pasien RAS dengan

anemia terjadi penurunan kapasitas aliran darah untuk membawa oksigen ke

mukosa mulut, sehingga menghasilkan adanya atrofi pada mukosa. Selain itu, zat

besi sangat penting untuk fungsi normal sel epitel rongga mulut dan

pembentukkan eritrosit, vitamin B12 dan asam folik berperan penting dalam

sintesis DNA, dan pembelahan sel. Sel epitel rongga mulut memiliki tingkat

pergantian sel yang tinggi, sehingga jika terjadi defisiensi zat besi, vitamin B12,

dan asam folat dapat menyebabkan atrofi epitel. Selanjutnya, tingkat

homocysteine darah tinggi (dikarenakan defisiensi vitamin B6, B12, dan asam

folik) pada beberapa pasien RAS yang menghasilkan adanya peningkatan


frekuensi thrombosis pada arteriola yang mensuplai sel epitel rongga mulut,

sehingga akan merusak epitel rongga mulut dan akhirnya menghasilkan ulserasi

pada rongga mulut. Selain itu, suatu penelitian menemukan adanya suplemen

vitamin B12 dapat memperbaiki gejala dan tanda klinis RAS.

4) Siklus Menstruasi

Perubahan kadar hormon pada siklus menstruasi dapat menyebabkan RAS. Di

rongga mulut terdapat reseptor hormon seks steroid yang dipengaruhi oleh kadar

hormon seks steroid dalam darah sehingga perubahan kadar hormon yang terjadi

dapat menimbulkan efek pada sel atau jaringan yang lain termasuk pada rongga

mulut. Siklus menstruasi dapat menyebabkan RAS disebabkan penurunan kadar

progesteron. Progesteron yang meningkat lalu menurun secara bermakna saat fase

luteal pada siklus menstruasi akan mengaktivasi gejala RAS. Kadar progesteron

menurun tersebut dapat menyebabkan faktor self limiting disease berkurang,

polymorphonuclear leukocytes menurun, proses maturasi sel epitel mulut

terhambat, dan permeabilitas vaskuler meningkat. Perubahan permeabilitas

vaskuler ini menyebabkan penipisan mukosa sehingga mudahnya terjadi invasi

bakteri yang menjadi penyebab iritasi dalam rongga mulut, dan akhirnya

menyebabkan RAS setiap siklus menstruasi. Pada beberapa wanita tanda akan

datang siklus bulanannya dapat diprediksi juga dengan munculnya RAS pada

rongga mulutnya. Oleh karena itu, RAS hampir tidak pernah diderita oleh wanita

hamil kerena peningkatan kadar progesteron selama kehamilan (Riris, 2017).


5) Alergi

Beberapa makanan yang diduga dapat menyebabkan RAS adalah kacang, coklat,

kentang goreng, keju, susu, terigu, gandum, kopi, sereal, almond, stoberi, tomat,

lemon, dan nenas. Selain itu, berdaRASkan American Academy of Oral Medicine

(AAOM), makanan yang paling sering berhubungan dengan terjadinya RAS

adalah kayu manis dan asam benzoat (dapat ditemukan pada beberapa makanan

dan minuman ringan). Terjadinya RAS juga diduga disebabkan oleh reaksi alergi

Sodium Lauryl Sulfate (SLS) yang biasanya ditemukan pada pasta gigi sebagai

detergen pembersih. Reaksi yang ditimbulkan karena penggunaan SLS adalah

terkikisnya lapisan terluar mukosa yang mengakibatkan jaringan epitel terpapar

yang dapat mengakibatkan terjadinya RAS. Alergi terhadap piranti nikel pesawat

ortodonti juga dapat menimbulkan RAS. Alergi berhubungan dengan respon

imunopatologis. Proses imunopatologis akan melibatkan respon yang diperantarai

oleh sel T dan TNF terhadap antigen. Dalam hal ini antigen tersebut adalah

alergen (Riris, 2017).

6) Trauma

Trauma yang dapat mengakibatkan RAS biasanya karena menyikat gigi dan

trauma dari bulu sikat gigi. Setelah terjadi trauma akan diikuti dengan adanya

edema dan inflamasi. Gejala ini langsung disertai oleh munculnya ulser pada

daerah trauma. Tidak semua trauma dapat mengakibatkan terjadinya RAS.


Trauma dapat menyebabkan RAS hanya pada pasien yang sebelumnya telah

mempunyai riwayat RAS (Riris, 2017).

2. Patogenesis RAS

Patogenesis RAS di bagi menjadi beberapa fase, yaitu :

a. Fase Premonitori

Fase ini melibatkan submukosa dan pembuluh darah, tahap ini

berlangsung hingga 24 jam pertama, pasien mungkin merasakan adanya

sensasi terbakar atau kesemutan pada lokasi perkembangan ulser, tetapi

beberapa pasien tidak menyadari adanya sensasi terbakar/kesemutan. Pada

tahap ini terdapat adanya infiltrasi sel mononuclear ke dalam epitel dan

kemudian odem mulai berkembang.

b. Fase Preulseratif

Fase ini terjadi pada 18 sampai 72 jam pertama (3 hari). Pasien akan

merasakan sakit dengan intensitas moderate hingga parah. Secara klinis,

ulser ditandai dengan adanya makula eritem atau papula dengan adanya

halo eritem yang sedikit keras. Lesi pada pipi atau bibir biasanya

berbentuk sirkular, sedangkan jika di bukal/labial/vestibulum lesi

berbentuk oval.

c. Fase ulseratif

Fase ini terjadi selama 1 sampai 16 hari, secara klinis terdapat papula dan

makula yang telah mengikis jaringan di fase kedua, terjadi pembeRASan

dan ulserasi. Ukuran lesi akan menjadi maksimum biasanya pada hari ke 4
sampai hari ke 6 setelah onset. 2 atau 3 hari kemudian, akan terjadi

penghentian rasa sakit, dan meninggalkan rasa ketidaknyamanan yang

berkaitan dengan adanya membrane fibrin yang menutupi ulser. Pada

tahap ini terjadi infiltrasi neutrofil, limfosit, dan sel plasma. Tahap ini

akan berakhir beberapa hari hingga 2 atau beberapa minggu kemudian.

d. Fase penyembuhan

Fase penyembuhan terjadi selama 4 hingga 35 hari. Lesi biasanya sembuh

tanpa bekas luka pada 10 hingga 21 hari. Ulser akan ditutupi oleh

epitelium dan penyembuhan luka akan terjadi dengan rasa nyeri yang akan

berkurang. Luka biasanya terjadi bergantung dari kedalaman nekrosis

suatu luka (Khan, et al., 2006).

Sel limfosit infiltrasi ke dalam epitel dan edem berkembang sebagai akibat

rangsangan inflamasi sementara. Vaskularisasi keratinosit dan vaskulitis

terlokalisasi menyebabkan pembengkakkan papular terlokalisasi. Papula

mengalami ulserasi dan di infiltrasi oleh neutrofil, limfosit, dan sel plasma, di

ikuti dengan adanya penyembuhan dan regenerasi epitel. Inisiasi proses

inflamaasi dapat di induksi oleh efek TNF alfa yang berikatan pada sel endothelial

dan adanya efek kemotaksi pada neutrofil. Peningkatan TNF alfa dan Interleukin

2 (IL-2) (sitokin proinflamatori), telah terdeteksi pada lesi di mukosa rongga

mulut. TNF alfa berperan penting dalam imunopatogenesis RAS dengan

menstimulasi major histocompatibility (MHC) klas I. MHC terdeteksi pada proses

preulseratif dan fase ulseratif pada sel epitel basal tetapi antigen MHC tidak
terdeteksi selama proses penyembuhan sehingga MHC hanya berkontribusi untuk

menyerang jaringan lokal untuk diserang oleh sel T (sel CD8) selama proses

ulseratif (Cui, et al., 2016).


DAFTAS PUSTAKA

Akintoye, S. O.; Greenberg, M. S. 2015. Recurrent Apthous Stomatitis. Dent Clin North.

58(2):281-297.Available at

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3964366/pdf/nihms550882.pdf.

Accessed January 11 2020.

Cui, R. Z.; Bruce, A.J.; Rogers, R.S. 2016. Recurrent Apthous Stomatitis. Elsevier. 34 :

475-481. Available at https://sci-hub.tw/https://doi.org/10.1016/j.

clindermatol.2016.02.020. Accessed January 11 2020.

Khan,N. F.; Ghafoor, F.; Khan, A.A. 2006. Pathogenesis of Recurrent Aphthous

Stomatitis : a Review of Literature. 20 (2):113-118. Available at

https://pdfs.semanticscholar.org/43f6/ed717ec081ba76c422b745920210a376ff09.

pdf. Accessed January 11 2020.

Nadendia, L.K.; Meduri, V.; Parammkusam, G., Pachava, K. R. 2015. Relationship of

Salivary Cortisol and Anxiety in Recurrent Aphthous Stomatitis. Indian Journal of

Endocrinology and Metabolism. 19(1) : 56-59. Available at

http://www.ijem.in/article.asp?

issn=22308210;year=2015;volume=19;issue=1;spage=56;epage=59;aulast=Naden

dla. Accessed January 11 2020.

Slebioda, Z.; Szponar, E.; Kowalska, A. 2014. Etiopathogenesis of Recurrent Aphthous

Stomatitis and the Role of Immunologic Aspects : Literature Review. Springerlink.


62:205-215.Available at https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/

PMC4024130/ pdf/5_2013_Article_261.pdf. Accessed January 11 2020.

Anda mungkin juga menyukai