Anda di halaman 1dari 8

Ulkus Mulut ( Aftosa, Herpes)

1. Aftosa / Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR)


Stomatitis Aftosa Rekurens (SAR) merupakan penyakit mukosa mulut tersering
dan memiliki prevalensi sekitar 10-25% pada populasi. Sebagian besar kasus
bersifat ringan, self-limiting, dan seringkali diabaikan oleh pasien. Namun, SAR
juga dapat timbul akibat gejala-gejala dari penyakit sistemik seperti penyakit
Crohn, penyakit Coeliac, malabsorbsi, anemia defisiensi besi atau asam folat,
defisiensi vitamin B12, atau HIV.
Stomatitis aftosa rekurens ditandai dengan ulserasi rekurens pada mukosa mulut
tanpa petanda lain. Penyakit ini dapat dihubungkan dengan kelainan imunologi,
kelainan hematologis, kelainan psikologis, maupun alergi.
a. Etiologi
Penyebab pasti dari SAR masih belum diketahui, namun kemungkinan
bersifat multifaktor karena kejadiannya tidak dipastikan rekuren dari faktor
yang sama. SAR timbul karena pengaruh faktor-faktor predisposisi seperti
stres, trauma, alergi, gangguan endokrin, makanan yang bersifat asam, atau
makanan yang mengandung gluten. Pemeriksaan intra oral diperlukan untuk
mengetahui sumber trauma.
 Faktor Genetik Faktor genetik merupakan kemungkinan penyebab
paling tinggi dari seluruh kejadian SAR, dengan peningkatan insidensi
yang dipengaruhi keterlibatan faktor lingkungan. Sekitar 40-50%
pasien yang terkena SAR memiliki riwayat keluarga yang juga pernah
terkena SAR. Kemungkinan dipengaruhi oleh status SAR orangtua.
Hubungan juga meningkat pada anak kembar. Studi oleh Ship
menunjukkan bahwa pasien dengan orang tua positif-SAR memiliki
90% kemungkinan terjadinya SAR, dimana pada pasien dengan orang
tua nonpositif-SAR hanya memiliki kemungkinan SAR sebesar 20%.
 Trauma Pasien SAR sering dilaporkan terkena ulser akibat trauma
seperti terkena sikat gigi atau injeksi saat anestesi lokal. Trauma akibat
gigitan dan penyikatan gigi yang salah, dapat menyebabkan robeknya
mukosa dan memperparah ulser yang sudah ada.
 Alergi Zat deterjen pada pasta gigi, misalnya sodium lauryl sulfat,
diduga sebagai pemicu terjadinya SAR pada beberapa orang.
Mekanismenya diduga akibat abnormalitas imun. Merupakan respon
limfosit T terhadap antigen. Aksi sitotoksis dari limfosit dan monosit
pada epitel mukosa oral dapat menyebabkan ulserasi. Imunitas
humoral dan cellmediated terhadap antigen streptokokus oral dan
mukosa oral manusia tampaknya merupakan hal yang penting pada
SAR. Meskipun etiologinya tidak diketahui, berbagai studi baru-baru
ini mencurigai proses imunopatik yang melibatkan aktivitas sitolitik
diperantarai sel sebagai respons terhadap HLA atau antigen asing.
 Stres dan menstruasi Kedua faktor ini berperan penting sebagai
penyebab kejadian SAR. Beberapa literatur menyebutkan adanya
hubungan yang erat antara SAR dengan siklus menstruasi meskipun
belum ada bukti yang menyakinkan bahwa keadaan psikologis atau
stres berhubungan dengan SAR. Mekanisme terjadinya SAR pada
stres berhubungan dengan hormon kortisol. Sekresi kortisol yang
meningkat pada respon stres meningkatkan level plasma kortisol. Hal
ini akan meningkatkan katabolisme protein sehingga penyembuhan
luka menjadi lambat. Hormon kortisol yang terbentuk dapat
menghambat imunoglobulin A yang terdapat dalam saliva, yang
merupakan sistem imun dalam saliva. Sehingga apabila stres, kortisol
meningkat, lalu IgA menurun dan sistem imun turun sehingga
mempermudah terjadi ulser.
 Mikroorganisme Beberapa mikroorganisme yang berperan terhadap
terjadinya SAR diantaranya Streptococci, HSV, Varicella Zoster dan
Cytomegalovirus. Bentuk L dari streptokokus dicurigai menjadi
penyebab dalam pembentukan ulserasi aftosa.
 Defisiensi nutrisi Defisiensi zat besi (Fe), asam folat, vitamin B12 dan
vitamin B-kompleks (vitamin B1, B2, dan B6) dilaporkan
berhubungan dengan kejadian SAR. Hubungannya biasanya karena
defisiensi, terutama vitamin B12 dan asam folat akibat malabsorpsi.
Gangguan hematologik terutama defisiensi besi, folat atau vitamin
B12 khususnya serum Fe, folat, atau vitamin B12 juga dihubungkan
dengan SAR. Pada defisiensi ini, hemoglobin berada di bawah normal,
dan ditandai dengan mikrositosis atau makrositosis sel darah merah.
 Faktor Sistemik Kondisi sistemik yang mempengaruhi kejadian SAR
diantaranya gangguan GIT, neutropenia, HIV, defisiensi IgA, dan
penggunaan obat-obatan anti inflamasi non steroid.
b. Klasifikasi
 Aftosa minor
Sebagian besar pasien (85%) menderita ulser bentuk minor, yang
ditandai dengan ulser bentuk bulat atau oval, disertai rasa nyeri dengan
diameter antara 2−4 mm, kurang dari 1 cm dan dikelilingi oleh
pinggiran yang eritematous. Ulser ini cenderung mengenai daerah non
keratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal, dan dasar mulut.
Ulsernya bisa tunggal atau merupakan kelompok yang terdiri dari
empat sampai lima dan menyembuh dalam waktu 7−14 hari tanpa
disertai pembentukan jaringan parut.
 Aftosa mayor
Aftosa tipe mayor dijumpai pada kira-kira 10% penderita, ulser bentuk
mayor ini lebih besar dari bentuk minor. Ulsernya berdiameter 1−3
cm, sangat sakit dan disertai dengan demam ringan, terlihat adanya
limfadenopati submandibula. Ulser ini dapat terjadi pada bagian mana
saja dari mukosa mulut termasuk daerah berkeratin. Berlangsung
selama 4 minggu atau lebih dan sembuh disertai pembentukan jaringan
parut.
 Aftosa herpetiformis
Bentuk Herpetiformis mirip dengan ulser yang terlihat pada infeksi
herpes primer, sehingga dinamakan herpetiformis. Gambaran yang
paling menonjol adalah adanya ulser kecil berjumlah banyak dari
puluhan hingga ratusan dengan ukuran mulai sebesar kepala jarum
(1−2 mm) sampai gabungan ulser kecil menjadi ulser besar yang tidak
terbatas jelas sehingga bentuknya tidak teratur.

Gambar 1. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. PBIDI. Jakarta. 2014

c. Patofisiologi
Pada awal lesi terdapat infiltrasi limfosit yang diikuti oleh kerusakan epitel
dan infiltrasi neutrofil ke dalam jaringan. Sel mononuclear juga mengelilingi
pembuluh darah (perivaskular), tetapi vasculitis tidak terlihat. Namun, secara
keseluruhan terlihat tidak spesifik. Perjalanan stomatitis aphtous dimulai dari
masa prodromal selama 1-2 hari, berupa panas atau nyeri setempat. Kemudian
mukosa berubah menjadi makula berwarna merah, yang dalam waktu singkat
bagian tengahnya berubah menjadi jaringan nekrotik dengan epitelnya hilang
sehingga terjadi lekukan dangkal. Ulkus akan ditutupi oleh eksudat fibrin
kekuningan yang dapat bertahan selama 10-14 hari. Bila dasar ulkus berubah
warna menjadi merah muda tanpa eksudat fibrin, menandakan lesi sedang
memasuki tahap penyembuhan.
d. Manifestasi klinis
Berdasarkan penampakan lesi, stomatitis aftosa rekurens dapat dibagi menjadi
ulserasi minor bila diameter kurang dari 1 cm dengan penyembuhan tanpa
skar, ulserasi mayor bila diameter lebih dari 1 cm dengan peneymbuhan lebih
lama dan meninggalkan skar, ulserasi herpetiformis bila ulserasi kecil-kecil
dan berkumpul.
Adapun gejala klinis yang biasanya timbul pada SAR:
 Luka yang terasa nyeri pada mukosa bukal, bibir bagian dalam, atau
sisi lateral atau anterior lidah
 Onset penyakit biasanya dimulai pada usia kanak-kanak, paling sering
pada usia remaja atau dewasa muda dan jarang pada usia lanjut
 Frekuensi rekurensi bervariasi
 Biasanya bersifat self-limiting
 Biasanya terdapat riwayat penyakit yang sama pada keluarga
 Dapat ditemukan gejala-gejala seperti diare, konstipasi, ginjal
berdarah, sakit perut berulang, lemas atau pucat, yang berkaitan
dengan penyakit yang mendasari
 Pada wanita dapat timbul saat menstruasi
e. Penatalaksanaan
Pengobatan yang dapat diberikan untuk mengatasi SAR adalah:
 Larutan kumur chlorhexidine 0.2% untuk membersihkan rongga
mulut. Penggunaan sebanyak 3 kali setelah makan, masing-masing
selama 1 menit.
 Kortikosteroid topikal, seperti krim triamcinolone acetodine 0.1% in
ora base sebanyak 2 kali sehari setelah makan dan membersihkan
rongga mulut.
2. Stomatitis Herpes
Stomatitis herpes kebanyakan dikarenakan oleh herpes simplex virus tipe 1 (HSV-
1), namun tidak menutup kemungkinan bahwa dapat juga terjadi akibat infeksi
akibat herpes simplex virus tipe 2 (HSV-2) yang biasa ditemukan pada herpes
genetalia. Pada infeksi herpes simpleks, 1 atau 2 hari setelah gejala prodromal
(demam,malaise,sakit kepala) muncul vesikel-vesikel berdinding tipis dengan
dasar inflamasi dan bila pecah akan menjadi ulkus terutama di mukosa berkeratin
tebal, yaitu palatum durum, dorsal lidah, dan gingiva. Petanda lain adalah
gingivitis marginal akut pada seluruh gingiva, inflamasi faring posterior, serta
pembesaran kelenjar getah bening submandibular dan servikal. Lesi ekstraoral
sama dengan lesi intraoral tetapi ditutupi krusta kekuningan dan terletak di daerah
merah bibir dan sirkum oral.
a. Faktor predisposisi
Rekurens dapat terjadi karena virus laten pada saraf. faktor predisposisi yang
dapat mengaktifkan virus laten adalah demam, stress, trauma lokal pada
bagian saraf, alergi, paparan sinar ultraviolet, infeksi saluran pernapasan atas,
kehamilan, menstruasi, immunosuppresan, defisiensi nutrisi, dan kelelahan
fisik.
b. Manifestasi klinis
Infeksi herpes simpleks rekurens pada mulut, yaitu pada bibir atau intraoral
terjadi pada pasien yang pernah menderita infeksi herpes simpleks dan
memiliki antibodi pelindung, sehingga disebut juga sebagai reaktivasi bukan
reinfeksi. Pemicunya adalah demam, haid, sinar ultraviolet, stress, dan
imunosupresi. Adapun gejala yang dapat timbul berupa:
 Lesi berupa vesikel, berbemtuk seperti kubah, berbatas tegas,
berukuran 2-3mm, biasanya multipel, dan beberapa lesi dapat
bergabung satu sama lainnya.
 Lokasi lesi dapat di bibir (herpes labialis) sisi luar dan dalam, lidah,
gingiva, palatum dan bukal
 Mukosa sekitar lesi edematousa dan hiperemis
 Demam
 Pembesaran kelenjar limfe sevikal
 Tanda-tanda penyakit immunodeffisiensi mendasari.
c. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu:
 Untuk mengurangi rasa nyeri, dapat diberikan analgetik seperti
parasetamol atau ibuprofen. Larutan kumur chlorhexidine 0.2% juga
dapat memberi efek anestetik sehingga dapat membantu.
 Pilihan antivirus yang dapat diberikan antara lain:
o Acyclovir, diberikan per oral, dengan dosis:
 Dewasa: 5 kali 200-400 mg per hari, selama 7 hari
 Anak: 20 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi 5 kali
pemberian, selama 7 hari
o Valacyclovir, diberikan per oral, dengan dosis:
 Dewasa: 2 kali 1-2g per hari, selama 1 hari
 Anak: 20mg/kgBB/hari, dibagi menjadi 5 kali
pemberian, selama 7 hari
o Famcyclovir, diberikan per oral, dengan dosis:
 Dewasa: 3 kali 250 mg per hari, selama 7-10 hari untuk
episode tunggal. 3 kali 500 mg per hari, selama 7-10
hari untuk tipe rekurens.
Pemantauan fungsi ginjal sangat diperlukan sebelum memberikan obat-obatan
diatas. Pada kasus stomatitis herpes akibat penyakit sistemik, harus dilakukan
tatalaksana defenitif sesuai dengan penyakit yang mendasari.
Pencegahan rekurens dimulai dengan mengidentifikasi faktor-faktor pencetus
dan selanjutnya malakukan penghindaran.
Daftar Pustaka
1. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W, Tiara AD, et
al. Kapita Selekta. Ed 3rd. jilid 1st . Media Aesculapius. Jakarta: 2001
2. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. PBIDI. Jakarta. 2014
3. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins Basic Pathology. Ed 9th. Elsevier
Saunders. Canada. 2013.

Anda mungkin juga menyukai