Anda di halaman 1dari 38

HEPATITIS C

A. Definisi Hepatitis C
VHC (Virus Hepatitis C) adalah virus RNA rantai tunggal dengan
selubung glikoprotein digolongkan kedalam Flavivirus . Terdapat 6 genotipe
HCV dan lebih dari 50 subtipe. Respons limposit T yang menurun dan
kecenderungan virus untuk bermutasi nampaknya menyebabkan tingginya
angka infeksi kronik.3

Target VHC adalah sel-sel hati dan mungkin juga limfosit B melalui
reseptor yang mungkin sekali serupa dengan CD 81 yang terdapat di sel hati
maupun limfosit B atau reseptor LDL. Setelah berada dalam sitoplasma hati,
VHC akan melepaskan selubung virusnya dan RNA virus siap untuk melakukan
translasi protein dan kemudian replica RNA. Struktur gen VHC adalah sebuah
RNA rantai tunggal, sepanjang kira-kira 10.000 pasang basa dengan daerah open
reading frame (ORF) diapit susunan nukleotida yang tidak ditranslasikan. Kedua
ujung VHC ini sangat terpelihara sehingga saat ini dipakai untuk identifikasi
adanya infeksi VHC. Transalasi protein VHC dilakukan oleh ribosom sel hati
yang akan membaca RNA VHC dari satu bagian spesifik tersebut.
15% dari kasus infeksi Hepatitis C adalah akut, artinya secara otomatis
tubuh membersihkannya dan tidak ada konsekwensinya. Sayangnya 85% dari
kasus, infeksi Hepatitis C menjadi kronis dan secara perlahan merusak hati
bertahun-tahun. Dalam waktu tersebut, hati bisa rusak menjadi sirosis
(pengerasan hati), stadium akhir penyakit hati dan kanker hati.
Keberadaan genetic HCV memiliki implikasi diagnostic dan klinis, yang
menyebabkan sulitnya pengembangan vaksin dan sedikitnya respon terapi.
Genotipe-1 bertanggung jawab hingga pada 60-65% semua infeksi virus
Hepatitis C di Indonesia dan genotype ini dihubungkan dengan respon
pengobatan yang lebih rendah.3
Struktur gen VHC adalah sebuah RNA untai tunggal, positif sepanjang
kira-kira 10.000 pasang basa dengan daerah open reading frame (ORF) diapit
oleh susunan nukleotida yang tidak ditranslasikan pada masing-masing ujung 5’
dan 3’. Translasi protein VHC dilakukan di ribosom sel hati yang akan mulai
membaca RNA VHC dari satu bagian spesifik (internal ribosom entry site atau
IRES) yang terdapat di region 5’ UTR.
Daerah ORF akan menghasilkan satu poliprotein yang terdiri dari 3011
asam amino. Asam-asam amino yang dihasilkan ORF ini akan diproses oleh
peptidase sel hati untuk protein-protein structural VHC (dari core envelope
region) dan protease-protease yang dikode oleh VHC untuk protein-protein
regulator dari region non-struktural (NS region). Sampai saat ini telah dikenal
3 macam protein structural (core, E1 dan E2) maupun 7 protein non-struktural
(regulator) yaitu: NS2, NS3, p7, NS4a, NS4b, NS5a, dan NS5b.

Table 2. Fungsi Protein-protein VHC


Protein-protein VHC Fungsi
a. Protein core Membungkus RNA VHC untai tunggal positif
di reticulum endoplasma.
Menimbulkan kerusakan sel hati atau fungsi
penekanan imunoregulasi dan apoptosis sel
hati yang terinfeksi VHC.
b. sE2 (hypervariable region (HVRI dan Mentranslasikan CD81 sebagai reseptor virus
HVR2) untuk infeksi ke dalam sel.
Memuat sequence yang identik dengan tempat
fosforilasi protein kinase interferon (PKR)
yang member kerentanan VHC terhadap
terapi interferon.
c. NS2,3 dan 4A Menghasilkan protease
d. NS3 Menghasilkan helicase
e. NS5B Menghasilkan RNA-dependent RNA
Polymerase
f. NS2 dan E Menghasilkan protein p7 sebagai saluran ion
di membrane selular

Setelah berada didalam sitoplasma sel hati, VHC akan melepaskan


selubung virusnya dan RNA virus siap untuk melepaskan translasi protein dan
kemudian replikasi RNA. Virus ini bereplikasi melalui RNA polymerase yang
akan menghasilkan salinan RNA virus tanpa mekanisme proof-reading
(mekanisme yang akan menghancurkan nukleotida yang tidak persis sama
dengan aslinya). Kondisi ini akan menyebabkan timbulnya banyak salinan-
salinan RNA VHC yang sedikit berbeda namun masih berhubungan satu sama
lain pada seorang pasien yang disebut sebagai quesispecies. Kecepatan replikasi
VHC sangat besar, melebihi HIV maupun VHB.
Tabel 3. Genotip HCV dan karakteristik utama masing-masing genotip
Genotipe Distribusi Respons terhadap terapi Keterangan
interferon dan ribavirin
1 Seluruh dunia Moderat (40-50%)-membutuhkan Merupakan genotip
48 minggu terapi yang paling sering di
Eropa, AS dan Jepang
2 Seluruh dunia Baik (70-80%)-membutuhkan 24 -
minggu terapi
3 Seluruh dunia Baik (70-80)-membutuhkan 24 Lazim ditemukan
minggu terapi pada pengguna
narkoba suntik di
negara berkembang
4 Timur Tengah Baik (60-80%) –mungkin
membutuhkan 48 minggu terapi,
tapi hanya tersedia sedikit data.
5 Timur jauh Belum diketahui
6 Afrika Selatan Belum diketahui

Pengetahuan tentang genotip ini sangatlah penting karena dapat dipakai


untuk memprediksi respons terhadap terapi antivirus, SVR dan menentukan durasi
terapi. Genotip 2 dan 3 adalah genotip yang telah diketahui memiliki respons lebih
baik disbanding genotip I. tingkat respons terhadap terapi kombinasi interferon
pegilasi dan ribavirin adalah sekitar 88% untuk genotip 2 dan 3 serta 48% untuk
genotip 1,4,5 dan 6. Karena genotip tidak akan berubah selama masa infeksi maka
pemeriksaan ini tidak perlu diulangi kembali. Derajat beratnya penyakit
(tingkat/stage fibrosis) tidak memiliki kaitan dengan genotip virus.
B. Epidemiologi Infeksi Virus Hepatitis C
HCV merupakan masalah kesehatan masyarakat dunia yang amat serius.
Infeksi HCV menjadi pandemi atau wabah global. Orang yang terkena virus ini jauh
lebih banyak daripada seluruh manusia yang terinfeksi Human immunodefidency
Virus (HIV). Menurut angka Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), sedikitnya 175
juta umat manusia terinfeksi HCV. Angka ini meliputi 3% dari seluruh populasi
manusia di Dunia.
Di Indonesia belum ada data resmi mengenai infeksi VHC tetapi dari
laporan pada lembaga transfusi darah didapatkan lebih kurang 2% positif terinfeksi
oleh VHC. Pada studi populasi umum di Jakarta prevalensi VHC lebih kurang 4%.4
Menurut survai massal subbagaian Hepatologi FKUI, sekitar 4% penduduk
Indonesia terinfeksi HCV.
Tabel 4. Rata-rata prevalensi negara yang terinfeksi HCV

Sumber: World Gastroenterology Organisation Global Guidelines, Diagnosis,


Management and Prevention Of Hepatitis C, April 2013.
Rata-rata prevalensi tertinggi dilaporkan di kembangkan pada negara
miskin di Afrika dan Asia, yang berkembang dan negara-negara industry
memiliki prevalensi rendah yaitu di Eropa dan Amerika Utara. Negara yang
memiliki rata-rata infeksi kronik tinggi adalah Mesir, Pakistan, dan Cina.
Sayangnya, tidak ada data pada Negara Afrika kecuali Mesir, Morocco dan
Afrika Selatan.
Hepatitis C kronik pada umumnya menyebabkan sirosis dan
indikasinya untuk transplantasi hati di Eropa, Amerika Utara dan Selatan,
Australia, Jepang dan Mesir. Rata-rata resiko berkembang menjadi sirosis
adalah dari 5%-25% pada usia 25-30 tahun.
Infeksi berjangka dari sakit ringan yang berlangsung hanya beberapa
minggu hingga ke serius (infeksi akut) atau sakit seumur hidup (infeksi
kronis). Kurang lebih 80% dari pasien yang terinfeksi virus hepatitis akan
menjadi terinfeksi secara kronis, dan kebanyakan dari pasien menunjukkan
bukti hepatitis kronis. Periode inkubasi adalah 14-180 hari (rata-rata 45 hari)
dan tidak ada vaksin hepatitis C yang sekarang tersedia.

Tabel 5. Rata-rata perkembangan prevalensi hepatitis C

Sumber: World Gastroenterology Organisation Global Guidelines, Diagnosis,


Management and Prevention Of Hepatitis C, April 2013.
C. Faktor resiko hepatitis C kronik
Faktor resiko untuk hepatitis C kronik sebagai berikut :
- Laki-laki
- Usia > 25 tahun saat terkena infeksi
- Infeksi akut asimptomatik
- Etnis Afrika-amerika
- Infeksi HIV
- Imunosupresi
Faktor-faktor resiko untuk infeksi HCV1
a. IDU (intravenous drug use): jalur penularan paling lazim dinegara
berkembang. Penggunaan narkoba suntik bisa saja telah berhenti bertahun-
tahun sebelum terdiagnosis.
Penggunaan narkoba lain (misal: kokain hirup)
b. Tranfusi darah dan produk darah: sering ditemukan pada mereka yang
menerima transfuse sebelum tahun 1990, tapi sudah jarang saat ini di negara
berkembang.
c. Narapidana: peyalahgunaan obat yang menyebabkan seseorang dipenjara
atau penyalahgunaan narkoba suntik di penjara.
d. Terapi di RS: hemodialisis masih memiliki resiko penularan yang tinggi.
e. Infeksi pada ibu hamil: resiko penularan ke anak <5%, kecuali bila ada ko-
Infeksi dengan HIV
f. Infeksi pada anggota keluarga: anggota keluarga tidak boleh berbagi
peralatan yang bisa terpapar darah seperti alat cukur dan sikat gigi. Namun,
sangat rendah.
g. Tindik Badan: resiko penularannya sangat kecil
h. Hubungan seksual: resiko penularannya sangat kecil.
Infeksi hepatitis C biasanya progresif lambat pada periode beberapa
tahun antara 5% dan 15% pada pasien dengan kronik hepatitis mungkin
berkembang menjadi sirosis hepatic pada usia 20 tahun. Dalam 4-9% pasien
dengan sirosis akan berkembang progressive menjadi gagal hati, dan 1-4%
tiap tahunnya beresiko berkembang menjadi hepato seluler karsinoma (HCC).
Diperkirakan 70-80%, pasien dengan hepatitis asimptomatik, pada hepatitis
akut atau kronik semua tipe virus menimbulkan gejala yang sama dan
disimpulkan diikuti oleh lemas, nyeri abdomen, kuning, dan nafsu makan
berkurang.
Transmisi HCV terjadi melalui paparan darah yang tercemar. Paparan
ini biasanya terjadi pada pengguna narkoba suntik, transfusi darah (sebelum
1992), pencangkokan organ dari donor yang terinfeksi, praktek medis yang
tak aman, paparan okupasional terhadap darah yang tercemar, kelahiran dari
ibu yang terinfeksi, hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi, perilaku
seksual risiko.
D. Pathogenesis Hepatitis C
Gambar 4. Siklus hidup HCV

Proses siklus kehidupan HCV dengan cara:


 HCV masuk ke dalam hepatosit dengan mengikat suatu reseptor permukaan
sel yang spesifik. Reseptor ini belum teridentifikasi secara jelas, namun
protein permukaan sel CD81 adalah suatu HCV binding protein yang
memainkan peranan dalam masuknya virus. Salah satu protein khusus virus
yang dikenal sebagai protein E2 menempel pada reseptor site di bagian luar
hepatosit.
 Kemudian protein inti dari virus menembus dinding sel dengan suatu proses
kimiawi, dimana selaput lemak bergabung dengan dinding sel dan
selanjutnya dinding sel akan melingkupi dan menelan virus serta
membawanya kedalam hepatosit. Di dalam hepatosit, selaput virus
(nukleokapsid) melarut dalam sitoplasma dan keluarlah RNA virus (virus
uncoating) yang selanjutnya mengambil alih peran bagian dari ribosom
hepatosit dalam membuat bahan-bahan untuk proses reproduksi.
 Virus dapat membuat sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya
sendiri. Selama proses ini virus menutup fungsi normal hepatosit atau
membuat lebih banyak lagi hepatosit yang terinfeksi. Virus lalu membajak
mekanisme sintesis protein hepatosit dalam memproduksi protein yang
dibutuhkannya untuk berfungsi dan berkembang biak.
 RNA virus dipergunakan sebagai cetakan (template) untuk produksi masal
poliprotein (proses translasi).
 Poliprotein dipecah dalam unit-unit protein yang lebih kecil. Protein ini ada
2 jenis yaitu protein structural dan regulatori. Protein regulatori memulai
sintesis kopi virus RNA asli.
 Sekarang RNA virus mengopi dirinya sendiri dalam jumlah besar (miliaran
kali) untuk menghasilkan bahan dalam membentuk virus baru. Hasil kopi
ini adalah bayangan cermin RNA orisinal dan dinamai RNA negative. RNA
negative lalu bertindak sebagai cetakan (template) untuk memproduksi serta
RNA positif yang sangat banyak yang merupakan kopi identik materi
genetic virus.
 Proses ini berlangsung terus dan memberikan kesempatan untuk terjadinya
mutasi genetic menghasilkan RNA untuk strain baru virus dan subtype virus
hepatitis C. setiap kopi virus baru berinteraksi dengan protein structural,
yang kemudian akan membentuk nukleokapsid dan kemudian inti virus
baru. Amplop protein kemudian akan melapisi inti virus baru.
 Virus dewasa kemudian dikeluarkan dari dalam hepatosit menuju ke
pembuluh darah menembus membrane sel.
Studi mengenai mekanisme kerusakan sel-sel hati VHC masih sulit
dilakukan karena terbatasnya kultur sel untuk VHC dan tidak adanya hewan
kecuali simpanse yang dilindungi. Kerusakan sel hati oleh VHC atau partikel
virus secara langsung masih belum jelas. Namun beberapa bukti
menunjukkan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan
sel-sel hati. Protein core misalnya ditengarai dapat menimbulkan reaksi
pelepasan radikal oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini diketahui
pula mampu berinteraksi pada mekanisme signaling dalam inti sel terutama
berkaitan dengan penekanan regulasi imunologik dan apoptosis. Adanya
bukti-bukti ini menyebabkan kontroversi apakah VHC bersifat sitotoksik atau
tidak, terus berlangsung.4
Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk
terjadinya eliminasi menyeluruh VHC pada infeksi akut. Pada infeksi kronik,
reaksi CTL yang relative lemah masih mampu merusak sel-sel hati dan
melibatkan respon inflamasi di hati tetapi tidak bisa menghilangkan respon
inflamasi di hati tetapi tidak bisa menghilangkan virus maupun menekan
evolusi genetik VHC sehingga kerusakan sel hati berjalan terus menerus.
Kemampuan CTL tersebut dihubungkan dengan aktivitas limfosit sel T-
helper (Th) spesifik VHC. Adanya pergeseran dominasi aktivitas Th 1
menjadi Th 2 berakibat pada reaksi toleransi dan melemahnya respon CTL.4
Reaksi inflamasi yang dilibatkan melalui sitokin-sitokin pro-inflamasi
seperti TNF-α, TGF-β1, akan menyebabkan aktivitas sel-sel stelata di ruang
disse hati. Sel-sel yang khas ini sebelumnya dalam keadaan “tenang”
(quiescent) kemudian berproliferasi dan menjadi aktif menjadi sel-sel
miofibroblas yang dapat menghasilkan matriks kolagen sehingga terjadi
fibrosis dan berperan aktif dalam menghasilkan sitokin-sitokin pro-inflamasi.
Mekanisme ini dapat timbul terus-menerus karena reaksi inflamasi yang
terjadi tidak berhenti sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel-
sel hati yang ada semakin sedikit. Proses ini dapat menimbulkan kerusakan
hati lanjut dan sirosis hati.4
Pada gambaran histopatologis pasien hepatitis C kronik dapat
ditemukan proses inflamasi kronik berupa nekrosis gerigit, maupun lobular,
disertai dengan fibrosis di daerah portal yang lebih lanjut dapat masuk ke
lobules hati (fibrosis septal) dan kemudian dapat menyebabkan nekrosis dan
fibrosis jembatan (bridging necrosis/fibrosis). Gambaran yang agak khas
untuk infeksi VHC adalah agregat limfosit di lobules hati namun tidak
didapatkan pada semua kasus inflamSasi akibat VHC.4
Gambaran histopatologis pada infeksi kronik VHC sangat berperan
dalam menentukan prognosis dan keberhasilan terapi. Secara histopatologis
dapat dilakukan scoring untuk inflamasi dan fibrosis di hati sehingga
memudahkan untuk keputusan terapi, evaluasi pasien maupun komunikasi
antara ahli patologi.
Sistem skoring MELD digunakan untuk menilai pasien dengan
hepatitis C. skor MELD dari 22 (28 dalam kasus hiperoksaluria), dengan
peningkatan 10% dalam nilai setiap 3 bulan dari diagnosis.
- karsinoma hepatoseluler (HCC) dengan satu lesi antara 2-5 cm atau 2-3 lesi
<3 cm (kriteria Milan), tidak memberikan invasi vaskular atau penyakit
ekstrahepatik.
- sindrom hepatopulmonary dengan PaO2 <60 mmHg pada ruang udara.
hipertensi Portopulmonary, dengan rata-rata tekanan arteri pulmonalis
(mPAP)> 25 mmHg saat istirahat tetapi dipertahankan <35 mmHg dengan
pengobatan.
- trombosis arteri hepatik 7-14 hari transplantasi pasca-hati.
- Familial amiloid polineuropati, seperti didiagnosis dengan identifikasi
transthyretin (TTR) mutasi gen dengan analisis DNA atau spektrometri
massa dalam sampel biopsi dan konfirmasi deposisi amiloid di organ yang
terlibat.
- hiperoksaluria primer dengan bukti defisiensi glioksilat alanine
aminotransferase (pasien ini memerlukan gabungan transplantasi hati-
ginjal).
- cystic fibrosis dengan FEV1 (dipaksa ekspirasi volume 1 detik) <40%.
cholangiocarcinoma hilus.
E. Gambaran Klinis
Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi yang dibagi dalam empat
tahap yaitu:
1. Fase Inkubasi
Fase inkubasi merupakan waktu diantara masuknya virus dan saat
timbulnya gejala atau ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya tiap
hepatitis virus tergantung pada dosis inokulan yang ditularkan dan jalur
penularan. Makin besar dosis inokulan makin pendek fase inkubasinya.
2. Fase Prodormal (Pre Ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan pertama dan gejala timbulnya ikterus.
Biasanya ditandai dengan malaise umum, mialgia, atralgia, mudah lelah,
gejala saluran napas atas dana anoreksia. Mual, muntah dan anoreksia
berhubungan dengan perubahan penghidu dan rasa kecap. Diare atau
konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di
kuadran kanan atas atau epigastrium yang kadang diperberat dengan
aktivitas.
3. Fase Ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari timbunya gejala atau dapat bersamaan
dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi.
Setelah timbulnya ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodormal dan
justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.
4. Fase Konvalesen
Fase yang diawali dengan menghilangnya gejala dan ikterus, tetapi
hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Keadaan akut
biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada 5%-10% kasus
perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditanganim hanya kurang dari
1% yang menjadi fulminan.
Pada umumnya infeksi akut VHC tidak memberikan gejala atau
bergejala minimal. Hanya 20-30% yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis
akut 7-8 minggu setelah terjadinya paparan. Walaupun demikian, infeksi
akut sangat sukar dikenali karena pada umumnya tidak terdapat gejala
sehingga sulit pula menentukan perjalanan penyakit akibat infeksi HCV.
Beberapa laporan menyatakan bahwa pada infeksi hepatitis C akut
didapatkan adanya gejala malaise, mual dan ikterus seperti halnya hepatitis
akut karena virus lain. Hepatitis fulminan sangat jarang terjadi. ALT
meningkat sampai beberapa kali di atas batas normal tetapi umumnya tidak
melebihi 1000U/ liter.
Sekitar 70-80% orang yang terinfeksi HCV menjadi carrier kronis
dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan serta merupakan
penyebab utama sirosis hati, penyakit hati stadium akhir dan kanker hati.
Sering kali proses ini tidak menimbulkan gejala apapun walaupun proses
kerusakan hati berjalan terus. Hilangya VHC setelah hepatitis kronis sangat
jarang terjadi. Diperlukan waktu sekitar 20-30 tahun untuk terjadi sirosis
hati yang akan terjadi pada 15-20% pasien hepatitis C kronis. Sekitar 15-
25% dari orang yang terinfeksi dapat sembuh tanpa pengobatan dengan
alasan yang tidak diketahui. (CDC)
Kerusakan hati akibat infeksi kronik tidak dapat tergambar pada
pemeriksaan fisik maupun labaratorik kecuali bila sudah terjadi sirosis hati.
Pada pasien dimana ALT selalu normal, 18-20% sudah terdapat kerusakan
hati bermakna, sedangkan diantara pasien dengan peningkatan ALT, hampir
semua sudah mengalami kerusakan hati sedang sampai berat. Progesivitas
hepatitis kronis menjadi sirosis tergantung beberapa faktor antara lain
asupan alcohol, koinfeksi dengan hepatitis B atau HIV, jenis kelamin laki-
laki dan usia tua saat terjadinya infeksi. Setelah terjadi sirosis hati, maka
dapat timbul kanker hati dengan frekuensi 1-4% tiap tahunnya. Kanker hati
dapat terjadi tanpa melalui sirosis hati walaupun kondisi seperti ini jarang
terjadi.
Koinfeksi HCV dengan HIV diketahui menjadi masalah karena
dapat memperburuk perjalanan penyakit hati yang kronik, mempercepat
terjadinya sirosis hati dan mungkin pula mempercepat penurunan sistem
kekebalan tubuh. Adanya koinfeksi tersebut juga mempersulit pengobatan
dengan anti retrovirus karena memperbesar porsi pasien yang menderita
gangguan fungsi hati dibandingkan dengan pasien tanpa koinfeksi HIV. Di
Indonesia, kasus ini sering terjadi pada pengguna jarum suntik yang
menggunakan alat suntik bergantian.
Selain gejala-gejala gangguan hati, dapat pula timbul manifestasi
ekstra hepatic antara lain crioglobunemia dengan komplikasi-
komplikasinya (glomerulopati, kelemahan, vaskulitis, purpura dan atralgia),
sicca syndrome, lichen planus dan porphyria cutanea tarda. Patofisiologi
manifestasi gejala ekstra hepatic belum diketahui dengan jelas namun
dihubungkan dengan kemampuan VHC untuk menginfeksi sel-sel limfoid
sehingga mengganggu respon sistem imunologis. Sel-sel limfoid yang
terinfeksi dapat berubah sifatnya menjadi ganas karena dilaporkan tingginya
kejadian limfoma non Hodgin pada pasien dengan infeksi HCV.
F. Diagnosis dan Skrining Hepatitis C
Infeksi HCV didiagnosis menggunakan tes dari antibodi spesifik
menggunakan enzim link immunoassay (ELISA). Adanya antibodi HCV
menunjukkan bahwa orang tersebut telah terinfeksi virus HCV, tapi bukan
indikasi apakah infeksi tersebut akut, kronik atau menetap.
Diagnosis hepatitis C akut berdasarkan:
- Peningkatan alanine aminotransferase (ALT; lebih dari 10x)
- Dengan atau tanpa jaundie
- Deteksi serum HCV RNA
- Diikuti anti-HCV serokonversi minggu selanjutnya.
Kelompok resiko infeksi HCV antara lain :
- Orang yang menerima transfusi darah
- Orang yang menjalani prosedur operasi
- Tawanan, ada tindik dan tato hidung atau telinga.
- Pekerja sex, pengguna obat intravena, tenaga medis,
- Orang yang menjalani perawatan gigi
- Pasien dialisis, thalasemia atau hemofilia dengan multiple transfusi.
- Keluarga yang pernah terinfeksi HCV
- Anak yang lahir dengan infeksi HCV
- Pengguna jarum suntik
Tabel 5. Interpretasi Tes HCV

Sumber: World Gastroenterology Organisation Global Guidelines, Diagnosis,


Management and Prevention Of Hepatitis C, April 2013.
G. Interpretasi Hasil Laboratorium untuk Hepatitis C
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan antara lain:
 Anti HCV untuk mengetahui apakah penderita terpapar hepatitis C
 HCV RNA kuantitatif untuk mengetahui seberapa besar aktivitas virus
hepatitis C
Tabel 6. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Hepatitis C
Pemeriksaan Hasil Interpretasi Kemungkinan Lain

Anti-HCV Negatif Tidak terinfeksi Masa inkubasi dan


HCV RNA PCR Negatif previous infection with
clearance and
seroconversion
Anti-HCV Negatif Infeksi akut -
HCV RNA PCR Positif

Anti-HCV Positif Infeksi yang telah Positif palsu dari hasil


HCV RNA PCR Negatif meredah (Past antibodi dan kondisi
resolved infection) kronik infeksi dengan
transient PCR RNA
yang undetectable
(Chronic infection with
transiently
undetectable RNA
PCR)
Anti-HCV Positif -
HCV RNA PCR Positif

H. Diagnosis Hepatitis Akut dan Hepatitis Kronik C

Tidak seperti hepatitis B, pemeriksaan konvensional untuk mendeteksi


keberadaan antigen-antigen HCV tidak bersedia, sehingga pemeriksaan untuk
mendiagnosis infeksi HCV bergantung pada uji serologi untuk memeriksa
antibodi dan pemeriksaan molekuler untuk partikel virus.
Diagnosis HCV akut dan kronik berdasarkan deteksi RNA HCV. Anti
HCV antibody dapat diketahui oleh enzyme immunoassay (EIA) pada
sebagian besar pasien yang terinfeksi HCV, tapi bisa hasilnya negative pada
pasien yang baru terkena hepatitis akut dan pada pasien immunosupresi.
Tidak semua pasien yang HCV akut hasil anti HCV positif dalam diagnosis.
Antibodi anti-HCV adalah pemeriksaan lini pertama untuk infeksi HCV.
Pada kasus hepatitis C akut atau immunocompromise, test RNA HCV bisa
menjadi bagian evaluasi awal. Jika antibodi anti-HCV dideteksi, HCV RNA
harus ditentukan oleh metode sensitive molecular. Jika individu Anti-
HCV positif, HCV-RNA negative maka diuji ulang HCV RNA 3 bulan
kemudian untuk mengkonfirmasi penyembuhan.
Dari semua individu dengan hepatitis akut, 75-80% akan berkembang
menjadi infeksi kronik. Diagnosis banding dari hepatitis C akut adalah
hepatitis virus (hepatitis A, B, atau E; Epstein-Barr dan Cytomegalovirus
(CMV)), hepatitis alkoholik, hepatitis kronik aktif autoimun, hepatitis drug-
induced, penyakit Wilson.
Infeksi HCV sangat jarang terdiagnosis pada saat infeksi fase akut.
Manifestasi klinis bisa saja muncul dalam waktu 7-8 minggu (dengan kisaran
2-26 minggu) setelah terpapar dengan HCV. Sebagian besar HCV tidak
menunjukkan gejala atau jika menunjukan gejala, hanya gejala ringan. Pada
HCV akut biasanya ada jaundice, malaise, dan nausea. Infeksi berkembang
menjadi kronik hanya sebagian dan biasanya tidak menunjukkan gejala juga.
Hal ini menyebabkan sulitnya menilai perjalanan alamiah infeksi HCV.
Setelah paparan awal pada infeksi akut, RNA HCV dapat dideteksi
dalam darah 1-3 minggu. Kerusakan sel hati ditunjukkan dengan peningkatan
kadar alanine amino transferase (ALT). infeksi akut dapat menjadi berat,
namun jarang menjadi fulminan. Gejala klinik biasanya jarang dijumpaia
namun dapat berupa malaise, letih, anoreksia dan ikterik. Gejala biasanya
berkurang setelah beberapa minggu seraya diikuti turunnya ALT.
Infeksi HCV kronik didiagnosis dengan deteksi RNA HCV yang
menetap dalam darah selama sekurang-kurangnya 6 bulan. Faktor yang
berkaitan dengan kesembuhan spontan infeksi HCV meliputi umur lebih
muda, wanita, dan beberapa gen komplek histokompatibilitas mayor (MHC).
Gejala sisa infeksi HCV tersering adalah penyakit hati menahun, fibrosis
hati progresif yang berakhir pada sirosis, dan KHS. Perkiraan proporsi
orang yang terkena infeksi kronik yang mendapatkan sirosis 20 tahun
setelah infeksi awal bervariasi antara 2-4% pada anak-anak hingga tertinggi
20-30% pada orang dewasa yang ditransfusi. Banyak faktor yang
meningkatkan resiko yaitu usia lebih tua pada saat infeksi, gender pria,
keadaan immunokompremais seperti HIV, muatan virus, genotype virus.
Selain itu, yang mempunyai dampak penting seperti infeksi bersama dengan
hepatitis B, kelebihan besi, perlemakan hati non alkaholik, ko-infeksi
skistosomiasis, obat-obatan dengan potensi hepatotoksik serta kontaminasi
lingkungan.
Pasien dengan hepatitis C kronik dapat datang dengan manifestasi atau
gejala ekstrahepatik yang biasanya karena respons imun seperti gejala
rematoid, keratokonjungtivitis sicca, lichen planus, glomerulonefritis,
limpoma, dan krioglobulinemia esensial campuran. Hepatitis C kronik juga
berhubungan dengan porfiria cutanea tarda. Gangguan psikologis termasuk
depresi dijumpai pada infeksi HCV pada 20-30% kasus.
I. Penatalaksanaan Hepatitis C

Penatalaksanaan hepatitis C tertuju pada hepatitis C kronik karena


seringkali pasien hepatitis C datang ke pusat pelayanan kesehatan sudah dalam fase
kronik.

Tujuan pemberian antivirus adalah eradikasi virus hepatitis C dengan


harapan mencegah munculnya komplikasi penyakit hati fibrosis, sirosis, karsinoma
hepatoselular dan kematian. Target terapi antivirus adalah

Terapi hepatitis C saat ini dapat dilakukan dengan strategi pengobatan dual
therapy ( kombinasi Peg-IFN dan ribavirin) atau non dual therapy ( kombinasi DAA
dengan atautanpa regimen Peg-IFN).

I. Kombinasi Peg-IFN dan ribavirin


a. Peg-IFN
Interferon merupakan protein yang dihasilkan oleh tubuh dan bersifat sebagai
imunomodulator. Mekanisme kerja interferon adalah menghambat berbagai
tahap replikasi virus meliputi saat virus masuk dalam tubuh, uncoating,
sintesis mRNA dan sisntesis protein. Pegylated ditambahkan dalam formula
obat untuk membuat interferon bertahan lebih lama didalam tubuh. Manfaat
lainnya meliputi penurunan toksisitas, meningkatkan stabilitas obat,
perlindungan terhadap proteolisis dan memperbaiki daya larut. Pemberian
Peg-IFN 1x/minggu juga membantu meningkatkan kepatuhan pasien dan
memberikan kenyamanan pasien. Terdapat bebarapa tipe Peg-IFN, namun
yang sering digunakan dalam pengobatan hepatitis C adalah Peg-IFN α2a
dan Peg-IFN α2b.
Perbedaan antara Peg-IFN α2a dan Peg-IFN α2b selain strukturnya adalah
waktu paruh absorpsi, waktu paruh eliminasi dan waktu konsntrasi maksimal
ditemukan lebih lama pada Peg-IFN α2b.

b. Ribavirin
Mekanisme kerja ribavirin yaitu :
 Menghambat langsung replikasi VHC
 Menghambat enzim inosine monophosphate
dehydrogenase pada tubuh pasien
 Menginduksi mutagenesis RNA virus
 Imunomodulasi melalui induksi sel respon imun T-
helper
 Ribavirin cepat diabsoprsi (waktu paruh sekitar 2 jam)
dan didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh setelah
pemberian oral, metabolisme utama terjadi di ginjal.
II. DAA dengan atau tanpa Peg IFN
a. DAA
DAA merupakan tulang punggung utama dalam terapi hepatitis
C saat ini.
Kelompok pertama merupakan NS3/4A protease inhibitor
(berakhiran –previr). NS3 serine protease adalah suatu enzim
yang mengkatalisasi proses post-transkripsi protein yang penting
untuk repkikasi virus hepatitis C dan N untuk S4A adalah
kofaktor dari NS3 untuk mempercepat proses tersebut.
Kelompok obat ini secara langsung menghambat kerja enzim
dan kofaktor tersebut sehingga akan menekan proses replikasi
VHC. NS3/4A protease inhibitor ini terdiri atas dua generasi,
yaitu boceprevir dan telaprevir sebagai generasi pertama dengan
bentuk linear dan barrier genetik rendah ; serta generasi kedua
yang memiliki bentuk makrosiklik, aktivitas pan-genotipik, dan
barrier genetik menengah atau tinggi, yaitu faldaprevir,
simeprevir, asunaprevir, vaniprevir,paritaprevir, grazoprevir,
dan sovaprevir.

Kelompok kedua merupakan NS5A protein inhibitor


(berakhiran –asvir), terbagi atas dua generasi, yaitu generasi
pertama dengan barrier genetik menengah yang terdiri atas
daclatasvir, ledipasvir, dan ombitasvir; dan generasi kedua
dengan aktivitas pan-genotipik dan barrier genetik tinggi yang
terdiri atas elbasvir, velpatasvir, dan odalasvir.

Kelompok ketiga merupakan analog NS5B polymerase inhibitor


(berakhiran –buvir), yaitu golongan nukleotida/inhibitor
kompetitif dengan aktivitas genotipik luas dan barrier resistensi
menengah, misalnya becalbuvir dan dasabuvir. Sofosbuvir
merupakan prodrug nukleotida uridine inhibitor NS5B. Setelah
diabsorsi, sofosbuvir dimetabolisme dihepar, untuk kemudian
dikonversi menjadi bentuk nukleosida trifosfat aktif.

J. Tatalaksanaan Hepatitis C akut

Sebagian besar pasien hepatitis C akut adalah asimptomatik.


Tatalaksana hepatitis C akut dapat ditunda sampai 8-16 minggu
untuk mengganggu terjadinya resolusi spontan terutama pada
pasien hepatitis C yang simptomatik. Namun apabila tidak
diterapi, sebanyak 50-90% cenderung akan berlanjut menjadi
kronis. Oleh karenanya terapi antivirus harus dipertimbangkan
untuk mencegah hepatitis C akut menjadi kronis.

Pemberian monotrapi dengan Peg-IFN dapat diberikan


dalam tatalaksana hepatitis akut, diberikan dengan dosis Peg-
IFN-α2a 180 mcg/minggu atau Peg-IFN- α2b mcg/kg/minggu.
Monoterapi dengan Peg-IFN berhasilmencapai >90%, terlepas
dari genotipe VHC tersebut. Durasi terapi hepatitis C akut
diberikan 12 minggu tanpa memandang genotip. Namun pada
pasien dengan genotipe IL-28B non-CC pemberian antivirus
dapat diberikan lebih awal yaitu 12 minggu karena
kemungkinan terjadinya resolusi spontan lebih rendah. SVR24
pada regimen monoterapi lebih rendah pada pasien dengan
koeinfeksi HIV.
Kombinasi Peg-IFN dengan ribaverin dilaporkan tidak meningkatkan
SVR24 pada pasien monoinfeksi VHC, namun dipertimbangkan pada pasien
dengan respon lambat dan koeinfeksi HIV, diberikan dengan dosisi 1000 atau 1200
mg pada pasien <75kg atau >75kg.. studi pada pasien dengan koenfiksi VHC
genotip 1 dan HIV menujukkan peningkatan SVR24 pada pasien yang diberikan
ribaverin dengan durasi 24 minggu.

Hasil SVR yang tinggi ( >90%) dilaporkan pada sejumlah studi kecil
menggunakan regimen berbasis sofosbuvir. Waktu yang ideal untuk memulai terapi
sampai saat ini masih belum dapat ditentukan secara pasti. Meskipun demikian
pasien dengan infeksi VHCakut dapat diterapi menggunakan terapi regimen
sofosbuvir/ledipasvir (genotipe 1,4,5 atau 6).

Beberapa rekomendasi dalam pengobatan infeksi hepatitis C virus.

- Monoterapi dengan Peg-IFN ( Peg-IFN- α 2a 180mcg/minggu atau PegIFN-


α 2b 1.5 mcg/kg/minggu) selama 12 minggu dapat digunakan pada pasien
dengan hepatitis C akut.
- Peg-IFN (Peg-IFN-2αa 180mcg/minggu atau PegIFN-α2b 1.5
mcg/kg/minggu) dikombinasikan dengan ribaverin ( 1000/1200 mg pada
pasien <75kg atau >75kg) selama 24 minggu pada pasien dengan koenfiksi
hepatitis C akut dan HIV.
- Pasien dengan hepatitis C akut dapat diterapi dengan regimen DAA
menggunakan kombinasi sofosbuvir/ledipasvir,
sofosbuvir/velpatasvir/daclatasvir, selama 8 minggu tanpa ribavirin
- Apabila ditemukan koenfeksi VHC-HIV dan atau kadar RNA VHC> 1 juta
IU/mL, terapi dengan DAA perlu diperpanjang hingga 12 minggu.

TERAPI SUPORTIF

a. Pemberian Hematopoitec
Efek samping hematologi ( anemia , neutropenia, dan
trombositopenia) seringkali terjadi akibat pemberian antivirus pada pasien
dengan penyakit hati tahap lanjut. Ribaverin seringkali menginduksi anemia
hemolitik sedangkan interferon menginduksi neutropenia. Saat ini
penggunaan Hematopoetic growth factor dianjurkan karena dapat
membantu dalam membatasi terjadinya pengurangan (reduksi) dosis terapi.
Terdapat beberapa hematopoetic growth factor yang tersedia, yaitu
eritropoitin rekombinan (EPO), granulocyt colony stimulating factor ( G-
CSF) dan trombopoetin receptor agonist.
b. Eritropoitin Rekombinasi
Pemeberian EPO dapat digunakan untuk mempertahankan kadar
hemoglobin selama pemberian terapi antivirus ditujukan untuk menghindari
reduksi dosis ribavirin. EPO dapat dimulai diberikan apabila kadar Hb
<10g/dl dengan tujuan untuk mempertahankan kadar Hb 10-12
c. Trombopoetin Receptor Agonist
Pemberian terapi antivirus tidak harus dihentikan meskipun
ditemukan kondisi trombositopenia dan pasien dengan kadar trombosit yang
rendah dapat memulai terapi antivirus tanpa adanya resiko terjadinya
perdarahan mayor. Saat ini ada 2 macam trombopoetin receptor agonist
yang tersedia untuk meningkatkan kadar trombosit yaitu romiplostin dan
eltrombopag.
d. Grnulocyte colony-stimulating factor
Pemeberian obat ini untuk menginduksi produksi, diferensiasi,
pelepasam netrofil secara signifikan dalam 24 jam pemeberian GCS-F.
e. Pemberian antidepresan
Depresi merupakan efek samping yang ering muncul pada
pemberian terapu Peg-IFN/RBV dan juga menjadi salah satu alasan terapi
harus dihentikan. Hal ini tentu akan mempengaruhi keberhasilan terapi
antivirus. Pasien yang menunjukkan gejala depresi sebaiknya dilakukan
konsultasi jiwa dulu.
a. Penatalaksanaan hepatitis C tanpa sirosis

Ge Peg PegIFN, PegIFN Sofosbuvir Sofosbuvir Sofosbuvir, Sofosbuvir, Grazopre Sofos


not IFN, RBV, , RBV, , RBV , ledipasvir daclatasvir vir, buvir,
ipe RB Sofosbuvir simepre simeprevir Elbasvir Velpa
V vir tasvir

1 12 minggu 24-48 - 12 minggu 12 minggu 12 minggu 12 12


minggu minggu mingg
* u

2 12 minggu - 12 minggu - 12 minggu 12 minggu - 12


mingg
u

3 12 minggu - 24 minggu - - 12 minggu - 12


Response guided

mingg
u

4 12 minggu 24-48 - 12 minggu 12 minggu 12 minggu 12 12


minggu minggu mingg
* u

5 12 minggu - - - 12 minggu 12 minggu - 12


mingg
u

6 12 minggu - - - 12 minggu 12 minggu - 12


mingg
u
Pemilihan regimen terapi pada infeksi VHC dengan serosis kompensata

Sofosbuvi Sofosbuvi
PegIFN, Grazopre r,
Genoti PegIFN, Sofosbuvir, Sofosbuvir, Sofosbuvir, r,
RBV, vir, Velpatasv
pe RBV RBV Simeprevir Ledipasvir daclatasvi
Sufosbuvir elbasvir ir
r

12
12 minggu (
minggu (
dg RBV)
dg RBV) 12
24-48 atau 24 12
1 12 minggu - atau 24 minggu
minggu minggu minggu
minggu
(tanpa
(tanpa
RBV)
RBV)

16-24 12
2 12 minggu - - minggu
minggu

12
minggu (
3 12 minggu - dengan
RBV)
Respons
e Guide 12
12 minggu (
minggu (
dg RBV)
dg RBV) 12
24-48 atau 24
4 12 minggu atau 24 minggu
minggu minggu
minggu
(tanpa
(tanpa
RBV)
RBV)
12
12 minggu (
minggu (
dg RBV)
dg RBV) 12
atau 24
5 12 minggu atau 24 minggu
minggu
minggu
(tanpa
(tanpa
RBV)
RBV)
12
12 minggu (
minggu (
dg RBV)
dg RBV) 12
atau 24
6 12 minggu atau 24 minggu
minggu
minggu
(tanpa
(tanpa
RBV)
RBV)
Sofo Sufosbo
PegIFN, Sofosbuvi sbuvi Sofosbuvi vir,
Ge Sofosbuvir,
PegIFN, RBV, r, Sofosbuvir, Sofosbuvir, r, r, velpatas
noti RBV,
RBV Sufosbuvi Simeprevi RBV ledipasvir Velp declatasvi avir
pe simeprevir
r r atasv r
ir
12

12 minggu minggu

( dg RBV) ( dg
12 RBV)
1 - atau 24
minggu atau 24
minggu (-
RBV) minggu
(-RBV)

12
minggu
( dg
16-20 12 RBV)
2 Kont
minggu minggu atau 24
Kontra Kontra Kontra Kontra ra
indikasi indikasi indikasi indikasi indik minggu

asi (-RBV)

12
minggu
12 ( dg
minggu ( RBV)
3 - -
dengan atau 24
RBV) minggu
(-RBV)

12 minggu 12 minggu 12
12
4 ( dg RBV) ( dg RBV) minggu
minggu
atau 24 atau 24 ( dg
minggu minggu RBV)
(tanpa (tanpa atau 24
RBV) RBV) minggu
(-RBV)

12
12 minggu 12 minggu minggu
( dg RBV) ( dg RBV) ( dg
atau 24 atau 24 12 RBV)
5
minggu minggu minggu atau 24
(tanpa (tanpa minggu
RBV) RBV) (-RBV)

12
12 minggu 12 minggu minggu
( dg RBV) ( dg RBV) ( dg
atau 24 atau 24 12 RBV)
6
minggu minggu minggu atau 24
(tanpa (tanpa minggu
RBV) RBV) (-RBV)
Hal-hal yang penting untuk memahami terapi virus hepatitis C

 Tujuan pengobatan hepatits C adalah untuk eradikasi virus. Bila hal ini
tidak tercapai, maka tujuan berikutnya adalah mencegah terjadinya sirosis
dan komplikasinya serta terjadinya kanker hati.
 Bila terjadi respons virology menetap (HCV-RNA negative 24 bulan
setelah terapi) kemungkinan relaps dalam 4 tahun adalah 10%
 Respons virus menetap pada pasien sirosis menyebabkan penurunan
komplikasi sirosis
 Apabila tidak tercapai respons virus menetap, masih dapat terjadi
pengurangan progresifitas penyakit bila transminase menunjukkan
penurunan.
 Pada masa terapi terdapat kemungkinan penurunan kualitas hidup
penderita akan tetapi akan membaik setelah terapi selesai.
 Depresi merupakan efek samping yang serius
 Anemia dan teratogenitas merupakan efek samping serius terapi dengan
ribavirin.
K. Efek Samping Obat
Keadaan yang memerlukan perhatian khusus apabila diberi terapi interferon
adalah neutropeni ( hitung neutrofil <1500/μ darah, trombositopenia ( hitung
trombosit <85000/ μ), penerima transplantasi organ (selain hati), riwayat
penyakit autoimmune, adanya autoantibody antitiroid dan pasien usia lanjut.
Terdapat beberapa kontra indikasi absolute untuk terapi interferon yaitu
sedang menderita atau memiliki riwayat psikosis atau depresi berat,
kehamilan, kejang-kejang yang tidak terkendali.
Terdapat kontra indikasi relative untuk terapi interferon adalah riwayat
depresi, diabetes mellitus yang tidak terkendali, hipertensi yang tidak
terkendali, retinopati, psoriasis, penyakit jantung simptomatik dan tiroiditis
autoimmune atau penyakit autoimmune lain yang aktif.
Dosis ribavirin sedapat mungkin dipertahankan. Bila terjadi efek samping
anemia, dapat diberikan eritropoietin untuk meningkatkan HB. Pasien yang
menerima IFN-α dan ribavirin dinilai memiliki efek samping hematologi pada
2 dan 4 minggu dan di 4 dan 8 minggu. Fungsi renal teratur di cek jika pasien
menerima sofosbuvir. Ras, photosentif dan peningkatan bilirubin pada obat
simeprevir.

Flu-like symptom sering terjadi setelah pemberian injeksi IFN-α. Mereka


mengendalikannya dengan pemberian paracetamol setelah 4-6 minggu terapi.
TSH diukur setiap 12 minggu saat terapi. Sakit kepala dan lelah pada
sofosbuvir.

L. Respons Terapi
Respons Virologi, Suatu SVR (sustained virological response), respons
virology menetap) diartikans sebagi tidak terdeteksinya HCV RNA dalam
serum seorang pasien menggunakan metode pemeriksaan dengan sensitivitas
hingga 100 kopi/ml (50 IU/ml) DI 6 bulan setelah terapi selesai. SVR adalah
suatu endpoint yang paling dapat dipercaya dalam mengevaluai suatu terapi.1
Selain SVR, kita juga mengenal beberapa pola respons HCV RNA selama
terapi maupun 6 bulan pasca terapi yaitu null response, partial virologic
response, virologic breakthrough dan relapse. Null response diartikan
sebagai gagalnya pasien untuk mencapai turunnya kadar HCV RNA yang
berarti selama terapi. Partial virologic response adalah suatu keadaan dimana
seorang mengalami penurunan muatan virus >2 log dari nilai baseline tetapi
HCV RNA tetap terdeteksi di minggu ke-24 terapi. Sedangkan virologic
breakthrough adalah terdeteksinya kembali HCV RNA pada pasien yang
kadar HCV RNA nya telah negative selama masa terapi dan relapse diartikan
sebagai munculnya kembali HCV RNA pada pasien yang kadar HCV RNA
nya telah negative setelah selesai terapi.
Respons non-virologi, turunnya kadar SGPT hingga rentan normal diakhir
masa terapi atau seterusnya hingga 6 bulan pasca terapi terus dievaluasi.
Respons histology secara konvensional diartikan sebagai turunnya nilai
inflamasi atau nilai total sebesar 2 point atau lebih dibanding hasil biopsy
sebelum terapi atau turunnya nilai fibrosis sebesar 1 point disbanding hasil
biopsy sebelum terapi.1

Singkatan Deskripsi Defining HCV RNA Waktu


level
LVL Low viral load < 400.000 IU/mL
HVL High viral load >400.000 IU/mL
RVR Rapid viral response Tidak terdeteksi Setelah 4 minggu
terapi
eRVR Extended rapid viral Tidak terdeteksi; Pada minggu ke 4
response menggunakan tiga dan minggu ke 12
terapi dengan
telaprevir
EVR Early viral response Tidak terdeteksi (<50 Setelah 12 minggu
IU/mL) terapi

NR Null response Lebih dari 2 log 10 Setelah 12 minggu


penurunan (IU/mL) terapi
dari tingkat baseline

LVR Late viral response Lebih dari 2 log 10 Terdeteksi setelah 12


penurunan minggu terapi
DVR Delayed viral response Lebih dari 2 log 10 Tidak terdeteksi
penurunan setelah 24 minggu
terapi

EOTR, ETR, Or End-of-treatment (viral) Tidak terdeteksi Pada akhir terapi


ETVR response

SVR Sustained viral Tidak terdeteksi 24 minggu setelah


response selesai terapi
Tidak terdeteksi Diakhir terapi

Relapse Relapse Diulang kemunculan Setelah akhir terapi

PR Partial response or Lebih dari 2 log 10 Pada 12 minggu


partialnonresponse penurunan dari terapi; terdeteksi
baseline pada minggu 24.

BT Breakthrough Diulang kemunculan Setiap saat selama


pengobatan setelah
respon virus.

Sumber: World Gastroenterology Organisation Global Guidelines, Diagnosis,


Management and Prevention Of Hepatitis C, April 2013.

M.Rekomendasi Pencegahan Hepatitis C

1. Program pengobatan metadon, program pertukaran jarum suntik steril, dan


program penyuluhan jarum suntik steril, dan program penyuluhan atau
edukasi yang mengubah perilaku secara terpadu telah terbukti efektif dalam
mencegah transmisi HIV dan kemungkinan berguna untuk menurunkan
transmisi HCV.
2. Pemberian edukasi kepada pengguna narkoba suntik tentang pentingnya
mencuci tangan sebelum dan setelah menyuntik, tidak menggunakan alat
orang lain, dan mencegah kontak dengan darah orang lain. Penyuluhan
pencegahan HCV harus merupakan prioritas di penjara.
3. Studi mendapati risiko HCV 3 kali lipat pada mitra seksual wanita
dibandingkan pria. Jadi, mitra seksua pasien pria dan wanita dengan
hepatitis C sebaiknya di tes untuk penyakit ini. Pada pasien monogamis
resiko transmisi diperkirakan 0-0,6% setahun. Karena rendahnya resiko
transmisi maka tidak perlu menggunakan proteksi barier atau kondom
walaupun pada mereka hendaknya disampaikan bahwa kondom dapat
menurunkan resiko transmisi. Walaupun seperti itu, dianjurkan untuk
menggunakan kondom untuk mencegah transmisi HCV dan PMS lainnya.
4. Berbagi barang rumah tangga biasa yang dapat tercemar darah seperti alat
cukur dan sikat gigi, merupakan sumber potensial transmisi HCV yang
harus ditinggalkan. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa berciuman,
memeluk, batuk, makanan, air, berbagi alat makan dan minum, kontak
kasual atau kontak lain tanpa paparan darah berkaitan dengan transmisi
HCV.
5. Dianjurkan pada penular dan yang tertular dites antibodi HCV. Bilamana
penular ternyata positif HCV EIA, tes imunoblot atau assay HCV RNA
sebaiknya dilakukan. Karena HCV RNA terdeteksi pertama kali sekitar 2
minggu setelah transmisi, orang yang terpapar sebaiknya diuji antibody
HCV, HCV RNA dan ALT pada saat paparan dan diulang antara 2-8
minggu setelah perlukaan. Bila terjadi serokonversi, yang bersangkutan
sebaiknya dirujuk ke spesialis untuk pertimbangan terapi.
6. Mencegah tindik dan tato karena merupakan sumber potensi transmisi bila
menggunakan alat atau bahan yang tercemar. Bayi yang dilahirkan dari ibu
HCV-positif sebaiknya dites untuk infeksi HCV dengan tes HCV RNA dua
kali antara umur 2 dan 6 bulan dan atau menjalani tes anti HCV setelah 15
bulan kemungkinan berasal dari perpindahan antibody anti HCV
transplasental.
7. Melakukan skrining dan pemeriksaan darah dan organ donor.1
8. Menginaktivasi virus dari plasma dan produk-produk plasma1
9. Prosedur sterilisasi yang benar terhadap alat-alat medis dan dentis1
10. Mempromosikan perubahan tingkah laku pada masyarakat umum dan
pekerja kesehatan untuk mengurangi penggunaan berlebihan obat-obat
suntik dan penggunaan cara penyuntikan yang aman, serta konseling untuk
menurunkan risiko pada IDU dan praktek seksual.1

Rekomendasi pada pasien untuk mencegah penularan hepatitis C adalah :

 Mendidik masyarakat tentang transmisi HCV, agar dapat lebih baik


mengenali individu yang terpapar dan melembagakan upaya pencegahan.
 Mempromosikan standardisasi dan ketersediaan luas uji diagnostic infeksi
HCV dan komplikasinya sehingga tercapai diagnosis dini dan pelaksanaan
praktek pengobatan yang sesuai,
 Mempromosikan pengembangan uji skrining untuk semua kelompok
beresiko tinggi terinfeksi HCV, termasuk IDU, pekerja seks komersial dan
narapidana
 Mengembangkan diagnosik penyakit, uji non-invasif dan peran biopsy hati
sehingga penerapan praktek pengobatan saat ini dapat diperbaiki.
 Mendirikan jaringan riset klinis hepatis untuk menjalankan riset berkaitan
dengan riwayat alamiah, pencegahan dan pengobatan hepatitis C dan
memutuskan transmisi HCV pada ibu dan anak.

Tidak ada vaksin yang dapat melawan infeksi HCV. Penelitian untuk
menemukan vaksin hepatitis telah dilakukan, namun dikarenakan oleh tingginya
tingkat mutasi HCV maka sangatlah sulit untuk mengembangkan vaksin yang
efektif untuk HCV.

N. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan anti-HCV

Antibody terhadap HCV biasanya dideteksi dengan metode enzyme


immunoassay yang sangat sensitive dan spesifik. Enzyme immunoassay generasi
ke 3 yang banyak dipergunakan saat ini mengandung protein core dan protein-
protein structural yang dapat mendeteksi keberadaan antibody dalam waktu 4-10
minggu infeksi. Antibody anti-HCV masih tetap dapat terdeteksi selama terapi
maupun setelahnya tanpa memandang respons terapi yang dialami, sehingga
pemeriksaan anti-HCV tidak perlu dilakukan kembali apabila sudah pernah
dilakukan sebelumnya.

Uji imumunoblot rekombinan (recombinant immunoblat assay, RIBA)


dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil uji enzyme immunoassay yang positif.
Penggunaan RIBA untuk mengkonfirmasi hasil hanya direkomendasikan untuk
setting populasi low risk seperti pada bank darah. Namun dengan tersedianya
metode enzyme immunoassay yang sudah diperbaiki dan uji deteksi RNA yang
lebih baik saat ini, maka konfirmasi dengan RIBA telah menjadi kurang diperlukan.

b. Pemeriksaan HCV RNA

Pemeriksaan ini dapat memeriksa kadar HCV RNA secara kualitatif


maupun kuantitatif. Mengingat tidak stabilnya RNA virus, maka pemprosesan
sampel harus dilakukan secara benar untuk meminimalkan risiko hasil pemeriksaan
yang false negative dimana sampel yang akan diperiksa harus dipisahkan dan
dibekukan dalam waktu 3 jam setelah flebotomi. Pemeriksaan untuk mengukur
jumlah HCV RNA merupakan salah satu cara yang dapat dipercaya untuk
menunjukkan adanya infeksi HCV dan merupakan pemeriksaan yang paling
spesifik.

Pemeriksaan HCV RNA kualitatif didasarkan pada teknik PCR (Polimerase


chain reaction) yang memiliki limit deteksi hingga lebih kecil dari 100 kopi HCV
RNA per milliliter serum (50 IU/ml). Pemeriksaan HCV RNA kualitatif khususnya
bemanfaat pada kasus-kasus dengan kadar transminase yang normal apabila
disertai adanya penyebab penyakit hati lain (misalnya konsumsi alcohol) atau
pasien imunokompromi (misalnya penerima cangkok organ, pasien ko-infeksi
HIV) dan pada hepatitis C akut sebelum munculnya antibody.

Metode untuk mengukur kadar HCV RNA adalah menggunakan PCR


kuantitatif (Cobas Amplicor HCV, version 2,0 dan HCV superquant) dan
pemeriksaan branched-chain DNA. Pemeriksaan HCV RNA kuantitatif memiliki
sensitivitas yang lebih baik dibanding branched-chain DNA, namun branched-
chain DNA memiliki rentang yang lebih luas dan tidak memerlukan dilusi untuk
mengkuantifikasi muatan virus yang tinggi. Pemeriksaan HCV RNA kuantitatif
untuk mengetahui muatan virus bermanfaat untuk memprediksi respons terapi dan
relaps. Namun berbeda dengan infeksi HIV, muatan virus pada hepatitis C tidak
ada kaitannya dengan beratnya hepatitis (progresi fibrosis).

Pemeriksaan genotif HCV dapat membantu memprediksi hasil dari terapi


dan memilih rejimen terapi untuk seorang pasien. Terdapat beberapa metode yang
berbeda untuk memeriksa genotif HCV, namun sebagian besar berbasis pada
amplifikasi dengan pemeriksaan PCR.

Pemeriksaan HCV-RNA yang positif memastikan diagnosis. Pemeriksaan


HCV-RNA diperlukan sebelum terapi dan 6 bulan pasca terapi. Pemeriksaan HCV-
RNA 12 minggu sejak awal terapi dilakukan pada pasien genotype 1 dengan
pegylated-interferon untuk penilaian apakah terapi perlu dilanjutkan atau
dihentikan. Bila HCV RNA tidak bisa diperiksa maka ALT>2 N dengan anti-HCV
positif dapat menegakkan diagnosis dengan menyingkirkan penyebab lain.
Pemeriksaan genotif tidak diperlukan untuk penegakan diagnosis. Namun
diperlukan untuk menentukan lama terapi.

C. Biopsi hati

Biopsy secara umum direkomendasikan untuk penilainan awal seorang


pasien dengan infeksi HCV kronis. Biopsy berguna untuknya menentukan derajat
beratnya penyakit (tingkat fibrosis) dan menetukan derajat nekrosis dan inflamasi.
Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
penyebab penyakit hati yang lain, seperti fitur alkoholik, non-alcoholic,
steatohepatitis (NASH), hepatitis autoimun, penyakit hati drug-induced atau
overload besi.

Pemeriksaan biopsy hati tidak harus dilakukan tetapi dianjurkan sebelum


diberikan terapi antivirus. Bila biopsy dapat dilakukan, terapi antivirus hanya
diberikan pada tingkat fibrosis F2 dan F3 (skor METAVIR). Apabila ditemukan
tingkat fibrosis F4 (skor METAVIR), terapi antivirus dipertimbangkan bila usia
<65 tahun dan sirosis terkompensasi.
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Referensi Gastrointestinal. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas


Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012.
2. Viral Hepatitis Surveillance, USA 2009/2011. Division of Viral Hepatitis
and National Center for HIV/AIDS Viral Hepatitis, STD, and TB
Prevention.
http://www.cdc.gov/hepatitis/Statistics/2009Surveillance/Commentary.ht
m
3. Konsensus FKUI-PPHI tentang penatalaksanaan hepatitis C kronik tahun
2003.
4. Sudoyo, Aru, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1 Edisi V
5. Netter. Interactive Atlas Of Human Anatomy
6. Viral Hepatitis Surveillance, USA 2009/2011. Division of Viral Hepatitis
and National Center for HIV/AIDS, Viral Hepatitis, STD, and TB
Prevention.
http://www.cdc.gov/hepatitis/Statistics/2009Surveillance/Commentary.ht
m
7. World Gastroenterology Organisation Global Guidelines, Diagnosis,
Management and Prevention Of Hepatitis C, April 2013.
8. Pawlotsky Jean-Michel dkk. EASL Recommendations on Treatment of
Hepatitis C 2014, April 2014.
9. Ghany, MG. Strader, BD. Thomas, DL dan Seeff LB. Diagnosis,
Management, and Treatment of Hepatitis C. Hepatologi 2009:49 )(4): 1335-
1374; DOI: 10.1002/hep.22759).
10. Department Of Health and Human Services Centers For Disease Control
and Prevention. Division Of Viral Hepatitis. www.cdc.gov/hepatitis. CDC,
june 2010.
11. Recommendations for Testing, Managing, and Treating Hepatitis C.
American Association for The Study Of Liver Disease. IDSA (Infectious
Disease Society of America). Downloaded from
http://www.hcvguidelines.org on March 16 2018.
12. Mauss, Berg, Rockstroh, dkk. Hepatology A Clinical Textbook. Edition
2013.

Anda mungkin juga menyukai