A. Definisi Hepatitis C
VHC (Virus Hepatitis C) adalah virus RNA rantai tunggal dengan
selubung glikoprotein digolongkan kedalam Flavivirus . Terdapat 6 genotipe
HCV dan lebih dari 50 subtipe. Respons limposit T yang menurun dan
kecenderungan virus untuk bermutasi nampaknya menyebabkan tingginya
angka infeksi kronik.3
Target VHC adalah sel-sel hati dan mungkin juga limfosit B melalui
reseptor yang mungkin sekali serupa dengan CD 81 yang terdapat di sel hati
maupun limfosit B atau reseptor LDL. Setelah berada dalam sitoplasma hati,
VHC akan melepaskan selubung virusnya dan RNA virus siap untuk melakukan
translasi protein dan kemudian replica RNA. Struktur gen VHC adalah sebuah
RNA rantai tunggal, sepanjang kira-kira 10.000 pasang basa dengan daerah open
reading frame (ORF) diapit susunan nukleotida yang tidak ditranslasikan. Kedua
ujung VHC ini sangat terpelihara sehingga saat ini dipakai untuk identifikasi
adanya infeksi VHC. Transalasi protein VHC dilakukan oleh ribosom sel hati
yang akan membaca RNA VHC dari satu bagian spesifik tersebut.
15% dari kasus infeksi Hepatitis C adalah akut, artinya secara otomatis
tubuh membersihkannya dan tidak ada konsekwensinya. Sayangnya 85% dari
kasus, infeksi Hepatitis C menjadi kronis dan secara perlahan merusak hati
bertahun-tahun. Dalam waktu tersebut, hati bisa rusak menjadi sirosis
(pengerasan hati), stadium akhir penyakit hati dan kanker hati.
Keberadaan genetic HCV memiliki implikasi diagnostic dan klinis, yang
menyebabkan sulitnya pengembangan vaksin dan sedikitnya respon terapi.
Genotipe-1 bertanggung jawab hingga pada 60-65% semua infeksi virus
Hepatitis C di Indonesia dan genotype ini dihubungkan dengan respon
pengobatan yang lebih rendah.3
Struktur gen VHC adalah sebuah RNA untai tunggal, positif sepanjang
kira-kira 10.000 pasang basa dengan daerah open reading frame (ORF) diapit
oleh susunan nukleotida yang tidak ditranslasikan pada masing-masing ujung 5’
dan 3’. Translasi protein VHC dilakukan di ribosom sel hati yang akan mulai
membaca RNA VHC dari satu bagian spesifik (internal ribosom entry site atau
IRES) yang terdapat di region 5’ UTR.
Daerah ORF akan menghasilkan satu poliprotein yang terdiri dari 3011
asam amino. Asam-asam amino yang dihasilkan ORF ini akan diproses oleh
peptidase sel hati untuk protein-protein structural VHC (dari core envelope
region) dan protease-protease yang dikode oleh VHC untuk protein-protein
regulator dari region non-struktural (NS region). Sampai saat ini telah dikenal
3 macam protein structural (core, E1 dan E2) maupun 7 protein non-struktural
(regulator) yaitu: NS2, NS3, p7, NS4a, NS4b, NS5a, dan NS5b.
Terapi hepatitis C saat ini dapat dilakukan dengan strategi pengobatan dual
therapy ( kombinasi Peg-IFN dan ribavirin) atau non dual therapy ( kombinasi DAA
dengan atautanpa regimen Peg-IFN).
b. Ribavirin
Mekanisme kerja ribavirin yaitu :
Menghambat langsung replikasi VHC
Menghambat enzim inosine monophosphate
dehydrogenase pada tubuh pasien
Menginduksi mutagenesis RNA virus
Imunomodulasi melalui induksi sel respon imun T-
helper
Ribavirin cepat diabsoprsi (waktu paruh sekitar 2 jam)
dan didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh setelah
pemberian oral, metabolisme utama terjadi di ginjal.
II. DAA dengan atau tanpa Peg IFN
a. DAA
DAA merupakan tulang punggung utama dalam terapi hepatitis
C saat ini.
Kelompok pertama merupakan NS3/4A protease inhibitor
(berakhiran –previr). NS3 serine protease adalah suatu enzim
yang mengkatalisasi proses post-transkripsi protein yang penting
untuk repkikasi virus hepatitis C dan N untuk S4A adalah
kofaktor dari NS3 untuk mempercepat proses tersebut.
Kelompok obat ini secara langsung menghambat kerja enzim
dan kofaktor tersebut sehingga akan menekan proses replikasi
VHC. NS3/4A protease inhibitor ini terdiri atas dua generasi,
yaitu boceprevir dan telaprevir sebagai generasi pertama dengan
bentuk linear dan barrier genetik rendah ; serta generasi kedua
yang memiliki bentuk makrosiklik, aktivitas pan-genotipik, dan
barrier genetik menengah atau tinggi, yaitu faldaprevir,
simeprevir, asunaprevir, vaniprevir,paritaprevir, grazoprevir,
dan sovaprevir.
Hasil SVR yang tinggi ( >90%) dilaporkan pada sejumlah studi kecil
menggunakan regimen berbasis sofosbuvir. Waktu yang ideal untuk memulai terapi
sampai saat ini masih belum dapat ditentukan secara pasti. Meskipun demikian
pasien dengan infeksi VHCakut dapat diterapi menggunakan terapi regimen
sofosbuvir/ledipasvir (genotipe 1,4,5 atau 6).
TERAPI SUPORTIF
a. Pemberian Hematopoitec
Efek samping hematologi ( anemia , neutropenia, dan
trombositopenia) seringkali terjadi akibat pemberian antivirus pada pasien
dengan penyakit hati tahap lanjut. Ribaverin seringkali menginduksi anemia
hemolitik sedangkan interferon menginduksi neutropenia. Saat ini
penggunaan Hematopoetic growth factor dianjurkan karena dapat
membantu dalam membatasi terjadinya pengurangan (reduksi) dosis terapi.
Terdapat beberapa hematopoetic growth factor yang tersedia, yaitu
eritropoitin rekombinan (EPO), granulocyt colony stimulating factor ( G-
CSF) dan trombopoetin receptor agonist.
b. Eritropoitin Rekombinasi
Pemeberian EPO dapat digunakan untuk mempertahankan kadar
hemoglobin selama pemberian terapi antivirus ditujukan untuk menghindari
reduksi dosis ribavirin. EPO dapat dimulai diberikan apabila kadar Hb
<10g/dl dengan tujuan untuk mempertahankan kadar Hb 10-12
c. Trombopoetin Receptor Agonist
Pemberian terapi antivirus tidak harus dihentikan meskipun
ditemukan kondisi trombositopenia dan pasien dengan kadar trombosit yang
rendah dapat memulai terapi antivirus tanpa adanya resiko terjadinya
perdarahan mayor. Saat ini ada 2 macam trombopoetin receptor agonist
yang tersedia untuk meningkatkan kadar trombosit yaitu romiplostin dan
eltrombopag.
d. Grnulocyte colony-stimulating factor
Pemeberian obat ini untuk menginduksi produksi, diferensiasi,
pelepasam netrofil secara signifikan dalam 24 jam pemeberian GCS-F.
e. Pemberian antidepresan
Depresi merupakan efek samping yang ering muncul pada
pemberian terapu Peg-IFN/RBV dan juga menjadi salah satu alasan terapi
harus dihentikan. Hal ini tentu akan mempengaruhi keberhasilan terapi
antivirus. Pasien yang menunjukkan gejala depresi sebaiknya dilakukan
konsultasi jiwa dulu.
a. Penatalaksanaan hepatitis C tanpa sirosis
mingg
u
Sofosbuvi Sofosbuvi
PegIFN, Grazopre r,
Genoti PegIFN, Sofosbuvir, Sofosbuvir, Sofosbuvir, r,
RBV, vir, Velpatasv
pe RBV RBV Simeprevir Ledipasvir daclatasvi
Sufosbuvir elbasvir ir
r
12
12 minggu (
minggu (
dg RBV)
dg RBV) 12
24-48 atau 24 12
1 12 minggu - atau 24 minggu
minggu minggu minggu
minggu
(tanpa
(tanpa
RBV)
RBV)
16-24 12
2 12 minggu - - minggu
minggu
12
minggu (
3 12 minggu - dengan
RBV)
Respons
e Guide 12
12 minggu (
minggu (
dg RBV)
dg RBV) 12
24-48 atau 24
4 12 minggu atau 24 minggu
minggu minggu
minggu
(tanpa
(tanpa
RBV)
RBV)
12
12 minggu (
minggu (
dg RBV)
dg RBV) 12
atau 24
5 12 minggu atau 24 minggu
minggu
minggu
(tanpa
(tanpa
RBV)
RBV)
12
12 minggu (
minggu (
dg RBV)
dg RBV) 12
atau 24
6 12 minggu atau 24 minggu
minggu
minggu
(tanpa
(tanpa
RBV)
RBV)
Sofo Sufosbo
PegIFN, Sofosbuvi sbuvi Sofosbuvi vir,
Ge Sofosbuvir,
PegIFN, RBV, r, Sofosbuvir, Sofosbuvir, r, r, velpatas
noti RBV,
RBV Sufosbuvi Simeprevi RBV ledipasvir Velp declatasvi avir
pe simeprevir
r r atasv r
ir
12
12 minggu minggu
( dg RBV) ( dg
12 RBV)
1 - atau 24
minggu atau 24
minggu (-
RBV) minggu
(-RBV)
12
minggu
( dg
16-20 12 RBV)
2 Kont
minggu minggu atau 24
Kontra Kontra Kontra Kontra ra
indikasi indikasi indikasi indikasi indik minggu
asi (-RBV)
12
minggu
12 ( dg
minggu ( RBV)
3 - -
dengan atau 24
RBV) minggu
(-RBV)
12 minggu 12 minggu 12
12
4 ( dg RBV) ( dg RBV) minggu
minggu
atau 24 atau 24 ( dg
minggu minggu RBV)
(tanpa (tanpa atau 24
RBV) RBV) minggu
(-RBV)
12
12 minggu 12 minggu minggu
( dg RBV) ( dg RBV) ( dg
atau 24 atau 24 12 RBV)
5
minggu minggu minggu atau 24
(tanpa (tanpa minggu
RBV) RBV) (-RBV)
12
12 minggu 12 minggu minggu
( dg RBV) ( dg RBV) ( dg
atau 24 atau 24 12 RBV)
6
minggu minggu minggu atau 24
(tanpa (tanpa minggu
RBV) RBV) (-RBV)
Hal-hal yang penting untuk memahami terapi virus hepatitis C
Tujuan pengobatan hepatits C adalah untuk eradikasi virus. Bila hal ini
tidak tercapai, maka tujuan berikutnya adalah mencegah terjadinya sirosis
dan komplikasinya serta terjadinya kanker hati.
Bila terjadi respons virology menetap (HCV-RNA negative 24 bulan
setelah terapi) kemungkinan relaps dalam 4 tahun adalah 10%
Respons virus menetap pada pasien sirosis menyebabkan penurunan
komplikasi sirosis
Apabila tidak tercapai respons virus menetap, masih dapat terjadi
pengurangan progresifitas penyakit bila transminase menunjukkan
penurunan.
Pada masa terapi terdapat kemungkinan penurunan kualitas hidup
penderita akan tetapi akan membaik setelah terapi selesai.
Depresi merupakan efek samping yang serius
Anemia dan teratogenitas merupakan efek samping serius terapi dengan
ribavirin.
K. Efek Samping Obat
Keadaan yang memerlukan perhatian khusus apabila diberi terapi interferon
adalah neutropeni ( hitung neutrofil <1500/μ darah, trombositopenia ( hitung
trombosit <85000/ μ), penerima transplantasi organ (selain hati), riwayat
penyakit autoimmune, adanya autoantibody antitiroid dan pasien usia lanjut.
Terdapat beberapa kontra indikasi absolute untuk terapi interferon yaitu
sedang menderita atau memiliki riwayat psikosis atau depresi berat,
kehamilan, kejang-kejang yang tidak terkendali.
Terdapat kontra indikasi relative untuk terapi interferon adalah riwayat
depresi, diabetes mellitus yang tidak terkendali, hipertensi yang tidak
terkendali, retinopati, psoriasis, penyakit jantung simptomatik dan tiroiditis
autoimmune atau penyakit autoimmune lain yang aktif.
Dosis ribavirin sedapat mungkin dipertahankan. Bila terjadi efek samping
anemia, dapat diberikan eritropoietin untuk meningkatkan HB. Pasien yang
menerima IFN-α dan ribavirin dinilai memiliki efek samping hematologi pada
2 dan 4 minggu dan di 4 dan 8 minggu. Fungsi renal teratur di cek jika pasien
menerima sofosbuvir. Ras, photosentif dan peningkatan bilirubin pada obat
simeprevir.
L. Respons Terapi
Respons Virologi, Suatu SVR (sustained virological response), respons
virology menetap) diartikans sebagi tidak terdeteksinya HCV RNA dalam
serum seorang pasien menggunakan metode pemeriksaan dengan sensitivitas
hingga 100 kopi/ml (50 IU/ml) DI 6 bulan setelah terapi selesai. SVR adalah
suatu endpoint yang paling dapat dipercaya dalam mengevaluai suatu terapi.1
Selain SVR, kita juga mengenal beberapa pola respons HCV RNA selama
terapi maupun 6 bulan pasca terapi yaitu null response, partial virologic
response, virologic breakthrough dan relapse. Null response diartikan
sebagai gagalnya pasien untuk mencapai turunnya kadar HCV RNA yang
berarti selama terapi. Partial virologic response adalah suatu keadaan dimana
seorang mengalami penurunan muatan virus >2 log dari nilai baseline tetapi
HCV RNA tetap terdeteksi di minggu ke-24 terapi. Sedangkan virologic
breakthrough adalah terdeteksinya kembali HCV RNA pada pasien yang
kadar HCV RNA nya telah negative selama masa terapi dan relapse diartikan
sebagai munculnya kembali HCV RNA pada pasien yang kadar HCV RNA
nya telah negative setelah selesai terapi.
Respons non-virologi, turunnya kadar SGPT hingga rentan normal diakhir
masa terapi atau seterusnya hingga 6 bulan pasca terapi terus dievaluasi.
Respons histology secara konvensional diartikan sebagai turunnya nilai
inflamasi atau nilai total sebesar 2 point atau lebih dibanding hasil biopsy
sebelum terapi atau turunnya nilai fibrosis sebesar 1 point disbanding hasil
biopsy sebelum terapi.1
Tidak ada vaksin yang dapat melawan infeksi HCV. Penelitian untuk
menemukan vaksin hepatitis telah dilakukan, namun dikarenakan oleh tingginya
tingkat mutasi HCV maka sangatlah sulit untuk mengembangkan vaksin yang
efektif untuk HCV.
N. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan anti-HCV
C. Biopsi hati
DAFTAR PUSTAKA