Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
Infeksi virus hepatitis C adalah suatu masalah kesehatan global. Diperkirakan sekitar 170
juta orang didunia telah terinfeksi secara kronik oleh HCV. Prevalensi global infeksi HCV adalah
2,9%. Rata-rata prevalensi HCV tertinggi dilaporkan di kembangkan pada negara miskin yaitu
di Afrika dan Asia, sedangkan negara yang berkembang dan negara-negara industri memiliki
prevalensi rendah yaitu di Eropa dan Amerika Utara. Negara yang memiliki rata-rata infeksi
kronik tinggi adalah Mesir, Pakistan, dan Cina. Namun, tidak ada data pada negara Afrika
kecuali Mesir, Morocco dan Afrika Selatan.1,2
Salah satu penyebab penyakit hati di Indonesia adalah virus hepatitis C. Infeksi HCV
merupakan masalah yang besar karena sebagian besar kasus menjadi hepatitis kronik yang dapat
membawa pasien pada sirosis hati dan kanker hati (karsinoma hepatoselular) dan merupakan
penyebab tersering transplantasi hati. Di Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, Australia,
Jepang dan Mesir, hepatitis C kronik pada umumnya menyebabkan sirosis dan indikasinya untuk
transplantasi hati juga. Rata-rata resiko berkembang menjadi sirosis adalah dari 5%-25% pada
usia 25-30 tahun.168 juta penduduk di negara ini diperkirakan sudah terinfeksi HCV.2,3
HCV adalah virus hepatitis yang mengandung RNA rantai tunggal yang dapat diproses
secara langsung untuk memproduksi protein-protein virus Sebelum ditemukannya virus hepatitis
C (VHC), dunia medis mengenal 2 jenis virus sebagai penyebab hepatitis, yaitu virus hepatitis A
(VHA) dan virus hepatitis B (HAB). Namun demikian, terdapat juga peradangan hati yang tidak
disebabkan oleh kedua virus ini dan tidak dapat dikenal pada saat itu sehingga dinamakan
hepatitis Non-A, Non B (hepatitis NANB). Pencarian penyebab hepatitis itu kemudian dilakukan
oleh banyak institusi sampai kemudian Choo dan kawan-kawan dengan cara amplifikasi dan
identifikasi genetik berhasil mendapatkan virus penyebab hepatitis yang baru ini. Virus baru ini
kemudian dinamakan virus hepatitis C (HCV).4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Hepar
Hati merupakan organ intestinal terbesar dengan berat diantara 1,2-1,8 kg atau
kurang lebih 25% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar kuadran kanan
atas abdomen. Batas atas hati berada sejajar dengan ruang interkostal V kanan dan batas
bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri.5
Gambar 1. Anatomi Hepar

Sumber: Netter. Interactive Atlas Of Human Anatomy

Secara mikroskopis di dalam hati manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli, setiap


lobules berbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati berbentuk kubus yang tersusun radial
mengelilingi vena sentralis. Ada juga sinusosid yang merupakan cabang vena porta dan
arteri hepatica. Sinusoid dibatasi oleh sel fagositik atau sel kuffer yang merupakan sistem
retikuloendotelial dan berfungsi menghancurkan bakteri dan benda asing lain didalam tubuh.
Gambar 2. Gambaran Mikroskopik Hepar

Sumber: Netter. Interactive Atlas Of Human Anatomy

Tabel 1. Fungsi Hepar


Tabel 1. Fungsi Hati
Metabolisme

Sintesis

Ekskresi
Endokrin
Imunologi

Lain-lain

Karbohidrat
Apolipoprotein
Asam lemak
Asam amino transminasi dan deaminasi
Simpanan vitamin larut dalam lemak
Obat-obatan dan konjugasinya
Urea
Albumin
Faktor pembekuan
Komplemen C3 dan C4
Feritin dan transferin
Protein C reaktif
Haptoglobin
-1antitripsin
2-makroglobulin
seruloplasmin
Sintesis empedu
Metabolit obat
Sintesis 25-hidroksilase vitamin D
Perkembangan limfosit B fetus
Pembuangan kompleks imun sirkulasi
Pembuangan limfosit T CD8 teraktivasi
Fagositosis dan presentasi antigen
Produksi lipopolysaccharide-binding protein
Pelepasan sitokin, seperti TNF-, interferon
Transport immunoglobulin A
Kemampuan untuk regenerasi sel-sel hati
Pengaturan angiogenesis

2.2. Definisi Hepatitis C


VHC (Virus Hepatitis C) adalah virus RNA rantai tunggal dengan selubung
glikoprotein digolongkan kedalam Flavivirus . Terdapat 6 genotipe HCV dan lebih dari 50
subtipe. Respons limposit T yang menurun dan kecenderungan virus untuk bermutasi
nampaknya menyebabkan tingginya angka infeksi kronik.3

Target VHC adalah sel-sel hati dan mungkin juga limfosit B melalui reseptor yang
mungkin sekali serupa dengan CD 81 yang terdapat di sel hati maupun limfosit B atau
reseptor LDL. Setelah berada dalam sitoplasma hati, VHC akan melepaskan selubung
virusnya dan RNA virus siap untuk melakukan translasi protein dan kemudian replica
RNA. Struktur gen VHC adalah sebuah RNA rantai tunggal, sepanjang kira-kira 10.000
pasang basa dengan daerah open reading frame (ORF) diapit susunan nukleotida yang
tidak ditranslasikan. Kedua ujung VHC ini sangat terpelihara sehingga saat ini dipakai
untuk identifikasi adanya infeksi VHC. Transalasi protein VHC dilakukan oleh ribosom
sel hati yang akan membaca RNA VHC dari satu bagian spesifik tersebut.
15% dari kasus infeksi Hepatitis C adalah akut, artinya secara otomatis tubuh
membersihkannya dan tidak ada konsekwensinya. Sayangnya 85% dari kasus, infeksi
Hepatitis C menjadi kronis dan secara perlahan merusak hati bertahun-tahun. Dalam
waktu tersebut, hati bisa rusak menjadi sirosis (pengerasan hati), stadium akhir penyakit
hati dan kanker hati.
Keberadaan genetic HCV memiliki implikasi diagnostic dan klinis, yang
menyebabkan sulitnya pengembangan vaksin dan sedikitnya respon terapi. Genotipe-1
bertanggung jawab hingga pada 60-65% semua infeksi virus Hepatitis C di Indonesia dan
genotype ini dihubungkan dengan respon pengobatan yang lebih rendah.3
Struktur gen VHC adalah sebuah RNA untai tunggal, positif sepanjang kira-kira
10.000 pasang basa dengan daerah open reading frame (ORF) diapit oleh susunan
nukleotida yang tidak ditranslasikan pada masing-masing ujung 5 dan 3. Translasi protein
VHC dilakukan di ribosom sel hati yang akan mulai membaca RNA VHC dari satu bagian
spesifik (internal ribosom entry site atau IRES) yang terdapat di region 5 UTR.

Daerah ORF akan menghasilkan satu poliprotein yang terdiri dari 3011 asam amino.
Asam-asam amino yang dihasilkan ORF ini akan diproses oleh peptidase sel hati untuk
protein-protein structural VHC (dari core envelope region) dan protease-protease yang
dikode oleh VHC untuk protein-protein regulator dari region non-struktural (NS region).
Sampai saat ini telah dikenal 3 macam protein structural (core, E1 dan E2) maupun 7
protein non-struktural (regulator) yaitu: NS2, NS3, p7, NS4a, NS4b, NS5a, dan NS5b.
Table 2. Fungsi Protein-protein VHC
Protein-protein VHC
a. Protein core

b. sE2 (hypervariable region (HVRI dan HVR2)

c.
d.
e.
f.

NS2,3 dan 4A
NS3
NS5B
NS2 dan E

Fungsi
Membungkus RNA VHC untai tunggal positif di
reticulum endoplasma.
Menimbulkan kerusakan sel hati atau fungsi penekanan
imunoregulasi dan apoptosis sel hati yang terinfeksi
VHC.
Mentranslasikan CD81 sebagai reseptor virus untuk
infeksi ke dalam sel.
Memuat sequence yang identik dengan tempat
fosforilasi protein kinase interferon (PKR) yang member
kerentanan VHC terhadap terapi interferon.
Menghasilkan protease
Menghasilkan helikase
Menghasilkan RNA-dependent RNA Polymerase
Menghasilkan protein p7 sebagai saluran ion di
membrane selular

Setelah berada didalam sitoplasma sel hati, VHC akan melepaskan selubung virusnya dan
RNA virus siap untuk melepaskan translasi protein dan kemudian replikasi RNA. Virus ini
bereplikasi melalui RNA polymerase yang akan menghasilkan salinan RNA virus tanpa
mekanisme proof-reading (mekanisme yang akan menghancurkan nukleotida yang tidak persis
sama dengan aslinya). Kondisi ini akan menyebabkan timbulnya banyak salinan-salinan RNA
VHC yang sedikit berbeda namun masih berhubungan satu sama lain pada seorang pasien yang
disebut sebagai quesispecies. Kecepatan replikasi VHC sangat besar, melebihi HIV maupun
VHB.
Tabel 3. Genotip HCV dan karakteristik utama masing-masing genotip
Genotipe

Distribusi

Seluruh dunia

Respons terhadap terapi interferon dan


ribavirin
Moderat (40-50%)-membutuhkan 48
minggu terapi

Keterangan
Merupakan genotip yang
paling sering di Eropa, AS
dan Jepang

Seluruh dunia

Seluruh dunia

Timur Tengah

5
6

Timur jauh
Afrika Selatan

Baik (70-80%)-membutuhkan 24 minggu


terapi
Baik (70-80)-membutuhkan 24 minggu
terapi

Lazim ditemukan pada


pengguna narkoba suntik
di negara berkembang

Baik (60-80%) mungkin membutuhkan


48 minggu terapi, tapi hanya tersedia
sedikit data.
Belum diketahui
Belum diketahui

Pengetahuan tentang genotip ini sangatlah penting karena dapat dipakai untuk
memprediksi respons terhadap terapi antivirus, SVR dan menentukan durasi terapi. Genotip 2
dan 3 adalah genotip yang telah diketahui memiliki respons lebih baik disbanding genotip I.
tingkat respons terhadap terapi kombinasi interferon pegilasi dan ribavirin adalah sekitar 88%
untuk genotip 2 dan 3 serta 48% untuk genotip 1,4,5 dan 6. Karena genotip tidak akan berubah
selama masa infeksi maka pemeriksaan ini tidak perlu diulangi kembali. Derajat beratnya
penyakit (tingkat/stage fibrosis) tidak memiliki kaitan dengan genotip virus.
2.3. Epidemiologi Infeksi Virus Hepatitis C
HCV merupakan masalah kesehatan masyarakat dunia yang amat serius. Infeksi HCV
menjadi pandemi atau wabah global. Orang yang terkena virus ini jauh lebih banyak daripada
seluruh manusia yang terinfeksi Human immunodefidency Virus (HIV). Menurut angka
Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), sedikitnya 175 juta umat manusia terinfeksi HCV. Angka
ini meliputi 3% dari seluruh populasi manusia di Dunia.
Di Indonesia belum ada data resmi mengenai infeksi VHC tetapi dari laporan pada
lembaga transfusi darah didapatkan lebih kurang 2% positif terinfeksi oleh VHC. Pada studi
populasi umum di Jakarta prevalensi VHC lebih kurang 4%. 4 Menurut survai massal subbagaian
Hepatologi FKUI, sekitar 4% penduduk Indonesia terinfeksi HCV.
Tabel 4. Rata-rata prevalensi negara yang terinfeksi HCV

Sumber: World Gastroenterology Organisation Global Guidelines, Diagnosis, Management and Prevention
Of Hepatitis C, April 2013.

Rata-rata prevalensi tertinggi dilaporkan di kembangkan pada negara miskin di


Afrika dan Asia, yang berkembang dan negara-negara industry memiliki prevalensi rendah
yaitu di Eropa dan Amerika Utara. Negara yang memiliki rata-rata infeksi kronik tinggi
adalah Mesir, Pakistan, dan Cina. Sayangnya, tidak ada data pada Negara Afrika kecuali
Mesir, Morocco dan Afrika Selatan.
Hepatitis C kronik pada umumnya menyebabkan sirosis dan indikasinya untuk
transplantasi hati di Eropa, Amerika Utara dan Selatan, Australia, Jepang dan Mesir. Ratarata resiko berkembang menjadi sirosis adalah dari 5%-25% pada usia 25-30 tahun.
Infeksi berjangka dari sakit ringan yang berlangsung hanya beberapa minggu
hingga ke serius (infeksi akut) atau sakit seumur hidup (infeksi kronis). Kurang lebih
80% dari pasien yang terinfeksi virus hepatitis akan menjadi terinfeksi secara kronis, dan
kebanyakan dari pasien menunjukkan bukti hepatitis kronis. Periode inkubasi adalah 14180 hari (rata-rata 45 hari) dan tidak ada vaksin hepatitis C yang sekarang tersedia.
Tabel 5. Rata-rata perkembangan prevalensi hepatitis C

Sumber: World Gastroenterology Organisation Global Guidelines, Diagnosis, Management and Prevention
Of Hepatitis C, April 2013.

2.4. Faktor resiko hepatitis C kronik


Faktor resiko untuk hepatitis C kronik sebagai berikut :
-

Laki-laki
Usia > 25 tahun saat terkena infeksi
Infeksi akut asimptomatik
Etnis Afrika-amerika
Infeksi HIV
Imunosupresi
Diagram Lingkaran 1. Sumber Infeksi HCV di USA

Sumber: Viral Hepatitis Surveillance, USA 2009/2011. Division of Viral Hepatitis and National Center for
HIV/AIDS, Viral Hepatitis, STD, and TB Prevention.
http://www.cdc.gov/hepatitis/Statistics/2009Surveillance/Commentary.htm

Faktor-faktor resiko untuk infeksi HCV1


a. IDU (intravenous drug use): jalur penularan paling lazim dinegara berkembang.
Penggunaan narkoba suntik bisa saja telah berhenti bertahun-tahun sebelum terdiagnosis.

Penggunaan narkoba lain (misal: kokain hirup)


b. Tranfusi darah dan produk darah: sering ditemukan pada mereka yang menerima
transfuse sebelum tahun 1990, tapi sudah jarang saat ini di negara berkembang.
c. Narapidana: peyalahgunaan obat yang menyebabkan seseorang dipenjara atau
penyalahgunaan narkoba suntik di penjara.
d. Terapi di RS: hemodialisis masih memiliki resiko penularan yang tinggi.
e. Infeksi pada ibu hamil: resiko penularan ke anak <5%, kecuali bila ada ko-Infeksi dengan
HIV
f. Infeksi pada anggota keluarga: anggota keluarga tidak boleh berbagi peralatan yang bisa
terpapar darah seperti alat cukur dan sikat gigi. Namun, sangat rendah.
g. Tindik Badan: resiko penularannya sangat kecil
h. Hubungan seksual: resiko penularannya sangat kecil.
Infeksi hepatitis C biasanya progresif lambat pada periode beberapa tahun antara 5%
dan 15% pada pasien dengan kronik hepatitis mungkin berkembang menjadi sirosis hepatic
pada usia 20 tahun. Dalam 4-9% pasien dengan sirosis akan berkembang progressive
menjadi gagal hati, dan 1-4% tiap tahunnya beresiko berkembang menjadi hepato seluler
karsinoma (HCC).
Diperkirakan 70-80%, pasien dengan hepatitis asimptomatik, pada hepatitis akut
atau kronik semua tipe virus menimbulkan gejala yang sama dan disimpulkan diikuti oleh
lemas, nyeri abdomen, kuning, dan nafsu makan berkurang.
Transmisi HCV terjadi melalui paparan darah yang tercemar. Paparan ini biasanya
terjadi pada pengguna narkoba suntik, transfusi darah (sebelum 1992), pencangkokan
organ dari donor yang terinfeksi, praktek medis yang tak aman, paparan okupasional
terhadap darah yang tercemar, kelahiran dari ibu yang terinfeksi, hubungan seksual dengan
orang yang terinfeksi, perilaku seksual risiko.
2.5. Pathogenesis Hepatitis C
Gambar 4. Siklus hidup HCV

Proses siklus kehidupan HCV dengan cara:


HCV masuk ke dalam hepatosit dengan mengikat suatu reseptor permukaan sel yang
spesifik. Reseptor ini belum teridentifikasi secara jelas, namun protein permukaan sel
CD81 adalah suatu HCV binding protein yang memainkan peranan dalam masuknya
virus. Salah satu protein khusus virus yang dikenal sebagai protein E2 menempel pada
reseptor site di bagian luar hepatosit.
Kemudian protein inti dari virus menembus dinding sel dengan suatu proses kimiawi,
dimana selaput lemak bergabung dengan dinding sel dan selanjutnya dinding sel akan
melingkupi dan menelan virus serta membawanya kedalam hepatosit. Di dalam hepatosit,
selaput virus (nukleokapsid) melarut dalam sitoplasma dan keluarlah RNA virus (virus
uncoating) yang selanjutnya mengambil alih peran bagian dari ribosom hepatosit dalam
membuat bahan-bahan untuk proses reproduksi.
Virus dapat membuat sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya sendiri.
Selama proses ini virus menutup fungsi normal hepatosit atau membuat lebih banyak lagi
hepatosit yang terinfeksi. Virus lalu membajak mekanisme sintesis protein hepatosit
dalam memproduksi protein yang dibutuhkannya untuk berfungsi dan berkembang biak.
RNA virus dipergunakan sebagai cetakan (template) untuk produksi masal poliprotein
(proses translasi).

10

Poliprotein dipecah dalam unit-unit protein yang lebih kecil. Protein ini ada 2 jenis yaitu
protein structural dan regulatori. Protein regulatori memulai sintesis kopi virus RNA asli.
Sekarang RNA virus mengopi dirinya sendiri dalam jumlah besar (miliaran kali) untuk
menghasilkan bahan dalam membentuk virus baru. Hasil kopi ini adalah bayangan
cermin RNA orisinal dan dinamai RNA negative. RNA negative lalu bertindak sebagai
cetakan (template) untuk memproduksi serta RNA positif yang sangat banyak yang
merupakan kopi identik materi genetic virus.
Proses ini berlangsung terus dan memberikan kesempatan untuk terjadinya mutasi genetic
menghasilkan RNA untuk strain baru virus dan subtype virus hepatitis C. setiap kopi
virus baru berinteraksi dengan protein structural, yang kemudian akan membentuk
nukleokapsid dan kemudian inti virus baru. Amplop protein kemudian akan melapisi inti
virus baru.
Virus dewasa kemudian dikeluarkan dari dalam hepatosit menuju ke pembuluh darah
menembus membrane sel.
Studi mengenai mekanisme kerusakan sel-sel hati VHC masih sulit dilakukan karena
terbatasnya kultur sel untuk VHC dan tidak adanya hewan kecuali simpanse yang
dilindungi. Kerusakan sel hati oleh VHC atau partikel virus secara langsung masih belum
jelas. Namun beberapa bukti menunjukkan adanya mekanisme imunologis yang
menyebabkan kerusakan sel-sel hati. Protein core misalnya ditengarai dapat menimbulkan
reaksi pelepasan radikal oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini diketahui pula
mampu berinteraksi pada mekanisme signaling dalam inti sel terutama berkaitan dengan
penekanan regulasi imunologik dan apoptosis. Adanya bukti-bukti ini menyebabkan
kontroversi apakah VHC bersifat sitotoksik atau tidak, terus berlangsung.4
Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya
eliminasi menyeluruh VHC pada infeksi akut. Pada infeksi kronik, reaksi CTL yang
relative lemah masih mampu merusak sel-sel hati dan melibatkan respon inflamasi di hati
tetapi tidak bisa menghilangkan respon inflamasi di hati tetapi tidak bisa menghilangkan
virus maupun menekan evolusi genetik VHC sehingga kerusakan sel hati berjalan terus
menerus. Kemampuan CTL tersebut dihubungkan dengan aktivitas limfosit sel T-helper
(Th) spesifik VHC. Adanya pergeseran dominasi aktivitas Th 1 menjadi Th 2 berakibat
pada reaksi toleransi dan melemahnya respon CTL.4

11

Reaksi inflamasi yang dilibatkan melalui sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti TNF-,


TGF-1, akan menyebabkan aktivitas sel-sel stelata di ruang disse hati. Sel-sel yang khas
ini sebelumnya dalam keadaan tenang (quiescent) kemudian berproliferasi dan menjadi
aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat menghasilkan matriks kolagen sehingga
terjadi fibrosis dan berperan aktif dalam menghasilkan sitokin-sitokin pro-inflamasi.
Mekanisme ini dapat timbul terus-menerus karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak
berhenti sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel-sel hati yang ada semakin
sedikit. Proses ini dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosis hati.4
Pada gambaran histopatologis pasien hepatitis C kronik dapat ditemukan proses
inflamasi kronik berupa nekrosis gerigit, maupun lobular, disertai dengan fibrosis di daerah
portal yang lebih lanjut dapat masuk ke lobules hati (fibrosis septal) dan kemudian dapat
menyebabkan nekrosis dan fibrosis jembatan (bridging necrosis/fibrosis). Gambaran yang
agak khas untuk infeksi VHC adalah agregat limfosit di lobules hati namun tidak
didapatkan pada semua kasus inflamSasi akibat VHC.4
Gambaran histopatologis pada infeksi kronik VHC sangat berperan dalam
menentukan prognosis dan keberhasilan terapi. Secara histopatologis dapat dilakukan
scoring untuk inflamasi dan fibrosis di hati sehingga memudahkan untuk keputusan terapi,
evaluasi pasien maupun komunikasi antara ahli patologi.4
Saat ini sistem scoring yang mempunyai variasi intra dan interoobserver yang
baik diantaranya adalah METAVIR dan ISHAK.
Sistem skoring Metavir digunakan untuk menilai pasien dengan hepatitis C.
Tingkatan tersebut berdasarkan derajat inflamasi yang terjadi pada hepar antara lain:
0 : yaitu tidak ada luka
1 : luka yang minimal
2 : luka yang terjadi dan meluas ke area dari hepar termasuk pembuluh darah
3 : fibrosis sudah mulai menyebar dan menghubungkan dengan area lain
4 : sirosis dengan luka tingkat lanjut
Gambaran Klinis
Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi yang dibagi dalam empat tahap yaitu:
1. Fase Inkubasi

12

Fase inkubasi merupakan waktu diantara masuknya virus dan saat timbulnya gejala
atau ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya tiap hepatitis virus tergantung pada dosis
inokulan yang ditularkan dan jalur penularan. Makin besar dosis inokulan makin
pendek fase inkubasinya.
2. Fase Prodormal (Pre Ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan pertama dan gejala timbulnya ikterus. Biasanya
ditandai dengan malaise umum, mialgia, atralgia, mudah lelah, gejala saluran napas
atas dana anoreksia. Mual, muntah dan anoreksia berhubungan dengan perubahan
penghidu dan rasa kecap. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya
ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrium yang kadang diperberat
dengan aktivitas.
3. Fase Ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari timbunya gejala atau dapat bersamaan dengan
munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi. Setelah timbulnya
ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodormal dan justru akan terjadi perbaikan
klinis yang nyata.
4. Fase Konvalesen
Fase yang diawali dengan menghilangnya gejala dan ikterus, tetapi hepatomegali dan
abnormalitas fungsi hati tetap ada. Keadaan akut biasanya akan membaik dalam 2-3
minggu. Pada 5%-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditanganim
hanya kurang dari 1% yang menjadi fulminan.
Pada umumnya infeksi akut VHC tidak memberikan gejala atau bergejala
minimal. Hanya 20-30% yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis akut 7-8 minggu
setelah terjadinya paparan. Walaupun demikian, infeksi akut sangat sukar dikenali karena
pada umumnya tidak terdapat gejala sehingga sulit pula menentukan perjalanan penyakit
akibat infeksi HCV.
Beberapa laporan menyatakan bahwa pada infeksi hepatitis C akut didapatkan
adanya gejala malaise, mual dan ikterus seperti halnya hepatitis akut karena virus lain.
Hepatitis fulminan sangat jarang terjadi. ALT meningkat sampai beberapa kali di atas
batas normal tetapi umumnya tidak melebihi 1000U/ liter.
Sekitar 70-80% orang yang terinfeksi HCV menjadi carrier kronis dengan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan serta merupakan penyebab utama sirosis hati,
penyakit hati stadium akhir dan kanker hati. Sering kali proses ini tidak menimbulkan

13

gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Hilangya VHC setelah
hepatitis kronis sangat jarang terjadi. Diperlukan waktu sekitar 20-30 tahun untuk terjadi
sirosis hati yang akan terjadi pada 15-20% pasien hepatitis C kronis. Sekitar 15-25% dari
orang yang terinfeksi dapat sembuh tanpa pengobatan dengan alasan yang tidak
diketahui. (CDC)
Kerusakan hati akibat infeksi kronik tidak dapat tergambar pada pemeriksaan fisik
maupun labaratorik kecuali bila sudah terjadi sirosis hati. Pada pasien dimana ALT selalu
normal, 18-20% sudah terdapat kerusakan hati bermakna, sedangkan diantara pasien
dengan peningkatan ALT, hampir semua sudah mengalami kerusakan hati sedang sampai
berat. Progesivitas hepatitis kronis menjadi sirosis tergantung beberapa faktor antara lain
asupan alcohol, koinfeksi dengan hepatitis B atau HIV, jenis kelamin laki-laki dan usia
tua saat terjadinya infeksi. Setelah terjadi sirosis hati, maka dapat timbul kanker hati
dengan frekuensi 1-4% tiap tahunnya. Kanker hati dapat terjadi tanpa melalui sirosis hati
walaupun kondisi seperti ini jarang terjadi.
Koinfeksi HCV dengan HIV diketahui menjadi masalah karena dapat
memperburuk perjalanan penyakit hati yang kronik, mempercepat terjadinya sirosis hati
dan mungkin pula mempercepat penurunan sistem kekebalan tubuh. Adanya koinfeksi
tersebut juga mempersulit pengobatan dengan anti retrovirus karena memperbesar porsi
pasien yang menderita gangguan fungsi hati dibandingkan dengan pasien tanpa koinfeksi
HIV. Di Indonesia, kasus ini sering terjadi pada pengguna jarum suntik yang
menggunakan alat suntik bergantian.
Selain gejala-gejala gangguan hati, dapat pula timbul manifestasi ekstra hepatic
antara

lain

crioglobunemia

dengan

komplikasi-komplikasinya

(glomerulopati,

kelemahan, vaskulitis, purpura dan atralgia), sicca syndrome, lichen planus dan
porphyria cutanea tarda. Patofisiologi manifestasi gejala ekstra hepatic belum diketahui
dengan jelas namun dihubungkan dengan kemampuan VHC untuk menginfeksi sel-sel
limfoid sehingga mengganggu respon sistem imunologis. Sel-sel limfoid yang terinfeksi
dapat berubah sifatnya menjadi ganas karena dilaporkan tingginya kejadian limfoma non
Hodgin pada pasien dengan infeksi HCV.
2.6. Diagnosis dan Skrining Hepatitis C

14

Infeksi HCV didiagnosis menggunakan tes dari antibodi spesifik menggunakan


enzim link immunoassay (ELISA). Adanya antibodi HCV menunjukkan bahwa orang
tersebut telah terinfeksi virus HCV, tapi bukan indikasi apakah infeksi tersebut akut, kronik
atau menetap.
Diagnosis hepatitis C akut berdasarkan:
-

Peningkatan alanine aminotransferase (ALT; lebih dari 10x)


Dengan atau tanpa jaundie
Deteksi serum HCV RNA
Diikuti anti-HCV serokonversi minggu selanjutnya.

Kelompok resiko infeksi HCV antara lain :


-

Orang yang menerima transfusi darah


Orang yang menjalani prosedur operasi
Tawanan, ada tindik dan tato hidung atau telinga.
Pekerja sex, pengguna obat intravena, tenaga medis,
Orang yang menjalani perawatan gigi
Pasien dialisis, thalasemia atau hemofilia dengan multiple transfusi.
Keluarga yang pernah terinfeksi HCV
Anak yang lahir dengan infeksi HCV
Pengguna jarum suntik

Tabel 6. Interpretasi Tes HCV

Sumber: World Gastroenterology Organisation Global Guidelines, Diagnosis, Management and Prevention
Of Hepatitis C, April 2013.

2.7. Interpretasi Hasil Laboratorium untuk Hepatitis C


Pemeriksaan laboratorium yang digunakan antara lain:

Anti HCV untuk mengetahui apakah penderita terpapar hepatitis C


HCV RNA kuantitatif untuk mengetahui seberapa besar aktivitas virus hepatitis C

Tabel 7. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Hepatitis C


Pemeriksaan

Hasil

Interpretasi

15

Kemungkinan Lain

Anti-HCV
HCV RNA PCR

Negatif
Negatif

Tidak terinfeksi

Anti-HCV
HCV RNA PCR

Negatif
Positif

Infeksi akut

Anti-HCV
HCV RNA PCR

Positif
Negatif

Infeksi
yang
telah
meredah (Past resolved
infection)

Anti-HCV
HCV RNA PCR

Positif
Positif

Masa
inkubasi
previous infection
clearance
seroconversion
-

dan
with
and

Positif palsu dari hasil


antibodi
dan
kondisi
kronik infeksi dengan
transient PCR RNA yang
undetectable
(Chronic
infection with transiently
undetectable RNA PCR)
-

2.8. Diagnosis Hepatitis Akut dan Hepatitis Kronik C


Tidak seperti hepatitis B, pemeriksaan konvensional untuk mendeteksi keberadaan
antigen-antigen HCV tidak bersedia, sehingga pemeriksaan untuk mendiagnosis infeksi
HCV bergantung pada uji serologi untuk memeriksa antibodi dan pemeriksaan molekuler
untuk partikel virus.
Diagnosis HCV akut dan kronik berdasarkan deteksi RNA HCV. Anti HCV
antibody dapat diketahui oleh enzyme immunoassay (EIA) pada sebagian besar pasien
yang terinfeksi HCV, tapi bisa hasilnya negative pada pasien yang baru terkena hepatitis
akut dan pada pasien immunosupresi. Tidak semua pasien yang HCV akut hasil anti HCV
positif dalam diagnosis.
Antibodi anti-HCV adalah pemeriksaan lini pertama untuk infeksi HCV. Pada kasus
hepatitis C akut atau immunocompromise, test RNA HCV bisa menjadi bagian evaluasi
awal. Jika antibodi anti-HCV dideteksi, HCV RNA harus ditentukan oleh metode sensitive
molecular. Jika individu Anti-HCV positif, HCV-RNA negative maka diuji ulang HCV
RNA 3 bulan kemudian untuk mengkonfirmasi penyembuhan.

16

Dari semua individu dengan hepatitis akut, 75-80% akan berkembang menjadi
infeksi kronik. Diagnosis banding dari hepatitis C akut adalah hepatitis virus (hepatitis A,
B, atau E; Epstein-Barr dan Cytomegalovirus (CMV)), hepatitis alkoholik, hepatitis kronik
aktif autoimun, hepatitis drug-induced, penyakit Wilson.
Infeksi HCV sangat jarang terdiagnosis pada saat infeksi fase akut. Manifestasi klinis
bisa saja muncul dalam waktu 7-8 minggu (dengan kisaran 2-26 minggu) setelah
terpapar dengan HCV. Sebagian besar HCV tidak menunjukkan gejala atau jika
menunjukan gejala, hanya gejala ringan. Pada HCV akut biasanya ada jaundice,
malaise, dan nausea. Infeksi berkembang menjadi kronik hanya sebagian dan biasanya
tidak menunjukkan gejala juga. Hal ini menyebabkan sulitnya menilai perjalanan
alamiah infeksi HCV.
Setelah paparan awal pada infeksi akut, RNA HCV dapat dideteksi dalam darah 1-3
minggu. Kerusakan sel hati ditunjukkan dengan peningkatan kadar alanine amino
transferase (ALT). infeksi akut dapat menjadi berat, namun jarang menjadi fulminan.
Gejala klinik biasanya jarang dijumpaia namun dapat berupa malaise, letih, anoreksia dan
ikterik. Gejala biasanya berkurang setelah beberapa minggu seraya diikuti turunnya ALT.
Infeksi HCV kronik didiagnosis dengan deteksi RNA HCV yang menetap dalam
darah selama sekurang-kurangnya 6 bulan. Faktor yang berkaitan dengan kesembuhan
spontan infeksi HCV meliputi umur lebih muda, wanita, dan beberapa gen komplek
histokompatibilitas mayor (MHC).
Gejala sisa infeksi HCV tersering adalah penyakit hati menahun, fibrosis hati
progresif yang berakhir pada sirosis, dan KHS. Perkiraan proporsi orang yang terkena
infeksi kronik yang mendapatkan sirosis 20 tahun setelah infeksi awal bervariasi antara 24% pada anak-anak hingga tertinggi 20-30% pada orang dewasa yang ditransfusi. Banyak
faktor yang meningkatkan resiko yaitu usia lebih tua pada saat infeksi, gender pria,
keadaan immunokompremais seperti HIV, muatan virus, genotype virus. Selain itu, yang
mempunyai dampak penting seperti infeksi bersama dengan hepatitis B, kelebihan besi,
perlemakan hati non alkaholik, ko-infeksi skistosomiasis, obat-obatan dengan potensi
hepatotoksik serta kontaminasi lingkungan.
Pasien dengan hepatitis C kronik dapat datang dengan manifestasi atau gejala
ekstrahepatik

yang

biasanya

karena

respons

17

imun

seperti

gejala

rematoid,

keratokonjungtivitis

sicca,

lichen

planus,

glomerulonefritis,

limpoma,

dan

krioglobulinemia esensial campuran. Hepatitis C kronik juga berhubungan dengan porfiria


cutanea tarda. Gangguan psikologis termasuk depresi dijumpai pada infeksi HCV pada 2030% kasus.

2.9. Management Infeksi Hepatitis C


2.9.1. Treatment pada hepatitis C akut
Pasien dengan hepatitis C akut harus dipertimbangkan untuk terapi antivirus
dalam mencegah perkembangan menjadi hepatitis C kronis dengan tingkat SVR tinggi (>
90%) telah dilaporkan dengan monoterapi pegylated IFN-, pada dasarnya dalam
serangkaian pasein yang menunjukkan gejala, kecuali dari genotype HCV. Terapi
kombinasi dengan ribavirin tidak meningkatkan tingkat SVR dalam pengaturan ini, tetapi
digunakan dipertimbangkan selama pengobatan pada pasien dengan respon yang lambat
dan predictor negative lain dari respon pengobatan.
Waktu yang ideal untuk pemberian terapi belum jelas. Beberapa penelitian
memperkirakan bahwa terjadinya ALT elevasi, dengan atau tanpa gejala klinis, mungkin
ideal untuk waktu pemberian terapi. Hal ini dijelaskan kepada pasien bahwa pengobatan ini
harus diikuti selama 4 mingguan dengan RNA HCV kuantifikasi dan HCV tetap positif
pada 12 minggu dari inset harus diperlakukan.
Rekomendasi untuk pengobatan pasien dengan hepatitis C akut hanya dapat
disimpulkan dari hasil di apriori lebih sulit untuk penyembuhan pasien terinfeksi kronik.
Saat ini ada indikasi untuk pembarian IFN- sebagai profilaksis pasca paparan dengan
tidak adanya dokumentassi penularan HCV.
2.9.2. Treatment baru dalam Perspektif

HCV lainnya telah mencapai akhir klinis Developmen Tahap Data IIItealah disajikan
untuk kombinasi dari pegylated IFN-, ribavirin dan faldeprevir. Tahap III data akan

18

disajikan dalam presentasi April 2014 untuk kombinasi dosis tetap sofosbuvir dan
ledipasvir, dan untuk kombinasi tiga obat ritonavir meningkatkan ABT-450, ombitasvir
(bekas ABT-267), dan dasabuvir (bekas ABT-333). Tujuan dari pengobatan infeksi HCV
adalah mengurangi virus dan komplikasi terkait.
2.9.3. Treatment Goals
Pasien dengan infeksi akut HCV telah diselesaikan tanpa terapi tidak membutuhkan
treatment antivirus. Tergantung dari sumber infeksi, antara 15% dan 50% dari pasien dilaporkan
sembuh spontan.
Terdapat 3 sasaran dari terapi hepatitis C yaitu mencegah terjadinya sirosis dan
komplikasinya, mengurangi manifestasi ekstrahepatik dan mencegah kontaminasi atau penularan
kepada orang lain.
Pasien yang teinfeksi HCV genotype 1 diobati dengan kombinasi IFN pegilasi,
ribavirin (1000 atau 1200 mg pada pasien <75kg atau >7,5 kg.) dan sofosbuvir (400mg) 12
minggu. (pilihan pertama).8
Pasien yang teinfeksi HCV genotype 1 diobati dengan kombinasi IFN pegilasi,
ribavirin (1000 atau 1200 mg pada pasien <75kg atau >7,5 kg.) dan simeprivir (150 mg) (pilihan
ke 2). Kombinasi ini tidak direkomendasikan pada pasien dengan infeksi suptipe 1a. simeprevir
diberikan 12 minggu dengan kombinasi IFN-dan ribavirin. IFN- dan ribavirin kemudian
diberikan sendiri sebagai penambah selama 12 minggu. Jadi jumlah total pengobatan selama 24
minggu (nave and prior relapse patients ) dan ditambah 36 minggu jika pada sirosis total
pengobatan menjadi 48 minggu (prior partial and null responders termasuk sirosis). HCV RNA
dimonitor selama pengobatan. Pengobatan di stop jika HCV RNA 25 IU/ml diobati 4 minggu,
12 minggu atau 24 minggu. ( pilihan ke 2 pada genotype 2).8
Pasien yang terinfeksi HCV genotype ke 2 harus diobati dengan ribavirin diberikan tiap
hari, tergantung berat badan (1000 atau 1200 mg pada pasien <75 kg atau >75 kg) , dan
sofosbuvir tiap hari 400 mg 12 minggu. Terapi harus prolong ke 16 atau 20 minggu pada pasien
dengan sirosis.8
Pasien dengan infeksi HCV genotype 3 diobati dengan kombinasi IFN- pegilasi
mingguan, ribavirin diberikan tiap hari, tergantung berat badan (1000 atau 1200 pada pasien <75
kg atau >75kg) dan sofosbuvir (400 mg) 12 minggu.8

19

Pasien dengan infeksi HCV genotype 4 diobati dengan kombinasi IFN- pegilasi
mingguan, ribavirin (1000 atau 1200 pada pasien <75 kg atau >75kg) dan sofosbuvir (400 mg)
12 minggu. Obat sofosbuvir bisa diganti dengan simeprevir 150 mg atau daclatasvir 60 mg
selama 24 minggu atau juga sofosbuvir 400 mg selama 24 minggu.8
Pasien dengan infeksi HCV genotype 5 atau 6 harus diobati dengan kombinasi IFN-
pegilasi mingguan, ribavirin diberikan tiap hari, tergantung berat badan (1000 atau 1200 pada
pasien <75 kg atau >75kg) dan sofosbuvir (400 mg) 12 minggu.8
Pasien dengan hepatitis akut dipertimbangkan pemberian terapi antivirus untuk
mencegah terjadinya hepatitis C kronik. Rata-rata SVR >90% tinggi untuk pemberian IFN-
peglasi monoterapi tanpa menghiraukan HCV genotipenya. IFN- peglasi monoterapi yaitu IFN2a peglasi, 180g/minggu atau IFN-2b peglasi, 1,5 g/kg/minggu selama 24 minggu.
Kombinasi terapi dengan ribavirin tidak meningkatkan nilai SVR. IFN- peglasi akan
dikombinasi dengan ribavirin (1000 atau 1200 mg pada pasien <75 kg atau >75 kg selama 24
minggu pada pasien hepatitis C akut yang co-infeksi HIV. Tidak ada data yang tersedia tentang
penggunaan sofosbuvir, simeprevir atau daclatasvir pada pasien dengan hepatitis C akut.
Perbedaan profil farmakokinetik dari interferon -2b dan -2a pegilasi
PK Parameter
Distribusi Volume
Klirens
Absorpsi paruh waktu (jam)
Eliminasi waktu paruh (jam)
T (jam)
Peak-to-throug ratio

PEG-IFN-2b (12 kDa)


0,99 L/kg
220 ml/h/kg
4,6
Approximately 40
15-44
>10

PEG-IFN-2a (12 kDa)


8-12 L
60-100 ml/h
50
65
80
1,5-2,0

Pasien hemodialisa, khususnya kandidat yang tlansplantasi ginjal, dipertimbangkan untuk


terapi antivirus. Pasien hemodialisa menerima IFN-free jika ribavirin-free regimen. Namun,
tidak ada dosis yang aman dan mujarab, dan membutuhkan dosis yang cocok untuk sofosbuvir,
simeprevir dan daclatasvir tidak diketahui. Sofosbuvir tidak diberikan pada pasien dengan eGFR
<30 ml/min/1,73 m2 atau dengan penyakit gagal ginjal.
IFN- peglasi dosisnya dikurangi pada kasus dengan efek samping seperti depresi sedang
dan nilai netroufil dibawah 750/mm3, atau jumlah platelet dibawah 50.000/mm3. Ketika

20

menggunakan IFN-2a, dosisnya dikurangi dari 180g/minggu ke 135 g/minggu, dan kemudian
ke 90 g/minggu. Ketika menggunakan IFN-2b, dosisnya dikurangi dari 1,5 g/kg/minggu ke
1,0 g/kg/minggu, dan kemudian ke 0,5 g/kg/minggu. IFN- peglasi di hentikan pada kasus
adany tanda depresi, jika jumlah neutropil dibawah 500/mm 3 atau platelet dibawah 25.000/mm3.
Jika neutropil atau platelet meningkat dari nilai titik terendah maka pengobatannya diulang, tapi
dosisnya dikurangi. Ribavirin distop jika hemoglobin dibawah 8,5 g/dl.

Hal-hal yang penting untuk memahami terapi virus hepatitis C


Tujuan pengobatan hepatits C adalah untuk eradikasi virus. Bila hal ini tidak tercapai,
maka tujuan berikutnya adalah mencegah terjadinya sirosis dan komplikasinya serta
terjadinya kanker hati.
Bila terjadi respons virology menetap (HCV-RNA negative 24 bulan setelah terapi)
kemungkinan relaps dalam 4 tahun adalah 10%
Respons virus menetap pada pasien sirosis menyebabkan penurunan komplikasi sirosis
Apabila tidak tercapai respons virus menetap, masih dapat terjadi pengurangan
progresifitas penyakit bila transminase menunjukkan penurunan.
Pada masa terapi terdapat kemungkinan penurunan kualitas hidup penderita akan tetapi
akan membaik setelah terapi selesai.
Depresi merupakan efek samping yang serius
Anemia dan teratogenitas merupakan efek samping serius terapi dengan ribavirin.
Anjuran Pengobatan HCV pada Genotipe 1

21

Rekomendasi pengobatan HCV Genotipe 2 dan 3

Rekomendasi Pengobatan HCV dengan Genotipe 4,5 dan 6

22

Tabel 9. Rekomendasi terapi pada Hepatits C

2.10. Efek Samping Obat


Keadaan yang memerlukan perhatian khusus apabila diberi terapi interferon adalah
neutropeni ( hitung neutrofil <1500/ darah, trombositopenia ( hitung trombosit <85000/
), penerima transplantasi organ (selain hati), riwayat penyakit autoimmune, adanya
autoantibody antitiroid dan pasien usia lanjut.

23

Terdapat beberapa kontra indikasi absolute untuk terapi interferon yaitu sedang
menderita atau memiliki riwayat psikosis atau depresi berat, kehamilan, kejang-kejang
yang tidak terkendali.
Terdapat kontra indikasi relative untuk terapi interferon adalah riwayat depresi,
diabetes mellitus yang tidak terkendali, hipertensi yang tidak terkendali, retinopati,
psoriasis, penyakit jantung simptomatik dan tiroiditis autoimmune atau penyakit
autoimmune lain yang aktif.
Dosis ribavirin sedapat mungkin dipertahankan. Bila terjadi efek samping anemia, dapat
diberikan eritropoietin untuk meningkatkan HB. Pasien yang menerima IFN- dan
ribavirin dinilai memiliki efek samping hematologi pada 2 dan 4 minggu dan di 4 dan 8
minggu. Fungsi renal teratur di cek jika pasien menerima sofosbuvir. Ras, photosentif dan
peningkatan bilirubin pada obat simeprevir.
Flu-like

symptom

sering

terjadi

setelah

pemberian

injeksi

IFN-.

Mereka

mengendalikannya dengan pemberian paracetamol setelah 4-6 minggu terapi. TSH diukur
setiap 12 minggu saat terapi. Sakit kepala dan lelah pada sofosbuvir.
2.11. Respons Terapi
Respons Virologi, Suatu SVR (sustained virological response), respons virology menetap)
diartikans sebagi tidak terdeteksinya HCV RNA dalam serum seorang pasien menggunakan
metode pemeriksaan dengan sensitivitas hingga 100 kopi/ml (50 IU/ml) DI 6 bulan setelah
terapi selesai. SVR adalah suatu endpoint yang paling dapat dipercaya dalam mengevaluai
suatu terapi.1
Selain SVR, kita juga mengenal beberapa pola respons HCV RNA selama terapi
maupun 6 bulan pasca terapi yaitu null response, partial virologic response, virologic
breakthrough dan relapse. Null response diartikan sebagai gagalnya

pasien untuk

mencapai turunnya kadar HCV RNA yang berarti selama terapi. Partial virologic response
adalah suatu keadaan dimana seorang mengalami penurunan muatan virus >2 log dari nilai
baseline tetapi HCV RNA tetap terdeteksi di minggu ke-24 terapi. Sedangkan virologic
breakthrough adalah terdeteksinya kembali HCV RNA pada pasien yang kadar HCV RNA
nya telah negative selama masa terapi dan relapse diartikan sebagai munculnya kembali
HCV RNA pada pasien yang kadar HCV RNA nya telah negative setelah selesai terapi.
Respons non-virologi, turunnya kadar SGPT hingga rentan normal diakhir masa
terapi atau seterusnya hingga 6 bulan pasca terapi terus dievaluasi. Respons histology

24

secara konvensional diartikan sebagai turunnya nilai inflamasi atau nilai total sebesar 2
point atau lebih dibanding hasil biopsy sebelum terapi atau turunnya nilai fibrosis sebesar 1
point disbanding hasil biopsy sebelum terapi.1

Singkatan
LVL
HVL
RVR
eRVR

Deskripsi
Low viral load
High viral load
Rapid viral response
Extended
rapid
viral
response

Defining HCV RNA level


< 400.000 IU/mL
>400.000 IU/mL
Tidak terdeteksi
Tidak
terdeteksi;
menggunakan tiga terapi
dengan telaprevir
Tidak terdeteksi (<50
IU/mL)

Waktu

EVR

Early viral response

NR

Null response

Lebih dari 2 log 10


penurunan (IU/mL) dari
tingkat baseline

Setelah 12 minggu terapi

LVR

Late viral response

Lebih dari
penurunan

log

10

Terdeteksi setelah
minggu terapi

DVR

Delayed viral response

Lebih dari
penurunan

log

10

Tidak terdeteksi setelah 24


minggu terapi

EOTR, ETR, or ETVR

End-of-treatment
response

Tidak terdeteksi

Pada akhir terapi

SVR

Sustained viral response

Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi

24 minggu setelah selesai


terapi
Diakhir terapi

Diulang kemunculan

Setelah akhir terapi

Lebih dari 2 log 10


penurunan dari baseline

Pada 12 minggu terapi;


terdeteksi pada minggu
24.

Relapse

Relapse

PR

Partial
response
partialnonresponse

(viral)

or

25

Setelah 4 minggu terapi


Pada minggu ke 4 dan
minggu ke 12
Setelah 12 minggu terapi

12

BT

Breakthrough

Diulang kemunculan

Setiap
saat
selama
pengobatan setelah respon
virus.

Sumber: World Gastroenterology Organisation Global Guidelines, Diagnosis, Management and Prevention
Of Hepatitis C, April 2013.

Tabel 11. Pola Respon Virus dengan Terapi Penginterferon/Ribavirin (PEGIFN/RBV)

9
Sumber: World Gastroenterology Organisation Global Guidelines, Diagnosis, Management and Prevention
Of Hepatitis C, April 2013.

2.12. Rekomendasi Pencegahan Hepatitis C


1. Program pengobatan metadon, program

pertukaran jarum suntik steril, dan

program penyuluhan jarum suntik steril, dan program penyuluhan atau edukasi
yang mengubah perilaku secara terpadu telah terbukti efektif dalam mencegah transmisi
HIV dan kemungkinan berguna untuk menurunkan transmisi HCV.
2. Pemberian edukasi kepada pengguna narkoba suntik tentang pentingnya mencuci
tangan sebelum dan setelah menyuntik, tidak menggunakan alat orang lain, dan
mencegah kontak dengan darah orang lain. Penyuluhan pencegahan HCV harus
merupakan prioritas di penjara.
3. Studi mendapati risiko HCV 3 kali lipat pada mitra seksual wanita dibandingkan pria.
Jadi, mitra seksua pasien pria dan wanita dengan hepatitis C sebaiknya di tes untuk
penyakit ini. Pada pasien monogamis resiko transmisi diperkirakan 0-0,6% setahun.
Karena rendahnya resiko transmisi maka tidak perlu menggunakan proteksi barier atau
kondom walaupun pada mereka hendaknya disampaikan bahwa kondom dapat

26

menurunkan resiko transmisi. Walaupun seperti itu, dianjurkan untuk menggunakan


kondom untuk mencegah transmisi HCV dan PMS lainnya.
4. Berbagi barang rumah tangga biasa yang dapat tercemar darah seperti alat cukur
dan sikat gigi, merupakan sumber potensial transmisi HCV yang harus ditinggalkan.
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa berciuman, memeluk, batuk, makanan,
air, berbagi alat makan dan minum, kontak kasual atau kontak lain tanpa paparan
darah berkaitan dengan transmisi HCV.
5. Dianjurkan pada penular dan yang tertular dites antibodi HCV. Bilamana penular
ternyata positif HCV EIA, tes imunoblot atau assay HCV RNA sebaiknya
dilakukan. Karena HCV RNA terdeteksi pertama kali sekitar 2 minggu setelah transmisi,
orang yang terpapar sebaiknya diuji antibody HCV, HCV RNA dan ALT pada saat
paparan dan diulang antara 2-8 minggu setelah perlukaan. Bila terjadi serokonversi, yang
bersangkutan sebaiknya dirujuk ke spesialis untuk pertimbangan terapi.
6. Mencegah tindik dan tato karena merupakan sumber potensi transmisi bila
menggunakan alat atau bahan yang tercemar. Bayi yang dilahirkan dari ibu HCV-positif
sebaiknya dites untuk infeksi HCV dengan tes HCV RNA dua kali antara umur 2 dan 6
bulan dan atau menjalani tes anti HCV setelah 15 bulan kemungkinan berasal dari
perpindahan antibody anti HCV transplasental.
7. Melakukan skrining dan pemeriksaan darah dan organ donor.1
8. Menginaktivasi virus dari plasma dan produk-produk plasma1
9. Prosedur sterilisasi yang benar terhadap alat-alat medis dan dentis1
10. Mempromosikan perubahan tingkah laku pada masyarakat umum dan pekerja
kesehatan untuk mengurangi penggunaan berlebihan obat-obat suntik dan
penggunaan cara penyuntikan yang aman, serta konseling untuk menurunkan
risiko pada IDU dan praktek seksual.1
Rekomendasi pada pasien untuk mencegah penularan hepatitis C adalah :

Mendidik masyarakat tentang transmisi HCV, agar dapat lebih baik mengenali individu

yang terpapar dan melembagakan upaya pencegahan.


Mempromosikan standardisasi dan ketersediaan luas uji diagnostic infeksi HCV dan
komplikasinya sehingga tercapai diagnosis dini dan pelaksanaan praktek pengobatan

yang sesuai,
Mempromosikan pengembangan uji skrining untuk semua kelompok beresiko tinggi
terinfeksi HCV, termasuk IDU, pekerja seks komersial dan narapidana

27

Mengembangkan diagnosik penyakit, uji non-invasif dan peran biopsy hati sehingga

penerapan praktek pengobatan saat ini dapat diperbaiki.


Mendirikan jaringan riset klinis hepatis untuk menjalankan riset berkaitan dengan riwayat
alamiah, pencegahan dan pengobatan hepatitis C dan memutuskan transmisi HCV pada
ibu dan anak.

Tidak ada vaksin yang dapat melawan infeksi HCV. Penelitian untuk menemukan vaksin
hepatitis telah dilakukan, namun dikarenakan oleh tingginya tingkat mutasi HCV maka sangatlah
sulit untuk mengembangkan vaksin yang efektif untuk HCV.
2.13. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan anti-HCV
Antibody terhadap HCV biasanya dideteksi dengan metode enzyme immunoassay yang
sangat sensitive dan spesifik. Enzyme immunoassay generasi ke 3 yang banyak dipergunakan
saat ini mengandung protein core dan protein-protein structural yang dapat mendeteksi
keberadaan antibody dalam waktu 4-10 minggu infeksi. Antibody anti-HCV masih tetap dapat
terdeteksi selama terapi maupun setelahnya tanpa memandang respons terapi yang dialami,
sehingga pemeriksaan anti-HCV tidak perlu dilakukan kembali apabila sudah pernah dilakukan
sebelumnya.
Uji imumunoblot rekombinan (recombinant immunoblat assay, RIBA) dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi hasil uji enzyme immunoassay yang positif. Penggunaan
RIBA untuk mengkonfirmasi hasil hanya direkomendasikan untuk setting populasi low risk
seperti pada bank darah. Namun dengan tersedianya metode enzyme immunoassay yang sudah
diperbaiki dan uji deteksi RNA yang lebih baik saat ini, maka konfirmasi dengan RIBA telah
menjadi kurang diperlukan.
b. Pemeriksaan HCV RNA
Pemeriksaan ini dapat memeriksa kadar HCV RNA secara kualitatif maupun
kuantitatif. Mengingat tidak stabilnya RNA virus, maka pemprosesan sampel harus dilakukan
secara benar untuk meminimalkan risiko hasil pemeriksaan yang false negative dimana sampel
yang akan diperiksa harus dipisahkan dan dibekukan dalam waktu 3 jam setelah flebotomi.

28

Pemeriksaan untuk mengukur jumlah HCV RNA

merupakan salah satu cara yang dapat

dipercaya untuk menunjukkan adanya infeksi HCV dan merupakan pemeriksaan yang paling
spesifik.
Pemeriksaan HCV RNA kualitatif didasarkan pada teknik PCR (Polimerase chain
reaction) yang memiliki limit deteksi hingga lebih kecil dari 100 kopi HCV RNA per milliliter
serum (50 IU/ml). Pemeriksaan HCV RNA kualitatif khususnya bemanfaat pada kasus-kasus
dengan kadar transminase yang normal apabila disertai adanya penyebab penyakit hati lain
(misalnya konsumsi alcohol) atau pasien imunokompromi (misalnya penerima cangkok organ,
pasien ko-infeksi HIV) dan pada hepatitis C akut sebelum munculnya antibody.
Metode untuk mengukur kadar HCV RNA adalah menggunakan PCR kuantitatif
(Cobas Amplicor HCV, version 2,0 dan HCV superquant) dan pemeriksaan branched-chain
DNA. Pemeriksaan HCV RNA kuantitatif memiliki sensitivitas yang lebih baik dibanding
branched-chain DNA, namun branched-chain DNA memiliki rentang yang lebih luas dan tidak
memerlukan dilusi untuk mengkuantifikasi muatan virus yang tinggi. Pemeriksaan HCV RNA
kuantitatif untuk mengetahui muatan virus bermanfaat untuk memprediksi respons terapi dan
relaps. Namun berbeda dengan infeksi HIV, muatan virus pada hepatitis C tidak ada kaitannya
dengan beratnya hepatitis (progresi fibrosis).
Pemeriksaan genotif HCV dapat membantu memprediksi hasil dari terapi dan memilih
rejimen terapi untuk seorang pasien. Terdapat beberapa metode yang berbeda untuk memeriksa
genotif HCV, namun sebagian besar berbasis pada amplifikasi dengan pemeriksaan PCR.
Pemeriksaan HCV-RNA yang positif memastikan diagnosis. Pemeriksaan HCV-RNA
diperlukan sebelum terapi dan 6 bulan pasca terapi. Pemeriksaan HCV-RNA 12 minggu sejak
awal terapi dilakukan pada pasien genotype 1 dengan pegylated-interferon untuk penilaian
apakah terapi perlu dilanjutkan atau dihentikan. Bila HCV RNA tidak bisa diperiksa maka
ALT>2 N dengan anti-HCV positif dapat menegakkan diagnosis dengan menyingkirkan
penyebab lain. Pemeriksaan genotif tidak diperlukan untuk penegakan diagnosis. Namun
diperlukan untuk menentukan lama terapi.
C. Biopsi hati

29

Biopsy secara umum direkomendasikan untuk penilainan awal seorang pasien dengan
infeksi HCV kronis. Biopsy berguna untuknya menentukan derajat beratnya penyakit
(tingkat fibrosis) dan menetukan derajat nekrosis dan inflamasi. Pemeriksaan ini juga
bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab penyakit hati yang lain,
seperti fitur alkoholik, non-alcoholic, steatohepatitis (NASH), hepatitis autoimun, penyakit hati
drug-induced atau overload besi.
Pemeriksaan biopsy hati tidak harus dilakukan tetapi dianjurkan sebelum diberikan terapi
antivirus. Bila biopsy dapat dilakukan, terapi antivirus hanya diberikan pada tingkat fibrosis F2
dan F3 (skor METAVIR). Apabila ditemukan tingkat fibrosis F4 (skor METAVIR), terapi
antivirus dipertimbangkan bila usia <65 tahun dan sirosis terkompensasi.

30

BAB III
KESIMPULAN

Infeksi HCV adalah suatu masalah yang global. Diperkirakan sekitar 170 juta orang
di dunia telah terinfeksi secara kronik oleh HCV. Di Indonesia prevalensi infeksi virus
hepatitis C ditemukan sangat bervariasi, mengingat geografis yang sangat luas.
HCV adalah virus hepatitis yang mengandung RNA rantai tunggal yang dapat
diproses secara langsung untuk memproduksi protein-protein virus dikarenakan HCV
merupakan virus dengan RNA rantai. Virus hepatitis C adalah suatu virus RNA dari
keluarga Flaviviridae. Terdapat 6 genotipe HCV dan lebih dari 50 subtipe.
Infeksi HCV sangat jarang. terdiagnosis pada saat infeksi akut. Manifestasi klinis
bisa saja muncul dalam waktu 7-8 minggu. Pada kasus infeksi ditemukan gejala jaundice,
malaise dan nausea. Infeksi berkembang menjadi kronik pada sebagian besar penderita
dan infeksi kronik biasanya tidak menunjukkan gejala. Faktor-faktor yang terkait erat
dengan terjadinya infeksi HCV adalah pengguna narkoba suntik dan transfuse darah dll.
Pemeriksaan laboratorium untuk hepatitis C adalah anti-HCV dan HCV RNA kunatitatif.
Terapi untuk hepatitis C dengan menggunakan interferon pegilasi . interferon
pegilasi memiliki 2 jenis yaitu interferon -2b pegilasi dan interferon -2a. serta
perbedaan pengobatan HCV genotipe 1 samapai genotipe 6. Serta pada pengobatan
hepatitis akut dengan menggunakan monoterapi yang SVR 90%. SVR digunakan untuk
membantu dalam mendefinisikan bagaimana respons seorang pasien terhadap antivirus.
Tidak ada vaksin yang dapat melawan infeksi HCV. Jadi yang perlu dilakukan
adalah dengan melakukan skrining data pemeriksaan terhadap darah dan organ donor dan
mempromosikan perubahan tingkah laku pada masyarakat umum dan pekerja kesehatan
untuk mengurangi penggunaan berlebihan obat-obatan suntik dan penggunaan cara
penyuntikan yang aman, serta konseling untuk menurunkan risiko IDU dan praktek
seksual.

BAB IV

31

DAFTAR PUSTAKA

1. Referensi Gastrointestinal. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan


Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012.
2. Viral Hepatitis Surveillance, USA 2009/2011. Division of Viral Hepatitis and National
Center
3.
4.
5.
6.

for

HIV/AIDS

Viral

Hepatitis,

STD,

and

TB

Prevention.

http://www.cdc.gov/hepatitis/Statistics/2009Surveillance/Commentary.htm
Konsensus FKUI-PPHI tentang penatalaksanaan hepatitis C kronik tahun 2003.
Sudoyo, Aru, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1 Edisi V
Netter. Interactive Atlas Of Human Anatomy
Viral Hepatitis Surveillance, USA 2009/2011. Division of Viral Hepatitis and National
Center

for

HIV/AIDS,

Viral

Hepatitis,

STD,

and

TB

Prevention.

http://www.cdc.gov/hepatitis/Statistics/2009Surveillance/Commentary.htm
7. World Gastroenterology Organisation Global Guidelines, Diagnosis, Management and
Prevention Of Hepatitis C, April 2013.
8. Pawlotsky Jean-Michel dkk. EASL Recommendations on Treatment of Hepatitis C 2014,
April 2014.
9. Ghany, MG. Strader, BD. Thomas, DL dan Seeff LB. Diagnosis, Management, and
Treatment

of

Hepatitis

C.

Hepatologi

2009:49

)(4):

1335-1374;

DOI:

10.1002/hep.22759).
10. Department Of Health and Human Services Centers For Disease Control and Prevention.
Division Of Viral Hepatitis. www.cdc.gov/hepatitis. CDC, june 2010.
11. Recommendations for Testing, Managing, and Treating Hepatitis C. American
Association

for The Study Of Liver Disease. IDSA (Infectious Disease Society of

America). Downloaded from http://www.hcvguidelines.org on 02/12/2001.


12. Mauss, Berg, Rockstroh, dkk. Hepatology A Clinical Textbook. Edition 2013.

32

Anda mungkin juga menyukai