Disusun oleh
dr. Irene Akasia Oktariana, SpA
Pembina IV/a NIP.196802012001122001
PENDAHULUAN
Liver merupakan salah satu organ vital dalam tubuh yang memiliki banyak fungsi yang meliputi;
metabolisme serta tempat penyimpanan berbagai zat yang vital untuk tubuh hingga untuk fungsi
detoksifikasi. Kerusakan dari organ ini dapat menurunkan atau bahkan menghentikan fungsinya
sama sekali. Terdapat beberapa penyebab kerusakan hati antara lain terpapar oleh infeksi, obat-
obatan hepatotropik, toksin, gangguan metabolik, maupun kelainan autoimun.
Meskipun dalam 2 dekade terakhir obesitas telah berlipat ganda di seluruh dunia dan penyakit
hati berlemak non - alkohol telah muncul sebagai penyebab paling umum hepatitis kronis pada
anak-anak dan remaja di negara-negara maju, infeksi dan obat hepatotropik tetap menjadi
penyebab paling umum hepatitis pada anak-anak secara global.
Hepatitis viral sejauh ini tetap menjadi fokus utama banyak penelitian dan intervensi kesehatan
masyarakat dalam hepatologi anak dikarenakan tingginya tingkat hepatitis virus. Perhatian untuk
hepatitis B sangatlah penting untuk di Indonesia dikarenakan prevalensinya yang masih cukup
tinggi dan kecenderungannya untuk menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi
dibanding virus hepatitis lain.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Hati adalah organ yang terbesar yang terletak di sebelah kanan atas rongga perut di bawah
diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5 % dari berat badan orang dewasa normal. Pada kondisi
hidup berwarna merah tua karena kaya akan persediaan darah. Hati terbagi menjadi lobus kiri
dan lobus kanan yang dipisahkan oleh ligamentum falsiformis. Lobus kanan hati lebih besar dari
lobus kirinya dan mempunyai 3 bagian utama yaitu : lobus kanan atas, lobus caudatus, dan lobus
quadratus.
Dalam fungsi vaskularnya hati adalah sebuah tempat mengalir darah yang besar. Hati juga dapat
dijadikan tempat penimpanan sejumlah besar darah. Hal ini diakibatkan hati merupakan suatu
organ yang dapat diperluas. Aliran limfe dari hati juga sangat tinggi karena pori dalam sinusoid
hati sangat permeable. Selain itu di hati juga terdapat sel Kupffer (derivat sistem
retikuloendotelial atau monosit-makrofag) yang berfungsi untuk menyaring darah. Fungsi
metabolisme hati dibagi menjadi metabolisme karbohidrat, lemak, protein, dan lainnya.
Fungsi sekresi hati membentuk empedu juga sangat penting. Salah satu zat yang dieksresi ke
empedu adalah pigmen bilirubin yang berwarna kuning-kehijauan. Bilirubin adalah hasil akhir
dari pemecahan hemoglobin.(1)
Hepatitis Virus
2. Definisi
Hepatitis merupakan proses terjadinya inflamasi dan atau nekrosis jaringan hati yang dapat
disebabkan oleh infeksi, obat-obatan, toksin, gangguan metabolik, maupun kelainan autoimun.
Infeksi yang disebabkan virus, bakteri, maupun parasit merupakan penyebab terbanyak hepatitis
akut. Virus sendiri hepatitis merupakan penyebab terbanyak dari penyakit tersebut.(2)
3. Epidemiologi (2)(3)(4)
Virus patogen adalah penyebab utama hepatitis pada anak-anak Asia. Angka kejadian daripada
tiap tiap etiologi berbeda beda. Angka kejadian hepatitis virus di Indonesia secara keseluruhan
menurut Pusdatin 2013 pada anak berusia di bawah 14 tahun mencapai 0,9%. Angka kejadian ini
lebih rendah bila dibandingkan dengan angka kejadiannya di orang dewasa yang mana dapat
mencapai 1,4%.
Prevalensi virus hepatitis A di negara berkembang seperti Afrika, Amerika Selatan, Asia Tengah,
dan Asia Tenggara, paparan terhadap HAV hampir mencapai 100% pada anak berusia 10 tahun.
Di Indonesia prevalensi di Jakarta, Bandung, dan Makassar berkisar antara 35% - 45% pada usia
5 tahun, dan mencapai lebih dari 90% pada usia 30 tahun. Ilustrasi prevalensi global dan di
Indonesia ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Prevalensi global antibodi terhadap HAV (uptodate)
Infeksi HBV tetap menjadi bahaya kesehatan utama di Asia karena prevalensinya yang tinggi
dan morbiditas serta mortalitas yang tinggi dari infeksi kronis penyakit ini. Masalah ini tetap ada
pada anak-anak bahkan di era vaksinasi HBV. WHO memperkirakan adanya 400 juta orang
sebagai pengidap HBV pada tahun 2000. Pola prevalensi hepatitis B dibagi menjadi 3 golongan
yaitu prevalensi rendah (HBsAg <2% dan anti-HBs 4%-6%), prevalensi sedang (HBsAg 2%-7%
dan anti-HBs 20%-55%), dan prevalensi tinggi (HBsAg 8%-20% dan anti-HBs 70%-95%).
(Tabel 1.) Untuk Indonesia sendiri menurut data CDC 2015 pada Gambar 2. terhadap
prevalensi global infeksi HBV masuk ke kategori prevalensi sedang
Angka kejadi HCV melalui survey epidemiologi memperkirakan terdapatnya 170 juta pengidap
HCV kronis di seluruh dunia. Prevalensi infeksi kronis pada dewasa bervariasi antara 0,5%-
25%.Di Indonesia prevalensi HCV sangat bervariasi, sekitar 0,5% sampai 3,37%. Secara umum,
angka tertinggi prevalensi anti HCV didapatkan pada mereka yang sering mengalami direct
percutaneous exposure seperti pada pengguna obat bius dengan suntikan dan penderita yang
mendapat transfusi berulang (antara 60%–90%).
15 hingga 20 juta dari 257 juta karier HBV di seluruh dunia mungkin terinfeksi dengan HDV
Namun, distribusi geografis infeksi HDV, tidak sama dengan HBV, karena daerah endemik
untuk HBV mungkin hampir bebas-HDV. Tingkat endemisitas HDV sebagian terkait dengan
rute penularan. Infeksi HDV terjadi di seluruh dunia dengan prevalensi tinggi di Amerika
Selatan, Afrika Barat, Timur Tengah, Mediterania, dan beberapa pulau di Kepulauan Pasifik.
4. Etiologi(3)
Virus hepatotropik, berbeda dengan virus pantropik, yaitu virus dengan afinitas yang cenderung
lebih tinggi untuk menyerang jaringan hati bermain peran yang sangat tinggi untuk terjadinya
hepatitis viral. Setidaknya terdapat 6 virus yang diketahui termasuk dalam golongan ini antara
lain; jenis virus hepatotropik penyebab utama infeksi akut, yaitu Virus hepatitis A (HAV), Virus
hepatitis B (HBV), Virus hepatitis C (HCV), Virus hepatitis D (HDV) Virus hepatitis E (HEV),
Virus hepatitis G (HGV).
Masing masing virus berbeda dalam karakteristik virologi, penularan, keparahan, kemungkinan
persistensi, dan risiko menjadi karsinoma hepatoseluler. HDV, juga dikenal sebagai agen delta,
adalah virus yang memiliki defek sehingga membutuhkan penyebaran HBV terdahulu untuk bisa
menginfeksi dan dapat menghasilkan koinfeksi dengan HBV atau superinfeksi pada pembawa
HBsAg (antigen permukaan hepatitis B) kronis. Infeksi HBV, HCV, dan HDV dapat
menyebabkan hepatitis kronis, atau keadaan karier kronis, yang memfasilitasi penyebaran.
Sebanyak 10% hingga 15% kasus hepatitis akut tidak diketahui penyebabnya.
5. Transmisi
Transmisi dari masing masing virus bisa berbeda satu dengan yang lainnya. Pada Tabel 3.
Dijabarkan cara penyebaran masing masing virus.
Faktor risiko utama untuk HAV adalah higienitas yang kurang. Hal ini ditunjukkan dengan
prevalensinya yang tinggi pada negara berkembang. Untuk penularan HBV dan HCV adalah
penggunaan narkoba suntikan, sering terpapar ke produk darah, dan penularan prenatal dari
infeksi ibu. HEV terjadi setelah perjalanan ke daerah endemis. HGV lazim pada orang yang
terinfeksi HIV. HBV dan HCV menyebabkan infeksi kronis, yang dapat menyebabkan sirosis
dan merupakan faktor risiko yang signifikan untuk karsinoma hepatoseluler dan merupakan
risiko penularan yang persisten. (3)
6. Patofisiologi
Gangguan hati akibat dari virus hepatitis memiliki kemiripan satu dengan yang lainnya. Secara
umum, terdapat dua mekanisme virus ini dapat merusak hati yaitu secara langsung oleh virus
yang sitopatik seperti HCV, HDV dan HEV, maupun secara tidak langsung oleh virus non
sitopatik seperti HAV, HBV, dan HGV.
Virus akan dibawa dari tempat asal masuk menuju hepar karena memiliki kecenderungan untuk
berkembang biak di sana. Untuk HAV, masuknya virus dimulai melalui saluran pencernaan usus.
Dari sana, virus diserap dan masuk dari pendarahan usus menuju ke vena porta yang mana
kemudian melekat pada reseptor hepatosit. Setelah itu, virus ini melakukan replikasi dengan cara
RNA dependant polymerase yang eksklusif hanya bisa terjadi pada sel hepatosit. Replikasi ini
kemudian diikuti dengan eliminasi ke sinusoid, kanalikuli, dan usus sebelum munculnya tanda
dan gejala maupun kelainan laboratorium. Kerusakan sel hati yang berisi virus pada infeksi HAV
ini dimediasi oleh sel T yang menginduksi reaksi sitotoksik. Sedangkan untuk virus bebas
dibantu dengan netralisasi oleh IgM dan IgG. Hal ini juga terjadi pada HBV dan HCV
dikarenakan sifat mereka yang non sitopatik.
Perubahan infeksi virus hepatitis menjadi kronis tidak terjadi pada semua jenis. Hanya jenis jenis
tertentu saja yaitu HBV, HCV, dan HDV yang mampu menyebabkan infeksi kronis. Pada HBV,
ditemukan infeksi pada usia di bawah 3 tahun. Hal ini disebabkan karena gangguan imunitas
maupun akibat imunitas yang belum matang. Ada gangguan imunitas, imunitas seluler yang
seharusnya melakukan eksposisi antigen HBV ke permukaan hepatosit agar dapat dideteksi dan
dinetralisir oleh sel T.
7. Manifestasi klinis(5)(2)
a. HAV
Masa inkubasi sebelum terjadinya gejala adalah sekitar 15 hingga 30 hari. Tanda dan
gejala bersifat akut berupa dan jarang menjadi kronis. biasanya merupakan penyakit akut
yang sembuh sendiri yang berhubungan dengan gejala umum dan tidak spesifik.
i. Infeksi akut
Fase ini bergejala hanya pada 30 persen penderita yang mana hanya beberapa
yang menjadi kuning. Gejala dan tanda yang bisa ditemukan pada masa ini serupa
dengan virus lain seperti demam, malaise, anoreksia, muntah, mual, sakit perut
atau ketidaknyamanan, dan diare. Selama periode prodromal, aminotransferase
biasanya meningkat. Penyakit kuning (terkonjugasi hiperbilirubinemia) biasanya
terjadi satu minggu setelah timbulnya gejala, bersama dengan koluria (bilirubin
dalam urin) dan hepatomegali ringan. Ketika hal itu terjadi, penyakit kuning
biasanya berlangsung kurang dari dua minggu. Bilirubin dan aminotransferase
terkonjugasi kembali normal dalam dua hingga tiga bulan.
Gagal hati akut sekunder akibat infeksi HAV lebih sering terjadi pada mereka dengan
penyakit hati yang mendasarinya seperti hepatitis C.
Manifestasi ekstrahepatik paling umum dari infeksi HAV termasuk ruam yang
menghilang dengan cepat (11 persen) dan arthralgia (14 persen). Manifestasi
ekstrahepatik yang jauh lebih jarang termasuk vaskulitis, radang sendi, neuritis optik,
mielitis transversal, ensefalitis, dan penekanan sumsum tulang
b. HBV
Masa inkubasi virus hepatitis B sekitar 2 bulan hingga 6 bulan. Manifestasinya bisa
berupa akut dan dapat juga berlanjut menjadi kronik untuk beberapa kasus.
i. Infeksi akut
Gejala menyerupai sindrom serum dapat berkembang selama periode prodromal,
diikuti oleh gejala konstitusional, anoreksia, mual, ikterus, dan rasa tidak nyaman
pada regio kuadran kanan atas. Gejala dan penyakit kuning umumnya hilang
setelah satu hingga tiga bulan, namun gejala sisa berupa rasa mudah lelah dapat
menetap lama setelah normalisasi konsentrasi serum aminotransferase serum.
Pemeriksaan serologi pada infeksi akut diilustrasikan pada gambar 3.
Terdapat beberapa fase dari infeksi HBV kronis. Fase fase ini ditandai dengan
penemuan penemuan pada laboratorium pasien yang terkait yang akan dibahas
pada bab pemeriksaan penunjang
Progresi menuju sirosis hepar akibat virus ini terjadi pada penderita yang
memiliki onset sejak anak anak, berjenis kelamin laki laki, koinfeksi dengan virus
HDV, HCV, HIV, dan penggunaan alkohol bila pada orang dewasa. Selain itu,
faktor resiko progresi menjadi karsinoma hepatoseluler terjadi pada penderita
dengan onset dini berhubungan dengan adanya HbsAg dalam waktu yang lama,
infeksi kronis, dan sirosis hepatis.
c. HCV
Masa inkubasi dari HCV adalah sekitar 30 hingga 60 hari. Manifestasinya jarang
ditemukan pada fase akut karena sangat ringan namun, cukup banyak yang menjadi
kronis dan berujung pada sirosis hepatis.
i. Infeksi akut
Infeksi akut, bila bergejala, akan menunjukkan gejala yang tidak spesifik sehingga
tidak jarang diagnosisnya terlewat. Klirens spontan terjadi pada sekitar 40%
pasien terutama pada infeksi perinatal, namun, infeksi yang diakuisisi jarang
terjadi resolusi spontan.
ii. Infeksi Kronis
Sebanyak 80% infeksi HCV berujung pada infeksi kronis. Tanda dan gejala juga
tidak sangat minimal sehingga pasien tidak menyadari infeksi.
d. HDV
Masa inkubasi dari HDV mengikuti HBV yaitu sekitar 60 hari hingga 180 hari. Hal ini
dikarenakan keharusan virus ini untuk koinfeksi dengan HBV agar dapat masuk ke dalam
tubuh. Tanda dan gejalanya jarang muncul pada akut dan lebih sering menjadi kronis
pada superinfeksi. Pada anak yang mengalami gagal hati fulminan, perlu dicurigai infeksi
HDV. Terdapat bentuk gejala klinis yang khusus berupa ikterus yang diikuti dengan
panas
mendadak, hematemesis, dan gejala gagal hati fulminan.
e. HEV
Masa inkubasi mencapai 30 hingga 60 hari. Manifestasi cenderung sangat ringan dan
mengalami resolusi sendiri selayaknya hepatitis A.
f. HGV
Virus HGV adalah virus yang data pelaporan kasusnya paling sedikit sehingga data
mengenainya banyak yang tidak diketahui. Infeksi akibat virus ini jarang juga
memperberat sekalipun koinfeksi dengan virus hepatitis lain.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis hepatitis akibat virus meliputi pemeriksaan
laboratorium seperti darah rutin, fungsi liver, dan serologi yang bisa mencakup pemeriksaan
antibodi IgG dan IgM. Pemeriksaan molekuler untuk mendeteksi RNA maupun DNA juga bisa
dilakukan.
a. HAV
Diagnosis infeksi HAV akut dibuat dengan deteksi IgM anti-HAV pada pasien dengan
presentasi klinis yang khas. IgM anti-HAV serum adalah standar emas untuk deteksi penyakit
akut. Antibodi ini positif pada permulaan gejala, memuncak selama fase pemulihan akut atau
awal penyakit, dan tetap positif selama sekitar empat hingga enam bulan.
Deteksi antibodi serologis lebih sederhana, lebih mudah, dan lebih murah daripada teknik lain,
seperti deteksi HAV dalam feses dan cairan tubuh dengan mikroskop elektron dan deteksi HAV
RNA dalam feses, cairan tubuh, serum, dan jaringan hati. IgG anti-HAV muncul lebih awal
pada fase penyembuhan penyakit, dan tetap dapat dideteksi selama beberapa dekade. Ilustrasi
perjalanan penyakit terdapat pada gambar 4.
b. HBV
i. Skrining awal
Pemeriksaan penunjang awal untuk skrining hepatitis B menggunakan HbsAg dan
anti Hbs.
● HBsAg positif - Diagnostik terhadap infeksi HBV. Anti-HBs hampir
selalu negatif (kecuali selama periode jendela singkat ketika infeksi
sembuh).
c. HCV
Pemeriksaan skrining jarang dikerjakan dikarenakan prevalensi yang tidak terlalu besar.
Skrining bisa dilakukan dengan mendeteksi antibodi HCV. Anak-anak usia di atas 18
prinsip diagnosisnya mirip dengan yang digunakan pada orang dewasa. Evaluasi
diagnostik awal untuk HCV kronis biasanya dimulai dengan tes antibodi. Tes antibodi
reaktif atau tidak pasti / samar-samar harus diikuti dengan tes RNA HCV. Jika RNA
HCV terdeteksi, diagnosis infeksi HCV dikonfirmasi. Pasien-pasien ini harus dievaluasi
lebih lanjut untuk menentukan genotipe dan luasnya penyakit, kemudian dipantau untuk
perkembangan penyakit atau pembersihan spontan, seperti dibahas di bawah ini.
Jika RNA HCV tidak terdeteksi, maka antibodi reaktif kemungkinan mewakili infeksi
HCV di masa lalu yang kemudian dibersihkan atau tes antibodi positif palsu.
Gambar 7. Pemeriksaan serologi HCV
d. HDV
Pemeriksaan serologis untuk mendeteksi infeksi HDV hanya diindikasikan apabila pasien
terkena infeksi HBV. Hal ini dikarenakan keharusannya terdapat infeksi HBV agar HDV
dapat juga menginfeksi. Pemeriksaan yang bisa dilakukan antara lain adalah;
9. Tatalaksana
Penanganan hepatitis viral bergantung pada jenis virus yang bersangkutan.
a. HAV
Pada virus hepatitis a, tidak diperlukan penanganan spesifik. Penanganan biasa hanya
memerlukan rawat jalan dan bersifat simtomatik. Rawat inap dapat diindikasikan pada
muntah hebat, dehidrasi dengan kesulitan masukan per oral, kadar SGOT-SGPT > 10 kali
nilai normal, koagulopati, dan ensefalopati.
Pencegahan(6)
Karena tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap hepatitis A maka pencegahan lebih
diutamakan, terutama terhadap anak di daerah dengan endemisitas tinggi dan pada orang
dewasa dengan risiko tinggi seperti umur lebih dari 49 tahun yang menderita penyakit
hati kronis. Pencegahan umum meliputi nasehat kepada pasien yaitu : perbaikan higiene
makanan- minuman, perbaikan sanitasi lingkungan dan pribadi dan isolasi pasien (sampai
dengan 2 minggu sesudah timbul gejala). Ada pun pemberian imunisasi pada kasus kasus
tertentu. Imunisasi yang bisa diberikan terdapat 2 jenis yaitu imunisasi pasif dan aktif.
Imunisasi pasif
Indikasi pemberian imunisasi pasif:
1. Semua orang yang kontak serumah dengan penderita.
2. Pegawai dan pengunjung tempat penitipan anak bila didapatkan seorang penderita atau
keluarganya menderita hepatitis A.
3. Pegawai jasa boga dimana salah satu diketahui menderita hepatitis A.
4. Individu dari negara dengan endemisitas rendah yang melakukan perjalanan ke negara
dengan endemisitas sedang sampai tinggi dalam waktu 4 minggu. IG juga diberikan pada
usia dibawah 2 tahun yang ikut bepergian sebab vaksin tidak dianjurkan untuk anak di
bawah 2 tahun.
Dosis 0,02 ml/kgBB untuk perlindungan selama 3 bulan, dan 0,06 ml/kg untuk
perlindungan selama 5 bulan diberikan secara intramuskular dan tidak boleh diberikan
dalam waktu 2 minggu setelah pemberian live attenuated vaccines (measles, mumps,
rubella, varicella) sebab IG akan menurunkan imunogenisitas vaksin. Imunogenisitas
vaksin HAV tidak terpengaruh oleh pemberian IG yang bersama-sama.
Imunisasi aktif
Vaksinasi aktif memberikan perlindungan mencapai 79%. Vaksin yang beredar saat ini
adalah HavrixTM (Smith Kline Beecham) dan VaqtaTM (Merck), AvaximeTM (Avantis
Pasteur). Semuanya berasal dari inaktivasi dengan formalin dari sel kultur HAV.
HavrixTM mengandung preservatif (2-phenoxyethanol) sedangkan VaqtaTM tidak.
Vaksin disuntikkan secara intramuskular 2 kali dengan jarak 6 bulan dan tidak diberikan
pada anak dibawah 2 tahun karena transfer antibodi dari ibu tidak jelas pada usia ini. Ada
pun indikasi pemberian imunisasi aktif antara lain;
1. Individu yang akan bekerja ke negara lain dengan prevalensi HAV sedang - tinggi.
2. Anak-anak 2 tahun keatas pada daerah dengan endemisitas tinggi
3. Homoseksual.
4. Pengguna obat terlarang, baik injeksi maupun non injeksi
5. Peneliti HAV.
6.Penderita dengan penyakit hati kronis, dan penderita sebelum dan sesudah transplantasi
hati, karena kemungkinan mengalami hepatitis fulminan meningkat.
7. Penderita gangguan pembekuan darah (defisiensi faktor VIII dan IX.)
b. HBV(7)
Pada hepatitis virus akut, sebagian besar kasus akan sembuh dan sebagian kecil menjadi
kronis. Prinsipnya adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit. Pasien dirawat bila
ada dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, kadar SGOT-SGPT > 10 kali nilai
normal, atau bila ada kecurigaan hepatitis fulminan. Namun tidak demikian pada
neonatus, bayi, dan anak di bawah 3 tahun dimana infeksi HBV tidak menimbulkan
gejala klinis hepatitis akut dan sebagian besar (80%) akan menjadi kronis. Pengobatan
hepatitis B kronis merupakan masalah yang sulit; sampai saat ini hasilnya tidak
memuaskan, terutama pada anak. Tujuan pengobatan hepatitis B kronis adalah
penyembuhan total dari infeksi HBV sehingga virus tersebut dieliminasi dari tubuh dan
kerusakan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologis didalam hati terutama sirosis serta
komplikasinya dapat dicegah. Pengobatan spesifik diberikan hanya kepada penderita
dengan replikasi aktif (ditandai dengan HBeAg dan DNA HBV serum positif) dan
hepatitis kronis dengan peningkatan kadar aminotransferase serum karena golongan ini
memberikan hasil baik terhadap pengobatan.
● Interferon alfa
Pengobatan dengan interferon-alfa-2b (IFN-2b) adalah pengobatan standar untuk
penderita hepatitis B kronis dengan gejala dekompensasi hati (asites, ensefalopati,
koagulopati, dan hipoalbuminemia) dengan penanda replikasi aktif (HBeAg dan DNA
HBV) serta Meningkatkan kadar aminotransferase serum. Kontraindikasi penggunaan
interferon adalah neutropenia, trombositopenia, gangguan jiwa, adiksi terhadap alkohol,
dan memulai obat. Dosis interferon adalah 3 MU / m2 secara subkutan tiga kali dalam
diberikan, diberikan selama 16 minggu.
Efek samping interferon dapat berupa efek sistemik, autoimun, hematologis, imunologis,
neurologis, dan psikologis. Efek sistemik dapat membentuk lelah, panas, nyeri kepala,
nyeri otot, nyeri sendi, anoreksia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, nyeri
perut, dan rambut rontok. Efek autoimun ditandai dengan timbulnya auto-antibodi,
antibodi anti - interferon, hipertiroidisme, hipotiroidisme, diabetes, anemia hemolitik, dan
purpura.
Penderita yang mendapat pengobatan interferon harus dievaluasi secara klinis dan
laboratoris (ALT dan AST, albumin, bilirubin, pemeriksaan darah tepi) setiap 4 minggu
selama pengobatan. Pemeriksaan HBsAg, HBeAg, dan DNA HBV dilakukan pada saat
mulai, selesai pengobatan dan 6 bulan pasca perawatan. Dosis interferon harus diperoleh
atau diambil dari disetujui oleh dekompensasi hati, Depresi Sumsum Tulang, Depresi
Kejiwaan Berat, dan Efek Samping Berat. Antara 10%- 40% penderita harus meminta
dosis, dan 5% -10% harus berhenti. Sekitar 2% timbul efek samping yang parah termasuk
infeksi bakteri, penyakit autoimun, depresi kejiwaan berat, kejang, gagal jantung, gagal
ginjal, dan pneumonia.
Serum transaminase serum, relatif rendahnya kadar DNA HBV serum, jenis kelamin
perempuan, tidak disukai dari Asia, serta ada gambaran hepatitis kronis-aktif pada biopsi.
Dari beberapa penelitian didapat 46% penderita yang mencoba mengubah serokonversi
dengan antibodi anti-HBe dan 8% dengan timbulnya antibodi anti-HBs. Timbulnya anti-
Hbe dan menerima DNA HBV Kehilangan gagal hati dan kematian. Relaps terjadi pada
14% penderita pada tahun pertama setelah pengobatan.
● Analog nukleosida
Lamivudin, famsiklovir, dan adefovir adalah golongan analog nukleosida yang
menghambat replikasi HBV. Lamivudin efektif dan kurang menimbulkan efek samping
daripada interferon. Dosisnya 3 mg/kgBB sekali sehari selama 52 minggu atau 1 tahun.
Terjadi perbaikan gambaran histologis pada 52%-67% kasus, sedangkan hilangnya
HBeAg dan timbulnya anti-HBe sebesar 17-18%. Penelitian pada anak menunjukkan
serokonversi HBeAg menjadi anti-HBe sebesar 23%. Pada penderita dekompensasi hati,
lamivudin memperbaiki skor Child-Pugh.
Lamivudin adalah obat utama untuk penderita dengan replikasi aktif dan peningkatan
kadar aminotransferase serum dengan spesifikasi: kontraindikasi penggunaan interferon
terutama penderita yang mengalami dekompensasi hati. Penderita dengan mutasi pre -
core HBV mendapat imunosupresif dalam jangka lama dan kemoterapi. Pada penderita
yang mengalami kegagalan pengobatan dengan interferon dapat diberikan lamivudin.
Apabila dengan pemberian lamivudin terjadi mutasi YMDD pada HBV, maka dapat
diberikan adefovir atau gansiklovir.
Penggunaan lamivudin pada anak selama 52 minggu dengan dosis 3 mg/kgBB memberi
respons yang signifikan terhadap virus. Kombinasi terapi antara interferon dengan
lamivudine tidak lebih baik dibanding pengobatan dengan lamivudine saja.
c. HCV
Direct acting antiviral (DAA) yang merupakan pengobatan untuk HCV belum bisa
diberikan untuk usia di bawah 12 tahun ataupun berat badan minimal di atas 35 kg
dikarenakan belum adanya regulasi untuk kelompok usia tersebut. Namun, untuk kasus
kasus gawat yang mana ditemukan progresi penyakit yang cepat, sirosis hepatis, ataupun
koinfeksi, pemberian regimen ini bisa dilakukan.
Dosis interferon adalah 3 MU/m2 tiga kali dalam seminggu. Dosis ribavirin
adalah 8, 12, atau 15 mg/kg BB per hari. Pada penderita hepatitis C kronis yang
mengalami ko-infeksi dengan HIV, konsentrasi virus lebih tinggi dan gambaran
histologis cenderung lebih progresif; maka pemberian pegylated interferon
bersama ribavirin diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih baik.
10.Prognosis
Prognosis untuk infeksi HAV dan HEV cenderung baik karena penyembuhannya cenderung
spontan dan tidak berulang. Manifestasinya cenderung ringan dan infeksinya pun tidak akan
menjadi kronis. Untuk infeksi HBV, HCV, dan HDV, kejadiannya cenderung menjadi kronis dan
sering memiliki morbiditas serta mortalitas yang tinggi.
11.Hepatitis Virus pada Bayi Baru Lahir (3,8,9)
Hepatitis viral pada neonatus merupakan akibat dari transmisi vertikal dari ibu yang terinfeksi.
Resiko penularan berbeda - beda untuk tiap virus.
a. HAV
i. Transmisi
1. Transmisi vertikal maternal
a. Intrauterin
Tidak meningkatkan risiko gangguan kongenital, kematian dalam
janin, restriksi pertumbuhan dalam janin, maupun abortus spontan
namun, terdapat peningkatan risiko kelahiran preterm dan ketuban
pecah dini.
b. Perinatal
Penularan melalui rute ini sangatlah jarang.
2. Transmisi horizontal
Penularan dengan cara ini bisa terjadi pada saat pasien masih di
rumah sakit melalui transfusi FFP dan personel rumah sakit
meskipun angka kejadiannya sangat rendah.
ii. Manifestasi klinis
Kebanyakan pasien asimtomatik. Pada kasus yang bergejala, gejala yang muncul
adalah penurunan keinginan untuk menyusui, kenaikan suhu yang tidak terlalu
tinggi, dan muntah berulang. Pemeriksaan yang positif bisa meliputi hepatomegali
dan kenaikan fungsi liver yang tidak terlalu tinggi. Pengembalian fungsi normal
terjadi dalam 3 bulan tanpa sekuel jangka panjang.
iii. Tatalaksana
Tatalaksana bersifat suportif.
b. HBV
i. Transmisi
Infeksi pada neonatus merupakan akibat dari paparan perinatal dari ibu yang
terinfeksi HBV. 90% anak akan terinfeksi apabila ibu yang terinfeksi tersebut
tidak menjalani profilaksis. Kegiatan menyusui tidak dikontraindikasikan karena
tidak meningkatkan risiko penularan namun, untuk donasi ASI tidak
diperbolehkan dari ibu yang mengidap HBV.
iii. Diagnosis
Pengujian HBsAg pada usia satu hingga dua bulan digunakan untuk mendeteksi
infeksi HBV pada neonatus. HBsAg dapat positif secara transien pada neonatus
hingga 21 hari setelah vaksinasi hepatitis B. Pengujian untuk DNA HBV tidak
dianjurkan untuk skrining, karena tes ini dapat tetap positif selama berbulan-bulan
atau bertahun-tahun setelah pembersihan infeksi HBV.
iv. Tatalaksana
Antiviral pada kelompok usia ini masih belum dilakukan karena belum diuji
efektivitasnya. Penanganan berupa pemantauan secara berkala fungsi hati dan
serologi HBV.
v. Pencegahan
Semua anak secara universal perlu diberikan imunisasi HBV. Kombinasi
pemberian immunoprophylaxis (HBIG) dengan dosis 0.5 ml (paling lama 12 jam
setelah lahir) and imunisasi HBV diberikan hanya pada anak yang lahir dari ibu
yang positif HBsAg.
c. HCV
i. Transmisi
Transmisi vertikal dari ibu yang terinfeksi HCV hanya mencapai 5 persen. Angka
ini menjadi lebih tinggi apabila terjadi koinfeksi dengan HIV hingga mencapai 15
%. Transmisi horizontal pada anak jarang terjadi. Pemberian ASI dari ibu dengan
infeksi HCV bisa dilanjutkan dikarenakan berhubungan dengal viral load HCV
RNA dalam ASI yang rendah dan eliminasi lewat traktus GI yang cukup efektif.
ii. Manifestasi klinis
Infeksi HCV cenderung tidak menghasilkan gejala namun, berbeda dengan HBV,
infeksi HCV pada usia dini akibat penularan perinatal cenderung mengalami
resolusi spontan biasa pada usia 3 tahun. Untuk kasus selain itu biasanya
mengalami infeksi kronis dan tetap asimtomatik.
iii. Diagnosis
Diagnosis HCV dibuat dengan mendeteksi antibodi terhadap HCV. Namun, tes
antibodi pada bayi dari ibu yang diketahui terinfeksi HCV harus ditunda sampai
antibodi ibu yang ditransfer melalui plasenta sudah menghilang. Hal ini biasanya
membutuhkan setidaknya 12 hingga 18 bulan.
iv. Tatalaksana
Penanganan spesifik HCV akut tidak dilakukan dikarenakan gejalanya yang
cenderung ringan. Pengobatan spesifik baru diberikan apabila penyakit menjadi
kronis dan apabila anak di atas 12 tahun barulah dimulai pengobatan karena
belum adanya regulasi pengobatan pada usia di bawah itu. Untuk regimen
pengobatannya bisa dilihat pada bagian tatalaksana terapi HCV di atas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Khonsary S. Guyton and Hall: Textbook of Medical Physiology. Surg Neurol Int. 2017;
2. Gastroenterologi-Hepatologi IDAI. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. Idai. 2009;
3. BELL RAF. Nelson. Textbook of Pediatrics. Arch Dis Child. 2009;
4. Nel E, Sokol RJ, Comparcola D, Nobili V, Hardikar W, Gana JC, et al. Viral Hepatitis in
Children. J Pediatr Gastroenterol Nutr . 2012;55(5):500–5.
5. Mysore KR, Leung DH. Hepatitis B and C. Clinics in Liver Disease. 2018.
6. Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), Fiore AE, Wasley A, Bell BP.
Prevention of hepatitis A through active or passive immunization: recommendations of the
Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Recomm reports Morb
Mortal Wkly report Recomm reports. 2006;
7. Wilkins T, Zimmerman D, Schade RR. Hepatitis B: Diagnosis and treatment. Am Fam
Physician. 2010;
8. Mulligan MJ, Stiehm ER. Neonatal hepatitis B infection: clinical and immunologic
considerations. J Perinatol Off J Calif Perinat Assoc. 1994;
9. Indolfi G, Resti M. Perinatal transmission of hepatitis C virus infection. Journal of
Medical Virology. 2009.