Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

EPIDEMIOLOGI PD3I

“HEPATITIS”

Dosen : Natalia P. Adimuntja, S.KM, M.Kes

Disusun Oleh : Kelompok 7

 Cindy Eka Yurianti (20180711014131)


 Damiana C. Rumpumbo (20180711014132)
 Elia Itlay (20180711014290)
 Margaretha R. Maturbongs (20180711014056)
 Suriyani Ruatakurey (2020072014096)
 Yosinda Wonda (20180711014131)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan limpahan rahmatNya sehingga kami daapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Makalah ini dibuat sehubungan dengan tugas mata kuliah Epidemiologi PD3I yang
diberikan oleh dosen yang bersangkutan. Dimana di dalam makalah ini akan dibahas mengenai ‘
EPIDEMIOLOGI PD3I HEPATITIS ‘.
Kami mengucapkan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah turut membantu
hingga makalah ini dapat terselesaikan. Terlepas dari itu semua, kami menyadari bahwa kami
adalah manusia yang mempunyai keterbatasan dalam berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada hal
yang dapat diselesaikan dengan sempurna dalam makalah ini. Kami melakukannya semaksimal
mungkin dengan kemampuan yang kami miliki.
            Melalui kata pengantar ini kami lebih dulu meminta maaf dan memohon pemakluman
bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kurang tepat atau menyinggung
perasaan pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Kelompok 7
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

A. Epidemiologi Hepatitis
B. Pengamatan Surveilans Hepatitis
C. Penyelidikan Penanggulangan KLB
D. Contoh Kasus Hepatitis

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Hati adalah salah satu organ yang paling penting. Organ ini berperan sebagai
gudang untuk menimbun gula, lemak, vitamin dan gizi. Memerangi racun dalam tubuh
seperti alkohol, menyaring produk-produk yang tidak berguna lagi dari darah dan
bertindak sebagai semacam pengaruh bagian tubuh yang menjamin terjadinya
keseimbangan zat-zat kimia dalam sistem itu. Hepatitis merupakan inflamasi dan cedera
pada hepar, penyakit ini dapat disebabkan oleh infeksi atau oleh toksin termasuk alkohol
dan dijumpai pada kanker hati.
Hepatitis merupakan peradangan hati yang dapat disebabkan oleh virus, toksin,
atau kimia (termasuk obat). Ada beberapa tipe hepatitis seperti akut, kronis, fulminant,
dan alkoholik. Hepatitis karena virus dapat menyebabkan peradangan pada hepar dengan
gejala klinik berupa penyakit kuning yang akut disertai malaise, mual dan muntah, serta
dapat pula disertai peningkatan suhu badan (Black & Hawks, 2014; Sanityoso, 2006;
Warouw, 2007).
Berdasarkan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemenkes RI tahun 2015
penyakit hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk di
Indonesia, yang terdiri dari Hepatitis A, B, C, D dan E. Hepatitis A dan E, sering muncul
sebagai kejadian luar biasa, ditularkan secara fekal oral dan biasanya berhubungan
dengan perilaku hidup bersih dan sehat, bersifat akut dan dapat sembuh dengan baik.
Sedangkan Hepatitis B, C dan D (jarang) ditularkan secara parenteral, dapat menjadi
kronis dan menimbulkan cirrhosis dan lalu kanker hati. Virus Hepatitis B telah
menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia, sekitar 240 juta orang diantaranya
menjadi pengidap Hepatitis B kronik, sedangkan untuk penderita Hepatitis C di dunia
diperkirakan sebesar 170 juta orang. Terdapat 1,2 % penduduk di Indonesia mengidap
penyakit hepatitis dan kondisi ini meningkat 2 kali lipat dibandingkan tahun 2007 yaitu
sekitar 0,6 %.
Penyakit hepatitis merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati
diseluruh dunia. Penyakit ini sangat berbahaya bagi kehidupan karena penyakit hepatitis
ataupun gejala sisanya bertanggung jawab atas 1-2 juta kematian setiap tahunnya. Infeksi
virus hepatitis bisa berkembang menjadi sirosis atau pengerasan hati bahkan kanker hati.
Masalahnya, sebagian besar infeksi hepatitis tidak menimbulkan gejala dan baru terasa
10-30 tahun kemudian saat infeksi sudah parah. Pada saat itu gejala timbul, antara lain
badan terasa panas, mual, muntah,mudah lelah, nyeri diperut kanan atas, setelah beberapa
hari air seninya berwarnaseperti teh tua, kemudian mata tampak kuning dan akhirnya
seluruh kulit tubuh menjadi kuning. Pasien hepatitis biasanya baru sembuh dalam waktu
satu bulan (Aru, 2006).
Insiden hepatitis yang terus meningkat semakin menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Penyakit ini menjadi penting karena mudah ditularkan, memiliki morbiditas
yang tinggi dan menyebabkan penderitanya absen dari sekolah atau pekerjaan untuk
waktu yang lama. 60-90% dari kasus-kasus hepatitis virus diperkirakan berlangsung
tanpa dilaporkan. Keberadaan kasus-kasus subklinis, ketidakberhasilan untuk mengenali
kasus-kasus yang ringan dan kesalahan diagnosis diperkirakan turut menjadi penyebab
pelaporan yang kurang dari keadaan sebenarnya. (Brunner dan Sudarth, 2001).

2. Rumusan Masalah
A. Bagaimanakah epidemiologi dari hepatitis, gambaran dan kasus epidemiologi dari
tingkat global sampai regional?
B. Bagaimana pengamatan surveilans dari Epidemiologi Hepatitis?
C. Bagaimana penyelidikan penanggulangannya ketika terjadi KLB?
D. Buatlah 1 contoh kasus terkait kasus Hepatitis?

3. Tujuan Masalah
A. Untuk mengetahui epidemiologi dari hepatitis, gambaran dan kasus epidemiologi
dari tingkat global sampai regional
B. Untuk mengetahui pengamatan surveilans dari Epidemiologi Hepatitis
C. Untuk mengetahui penyelidikan penanggulannya ketika terjadi KLB
D. Untuk mengetahui 1 contoh kasus terkait Hepatitis
BAB II

PEMBAHASAN

A. EPIDEMIOLOGI HEPATITIS
Hepatitis adalah inflamasi/radang dan cedera pada hepar karena reaksi hepar
terhadap berbagai kondisi terutama virus, obat-obatan dan alkohol (Ester,2002). Hepatitis
adalah infeksi sistemik yang dominan menyerang hati. Hepatitis virus adalah istilah yang
digunakan untuk infeksi hepar oleh virus disertainekrosis dn inflamasi pada sel-sel hati
yang menghasilkan kumpulan perubahanklinis, biokomia serta seluler yang khas
(Brunner dan Suddarth, 2002 ).
˗ Epidemiologi Secara Global
1. Epidemiologi Hepatitis A

Kira-kira 1,5 juta kasus klinis hepatitis A terjadi di seluruh dunia setiap
tahun tetapi tingkat infeksi mungkin sepuluh kali lebih tinggi. Tingkat kejadian
sangat terkait dengan indikator sosial ekonomi dan akses ke air minum yang
aman: ketika pendapatan meningkat dan akses ke air bersih meningkat, kejadian
infeksi HAV berkurang. Hubungan risiko infeksi HAV dengan standar kebersihan
dan sanitasi, ekspresi klinis penyakit yang bergantung pada usia, dan kekebalan
seumur hidup menentukan pola infeksi HAV yang berbeda yang diamati di
seluruh dunia. Tingkat endemisitas HAV untuk suatu populasi ditentukan oleh
hasil survei usia-seroprevalensi; ulasan sistematis tentang prevalensi global
infeksi HAV baru-baru ini diterbitkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
(WHO, 2010).
Daerah-daerah di dunia dapat dikategorikan memiliki endemisitas tinggi,
sedang dan rendah untuk hepatitis A. Di negara-negara kurang berkembang
dengan kondisi sanitasi dan higienis yang sangat buruk, infeksi HAV sangat
endemik dan kebanyakan orang terinfeksi pada anak usia dini. Karena infeksi
terjadi pada usia dini ketika penyakit sering tidak menunjukkan gejala, tingkat
penyakit yang dilaporkan di daerah ini relatif rendah dan wabah tidak umum
terjadi. Area dengan endemisitas tinggi meliputi sebagian besar Afrika, Asia dan
Amerika Tengah dan Selatan. Kondisi yang berkontribusi terhadap penyebaran
virus di kalangan anak-anak muda di daerah-daerah ini termasuk atau diakibatkan
karena kepadatan rumah tangga, sanitasi yang buruk dan persediaan air yang tidak
memadai (Wasley et al, 2006).
Di sebagian besar negara maju, seperti Amerika Utara, Eropa Barat,
Australia dan Jepang, kondisi sanitasi dan higienis pada umumnya baik dan
tingkat infeksi pada anak-anak umumnya rendah. Tingkat puncak infeksi dan
penyakit yang dilaporkan cenderung di antara remaja dan dewasa muda. Di
daerah-daerah ini, wabah besar masyarakat luas dengan penularan dari orang ke
orang masih dapat berkontribusi secara signifikan terhadap beban penyakit
hepatitis A. Selain itu, wabah sesekali di pusat penitipan anak atau lembaga
perumahan dan epidemi yang ditularkan melalui makanan atau air dapat terjadi.
Di beberapa negara dengan prevalensi sangat rendah (mis. Eropa Utara), penyakit
mendominasi di antara kelompok risiko dewasa tertentu: pelancong ke negara-
negara di mana hepatitis A endemik; pengguna narkoba suntikan; dan pria dengan
riwayat perilaku homoseksual. Prevalensi anti-HAV meningkat secara bertahap
seiring bertambahnya usia, terutama mencerminkan penurunan insiden, perubahan
endemisitas dan akibatnya tingkat infeksi anak yang lebih rendah dari waktu ke
waktu (Haliday et al, 1991).
a. Prevalensi Hepatitis A Pada Negara-negara Berkembang
˗ Afrika
Informasi tentang infeksi HAV di Afrika terbatas. Data yang tersedia
menunjukkan bahwa sebagian besar Afrika tetap merupakan daerah endemisitas
tinggi, dengan pengecualian subpopulasi di beberapa daerah, seperti orang kulit
putih di Afrika Selatan. Pada 1990-an, hampir semua anak kulit hitam di Afrika
Selatan anti-HAV-positif pada usia 12 tahun dan hampir 100% orang dewasa kulit
hitam memiliki antibodi terhadap HAV sebelum usia 20 tahun, sementara hanya
30% -40% kulit putih. orang dewasa adalah anti-HAV-positif pada usia 20 tahun,
meningkat menjadi sekitar 60% pada usia 40-49 tahun (Johnson, 2010).
Afrika Utara memiliki tingkat menengah anti-HAV seroprevalensi. Studi
dari tahun 1980-an menunjukkan kekebalan yang hampir universal di banyak
negara; tingkat kekebalan 100% pada usia 10 tahun ditemukan di Aljazair dan
hampir 100% orang dewasa anti-HAV positif di Maroko. Data yang lebih baru
menunjukkan bahwa, secara umum, daerah perkotaan telah mengalami penurunan
infeksi hepatitis A, sementara tingkat di daerah pedesaan tetap tinggi dan
prevalensi umumnya lebih rendah di kelas sosial yang lebih tinggi (WHO, 2010).
Peningkatan yang signifikan dalam seroprevalensi dengan usia yang lebih
tua dan kelas sosial yang lebih rendah dikonfirmasi dalam penelitian tahun 2008
di mana 296 anak-anak Mesir yang berusia 2,5-18 tahun dari kelas sosial yang
berbeda diuji untuk mengevaluasi apakah akan memberikan vaksin HAV lebih
awal dalam hidup atau membiarkan anak-anak untuk memperoleh kekebalan
alami. Secara keseluruhan, 61,4% seropositif; anti-HAV terdeteksi pada 27,3%
anak tinggi dan 81% anak kelas sosial rendah berusia <6 tahun (Al-Aziz dan
Awad, 2008).
˗ Asia
Tingkat seroprevalensi HAV sangat bervariasi di antara negara-negara di
Asia, dengan beberapa terus memiliki tingkat tinggi dan yang lain melakukan
transisi ke insidensi sedang atau rendah.
Daerah endemisitas rendah termasuk Jepang dan negara-negara lain
seperti Taiwan di mana prevalensi telah menurun tajam dalam beberapa tahun
terakhir. Faktanya, sementara pada 1970-an prevalensi anti-HAV pada orang
dewasa lebih dari 90%, studi kemudian menunjukkan bahwa di wilayah
metropolitan Taipei, prevalensinya hampir 0% dan di daerah pedesaan hanya
sedikit remaja dan dewasa muda yang menunjukkan tanda-tanda infeksi
sebelumnya (Chen et al, 2010).
Di negara endemisitas moderat, seperti Korea, Indonesia, Thailand, Sri
Lanka dan Malaysia, data yang tersedia menunjukkan bahwa tingkat kejadian
mungkin menurun, setidaknya di daerah perkotaan, dan usia saat infeksi
meningkat dari awal hingga akhir masa kanak-kanak, yang meningkatkan risiko
wabah. Jumlah kasus hepatitis A dewasa semakin meningkat selama beberapa
dekade terakhir di Korea. Selain itu, pola seroprevalensi khusus usia anti-HAV
telah berubah seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Prevalensi anti-HAV pada
rentang usia 10-50 tahun telah menurun dengan cepat selama 3 dekade terakhir.
Akibatnya, kelompok usia ini memiliki risiko tinggi untuk infeksi HAV dan
hepatitis A yang jelas secara klinis meningkat pada remaja dan orang dewasa
(Kim dan Lee, 2010).
Di Cina dan India, dua negara terpadat di dunia yang telah menunjukkan
perkembangan sosio-ekonomi yang sangat cepat dalam beberapa tahun terakhir,
banyak daerah endemisitas tinggi untuk infeksi HAV hidup berdampingan dengan
yang lain, membuat transisi ke insidensi sedang (WHO, 2010).
Hepatitis A telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang relevan di
Cina. Lebih dari 300.000 kasus hepatitis A klinis dilaporkan selama wabah terkait
kerang di Shanghai pada tahun 1988; Namun, dalam dua dekade berikutnya,
tingkat kejadian nasional hepatitis A tahunan menurun secara dramatis. Di
perkotaan Cina pada awal 1990-an, meskipun hingga setengah dari 10 tahun
memiliki antibodi terhadap hepatitis A, seroprevalensi di sebagian besar kota
tidak mencapai 100%, bahkan untuk mereka yang berusia 60 tahun ke atas,
meninggalkan kelompok populasi yang rentan dan menciptakan kemungkinan
wabah. Pada tahun 2006, dua insiden hepatitis A utama terjadi di Cina: satu
adalah wabah di sebuah sekolah di selatan dan yang lainnya adalah epidemi yang
melibatkan beberapa galur HAV di Wilayah Otonomi Cina barat laut (Wang et al,
2009).
Di India, kantong heterogen dari individu yang rentan dan terpapar dapat
hidup berdampingan di berbagai wilayah. Sekitar 15 tahun yang lalu, tingkat anti-
HAV dalam darah tali pusat pada bayi baru lahir di India hampir 100%, yang
pada gilirannya mencerminkan prevalensi antibodi ibu. Dalam penelitian terbaru,
level ini telah turun menjadi 50% -60%. Beberapa penelitian juga menunjukkan
bahwa seroprevalensi antibodi HAV paling rendah pada kelompok usia 6 bulan
sampai 2 tahun dan paparan maksimum terhadap HAV terjadi pada usia 2 hingga
5 tahun. Pengamatan ini mungkin menjadi indikasi pertama dari pergeseran
epidemiologis usia akuisisi infeksi HAV di masyarakat, bahkan jika data yang
tersedia saat ini tidak mengkonfirmasi penurunan konsisten dalam tingkat
seroprevalensi HAV masa kanak-kanak dan peningkatan kerentanan terhadap
HAV pada dewasa muda (Elisabetta, 2012).
Saat ini, di banyak negara Asia lainnya, infeksi HAV masih sangat
endemis. Studi dari Pakistan pada 1980-an, 1990-an, dan 2000-an menunjukkan
bahwa lebih dari separuh anak mendapatkan kekebalan pada usia prasekolah dan
hampir semua remaja dan orang dewasa kebal. Antara 1980-an dan 1990-an di
Nepal, hampir semua remaja kebal pada usia 15 tahun. Di Bangladesh, lebih dari
setengah anak berusia 5 tahun dan hampir semua remaja dan dewasa kebal
(WHO,2010).
˗ Amerika Tengah dan Selatan
Negara-negara Amerika Latin menunjukkan banyak karakteristik dari
negara-negara berkembang, dengan migrasi dari komunitas pedesaan ke kota-kota
yang mengarah ke daerah perkotaan yang berpenghasilan rendah dan kekurangan
sosial. Peningkatan dalam program kesehatan masyarakat dan kondisi sanitasi
telah berdampak pada pola epidemiologis infeksi HAV di negara berkembang dan
studi sebelumnya menunjukkan Amerika Latin menjadi daerah dengan
endemisitas tinggi dengan infeksi hampir universal sebelum usia 10 tahun
mungkin tidak lagi sah. Namun demikian, sulit untuk memperkirakan kejadian
pasti hepatitis A karena tingginya proporsi infeksi subklinis dan penyakit anicteric
dan berbagai program pengawasan. Diperkirakan bahwa kejadian sebenarnya
adalah 10 kali lebih tinggi dari yang dilaporkan (Elisabetta, 2012).
Pola endemisitas terus tinggi di beberapa negara Amerika Latin, seperti
daerah Tengah dan Karibia, di mana penelitian yang dilakukan antara 1990 dan
1999 menunjukkan tingkat seroprevalensi yang sangat tinggi dan menemukan
bahwa lebih dari separuh anak-anak telah mengembangkan kekebalan dengan
yang kedua. ulang tahun dan hampir semua orang dewasa di daerah pedesaan dan
perkotaan kebal terhadap HAV (WHO, 2010).
Data dari penelitian terbaru menunjukkan bahwa prevalensi anti-HAV
menurun di beberapa negara Amerika Selatan, termasuk Argentina, Bolivia,
Brasil, Venezuela, Chili dan Uruguay di mana telah terjadi pergeseran dari
endemisitas tinggi ke sedang. Pergeseran ini diperoleh dengan perbaikan dalam
program kesehatan masyarakat dan kondisi sanitasi di sebagian besar wilayah ini
(Tapia et al, 1999).

2. Epidemiologi Hepatitis B
Epidemiologi hepatitis B dapat dijelaskan dalam hal prevalensi antigen
permukaan hepatitis B (HBsAg) dalam suatu populasi, secara luas
diklasifikasikan menjadi tinggi (> 8% prevalensi HBsAg), sedang- (2% -7%)
dan rendah- daerah prevalensi (<2%) (Previsani dan Lavanchy 2002).
Kategori luas ini berguna untuk memahami pola penularan yang dominan dan
hasil untuk infeksi, serta beban populasi relatif dari konsekuensi hepatitis B
kronis, termasuk kanker hati (Gambar 1).
Gambar 1: Global prevalence of hepatitis B virus infection. (Dari Centers for Disease
Control 2012.)
 Populasi Prevalensi Tinggi
Di negara-negara di mana infeksi HBV kronis mempengaruhi lebih dari
8% populasi, sebagian besar dari orang-orang ini terinfeksi saat lahir atau di masa
kanak-kanak, ketika risiko pengembangan menjadi kronis tinggi (Lavanchy,
2004). Prevalensi HBV tinggi adalah umum di sebagian besar wilayah Asia
Pasifik dan Afrika sub-Sahara di dunia. Secara global, telah diperkirakan bahwa
45% dari populasi dunia tinggal di daerah dengan prevalensi tinggi (Mahoney,
1999). Ada bukti yang menunjukkan bahwa penularan vertikal lebih umum di
Asia daripada di Afrika, di mana proporsi yang lebih besar dari wanita sangat
menular pada usia subur, sebagian terkait dengan genotipe HBV dominan yang
mempengaruhi kemungkinan positifnya HBeAg dan tingkat tinggi HBV DNA
selama usia subur berada yang tertinggi (Goldstein et al, 2005; Kramvis dan
Clements,2010).
Dampak potensial vaksinasi bayi terhadap HBV (Zoulim dan Durantel,
2015) jelas merupakan yang terbesar pada populasi dengan prevalensi tinggi.
Dalam populasi seperti itu di mana vaksinasi bayi universal dilaksanakan lebih
awal, HBsAg tidak hanya turun secara drastis, tetapi ada beberapa bukti untuk
pengurangan yang signifikan dalam insiden kanker hati di antara kelompok usia
yang memenuhi syarat untuk vaksin gratis (Chang et al, 2009; Plymoth et al,
2009) . Di Cina, prevalensi HBsAg turun dari 9,7% menjadi 1,0% pada anak-anak
berusia kurang dari 5 tahun (Liang et al, 2009), mencegah sekitar 16 hingga 20
juta kasus hepatitis B kronis. Di rangkaian lain, seperti Gambia Studi Intervensi
Hepatitis, khasiat protektif vaksinasi bayi dalam mencegah infeksi HBV kronis
dilaporkan sampai 95% (Plymoth et al, 2009).
 Populasi Prevalensi Sedang
Wilayah di dunia di mana prevalensi HBV diklasifikasikan sebagai sedang
(2% -7%) termasuk Afrika Utara dan Timur Tengah, sebagian Eropa Timur dan
Selatan, sebagian Amerika Latin, dan Asia Selatan. Ini mewakili proporsi
populasi global yang serupa dengan daerah dengan prevalensi tinggi (sedikit lebih
dari 40%) (Trépo et al, 2014). Di wilayah ini, penularan terjadi baik secara
perinatal maupun horizontal (Lavanchy, 2004). Meskipun cara penularan yang
dominan bervariasi sesuai dengan negara, akuisisi perinatal dianggap kurang
umum di negara-negara perantara dibandingkan dengan negara-negara dengan
prevalensi tinggi, karena prevalensi rendahnya infektivitas tinggi di antara wanita
usia subur (Mahoney, 1999).
Sebagaimana dibahas di atas, kategorisasi prevalensi dapat berubah
dengan dampak imunisasi dan program pencegahan lainnya, dan sejumlah negara
yang sebelumnya dikategorikan sebagai prevalensi tinggi sekarang diperkirakan
memiliki seroprevalensi populasi di bawah 8% (Chang et al, 2009; Liang et al,
2009). Penurunan prevalensi ini melalui dampak vaksinasi juga telah ditunjukkan
di negara-negara dengan prevalensi menengah di Eropa (Salleras et al, 2005;
Sagnelli et al, 2014).
 Populasi Prevalensi Rendah
Orang-orang yang tinggal di negara dengan prevalensi HBV rendah
merupakan minoritas dari populasi global (∼12%), dan termasuk Australia, Asia,
Eropa Utara dan Barat, Jepang, Amerika Utara, dan beberapa negara di Amerika
Selatan. Di daerah dengan prevalensi rendah, insiden penularan vertikal dan
horizontal di masa kanak-kanak rendah, dengan sebagian besar insiden infeksi
terjadi pada masa remaja dan dewasa melalui kontak seksual, penggunaan
narkoba suntikan, dan paparan terkait darah lainnya, termasuk secara historis
dalam pengaturan perawatan kesehatan (Jenniffer dan Benjamin, 2015).
Sebuah tinjauan sistematis baru-baru ini menunjukkan bahwa di seluruh
dunia, 1,2 juta orang yang menyuntikkan narkoba (PWID) hidup dengan hepatitis
B kronis (kisaran 0,3-2,7 juta), dan 6,4 juta sebelumnya telah terpapar (Nelson et
al, 2011). Wilayah dengan prevalensi keseluruhan rendah hepatitis B kronis
(CHB) tetapi beban PWID relatif tinggi yang hidup dengan CHB termasuk Eropa
Timur (280.000; 22,8% dari total global), dan Amerika Utara (272.500; 22,2%
dari total global) . Orang lain yang berisiko lebih tinggi untuk mendapatkan HBV
di masa dewasa termasuk mereka yang atau yang telah dipenjara, pria yang
berhubungan seks dengan pria, pekerja seks, dan orang yang tidak memiliki
rumah (Kowdley et al, 2012).
Migrasi global dari prevalensi yang lebih tinggi ke negara-negara dengan
prevalensi rendah juga merupakan penentu penting dari beban hepatitis B kronis
di banyak negara, di mana prevalensi pada migran umumnya mencerminkan
bahwa dari negara asal mereka. Di banyak negara dengan prevalensi rendah,
sebagian besar orang yang hidup dengan HBV kronis lahir di luar negeri di daerah
endemis (Hahne et al, 2004; Marschall et al, 2008; Kowdley et al, 2012;
MacLachlan et al, 2013).

3. Hepatitis C
Hepatitis C diperkirakan bahwa 71.000.000 orang di seluruh dunia
memiliki infeksi Hepatitis C kronis (Tun, 2013), yang beresiko mengembangkan
sirosis hati dan kanker hati (El, 2012). Ini menyumbang 399000 kematian setiap
tahun. Diantara berbagai genotipe dari HCV, genotipe 1 adalah yang paling lazim
yang menyumbang 46% dari semua infeksi HCV, diikuti oleh genotipe 3, yang
merupakan 22% lazim. Genotype 2 dan 4 masing-masing memiliki 13%
prevalensi. Mengilustrasikan prevalensi global dan distribusi genotype (Gower,
2014).
Seperti kematian terjadi puluhan tahun setelah terinfeksi, orang mati
kondisi hati sering tidak terkait dengan virus yang mendasari. Sertifikat kematian
orang dengan infeksi HCV meningkat di Amerika Serikat. Meskipun demikian,
satu penelitian memperkirakan, bahwa jumlah pasien yang didokumentasikan di
Amerika Serikat memiliki infeksi HCV di 2010 hanya diwakili seperlima dari
pasien yang meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan HCV tahun
(Mahajan, 2014).

4. Hepatitis D

Hepatitis D HDV umumnya terlihat pada orang yang terkena produk


darah yang terinfeksi atau jarum suntik dari HBV yang terinfeksi sebelumnya.
Secara global, 5% dari hepatitis B antigen permukaan positif adalah Co-terinfeksi
HDV (Wedemeyer, 2010). Sekitar 18.000.000 orang terinfeksi HDV secara global
(Farci, 2003).
Infeksi HDV kemungkinan akan menurun di seluruh dunia sebagai hasil
dari keberhasilan imunisasi HBV, dan peningkatan status sosial ekonomi tetapi
data untuk menunjukkan hal ini dari sebagian besar dunia yang kurang seperti
yang ditunjukkan dalam gambar 4 (Wedemeyer, 2010. Daerah endemik HDV
secara tradisional meliputi Afrika Tengah, Tanduk Afrika, cekungan Amazon,
Eropa Timur dan Mediterania, Timur Tengah, dan sebagian Asia (Rizzetto et al.
1990; Hughes et al. 2011).

Diperkirakan secara global, sekitar 5% orang dengan infeksi HBV kronis


koinfeksi dengan HDV, menghasilkan total 15 - 20 juta orang yang terinfeksi
HDV di seluruh dunia. Daerah dengan prevalensi tinggi termasuk Afrika (Afrika
Tengah dan Barat), Asia (Asia Tengah dan Utara, Vietnam, Mongolia, Pakistan,
Jepang, dan China Taipei), Kepulauan Pasifik (Kiribati, Nauru), Timur Tengah
(semua negara), Timur Eropa (wilayah Mediterania Timur, Turki), Amerika
Selatan (lembah Amazon), dan Greenland. Namun, estimasi global dan informasi
geografis tidak lengkap karena banyak negara tidak melaporkan prevalensi HDV
(WHO, 2016).

5. Hepatitis E

Hepatitis E HEV menyebabkan makanan dan penyakit yang ditularkan


melalui air dengan wabah terlihat di seluruh dunia. Wabah ini sebagian besar
terlihat di negara dengan akses terbatas pada air bersih, sanitasi dan kebersihan
yang buruk (Rein, 2012).
Infeksi hepatitis E ditemukan di seluruh dunia. Dua pola berbeda diamati,
di mana hepatitis E ditemukan di: daerah miskin sumber daya dengan sering
terkontaminasi air; dan daerah dengan persediaan air minum yang aman (WHO,
2016).
Penyakit ini biasa terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah dengan akses terbatas ke air bersih, sanitasi, kebersihan dan layanan
kesehatan. Di daerah-daerah ini, penyakit terjadi baik sebagai wabah maupun
sebagai kasus sporadis. Wabah biasanya mengikuti periode kontaminasi tinja dari
persediaan air minum dan dapat mempengaruhi beberapa ratus hingga beberapa
ribu orang (WHO, 2016).
Beberapa wabah ini telah terjadi di daerah konflik dan darurat
kemanusiaan, seperti zona perang, dan di kamp-kamp untuk pengungsi atau
populasi yang terlantar secara internal, situasi di mana sanitasi dan pasokan air
bersih menimbulkan tantangan khusus. Kasus sporadis juga diyakini terkait
dengan kontaminasi air, meskipun pada skala yang lebih kecil. Kasus-kasus di
daerah ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi virus genotipe 1, dan jauh lebih
jarang oleh virus genotipe 2 (WHO, 2016).
Diperkirakan bahwa sekitar 20.000.000 orang terinfeksi HEV setiap
tahunnya di seluruh dunia dan 44000 dari infeksi ini mengakibatkan kematian.
Gambar 5 menunjukkan distribusi HEV di seluruh dunia (WHO, 2010). Meskipun
HEV memiliki rute yang sama transmisi ke HAV dan tidak menyebabkan
chronicity infeksi akut dengan HEV membawa 3,3% risiko kematian, yang
signifikan (Rein, 2012).

˗ Epidemiologi Secara Regional


Menurut hasil Riskesdas Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013,
bahwa jumlah orang yang didiagnosis Hepatitis di fasilitas pelayanan kesehatan
berdasarkan gejala-gejala yang ada, menunjukan peningkatan 2 kali lipat apabila
dibandingkan dari data tahun 2007 dan 2013, hal ini dapat memberikan petunjuk awal
kepada kita tentang upaya pengendalian di masa lalu, peningkatan akses, potensial
masalah di masa yang akan datang apabila tidak segera dilakukan upaya-upaya yang
serius.
Gambar 1. Prevalensi Hepatitis Menurut Provinsi Tahun 2007 dan 2013

Dari grafik di atas dapat dilihat pada tahun 2007, lima provinsi dengan prevalensi
Hepatitis tertinggi adal.ah Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Aceh, Gorontalo dan Papua
Barat sedangkan pada tahun 2013 lima provinsi dengan prevalensi tertinggi yaitu Nusa Tenggara
Timur, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Pada tahun 2013 ada 13
provinsi yang memiliki angka prevalensi di atas rata-rata nasional yaitu Nusa Tenggara Timur,
Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Aceh,
Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan.

Tabel 1. Prevalensi Hepatitis Menurut Karakteristik di Indonesia Tahun 2013

Sumber Riskesdas Tahun 2013, Balitbankes, Kemenkes


Dari tabel di atas terlihat karakteristik prevalensi Hepatitis tertinggi terdapat pada
kelompok umur 65- 74 dan 45-54 (1,4%). Penderita Hepatitis baik pada laki-laki
maupun perempuan, proporsinya tidak berbeda secara bermakna. Jenis pekerjaan juga
mempengaruhi prevalensi Hepatitis, penderita Hepatitis banyak ditemukan pada petani /
nelayan / buruh dibandingkan jenis pekerjaan yang lain.

Gambar 2. Prevalensi HbsAg dan HCV Darah Donor di UTD PMI Seluruh Indonesia
Tahun 2008-2013

Grafik di atas menunjukan prevalensi tertinggi pada donor darah yang terdeteksi positif
Hepatitis C terjadi pada tahun 2009 dan 2010 (0,59%), sedangkan pada tahun 2012
merupakan prevalensi terendah (0,39%). Dan prevalensi tertinggi darah donor yang
terdeteksi HBsAg positif pada tahun 2008 (2,13%) dan prevalensi terendah darah donor
yang terdeteksi HBsAg yaitu pada tahun 2013 (1,64%).
Tabel 2. KLB Hepatitis A Pada Tahun 2013

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa total KLB Hepatitis A pada tahun
2013 di 6 provinsi dan 11 kabupaten/kota sejumlah 495 kasus, kematian dan CFR
0.
Tabel 3. KLB Hepatitis A Tahun 2014 DI 3 Provinsi

Tabel di atas menunjukkan bahwa total KLB Hepatitis A di 2 provinsi dan


4 kabupaten/kota pada tahun 2013 sejumlah 282 kasus, kematian dan CFR 0.
B. SURVEILANS HEPATITIS
Surveilans Hepatitis Virus adalah kegiatan pengamatan yang dilakukan secara
sistematis dan terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian Hepatitis virus
serta kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan Hepatitis Virus
untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efisien.
Surveilans Hepatitis Virus dilakukan secara aktif dan pasif dalam rangka pemantauan
wilayah setempat, kewaspadaan dini, dan surveilans sentinel.
1. Pemantauan Wilayah Setempat
Pemantauan wilayah setempat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a. Pengamatan terhadap masyarakat dan lingkungan/wilayah yang berisiko melalui
pendekatan sentinel area Pengamatan melalui pendekatan sentinel area difokuskan
terhadap lingkungan/wilayah yang memiliki risiko Hepatitis A dan Hepatitis E,
seperti akses terhadap air dan sanitasi yang rendah, kawasan/daerah aliran sungai,
tempat-tempat umum, serta lingkungan khusus antara lain pondok pesantren dan
lembaga permasyarakatan.
b. Pengamatan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk Hepatitis B dan Hepatitis C
melalui pelaporan kasus.
2. Kewaspadaan Dini
Kewaspadaan dini dilakukan apabila dalam pemantauan wilayah setempat diketahui
bahwa suatu wilayah berpotensi timbul KLB dengan memenuhi kriteria, antara lain:
a. kualitas kesehatan lingkungan yang buruk;
b. ditemukan virus Hepatitis A dan Hepatitis E;
c. ditemukan satu kasus positif Hepatitis A dan Hepatitis E.
3. Surveilans Sentinel
Surveilans sentinel dilakukan pada kelompok populasi berisiko untuk
memperoleh gambaran tentang besaran masalah, kecenderungan, pola penyebaran,
faktor risiko potensial, dan infeksi silang antar jenis Hepatitis Virus, maupun infeksi
lainnya seperti HIV dan Infeksi Menular Seksual lainnya. Pelaksanaan Surveilans
Sentinel Hepatitis pada kelompok berisiko tinggi ini, diintegrasikan pada Surveilans
Sentinel HIV.
Disamping itu Surveilans Sentinel Hepatitis B dilaksanakan pada Balita di
fasilitas layanan kesehatan. Pelaksanaan Surveilans Sentinel ini dilaksanakan setahun
sekali.

C. PENYELIDIKAN PENANGGULANGAN KLB


1) Penyelidikan Epidemiologi
Ditemukannya lebih dari satu penderita dalam satu klaster dengan gejala klinis
hepatitis A (dapat berupa demam, sakit kepala, lelah, nafsu makan menurun, perut
kembung, mual dan muntah, yang diikuti dengan jaundice, air kencing berwarna
gelap, dan lain-lain) merupakan sinyal dugaan terjadi KLB hepatitis A. Dugaan dapat
diperkuat dengan ditemukannya IgM antibodi terhadap virus hepatitis A pada
beberapa kasus yang diperiksa.
Secara klinis KLB hepatitis A sering sulit dibedakan dengan KLB hepatitis E,
tetapi seringkali pada KLB Hepatitis E disertai kematian pada ibu hamil, sementara
pada KLB Hepatitis A tidak ada kematian. Perbedaan klinis dengan KLB malaria
falcifarum juga sering sulit dibedakan. Malaria falcifarum sering menyerang semua
umur, lebih jarang munculnya gejala jaundice, tetapi dengan kematian yang lebih
tinggi. Kurva epidemi malaria bukan berupa common source. Adanya nyamuk
sebagai sumber penularan seringkali membantu penegakan diagnosis KLB malaria.
Kejadian luar biasa hepatitis A ditetapkan apabila terdapat dua kasus klinis
hepatitis A atau lebih yang berhubungan secara epidemiologis. Karena penyakit ini
mempunyai gejala klinis dengan spektrum yang bervariasi mulai dari tanpa gejala
(asimtomatik), ringan yang sembuh dalam 1-2 minggu, sampai dengan penyakit
dengan gejala yang berat yang berlangsung sampai beberapa bulan maka bukti-bukti
epidemiologis sudah dapat mendukung diagnosis secara klinis. Bukti-bukti
epidemiologis antara lain ditemukannya klaster orang dengan gejala klinis mengarah
ke diagnosis hepatitis A (dua atau lebih gejala : demam, sakit kepala, lelah, nafsu
makan menurun, perut kembung, mual dan muntah, yang diikuti dengan jaundice, air
kencing berwarna gelap).
Kriteria kasus konfirmasi :
a. Ditemukannya antibodi IgM terhadap virus hepatitis A (IgM anti-HAV) pada
serum sebagai pertanda yang bersangkutan menderita penyakit akut atau
penderita ini baru saja sembuh. IgM anti-HAV terdeteksi dalam waktu 5-10
harisetelah terpajan; dan/atau.
b. Meningkatnya titer antibodi spesifik 4 kali atau lebih dalam pasangan serum,
antibodi dapat dideteksi dengan RIA atau ELISA. (Kit untuk pemeriksaan IgM
dan antibodi total dari virus tersedia luassecara komersial).

Laporan penyelidikan epidemiologi sebaiknya dapat menjelaskan :

a) Diagnosis KLB hepatitis A


b) Penyebaran kasus menurut waktu (minggu), wilayah geografi (RT/RW, desa dan
Kecamatan), umur dan faktor lainnya yang diperlukan, misalnya sekolah, tempat
kerja dan sebagainya.
c) Sumber dan cara penularan
d) Status KLB pada saat penyelidikan epidemiologi dilaksanakan serta perkiraan
peningkatan dan penyebaran KLB.
e) Rencana upaya penanggulangannya

2) Upaya Penanggulangan KLB


a) Upaya penanggulangan KLB terutama diarahkan pada tatalaksana kasus dan
pemutusan rantai penularan.
b) Identifikasi cara penularan dengan teknik investigasi epidemiologis, apakah
penularan terjadi dari orang ke orang atau dengan cara ”common source”, dan
carilah populasi yang terpajan.
˗ Bila diidentifikasi sebagai penularan orang ke orang, maka tindakan
selanjutnya adalah isolasi penderita selama masa inkubasi (sejak kasus
ditemukan sampai 2 minggu setelah timbul gejala).
˗ Bila diidentifikasi sebagai penularan “common source”, maka tindakan
selanjutnya adalah identifikasisumber penularan.
c) Upaya memutus rantai penularan dilakukan melalui perbaikan sanitasi dan
pengamanan makanan.
˗ Apabila telah teridentifikasi sumber penularan, maka dilakukan semua upaya
berdasarkan sumber penularannya. Bila sumber penularan adalah sumber air
yang terkontaminasi, maka dapat dilakukan desinfeksi pada sumber air
tersebut. Bila sumber penularan adalah akibat pangan terkontaminasi, maka
dilakukan perbaikan hiegine sanitasi dan pengamanan pangan. Sumber
penularan dimaksud diisolasi sampai diyakini tidak mengandung virus.
Beberapa cara inaktivasi virus hepatitis A :
• Pemanasan pada suhu 85°C selama 1 menit
• Sterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121°C selama 20 menit
• Radiasi ultraviolet pada 1,1 W pada kedalaman 0,9 cm selama 1 menit
• Sterilisasi dengan formalin 8% selama 1 menit pada suhu 25°C
• Desinfeksi dengan larutan potasium permanganat 30 mg/liter selama 5
menit
• Desinfeksi dengan larutan iodin 3 mg/liter selama 5 menit
• Desinfeksi dengan larutan klorin bebas residu 2 - 2,5 mg/liter selama 15
menit
• Desinfeksi dengan larutan yang mengandung klorin (3 sampai 10 mg/liter
larutan sodium hipoklorit pada suhu 20°C selama 5 – 15 menit)
˗ Apabila belum teridentifikasi sumber penularannya dengan jelas, maka
perbaikan sanitasi dan pengamanan pangan segera ditegakkan dengan ketat
terhadap semua kantin dan jajanan yang berhubungan dengan populasi
berisiko, termasuk diantaranya membawa makanan dari rumah masing-
masing.
d) Tidak ada pengobatan spesifik. Penderita membutuhkan istirahat yang cukup,
makanan rendah lemak. Pengobatan berupa terapi suportif untuk mengatasi gejala
dan menjamin asupan nutrisi seimbang, termasuk bila diperlukan cairan pengganti
akibat muntah atau diare. Isolasi air kencing dan tinja penderita dilakukan untuk
mencegah penularan dan penyebaran virus.
e) Pemberian imunisasi pada saat terjadinya KLB tidak dianjurkan.
D. CONTOH KASUS HEPATITIS
Jurnal : ANALISIS KEJADIAN LUAR BIASA HEPATITIS A DI SMA X
KABUPATEN LAMONGAN TAHUN 2018
Kejadian Luar Biasa (KLB) Hepatitis A dilaporkan terjadi oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten Lamongan kepada Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit Surabaya pada tanggal 16 Januari 2018 yang ditandai dengan
adanya peningkatan kasus hepatitis A di Dusun G dan S, Kelurahan B. Salah satu
penderita awal adalah siswa SMA X.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik epidemiologi
KLB Hepatitis A yang terjadi di lingkungan SMA X dan gambaran faktor risikonya.
Metode: Penyelidikan dilaksanakan secara observasional dengan pendekatan
cross-sectional. Teknik pengumpulan data melalui wawancara terstruktur, pengujian
antibodi hepatitis A pada sampel darah, observasi lingkungan, dan pengujian sampel air,
dengan penentuan responden secara purposive.
Hasil: KLB hepatitis A di SMA X Kabupaten Lamongan berlangsung mulai dari
November 2017 hingga Januari 2018, dengan sasaran kelompok siswa sebanyak 33
orang. Bentuk kurva epidemi cenderung common source yang berkepanjangan. Faktor
risiko yakni riwayat kontak dengan penderita, kebiasaan makan bersama di satu tempat,
saling tukar dan pemakaian bersama alat makan, tidak memiliki kebiasaan Cuci Tangan
Pakai Sabun (CTPS) pada siswa dan penjamah makanan, tidak tersedianya fasilitas cuci
tangan, pengaplikasian sanitasi dan higiene makanan oleh penjamah makanan yang
kurang, serta kondisi penempatan sumur sumber air yang kurang memadai.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hepatitis adalah inflamasi/radang dan cedera pada hepar karena reaksi hepar
terhadap berbagai kondisi terutama virus, obat-obatan dan alkohol (Ester,2002).
Hepatitis adalah infeksi sistemik yang dominan menyerang hati. Hepatitis virus
adalah istilah yang digunakan untuk infeksi hepar oleh virus disertainekrosis dan
inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan kumpulan perubahanklinis, biokomia
serta seluler yang khas (Brunner dan Suddarth, 2002 ).
Menurut hasil Riskesdas Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013,
bahwa jumlah orang yang didiagnosis Hepatitis di fasilitas pelayanan kesehatan
berdasarkan gejala-gejala yang ada, menunjukan peningkatan 2 kali lipat apabila
dibandingkan dari data tahun 2007 dan 2013, hal ini dapat memberikan petunjuk awal
kepada kita tentang upaya pengendalian di masa lalu, peningkatan akses, potensial
masalah di masa yang akan datang apabila tidak segera dilakukan upaya-upaya yang
serius.
Kegiatan pengamatan surveilans yang dilakukan secara sistematis dan terus
menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian Hepatitis virus serta kondisi
yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan Hepatitis Virus untuk
memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan penanggulangan
secara efektif dan efisien.
Kejadian luar biasa hepatitis A ditetapkan apabila terdapat dua kasus klinis
hepatitis A atau lebih yang berhubungan secara epidemiologis. Karena penyakit ini
mempunyai gejala klinis dengan spektrum yang bervariasi mulai dari tanpa gejala
(asimtomatik), ringan yang sembuh dalam 1-2 minggu, sampai dengan penyakit
dengan gejala yang berat yang berlangsung sampai beberapa bulan maka bukti-bukti
epidemiologis sudah dapat mendukung diagnosis secara klinis. Upaya
penanggulangan KLB terutama diarahkan pada tatalaksana kasus dan pemutusan
rantai penularan. identifikasi cara penularan dengan teknik investigasi epidemiologis,
apakah penularan terjadi dari orang ke orang atau dengan cara ”common source”, dan
carilah populasi yang terpajan, upaya memutus rantai penularan dilakukan melalui
perbaikan sanitasi dan pengamanan makanan, Pengobatan berupa terapi suportif
untuk mengatasi gejala dan menjamin asupan nutrisi seimbang, termasuk bila
diperlukan cairan pengganti akibat muntah atau diare, Pemberian imunisasi pada saat
terjadinya KLB tidak dianjurkan.
KLB hepatitis A di SMA X Kabupaten Lamongan berlangsung mulai dari
November 2017 hingga Januari 2018, dengan sasaran kelompok siswa sebanyak 33
orang. Bentuk kurva epidemi cenderung common source yang berkepanjangan.
Faktor risiko yakni riwayat kontak dengan penderita, kebiasaan makan bersama di
satu tempat, saling tukar dan pemakaian bersama alat makan, tidak memiliki
kebiasaan Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) pada siswa dan penjamah makanan,
tidak tersedianya fasilitas cuci tangan, pengaplikasian sanitasi dan higiene makanan
oleh penjamah makanan yang kurang, serta kondisi penempatan sumur sumber air
yang kurang memadai.

B. Saran
Untuk menghadapi penyakit yang belum ditemukan obatnya seperti hepatitis ini,
tindakan pencegahan adalah pilihan utama kita. Setelah membaca dan mengetahui
cara penularanya, sebetulnya kita semua sudah mengerti apa yang harus kita kerjakan
supaya terhindar dari penyakit menahun ini. Karena jalur penularan terutama lewat
suntikan, maka setiap kali disuntik harus yakin bahwa jarumnya steril. Yang praktis
adalah penggunakan jarum baru atau disposibel ( sekali pakai buang). Dan yang
paling penting adalah melakukan vaksinasi, vaksin merupakan suatu zat ( antigen)
yang jika disuntikan ke dalam tubuh kita dapat merangsang sistem kekebalan tubuh
untuk menghasilkan zat anti ( antibodi) terhadap antigen tersebut.
Sebaiknya bagi penderita hepatitis segera mendapatkan perawatan secepatnya
agar tidak bertambah parah hingga menyebabkan kanker hati. Dan para ahli
Kesehatan Masyarakat harus memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien dan
keluarga pasien yang belum megetahui bahaya dan cara pencegahan hepatitis sedini
mungkin. Para ahli Kesehatan Masyarakat juga dapat memberikan tindakan prevenif
untuk menaggulangi penyakit Hepatitis ini, sehingga mampun mengurangi angka
kesakitan Hepatitis dan dapat meningkatkan derajat kesehatan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Centers for Disease Control and Prevention. 2016, Viral Hepatitis Surveillance: United
States, 2013. US : Department of Health and Human Services, Atlanta

http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No._53_ttg_Penanggulangan_H
epatitis_Virus_.pdf
https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-
hepatitis.pdf
https://r.search.yahoo.com/_ylt=Awr9F7BTK2Rh1v4AqT1XNyoA;_ylu=Y29sbwNncTE
EcG9zAzQEdnRpZAMEc2VjA3Ny/RV=2/RE=1633983444/RO=10/RU=https%3a%2f
%2fe-
journal.unair.ac.id%2fJBE%2farticle%2fdownload
%2f8433%2f5367/RK=2/RS=Cg9zDdUfwGvwIww3BAvMP0k2YJI-

Anda mungkin juga menyukai