Anda di halaman 1dari 44

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................1

A. Latar Belakang............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................3
C. Tujuan........................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................4

A.Definisi Penyakit Hepatitis...........................................................................................4

B.Epidemiologi Penyakit Hepatitis...................................................................................6

C.Riwayat Alamiah Penyakit (RAP) Hepatitis..................................................................16

D. Rantai Penularan Penyakit Hepatitis.........................................................................25

E. Upaya Pencegahan pada Penyakit Hepatitis..............................................................29

F. Upaya Penanggulangan pada Penyakit Hepatitis.......................................................34

BAB III PENUTUP...........................................................................................................37

A.Kesimpulan...............................................................................................................37
B. Saran........................................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................41

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hati adalah salah satu organ yang paling penting. Organ ini berperan sebagai
gudang untuk menimbun gula, lemak, vitamin dan gizi. Memerangi racun dalam
tubuh seperti alkohol, menyaring produk-produk yang tidak berguna lagi dari darah
dan bertindak sebagai semacam pengaruh bagian tubuh yang menjamin terjadinya
keseimbangan zat-zat kimia dalam sistem itu. Hepatitis merupakan inflamasi dan
cedera pada hepar, penyakit ini dapat disebabkan oleh infeksi atau oleh toksin
termasuk alkohol dan dijumpai pada kanker hati. Hepatitis virus adalah istilah yang
digunakan untuk infeksi hepar oleh virus, identifikasi virus penyakit dilakukan terus
menerus, tetapi agen virus A, B, C, D, E, F dan G terhitung kira-kira 95% kasus dari
hepatitis virus akut. (Ester, 2002).
Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk
di Indonesia, yang terdiri dari Hepatitis A, B, C, D dan E. Bahkan sekarang muncul
lagi Hepatitis F dan G. Hepatitis A dan E sering muncul sebagai kejadian luar biasa
(KLB), ditularkan secara fecal oral dan biasanya berhubungan dengan perilaku hidup
bersih dan sehat, bersifat akut dan dapat sembuh dengan baik. Sedangkan Hepatitis B,
C, dan D (jarang) ditularkan secara parenteral, dapat menjadi kronis dan
menimbulkan cirrhosis dan lalu kanker hati. Virus Hepatitis B telah menginfeksi
sejumlah 2 milyar orang di dunia, sekitar 240 juta orang diantaranya menjadi
pengidap Hepatitis B kronik, sedangkan untuk penderita Hepatitis C di dunia
diperkirakan sebesar 170 orang. Sebanyak 1,5 juta penduduk dunia meninggal setiap
tahunnya karena Hepatitis (Kemenkes, 2014).
Penyakit hepatitis merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati
diseluruh dunia. Penyakit ini sangat berbahaya bagi kehidupan karena penyakit
hepatits ataupun gejala sisanya bertanggung jawab atas 1-2 juta kematian setiap
tahunnya. Infeksi virus hepatitis bisa berkembang menjadi sirosis atau pengerasan
hati bahkan kanker hati. Masalahnya, sebagian besar infeksi hepatitis tidak
menimbulkan gejala dan baru terasa 10-30 tahun kemudian saat infeksi sudah parah.
Pada saat itu gejala timbul, antara lain badan terasa panas, mual, muntah, mudah
lelah, nyeri diperut kanan atas, setelah beberapa hari air seninya berwarna seperti teh

1
tua, kemudian mata tampak kuning dan akhirnya seluruh kulit tubuh menjadi kuning.
Pasien hepatitis biasanya baru sembuh dalam waktu satu bulan (Aru, 2006).
Insiden hepatitis yang terus meningkat semakin menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Penyakit ini menjadi penting karena mudah ditularkan, memiliki
morbiditas yang tinggi dan menyebabkan penderitanya absen dari sekolah atau
pekerjaan untuk waktu yang lama. 60-90% dari kasus-kasus hepatitis virus
diperkirakan berlangsung tanpa dilaporkan. Keberadaan kasus-kasus subklinis,
ketidakberhasilan untuk mengenali kasus-kasus yang ringan dan kesalahan diagnosis
diperkirakan turut menjadi penyebab pelaporan yang kurang dari keadaan
sebenarnya. (Brunner dan Sudarth, 2001).
Pada umumnya klien yang menderita penyakit hepatitis ini mengalami
Anoreksia atau penurunan nafsu makan dimana gejala ini diperkirakan terjadi akibat
pelepasan toksin oleh hati yang rusak untuk melakukan detoksifikasi produk yang
abnormal sehingga klien ini haruslah mendapatkan nutrisi yang cukup agar dapat
memproduksi enegi metabolik sehingga klien tidak mudah lelah. Secara khusus terapi
nutrisi yang didesain dapat diberikan melalui rute parenteral atau enteral bila
penggunaan standar diet melalui rute oral tidak adekuat atau tidak mungkin untuk
mencegah/memperbaiki malnutrisi protein-kalori. Nutrisi enteral lebih ditujukan pada
pasien yang mempunyai fungsi GI tetapi tidak mampu mengkonsumsi masukan
nasogastrik. Nutrisi parenteral dapat dipilih karena status perubahan metabolik atau
bila abnormalitas mekanik atau fungsi dari saluran gastrointestinal mencegah
pemberian makan enteral. Asam amino,karbohidrat, elemen renik, vitamin dan
elektrolit dapat diinfuskan melalui vena sentral atau perifer. (Marilyn, 1999).
Pentingnya mengetahui penyebab hepatitis bagi klien adalah apabila ada
anggota keluarga menderita penyakit yang sama, supaya anggota keluarga dan klien
siap menghadapi resiko terburuk dari penyakit hepatitis beserta komplikasinya
sehingga penderita mampu menyiapkan diri dengan pencegahan dan pengobatan
yaitu: penyediaan makanan dan air bersih yang aman, sistem pembuangan sampah
yang efektif, perhatikan higiene secara umum, mencuci tangan, pemakaian kateter,
jarum suntik dan spuit sekali pakai serta selalu menjaga kondisi tubuh dengan sebaik-
baiknya. Apabila hal ini tidak dilakukan dengan benar dan teratur berarti keluarga dan
penderita harus siap menerima resiko komplikasi lainnya dan bahkan dapat
menyebabkan kematian.

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi penyakit hepatitis?

2. Apa epidemiologi penyakit hepatitis?

3. Apa tanda dan bagaimana riwayat alamiah penyakit (RAP) hepatitis?

4. Apa penyebab dan bagaimana rantai penularan penyakit hepatitis?

5. Bagaimana upaya pencegahan terhadap penyakit hepatitis?

6. Bagaiman upaya penanggulangan terhadap penyakit hepatitis?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi penyakit hepatitis.
2. Untuk mengetahui epidemiologi penyakit hepatitis.
3. Untuk mengetahui tanda- tanda dan bagaimana proses riwayat alamiah penyakit
hepatitis.
4. Untuk mengetahui dan menerapkan bagaimana upaya pencegahan terhadap
penyakit hepatitis.
5. Untuk mengetahui dan menerapkan bagaimana upaya penanggulangan terhadap
penyakit hepatitis secara tepat dan benar.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Penyakit Hepatitis


Hepatitis adalah inflamasi/radang dan cedera pada hepar karena reaksi hepar
terhadap berbagai kondisi terutama virus, obat-obatan dan alkohol (Ester, 2002).
Hepatitis adalah infeksi sistemik yang dominan menyerang hati. Hepatitis virus
adalah istilah yang digunakan untuk infeksi hepar oleh virus disertai nekrosis dn
inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan kumpulan perubahan klinis, biokomia
serta seluler yang khas (Brunner dan Suddarth, 2002 ).

Hepatitis virus merupakan infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan
inflamasi pada sel- sel hati yang menghasilakan kumpulan perubahan klinis, biokimia
serta seluler yang khas. Sampai saat ini telah teridentifikasi lima tipe hepatitis virus
yang pasti: hepatitis A, B, C, D, E. Hepatitis A dan E mempunyai cara penularan
yang serupa ( jalur fekal – oral ) sedangkan hepatitis B, C, dan D memilki banyak
karateristik yang sama. Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan
yang dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan
serta bahan-bahan kimia (Hadi, 1999). Ada berbagai macam penyakit hepatitis, yaitu:
1. Hepatitis A
Hepatitis A adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Hepatitis A
(HAV) yang bertransmisi HAV melalui fecal-oral, yakni virus masuk ke dalam tubuh
ketika seseorang mengonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi tinja
mengandung HAV. Hepatitis A tergolong penyakit menular yang ringan, sehingga
dapat sembuh spontan atau sempurna tanpa gejala sisa, serta tidak menyebabkan
infeksi kronis (Kemenkes, 2011).
Virus Hepatitis A (HAV) sama dengan penyebab hepatitis yang ditularkan
melalui air di seluruh dunia, terutama wilayah intropis dan subtropis (CDC, 2014).
HAV ditemukan dalam tinja pasien yang terkontaminasi virus hepatitis A dan
biasanya ditularkan dari orang ke orang melalui air dan makanan yang terkontaminasi
HAV (1-4). Oleh karena itu, HAV dapat menyebar dalam kondisi sanitasi yang buruk
dan juga ketika tidak ada kebersihan pribadi yang baik (Soleimanti et al, 2015).

4
2. Hepatitis B
Infeksi virus hepatitis B adalah penyakit radang- infeksi pada hati yang
disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV) - virus hepadna (Zukerman, 1996).
Awalnya, itu dikenal sebagai "serum hepatitis (Bakar et al., 1996), dan telah
menyebabkan epidemi di dunia (Asia dan Afrika Sub-Sahara), dengan penyakit ini
sekarang menjadi endemik di Cina (Williams, 2006).
Infeksi Virus Hepatitis B (VHB) merupakan masalah kesehatan utama di
seluruh dunia, dan sudah menginfeksi dua milyar penduduk dunia. Diperkirakan
enam puluh lima kematian pada pengidap hepatitis B diakibatkan oleh sirosis dan
karsinoma hepatoselular. Diagnosis Virus Hepatitis B dilakukan dengan
memperhatikan gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan HBsAg, Anti HBs, HBeAg,
AntiHBe, IgMHBc, HBV DNA (Yulia, 2019).
3. Hepatitis C
Virus hepatitis C merupakan penyebab kedua epidemi infeksi virus setelah
human immunodeficiency virus (HIV) dalam dua dekade terakhir. Sementara itu,
koinfeksi human immunodeficiency virus dan hepatitis C virus (koinfeksi HIV/
HCV) merupakan masalah yang diprediksi berkembang di masa yang akan datang.
Infeksi hepatitis C umumnya ditemukan pada pasien HIV karena kedua virus tersebut
mempunyai kesamaan rute transmisi (Mohsen dkk, 2002).
United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) melaporkan bahwa
sebagian besar infeksi HIV di Indonesia terjadi melalui penggunaan peralatan suntik
yang terkontaminasi.
4. Hepatitis D
Hepatitis D disebabkan oleh virus yang unik karena untuk replikasinya
memerlukan keberadaan virus hepatitis B. Penularannya melalui hubungan seksual,
jarum suntik, dan transfuse darah. Gejala penyakit hepatitis D bervariasi, dapat
muncul sebagai gejala yang ringan atau amat progresif (Tetty dan Deswaty, 2007).
HDV adalah menular melalui darah-Borne, seksual, perkutan, permucosal, dan
Perinatal berarti, meskipun transmisi Perinatal kurang umum daripada untuk HBV.

Hepatitis D disebabkan oleh virus hepatitis D (HDV), patogen RNA unik yang
membutuhkan infeksi antigen permukaan hepatitis B (HBsAg). Hepatitis D ditularkan
melalui rute parenteral. Kelompok rentan utama adalah pasien dengan infeksi HBsAg

5
kronis yang menjadi superinfeksi dengan virus. Hepatitis D terjadi di seluruh dunia,
tetapi pengendalian virus hepatitis B (HBV) dalam dua dekade terakhir secara
konsisten mengurangi sirkulasi HDV di negara-negara industri. Namun, hepatitis D
tetap menjadi masalah medis bagi pengguna narkoba suntik (Penasun), serta imigran
dari daerah HDV endemik, yang memperkenalkan kembali infeksi di Eropa.

Hepatitis Delta adalah penyakit radang hati yang disebabkan oleh virus
hepatitis Delta (HDV), virus RNA yang rusak yang membutuhkan fungsi helper
wajib dari virus hepatitis B (HBV) untuk penularan dan siklus hidupnya. Untuk
alasan ini, HDV diperoleh baik sebagai koinfeksi kedua virus atau sebagai
superinfeksi dari pembawa HBV kronis. Hasil klinisnya berbeda: koinfeksi biasanya
berjalan dengan sendirinya terbatas yang berakhir dengan pembersihan kedua virus
dan pemulihan lengkap dalam banyak kasus, karena antigenemia permukaan hepatitis
B sementara, yang diperlukan untuk mendukung replikasi HDV (Romeo, 2013).

5. Hepatitis E
Hepatitis E adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis E (HEV).
Virus memiliki setidaknya 4 jenis: genotipe 1, 2, 3 dan 4. Genotipe 1 dan 2 hanya
ditemukan pada manusia. Genotipe 3 dan 4 bersirkulasi pada beberapa hewan
(termasuk babi, babi hutan, dan rusa) tanpa menyebabkan penyakit apa pun, dan
kadang-kadang menginfeksi manusia.
Virus ini ditumpahkan di tinja orang yang terinfeksi, dan masuk ke tubuh
manusia melalui usus. Ini ditularkan terutama melalui air minum yang
terkontaminasi. Biasanya infeksi sembuh sendiri dan sembuh dalam 2-6 minggu.
Kadang-kadang penyakit serius, yang dikenal sebagai hepatitis fulminan (gagal hati
akut) berkembang, dan proporsi orang dengan penyakit ini bisa mati (WHO, 2016).

B. Epidemiologi Penyakit Hepatitis


1. Hepatitis A

6
Kira-kira 1,5 juta kasus klinis hepatitis A terjadi di seluruh dunia
setiap tahun tetapi tingkat infeksi mungkin sepuluh kali lebih tinggi. Tingkat
kejadian sangat terkait dengan indikator sosial ekonomi dan akses ke air
minum yang aman: ketika pendapatan meningkat dan akses ke air bersih
meningkat, kejadian infeksi HAV berkurang. Hubungan risiko infeksi HAV
dengan standar kebersihan dan sanitasi, ekspresi klinis penyakit yang
bergantung pada usia, dan kekebalan seumur hidup menentukan pola infeksi
HAV yang berbeda yang diamati di seluruh dunia. Tingkat endemisitas HAV
untuk suatu populasi ditentukan oleh hasil survei usia-seroprevalensi; ulasan
sistematis tentang prevalensi global infeksi HAV baru-baru ini diterbitkan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (WHO, 2010).
Daerah-daerah di dunia dapat dikategorikan memiliki endemisitas
tinggi, sedang dan rendah untuk hepatitis A. Di negara-negara kurang
berkembang dengan kondisi sanitasi dan higienis yang sangat buruk, infeksi
HAV sangat endemik dan kebanyakan orang terinfeksi pada anak usia dini.
Karena infeksi terjadi pada usia dini ketika penyakit sering tidak menunjukkan
gejala, tingkat penyakit yang dilaporkan di daerah ini relatif rendah dan wabah
tidak umum terjadi. Area dengan endemisitas tinggi meliputi sebagian besar
Afrika, Asia dan Amerika Tengah dan Selatan. Kondisi yang berkontribusi
terhadap penyebaran virus di kalangan anak-anak muda di daerah-daerah ini
termasuk atau diakibatkan karena kepadatan rumah tangga, sanitasi yang buruk
dan persediaan air yang tidak memadai (Wasley et al, 2006).
Di sebagian besar negara maju, seperti Amerika Utara, Eropa Barat,
Australia dan Jepang, kondisi sanitasi dan higienis pada umumnya baik dan
tingkat infeksi pada anak-anak umumnya rendah. Tingkat puncak infeksi dan
penyakit yang dilaporkan cenderung di antara remaja dan dewasa muda. Di
daerah-daerah ini, wabah besar masyarakat luas dengan penularan dari orang

7
ke orang masih dapat berkontribusi secara signifikan terhadap beban penyakit
hepatitis A. Selain itu, wabah sesekali di pusat penitipan anak atau lembaga
perumahan dan epidemi yang ditularkan melalui makanan atau air dapat
terjadi. Di beberapa negara dengan prevalensi sangat rendah (mis. Eropa
Utara), penyakit mendominasi di antara kelompok risiko dewasa tertentu:
pelancong ke negara-negara di mana hepatitis A endemik; pengguna narkoba
suntikan; dan pria dengan riwayat perilaku homoseksual. Prevalensi anti-HAV
meningkat secara bertahap seiring bertambahnya usia, terutama mencerminkan
penurunan insiden, perubahan endemisitas dan akibatnya tingkat infeksi anak
yang lebih rendah dari waktu ke waktu (Haliday et al, 1991).

PREVALENSI HEPATITIS A: FOKUS PADA NEGARA-NEGARA


BERKEMBANG
Afrika
Informasi tentang infeksi HAV di Afrika terbatas. Data yang tersedia
menunjukkan bahwa sebagian besar Afrika tetap merupakan daerah
endemisitas tinggi, dengan pengecualian subpopulasi di beberapa daerah,
seperti orang kulit putih di Afrika Selatan. Pada 1990-an, hampir semua anak
kulit hitam di Afrika Selatan anti-HAV-positif pada usia 12 tahun dan hampir
100% orang dewasa kulit hitam memiliki antibodi terhadap HAV sebelum usia
20 tahun, sementara hanya 30% -40% kulit putih. orang dewasa adalah anti-
HAV-positif pada usia 20 tahun, meningkat menjadi sekitar 60% pada usia 40-
49 tahun (Johnson, 2010).
Afrika Utara memiliki tingkat menengah anti-HAV seroprevalensi. Studi
dari tahun 1980-an menunjukkan kekebalan yang hampir universal di banyak
negara; tingkat kekebalan 100% pada usia 10 tahun ditemukan di Aljazair dan
hampir 100% orang dewasa anti-HAV positif di Maroko. Data yang lebih baru
menunjukkan bahwa, secara umum, daerah perkotaan telah mengalami
penurunan infeksi hepatitis A, sementara tingkat di daerah pedesaan tetap
tinggi dan prevalensi umumnya lebih rendah di kelas sosial yang lebih tinggi
(WHO, 2010).
Peningkatan yang signifikan dalam seroprevalensi dengan usia yang
lebih tua dan kelas sosial yang lebih rendah dikonfirmasi dalam penelitian
tahun 2008 di mana 296 anak-anak Mesir yang berusia 2,5-18 tahun dari kelas
sosial yang berbeda diuji untuk mengevaluasi apakah akan memberikan vaksin

8
HAV lebih awal dalam hidup atau membiarkan anak-anak untuk memperoleh
kekebalan alami. Secara keseluruhan, 61,4% seropositif; anti-HAV terdeteksi
pada 27,3% anak tinggi dan 81% anak kelas sosial rendah berusia <6 tahun
(Al-Aziz dan Awad, 2008).
Asia
Tingkat seroprevalensi HAV sangat bervariasi di antara negara-negara di
Asia, dengan beberapa terus memiliki tingkat tinggi dan yang lain melakukan
transisi ke insidensi sedang atau rendah.
Daerah endemisitas rendah termasuk Jepang dan negara-negara lain
seperti Taiwan di mana prevalensi telah menurun tajam dalam beberapa tahun
terakhir. Faktanya, sementara pada 1970-an prevalensi anti-HAV pada orang
dewasa lebih dari 90%, studi kemudian menunjukkan bahwa di wilayah
metropolitan Taipei, prevalensinya hampir 0% dan di daerah pedesaan hanya
sedikit remaja dan dewasa muda yang menunjukkan tanda-tanda infeksi
sebelumnya (Chen et al, 2010).
Di negara endemisitas moderat, seperti Korea, Indonesia, Thailand, Sri
Lanka dan Malaysia, data yang tersedia menunjukkan bahwa tingkat kejadian
mungkin menurun, setidaknya di daerah perkotaan, dan usia saat infeksi
meningkat dari awal hingga akhir masa kanak-kanak, yang meningkatkan
risiko wabah. Jumlah kasus hepatitis A dewasa semakin meningkat selama
beberapa dekade terakhir di Korea. Selain itu, pola seroprevalensi khusus usia
anti-HAV telah berubah seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Prevalensi
anti-HAV pada rentang usia 10-50 tahun telah menurun dengan cepat selama 3
dekade terakhir. Akibatnya, kelompok usia ini memiliki risiko tinggi untuk
infeksi HAV dan hepatitis A yang jelas secara klinis meningkat pada remaja
dan orang dewasa (Kim dan Lee, 2010).
Di Cina dan India, dua negara terpadat di dunia yang telah menunjukkan
perkembangan sosio-ekonomi yang sangat cepat dalam beberapa tahun
terakhir, banyak daerah endemisitas tinggi untuk infeksi HAV hidup
berdampingan dengan yang lain, membuat transisi ke insidensi sedang (WHO,
2010).
Hepatitis A telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang relevan di
Cina. Lebih dari 300.000 kasus hepatitis A klinis dilaporkan selama wabah
terkait kerang di Shanghai pada tahun 1988; Namun, dalam dua dekade
berikutnya, tingkat kejadian nasional hepatitis A tahunan menurun secara

9
dramatis. Di perkotaan Cina pada awal 1990-an, meskipun hingga setengah
dari 10 tahun memiliki antibodi terhadap hepatitis A, seroprevalensi di
sebagian besar kota tidak mencapai 100%, bahkan untuk mereka yang berusia
60 tahun ke atas, meninggalkan kelompok populasi yang rentan dan
menciptakan kemungkinan wabah. Pada tahun 2006, dua insiden hepatitis A
utama terjadi di Cina: satu adalah wabah di sebuah sekolah di selatan dan yang
lainnya adalah epidemi yang melibatkan beberapa galur HAV di Wilayah
Otonomi Cina barat laut (Wang et al, 2009).
Di India, kantong heterogen dari individu yang rentan dan terpapar
dapat hidup berdampingan di berbagai wilayah. Sekitar 15 tahun yang lalu,
tingkat anti-HAV dalam darah tali pusat pada bayi baru lahir di India hampir
100%, yang pada gilirannya mencerminkan prevalensi antibodi ibu. Dalam
penelitian terbaru, level ini telah turun menjadi 50% -60%. Beberapa
penelitian juga menunjukkan bahwa seroprevalensi antibodi HAV paling
rendah pada kelompok usia 6 bulan sampai 2 tahun dan paparan maksimum
terhadap HAV terjadi pada usia 2 hingga 5 tahun. Pengamatan ini mungkin
menjadi indikasi pertama dari pergeseran epidemiologis usia akuisisi infeksi
HAV di masyarakat, bahkan jika data yang tersedia saat ini tidak
mengkonfirmasi penurunan konsisten dalam tingkat seroprevalensi HAV masa
kanak-kanak dan peningkatan kerentanan terhadap HAV pada dewasa muda
(Elisabetta, 2012).

Saat ini, di banyak negara Asia lainnya, infeksi HAV masih sangat
endemis. Studi dari Pakistan pada 1980-an, 1990-an, dan 2000-an
menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak mendapatkan kekebalan pada
usia prasekolah dan hampir semua remaja dan orang dewasa kebal. Antara
1980-an dan 1990-an di Nepal, hampir semua remaja kebal pada usia 15 tahun.
Di Bangladesh, lebih dari setengah anak berusia 5 tahun dan hampir semua
remaja dan dewasa kebal (WHO,2010).
Amerika Tengah dan Selatan
Negara-negara Amerika Latin menunjukkan banyak karakteristik dari
negara-negara berkembang, dengan migrasi dari komunitas pedesaan ke kota-
kota yang mengarah ke daerah perkotaan yang berpenghasilan rendah dan
kekurangan sosial. Peningkatan dalam program kesehatan masyarakat dan
kondisi sanitasi telah berdampak pada pola epidemiologis infeksi HAV di

10
negara berkembang dan studi sebelumnya menunjukkan Amerika Latin
menjadi daerah dengan endemisitas tinggi dengan infeksi hampir universal
sebelum usia 10 tahun mungkin tidak lagi sah. Namun demikian, sulit untuk
memperkirakan kejadian pasti hepatitis A karena tingginya proporsi infeksi
subklinis dan penyakit anicteric dan berbagai program pengawasan.
Diperkirakan bahwa kejadian sebenarnya adalah 10 kali lebih tinggi dari yang
dilaporkan (Elisabetta, 2012).
Pola endemisitas terus tinggi di beberapa negara Amerika Latin, seperti
daerah Tengah dan Karibia, di mana penelitian yang dilakukan antara 1990
dan 1999 menunjukkan tingkat seroprevalensi yang sangat tinggi dan
menemukan bahwa lebih dari separuh anak-anak telah mengembangkan
kekebalan dengan yang kedua. ulang tahun dan hampir semua orang dewasa di
daerah pedesaan dan perkotaan kebal terhadap HAV (WHO, 2010).
Data dari penelitian terbaru menunjukkan bahwa prevalensi anti-HAV
menurun di beberapa negara Amerika Selatan, termasuk Argentina, Bolivia,
Brasil, Venezuela, Chili dan Uruguay di mana telah terjadi pergeseran dari
endemisitas tinggi ke sedang. Pergeseran ini diperoleh dengan perbaikan
dalam program kesehatan masyarakat dan kondisi sanitasi di sebagian besar
wilayah ini (Tapia et al, 1999).
2. Hepatitis B
Epidemiologi hepatitis B dapat dijelaskan dalam hal prevalensi antigen
permukaan hepatitis B (HBsAg) dalam suatu populasi, secara luas
diklasifikasikan menjadi tinggi (> 8% prevalensi HBsAg), sedang- (2% -7%)
dan rendah- daerah prevalensi (<2%) (Previsani dan Lavanchy 2002). Kategori
luas ini berguna untuk memahami pola penularan yang dominan dan hasil
untuk infeksi, serta beban populasi relatif dari konsekuensi hepatitis B kronis,
termasuk kanker hati (Gambar 1).

11
Gambar 1: Global prevalence of hepatitis B virus infection. (Dari Centers for
Disease Control 2012.)
Populasi Prevalensi Tinggi
Di negara-negara di mana infeksi HBV kronis mempengaruhi lebih dari
8% populasi, sebagian besar dari orang-orang ini terinfeksi saat lahir atau di
masa kanak-kanak, ketika risiko pengembangan menjadi kronis tinggi
(Lavanchy, 2004). Prevalensi HBV tinggi adalah umum di sebagian besar
wilayah Asia Pasifik dan Afrika sub-Sahara di dunia. Secara global, telah
diperkirakan bahwa 45% dari populasi dunia tinggal di daerah dengan
prevalensi tinggi (Mahoney, 1999). Ada bukti yang menunjukkan bahwa
penularan vertikal lebih umum di Asia daripada di Afrika, di mana proporsi
yang lebih besar dari wanita sangat menular pada usia subur, sebagian terkait
dengan genotipe HBV dominan yang mempengaruhi kemungkinan positifnya
HBeAg dan tingkat tinggi HBV DNA selama usia subur berada yang tertinggi
(Goldstein et al, 2005; Kramvis dan Clements,2010).
Dampak potensial vaksinasi bayi terhadap HBV (Zoulim dan Durantel,
2015) jelas merupakan yang terbesar pada populasi dengan prevalensi tinggi.
Dalam populasi seperti itu di mana vaksinasi bayi universal dilaksanakan lebih
awal, HBsAg tidak hanya turun secara drastis, tetapi ada beberapa bukti untuk
pengurangan yang signifikan dalam insiden kanker hati di antara kelompok
usia yang memenuhi syarat untuk vaksin gratis (Chang et al, 2009; Plymoth et
al, 2009) . Di Cina, prevalensi HBsAg turun dari 9,7% menjadi 1,0% pada
anak-anak berusia kurang dari 5 tahun (Liang et al, 2009), mencegah sekitar 16
hingga 20 juta kasus hepatitis B kronis. Di rangkaian lain, seperti Gambia
Studi Intervensi Hepatitis, khasiat protektif vaksinasi bayi dalam mencegah
infeksi HBV kronis dilaporkan sampai 95% (Plymoth et al, 2009).

12
Populasi Prevalensi Sedang
Wilayah di dunia di mana prevalensi HBV diklasifikasikan sebagai
sedang (2% -7%) termasuk Afrika Utara dan Timur Tengah, sebagian Eropa
Timur dan Selatan, sebagian Amerika Latin, dan Asia Selatan. Ini mewakili
proporsi populasi global yang serupa dengan daerah dengan prevalensi tinggi
(sedikit lebih dari 40%) (Trépo et al, 2014). Di wilayah ini, penularan terjadi
baik secara perinatal maupun horizontal (Lavanchy, 2004). Meskipun cara
penularan yang dominan bervariasi sesuai dengan negara, akuisisi perinatal
dianggap kurang umum di negara-negara perantara dibandingkan dengan
negara-negara dengan prevalensi tinggi, karena prevalensi rendahnya
infektivitas tinggi di antara wanita usia subur (Mahoney, 1999).
Sebagaimana dibahas di atas, kategorisasi prevalensi dapat berubah
dengan dampak imunisasi dan program pencegahan lainnya, dan sejumlah
negara yang sebelumnya dikategorikan sebagai prevalensi tinggi sekarang
diperkirakan memiliki seroprevalensi populasi di bawah 8% (Chang et al,
2009; Liang et al, 2009). Penurunan prevalensi ini melalui dampak vaksinasi
juga telah ditunjukkan di negara-negara dengan prevalensi menengah di Eropa
(Salleras et al, 2005; Sagnelli et al, 2014).
Populasi Prevalensi Rendah
Orang-orang yang tinggal di negara dengan prevalensi HBV rendah
merupakan minoritas dari populasi global (∼12%), dan termasuk Australia,
Asia, Eropa Utara dan Barat, Jepang, Amerika Utara, dan beberapa negara di
Amerika Selatan. Di daerah dengan prevalensi rendah, insiden penularan
vertikal dan horizontal di masa kanak-kanak rendah, dengan sebagian besar
insiden infeksi terjadi pada masa remaja dan dewasa melalui kontak seksual,
penggunaan narkoba suntikan, dan paparan terkait darah lainnya, termasuk
secara historis dalam pengaturan perawatan kesehatan (Jenniffer dan
Benjamin, 2015).
Sebuah tinjauan sistematis baru-baru ini menunjukkan bahwa di seluruh
dunia, 1,2 juta orang yang menyuntikkan narkoba (PWID) hidup dengan
hepatitis B kronis (kisaran 0,3-2,7 juta), dan 6,4 juta sebelumnya telah terpapar
(Nelson et al, 2011). Wilayah dengan prevalensi keseluruhan rendah hepatitis
B kronis (CHB) tetapi beban PWID relatif tinggi yang hidup dengan CHB
termasuk Eropa Timur (280.000; 22,8% dari total global), dan Amerika Utara
(272.500; 22,2% dari total global) . Orang lain yang berisiko lebih tinggi untuk

13
mendapatkan HBV di masa dewasa termasuk mereka yang atau yang telah
dipenjara, pria yang berhubungan seks dengan pria, pekerja seks, dan orang
yang tidak memiliki rumah (Kowdley et al, 2012).
Migrasi global dari prevalensi yang lebih tinggi ke negara-negara
dengan prevalensi rendah juga merupakan penentu penting dari beban hepatitis
B kronis di banyak negara, di mana prevalensi pada migran umumnya
mencerminkan bahwa dari negara asal mereka. Di banyak negara dengan
prevalensi rendah, sebagian besar orang yang hidup dengan HBV kronis lahir
di luar negeri di daerah endemis (Hahne et al, 2004; Marschall et al, 2008;
Kowdley et al, 2012; MacLachlan et al, 2013).

3. Hepatitis C

Hepatitis C diperkirakan bahwa 71.000.000 orang di seluruh dunia


memiliki infeksi Hepatitis C kronis (Tun, 2013), yang beresiko
mengembangkan sirosis hati dan kanker hati (El, 2012). Ini menyumbang
399000 kematian setiap tahun. Diantara berbagai genotipe dari HCV, genotipe
1 adalah yang paling lazim yang menyumbang 46% dari semua infeksi HCV,
diikuti oleh genotipe 3, yang merupakan 22% lazim. Genotype 2 dan 4 masing-
masing memiliki 13% prevalensi. Mengilustrasikan prevalensi global dan
distribusi genotype (Gower, 2014).
Seperti kematian terjadi puluhan tahun setelah terinfeksi, orang mati
kondisi hati sering tidak terkait dengan virus yang mendasari. Sertifikat
kematian orang dengan infeksi HCV meningkat di Amerika Serikat. Meskipun
demikian, satu penelitian memperkirakan, bahwa jumlah pasien yang
didokumentasikan di Amerika Serikat memiliki infeksi HCV di 2010 hanya

14
diwakili seperlima dari pasien yang meninggal akibat penyakit yang
berhubungan dengan HCV tahun (Mahajan, 2014).

4. Hepatitis D

Hepatitis D HDV umumnya terlihat pada orang yang terkena produk


darah yang terinfeksi atau jarum suntik dari HBV yang terinfeksi sebelumnya.
Secara global, 5% dari hepatitis B antigen permukaan positif adalah Co-
terinfeksi HDV (Wedemeyer, 2010). Sekitar 18.000.000 orang terinfeksi HDV
secara global (Farci, 2003).
Infeksi HDV kemungkinan akan menurun di seluruh dunia sebagai
hasil dari keberhasilan imunisasi HBV, dan peningkatan status sosial ekonomi
tetapi data untuk menunjukkan hal ini dari sebagian besar dunia yang kurang
seperti yang ditunjukkan dalam gambar 4 (Wedemeyer, 2010. Daerah endemik
HDV secara tradisional meliputi Afrika Tengah, Tanduk Afrika, cekungan
Amazon, Eropa Timur dan Mediterania, Timur Tengah, dan sebagian Asia
(Rizzetto et al. 1990; Hughes et al. 2011).
Diperkirakan secara global, sekitar 5% orang dengan infeksi HBV kronis
koinfeksi dengan HDV, menghasilkan total 15 - 20 juta orang yang terinfeksi
HDV di seluruh dunia. Daerah dengan prevalensi tinggi termasuk Afrika
(Afrika Tengah dan Barat), Asia (Asia Tengah dan Utara, Vietnam, Mongolia,
Pakistan, Jepang, dan China Taipei), Kepulauan Pasifik (Kiribati, Nauru),
Timur Tengah (semua negara), Timur Eropa (wilayah Mediterania Timur,
Turki), Amerika Selatan (lembah Amazon), dan Greenland. Namun, estimasi
global dan informasi geografis tidak lengkap karena banyak negara tidak
melaporkan prevalensi HDV (WHO, 2016).
5. Hepatitis E

15
Hepatitis E HEV menyebabkan makanan dan penyakit yang ditularkan
melalui air dengan wabah terlihat di seluruh dunia. Wabah ini sebagian besar
terlihat di negara dengan akses terbatas pada air bersih, sanitasi dan kebersihan
yang buruk (Rein, 2012).
Infeksi hepatitis E ditemukan di seluruh dunia. Dua pola berbeda
diamati, di mana hepatitis E ditemukan di: daerah miskin sumber daya dengan
sering terkontaminasi air; dan daerah dengan persediaan air minum yang aman
(WHO, 2016).
Penyakit ini biasa terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah dengan akses terbatas ke air bersih, sanitasi, kebersihan dan layanan
kesehatan. Di daerah-daerah ini, penyakit terjadi baik sebagai wabah maupun
sebagai kasus sporadis. Wabah biasanya mengikuti periode kontaminasi tinja
dari persediaan air minum dan dapat mempengaruhi beberapa ratus hingga
beberapa ribu orang (WHO, 2016).
Beberapa wabah ini telah terjadi di daerah konflik dan darurat
kemanusiaan, seperti zona perang, dan di kamp-kamp untuk pengungsi atau
populasi yang terlantar secara internal, situasi di mana sanitasi dan pasokan air
bersih menimbulkan tantangan khusus. Kasus sporadis juga diyakini terkait
dengan kontaminasi air, meskipun pada skala yang lebih kecil. Kasus-kasus di
daerah ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi virus genotipe 1, dan jauh
lebih jarang oleh virus genotipe 2 (WHO, 2016).
Diperkirakan bahwa sekitar 20.000.000 orang terinfeksi HEV setiap
tahunnya di seluruh dunia dan 44000 dari infeksi ini mengakibatkan kematian.
Gambar 5 menunjukkan distribusi HEV di seluruh dunia (WHO, 2010).
Meskipun HEV memiliki rute yang sama transmisi ke HAV dan tidak
menyebabkan chronicity infeksi akut dengan HEV membawa 3,3% risiko
kematian, yang signifikan (Rein, 2012).

16
C. Riwayat Alamiah Penyakit (RAP) Hepatitis
1. Hepatitis A
Agen penyebab
Hepatitis A adalah penyakit liver yang disebabkan oleh virus hepatitis A
(HAV) (WHO, 2016).
Gejala klinis
Gejala klinis hepatitis A mirip dengan hepatitis lain yang diakibatkan
oleh virus. Hal ini umumnya meliputi: • Demam; • Keletihan/malaise; •
Hilang nafsu makan; • Diare; • Mual; • Rasa tidak nyaman pada perut; dan •
Sakit kuning (warna kulit dan sklera mata berubah kuning, urin gelap dan
feses pucat).
Tidak semua orang yang terinfeksi akan menunjukkan gejala-gejala
tersebut. Orang dewasa lebih sering menampilkan gejala dibandingkan dengan
anak-anak, dan keparahan penyakit akan meningkat pada kelompok usia lebih
tua. Penyembuhan gejala yang muncul akibat infeksi dapat lambat dan
mungkin memakan waktu beberapa minggu atau bulan.
Infeksi Hepatitis A tidak menyebabkan penyakit liver kronis dan jarang
bersifat fatal, namun dapat mengakibatkan gejala pelemahan dan hepatitis
fulminan (gagal ginjal akut), yang berasosiasi dengan tingkat fatalitas yang
tinggi.

Orang dewasa memiliki tanda dan gejala penyakit lebih sering daripada anak-
anak. Tingkat keparahan penyakit dan hasil fatal lebih tinggi pada kelompok
usia yang lebih tua. Anak yang terinfeksi di bawah usia 6 tahun biasanya tidak
mengalami gejala yang nyata, dan hanya 10% yang mengalami ikterus. Di
antara anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa, infeksi biasanya
menyebabkan gejala yang lebih parah, dengan penyakit kuning terjadi pada
lebih dari 70% kasus. Hepatitis A terkadang kambuh. Orang yang baru
sembuh jatuh sakit lagi dengan episode akut lain. Namun, ini diikuti oleh
pemulihan (WHO, 2016).

Cara penularan
HAV terutama ditularkan melalui rute feses-oral, yaitu ketika seseorang yang
belum terinfeksi mengalami kontak dengan atau menelan benda, makanan
atau air yang telah terkontaminasi feses orang yang terinfeksi. Virus ini juga
dapat ditularkan melalui kontak fisik dengan orang yang terinfeksi, termasuk
kontak seksual dan tidak terbatas untuk kontak anal-oral. Penyebarluasan

17
hepatitis A di kalangan pria yang berhubungan seksual dengan sesama pria
telah dilaporkan. Penyebarluasan melalui air, walaupun jarang, biasanya
terkait dengan air yang terkontaminasi limbah atau tidak diolah dengan baik
(WHO, 2016).
Masa inkubasi
Masa inkubasi hepatitis A biasanya 14 – 28 hari dan dapat mencapai 50 hari.
Diagnosa
Kasus hepatitis A tidak dapat dibedakan secara klinis dari jenis hepatitis virus
akut lainnya. Diagnosis spesifik dibuat dengan mendeteksi antibodi
Immunoglobulin G (IgM) spesifik HAV dalam darah. Tes tambahan termasuk
reaksi balik rantai transkripase polimerase (RT-PCR) untuk mendeteksi RNA
virus hepatitis A, dan mungkin memerlukan fasilitas laboratorium khusus.

Pengobatan
Tidak ada pengobatan khusus untuk hepatitis A. Pemulihan dari gejala setelah
infeksi mungkin lambat dan mungkin memakan waktu beberapa minggu atau
bulan. Yang paling penting adalah menghindari obat-obatan yang tidak perlu.
Acetaminophen / Paracetamol dan obat anti muntah tidak boleh diberikan.
Tidak perlu dirawat di rumah sakit tanpa gagal hati akut. Terapi
ditujukan untuk menjaga kenyamanan dan keseimbangan nutrisi yang
memadai, termasuk penggantian cairan yang hilang akibat muntah dan diare
(WHO, 2016).
2. Hepatitis B
Infeksi virus hepatitis B (HBV) adalah masalah kesehatan global yang
penting dan dapat menyebabkan infeksi akut dan kronis pada manusia.
Diperkirakan 400 juta orang di seluruh dunia adalah pembawa HBV kronis.
Spektrum klinis infeksi HBV berkisar dari hepatitis simtomatik subklinis
hingga akut atau, jarang, hepatitis fulminan selama fase akut dan dari keadaan
pembawa antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) aktif, hepatitis kronis dari
berbagai tingkat keparahan histologis hingga sirosis dan komplikasinya.
selama fase kronis. Perkiraan. 15-40% pasien dengan hepatitis B kronis
berkembang menjadi sirosis dan penyakit hati stadium akhir. Memahami
riwayat alami dan prognosis hepatitis B adalah sangat penting untuk
manajemen pasien dan untuk penilaian strategi pengobatan (Giovanna, 2003).

18
Hepatitis B terbagi menjadi dua, ada Hepatitis B akut dan Hepatitis B kronik
(Kemenkes, 2014), yaitu:
- Hepatitis B akut
Agen Penyebab
Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB) merupakan virus DNA
yang termasuk dalam famili virus Hepadnaviridae (Amtarina, 2011).
Gejala Klinis
Gejala tidak khas seperti rasa lesu, nafsu makan berkurang, demam ringan,
nyeri abdomen sebelah kanan, dapat timbul ikterus, air kencing warna teh.
Cara Penularan
Penularannya vertikal 95 % terjadi di masa perinatal (saat persalinan) dan 5 %
intr uterina. Penularan horisontal melalui tranfusi darah, jarum suntik
tercemar, pisa cukur, tato, transplantasi organ.

Masa Inkubasi
Masa inkubasinya 60 – 90 hari.
Diagnosa
Diagnosis ditegakkan dengan test fungsi hati serum transaminase (ALT
meningkat), serologi HbsAg dan IgM anti HBC dalam serum
Pengobatan
Pengobatannya tidak diperlukan antiviral, pengobatan umumnya bersifat
simtomatis.
- Hepatitis B kronik

Agen penyebab

Hepatitis B kronik berkembang dari hepatitis B akut

Gejala Klinis

Biasanya tanpa gejala

Cara Penularan

Usia saat terjadinya infeksi mempengaruhi kronisitas penyakit. Bila penularan


terjadi saat bayi maka 95 % akan menjadi Hepatitis B kronik. Sedangkan bila
penularan terjadi pada usia balita, maka 20 – 30% menjadi penderita Hepatitis
B kronik dan bila penularan saat dewasa maka hanya 5% yang menjadi
penderita Hepatitis B kronik.

19
Diagnosa

Hepatitis B kronik ditandai dengan HbsAg (Hepatitis B surface Antigen)


positif (>6 bulan). Selain HbsAg, perlu diperiksa HbeAg (Hepatitis B E-
Antigen, anti-Hbe dalam serum, kadar ALT (Alanin Amino Transferase),
HBV-DNA (Hepatitis B Virus- Deaxyribunukleic Acid) Serta biopis hati.
Pengobatan

Sedangkan untuk pengobatannya saat ini telah tersedia 7 macam obat untuk
Hepatitis B (Interferon alfa-2a, Pegiterferon alfa-2a, Lamivudin, Adefoir,
Entecavir, Telbivudin, dan Tenofovir).

Prinsip pengobatan tidak perlu terburu – buru tetapi jangan terlambat. Adapun
tujuan pengobatan memperpanjang harapan hidup, menurunkan kemungkinan
terjadinya sirosis hepatis atau hepatoma (Kemenkes, 2014).

3. Hepatitis C
Agen Penyebab: Virus hepatitis C menyebabkan infeksi akut dan kronis.
Beberapa orang mendapatkan hepatitis akut yang tidak mengarah pada
penyakit yang mengancam jiwa.

Gejala Klinis : Masa inkubasi untuk hepatitis C berkisar dari 2 minggu hingga
6 bulan. Setelah infeksi awal, sekitar 80% orang tidak menunjukkan gejala
apa pun. Mereka yang simtomatik akut dapat menunjukkan demam, kelelahan,
nafsu makan menurun, mual, muntah, sakit perut, urin gelap, feses berwarna
abu-abu, nyeri sendi dan penyakit kuning (kulit menguning dan bagian putih
mata).

Cara Penularan : Virus hepatitis C adalah virus yang ditularkan melalui darah.
Ini paling umum ditularkan melalui:
- Penggunaan narkoba suntikan melalui pembagian peralatan injeksi;
- Penggunaan kembali atau sterilisasi peralatan medis yang tidak memadai,
terutama jarum suntik dan jarum di pusat kesehatan;
- Transfusi darah dan produk darah yang tidak diskrining;
- Praktik seksual yang mengarah pada pajanan terhadap darah (misalnya, di
antara laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, khususnya
mereka yang terinfeksi HIV atau mereka yang menggunakan profilaksis
pra pajanan terhadap infeksi HIV).

20
HCV juga dapat ditularkan secara seksual dan dapat ditularkan dari ibu
yang terinfeksi ke bayinya; namun, mode transmisi ini kurang umum.
Hepatitis C tidak menyebar melalui ASI, makanan, air atau kontak biasa
seperti memeluk, mencium dan berbagi makanan atau minuman dengan orang
yang terinfeksi.

Diagnosa : Karena infeksi HCV baru biasanya tanpa gejala, sedikit orang
yang didiagnosis ketika infeksi baru-baru ini. Pada orang-orang yang terus
mengembangkan infeksi HCV kronis, infeksi ini juga sering tidak terdiagnosis
karena tetap asimptomatik hingga beberapa dekade setelah infeksi ketika
gejala berkembang menjadi sekunder akibat kerusakan hati yang serius.
Infeksi HCV didiagnosis dalam 2 langkah:
1. Pengujian untuk antibodi anti-HCV dengan tes serologis mengidentifikasi
orang yang telah terinfeksi virus.
2. Jika tes ini positif untuk antibodi anti-HCV, tes asam nukleat untuk HCV
ribonucleic acid (RNA) diperlukan untuk mengkonfirmasi infeksi kronis
karena sekitar 30% orang yang terinfeksi HCV secara spontan
membersihkan infeksi dengan respon kekebalan yang kuat tanpa perlu
pengobatan. Meskipun tidak lagi terinfeksi, mereka masih akan dites
positif untuk antibodi anti-HCV.

Pengobatan : Setelah seseorang didiagnosis dengan infeksi HCV kronis,


mereka harus memiliki penilaian tingkat kerusakan hati (fibrosis dan sirosis).
Ini dapat dilakukan dengan biopsi hati atau melalui berbagai tes non-invasif.
Tingkat kerusakan hati digunakan untuk memandu keputusan pengobatan dan
pengelolaan penyakit.
Infeksi baru dengan HCV tidak selalu memerlukan pengobatan, karena
respon kekebalan pada beberapa orang akan menghapus infeksi. Namun,
ketika infeksi HCV menjadi kronis, pengobatan diperlukan. Tujuan
pengobatan hepatitis C adalah penyembuhan. Pedoman WHO tahun 2018
yang diperbarui merekomendasikan terapi dengan antivirus bertindak
langsung pan-genotypic (DAA). DAA dapat menyembuhkan kebanyakan
orang dengan infeksi HCV, dan lamanya pengobatan singkat (biasanya 12
hingga 24 minggu), tergantung pada tidak adanya atau adanya sirosis (WHO,
2016).

21
WHO merekomendasikan untuk mengobati semua orang dengan infeksi
HCV kronis yang berusia di atas 12 tahun. Pan-genotypic DAA tetap mahal di
banyak negara berpenghasilan tinggi dan menengah atas. Namun, harga telah
turun secara dramatis di banyak negara (terutama negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah), karena pengenalan versi
generik dari obat-obatan ini. Akses ke perawatan HCV membaik tetapi masih
terlalu terbatas. Pada 2017, dari 71 juta orang yang hidup dengan infeksi HCV
secara global, diperkirakan 19% (13,1 juta) mengetahui diagnosis mereka, dan
dari mereka yang didiagnosis dengan infeksi HCV kronis, sekitar 5 juta orang
telah diobati dengan DAA pada akhir 2017. Masih banyak yang harus
dilakukan agar dunia mencapai target pengobatan HCV 80% pada tahun 2030.
4. Hepatitis D

Agen Penyebab: Hepatitis D adalah penyakit hati dalam bentuk akut dan
kronis yang disebabkan oleh virus hepatitis D (HDV) yang membutuhkan
HBV untuk replikasi. Infeksi hepatitis D tidak dapat terjadi tanpa adanya virus
hepatitis B. Koinfeksi HDV-HBV dianggap sebagai bentuk paling parah dari
hepatitis virus kronis karena perkembangan yang lebih cepat menuju kematian
terkait hati dan karsinoma hepatoseluler. Vaksin terhadap hepatitis B adalah
satu-satunya metode untuk mencegah infeksi HDV.
Gejala Klinis : Hepatitis akut: infeksi simultan dengan HBV dan HDV dapat
menyebabkan hepatitis ringan hingga berat atau bahkan fulminan, tetapi
pemulihan biasanya lengkap dan perkembangan hepatitis D kronis jarang
terjadi (kurang dari 5% hepatitis akut).
Superinfeksi: HDV dapat menginfeksi seseorang yang sudah terinfeksi HBV
kronis. Superinfeksi HDV pada hepatitis B kronis mempercepat
pengembangan menjadi penyakit yang lebih parah di semua usia dan 70-90%
orang. Superinfeksi HDV mempercepat pengembangan menjadi sirosis
hampir satu dekade lebih awal dari orang yang memiliki monoinfeksi HBV,
walaupun HDV menekan replikasi HBV. Mekanisme di mana HDV
menyebabkan hepatitis yang lebih berat dan perkembangan fibrosis yang lebih
cepat daripada HBV saja masih belum jelas.
Cara Penularan : Rute penularan HDV sama dengan HBV: perkutan atau
seksual melalui kontak dengan darah atau produk darah yang terinfeksi.
Transmisi vertikal dimungkinkan tetapi jarang terjadi. Vaksinasi terhadap
HBV mencegah koinfeksi HDV, dan karenanya perluasan program imunisasi

22
HBV masa kanak-kanak telah mengakibatkan penurunan kejadian hepatitis D
di seluruh dunia (WHO, 2016).
Diagnosa : Infeksi HDV didiagnosis dengan titer tinggi Immunoglobulin G
(IgG) dan Immunoglobulin M (IgM) anti-HDV, dan dikonfirmasi oleh deteksi
HDV RNA dalam serum. Namun, diagnostik HDV tidak tersedia secara luas
dan tidak ada standardisasi untuk tes RNA HDV, yang digunakan untuk
memantau respons terhadap terapi antivirus. HBsAg berguna untuk memantau
respons pengobatan jika RNA HDV kuantitatif tidak tersedia. Mengurangi
titer HBsAg sering menandai hilangnya antigen permukaan dan pembersihan
HDV, meskipun kehilangan antigen permukaan jarang terjadi dalam
pengobatan (WHO, 2016).
Pengobatan : Pedoman saat ini umumnya merekomendasikan alfa interferon
pegilasi selama setidaknya 48 minggu terlepas dari pola respons pengobatan.
Tingkat keseluruhan tanggapan virologi berkelanjutan rendah, namun,
pengobatan ini merupakan faktor independen yang terkait dengan
kemungkinan pengembangan penyakit yang lebih rendah.
Transplantasi hati dapat dipertimbangkan untuk kasus hepatitis fulminan dan
penyakit hati stadium akhir. Agen terapi baru dan strategi diperlukan, dan obat
baru, seperti inhibitor prenilasi atau inhibitor entri HBV, telah menunjukkan
harapan awal (WHO, 2016).
5. Hepatitis E
Agen Penyebab: Hepatitis E adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus
hepatitis E (HEV). Virus ini ditumpahkan di tinja orang yang terinfeksi, dan
masuk ke tubuh manusia melalui usus. Ini ditularkan terutama melalui air
minum yang terkontaminasi.
Gejala Klinis : Masa inkubasi setelah paparan HEV berkisar 2 hingga 10
minggu, dengan rata-rata 5 hingga 6 minggu. Orang yang terinfeksi
mengeluarkan virus mulai dari beberapa hari sebelum hingga 3-4 minggu
setelah timbulnya penyakit. Di daerah dengan endemisitas penyakit yang
tinggi, infeksi simtomatik paling umum terjadi pada orang dewasa muda
berusia 15-40 tahun. Di daerah-daerah ini, walaupun infeksi terjadi pada anak-
anak, mereka sering tidak memiliki gejala atau hanya penyakit ringan tanpa
penyakit kuning yang tidak terdiagnosis.
Tanda dan gejala hepatitis yang khas meliputi:

23
Fase awal demam ringan, nafsu makan berkurang (anoreksia), mual dan
muntah, berlangsung selama beberapa hari; beberapa orang mungkin juga
mengalami sakit perut, gatal (tanpa lesi kulit), ruam kulit, atau nyeri sendi.
penyakit kuning (warna kuning pada kulit dan keputihan mata), dengan urin
gelap dan tinja pucat; dan hati yang agak membesar, lunak (hepatomegali).

Gejala-gejala ini seringkali tidak dapat dibedakan dengan yang dialami selama
penyakit hati lainnya dan biasanya berlangsung 1-6 minggu. Dalam kasus
yang jarang, hepatitis E akut bisa parah, dan mengakibatkan hepatitis
fulminan (gagal hati akut); pasien-pasien ini beresiko kematian. Hepatitis
fulminan terjadi lebih sering ketika hepatitis E terjadi selama kehamilan.
Wanita hamil dengan hepatitis E, khususnya mereka yang berada di trimester
kedua atau ketiga, berisiko tinggi mengalami gagal hati akut, kehilangan
janin, dan kematian. Hingga 20-25% wanita hamil dapat meninggal jika
mereka menderita hepatitis E pada trimester ketiga. Kasus-kasus infeksi
hepatitis E kronis telah dilaporkan pada orang-orang yang tertekan
kekebalannya, khususnya penerima transplantasi organ pada obat-obat
imunosupresif, dengan infeksi genotipe 3 atau 4 HEV. Ini tetap tidak biasa
(WHO, 2016).
Cara Penularan : Virus hepatitis E ditularkan terutama melalui rute fecal-oral
karena terkontaminasi tinja air minum. Rute ini menyumbang proporsi yang
sangat besar dari kasus klinis dengan penyakit ini. Faktor risiko untuk
hepatitis E terkait dengan sanitasi yang buruk, yang memungkinkan virus
diekskresikan dalam feses orang yang terinfeksi untuk mencapai persediaan
air minum.
Rute penularan lain telah diidentifikasi, tetapi tampaknya lebih sedikit jumlah
kasus klinisnya. Rute penularan ini meliputi:
konsumsi daging yang kurang matang atau produk daging yang berasal dari
hewan yang terinfeksi (mis. hati babi); transfusi produk darah yang terinfeksi;
dan transmisi vertikal dari seorang wanita hamil ke bayinya (WHO, 2016).
Diagnosa : Kasus hepatitis E tidak dapat dibedakan secara klinis dari jenis
hepatitis virus akut lainnya. Namun, diagnosis sering dapat sangat dicurigai
dalam pengaturan epidemiologi yang tepat, misalnya ketika beberapa kasus
terjadi di daerah di daerah endemis penyakit yang diketahui, atau dalam

24
pengaturan dengan risiko kontaminasi air, ketika penyakit ini lebih parah pada
wanita hamil, atau jika hepatitis A telah dikecualikan (WHO, 2016).
Diagnosis pasti infeksi hepatitis E biasanya didasarkan pada deteksi antibodi
IgM spesifik terhadap virus dalam darah seseorang; ini biasanya memadai di
daerah-daerah di mana penyakit sering terjadi. Tes cepat tersedia untuk
penggunaan lapangan. Tes tambahan termasuk reaksi rantai balik transcriptase
polimerase (RT-PCR) untuk mendeteksi RNA virus hepatitis E dalam darah
dan / atau feses; pengujian ini memerlukan fasilitas laboratorium khusus. Tes
ini sangat diperlukan di daerah di mana hepatitis E jarang terjadi, dan dalam
kasus dengan infeksi HEV kronis (WHO, 2016).
Pengobatan : Tidak ada pengobatan khusus yang mampu mengubah
perjalanan hepatitis E akut. Karena penyakit ini biasanya sembuh sendiri,
rawat inap umumnya tidak diperlukan. Yang paling penting adalah
menghindari obat-obatan yang tidak perlu. Acetaminophen / Paracetamol dan
obat anti muntah tidak boleh diberikan.
Namun, rawat inap diperlukan untuk orang dengan hepatitis fulminan, dan
juga harus dipertimbangkan untuk wanita hamil yang bergejala. Orang yang
tertekan kekebalannya mendapat manfaat hepatitis E kronis dari pengobatan
khusus menggunakan ribavirin, obat antivirus. Dalam beberapa situasi
tertentu, interferon juga telah berhasil digunakan.

D. Rantai Penularan Penyakit Hepatitis


1. Hepatitis A
Hepatitis A hanya menyebabkan hepatitis akut. HAV sebagian besar
ditularkan melalui paparan makanan atau air yang terkontaminasi, atau melalui
paparan pada orang yang terinfeksi. Vaksin yang aman dan efektif tersedia.
WHO memperkirakan bahwa di seluruh dunia, hepatitis A menyebabkan sekitar
11.000 kematian pada tahun 2015 (terhitung 0,8% dari kematian akibat virus
hepatitis) (WHO, 2016).

HAV terutama ditularkan melalui rute feses-oral, yaitu ketika seseorang


yang belum terinfeksi mengalami kontak dengan atau menelan benda, makanan
atau air yang telah terkontaminasi feses orang yang terinfeksi. Virus ini juga
dapat ditularkan melalui kontak fisik dengan orang yang terinfeksi, termasuk
kontak seksual dan tidak terbatas untuk kontak anal-oral. Penyebarluasan
hepatitis A di kalangan pria yang berhubungan seksual dengan sesama pria

25
telah dilaporkan. Penyebarluasan melalui air, walaupun jarang, biasanya terkait
dengan air yang terkontaminasi limbah atau tidak diolah dengan baik (WHO,
2016).

Siapa yang berisiko?

Siapa pun yang belum divaksinasi atau terinfeksi sebelumnya dapat


terinfeksi virus hepatitis A. Di daerah di mana virus tersebar luas (endemisitas
tinggi), sebagian besar infeksi hepatitis A terjadi pada anak usia dini. Faktor
risiko meliputi, sanitasi yang buruk; kurangnya air bersih; tinggal di rumah
tangga dengan orang yang terinfeksi; menjadi pasangan seksual seseorang
dengan infeksi hepatitis A akut; penggunaan obat-obatan; seks antara pria;
bepergian ke daerah dengan endemisitas tinggi tanpa diimunisasI (WHO,
2016).

2. Hepatitis B

HBV ditularkan melalui paparan darah dan cairan tubuh yang terinfeksi
(terutama air mani dan cairan vagina). HBV bertahan untuk waktu yang lama di
luar tubuh (Lok dan McMahon, 2009). Meskipun HBV telah terdeteksi dalam
air liur, air mata, ASI, keringat, dan urin, ada bukti minimal penularan melalui
paparan cairan ini di mana tidak ada darah, dan menyusui belum terbukti
meningkatkan risiko infeksi (Zheng et al, 2011).

Sebagian besar infeksi di seluruh dunia diperoleh melalui transmisi


perinatal saat lahir, melalui transmisi horizontal ke / antara anak-anak, melalui
kontak seksual, dan melalui penggunaan narkoba suntikan (Lok dan McMahon,
2009). Rute penularan lain, yang sering menurun dengan penerapan tindakan
pengendalian, termasuk melalui darah atau produk darah yang terkontaminasi
dan praktik medis yang tidak aman; Namun, infeksi terkait perawatan kesehatan
tetap menjadi perhatian yang signifikan di kedua miskin sumber daya
(Arankalle et al, 2011) dan pengaturan sumber daya yang baik (Thompson et al,
2009).

Penularan VHB sama seperti penularan human immunodeficiency virus


(HIV) yaitu melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh dari orang yang
terinfeksi VHB. Namun VHB berpotensi 50 – 100 kali lebih infeksius
dibanding HIV. Cara penularan VHB juga bisa melalui transufusi darah yang

26
terkontaminasi VHB dan mereka yang sering mendapat hemodialisis. Selain itu
VHB dapat masuk kedalam tubuh melalui luka/lecet pada kulit dan selaput
lendir, misalnya tertusuk jarum/luka benda taja, menindik telinga, pembuatan
tato, pengobatan tusuk jarum (akupuntur), kebiasaan menyuntik diri sendiri,
dan menggunakan jarum suntik yang kotor/kurang steril. Penggunaan alat
kedokteran dan alat perawatan gigi yang sterlisasinya kurang sempurna/kurang
memenuhi syarat akan dapat menularkan VHB. Penularan dapat juga terjadi
melalui penggunaan alat cukur bersama, sirkumsisi dan kontak seksual dengan
penderita VHB (Amtarina, 2011).
Penularan dapat melalui saliva/air ludah yaitu berciuman dengan penderita
hepatitis B dan dapat juga dengan jalan tukar pakai sikat gigi. Hal ini
kemungkinan disebabkan selaput lendir tubuh yag melapisinya terjadi
diskontinutas sehingga virus hepatitis B mudah menembusnya. Penularan
infeksi VHB dari seorang ibu pengidap VHB kepada bayinya sebelum
persalinan (infeksi perinatal) juga dapat terjadi (Ganem dan Prince, 2004).

3. Hepatitis C

Virus hepatitis C ini sendiri merupakan virus beramplop RNA dengan


diameter kira – kira 50 nm. Virus Hepatitis C masuk ke sel hati, menggunakan
mesin genetik dalam sel untuk menduplikasi virus Hepatitis C, kemudian
menginfeksi sel lainnya (Anderson, 2006).

Virus hepatitis C adalah virus yang ditularkan melalui darah. Ini paling
umum ditularkan melalui: penggunaan narkoba suntikan melalui pembagian
peralatan injeksi; penggunaan kembali atau sterilisasi peralatan medis yang
tidak memadai, terutama jarum suntik dan jarum di pusat kesehatan; transfusi
darah dan produk darah yang tidak diskrining; praktik seksual yang mengarah
pada pajanan terhadap darah (misalnya, di antara laki-laki yang berhubungan
seks dengan laki-laki, khususnya mereka yang terinfeksi HIV atau mereka yang
menggunakan profilaksis pra pajanan terhadap infeksi HIV) (WHO, 2016).

Diagnosis dini dapat mencegah masalah kesehatan yang mungkin


disebabkan oleh infeksi dan mencegah penularan virus. WHO
merekomendasikan untuk menguji orang yang mungkin berisiko tinggi
terhadap infeksi. Populasi dengan peningkatan risiko infeksi HCV meliputi
orang yang menyuntikkan narkoba; orang-orang di penjara dan pengaturan
tertutup lainnya; orang yang menggunakan narkoba melalui rute administrasi

27
lain (non-injeksi); orang yang menggunakan obat-obatan intranasal; penerima
produk darah yang terinfeksi atau prosedur invasif di fasilitas layanan kesehatan
dengan praktik pengendalian infeksi yang tidak memadai; anak-anak yang lahir
dari ibu yang terinfeksi HCV; orang dengan pasangan seksual yang terinfeksi
HCV; orang dengan infeksi HIV; tahanan atau orang yang sebelumnya
dipenjara; dan orang yang memiliki tato atau tindikan.

HCV juga dapat ditularkan secara seksual dan dapat ditularkan dari ibu
yang terinfeksi ke bayinya; namun, mode transmisi ini kurang umum. Hepatitis
C tidak menyebar melalui ASI, makanan, air atau kontak biasa seperti
memeluk, mencium dan berbagi makanan atau minuman dengan orang yang
terinfeksi. WHO memperkirakan bahwa pada 2015, ada 1,75 juta infeksi HCV
baru di dunia (23,7 infeksi HCV baru per 100.000 orang).

Penularan hepatitis C biasanya melalui kontak langsung dengan darah


seperti transfuse darah atau produk darag yang belum diskrining (pemeriksaan).
Saling tukar jarum suntik oleh pengguna narkoba suntik ( injecting drug
user/IDU) serta jarum atau alat tattoo yang tidak steril. Pada umumnya gejala
orang dengan hepatitis C hampir sama dengan penderita flu. Kira – kira 70%
sampai 80% penderita hepatitis C akut memiliki gejala yang ringan sampai ke
tingkat yang parah seperti : Demam, Rasa Lelah, Mual, Mata berubah warna
menjadi kekuningan (jaundice), Nyeri di sendi, Warna urine berubah menjadi
gelap (keruh/kuning pekat) (Anderson, 2006).

4. Hepatitis D

Mode yang dominan dari transmisi diperkirakan melalui transmisi


horisontal intrafamilial (seperti antara anak kecil), seksual, menyuntikkan
penggunaan narkoba, dan eksposur parenteral lainnya, seperti prosedur medis
yang tidak aman (Hughes et al. 2011).
Rute penularan HDV sama dengan HBV: perkutan atau seksual melalui
kontak dengan darah atau produk darah yang terinfeksi. Transmisi vertikal
dimungkinkan tetapi jarang terjadi. Vaksinasi terhadap HBV mencegah
koinfeksi HDV, dan karenanya perluasan program imunisasi HBV masa kanak-
kanak telah mengakibatkan penurunan kejadian hepatitis D di seluruh dunia
(WHO, 2016).

Siapa yang berisiko?

28
Pembawa HBV kronis berisiko terinfeksi HDV; Orang yang tidak kebal
terhadap HBV (baik dengan penyakit alami atau imunisasi dengan vaksin
hepatitis B) berisiko terinfeksi HBV yang menempatkan mereka pada risiko
infeksi HDV; Prevalensi tinggi pada orang yang menyuntikkan narkoba
(PWID) menunjukkan bahwa penggunaan narkoba suntikan adalah faktor risiko
penting untuk koinfeksi HDV; Aktivitas seksual berisiko tinggi (mis. Pekerja
seks) juga meningkatkan risiko infeksi HDV; dan Migrasi dari negara dengan
prevalensi HDV tinggi ke daerah dengan prevalensi lebih rendah mungkin
berdampak pada epidemiologi negara tuan rumah (WHO, 2016).

5.Hepatitis E
Virus hepatitis E ditularkan terutama melalui rute fecal-oral karena
terkontaminasi tinja air minum. Rute ini menyumbang proporsi yang sangat
besar dari kasus klinis dengan penyakit ini. Faktor risiko untuk hepatitis E
terkait dengan sanitasi yang buruk, yang memungkinkan virus diekskresikan
dalam feses orang yang terinfeksi untuk mencapai persediaan air minum.
Rute penularan lain telah diidentifikasi, tetapi tampaknya lebih sedikit jumlah
kasus klinisnya. Rute penularan ini meliputi:
konsumsi daging yang kurang matang atau produk daging yang berasal dari
hewan yang terinfeksi (mis. hati babi); transfusi produk darah yang terinfeksi;
dan transmisi vertikal dari seorang wanita hamil ke bayinya (WHO, 2016).

E. Upaya Pencegahan pada Penyakit Hepatitis


1. Hepatitis A

Pada tingkat populasi, penyebaran hepatitis A dapat dikurangi dengan:

• Suplai air minum yang aman dikonsumsi yang cukup;

• Praktek keamanan pangan; dan

• Pembuahan limbah yang tepat dalam masyarakat.

Perbaikan sanitasi, keamanan pangan dan imunisasi adalah cara yang efektif
untuk melawan hepatitis A. Menurut WHO yaitu:

Jaga kebersihan pribadi yang baik

• Bersihkan tangan sesering mungkin, terutama sebelum makan atau


menangani makanan, dan setelah menggunakan toilet atau menangani materi

29
muntahan atau feses. Cuci tangan dengan sabun cair dan air setidaknya selama
20 detik. Lalu keringkan dengan tisu sekali pakai atau pengering tangan. Jika
tidak ada fasilitas pencuci tangan atau tangan tidak terlihat kotor, handrub
berbasis alkohol 70 - 80% adalah alternatif yang efektif.

• Kenakan sarung tangan dan masker saat membuang atau menangani materi
muntahan dan feses, lalu cuci tangan hingga bersih setelahnya.

• Gunakan sumpit dan sendok saat makan. Jangan berbagi makanan dan
minuman dengan orang lain.

• Hindari masuk kerja atau sekolah, dan segera cari bantuan dokter saat
muntahmuntah atau diare.

• Jangan biarkan orang yang terinfeksi dan carrier (pembawa) yang tidak
menunjukkan gejala menangani makanan dan merawat anak-anak, orang tua
serta orang yang sistem imunnya tidak baik.

Jaga kebersihan lingkungan yang baik

• Jaga agar dapur dan peralatan dapur tetap bersih.

• Karena deterjen umum mungkin tidak dapat membunuh HAV, secara teratur
bersihkan dan disinfeksi permukaan yang sering disentuh seperti perabutan,
mainan dan barang-barang yang biasa digunakan bersama dengan pemutih
yang sudah diencerkan 1:99 (campurkan 1 bagian 5,25% pemutih dengan 99
bagian air), biarkan selama 15 - 30 menit, dan kemudian bilas dengan air dan
keringkan. Untuk permukaan logam, desinfeksi dengan alkohol 70%.

• Gunakan handuk sekali pakai penyerap untuk menyeka kontaminan yang


tampak jelas seperti cairan sekresi pernapasan, dan kemudian desinfektasi
permukaan dan daerah sekitarnya dengan pemutih yang diencerkan 1:45
(campurkan 1 bagian pemutih 5,25% dengan 49 bagian air), biarkan selama
15 - 30 menit dan kemudian bilas dengan air dan keringkan. Untuk permukaan
logam, desinfektasi dengan alkohol 70%.

Jaga kebersihan makanan yang baik

• Gunakan 5 Kunci Keamanan Pangan saat menangani makanan, yaitu Pilih


(Pilih bahan mentah yang aman); Bersih (Jaga agar tangan dan peralatan
masak tetap bersih); Pisahkan (Pisahkan makanan mentah dan matang);

30
Masak (Masak hingga matang); dan Suhu Aman (Simpan makanan pada suhu
yang aman) untuk menghindari penyakit yang diakibatkan oleh makanan.

• Hanya minum air yang telah direbus dari wadah atau botol minuman yang
sumbernya dapat diandalkan.

• Hindari minuman dengan es yang asalnya tidak diketahui.

• Beli makanan segar dari sumber higienis dan dapat diandalkan. Jangan
membeli makanan dari pedagang jalanan ilegal.

• Hanya makan yang telah dimasak hingga matang.

• Bersihkan dan cuci bahan pangan dengan benar. Gosok dan bilas makanan
laut bercangkang dengan air bersih. Buang bagian kotoran jika perlu. Semua
makanan laut bercangkang harus dimasak hingga matang sebelum dimakan.

• Pemanasan hingga suhu internal 90°C selama 90 detik diperlukan untuk


memasak moluska (mis. cumi-cumi, kerang, ubur-ubur). Jika mungkin, buang
cangkang sebelum memasak karena cangkang dapat menghambat penetrasi
panas. Jika tidak, rebus pada suhu 100°C hingga cangkang terbuka; lalu rebus
lagi selama tiga hingga lima menit setelahnya. Buang semua makanan laut
bercangkang yang tidak terbuka setelah dimasak.

• Saat makan hotpot, gunakan sumpit dan alat makan terpisah untuk
menangani makanan mentah dan matang untuk menghindari kontaminasi
silang.

4. Vaksinasi Hepatitis A.

Vaksinasi Hepatitis A adalah cara yang aman dan efektif untuk mencegah
infeksi. Orang yang berisiko tinggi terinfeksi hepatitis A dan orang yang
berisiko tinggi mengalami konsekuensi negatif parah harus berdiskusi dengan
dokter mengenai vaksinasi hepatitis A demi perlindungan diri. Menurut
Komite Ilmiah Penyakit yang Dapat Dicegah oleh Vaksin, Pusat Perlindungan
Kesehatan, kelompok orang ini disarankan untuk mendapatkan vaksinasi
hepatitis A:

• Orang yang berpergian ke daerah endemik hepatitis A

• Penderita kelainan faktor pembekuan darah yang menerima pengganti faktor


pembekuan darah berbasis plasma.

31
• Penderita penyakit liver kronis

• Pria yang berhubungan seksual dengan sesama pria

2. Hepatitis B
Ada 3 (tiga) kegiatan utama yang dapat dilakukan sebagai upaya
pencegahan penyakit Hepatitis dengan cara promosi Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS) contohnya :

1.Lakukan vaksinasi Vaksin hepatitis B (Recombivax HB, Comvax,


danEngerix-B), yaitu vaksin yang dibuat dari virus yang tidak aktif dan
dapat diberikan 3 atau 4 kali dalam waktu 6 bulan .

2.Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, setelah buang air besar,
menyentuh sampah sert amencuci makanan yang siap dimakan seperti buah-
buahan.

3.Hati-hati dengan jarum Penggunaan jarum sembarangan seperti jarum yang


digunakan untuk membuat tato atau jarum yang digunakan bergantian ketika
memakai obat-obatan terlarang, dapat menjadi sarana yang paling mungkin
dan sering menyebabkan terjadinya hepatitis.

4.Melakukan hubungan seksual dengan aman, karena penularannya juga


disebabkan oleh hubungan seksual. Jika memang pasangan atau keluarga dari
pasangan mempunyai riwayat hepatitis, sebaiknya melakukan hubungan
seksual dengan menggunakan kondom (Depkes RI, 2009)

3. Hepatitis C
Pencegahan Primer:
Tidak ada vaksin yang efektif melawan hepatitis C, oleh karena itu
pencegahan infeksi HCV tergantung pada pengurangan risiko pajanan virus di
rangkaian layanan kesehatan dan dalam populasi risiko yang lebih tinggi,
misalnya, orang yang menyuntikkan narkoba dan laki-laki yang berhubungan
seks dengan laki-laki, khususnya mereka yang terinfeksi HIV atau mereka
yang menggunakan profilaksis pra pajanan terhadap HIV.

Daftar berikut memberikan contoh terbatas intervensi pencegahan primer yang


direkomendasikan oleh WHO: penggunaan yang aman dan tepat dari suntikan
perawatan kesehatan; penanganan dan pembuangan benda-benda tajam dan
limbah yang aman; penyediaan layanan pengurangan bahaya komprehensif

32
bagi orang yang menyuntikkan narkoba termasuk peralatan suntik steril dan
pengobatan ketergantungan yang efektif; pengujian darah yang
disumbangkan untuk HBV dan HCV (serta HIV dan sifilis); pelatihan tenaga
kesehatan; pencegahan pajanan darah saat berhubungan seks; kebersihan
tangan, termasuk persiapan tangan bedah, cuci tangan dan penggunaan sarung
tangan; dan promosi penggunaan kondom yang benar dan konsisten.

Pencegahan Sekunder:

Bagi orang yang terinfeksi virus hepatitis C, WHO merekomendasikan:


Pendidikan dan konseling tentang pilihan perawatan dan perawatan;
imunisasi dengan vaksin hepatitis A dan B untuk mencegah koinfeksi dari
virus hepatitis ini dan untuk melindungi hati mereka; manajemen medis dini
dan tepat termasuk terapi antivirus; dan pemantauan rutin untuk diagnosis dini
penyakit hati kronis.

4. Hepatitis D
Pencegahan dan pengendalian infeksi HDV memerlukan pencegahan
penularan HBV melalui imunisasi hepatitis B, keamanan darah, keamanan
injeksi, dan layanan pengurangan dampak buruk. Imunisasi hepatitis B tidak
memberikan perlindungan terhadap HDV bagi mereka yang sudah terinfeksi
HBV (WHO, 2016).

5. Hepatitis E
Pada tingkat populasi, penularan penyakit HEV dan hepatitis E dapat
dikurangi dengan:

- mempertahankan standar kualitas untuk pasokan air publik; dan


- membangun sistem pembuangan yang tepat untuk kotoran manusia.

Pada tingkat individu, risiko infeksi dapat dikurangi dengan:

- mempertahankan praktik higienis;


- menghindari konsumsi air dan es dengan kemurnian yang tidak diketahui.

Pada tahun 2011, vaksin subunit rekombinan untuk mencegah infeksi virus
hepatitis E terdaftar di Cina. Belum disetujui di negara lain. Pada 2015,
Kelompok Ahli Penasihat Strategis WHO (SAGE) tentang Imunisasi
meninjau bukti yang ada tentang beban hepatitis E dan tentang keamanan,

33
imunogenisitas, kemanjuran, dan efektivitas biaya vaksin hepatitis E
berlisensi: Prevalensi global dari infeksi dan kerentanan virus hepatitis E:
tinjauan sistematis. Tinjauan sistematis tentang virus hepatitis E secara global.

F. Upaya Penanggulangan pada Penyakit Hepatitis


1. Hepatitis A

Penanggulangan hepatitis A virus sebagian besar adalah terapi suportif,


yang terdiri dari bed rest sampai dengan ikterus mereda, diet tinggi
kalori, penghentian dari pengobatan yang beresiko hepatotoxic, dan
pembatasan dari konsumsi alkohol.

Sebagian besar dari kasus hepatitis A virus tidak memerlukan rawat inap.
Rawat inap direkomendasikan untuk pasien dengan usia lanjut,
malnutrisi, kehamilan, terapi imunosupresif, pengobatan yang
mengandungobat hepatotoxic, pasien muntah berlebih tanpa diimbangi
dengan asupan cairan yang adekuat, penyakit hati kronis/didasari oleh
kondisi medis yang serius, dan apabila pada pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang didapatkan gejala-gejala dari hepatitisfulminan.
Pasien dengan gagal hati fulminant, didefinisikan dengan onset dari
encephalopathydalam waktu 8 minggu sejak timbulnya gejala. Pasien
dengan gagal hati fulminant harus dirujuk untuk pertimbangan
melakukan transplantasi hati (Depkes RI, 2009).

2. Hepatitis B

Untuk Hepatitis B akut: Tirah baring merupakan pengobatan utama, pada


kasus fulminant perawatan intensif sangat diperlukan, transplantasi hati dapat
mengalami komplikasi akibat terinfeksi cangkok dari lokasi ekstrahepatik.

Hepatitis Kronis :pengobatan bisa berupa antivirus melalui peningkatan sistem


imun. Transplantasi hati bisa diberikan untuk penyakit hati dekompensata
tahap akhir dengan resiko infeksi yang tinggi (Ratnajuwita dan Lestari,
2013). Menurut Brunner (2014), pengobatan dari hepatitis yaitu sebagai
berikut :

34
- Melakukan diet hepatitis dengan mengonsumsi madu, karena madu
mengandung beberapa senyawa yag dianggap sebagai anti oksidan, dengan
kandungan fruktosa, glukosa, dan sukrosa, dapat menjaga tubuh tetap fit dan
baik untuk memperbaiki fungsi hati.

- Imunisasi pada bayi, imunisasi pada remaja dan dewasa (catch up


immunization) melakukan vaksinasi hepatitis B.

- Deteksi dini dengan skrining (penapisan), penegakan diagnosa dan


pengobatan.

3. Hepatitis C

Infeksi baru dengan HCV tidak selalu memerlukan pengobatan, karena


respon kekebalan pada beberapa orang akan menghapus infeksi. Namun,
ketika infeksi HCV menjadi kronis, pengobatan diperlukan. Tujuan
pengobatan hepatitis C adalah penyembuhan. Pedoman WHO tahun 2018
yang diperbarui merekomendasikan terapi dengan antivirus bertindak
langsung pan-genotypic (DAA). DAA dapat menyembuhkan kebanyakan
orang dengan infeksi HCV, dan lamanya pengobatan singkat (biasanya 12
hingga 24 minggu), tergantung pada tidak adanya atau adanya sirosis (WHO,
2016).
WHO merekomendasikan untuk mengobati semua orang dengan infeksi
HCV kronis yang berusia di atas 12 tahun. Pan-genotypic DAA tetap mahal di
banyak negara berpenghasilan tinggi dan menengah atas. Namun, harga telah
turun secara dramatis di banyak negara (terutama negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah), karena pengenalan versi
generik dari obat-obatan ini. Akses ke perawatan HCV membaik tetapi masih
terlalu terbatas. Pada 2017, dari 71 juta orang yang hidup dengan infeksi HCV
secara global, diperkirakan 19% (13,1 juta) mengetahui diagnosis mereka, dan
dari mereka yang didiagnosis dengan infeksi HCV kronis, sekitar 5 juta orang
telah diobati dengan DAA pada akhir 2017. Masih banyak yang harus
dilakukan agar dunia mencapai target pengobatan HCV 80% pada tahun 2030.

4. Hepatitis D

Pedoman saat ini umumnya merekomendasikan alfa interferon pegilasi


selama setidaknya 48 minggu terlepas dari pola respons pengobatan. Tingkat
keseluruhan tanggapan virologi berkelanjutan rendah, namun, pengobatan ini

35
merupakan faktor independen yang terkait dengan kemungkinan
pengembangan penyakit yang lebih rendah.
Transplantasi hati dapat dipertimbangkan untuk kasus hepatitis fulminan
dan penyakit hati stadium akhir. Agen terapi baru dan strategi diperlukan, dan
obat baru, seperti inhibitor prenilasi atau inhibitor entri HBV, telah
menunjukkan harapan awal (WHO, 2016).

5. Hepatitis E

Tidak ada pengobatan khusus yang mampu mengubah perjalanan


hepatitis E akut. Karena penyakit ini biasanya sembuh sendiri, rawat inap
umumnya tidak diperlukan. Yang paling penting adalah menghindari obat-
obatan yang tidak perlu. Acetaminophen / Paracetamol dan obat anti muntah
tidak boleh diberikan. Namun, rawat inap diperlukan untuk orang dengan
hepatitis fulminan, dan juga harus dipertimbangkan untuk wanita hamil yang
bergejala. Orang yang tertekan kekebalannya mendapat manfaat hepatitis E
kronis dari pengobatan khusus menggunakan ribavirin, obat antivirus. Dalam
beberapa situasi tertentu, interferon juga telah berhasil digunakan (WHO,
2016).

36
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hati adalah salah satu organ yang paling penting. Organ ini berperan sebagai
gudang untuk menimbun gula, lemak, vitamin dan gizi. Memerangi racun
dalam tubuh seperti alkohol, menyaring produk-produk yang tidak berguna
lagi dari darah dan bertindak sebagai semacam pengaruh bagian tubuh yang
menjamin terjadinya keseimbangan zat-zat kimia dalam sistem itu. Hepatitis
merupakan inflamasi dan cedera pada hepar, penyakit ini dapat disebabkan
oleh infeksi atau oleh toksin termasuk alkohol dan dijumpai pada kanker hati.
Hepatitis virus adalah istilah yang digunakan untuk infeksi hepar oleh virus,
identifikasi virus penyakit dilakukan terus menerus, tetapi agen virus A, B, C,
D, E, F dan G terhitung kira-kira 95% kasus dari hepatitis virus akut. (Ester,
2002).
1. Hepatitis A adalah penyakit liver yang disebabkan oleh virus hepatitis A
(HAV) (WHO, 2016). Gejala klinis hepatitis A mirip dengan hepatitis lain
yang diakibatkan oleh virus. Hal ini umumnya meliputi: Demam;
Keletihan/malaise; Hilang nafsu makan; Diare; Mual; Rasa tidak nyaman
pada perut; dan Sakit kuning (warna kulit dan sklera mata berubah kuning,
urin gelap dan feses pucat). Masa inkubasi hepatitis A biasanya 14 – 28 hari
dan dapat mencapai 50 hari. Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga
kebersihan dan lingkungan sekitar. Tidak ada pengobatan khusus untuk
hepatitis A. Tidak perlu dirawat di rumah sakit tanpa gagal hati akut. Terapi
ditujukan untuk menjaga kenyamanan dan keseimbangan nutrisi yang
memadai, termasuk penggantian cairan yang hilang akibat muntah dan diare
(WHO, 2016).
2. Hepatitis B adalah infeksi virus hepatitis B (HBV) adalah masalah
kesehatan global yang penting dan dapat menyebabkan infeksi akut dan kronis
pada manusia. Hepatitis B terbagi menjadi dua, ada Hepatitis B akut dan
Hepatitis B kronik (Kemenkes, 2014). Hepatitis B disebabkan oleh virus
hepatitis B (VHB) merupakan virus DNA yang termasuk dalam famili virus
Hepadnaviridae (Amtarina, 2011). Sedangkan virus Hepatitis B kronik
berkembang dari Hepatitis B akut.

37
Dalam pengobatan Hepatitis B akut Pengobatannya tidak diperlukan
antiviral, pengobatan umumnya bersifat simtomatis. Sedangkan pengobatan
untuk Hepatitis B kronik Sedangkan untuk pengobatannya saat ini telah
tersedia 7 macam obat Prinsip pengobatan tidak perlu terburu – buru tetapi
jangan terlambat. Adapun tujuan pengobatan memperpanjang harapan hidup,
menurunkan kemungkinan terjadinya sirosis hepatis atau hepatoma
(Kemenkes, 2014).

3. Virus hepatitis C menyebabkan infeksi akut dan kronis. Beberapa orang


mendapatkan hepatitis akut yang tidak mengarah pada penyakit yang
mengancam jiwa. Masa inkubasi untuk hepatitis C berkisar dari 2 minggu
hingga 6 bulan. Mereka yang simtomatik akut dapat menunjukkan demam,
kelelahan, nafsu makan menurun, mual, muntah, sakit perut, urin gelap, feses
berwarna abu-abu, nyeri sendi dan penyakit kuning (kulit menguning dan
bagian putih mata) (WHO, 2016).

Virus hepatitis C adalah virus yang ditularkan melalui darah. Ini paling umum
ditularkan melalui: Penggunaan narkoba suntikan melalui pembagian
peralatan injeksi; Penggunaan kembali atau sterilisasi peralatan medis yang
tidak memadai, terutama jarum suntik dan jarum di pusat kesehatan;
Transfusi darah dan produk darah yang tidak diskrining; Praktik seksual yang
mengarah pada pajanan terhadap darah (misalnya, di antara laki-laki yang
berhubungan seks dengan laki-laki, khususnya mereka yang terinfeksi HIV
atau mereka yang menggunakan profilaksis pra pajanan terhadap infeksi
HIV). Karena infeksi HCV baru biasanya tanpa gejala, sedikit orang yang
didiagnosis ketika infeksi baru-baru ini (WHO, 2016).
4. Hepatitis D adalah penyakit hati dalam bentuk akut dan kronis yang
disebabkan oleh virus hepatitis D (HDV) yang membutuhkan HBV untuk
replikasi. Infeksi hepatitis D tidak dapat terjadi tanpa adanya virus hepatitis B.
Rute penularan HDV sama dengan HBV: Vaksinasi terhadap HBV mencegah
koinfeksi HDV, dan karenanya perluasan program imunisasi HBV masa
kanak-kanak telah mengakibatkan penurunan kejadian hepatitis D di seluruh
dunia (WHO, 2016).
Pedoman saat ini umumnya merekomendasikan alfa interferon pegilasi selama
setidaknya 48 minggu terlepas dari pola respons pengobatan. Tingkat
keseluruhan tanggapan virologi berkelanjutan rendah, namun, pengobatan ini

38
merupakan faktor independen yang terkait dengan kemungkinan
pengembangan penyakit yang lebih rendah (WHO, 2016).
5. Hepatitis E adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis E
(HEV). Virus ini ditumpahkan di tinja orang yang terinfeksi, dan masuk ke
tubuh manusia melalui usus. Ini ditularkan terutama melalui air minum yang
terkontaminasi. Masa inkubasi setelah paparan HEV berkisar 2 hingga 10
minggu, dengan rata-rata 5 hingga 6 minggu. Di daerah dengan endemisitas
penyakit yang tinggi, infeksi simtomatik paling umum terjadi pada orang
dewasa muda berusia 15-40 tahun. Di daerah-daerah ini, walaupun infeksi
terjadi pada anak-anak, mereka sering tidak memiliki gejala atau hanya
penyakit ringan tanpa penyakit kuning yang tidak terdiagnosis (WHO, 2016).
Virus hepatitis E ditularkan terutama melalui rute fecal-oral karena
terkontaminasi tinja air minum. Rute ini menyumbang proporsi yang sangat
besar dari kasus klinis dengan penyakit ini. Faktor risiko untuk hepatitis E
terkait dengan sanitasi yang buruk, yang memungkinkan virus diekskresikan
dalam feses orang yang terinfeksi untuk mencapai persediaan air minum.
Tidak ada pengobatan khusus yang mampu mengubah perjalanan hepatitis E
akut. Karena penyakit ini biasanya sembuh sendiri, rawat inap umumnya tidak
diperlukan (WHO, 2016).

B. Saran
Untuk menghadapi penyakit yang belum ditemukan obatnya seperti
hepatitis ini, tindakan pencegahan adalah pilihan utama kita. Setelah membaca
dan mengetahui cara penularanya, sebetulnya kita semua sudah mengerti apa
yang harus kita kerjakan supaya terhindar dari penyakit menahun ini. Karena
jalur penularan terutama lewat suntikan, maka setiap kali disuntik harus yakin
bahwa jarumnya steril. Yang praktis adalah penggunakan jarum baru atau
disposibel ( sekali pakai buang). Dan yang paling penting adalah melakukan
vaksinasi, vaksin merupakan suatu zat ( antigen) yang jika disuntikan ke
dalam tubuh kita dapat merangsang sistem kekebalan tubuh untuk
menghasilkan zat anti ( antibodi) terhadap antigen tersebut.

Sebaiknya bagi penderita hepatitis segera mendapatkan perawatan


secepatnya agar tidak bertambah parah hingga menyebabkan kanker hati. Dan
para ahli Kesehatan Masyarakat harus memberikan pendidikan kesehatan
kepada pasien dan keluarga pasien yang belum megetahui bahaya dan cara
pencegahan hepatitis sedini mungkin. Para ahli Kesehatan Masyarakat juga

39
dapat memberikan tindakan prevenif untuk menaggulangi penyakit Hepatitis
ini, sehingga mampun mengurangi angka kesakitan Hepatitis dan dapat
meningkatkan derajat kesehatan di Indonesia.

40
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aziz AM, Awad MA. 2008, Seroprevalence of hepatitis A virus antibodies among
a sample of Egyptian children. East Mediterr Health J. 14:1028–1035.
[PubMed] [Google Scholar]

Amtarina, Rina., Arfianti., Andi, Zainal., Fifia Chandra. 2011, Faktor Risiko
Hepatitis B pada Tenaga Kesehatan Kota Pekanbaru. Jurnal Health Care
Worker Hepatitis : 7(3).

Anderson K, Chung RT. 2006, Hepatitis C virus in the HIV-infected patient. Journal
Clin Liver Dis.10:303-20.

Center for disease control. 2011, Hepatitis A information for the public.2011

Centers for Disease Control and Prevention. 2016, Viral Hepatitis Surveillance:
United States, 2013. US : Department of Health and Human Services,
Atlanta

Chen JY, Chiang JC, Lu SN, Hung SF, Kao JT, Yen YH, Wang JH. 2010, Changing
prevalence of anti-hepatitis A virus in adolescents in a rural township in
Taiwan. Chang Gung Med Journal. 33:321–326. [PubMed] [Google
Scholar]
Cao J, Wang Y, Song H, Meng Q, Sheng L, Bian T, Mahemuti W, Yierhali A, Omata
M, Bi S. 2009, Hepatitis A outbreaks in China during 2006: application of
molecular epidemiology. Hepatol Int. 3:356–363. [PMC free article]
[PubMed] [Google Scholar]

Depkes RI. 2009, Sistem Kesehatan Nasional.Jakarta : Depkes RI


Elisabetta, Franco., Cristina, Meleleo., Laura, Serino., dan Debora Sorbara. 2012,
Hepatitis A: Epidemiology and prevention in developing countries.
Journal of Hepatology. 4(3) : 68 – 73.

Ester, Monica. 2002, Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Fitrah Bintan Harisma, Fariani Syahrul, Teguh Mubawadi, Yudied Agung Mirasa4.
2018, Analisis kejadian luar biasa Hepatitis A di sma x Kabupaten
Lamongan Tahun 2018. , Jurnal Berkala Epidemiologi. Vol 2 no 1.

Hadi, Sujono. 1999, Sirosis Hepatitis dalam Gastroenterologi. Bandung : IPB.

41
Halliday ML, Kang LY, Zhou TK, Hu MD, Pan QC, Fu TY, Huang YS, Hu SL.
1991, An epidemic of hepatitis A attributable to the ingestion of raw clams
in Shanghai, China. J Infect Dis.;164:852–859. [PubMed] [Google Scholar]

Jennifer H, MacLachlan dan Benjamin C. Cowie. 2015, Hepatitis B Virus


Epidemiology. Journal Cold Spring Harbor Perspectives in Medicine. Vol
5. No. 5.

Johnston L. 2010, Hepatitis A and B-A brief overview. SA Pharmaceutical Journal. ;


77:40–45. [Google Scholar]

Kementerian Kesehatan RI. 2014, Info DATIN: Situasi dan Analisis Hepatitis.
Jakarta : Kemenkes RI

Kemenkes RI. 2011, Buku pedoman penyelidikan dan penanggulangan kejadian


luar biasa penyakit menular dan keracunan pangan (pedoman
epidemiologi penyakit) Jakarta: Ditjen PP & PL, Kementerian Kesehatan
RI.

Kemenkes RI. 2014, Situasi dan Analisis Hepatitis. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI.

Kim YJ, Lee HS. 2010, Increasing incidence of hepatitis A in Korean adults.
Intervirology Journal. 53:10–14. [PubMed] [Google Scholar]
Mahajan R, Xing J, Liu SJ, Ly KN, Moorman AC, Rupp L, Xu F, Holmberg SD.
2014, Chronic Hepatitis Cohort Study (CHeCS) Investigators.Mortality
among persons in care with hepatitis C virus infection: the Chronic
Hepatitis Cohort Study (CHeCS), 2006-2010.

Mansjoer, Arief, Dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC


Oswari, 2006, Penyakit Dan Cara Penanggulangannya. Jakarta: Gaya Baru
Previsani N, Lavanchy D. 2002, Hepatitis B. Department of Communicable Diseases
Surveillance and Response. Geneva : World Health Organization

Ratnajuwita, R., dan Lestari, F. 2013, Pengembangan, Sikap, Terhadap Perilaku


Pencegahan Transmisi Hepatitis B Saat melayani Konstrasepsi Implan
Pada Bidan Desa Di Puskesmas Kabupaten Purworejo. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Vol 3, No. 2.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Medikal Bedah Brunner &Suddarth, Edisi 8,
Vol 2. Jakarta : EGC

42
Tapia-Conyer R, Santos JI, Cavalcanti AM, Urdaneta E, Rivera L, Manterola A,
Potin M, Ruttiman R, Tanaka Kido J. 1999, Hepatitis A in Latin America:
a changing epidemiologic pattern. Am J Trop Med Hyg. 61:825–829.
[PubMed] [Google Scholar]

Wasley A, Fiore A, Bell BP. 2006, Hepatitis A in the era of vaccination. Epidemiol
Rev. 2006;28:101–111. [PubMed] [Google Scholar]

World Health Organization. 2010, The global prevalence of hepatitis E virus


infection and susceptibility: a systematic review. Geneva: World Health
Organization.

World Health Organization. 2016. Global Hepatitis Report 2016. Creative Commons
AttributionNonCommercial.

World Health Organization. 2000, Fact Sheet WHO. Genewa : WHO.

Yulia, Dwi. 2019, Virus Hepatitis B Ditinjau dari Aspek Laboraturium. Jurnal
Kesehatan Andalas. Vol. 8. No.4

43

Anda mungkin juga menyukai