PENDAHULUAN
Sindroma croup adalah sindrom klinis yang ditandai dengan suara serak,
batuk menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stres
pernapasan. Gejala yang dapat ditimbulkan bisa dari yang bersifat ringan, sedang,
atau bahkan bisa dengan gejala yang cukup parah biasanya terjadi memburuk pada
malam hari. Penyakit ini sering terjadi pada anak. Croup berasal dari bahasa
Anglo-Saxon yang berarti tangisan keras. Penyakit ini pertama kali dikenal pada
tahun 1928.1,2
Sindrom croup ini terjadi sekitar 15% dari anak-anak, dan biasanya
terpapar antara usia 6 bulan dan 5-6 tahun. Penyakit ini terdapat sekitar 5% dari
penerimaan rumah sakit dalam suatu populasi. Dalam kasus yang jarang, mungkin
terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan dan yang tertua sekitar usia 15 tahun.
Perbandingan anak laki-laki dan perempuan yang menderita penyakit ini adalah
50% anak laki-laki lebih sering daripada perempuan, dan ada peningkatan
prevalensi di musim gugur.2
Istilah lain untuk croup ini adalah laringitis akut yang menunjukkan lokasi
inflamasi, yang jika meluas sampai trakea disebut laringotrakeitis, dan jika terjadi
sampai ke bronkus digunakan istilah laringotrakeobronkitis.
Sindrom croup atau laringotrakeobronkitis akut disebabkan oleh virus
yang menyerang saluran respiratori atas. Penyakit ini dapat menimbulkan
obstruksi saluran respiratori. Obstruksi yang terjadi dapat bersifat ringan hingga
berat.
Croup sindrom terbanyak disebabkan oleh virus yang menyerang saluran
respiratori atas. Virus yang paling sering menyebabkan sindroma croup ini
biasanya adalah Para-influenza tipe 1 virus (HPIV-1) 60%, HPIV-2, 3 dan 4,
influenza A dan virus B, adenovirus, Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan
campak virus. Selain dapat disebabkan oleh virus, croup sindrom ini dapat pula
disebabkan oleh suatu bakteri. Bakteri yang dapat menimbulkan penyakit ini
1
antara lain Corynebacterium diphtheriae, Staphylococcus aureus , Streptococcus
pneumoniae , Hemophilus influenzae , dan Catarrhalis Moraxella.
Sifat penyakit ini adalah self-limited, tetapi kadang-kadang cenderung
menjadi berat bahkan fatal. Sebelum kortikosteroid digunakan secara luas, 30%
kasus croup sindrom harus dirawat d Rumah Sakit dan 1,7% memerlukan intubasi
endotrakea. Akan tetapi, setelah kortikosteroid telah digunakan secara luas, kasus
croup yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit menurun drastis, dan intubasi
endotrakea jarang dilakukan.
Di Alberta, lebih dari 60% anak didiagnosis croup derajat ringan, 4% (satu
dari 170 anak) memerlukan perawatan di Rumah Sakit dan 4% (satu dari 4500
anak) harus dilakukan intubasi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI
2.1.1 Paru
Paru kanan terbagi menjadi lobus atas, tengah, dan bawah oleh fissura
obliqus dan horizontal. Paru kiri hanya memiliki fissura obliqus sehingga tidak
ada lobus tengah. Segmen lingular merupakan sisi kiri yang ekuivalen dengan
lobus tengah kanan. Namun, secara anatomis lingual merupakan bagian dari lobus
atas kiri. Struktur yang masuk dan keluar dari paru melewati hilus paru yang
diselubungi oleh kantung pleura yang longgar.2
Bronki dan jaringan parenkim paru mendapat pasokan darah dari arteri
bronkialis cabang-cabang dari aorta thoracalis descendens. Vena bronkialis, yang
juga berhubungan dengan vena pulmonalis, mengalirkan darah ke vena azigos dan
vena hemiazigos. Alveoli mendapat darah deoksigenasi dari cabang-cabang
terminal arteri pulmonalis dan darah yang teroksigenasi mengalir kembali melalui
3
cabang-cabang vena pulmonalis. Dua vena pulmonalis mengalirkan darah kembali
dari tiap paru ke atrium kiri jantung.2
4
Tiap alveolus dikelilingi oleh pembuluh kapiler paru. Di sebagian besar
daerah, udara dan darah hanya dipisahkan oleh epitel alveolus dan endotel kapiler
sehingga keduanya hanya terpisah sejauh 0,5 m. Tiap alveolus dilapisi oleh 2
jenis sel epitel, yaitu sel tipe 1 dan sel tipe 2. Sel tipe 1 merupakan sel gepeng
sebagai sel pelapis utama, sedangkan sel tipe 2 (pneumosit granuler) lebih tebal,
16 banyak mengandung badan inklusi lamelar dan mensekresi surfaktan.
Surfaktan merupakan zat lemak yang berfungsi untuk menurunkan tegangan
permukaan.2
5
juga membantu proses ekspirasi dengan cara menarik iga-iga ke bawah dan ke
dalam serta dengan meningkatkan tekanan intra-abdomen yang akan mendorong
diafragma ke atas.2
HISTOLOGI
2.1.1 Hidung
Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum
di sekitar nares terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di
dalam vestibulum merupakan epitel respirasi sebelum memasuki fosa nasalis.
Pada fosa nasalis (cavum nasi) yang dibagi dua oleh septum nasi pada garis
medial, terdapat konka (superior, media, inferior) pada masing-masing dinding
lateralnya. Konka media dan inferior ditutupi oleh epitel respirasi, sedangkan
konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsi
menghidu/membaui. Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel
sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang melebar di
permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan memiliki
akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel basal (berbentuk
piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman
menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga
memudahkan akses neuron untuk membaui zat-zat. Adanya vibrisa, konka dan
vaskularisasi yang khas pada rongga hidung membuat setiap udara yang masuk
mengalami pembersihan, pelembapan dan penghangatan sebelum masuk lebih
jauh.2
6
2.1.2 Faring
2.1.3 Laring
2.1.4 Trakea
7
oleh sel goblet dan sel kelenjar membentuk lapisan yang memungkinkan
pergerakan silia untuk mendorong partikel asing. Sedangkan tulang rawan hialin
berfungsi untuk menjaga lumen trakea tetap terbuka. Pada ujung terbuka (ujung
bebas) tulang rawan hialin yang berbentuk tapal kuda tersebut terdapat
ligamentum fibroelastis dan berkas otot polos yang memungkinkan pengaturan
lumen dan mencegah distensi berlebihan.2
2.1.5 Paru-Paru
Stuktur Paru-Paru
Di bawah sel epitel terdapat jaringan ikat kolagen yang berisi anyaman sel-
sel otot polos dan serbut elastis. Dalam dindingnya sudah tidak terdapat lagi
cartilago. Pada dinding bronchiolus respiratorius tidak ditemukan kelenjar.
Disana-sini terdapat penonjolan dinding sebagai alveolus dengan sebagian
8
epitelnya melanjutkan diri. Karena adanya alveoli pada dinding bronchiolus inilah
maka saluran tersebut dinamakan bronchiolus respiratorius.2
Bronkus
Bronkus terdiri dari dua bagian yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri.
Mukosa bronkus secara struktural mirip dengan mukosa trakea, dengan lamina
propria yang mengandung kelenjar serosa , serat elastin, limfosit dan sel otot
polos. Tulang rawan pada bronkus lebih tidak teratur dibandingkan pada trakea;
pada bagian bronkus yang lebih besar, cincin tulang rawan mengelilingi seluruh
lumen, dan sejalan dengan mengecilnya garis tengah bronkus, cincin tulang rawan
digantikan oleh pulaupulau tulang rawan hialin.2
Bronkiolus
Alveolus
9
Terdapat sel alveolus tipe 1 yang melapisi 97% permukaan alveolus,
fungsinya untuk membentuk sawar dengan ketebalan yang dapat dilalui gas
dengan mudah. Sitoplasmanya mengandung banyak vesikel pinositotik yang
berperan dalam penggantian surfaktan (yang dihasilkan oleh sel alveolus tipe 2)
dan pembuangan partikel kontaminan kecil. Antara sel alveolus tipe 1
dihubungkan oleh desmosom dan taut kedap yang mencegah perembesan cairan
dari jaringan ke ruang udara.2
Sel alveolus tipe 2 tersebar di antara sel alveolus tipe 1, keduanya saling
melekat melalui taut kedap dan desmosom. Sel tipe 2 tersebut berada di atas
membran basal, berbentuk kuboid dan dapat bermitosis untuk mengganti dirinya
sendiri dan sel tipe 1. Sel tipe 2 ini memiliki ciri mengandung badan lamela yang
berfungsi menghasilkan surfaktan paru yang menurunkan tegangan alveolus paru.2
2.2 DEFINISI
2.3 KLASIFIKASI
10
Selain klasifikasi secara umum, juga terdapat klasifikasi berdasarkan derajat
keparahan batuk atau derajat kegawatan, dikelompokkan menjadi 4 kategori:5
1. Ringan: Ditandai dengan batuk menggonggong keras yang kadang-kadang
muncul, Stridor yang tidak dapat terdengar saat pasien istirahat/tidak
beraktivitas atau tidak ada kegiatan dan teradapat retraksi dada ringan.
2. Moderat/Sedang: Ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul,
Stridor lebih bisa mendengar ketika pasien beristirahat atau tidak aktivitas,
retraksi dinding dada yang sedikit terlihat, tetapi tanpa gangguan pernapasan
yaitu gawat napas (repiratory distress).
3. Berat: Ditandai dengan sering batuk menggonggong yang sering timbul,
Inspirasi stridor lebih bisa mendengar saat aktivitas pasien atau kurang
istirahat, akan tetapi, lebih terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan
kadang-kadang disertai dengan stridor ekspirasi, retraksi dinding dada, juga
terdapat gangguan pernapasan.
4. Gagal napas mengancam: Batuk kadang-kadang tidak jelas, stridor positif
(kadang sangat jelas ketika pasien beristirahat), terdapat sedikit gangguan
kesadaran (letargi), dan kelesuan.
Laryngotracheobronchpeneumonitis (LTBP)
Peradangan pada laring, trakea dan bronkus atau paru paru.
Berupa infiltrasi sel sel radang pada dinding trakea disertai ulserasi,
catarrhalis.
11
Manifestasi klinis ditandai dengan gejala prodormal infeksi
batuk dan coryza, demam muncul 24 jam pertama dan dalam 18-24
jam dapat muncul gejala obstruksi saluran nafas berupa suara parau,
12
minimal berat, presentasi toksik minimal. Pemeriksaan radiologi
nontoksik.
2.4 EPIDEMIOLOGI
Sindrom Croup biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan-6 tahun, dengan
puncaknya pada usia 1-2 tahun. Akan tetapi, croup juga dapat terjadi pada anak
berusia 3 bulan dan di atas 15 tahun meskipun angka prevalensi untuk kejadian ini
cukup kecil.3,4
Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak
perempuan, dengan rasio 3:2. Angka kejadiannya meningkat pada musim dingin
dan musim gugur pada negara-negara sub-tropis sedangkan pada negara tropis
seperti indonesia angka kejadian cukup tinggi pada musim hujan, tetapi penyakit
ini tetap dapat terjadi sepanjang tahun. Pasien croup merupakan 15% dari seluruh
pasien dengan infeksi respiratori yang berkunjung ke dokter.2,4
Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan
dengan pematangan struktur anatomi saluran pernapasan atas. Hampir 15% pasien
sindrom croup mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang sama.5
2.5 ETIOLOGI
13
Croup sindrom ini biasanya dianggap terjadi karena infeksi virus. Nama
lain menggunakan istilah yang lebih luas, untuk menyertakan laryngotrakeitis
akut, batuk tidak teratur, difteri laring, trakeitis bakteri , laryngotrakeo-bronkitis,
dan laryngotrakeobronkopneumonitis. Dari macam-macam penyakit tersebut
terdapat kondisi yang melibatkan infeksi virus dan umumnya lebih ringan
sehubungan dengan simptomatologi, akan tetapi terdapat pula yang dikarena
infeksi bakteri dan biasanya dengan tingkat keparahan lebih besar. Selain dapat
disebabkan virus dan bakteri, croup sindrom juga bisa dikarenakan infeksi jamur
yaitu berupa Candida albican.1
Viral
Viral croup / laryngotrakeitis akut yang disebabkan oleh Human
Parainfluenza Virus terutama tipe 1 (HPIV1), HPIV-2, HPIV-3, dan HPIV-4
terdapat pada sekitar 75% kasus. Etiologi virus lainnya adalah Influenza A dan B,
virus campak , Adenovirus dan Virus pernapasan/Respiratory Syncytial Virus
(RSV). Batuk hebat disebabkan oleh kelompok virus yang sama seperti
laryngotrakeitis akut, tetapi tidak memiliki tanda-tanda infeksi biasa (seperti
demam, sakit tenggorokan, dan meningkatkan jumlah sel darah putih). Perawatan,
dan respon terhadap pengobatan, juga serupa.2
Bakteri
Bakteri yang dapat menyebabkan batuk dapat dibagi menjadi beberapa
antara lain, difteri laring, trakeitis bakteri, laryngotrakeobronkitis, dan
laryngotrakeobronkopneumonitis. Difteri laring disebabkan Corynebacterium
diphtheriae sementara trakeitis bakteri, laryngotrakeobronkitis, dan
laryngotrakeobronkopneumonitis biasanya karena infeksi virus primer dengan
pertumbuhan bakteri sekunder. Sebagian besar bakteri yang umum terlibat adalah
Staphylococcus aureus , Streptococcus pneumoniae , Hemophilus influenzae , dan
Catarrhalis moraxella2.
Penyebab Lain
14
Etiologi lainnya selain dikarenakan infeksi berupa virus, bakteri, dan
jamur. Terdapat pula penyebab lain yaitu:1
Mekanik
Benda asing
Pasca pembedahan
Penekanan massa ekstrinsik
Alergi
Sembab angioneurotik
2.6 PATOFISIOLOGI
15
Pergerakan dinding dada dan juga dinding abdomen yang tidak teratur
menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada
keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan juga terjadi henti napas.2
16
Tabel perbandingan antara Viral croup dan Spasmodic croup
Karakteristik Viral Croup Spasmodic Croup
Usia 6 bulan 6 tahun 6 bulan 6 tahun
Gejala prodromal Ada Tidak jelas
Stridor Ada Ada
Batuk Sepanjang waktu Terutama malam hari
Demam Ada (tinggi) Bisa ada, tidak tinggi
Lama sakit 2-7 hari 2-4 jam
Riwayat keluarga Tidak ada Ada
Predisposisi asma Tidak ada Ada
2.8 DIAGNOSIS
17
Hal ini juga menyajikan dengan stridor jelas, tetapi juga fitur ditandai
dinding dada indrawing.
Sebuah nilai total 12 menunjukkan yang akan adanya kegagalan
pernapasan . Batuk menggonggong dan stridor mungkin tidak lagi
menonjol pada tahap ini.
18
Gambaran radiologi berupa penyempitan dari subglotis (seperti menara /
steeple sign) pada foto anterior-posterior (AP), densitas jaringan lunak yang
ireguler pada trakea foto lateral, serta peumonia bilateral.1,6
Tanda menara terlihat pada radiografi anteroposterior jaringan lunak leher.
Konvektivitas lateral normal trakea subglottic hilang, dan penyempitan lumen
subglottic menghasilkan konfigurasi V terbalik di daerah ini. Titik dari V terbalik
pada tingkat margin inferior pita suara yang benar. Penyempitan dari lumen
subglottic mengubah tampilan radiografi dari kolom udara trakea, yang
menyerupai atap bernada tajam atau menara gereja.1,6
19
Gambaran Sindrom Croup foto anterior-posterior
Dalam tanda menara (steeple sign), area kritis penyempitan saluran napas
adalah 1 cm proksimal trakea, di elasticus konus ke tingkat pita suara yang benar.
Mukosa pada tingkat ini memiliki lampiran longgar. Tanda menara dihasilkan oleh
adanya edema pada trakea, yang menghasilkan elevasi mukosa trakea dan
hilangnya memikul normal (Convexities lateral) dari kolom udara.1,2,6
Pada pemeriksaan radiologis leher posisi poserior-anterior ditemukan
gambaran udara steeple sign (seperti menara) yang menunjukkan adanya
penyempitan kolumna subglotis. Akan tetapi, gambaran radiologis seperti ini
hanya dijumpai pada 50% kasus saja.1,2,6
Melalui pemeriksaan radiologis, croup dapat dibedakan dengan berbagai
diagnosis bandingnya. Gambaran foto jaringan lunak (intensitas rendah) saluran
napas atas dapat dijumpai sebagai berikut:1,6
20
1. Pada trakeitis bakterial, tampak gambaran membran trakea yang compang-
camping.
2. Pada epiglotitis, tampak gambaran epiglotitis yang menebal.
3. Pada abses retrofaringeal, tampak gambaran posterior faring yang
menonjol.
Epiglotitis akut
Laringitis
Laringotrakeitis akut
Laringotrakeobronkopneumonitis
2.11 TATALAKSANA
Tatalaksana utama bagi pasien croup adalah mengatasi obstruksi jalan
napas. Sebagian besar pasien croup tidak perlu dirawat RS, melainkan cukup
dirawat dirumah. Pasien dirawat di RS bila dijumpai salah satu dari gejala-gejala
berikut: anak berusia di bawah 6 bulan, terdengar stridor progresif, stridor
terdengar ketika sedang beristirahat, terdapat gejala gawat napas, hipoksemia,
gelisah, sianosis, gangguan kesadaran, demam tinggi, anak tampak toksik, dan
tidak ada respons terhadap terapi. 2,7
Terapi inhalasi
Sejak abad ke-19, terapi uap telah digunakan untuk mengatasi obstruksi
jalan napas pada sindrom croup. Pemakaian uap dingin lebih baik daripada uap
panas, karena kulit akan melepuh akibat paparan uap panas. Uap dingin akan
21
melembabkan saluran respiratori, akan inflamasi, mengencerkan lender pada
saluran respiratori, sekaligus memberikan efek yang nyaman dan menenangkan
bagi anak.
Meskipun terapi uap ini dapat menjadi pilihan yang praktis pada sindrom
croup, kelembaban yang ditimbulkan oleh terapi uap dapat pula memperberat
keadaan pada dengan bronkospasme yang disertai dengan mengi, seperti
laringotrakeobronkitis atau pneumonia. Saat ini beberapa pusat kesehatan tidak
merekomendasikan penggunaan terapi uap.
Berdasarkan tiga penelitian yang menggunakan air dingin tersaturasi
(coldwater fog) tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penggunaannya untuk
mengobati croup menguntungkan. Gina dkk.melakukan penelitian RCT dengan
memberikan terapi oksigen lembab (humidifiedoxygen) pada pasien croup derajat
sedang di UGD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
perbaikan klinis antara kelompok yang diberi terapi oksigen lembab dan yang
tidak diberikan.
Epinefrin
Sindrom croup biasanya cukup diatasi dengan terapi uap saja, tetapi
kadang-kadang membutuhkan farmakoterapi. Nebulisasi epinefrin telah
digunakan untuk mengatasi sindrom croup selama hampir 30 tahun, dan
pengobatan dengan epinefrin ini menyebabkan trakeostomi hampir tidak
diperlukan.
Nebulisasi epinefrin sebaiknya juga diberikan kepada anak dengan
sindrom croup sedang-berat yang disertai dengan stridor saat istirahat dan
membutuhkan intubasi, serta pada anak dengan retraksi dan stridor yang tidak
mengalami perbaikan setelah diberikan terapi uap dingin.
Nebulisasi epinefrin akan menurunkan permeabilitas vascular epitel
bronkus dan trakea, memperbaiki edema mukosa laring, dan meningkatkan laju
udara pernapasan. Pada penelitian dengan metode double blind, efek terapi
nebulisasi epinefrin ini timbul dalam waktu 30 menit dan bertahan selama dua
jam. Epinefrin yang dapat digunakan antara lain adalah sebagai berikut:
22
1. Racemic epinephrine (campuran 1:1 isomer d dan l epinefrin), dengan dosis
0,5 ml larutan racemic epinephrine 2,25% yang telah dilarutkan dalam 3 ml
salin normal. Larutan tersebut diberikan melalui nebulizer selama 20 menit.
2. L-epinephrine 1:1000 sebanyak 5 ml; diberikan melalui nebulizer. Efek
terapi terjadi dalam dua jam
Racemic epinephrine merupakan pilihan utama, efek terapinya lebih besar, dan
mempunyai sedikit efek terhadap kardiovaskular seperti takikardi dan hipertensi.
Nebulisasi epinefrin masih dapat diberikan pada pasien dengan takikardi
dan kelainan jantung seperti Tetralogy Fallot.
Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui mekanisme
anti radang. Uji klinik menunjukkan adanya perbaikan pada pasien laringotrakeitis
ringan-sedang yang diobati dengan steroid oral atau parenteral dibandingkan
dengan plasebo.
Deksametason
Deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgBB per oral/antimuskular
sebanyak satu kali, dan dapat diulang dalam 6-24 jam. Efek klinis akan tampak 2-
3 jam setelah pengobatan. Tidak ada penelitian yang menyokong keuntungan
penambahan dosis. Keuntungan pemakaian kortikosteroid adalah sebagai berikut:
Mengurangi rata-rata tindakan intubasi
Mengurangi rata-rata lama rawat inap
Menurunkan hari perawatan dan derajat penyakit.
Selain deksametason, dapat juga diberikan prednisone atau prednisolon
dengan dosis 1-2 mg/kgBB (E4). Berdasarkan dua penelitian meta-analisis (24
RCT) tentang pemakaian kortikosteroid sistemik, dengan pemberian
kortikosteroid 6 dan 12 jam, tetapi tidak sampai 24 jam, disimpulkan bahwa tidak
ada pengaruh dari kortikosteroid sistemik.
Budesonid
23
Nebulisasi budesonid dipakai sejak tahun 1990. Tingkat efektifitasnya
adalah E2 bila dibandingkan dengan plasebo. Larutan 2-4 mg budesonid (2 ml)
diberikan melalui nebulizer dan dapat diulang pada 12 dan 48 jam pertama. Efek
terapi nebulisasi budesonid terjadi dalam 30 menit, sedangkan kortikosteroid
sistemik terjadi dalam satu jam.
Pemberian terapi ini mungkin akan lebih bermanfaat pada pasien dengan
gejala muntah dan gawat napas (respiratory distress) yang hebat. Budesonid dan
epinefrin dapat digunakan secara bersamaan. Sebagian besar kasus pemakaian
budesonid tidak lebih baik daripada deksametason oral.
Kortikosteroid tidak diberikan pada anak dengan varisela dan TB (kecuali
pada anak yang sedang mendapat OAT). Pemakaian kortikosteroid dalam jangka
waktu lama (1 mg/kgBB/hari selama delapan hari) dapat meningkatkan infeksi
Candida albicans.
Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien sindrom croup yang berat,
yang tidak responsive terapi lain. Intubasi endotrakeal rnerupakan terapi
alternative selain trakeostomi untuk mengatasi obstruksi jalan napas. Indikasi
melakukan intubasi endotrakeal adalah adanya hiperkarbia dan ancaman gagal
napas. Selain itu, intubasi juga diperlukan bila terdapat peningkatan stridor,
peningkatan frekuensi napas, peningkatan frekuensi nadi, retraksi dinding dada,
sianosis, letargi, atau penurunan kesadaran. Intubasi hanya dibutuhkan untuk
jangka waktu yang singkat, yaitu hingga edema laring hilang/teratasi2,7.
Kombinasi Oksigen-Helium
Kombinasi oksigen dan helium (Heliox) digunakan oleh beberapa sentra
untuk mengatasi sindrom croup. Helium bersifat inert, tidak beracun, serta
mempunyai densitas dan viskositas yang rendah. Hal ini sangat membantu
mengurangi obstruksi jalan napas, yaitu dengan meningkatkan aliran gas dan
24
mengurangi kerja otot-otot respiratorius. Bila helium dikombinasikan dengan
oksigen, maka oksigenasi darah akan meningkat.
Dengan terapi oksigen-helium ini, pasien sindrom croup beratakan merasa
nyaman dan kemungkinan besar tidak memerlukan tindakan intubasi. Efek klinis
pemberian kombinasi oksigen-helium hampir sama dengan pemberian nebulisasi
epinefrin.
Antibiotik
Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada pasien sindrom croup, kecuali
pasien dengan laringotrakeobronkitis atau laringotrakeopneumonitis yang disertai
infeksi bakteri. Pasien diberikan terapi empiris sambil menunggu hasil kultur.
Terapi awal dapat menggunakan sefalosporin generasi ke-2 atau ke-3. Pemberian
sedative dan dekongestan oral tidak dianjurkan pada pasien sindrom croup.
Dibawah ini merupakan Algoritma penatalaksanaan sindrom Croup,
sebagai berikut2:
25
CROUP
Diagnosis banding
Obstruksi jalan napas yang Aspirasi benda asing
Abnormalitas kongenital
mengancam jiwa
Epiglotitis
Sianosis
Penurunan kesadaran
O2 100% dengan sungkup muka dan nebulisasi
adrenalin (5ml) 1:1000
Intubasi anak sesegera mungkin oleh seorang
TIDAK YA yang berpengalaman
Hubungi pusat rujukan pelayanan kesehatan anak
RAWAT RS
Membaik Tidakmembaik
Dipulangkan bila tidak Evaluasiulang
ada stridor saat istirahat Rawat
Edukasi orang tua pasien Perbaikan
Hubungikonsulen
Evaluasi diagnosis
Rawat/observasi di IGD
Ulangi pemberian Nebulisasi adrenalin (dosis
kortikosteroid oral/12 jam sama) dan kortikosteroid
Edukasi ortu pasien Sebagian sistemik (dosis sama)
Sediakan penjelasan Persiapkan pelayanan untuk
tertulis untuk dokter umum tindakan darurat
yang akan follow up Pertimbangkan intubasi
Evaluasi diagnosis 26
Komplikasi
Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis media,
dehidrasi, dan pneumonia (jarang terjadi). Sebagian kecil pasien memerlukan
tindakan intubasi. Gagal jantung dan gagal napas dapat terjadi pada pasien yang
perawatan dan pengobatannya tidak adekuat.2
Prognosis
Sindrom croup biasanya bersifat self-limited dengan prognosis yang baik.2
27
DAFTAR PUSTAKA
28