Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma croup adalah sindrom klinis yang ditandai dengan suara serak,
batuk menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stres
pernapasan. Gejala yang dapat ditimbulkan bisa dari yang bersifat ringan, sedang,
atau bahkan bisa dengan gejala yang cukup parah biasanya terjadi memburuk pada
malam hari. Penyakit ini sering terjadi pada anak. Croup berasal dari bahasa
Anglo-Saxon yang berarti tangisan keras. Penyakit ini pertama kali dikenal pada
tahun 1928.1,2
Sindrom croup ini terjadi sekitar 15% dari anak-anak, dan biasanya
terpapar antara usia 6 bulan dan 5-6 tahun. Penyakit ini terdapat sekitar 5% dari
penerimaan rumah sakit dalam suatu populasi. Dalam kasus yang jarang, mungkin
terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan dan yang tertua sekitar usia 15 tahun.
Perbandingan anak laki-laki dan perempuan yang menderita penyakit ini adalah
50% anak laki-laki lebih sering daripada perempuan, dan ada peningkatan
prevalensi di musim gugur.2
Istilah lain untuk croup ini adalah laringitis akut yang menunjukkan lokasi
inflamasi, yang jika meluas sampai trakea disebut laringotrakeitis, dan jika terjadi
sampai ke bronkus digunakan istilah laringotrakeobronkitis.
Sindrom croup atau laringotrakeobronkitis akut disebabkan oleh virus
yang menyerang saluran respiratori atas. Penyakit ini dapat menimbulkan
obstruksi saluran respiratori. Obstruksi yang terjadi dapat bersifat ringan hingga
berat.
Croup sindrom terbanyak disebabkan oleh virus yang menyerang saluran
respiratori atas. Virus yang paling sering menyebabkan sindroma croup ini
biasanya adalah Para-influenza tipe 1 virus (HPIV-1) 60%, HPIV-2, 3 dan 4,
influenza A dan virus B, adenovirus, Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan
campak virus. Selain dapat disebabkan oleh virus, croup sindrom ini dapat pula
disebabkan oleh suatu bakteri. Bakteri yang dapat menimbulkan penyakit ini

1
antara lain Corynebacterium diphtheriae, Staphylococcus aureus , Streptococcus
pneumoniae , Hemophilus influenzae , dan Catarrhalis Moraxella.
Sifat penyakit ini adalah self-limited, tetapi kadang-kadang cenderung
menjadi berat bahkan fatal. Sebelum kortikosteroid digunakan secara luas, 30%
kasus croup sindrom harus dirawat d Rumah Sakit dan 1,7% memerlukan intubasi
endotrakea. Akan tetapi, setelah kortikosteroid telah digunakan secara luas, kasus
croup yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit menurun drastis, dan intubasi
endotrakea jarang dilakukan.
Di Alberta, lebih dari 60% anak didiagnosis croup derajat ringan, 4% (satu
dari 170 anak) memerlukan perawatan di Rumah Sakit dan 4% (satu dari 4500
anak) harus dilakukan intubasi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN HISTOLOGI SISTEM PERNAPASAN

ANATOMI

2.1.1 Paru

Paru memiliki area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40 m2 untuk


pertukaran udara. Tiap paru memiliki: apeks yang mencapai ujung sternal kosta
pertama, permukaan costovertebral yang melapisi dinding dada, basis yang
terletak di atas diafragma dan permukaan mediastinal yang menempel dan
membentuk struktur mediastinal di sebelahnya.2

Paru kanan terbagi menjadi lobus atas, tengah, dan bawah oleh fissura
obliqus dan horizontal. Paru kiri hanya memiliki fissura obliqus sehingga tidak
ada lobus tengah. Segmen lingular merupakan sisi kiri yang ekuivalen dengan
lobus tengah kanan. Namun, secara anatomis lingual merupakan bagian dari lobus
atas kiri. Struktur yang masuk dan keluar dari paru melewati hilus paru yang
diselubungi oleh kantung pleura yang longgar.2

Setiap paru diselubungi oleh kantung pleura berdinding ganda yang


membrannya melapisi bagian dalam toraks dan menyelubungi permukaan luar
paru. Setiap pleura mengandung beberapa lapis jaringan ikat elastik dan
mengandung banyak kapiler. Diantara lapisan pleura tersebut terdapat cairan yang
bervolume sekitar 25-30 mL yang disebut cairan pleura. Cairan pleura tersebut
berfungsi sebagai pelumas untuk gerakan paru di dalam rongga.2

Bronki dan jaringan parenkim paru mendapat pasokan darah dari arteri
bronkialis cabang-cabang dari aorta thoracalis descendens. Vena bronkialis, yang
juga berhubungan dengan vena pulmonalis, mengalirkan darah ke vena azigos dan
vena hemiazigos. Alveoli mendapat darah deoksigenasi dari cabang-cabang
terminal arteri pulmonalis dan darah yang teroksigenasi mengalir kembali melalui

3
cabang-cabang vena pulmonalis. Dua vena pulmonalis mengalirkan darah kembali
dari tiap paru ke atrium kiri jantung.2

Drainase limfatik paru mengalir kembali dari perifer menuju kelompok


kelenjar getah bening trakeobronkial hilar dan selanjutnya menuju trunkus
limfatikus mediastinal.2

Paru dipersyarafi oleh pleksus pulmonalis yang terletak di pangkal paru.


Pleksus ini terdiri dari serabut simpatis (dari truncus simpaticus) dan serabut
parasimpatis (dari arteri vagus). Serabut eferen dari pleksus mensarafi otot-otot
bronkus dan serabut aferen diterima dari membran mukosa bronkioli dan alveoli.2

2.1.2 Saluran Napas

Saluran pernapasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring,


laring, trakea, dan paru. Laring membagi saluran pernapasan menjadi dua bagian,
yakni saluran pernapasan atas dan saluran pernapasan bawah.2

Setelah melalui saluran hidung dan faring, tempat udara pernapasan


dihangatkan dan dilembabkan oleh uap air, udara inspirasi berjalan menuruni
trakea, melalui bronkiolus, bronkiolus respiratorius, dan duktus alveolaris sampai
alveolus.2

Antara trakea dan kantong alveolar terdapat 23 kali percabangan saluran


udara. Enam belas percabangan pertama saluran udara merupakan zona konduksi
yang meyalurkan udara dari dan ke lingkungan luar. Bagian ini terdiri atas
bronkus, bronkiolus, dan bronkiolus terminalis. Tujuh percabangan berikutnya
merupakan zona peralihan dan zona respirasi, dimana proses pertukaran gas
terjadi, terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan alveolus.
Adanya percabangan saluran udara yang majemuk ini meningkatkan luas total
penampang melintang saluran udara, dari 2,5 cm2 di trakea, menjadi 11.800 cm2
di alveoli. Akibatnya, kecepatan aliran udara di dalam saluran udara kecil
berkurang ke nilai yang sangat rendah.2

4
Tiap alveolus dikelilingi oleh pembuluh kapiler paru. Di sebagian besar
daerah, udara dan darah hanya dipisahkan oleh epitel alveolus dan endotel kapiler
sehingga keduanya hanya terpisah sejauh 0,5 m. Tiap alveolus dilapisi oleh 2
jenis sel epitel, yaitu sel tipe 1 dan sel tipe 2. Sel tipe 1 merupakan sel gepeng
sebagai sel pelapis utama, sedangkan sel tipe 2 (pneumosit granuler) lebih tebal,
16 banyak mengandung badan inklusi lamelar dan mensekresi surfaktan.
Surfaktan merupakan zat lemak yang berfungsi untuk menurunkan tegangan
permukaan.2

2.1.3 Otot Pernapasan

Gerakan diafragma menyebabkan perubahan volume intratoraks sebesar


75% selama inspirasi tenang. Otot diafragma melekat di sekeliling bagian dasar
rongga toraks, yang membentuk kubah diatas hepar dan bergerak ke arah bawah
seperti piston pada saat berkontraksi. Jarak pergerakan diafragma berkisar antara
1,5 cm sampai 7 cm saat inspirasi dalam.2

Otot inspirasi utama lainnya adalah musculus interkostalis eksternus, yang


berjalan dari iga ke iga secara miring ke arah bawah dan ke depan. Poros iga
bersendi pada vertebra sehingga ketika musculus intercostalis eksternus
berkontraksi, iga-iga dibawahnya akan terangkat. Gerakan ini akan mendorong
sternum ke luar dan memperbesar diameter anteroposterior rongga dada. Diameter
transversal juga meningkat, tetapi dengan derajat yang lebih kecil. Musculus
interkostalis eksternus dan diafragma dapat mempertahankan ventilasi yang
adekuat pada keadaan istirahat. Musculus scalenus dan musculus
sternocleidomastoideus merupakan otot inspirasi tambahan yang ikut membantu
mengangkat rongga dada pada pernapasan yang sukar dan dalam.2

Otot ekspirasi akan berkontraksi jika terjadi ekspirasi kuat dan


menyebabkan volume intratoraks berkurang. Musculus intercostalis internus
bertugas untuk melakukan hal tersebut karena otot-otot ini berjalan miring ke arah
bawah dan belakang dari iga ke iga sehingga ketika berkontraksi, otot-otot ini
akan menarik rongga dada ke bawah. Kontraksi otot dinding abdomen anterior

5
juga membantu proses ekspirasi dengan cara menarik iga-iga ke bawah dan ke
dalam serta dengan meningkatkan tekanan intra-abdomen yang akan mendorong
diafragma ke atas.2

HISTOLOGI

2.1.1 Hidung

Struktur berongga yang disebut dengan rongga hidung (cavum nasalis).


Memiliki rambut pendek dan tebal untuk menyaring udara dan menangkap
kotoran yang masuk bersama udara.

Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum
di sekitar nares terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di
dalam vestibulum merupakan epitel respirasi sebelum memasuki fosa nasalis.
Pada fosa nasalis (cavum nasi) yang dibagi dua oleh septum nasi pada garis
medial, terdapat konka (superior, media, inferior) pada masing-masing dinding
lateralnya. Konka media dan inferior ditutupi oleh epitel respirasi, sedangkan
konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsi
menghidu/membaui. Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel
sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang melebar di
permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan memiliki
akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel basal (berbentuk
piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman
menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga
memudahkan akses neuron untuk membaui zat-zat. Adanya vibrisa, konka dan
vaskularisasi yang khas pada rongga hidung membuat setiap udara yang masuk
mengalami pembersihan, pelembapan dan penghangatan sebelum masuk lebih
jauh.2

6
2.1.2 Faring

Tempat persimpangan antara saluran pernapasan pada bagian depan


(anterior) dan saluran pencernaan pada bagian belakang (posterior). Nasofaring
dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berkontak dengan palatum mole,
sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa/gepeng.2

2.1.3 Laring

Laring atau tekak (jakun) terdapat di bagian belakang (posterior) faring.


Organ ini terdiri atas 9 susunan tulang rawan (kartilago) yang berbentuk kotak.
Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea. Pada
lamina propria laring terdapat tulang rawan hialin dan elastin yang berfungsi
sebagai katup yang mencegah masuknya makanan dan sebagai alat penghasil
suara pada fungsi fonasi. Epiglotis merupakan juluran dari tepian laring, meluas
ke faring dan memiliki permukaan lingual dan laringeal. Bagian lingual dan apikal
epiglotis ditutupi oleh epitel gepeng berlapis, sedangkan permukaan laringeal
ditutupi oleh epitel respirasi bertingkat bersilindris bersilia. Di bawah epitel
terdapat kelenjar campuran mukosa dan serosa.2

Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas ke


dalam lumen laring: pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu (plika
vestibularis) yang terdiri dari epitel respirasi dan kelenjar serosa, serta di lipatan
bawah membentuk pita suara sejati yang terdiri dari epitel berlapis gepeng,
ligamentum vokalis (serat elastin) dan muskulus vokalis (otot rangka). Otot
muskulus vokalis akan membantu terbentuknya suara dengan frekuensi yang
berbeda-beda.2

2.1.4 Trakea

Mendorong keluar debu-debu dan bakeri dengan gerakan silia-silia di


trakea. Permukaan trakea dilapisi oleh epitel respirasi. Terdapat kelenjar serosa
pada lamina propria dan tulang rawan hialin berbentuk C (tapal kuda), yang mana
ujung bebasnya berada di bagian posterior trakea. Cairan mukosa yang dihasilkan

7
oleh sel goblet dan sel kelenjar membentuk lapisan yang memungkinkan
pergerakan silia untuk mendorong partikel asing. Sedangkan tulang rawan hialin
berfungsi untuk menjaga lumen trakea tetap terbuka. Pada ujung terbuka (ujung
bebas) tulang rawan hialin yang berbentuk tapal kuda tersebut terdapat
ligamentum fibroelastis dan berkas otot polos yang memungkinkan pengaturan
lumen dan mencegah distensi berlebihan.2

2.1.5 Paru-Paru

Paru-paru pada manusia terdapat sepasang yang menempati sebagian besar


dalam cavum thoracis. Kedua paru-paru dibungkus oleh pleura yang terdiri atas 2
lapisan yang saling berhubungan sebagai pleura visceralis dan pleura parietalis.2

Stuktur Paru-Paru

Unit fungsional dalam paru-paru disebut lobulus primerius yang meliputi


semua struktur mulai bronchiolus terminalis, bronchiolus respiratorius, ductus
alveolaris, atrium, saccus alveolaris, dan alveoli bersama-sama dengan pembuluh
darah, limfe, serabut syaraf, dan jarinmgan pengikat. Lobulus di daerah perifer
paru-paruberbentuk pyramidal atau kerucut didasar perifer, sedangkan untuk
mengisi celah-celah diantaranya terdapat lobuli berbentuk tidak teratur dengan
dasar menuju ke sentral.2

Cabang terakhir bronchiolus dalam lobulus biasanya disebut bronchiolus


terminalis. Kesatuan paru-paru yang diurus oleh bronchiolus terminalis disebut
acinus. Bronchiolus Respiratorius Memiliki diameter sekitar 0.5mm. saluran ini
mula-mula dibatasi oleh epitel silindris selapis bercilia tanpa sel piala, kemudian
epitelnya berganti dengan epitel kuboid selapis tanpa cilia.2

Di bawah sel epitel terdapat jaringan ikat kolagen yang berisi anyaman sel-
sel otot polos dan serbut elastis. Dalam dindingnya sudah tidak terdapat lagi
cartilago. Pada dinding bronchiolus respiratorius tidak ditemukan kelenjar.
Disana-sini terdapat penonjolan dinding sebagai alveolus dengan sebagian

8
epitelnya melanjutkan diri. Karena adanya alveoli pada dinding bronchiolus inilah
maka saluran tersebut dinamakan bronchiolus respiratorius.2

Bronkus

Bronkus terdiri dari dua bagian yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri.
Mukosa bronkus secara struktural mirip dengan mukosa trakea, dengan lamina
propria yang mengandung kelenjar serosa , serat elastin, limfosit dan sel otot
polos. Tulang rawan pada bronkus lebih tidak teratur dibandingkan pada trakea;
pada bagian bronkus yang lebih besar, cincin tulang rawan mengelilingi seluruh
lumen, dan sejalan dengan mengecilnya garis tengah bronkus, cincin tulang rawan
digantikan oleh pulaupulau tulang rawan hialin.2

Bronkiolus

Percabangan bronkus yang banyak mengandung otot polos. Bronkiolus


tidak memiliki tulang rawan dan kelenjar pada mukosanya. Lamina propria
mengandung otot polos dan serat elastin. Pada segmen awal hanya terdapat
sebaran sel goblet dalam epitel. Pada bronkiolus yang lebih besar, epitelnya
adalah epitel bertingkat silindris bersilia, yang makin memendek dan makin
sederhana sampai menjadi epitel selapis silindris bersilia atau selapis kuboid pada
bronkiolus terminalis yang lebih kecil. Terdapat sel Clara pada epitel bronkiolus
terminalis, yaitu sel tidak bersilia yang memiliki granul sekretori dan
mensekresikan protein yang bersifat protektif. Terdapat juga badan neuroepitel
yang kemungkinan berfungsi sebagai kemoreseptor.2

Alveolus

Dikelilingi kapiler-kapiler darah yang dibatasi oleh membran alveoli-


kapiler tempat terjadinya pertukaran O2 dan CO2 atau pernapasan eksternal.
Alveolus merupakan struktur berongga tempat pertukaran gas oksigen dan
karbondioksida antara udara dan darah. Septum interalveolar memisahkan dua
alveolus yang berdekatan, septum tersebut terdiri atas 2 lapis epitel gepeng tipis
dengan kapiler, fibroblas, serat elastin, retikulin, matriks dan sel jaringan ikat.2

9
Terdapat sel alveolus tipe 1 yang melapisi 97% permukaan alveolus,
fungsinya untuk membentuk sawar dengan ketebalan yang dapat dilalui gas
dengan mudah. Sitoplasmanya mengandung banyak vesikel pinositotik yang
berperan dalam penggantian surfaktan (yang dihasilkan oleh sel alveolus tipe 2)
dan pembuangan partikel kontaminan kecil. Antara sel alveolus tipe 1
dihubungkan oleh desmosom dan taut kedap yang mencegah perembesan cairan
dari jaringan ke ruang udara.2

Sel alveolus tipe 2 tersebar di antara sel alveolus tipe 1, keduanya saling
melekat melalui taut kedap dan desmosom. Sel tipe 2 tersebut berada di atas
membran basal, berbentuk kuboid dan dapat bermitosis untuk mengganti dirinya
sendiri dan sel tipe 1. Sel tipe 2 ini memiliki ciri mengandung badan lamela yang
berfungsi menghasilkan surfaktan paru yang menurunkan tegangan alveolus paru.2

2.2 DEFINISI

Croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu grup penyakit


heterogen yang mengenai laring, infra/subglotis, trakea dan bronkus. Karakteristik
sindrom croup adalah batuk yang menggonggong, suara serak, stridor inspirasi,
dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas.2
Pada croup sindrom ini terdapat suatu kondisi pernafasan yang biasanya
dipicu oleh infeksi virus akut saluran napas bagian atas. Infeksi menyebabkan
pembengkakan di dalam tenggorokan, yang mengganggu pernapasan normal.
Selain itu juga terjadi suatu pembengkakan di sekitar pita suara, terjadi biasanya
secara umum pada bayi dan anak-anak dan dapat memiliki berbagai penyebab.2

2.3 KLASIFIKASI

10
Selain klasifikasi secara umum, juga terdapat klasifikasi berdasarkan derajat
keparahan batuk atau derajat kegawatan, dikelompokkan menjadi 4 kategori:5
1. Ringan: Ditandai dengan batuk menggonggong keras yang kadang-kadang
muncul, Stridor yang tidak dapat terdengar saat pasien istirahat/tidak
beraktivitas atau tidak ada kegiatan dan teradapat retraksi dada ringan.
2. Moderat/Sedang: Ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul,
Stridor lebih bisa mendengar ketika pasien beristirahat atau tidak aktivitas,
retraksi dinding dada yang sedikit terlihat, tetapi tanpa gangguan pernapasan
yaitu gawat napas (repiratory distress).
3. Berat: Ditandai dengan sering batuk menggonggong yang sering timbul,
Inspirasi stridor lebih bisa mendengar saat aktivitas pasien atau kurang
istirahat, akan tetapi, lebih terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan
kadang-kadang disertai dengan stridor ekspirasi, retraksi dinding dada, juga
terdapat gangguan pernapasan.
4. Gagal napas mengancam: Batuk kadang-kadang tidak jelas, stridor positif
(kadang sangat jelas ketika pasien beristirahat), terdapat sedikit gangguan
kesadaran (letargi), dan kelesuan.

Klasifikasi croup sindrom berdasarkan definisi dan klinis terditi atas:5

1. Laryngotracheobronchitis (LTB) dan

Laryngotracheobronchpeneumonitis (LTBP)
Peradangan pada laring, trakea dan bronkus atau paru paru.

Berupa infiltrasi sel sel radang pada dinding trakea disertai ulserasi,

pseudomembran dan mikroabses. Disebabkan oleh virus parainfluenza

1, 2, 3 dan influenza A dan B. Pada sebagian besar kasus merupakan

infeksi sekunder terutama Staphylococcus aureus, Streptococcus grup

A, Streptococcus pneumoninae, H. influenza dan Moraxella

catarrhalis.

11
Manifestasi klinis ditandai dengan gejala prodormal infeksi

pernafasan, gejala obstruksi saluran pernafasan berlangsung selama 3

5 hari. Usia 6 tahun, stridor inspirasi derajat berat, batuk

(sepanjang waktu), demam tinggi sekitar 37,8-38,50 C selama 2 7

hari, presentasi toksik yang tipikal. Gambaran radiologi berupa

obstruksi subglotis (seperti menara) pada foto AP, densitas jaringan

lunak pada foto lateral, serta pneumonia bilateral.


2. Spasmodic croup
Spasmodic croup biasanya terjadi pada malam hari sebelum

menjelang tidur, serangan terjadi sebentar kemudian kembali normal.

Biasanya terjadi pada anak dengan riwayat keluarga croup atau

sebelumnya menderita croup. Penyebab tersering yaitu parainfluenza 1

dan 3, virus influenza A, RSV, Measles, Adenovirus dan Rhinovirus.

Gejalanya berupa suara parau, batuk hebat, tanpa disfagia, stridor

inspirasi minimal sedang. Gambaran radiologi berupa obstruksi dari

subglotis pada foto AP.


3. Acute Laryngotracheitis
Terjadinya inflamasi pada laring dan trakea dimana terdapat

eritema dan pembengkakan dinding lateral trakea, tepat dibawah pita

suara. Biasanya terjadi pada anak dengan riwayat keluarga croup.

Penyebab tersering yaitu parainfluenza 1 dan 3, virus influenza A,

RSV, Measles, Adenovirus dan Rhinovirus.


Manifestasi klinis awal berupa pilek dengan hidung tersumbat,

batuk dan coryza, demam muncul 24 jam pertama dan dalam 18-24

jam dapat muncul gejala obstruksi saluran nafas berupa suara parau,

batuk menggonggong, tanpa disfagia dan stridor inspirasi derajat

12
minimal berat, presentasi toksik minimal. Pemeriksaan radiologi

berupa obstruksi dari subglotis pada foto AP.


4. Laryngeal diphtheria
Infeksi pada laring dan area lain dari saluran pernafasan yang

berhubungan dengan Conybacterium diphtheria, mengakibatkan

timbulnya progresifitas dari obstruksi saluran nafas. Biasanya terjadi

pada individu dengan riwayat imunisasi tidak lengkap. Onsetnya lebih

lambat, yaitu 2 3 hari.


Manifestasi klinis berupa suara parau dan batuk menggonggong,

dengan disfagia, stridor inspirasi derajat ringan-berat dengan presentasi

nontoksik.

2.4 EPIDEMIOLOGI

Sindrom Croup biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan-6 tahun, dengan
puncaknya pada usia 1-2 tahun. Akan tetapi, croup juga dapat terjadi pada anak
berusia 3 bulan dan di atas 15 tahun meskipun angka prevalensi untuk kejadian ini
cukup kecil.3,4
Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak
perempuan, dengan rasio 3:2. Angka kejadiannya meningkat pada musim dingin
dan musim gugur pada negara-negara sub-tropis sedangkan pada negara tropis
seperti indonesia angka kejadian cukup tinggi pada musim hujan, tetapi penyakit
ini tetap dapat terjadi sepanjang tahun. Pasien croup merupakan 15% dari seluruh
pasien dengan infeksi respiratori yang berkunjung ke dokter.2,4
Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan
dengan pematangan struktur anatomi saluran pernapasan atas. Hampir 15% pasien
sindrom croup mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang sama.5

2.5 ETIOLOGI

13
Croup sindrom ini biasanya dianggap terjadi karena infeksi virus. Nama
lain menggunakan istilah yang lebih luas, untuk menyertakan laryngotrakeitis
akut, batuk tidak teratur, difteri laring, trakeitis bakteri , laryngotrakeo-bronkitis,
dan laryngotrakeobronkopneumonitis. Dari macam-macam penyakit tersebut
terdapat kondisi yang melibatkan infeksi virus dan umumnya lebih ringan
sehubungan dengan simptomatologi, akan tetapi terdapat pula yang dikarena
infeksi bakteri dan biasanya dengan tingkat keparahan lebih besar. Selain dapat
disebabkan virus dan bakteri, croup sindrom juga bisa dikarenakan infeksi jamur
yaitu berupa Candida albican.1

Viral
Viral croup / laryngotrakeitis akut yang disebabkan oleh Human
Parainfluenza Virus terutama tipe 1 (HPIV1), HPIV-2, HPIV-3, dan HPIV-4
terdapat pada sekitar 75% kasus. Etiologi virus lainnya adalah Influenza A dan B,
virus campak , Adenovirus dan Virus pernapasan/Respiratory Syncytial Virus
(RSV). Batuk hebat disebabkan oleh kelompok virus yang sama seperti
laryngotrakeitis akut, tetapi tidak memiliki tanda-tanda infeksi biasa (seperti
demam, sakit tenggorokan, dan meningkatkan jumlah sel darah putih). Perawatan,
dan respon terhadap pengobatan, juga serupa.2

Bakteri
Bakteri yang dapat menyebabkan batuk dapat dibagi menjadi beberapa
antara lain, difteri laring, trakeitis bakteri, laryngotrakeobronkitis, dan
laryngotrakeobronkopneumonitis. Difteri laring disebabkan Corynebacterium
diphtheriae sementara trakeitis bakteri, laryngotrakeobronkitis, dan
laryngotrakeobronkopneumonitis biasanya karena infeksi virus primer dengan
pertumbuhan bakteri sekunder. Sebagian besar bakteri yang umum terlibat adalah
Staphylococcus aureus , Streptococcus pneumoniae , Hemophilus influenzae , dan
Catarrhalis moraxella2.
Penyebab Lain

14
Etiologi lainnya selain dikarenakan infeksi berupa virus, bakteri, dan
jamur. Terdapat pula penyebab lain yaitu:1
Mekanik
Benda asing
Pasca pembedahan
Penekanan massa ekstrinsik
Alergi
Sembab angioneurotik

2.6 PATOFISIOLOGI

Virus (terutama parainfluenza dan RSV) dapat terjadi karena inokulasi


langsung dari sekresi yang membawa virus melalui tangan atau inhalasi besar
terjadi partikel masuk melalui mata atau hidung. infeksi virus di laryngotrakeitis,
laryngotrakeobronkitis dan laryngotrakeobronkopneumonia biasanya dimulai dari
nasofaring atau oropharynx yang turun ke laring dan trakea setelah masa inkubasi
2-8 hari. Diffuse peradangan yang menyebabkan eritema dan edema dinding
mukosa dari saluran pernapasan. Laring adalah bagian tersempit saluran
pernafasan atas, yang membuatnya sangat suspectible untuk terjadinya obstruksi.2
Edema mukosa yang sama pada orang dewasa dan anak-anak akan
mengakibatkan perbaikan yang berbeda. Edema mukosa dengan ketebalan 1 mm
akan menyebabkan penyempitan saluran udara sebesar 44% pada anak-anak dan
75% pada bayi. Edema mukosa dari daerah glotis akan menyebabkan gangguan
mobilitas pita suara. Edema pada daerah subglottis juga dapat menyebabkan
gejala sesak napas.2
Airway karena turbulensi udara menyebabkan peradangan yang
menyebabkan penyempitan stridor diikuti retraksi dinding dada yang dapat terjadi
(selama inspirasi). Di daerah Laryngotrakeitis edematous akut, ada histologis
mengandung infiltrat selular di lamina propria, submukosa dan advensisia.
Infiltrat ini berisi histiosit, limfosit, sel plasma, dan neutrofil.2

15
Pergerakan dinding dada dan juga dinding abdomen yang tidak teratur
menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada
keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan juga terjadi henti napas.2

2.7 MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis di awali dengan suara serak, batuk menggonggong dan


stridor inspiratoir. Bila terjadi obstruksi stridor menjadi makin berat, tetapi dalam
kondisi yang sudah payah stridor melemah. Dalam waktu 12-48 jam sudah terjadi
gejala obstruksi saluran napas atas. Pada beberapa kasus hanya didapati suara
serak dan batuk menggonggong, tanpa obstruksi napas. Keadaan ini akan
membaik dalam waktu 3 sampai 7 hari. Pada kasus lain terjadi obstruksi napas
yang makin berat, ditandai dengan takipneu, takikardia, sianosis dan pernapasan
cuping hidung. Pada pemeriksaan toraks dapat ditemukan retraksi supraklavikular,
suprasternal, interkostal, epigastrial.2,5
Bila anak mengalami hipoksia, anak tampak gelisah, tetapi jika hipoksia
bertambah berat anak tampak diam, lemas, kesadaran menurun. Pada kondisi yang
berat dapat menjadi gagal napas. Pada kasus yang berat proses penyembuhan
terjadi setelah 7-14 hari.1 Anak akan sering menangis, rewel, dan akan merasa
nyaman jika duduk di tempat tidur atau digendong.2
Perbandingan antara viral croup (laringotrakeobronkitis) dan spasmodic
croup (spasmodic cough) dapat dilihat pada tabel dibawah ini:2

16
Tabel perbandingan antara Viral croup dan Spasmodic croup
Karakteristik Viral Croup Spasmodic Croup
Usia 6 bulan 6 tahun 6 bulan 6 tahun
Gejala prodromal Ada Tidak jelas
Stridor Ada Ada
Batuk Sepanjang waktu Terutama malam hari
Demam Ada (tinggi) Bisa ada, tidak tinggi
Lama sakit 2-7 hari 2-4 jam
Riwayat keluarga Tidak ada Ada
Predisposisi asma Tidak ada Ada

2.8 DIAGNOSIS

Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul. Pada


pemeriksaan fisik ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring, dan
frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai dengan
derajat stres pernapasan yang diderita.2,4,5
Pemeriksaan langsung area laring pada pasien croup tidak terlalu
diperlukan. Akan tetapi, bila diduga terdapat epiglotitis (serangan akut, gawat
napas/respiratory distress, disfagia, drooling), maka pemeriksaan tersebut sangat
diperlukan.4,5
Sistem paling sering digunakan untuk mengklasifikasikan croup beratnya
adalah Skor Westley. Hal ini terutama digunakan untuk tujuan penelitian, jarang
digunakan dalam praktek klinis. Ini adalah jumlah poin yang dipaparkan untuk
lima faktor: tingkat kesadaran, cyanosis, stridor, masuknya udara, dan retraksi.
Hal-hal yang diberikan untuk setiap faktor terdaftar dalam tabel ke kanan, dan
skor akhir berkisar dari 0 sampai 17.5
Skor total 2 menunjukkan batuk ringan. Batuk menggonggong
karakteristik dan suara serak yang mungkin ada, tetapi tidak ada stridor
saat istirahat.
Total skor 3-5 diklasifikasikan sebagai croup moderat. Hal ini menyajikan
dengan mendengar stridor mudah, tetapi dengan beberapa tanda-tanda lain.

17
Hal ini juga menyajikan dengan stridor jelas, tetapi juga fitur ditandai
dinding dada indrawing.
Sebuah nilai total 12 menunjukkan yang akan adanya kegagalan
pernapasan . Batuk menggonggong dan stridor mungkin tidak lagi
menonjol pada tahap ini.

85% dari anak-anak yang datang ke bagian darurat memiliki penyakit


ringan, batuk parah sangat jarang (<1%).

Skor Westley: Klasifikasi keparahan batuk


Jumlah poin yang ditugaskan untuk fitur ini
Ciri
0 1 2 3 4 5
Retraksi
Dinding Tidak ada Ringan Moderat Parah
dada
Dengan
Stridor Tidak ada Diam
agitasi
Dengan
Sianosis Tidak ada Diam
agitasi
Tingkat
Normal Bingung
kesadaran
Udara Menurun
Normal Penurunan
masuk tajam

2.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologis
tidak perlu dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan
anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan fisik.
Bila ditemukan peningkatan leukosit >20.000/mm3 yang didominasi PMN,
kemungkinan telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis.2,5
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup berguna untuk menegakkan
diagnosis croup sindrom ini yaitu bisa dengan pemeriksaan radiologis dan CT-
Scan.6

18
Gambaran radiologi berupa penyempitan dari subglotis (seperti menara /
steeple sign) pada foto anterior-posterior (AP), densitas jaringan lunak yang
ireguler pada trakea foto lateral, serta peumonia bilateral.1,6
Tanda menara terlihat pada radiografi anteroposterior jaringan lunak leher.
Konvektivitas lateral normal trakea subglottic hilang, dan penyempitan lumen
subglottic menghasilkan konfigurasi V terbalik di daerah ini. Titik dari V terbalik
pada tingkat margin inferior pita suara yang benar. Penyempitan dari lumen
subglottic mengubah tampilan radiografi dari kolom udara trakea, yang
menyerupai atap bernada tajam atau menara gereja.1,6

Gambaran normal foto anterior-posterior

Gambaran normal foto lateral

19
Gambaran Sindrom Croup foto anterior-posterior

Gambaran Sindrom Croup foto lateral

Dalam tanda menara (steeple sign), area kritis penyempitan saluran napas
adalah 1 cm proksimal trakea, di elasticus konus ke tingkat pita suara yang benar.
Mukosa pada tingkat ini memiliki lampiran longgar. Tanda menara dihasilkan oleh
adanya edema pada trakea, yang menghasilkan elevasi mukosa trakea dan
hilangnya memikul normal (Convexities lateral) dari kolom udara.1,2,6
Pada pemeriksaan radiologis leher posisi poserior-anterior ditemukan
gambaran udara steeple sign (seperti menara) yang menunjukkan adanya
penyempitan kolumna subglotis. Akan tetapi, gambaran radiologis seperti ini
hanya dijumpai pada 50% kasus saja.1,2,6
Melalui pemeriksaan radiologis, croup dapat dibedakan dengan berbagai
diagnosis bandingnya. Gambaran foto jaringan lunak (intensitas rendah) saluran
napas atas dapat dijumpai sebagai berikut:1,6

20
1. Pada trakeitis bakterial, tampak gambaran membran trakea yang compang-
camping.
2. Pada epiglotitis, tampak gambaran epiglotitis yang menebal.
3. Pada abses retrofaringeal, tampak gambaran posterior faring yang
menonjol.

Pada pemeriksaan CT scan dapat lebih jelas menggambarkan penyebab


obstruksi pada pasien dengan keadaan klinis yang lebih berat, seperti adanya
stridor sejak usia di bawah 6 bulan atau stridor pada saat aktivitas. Selain itu,
pemeriksaan ini juga dilakukan bila pada gambaran radiologis dicurigai adanya
massa.2

2.10 DIAGNOSIS BANDING

Epiglotitis akut
Laringitis
Laringotrakeitis akut
Laringotrakeobronkopneumonitis

2.11 TATALAKSANA
Tatalaksana utama bagi pasien croup adalah mengatasi obstruksi jalan
napas. Sebagian besar pasien croup tidak perlu dirawat RS, melainkan cukup
dirawat dirumah. Pasien dirawat di RS bila dijumpai salah satu dari gejala-gejala
berikut: anak berusia di bawah 6 bulan, terdengar stridor progresif, stridor
terdengar ketika sedang beristirahat, terdapat gejala gawat napas, hipoksemia,
gelisah, sianosis, gangguan kesadaran, demam tinggi, anak tampak toksik, dan
tidak ada respons terhadap terapi. 2,7

Terapi inhalasi
Sejak abad ke-19, terapi uap telah digunakan untuk mengatasi obstruksi
jalan napas pada sindrom croup. Pemakaian uap dingin lebih baik daripada uap
panas, karena kulit akan melepuh akibat paparan uap panas. Uap dingin akan

21
melembabkan saluran respiratori, akan inflamasi, mengencerkan lender pada
saluran respiratori, sekaligus memberikan efek yang nyaman dan menenangkan
bagi anak.
Meskipun terapi uap ini dapat menjadi pilihan yang praktis pada sindrom
croup, kelembaban yang ditimbulkan oleh terapi uap dapat pula memperberat
keadaan pada dengan bronkospasme yang disertai dengan mengi, seperti
laringotrakeobronkitis atau pneumonia. Saat ini beberapa pusat kesehatan tidak
merekomendasikan penggunaan terapi uap.
Berdasarkan tiga penelitian yang menggunakan air dingin tersaturasi
(coldwater fog) tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penggunaannya untuk
mengobati croup menguntungkan. Gina dkk.melakukan penelitian RCT dengan
memberikan terapi oksigen lembab (humidifiedoxygen) pada pasien croup derajat
sedang di UGD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
perbaikan klinis antara kelompok yang diberi terapi oksigen lembab dan yang
tidak diberikan.

Epinefrin
Sindrom croup biasanya cukup diatasi dengan terapi uap saja, tetapi
kadang-kadang membutuhkan farmakoterapi. Nebulisasi epinefrin telah
digunakan untuk mengatasi sindrom croup selama hampir 30 tahun, dan
pengobatan dengan epinefrin ini menyebabkan trakeostomi hampir tidak
diperlukan.
Nebulisasi epinefrin sebaiknya juga diberikan kepada anak dengan
sindrom croup sedang-berat yang disertai dengan stridor saat istirahat dan
membutuhkan intubasi, serta pada anak dengan retraksi dan stridor yang tidak
mengalami perbaikan setelah diberikan terapi uap dingin.
Nebulisasi epinefrin akan menurunkan permeabilitas vascular epitel
bronkus dan trakea, memperbaiki edema mukosa laring, dan meningkatkan laju
udara pernapasan. Pada penelitian dengan metode double blind, efek terapi
nebulisasi epinefrin ini timbul dalam waktu 30 menit dan bertahan selama dua
jam. Epinefrin yang dapat digunakan antara lain adalah sebagai berikut:

22
1. Racemic epinephrine (campuran 1:1 isomer d dan l epinefrin), dengan dosis
0,5 ml larutan racemic epinephrine 2,25% yang telah dilarutkan dalam 3 ml
salin normal. Larutan tersebut diberikan melalui nebulizer selama 20 menit.
2. L-epinephrine 1:1000 sebanyak 5 ml; diberikan melalui nebulizer. Efek
terapi terjadi dalam dua jam
Racemic epinephrine merupakan pilihan utama, efek terapinya lebih besar, dan
mempunyai sedikit efek terhadap kardiovaskular seperti takikardi dan hipertensi.
Nebulisasi epinefrin masih dapat diberikan pada pasien dengan takikardi
dan kelainan jantung seperti Tetralogy Fallot.

Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui mekanisme
anti radang. Uji klinik menunjukkan adanya perbaikan pada pasien laringotrakeitis
ringan-sedang yang diobati dengan steroid oral atau parenteral dibandingkan
dengan plasebo.

Deksametason
Deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgBB per oral/antimuskular
sebanyak satu kali, dan dapat diulang dalam 6-24 jam. Efek klinis akan tampak 2-
3 jam setelah pengobatan. Tidak ada penelitian yang menyokong keuntungan
penambahan dosis. Keuntungan pemakaian kortikosteroid adalah sebagai berikut:
Mengurangi rata-rata tindakan intubasi
Mengurangi rata-rata lama rawat inap
Menurunkan hari perawatan dan derajat penyakit.
Selain deksametason, dapat juga diberikan prednisone atau prednisolon
dengan dosis 1-2 mg/kgBB (E4). Berdasarkan dua penelitian meta-analisis (24
RCT) tentang pemakaian kortikosteroid sistemik, dengan pemberian
kortikosteroid 6 dan 12 jam, tetapi tidak sampai 24 jam, disimpulkan bahwa tidak
ada pengaruh dari kortikosteroid sistemik.

Budesonid

23
Nebulisasi budesonid dipakai sejak tahun 1990. Tingkat efektifitasnya
adalah E2 bila dibandingkan dengan plasebo. Larutan 2-4 mg budesonid (2 ml)
diberikan melalui nebulizer dan dapat diulang pada 12 dan 48 jam pertama. Efek
terapi nebulisasi budesonid terjadi dalam 30 menit, sedangkan kortikosteroid
sistemik terjadi dalam satu jam.
Pemberian terapi ini mungkin akan lebih bermanfaat pada pasien dengan
gejala muntah dan gawat napas (respiratory distress) yang hebat. Budesonid dan
epinefrin dapat digunakan secara bersamaan. Sebagian besar kasus pemakaian
budesonid tidak lebih baik daripada deksametason oral.
Kortikosteroid tidak diberikan pada anak dengan varisela dan TB (kecuali
pada anak yang sedang mendapat OAT). Pemakaian kortikosteroid dalam jangka
waktu lama (1 mg/kgBB/hari selama delapan hari) dapat meningkatkan infeksi
Candida albicans.

Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien sindrom croup yang berat,
yang tidak responsive terapi lain. Intubasi endotrakeal rnerupakan terapi
alternative selain trakeostomi untuk mengatasi obstruksi jalan napas. Indikasi
melakukan intubasi endotrakeal adalah adanya hiperkarbia dan ancaman gagal
napas. Selain itu, intubasi juga diperlukan bila terdapat peningkatan stridor,
peningkatan frekuensi napas, peningkatan frekuensi nadi, retraksi dinding dada,
sianosis, letargi, atau penurunan kesadaran. Intubasi hanya dibutuhkan untuk
jangka waktu yang singkat, yaitu hingga edema laring hilang/teratasi2,7.

Kombinasi Oksigen-Helium
Kombinasi oksigen dan helium (Heliox) digunakan oleh beberapa sentra
untuk mengatasi sindrom croup. Helium bersifat inert, tidak beracun, serta
mempunyai densitas dan viskositas yang rendah. Hal ini sangat membantu
mengurangi obstruksi jalan napas, yaitu dengan meningkatkan aliran gas dan

24
mengurangi kerja otot-otot respiratorius. Bila helium dikombinasikan dengan
oksigen, maka oksigenasi darah akan meningkat.
Dengan terapi oksigen-helium ini, pasien sindrom croup beratakan merasa
nyaman dan kemungkinan besar tidak memerlukan tindakan intubasi. Efek klinis
pemberian kombinasi oksigen-helium hampir sama dengan pemberian nebulisasi
epinefrin.

Antibiotik
Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada pasien sindrom croup, kecuali
pasien dengan laringotrakeobronkitis atau laringotrakeopneumonitis yang disertai
infeksi bakteri. Pasien diberikan terapi empiris sambil menunggu hasil kultur.
Terapi awal dapat menggunakan sefalosporin generasi ke-2 atau ke-3. Pemberian
sedative dan dekongestan oral tidak dianjurkan pada pasien sindrom croup.
Dibawah ini merupakan Algoritma penatalaksanaan sindrom Croup,
sebagai berikut2:

25
CROUP

Diagnosis banding
Obstruksi jalan napas yang Aspirasi benda asing
Abnormalitas kongenital
mengancam jiwa
Epiglotitis
Sianosis
Penurunan kesadaran
O2 100% dengan sungkup muka dan nebulisasi
adrenalin (5ml) 1:1000
Intubasi anak sesegera mungkin oleh seorang
TIDAK YA yang berpengalaman
Hubungi pusat rujukan pelayanan kesehatan anak

Croup derajat ringan


Croup derajat sedang Croup derajat berat
Batuk menggonggong
Stridor saat istirahat Stridor menetap saat
Tanpa retraksi dada
Terdapat retraksi istirahat
Tanpa sianosis
dinding dada minimal Trakeal tug dan
Mampu berinteraksi retraksi dinding dada
terlihat jelas
Edukasi orang tua Apatis dan gelisah
Pertimbangkan Pulsus paradoksus
Kortikosteroid
kortikosteroid dosis deksametason 0,15-0,30
tunggal (oral) mg/kg atau Prednison 1-2 Minimal handling
Periksa kemampuan mg/kg (oral) atau O2 4 lpm dan nebulisasi
orang tua dan nebulisasi Budesonide 2 adrenalin dan
kemampuan dalam mg jika kortikosteroid oral kortikosteroid sistemik
menyediakan transport tidak berpengaruh (dosis sama dengan
DIPULANGKAN croup derajat sedang)
OBSERVASI > 4 JAM Intubasi

RAWAT RS
Membaik Tidakmembaik
Dipulangkan bila tidak Evaluasiulang
ada stridor saat istirahat Rawat
Edukasi orang tua pasien Perbaikan
Hubungikonsulen
Evaluasi diagnosis

Rawat/observasi di IGD
Ulangi pemberian Nebulisasi adrenalin (dosis
kortikosteroid oral/12 jam sama) dan kortikosteroid
Edukasi ortu pasien Sebagian sistemik (dosis sama)
Sediakan penjelasan Persiapkan pelayanan untuk
tertulis untuk dokter umum tindakan darurat
yang akan follow up Pertimbangkan intubasi
Evaluasi diagnosis 26
Komplikasi
Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis media,
dehidrasi, dan pneumonia (jarang terjadi). Sebagian kecil pasien memerlukan
tindakan intubasi. Gagal jantung dan gagal napas dapat terjadi pada pasien yang
perawatan dan pengobatannya tidak adekuat.2

Prognosis
Sindrom croup biasanya bersifat self-limited dengan prognosis yang baik.2

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Sindroma Croup, Penyakit Respirologi, Pedoman Diagnosis dan Terapi. Edisi


III, Buku satu, RSUD dr. Soetomo Surabaya: 2008. p 57-61
2. Croup (Laringotrakeobronkitis akut), Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi
Pertama. Badan Penerbit IDAI: 2008. p 320-328
3. Hardiono d. pusponegoro dkk. Standar Pelayanan Medis Anak Edisi I. Ikatan
Dokter Anak Indonesia: 2004.
4. Harjono, Rima M, dr dkk. Kamus Kedokteran Dorland. EGC: 1996
5. Dominic A dan Henry A Kilham Fitzgerald, 2003, Croup: Assesment and
Evidence-Based Management. Medical Journal The Australia. MJA 2003; 179
(7) : 372-377
6. Roosevelt GE. Inflamasi akut obstruksi jalan napas atas (batuk, Epiglottitis,
laringitis, dan trakeitis bakteri). Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson
HB, BF Stanton. Nelson Textbook of Pediatrics.18 ed. Philadelphia, Pa:
Saunders Elsevier; 2007: chap 382
7. Croup, Buku saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO,
DEPKES dan IDAI. 2009. p 104-105

28

Anda mungkin juga menyukai

  • Ambliopia
    Ambliopia
    Dokumen23 halaman
    Ambliopia
    Ahmad Al Mustafa
    Belum ada peringkat
  • Anak - Laringitis Akut
    Anak - Laringitis Akut
    Dokumen25 halaman
    Anak - Laringitis Akut
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Referat Uveitis
    Referat Uveitis
    Dokumen40 halaman
    Referat Uveitis
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Dferr
    Dferr
    Dokumen17 halaman
    Dferr
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Jiwa
    Jiwa
    Dokumen25 halaman
    Jiwa
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • TBC BTPN
    TBC BTPN
    Dokumen1 halaman
    TBC BTPN
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • PIOL
    PIOL
    Dokumen3 halaman
    PIOL
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Gg. Kepribadian Dependen
    Gg. Kepribadian Dependen
    Dokumen10 halaman
    Gg. Kepribadian Dependen
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Ketentuan Lomba Menulis Cerita Pendek KKS
    Ketentuan Lomba Menulis Cerita Pendek KKS
    Dokumen17 halaman
    Ketentuan Lomba Menulis Cerita Pendek KKS
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Campak
    Campak
    Dokumen1 halaman
    Campak
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Laryngitis Akut
    Laryngitis Akut
    Dokumen12 halaman
    Laryngitis Akut
    why1328
    Belum ada peringkat
  • Patofisiologi Uveitis
    Patofisiologi Uveitis
    Dokumen2 halaman
    Patofisiologi Uveitis
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Croup
    Croup
    Dokumen8 halaman
    Croup
    danur09142
    Belum ada peringkat
  • Dferr
    Dferr
    Dokumen17 halaman
    Dferr
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Ygkjhkk L L
    Ygkjhkk L L
    Dokumen2 halaman
    Ygkjhkk L L
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Bedah Case Hernia DR Edwin
    Bedah Case Hernia DR Edwin
    Dokumen47 halaman
    Bedah Case Hernia DR Edwin
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • PIOL
    PIOL
    Dokumen3 halaman
    PIOL
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Dferr
    Dferr
    Dokumen17 halaman
    Dferr
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • PIOL
    PIOL
    Dokumen3 halaman
    PIOL
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Uveitis Anterior Files of Drsmed
    Uveitis Anterior Files of Drsmed
    Dokumen12 halaman
    Uveitis Anterior Files of Drsmed
    Irma Fatimah
    Belum ada peringkat
  • Documents - Tips - Anatomi Dan Fisiologi Uvea
    Documents - Tips - Anatomi Dan Fisiologi Uvea
    Dokumen13 halaman
    Documents - Tips - Anatomi Dan Fisiologi Uvea
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Croup
    Croup
    Dokumen21 halaman
    Croup
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Mata Endof4
    Mata Endof4
    Dokumen20 halaman
    Mata Endof4
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Campak
    Campak
    Dokumen1 halaman
    Campak
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Luka Bakar
    Luka Bakar
    Dokumen9 halaman
    Luka Bakar
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Patofisiologi Nyeri
    Patofisiologi Nyeri
    Dokumen18 halaman
    Patofisiologi Nyeri
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Mata Endof1
    Mata Endof1
    Dokumen25 halaman
    Mata Endof1
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Referat Endoftalmitis
    Referat Endoftalmitis
    Dokumen15 halaman
    Referat Endoftalmitis
    Ramadhan Akmal
    Belum ada peringkat
  • Campak
    Campak
    Dokumen1 halaman
    Campak
    Agness Pratiwi
    Belum ada peringkat