Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Ruptur uteri dapat terjadi akibat cedera atau anomali yang sudah ada
sebelumnya, atau berkaitan dengan trauma. Tetapi kausa tersering ruptur uteri
adalah terpisahnya jaringan parut bekas seksio sesarea sebelumnya.

Uterus yang ruptur dapat langsung terhubung dengan rongga peritoneum


(komplet) atau mungkin dipisahkan dengan peritoneum viseral atau oleh
ligamentum latum (inkomplet).

Ruptur uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang sangat


berbahaya, yang umumnya terjadi pada persalinan. Ruptur uteri merupakan
peristiwa yang gawat bagi ibu dan lebih-lebih bagi anak. Apabila peristiwa itu
terjadi di rumah sakit dan pertolongan dapat diberikan dengan segera, angka
mortalitas ibu dapat ditekan.

Angka kematian maternal akibat ruptur uteri mencapai 4,2%, sedangkan


angka kematian perinatal mencapai 46%. Komplikasi yang dapat terjadi meliputi :
perdarahan, syok, dan kematian.

Claydon menyebutkan manajemen ruptur uteri dibedakan atas dua hal,


sudah cukup anak dan yang masih memerlukan keturunan. Histerektomi dianjurkan
pada pasien yang sudah cukup anak, sedangkan yang masih ingin hamil dilakukan
perbaikan (repair) uterus.

Kejadian ruptur uteri tidak dapat diprediksi, maka diperlukan tingkat


kewaspadaan yang tinggi pada setiap pasien.
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas

Nama : Ny Mahyuni

Umur : 25 tahun

Alamat : Kandis

Pekerjaan : IRT

RM : 01028614

Pasien rujukan puskemas kandis dengan P2A0H2 post partum pervaginam, anemia
ec HPP.

KU : Pucat

RPS : Pasien rujukan puskemas kandis dengan P2A0H2 post partum pervaginam,
anemia ec HPP.

Sebelumnya pasien melahirkan pukul 08.00 wib di praktek bidan ainun di kandis
secara pervaginam, kemudian 30 menit setelah melahirkan pasien mengalami
perdarahan, lalu bidan memberikan oksitosin, kemudian dilakukan kompresi
bimanual sambil dirujuk ke puskesmas kandis. Setelah di puskesmas kandis,
dilakukan eksplorasi, dan pengosongan kandung kemih, didapatkan bekuan darah
sebanyak 500 cc. Setelah dilakukan eksplorasi perdarahan aktif berhenti, kontraksi
baik. Setelah itu dilakukan pemeriksaan laboratorium di puskesmas, didapatkan
hasil hb 6.8, kemudian pasien dirujuk ke RSUD Arifin Achmad. Pasien merasa
pusing (+), lemas (-), perdarahan (+) tidak aktif.
Pada kehamilan ini pasien memeriksakan kehamilannya di bidan sebanyak 4x, dan
dikatakan kehamilan dalam keadaan baik. Pasien belum BAK spontan, belum BAB
setelah melahirkan. Pasien juga mengatakan ASI belum keluar.

RPD: Riwayat penyakit jantung (-), Riwayat penyakit ginjal (-), Riwayat Diabetes
melitus (-), alergi (-), asma (-)

RPK: Riwayat TBC (-), Riwayat penyakit menular seksual (-), hipertensi dalam
kehamilan (-), riwayat Diabetes melitus (-), tidak ada riwayat cacat bawaan dalam
keluarga, tidak ada riwayat keluarga dengan gangguan kejiwaan

Riw. Obsos : Pasien : IRT, Suami : petani

Riw. Menstruasi: Menarche usia 11 thn, teratur, lama haid 6-7 hari, ganti
pembalut 2-3x/hr, nyeri haid (-)

Riw. Pernikahan : 1x, tahun 2014

Riw Obstetri : P2A0H2

1. 2015/ laki-laki/ aterm/ 3700 gram/ SC a/i panggul sempit RS Avicenna/


SpOG/ hidup
2. 2019/ perempuan/ aterm/ 3100 gram/ normal/ bidan/ hidup
Riw. Kontrasepsi :implan, tahun 2015-2018

Pemeriksaan Fisik

Status Generalis :

KU : TSS, Kes: CM

Td 110/70 mmhg, RR 20X/I, HARI 94 x/i, S 36.7 C

TB 158 cm, BB: 45 kg BMI 18.07 (normoweight)

Status Generalis :

Mata : Konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-)

Pulmo: Vesikular (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)


Cor : S1-S2 regular, tidak terdapat suara jantung tambahan seperti murmur (-),
gallop (-)

Abd : supel, BU +

Ext : Akral hangat, edema (-/-), CRT<2“, ptechie (-)

B : ASI (-)

U : TFU 2 jari dibawah pusat, kontraksi (+)

B : BAK Spontan (-)

B : BAB (-)

L : Lochia rubra

E : Perineorafi (+), hematom (-)

Status genitalia eksterna

Inspeksi : vulva tampak rembesan darah, perdarahan tidak aktif, perineum


tampak luka bekas episiotomi, jahitan baik, hematom (-) uretra tampak tenang

I/o : portio intak, dilakukan eksplorasi searah jarum jam, laserasi (-) perdarahan
aktif (-)

VT : Digitalis, diskontinuitas pada SBR tidak ditemukan.

USG VK IGD 10/11/19


• Uterus ukuran dalam batas normal
• Endometrial line tebal 0.4 cm
• Kesan: uterus dalam batas normal.

Laboratorium 10/11/19

Hb Leu Plt HCT MCV MCH MCHC HIV HBsAg

6.2 22720 215000 19.4 77.3 24.7 32.0 Non Non


reaktif Reaktif

Diagonsis Kerja

P2A0H2 post partum spontan pervaginam di luar 7 jam, post perineurafi di


luar, anemia mikrositik hipokrom, BSC 1x

Tatalaksana

Obs KU, TTV, DJJ, kontraksi, perdarahan

Tranfusi PRC 4 kolf

Inj Cefotaxim 2x1 gram

Asam mefenamat 3x500 mg

Hemafort 1x1

USG konfirmasi senin 12/11/19

Rawat di Teratai 1

Diskusi dengan konsulen onsite dr. Sri Wahyu Maryuni, SpOG (K), setuju
dengan tatalaksana
USG VK teratai 2

• Uterus Antefleksi post partum


• Tidak tampak jaringan
intrauterin
• Diskontinuitas jaringan pada
isthmus (+) dengan layer intak
• Cavum douglas kosong
Kesan : rupture uterin
inkomplit

Advice : laparotomy, konsul


FM

Konsul fetomaternal Dr. dr. Donel S, SpOG (K) :

Setuju untuk dilakukan laparotomi untuk repair rupture uteri


Laboratorium post tranfusi 11/11/19

Hb Leu Plt Hct PT APTT HIV HBsAg

10.2 9,450 158 31.2 12.8 34.5 Non reaktif Non reaktif

P2A0H2 post partus pervaginam diluar, suspek rupture uterin incomplit, BSC
1x, post perineorafi diluar

Terapi

• Rencana laparotomy
• Observasi KU, TTV, Kontraksi, perdarahan
• Konsul anestesi
• Persiapan PRC 1 kolf
• Inj Cefotaxim 2x1 gram

Diskusi dengan konsulen onsite dr Ruza P Rustam, SpOG  setuju dengan


tatalaksana
Laporan operasi

11 November 2019

Pukul 22.40 – 23.30

• Pasien terlentang dimeja operasi dalam general anestesi


• Asepsis dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya dengan larutan betadin
10% didaerah abdomen diperluas ke daerah genitalia eksterna dan 1/3
proksimal femur bagian depan dan dalam.
• Daerah operasi diperkecil dengan menutupkan duk steril. Duk pertama
dipasang mulai setinggi simpisis pubis sampai kebawah menutupi ujung
kaki, duk kedua dipasang setinggi pusat sampai menutupi kepala, dua buah
duk dipasang dikiri dan kanan linea mediana inferior
• Di lakukan insisi pfanensteil selebar 10 cm, dinding abdomen dibuka lapis
demi lapis
• Saat peritoneum dibuka, tidak tampak perdarahan aktif
• Tidak tampak hematoma pada uterus dan kontraksi baik, tidak tampak tanda
ruptur uteri
• Kedua tuba dan ovarium dalam batas normal
• Diputuskan untuk menutup abdomen lapis demi lapis
• Operasi selesai

Diagnosis post operasi :

P2A0H2 post laparotomi a/i suspek rupture uteri inkomplit

Instruksi post operasi :

Observasi K, TTV, tanda perdarahan aktif, involusi uteri

1. IVFD RL + oksitosin 10 IU  20 tpm


2. Puasa sampai BU (+)
3. CefadroxIl 2x500 mg (setelah BU (+))
4. Pronalges supp 3x100 mg
5. Mobilisasi bertahap
BAB III
RUPTURA UTERI

Definisi

Ruptur uterus mengacu pada pemisahan insisi uterus lama disertai ruptur
selaput ketuban sehingga rongga uterus dan rongga peritoneum dapat berhubungan.
Dalam keadaan tersebut, seluruh atau sebagian janin biasanya menonjol ke dalam
rongga peritoneum.

Ruptur uteri adalah robekan terbuka yang menghubungkan uterus dengan


rongga abdomen. Onsetnya sering ditandai hanya dengan fetal bradikardi dan
penanganannya memerlukan tindakan bedah segera untuk mendapatkan luaran
neonatal yang baik.

Insiden

Diantara insisi seksio sesarea, maka insisi klasik dan bentuk T dilaporkan
memiliki risiko terjadinya ruptur adalah 4-9 %, sedangkan insisi vertikal rendah
mempunyai risiko 1-7 %. Sebagai perbandingan, kejadian ruptur uteri pada uterus
tanpa parut berkisar 1 dari 8.000 – 17.000 persalinan.

Pada sepertiga kasus ruptur uteri jaringan parut klasik, proses ini tidak
jarang terjadi beberapa minggu sebelum aterm. Terpisahnya jaringan parut vertikal
(klasik) menyebabkan perdarahan berat disertai peningkatan morbiditas dan
mortalitas perinatal. Keharusan melakukan histerektomi juga lebih besar pada
kasus-kasus ini.

Frekuensi ruptur uteri di rumah sakit besar di Indonesia berkisar antara 1:92
sampai 1:294 persalinan. Angka-angka ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan
negara maju (antara 1:1250 atau 1:2000 persalinan).

Pasien dengan riwayat seksio sesarea memiliki insiden 0,8 % menjadi ruptur
uteri sedangkan yang tanpa riwayat seksio memiliki insiden 0,01 %.
Ruptur uteri pada uterus tanpa jaringan parut merupakan kejadian yang
sangat jarang, yaitu 1:17.000-20.000 persalinan. Diperlukan beberapa faktor risiko
untuk terjadinya ruptur uteri tanpa jaringan parut. Jika dibandingkan antara ruptur
uteri dengan jaringan parut atau tanpa jaringan parut, beberapa studi
memperlihatkan peningkatan mortalitas dan morbiditas ibu dan bayi pada ruptur
uteri tanpa jaringan parut.

Etiologi

Faktor yang merupakan predisposisi ruptur uteri adalah multiparitas. Pada


keadaan ini ditengah miometrium sudah terdapat banyak jaringan ikat yang
menyebabkan kekuatan dinding uterus menjadi kurang, sehingga pada saat
regangan lebih mudah menimbulkan robekan.

Diantara parut bekas seksio sesarea, parut setelah seksio sesarea klasik lebih
sering menimbulkan ruptur uteri daripada parut bekas seksio sesarea profunda,
perbandingannya adalah 4:1. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada segmen
bawah uterus, yang lebih tenang dalam masa nifas dapat sembuh dengan lebih baik,
sehingga parut lebih kuat.

Shipp dkk, melaporkan secara keseluruhan risiko bekas seksio dengan insisi
transversal rendah mendekati 1%. Pada bekas seksio sesarea klasik, risiko ruptur
uteri semakin besar.

Ruptur uteri pada bekas parut seksio sesarea klasik lebih sering terjadi
sebelum persalinan dimulai, sedang pada parut bekas seksio sesarea profunda
umumnya pada waktu persalinan.

Patofisiologi

Faktor pokok disini adalah persalinan tidak maju karena adanya hambatan,
misalnya panggul sempit, janin dalam letak lintang, hidrosefalus, dan sebagainya.
Sehingga segmen bawah uterus makin lama makin diregangkan. Pada suatu saat
regangan yang terus bertambah melampaui batas kekuatan miometrium, terjadilah
ruptur uteri.
Gambar 1. Peregangan segmen Gambar 2. Regangan yang berlebihan
bawah uterus menyebabkan ruptur.

(Sumber:www.doereport.com)

Penyembuhan Parut Seksio Sesarea

Williams 1921 : penyembuhan pada luka seksio sesarea adalah suatu regenerasi dari
fibromuskuler dan bukan pembentukan jaringan sikatrik.

Dasar → hasil pemeriksaan histologi dari jaringan di daerah bekas sayatan seksio
sesarea dan dari 2 tahap observasi yang pada prinsipnya :

 Tidak tampaknya atau hampir tidak tampak adanya jaringan sikatrik pada
uterus pada waktu dilakukan seksio sesarea ulangan.
 Pada uterus yang sudah diangkat, sering tidak kelihatan garis sikatrik atau
hanya ditemukan suatu garis tipis pada permukaan luar dan dalam uterus,
tanpa ditemukannya sikatrik diantarnya.
Schwarzz dkk (1938) → proses penyembuhan luka operasi pada bekas seksio
sesarea adalah melalui proliferasi dari fibroblast sepanjang garis sayatan, memasuki
ruangan antara kedua sisi luka.

Jaringan sikatrik yang terbentuk akan mengkerut dan menarik kedua sisi serabut
miometrium sehingga hampir tidak tampak lagi jaringan parutnya, dan serabut
miometrium akan mengadakan aposisi pada penjahitan luka yang baik, pada
keadaan ini hubungan serabut otot polos dan jaringan penghubungnya adalah mirip
dengan uterus yang intak.
Dua penyebab gangguan pembentukan jaringan --> menyebabkan lemahnya
jaringan parut tersebut adalah :
 Infeksi, → mengganggu proses penyembuhan luka.
 Kesalahan tehnik operasi

Klasifikasi

Klasifikasi ruptur uteri adalah ruptur uteri dengan parut bekas seksio dan
ruptur uteri tanpa jaringan parut (ruptur spontan dan ruptur traumatik).

Ruptur uteri pada parut uterus adalah ruptur uteri yang terdapat pada parut
bekas seksio sesarea. Ruptur uteri traumatik adalah ruptur uteri yang disebabkan
oleh trauma dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan seperti tabrakan dan sebagainya.
Dapat terjadi setiap saat dalam kehamilan. Ruptur uteri spontan adalah ruptur uteri
yang terjadi secara spontan pada uterus yang utuh (tanpa parut).
Gambar 3. Ruptur uteri tanpa Gambar 4. Ruptur uteri dengan
jaringan parut jaringan parut.

(Sumber:www.doereport.com)
Gambar 5. Ruptur uteri pada jaringan parut bekas seksio sesarea klasik.
(Sumber:www.doereport.com)
Gejala

Pada saat terjadinya ruptur uteri, penderita merasa kesakitan dan merasa
seperti ada yang robek dalam perutnya, dan tidak lama kemudian syok. Pada waktu
robekan terjadi perdarahan; pada ruptur uteri komplit, darah mengalir ke rongga
perut. Sering seluruh atau sebagian janin masuk ke rongga perut. Pada ruptur uteri
inkomplit, darah berkumpul dibawah peritoneum. Janin tetap dalam uterus. Pada
pemeriksaan ditemukan seorang wanita pucat dengan nadi cepat. Setelah terjadi
ruptur uteri komplit dan janin masuk ke dalam rongga perut, timbul defans
muskular dan janin lebih sukar diraba.

Perdarahan dapat terjadi intraabdominal atau melalui vagina kecuali jika


kepala janin menutupi rongga panggul. Perdarahan dari ruptur uteri pada
ligamentum latum tidak akan menyebabkan perdarahan intraabdominal.
Penatalaksanaan

Apabila terjadi ruptur uteri, tindakan yang terbaik adalah laparatomi. Janin
dikeluarkan lebih dahulu dengan atau tanpa pembukaan uterus (jika janin sudah
tidak didalam uterus lagi), kemudian dilakukan histerektomi. Pada umumnya pada
ruptur uteri tidak dilakukan penjahitan luka dalam usaha mempertahankan uterus.
Hanya dalam keadaan tertentu hal itu dilakukan, dua syarat yang harus terpenuhi
adalah pinggir luka harus rata dan tidak ada tanda-tanda infeksi.

Tetapi jika luka terlalu luas dan sulit diperbaiki lakukan histerektomi.
Ketika pasien dalam keadaan perdarahan banyak atau syok hipovolemik, maka
dilakukan histerektomi.

Manajemen ruptur uteri tergantung sepenuhnya pada deteksi dini kelainan


ini. Diagnosa ruptur uteri ditegakkan pada saat operasi. Luaran neonatal pada ruptur
uteri tergantung sepenuhnya pada kecepatan tindakan bedah dilakukan.

Pada saat mendeteksi keadaan ruptur uteri, perlu dipersiapkan akses


intravena yang adekuat, persiapan transfusi darah dan tim neonatal yang siap untuk
memberikan resusitasi neonatus.
BAB IV

PEMBAHASAN

1. Apakah penegakan diagnosis pada pasien ini sudah tepat?


2. Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat?

1. Apakah penegakan diagnosis pada pasien ini sudah tepat?

Prinsip penegakan diagnosis pada pasien dalam ilmu


kedokteran pada umumnya sama. Yaitu anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang yang sesuai. Walaupun terdapat
hal yang kontradiktif antara ketiganya, penegakan diagnosis pada
pasien tetap harus memperhatikan tiga pilar di atas.
Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien memiliki riwayat
perdarahan post partum. Perdarahan ini menurut pengakuan tenaga
kesehatan yang merujuk berasal dari atonia uteri dan terdapat
rupture pada perineum. Pasien kemudian dirujuk ke RSUD Arifin
Achmad dengan keluhan pucat (dan rencana transfusi). Pada
anamnesis tidak didapatkan tanda-tanda rupture uteri (seperti nyeri
pada perut). Pada pemeriksaan fisik, seharusnya dilakukan
eksplorasi pada jalan lahir (termasuk uterus) untuk menilai adanya
inkontinuitas jaringan pada segmen bawah rahim.
Penegakan diagnosis pada pasien ini ditegakkan melalui
pemeriksaan penunjang yaitu USG. Pada pemeriksaan USG
ditemukan adanya kesan rupture uteri inkomplit yang mendorong
untuk dilakukannya tindakan laparotomy.
Penegakan diagnosis pasien sebaiknya ditegakkan melalui
tiga pilar yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
2. Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat?
Pasien ini memiliki riwayat bekas SC (pada kehamilan ke-
3). Pasien ini merupakan kasus yang termasuk risiko tinggi. Tidak
seharusnya pasien kontrol ke tempat bidan untuk antenatal care.
Disini tampak bahwa informasi tentang risiko kehamilannya sangat
kurang. Apalagi pasien dengan bekas SC sangat berisiko untuk
terjadinya ruptur uteri. Bidan yang menerima antenatal care
seharusnya memberikan informasi tentang risiko kehamilannya dan
mengajak pasien untuk antenatal care ke rumah sakit. Dari
anamnesis didapatkan bahwa pasien pergi kontrol kehamilan hanya
ke tempat bidan. Selain itu, pasien juga bersalin di tempat bidan.
Seharusnya pasien dengan risiko tinggi melahirkan bukan di fasilitas
kesehatan tingkat pertama.
Dikarenakan langkah penegakan diagnosis rupture uteri
yang belum kuat, maka tatalaksana pada pasien ini juga menjadi
tidak ideal. Penegakan diagnosis sebaiknya dimulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang sehingga didapatkan
benang merah (kesesuaian) untuk mencapai suatu kesimpulan
diagnosis yang tepat. Pada pasien ini, penegakan diagnosis hanya
berupa pemeriksaan USG. Sebaiknya pada pasien ini, dilakukan
eksplorasi pada jalan lahir terutama pada SBR untuk mendapatkan
adanya diskontinuitas jaringan.
BAB V

KESIMPULAN

1. Pasien seharusnya tidak melakukan persalinan dengan bidan (karena


termasuk pasien risiko tinggi).
2. Penegakan diagnosis seharusnya dimulai dari anamnesis yang terarah,
pemeriksaan fissik, dan pemeriksaan penunjang yang sesuai. Langkah
penegakan diagnosis pada pasien ini belum tepat karena hanya berdasar
gambaran ultrasonografi, sehingga tatalaksananya menjadi tidak tepat pula.

Anda mungkin juga menyukai