Anda di halaman 1dari 15

ABSTRAK

Seorang perempuan, 37 tahun G3P2A0 gravid 37 minggu 4 hari datang dengan gawat
janin dengan DJJ 187x/menit. Terdapat tanda inpartu dengan pembukaan 2 cm. Tanda
vital dalam batas normal. Pasien juga memiliki mioma uteri, sehingga direncanakan
pembedahan seksio sesarea dan miomektomi per abdominal. Paska operasi ditemui
multipel mioma dengan ukuran terbesar 10x10 cm dan hasil PA menunjukkan
leiomyoma uteri. Bayi lahir dengan BBL 3320 gr, PB 48 cm, dan Apgar 8/10. Paska
operasi diberikan drip oksitosin, cefotaxim, ketorolac, asam traneksamat, ranitidin, dan
metilergometrin. Hemoglobin paska operasi 10,9 gram/dl atau 1 gram/dl lebih rendah
dari sebelum operasi. Hari ke-9 setelah operasi, keadaan umum dan luka operasi tampak
baik, tinggi fundus uteri 2 jari di bawah pusat, dan tidak ada keluhan lain.
Kata Kunci: miomektomi, sectio caesarea, caesarean miomektomi, mioma uteri

Laporan Kasus

Seorang perempuan, 37 tahun dengan Gravida 3 Para 2 Abortus 0 Gravid 37


minggu 4 hari, Masuk Ke IGD Rumah Sakit Umum Handayati dengan rujukan bidan
atas indikasi gawat janin dengan DJJ 187x/menit. Terdapat keluhan tanda inpartu yaitu
nyeri perut tembus belakang, serta keluar lendir dan darah. Riwayat pemeriksaan USG
kehamilan tidak pernah dilakukan di dokter. Riwayat injeksi TT 2x. Riwayat penyakit
darah tinggi, kencing manis, penyakit paru, atau penyakit lain disangkal.
Pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan umum baik, tekanan darah 110/70
mmHg, nadi 88 x/menit, pernapasan 16 x/ menit, suhu 36.6°C. Pada inspeksi abdomen,
tampak perut membesar sesuai usia kehamilan. Pada palpasi abdomen teraba massa
padat, berbenjol-benjol, mudah digerakkan, bertepi rata pada abdomen bagian kanan
atas, tinggi fundus uteri 35 cm, situs anak memanjang, bagian terendah kepala,
punggung kiri. Perkusi abdomen tidak ditemukan shifting dullness. Auskultasi
ditemukan DJJ 182x/menit. Pada pemeriksaan dalam vagina didapatkan porsio lunak,
ada pembukaan 2cm, ada pelepasan lendir dan darah. Hasil pemeriksaan darah rutin,
kimia darah, urine rutin dn EKG dalam batas normal. Pemeriksaan USG tidak
dilaakukan.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan maka pasien ini didiagnosis dengan G3P2A0 gravid 37 minggu 4 inpartu kala
1 fase laten + Gawat Janin + Mioma Uteri. Pasien direncanakan untuk menjalani
tindakan pembedahan seksio sesarea dan miomektomi per abdominal.
Rencana seksio sesarea pada pasien diawali dengan insisi pfanenstil abdomen
dan dilanjutkan dengan insisi pada segmen bawah rahim. Setelah bayi dan plasenta
lahir, sebelum dilakukan penjahitan uterus, kemudian identifikasi lokasi dari mioma,
sebelum dilakukan prosedur miomektomi, Prosedur operasi diawali dengan melakukan
tindakan hemostasis dengan teknik figured of eight dan dilanjutkan prosedur
miomektomi dengan insisi linier pada fundus uteri bagian anterior, posterior, lateral kiri
.Diagnosis post operatif pada pasien ini adalah Partus Aterm dengan Mioma Uteri
Multipel. Pada hasil pemeriksaan patologi anatomi didapatkan hasil Leiomioma Uteri.

Gambar 1. Tampak uterus dengan multiple mioma uteri di anterior dari uterus

Gambar 2. Tampak daerah insisi fundus uteri bagian posterior saat miomektomi
Gambar 3. Multiple Mioma uteri dengan ukuran terbesar 10x10cm

Setelah dilakukan tindakan seksio sesarea pada pasien, bayi perempuan lahir
dengan berat badan 3320 gram, panjang badan 48 cm dan skor Apgar 8/10. Tidak
ditemukan kelainan kongenital pada bayi ini. Sedangkan, setelah dilakukan tindakan
miomektomi pada pasien ini, didapatkan mioma uteri multipel dengan ukuran terbesar
10x10cm. Jumlah perdarahan pada saat miomektomi sampai selesai operasi kurang
lebih 200 ml. Pada perawatan setelah operasi, dilakukan pengawasan keadaan umum,
tanda vital dan jumlah perdarahan. Terapi paska operasi sebagai berikut: drip Oksitosin
20 IU dalam 500cc RL 28 tetes per menit setiap mengganti cairan selama 24 jam,
injeksi Cefotaksim IV 1 gram/12 jam, injeksi Ketorolac IV 30 mg/8 jam, injeksi Asam
Traneksamat IV 500 mg/8 jam, injeksi Ranitidin IV 50 mg/8 jam, dan injeksi
metilergometrin IV 0,2 mg/8 jam. Pada pemantauan 2 jam setelah operasi, didapatkan
keadaan umum pasien baik, tinggi fundus uteri 1 jari di bawah pusat, kontraksi baik,
peristaltik baik, jumlah urine 75 ml/jam, jernih, jumlah perdarahan pervaginam 50 ml/ 2
jam dan hemoglobin kontrol setelah operasi 10,9 gram/dl atau 1 gram/dl lebih rendah
dari hemoglobin sebelum operasi. Pasien kontrol pada hari ke-9 setelah operasi,
keadaan umum pasien baik, keluhan tidak ada, luka operasi baik, tinggi fundus uteri 2
jari di bawah pusat, buang air tidak ada kelainan, dan luka operasi kering.
Diskusi
Sectio caesarea (SC) adalah proses persalinan untutk melahirkan janin yang
memiliki berat badan lebih dari 500 gram dengan cara menginsisi bagian perut dan
dinding uterus. Seiring perkembangan jaman, SC ini dapati dilakukan dibagian perut
bawah. SC ini bisa dilakukan secara elektif apabila ada indikasi bayi tidak bisa
dilahirkan secara normal ataupun bisa dilakukan secara mendadak (emergency) apabila
ada kondisi dimana bayi harus dilahirkan segera. Menurut WHO tahun 2015 angka
kejadian bedah sesar adalah 10-15% dari total angka persalinan seluruh dunia. Di Asia
sendiri angka persalinan bedah sesar meningkat sebesar 15,1% yaitu dari 4,4%
meningkat menjadi 19,5%. Menurut Riskesdas 2013 kelahiran bedah sesar sebesar 9,8%
dengan proporsi tertinggi di DKI Jakarta (19,9%).1
Indikasi bedah sesar dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor janin, faktor ibu
dan faktor ibu-janin. Faktor ibu meliputi riwayat SC sebelumnya, infeksi virus herpes
aktif, tumor yang menyebabkan obstruksi, riwayat operasi vagina rekonstruktif,
misalnya perbaikan fistula, terinfeksi HIV (tergantung nilai viral load), serta kondisi
medis ibu yang tidak memungkinkan untuk dilakukan persalinan normal, misalnya
kondisi jantung dan paru yang tidak baik. Faktor janin misalnya pola denyut jantung
janin yang abnormal, malpresentasi janin, berat bayi <2500 gr, dan terdapat kelainan
kongenital. Faktor ibu-janin yang memiliki indikasi sehingga harus dilakukan bedah
sesar adalah tidak ada kemajuan dalam proses persalinan, panggul atau jalan lahir
sempit, kegagalan dalam proses forcep, plasenta previa, disproporsi sefalopelvik, dan
kembar siam. 1 Pada kasus ini tindakan SC dilakukan atas indikasi gawat janin dengan
DJJ 182x/menit serta adanya mioma uteri multipel dengan ukuran terbesar 10x10 cm.
Sebaliknya, SC memiliki beberapa kontraindikasi, seperti kematian janin
intrauterin (IUFD), anemia berat, kelainan kongenital berat yang dapat menyebabkan
kematian segera setelah lahir seperti anensefali, infeksi piogenik dinding abdomen, dan
1
fasilitas yang tidak memungkinan untuk dilakukan SC. Tidak ada kontraindikasi SC
pada kasus sehingga SC dapat dilakukan.
Luka sayatan di perut dapat berupa transversal (Pfannenstiel) dan vertikal
(mediana), sedangkan di uterus dapat berupa transversal (SC Transperitonealis
Profunda) dan vertikal (SC klasik/corporal). Rencana seksio sesarea pada pasien diawali
dengan insisi pfanenstil abdomen dan dilanjutkan dengan insisi pada segmen bawah
rahim.2
1. Sectio Caesarea Transperitonealis Profunda
Jenis pembedahan yang paling banyak dilakukan dengan cara insisi segmen
uterus bagian bawah. Jenis ini memberikan beberapa keuntungan seperti perdarahan
luka insisi yang tidak banyak, risiko peritonitis lebih kecil, jaringan parut saat proses
penyembuhan pada uterus umumnya kuat sehingga risiko ruptur uteri dikemudian
hari berkurang karena dalam masa nifas ibu pada segmen bagian bawah uterus tidak
banyak mengalami kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat sembuh lebih
sempurna. Teknik ini merupakan teknik yang diterapkan pada kasus.
2. Sectio Caesarea Klasik
Tindakan pembedahan ini dilakukan dengan insisi bagian tengah dari korpus
uteri sepanjang 10-12 cm dengan ujung bawah di atas batas plika vesio uterine.
Teknik ini dilakukan jika terdapat halangan untuk melakukan proses SC
transperitonealis profunda, misalnya akibat perlekatan uterus pada dinding perut
akibat riwayat persalinan SC sebelumnya dan risiko perdarahan yang besar apabila
di insisi di segmen bawah uterus dimana ada kondisi plasenta previa (plasenta
menempel menutupi jalan lahir). Kerugian dari jenis ini adalah risiko peritonitis dan
ruptur uteri 4 kali lebih tinggi pada kehamilan selanjutnya.
Tabel 1. Perbandingan antara SC klasik dan SC transperitonealis profunda.

Pembeda SC Klasik SC Transperitonealis


Profunda

Teknik Lebih mudah Lebih sulit

Proses lahir bayi Lebih cepat Lebih lambat

Pendarahan Banyak Sedikit

Infeksi Lebih besar Sedikit

Penyembuhan Kurang baik, banyak Lebih baik, perlekatan


perlekatan antara rahim sedikit
dan dinding perut

Gangguan kontraksi pada (+) (-)


persalinan berikut

Ruptur uteri pada Risiko besar jarang


persalinan berikut

Jahitan 3 lapis 2 lapis


Tindakan SC memiliki potensi komplikasi yang dibagi menjadi komplikasi
jangka pendek dan jangka panjang. Komplikasi jangka pendek tejadi sesaat paska
tindakan seperti kematian ibu, tromboembolisme, pendarahan, infeksi, durasi rawat inap
lebih lama, histerektmoi bila pendarahan terus menerus dan tidak dapat dihentikan
dengan oksitosin, dan nyeri akut paska tindakan setelah efek anestesi menghilang.
Komplikasi jangka panjang merupakan komplikasi yang akan dirasakan dari setelah
tindakan SC sampai dengan beberapa bulan pasca persalinan. Komplikasi tersebut
seperti nyeri kronik dan infertilitas akibat pembentukan jaringan parut. Adapula
komplikasi bagi janin, seperti kematian janin, transient tachypnea of neonatal (TTN),
dan trauma lahir akibat insisi. 3
Mioma uteri adalah tumor jinak saluran reproduksi wanita yang paling umum.
Mioma uteri atau sering disebut fibroid merupakan tumor jinak yang berasal dari otot
polos rahim. Sel tumor terbentuk karena mutasi genetik, kemudian berkembang akibat
induksi hormon estrogen dan progesteron. Insiden fibroid pada masa kehamilan
dilaporkan berkisar pada 0,1 sampai 10,7% dari seluruh kehamilan dan sebagian besar
tidak menimbulkan gejala. Kejadian mioma meningkat dengan bertambahnya usia, oleh
karena itu wanita hamil dengan mioma lebih banyak pada gravida yang lebih tua.4
Sejumlah faktor dihubungkan dengan kejadian mioma uteri yang dikenal dengan
nama lain leiomioma uteri, yakni: hormonal, proses inflamasi, dan faktor pertumbuhan.
Kejadian mioma uteri dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor risiko, antara lain genetik
(2.5 kali lipat lebih pada keturunan pertama pasien mioma uteri), usia >30 tahun, gaya
hidup sedentari, diet indeks glikemik tinggi dan tinggi asam lemak omega-3 terutama
marine fatty acid (MFA), overweight/obesitas (setiap pertambahan berat badan sebesar
10 kg, akan meningkatkan risiko mioma uteri sebesar 21%), menarche pada usia <10
tahun dan menopause terlambat (berhubungan dengan pemanjangan paparan estrogen),
nulipara, kontrasepsi hormonal mengandung hormon estrogen baik estrogen murni
maupun kombinasi, penyakit komorbid terutama hipertensi, polycystic ovary syndrome
(PCOS), dan diabetes, infeksi/iritasi rahim, dan stres. Faktor risiko yang diketahui
adalah usia pasien >30 tahun (37 tahun) serta mioma uteri.5
Diagnosis mioma uteri ditegakkan melalui anamnesis gangguan siklus haid dan
pemeriksaan fisik pembesaran perut. Ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang
rutin untuk konfirmasi diagnosis. Keluhan pemanjangan durasi haid dan perdarahan
vagina di luar siklus haid; biasanya lebih berat terutama pada mioma tipe submukosa.
Gejala lain adalah nyeri perut dan pinggang bawah saat menstruasi, sensasi penuh,
sering berkemih, konstipasi, dan dispareunia. Keluhan penting adalah seringnya abortus
spontan atau sulit hamil terutama pada mioma submukosa. Pada pemeriksaan fisik dapat
dijumpai tanda anemia dan volume tumor yang terlihat dengan pembesaran perut.
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang yang paling direkomendasikan,
dimana USG transvaginal lebih sensitif dibandingkan USG abdominal. Pada palpasi
abdomen teraba massa padat, berbenjol-benjol, mudah digerakkan.Hasil pemeriksaan
darah rutin, kimia darah, urine rutin dn EKG dalam batas normal. Pemeriksaan USG
tidak dilaakukan. Pada hasil pemeriksaan patologi anatomi didapatkan hasil Leiomioma
uteri.4,6
Berdasarkan lapisan uterus, mioma dibagi menjadi tipe subserosa, intramural,
submukosa, dan servikal.3
 Mioma subserosa muncul tepat dari bawah permukaan peritonium (serosa)
uterus, tampak sebagai masa kecil sampai besar atau benjolan yang menonjol
dari permukaan uterus. Tumor ini dapat bertangkai. Tumor didalam dinding
uterus disebut sebagai tumor intramural atau interstisial. Jika kecil, tumor ini
mungkin tidak menyebabkan perubahan bentuk uterus. Namun, jika membesar
bentuk uterus menjadi asimetrik dan nodular. Jika menjadi sangat besar tumor
ini akan menjadi atau akan tampak sebagai tumor subserosa dan submukosa
sekaligus.
 Mioma submukosa jenis yang paling jarang ditemukan, tapi secara klinis paling
penting karena paling sering menimbulkan gejala. Walaupun tumor mukosa
kecil, sering menyebabkan perdarahan uterus abnormal, baik akibat pergeseran
maupun penekanan pembuluh darah yang memperdarahi endometrium di
atasnya atau akibat kontak dengan endometrium didekatnya. Kadang-kadang
tumor submukosa dapat membentuk sebuah tangkai panjang dan dilahirkan
melalui servik. Gejala-gejala terkait walaupun berlangsung dalam jangka waktu
lama adalah gejala persalinan, yaitu kontraksi uterus yang menyebabkan kram di
abdomen bawah atau panggul, biasanya disertai hipermenorhea. Jika menonjol
melalui servik tumor ini tidak jarang mengalami ulserasi atau terinfeksi sehingga
juga menyebabkan perdarahan tumor.
 Mioma servical paling sering timbul di bagian posterior dan biasanya
asimtomik. Mioma servical anterior sering menimbulkan gejala dini karena
penekanannya pada kandung kemih. Gejala yang paling sering dilaporkan adalah
poliuria, dan sebagian perempuan mengeluhkan adanya inkontinensia stres. Jika
tumor terlalu besar, dapat terjadi retensi urin.
Perempuan dengan mioma memiliki peningkatan resiko dalam persalinan
dengan cara operasi sesar, presentasi bokong, malposisi dan kelahiran prematur.
Komplikasi fibroid uteri pada kehamilan dapat muncul pada antenatal, intrapartumatau
masa puerperium. Komplikasi fibroid yang telah dilaporkan pada kehamilan meliputi
abortus, perdarahan postpartum (PPH), malposisi fetus, partus lama, plasenta previa,
akut abdomen, laparotomi, kelahiran prematur, retensi plasenta dan gangguan
pertumbuhan intrauterin (IUGR) dengan risiko lebih besar pada mioma berdiameter >5
cm dibandingkan dengan ukuran mioma yang kecil, atau tanpa mioma. Fibroid dengan
diameter <5 cm umumnya tetap stabil atau bahkan mengecil seiring pertambahan usia
kehamilan. Fibroid mulitpel dan berukuran besar dapat mengubah rongga uterus dan
secara konsisten berkaitan dengan malpresentasi fetus.7
Mioma selama kehamilan dihubungkan dengan risiko tinggi seksio caesarean.
Salah satu dilema kontroversial yang paling banyak dihadap ahli obstetri adalah
prosedur yang disebut caesarean miomektomi. Selama ini miomektomi dalam kelahiran
sesar dianggap berbahaya karena kecenderungan perdarahan intraoperatif dan risiko
atonia uteri. Pasien caesarean miomektomi juga mungkin membutuhkan transfusi darah
atau histerektomi caesarean, dengan peningkatan morbiditas post-operatif. Namun
dalam beberapa dekade terakhir, tindakan miomektomi dalam persalinan telah
dilaporkan tidak meningkatkan risiko perdarahan intraoperatif dan atonia uteri,
dibandingkan dengan tindakan seksio sesarea tanpa tindakan miomektomi.
Pengangkatan fibroid pada operasi sesar tidak rutin dilakukan karena
tindakan ini sering kali dipersulit dengan perdarahan hebat. Tatalaksana biasanya
konservatif selama periode anternatal seperti bed rest, hidrasi adekuat, dan analgesik.
Beberapa peneliti mengemukakan bahwa semua fibroid anterior harus selalu diangkat
dan operasi sesar menjadi pilihan dalam melakukan persalinan. Namun begitu, banyak
ahli kebidanan di daerah tropis yang masih menghindari dilakukannya caesarean
miomektomi sebagai sesuatu yang rutin dilakukan pada operasi sesar. Caesarean
miomektomi pada kasus jarang biasanya diperlukan pada fibroid sub-serosa bertangkai
terpuntir yang menyebabkan nyeri abdomen tidak tertahankan, fibroid anterior sub-
serosa dan secara khusus yakni fibroid pada bagian segmen bawah uterus, degenerasi
merah yang tidak berespon terhadap terapi konservatif, atau myoma yang membesar
secara masif yang menyebabkan ketidaknyamanan. Pada kasus ini yang menjadi
indikasi caesarean miomektomi adalah mioma >5 cm dan terletak anterior.8
Tabel 2. Indikasi dan kontraindikasi caesarean miomektomi.9

Indikasi Kontraindikasi

Mioma simtomatik Usia >40 tahun

Mioma >5cm Mioma multipel

Mioma tunggal Mioma yang terletak kornual

Mioma yang terletak anterior Mioma yang terletak di posterior

Tumor previa Mioma asimtomatik

Mioma bertangkai Kecenderungan untuk mengalami


pendarahan

Menghindari prosedur bedah tambahan Riwayat ruptur uteri sebelumnya

Mioma degeneratif

Keinginan pasien

Selama caesarean miomektomi, baik lokasi maupun ukuran mioma perlu


dipertimbangkan, dimana sebuah penelitian melaporkan bahwa mioma yang terletak di
segmen bawah perlu diangkat. Banyak yang melaporkan bahwa pengangkatan mioma
besar atau intramural sebaiknya dihindari selama SC. Sedangkan lainnya melaporkan
pengangkatan mioma besar selama SC. Sebuah meta analisis dari 9 studi terhadap 44
perempuan yang menjalani caesarean miomektomi, caesarean miomektomi tidak
berhubungan dengan perubahan hemoglobin yang bermakna, dan tidak memerlukan
transfusi darah.10
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa caesarean miomektomi dapat
dilakukan dengan aman, dan risiko komplikasi serta biaya dari pembedahan multipel
dapat dikurangi. Manfaat dari miomektomi caesarean adalah menyingkirkan kebutuhan
pembedahan kedua, mengurangi risiko komplikasi seperti persalinan prematur, distosia,
atau atoni uterus pada kehamilan berikut. Keputusan untuk melakukan miomektomi
umumnya dilihat dari lokasi dan diameter mioma, ukuran dan jumlah struktur vaskular,
dan dampaknya pada kontraktilitas uterus. Dengan pengalaman adekuat dalam
melakukan miomektomi pada sectio caesarea dengan penggunaan infus oksitosin dosis
tinggi, pendarahan berat yang merupakan komplikasi paling serius dapat dikendalikan.11
Omar dkk melaporkan 2 kasus dari mioma uteri besar di aspek anterior segmen
bawah pada kehamilan aterm, miomektomi dilakukan pada keduanya. Sebaliknya,
penelitian lain menunjukkan tingginya insiden histerektomi akibat pendarahan post-
partum asat persalinan dan periode puerperium serta sepsis post-partum pada kasus
dimana mioma dibiarkan. Orac dkk juga melaporkan 22 pasien dengan mioma besar (>5
cm) yang menjalani miomektomi caesarean, dan tidak dijumpai histerektomi atau ligasi
arteri hipogastrik maupun prosedur lain yang dibutuhkan untuk mengendalikan
pendarahan. Kematian perinatal juga tidak ditemui. Sebuah studi case control oleh
Kwawukume dkk pada 12 pasien yang menjalani miomektomi caesarean menunjukkan
involusi uterus normal pada semua pasien tanpa peningkatan pendarahan intra-operatif
secara signifikan dibandingkan kontrol. Pada sebagian besar kasus yang dilaporkan,
miomektomi yang dilakukan untuk reseksi mioma bertangkai dan diameter berdiameter
<6 cm aman dilakukan, namun bila mioma berdiameter lebih besar, bertangkai, dan
terletak di segmen bawah sehingga menutupi jalan lahir, reseksi juga perlu dilakukan. 12
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa penambahan tindakan miomektomi selama
sectio caesarean menambah waktu pembedahan sekitar 11 menit. Meskipun jarang,
komplikasi yang dapat ditimbulkan berupa transfusi >3 unit darah, ileus post-operatif,
dibutuhkan pembedahan ulang, dan perawatan lebih dari 2 hari.13
Adapula laporan kasus miomektomi yang dilakukan pada mioma dengan
diameter sangat besar. Lenza dkk melaporkan keberhasilan pengangkatan mioma
dengan diameter 22 cm saat persalinan SC.14 Adapula yang melaporkan mioma 40 cm
setelah ligasi arteri uterina untuk mengurangi kemungkinan pendarahan. 15 Risiko
pendarahan dan histerektomi akibat caesarean miomektomi dapat dikurangi dengan
teknik untuk meminimalisir pendarahan selama prosedur. Beberapa metode yang telah
digunakan meminimalisir pendarahan adalah oksitosin dosis tinggi, devaskularisasi,
turniket uterina, elektrokauter, dan beberapa teknik pembedahan. Ligasi uterina bilateral
terbukti efektif terutama bila dilakukan sebelum pengangkatan mioma yang besar. Lee
dkk juga menunjukkan bahwa teknik jahitan purse-string dapat bermanfaat dalam
mengendalikan pendarahan.16 Baik devaskularisasi maupun pendekatan intrakapsular
merupakan teknik miomektomi yang penting karena bergantung sepenuhnya pada
dokter bedah, terutama pada area dengan pusat ICU atau infrastrtuktur teknologi tingkat
tinggi yang sedikit.17
Terapat 2 pendekatan dalam pengangkatan leiomyoma selama sectio caesarea;
yakni miomektomi serosa dan teknik baru yakni miomektomi endometrial. Keduanya
menggunakan prinsip pengangkatan mioma intrakapsular yang sama, dengan perbedaan
rute pengangkatan mioma.9
Miomektomi serosa adalah pengangkatan leiomioma dimana insisi dibuat pada
permukaan uterus. Perbedaannya adalah uterus yang membesar dan tervaskularisasi
dengan baik saat SC. Involusi uterus akan menjepit pembuluh darah besar di kavitas
endometrium, namun pemukaan suplai darah tidak dipengaruhi dari involusi sehingga
risiko pendarahan meningkat. Selain itu, insisi pada permukaan tetap besar yang dapat
berdampak pada formasi adhesi. Pada kasus dimana dibutuhkan pengangkatan mioma
multipel, jumlah insisi meningkat begitupula dengan risiko pendarahan dan
pembentukan adhesi. Pada miomektomi serosa, pengangkatan mioma posterior dan
mioma yang berada di dekat area kornu tidak direkomendasikan. Efek jangka panjang
metode ini adalah pembentukan adhesi.9
Pada tahun 2013, dikembangkan teknik baru yakni miomektomi endometrium.
Tujuan teknik baru ini adalah untuk meminimalisir jaringan parut rahim dan
pembentukan adhesi. Setelah lahirnya bayi dan plasenta, uterus dikeluarkan dari rongga
abdomen. Rongga rahim dilap dengan kassa dan dilakukan pengendalian pendarahan
pada insisi rahim. Liomyoma yang terletak di dekat insisi rahim bawah diangkat dari
garis insisi, dan mioma diangkat dari area subendometrial-intramiometrial. Setelah
palpasi dan lokalisasi, leiomyoma didorong dari lokasi serosal sehingga terlihat dan
terpalpasi dari lokasi endometrium, kemudian dilakukan insisi endometrium-
transmiometrial untuk mencapai leiomyoma dengan scalpel atau pisau elektrokauter dan
leiomioma diangkat tanpa kapsulnya dengan diseksi tumpul dan tajam.9
Seluruh struktur vasklar pada pangkal leiomyoma dijepit dan dijahit. Bila
terdapat lebih dari 1 leiomyoma dan tidak berdekatan satu dengan yang lain, maka
seluruh leiomyoma diangkat satu per satu dan endometrium diinsisi untuk masing-
masing leiomyoma. Namun, endometrium memiliki kesempatan untuk involusi secara
cepat dan ukuran insisi endometrium mengecil, sehingga scar lebih kecil daripada insisi
awal. Bila lokasi pengangkatan mioma tidak berdarah dan diameter insisi pada
permukaan endometrium <3cm, tidak perlu dilakukan penjahitan lapisan endometrium
untuk meminimalisir pembentukan adhesi.9
Pada kasus ini dilakukan tindakan miomektomi caesarean. Bayi lahir tanpa
komplikasi dengan Apgar 8/10. Pendarahan saat miomektomi sampai selesai operasi
sekitar 200 ml. Pada kasus salah satu tatalaksana paska operasi yang diberikan untuk
mencegah pendarahan postpartum adalah drip oksitosin 20 IU dalam 500 cc RL, asam
traneksama 500 mg/8 jam, dan metilergometrin 0.2 mg/8jam. Pada pemantauan 2 jam
setelah operasi, didapatkan keadaan umum pasien baik, TFU 1 jari di bawah pusat,
kontraksi dan peristaltik baik, jumlah perdarahan pervaginam 50 ml/ 2 jam dan Hb
paska operasi menurun 1 gram/dl dari Hb sebelum operasi. Saat kontrol hari ke-9 post
operasi, keadaan umum pasien dan luka operasi baik, TFU 2 jari di bawah pusat, dan
tidak ada keluhan lain. Kasus ini mendukung bahwa miomektomi caesarean aman
dilakukan tanpa komplikasi yang bermakna.
Kesimpulan

Seorang perempuan, 37 tahun G3P2A0 gravid 37 minggu 4 hari datang dengan gawat
janin dengan DJJ 187x/menit dan mioma uteri multipel dengan ukuran terbesar 10x10
cm. Rencana SC diawali dengan insisi pfanenstil abdomen dan dilanjutkan dengan insisi
pada segmen bawah rahim kemudian melahirkan bayi, dan dilanjutkantindakan
miomektomi dengan insisi pada fundus uteri bagian anterior, posterior, lateral kiri.
Pemantauan post-operasi hingga hari ke-9 post operasi menunjukkan luaran yang baik
tanpa komplikasi yang bermakna bagi ibu maupun janin.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mylonas I, Friese K. Indications for and Risks of Elective Cesarean Section. Dtsch
Ärztebl Int. 2015 Jul;112(29–30):489–95.

2. Lanowski JS, Kaisenberg CS von. The Surgical Technique of Caesarean Section:


What is Evidence Based? [Internet]. Caesarean Section. IntechOpen; 2018 [cited
2022 Aug 13]. Available from:
https://www.intechopen.com/chapters/undefined/state.item.id

3. Leveno KJ, Spong CY, Dashe JS, Casey BM, Hoffman BL, Cunningham FG, et al.
Williams Obstetrics, 25th Edition. McGraw-Hill Education; 2018. 1344 p.

4. Cruz MSDDL, Buchanan EM. Uterine Fibroids: Diagnosis and Treatment. Am


Fam Physician. 2017 Jan 15;95(2):100–7.

5. Valle RF, Ekpo GE. Pathophysiology of Uterine Myomas and Its Clinical
Implications. In: Tinelli A, Malvasi A, editors. Uterine Myoma, Myomectomy and
Minimally Invasive Treatments [Internet]. Cham: Springer International
Publishing; 2015 [cited 2022 Aug 13]. p. 1–11. Available from:
https://doi.org/10.1007/978-3-319-10305-1_1

6. Mas A, Tarazona M, Dasí Carrasco J, Estaca G, Cristóbal I, Monleón J. Updated


approaches for management of uterine fibroids. Int J Womens Health. 2017 Sep
5;9:607–17.

7. Williams ARW. Uterine fibroids – what’s new? F1000Research. 2017 Dec


7;6:2109.

8. Goyal M, Dawood AS, Elbohoty SB, Abbas AM, Singh P, Melana N, et al.
Cesarean myomectomy in the last ten years; A true shift from contraindication to
indication: A systematic review and meta-analysis. Eur J Obstet Gynecol Reprod
Biol. 2021 Jan;256:145–57.

9. Tokgöz C, Hatirnaz Ş, Güler O. Pros and Cons of Myomectomy during Cesarean


Section [Internet]. Caesarean Section. IntechOpen; 2018 [cited 2022 Aug 13].
Available from: https://www.intechopen.com/chapters/undefined/state.item.id

10. Sakinci M, Turan G, Sanhal CY, Yildiz Y, Hamidova A, Guner FC, et al. Analysis
of Myomectomy during Cesarean Section: A Tertiary Center Experience. J Invest
Surg. 2022 Jan 2;35(1):23–9.

11. Zhao R, Wang X, Zou L, Zhang W. Outcomes of Myomectomy at the Time of


Cesarean Section among Pregnant Women with Uterine Fibroids: A Retrospective
Cohort Study. BioMed Res Int. 2019 Mar 10;2019:e7576934.

12. Raouf* N. Success and Safety of Cesarean Myomectomy in Women with Single
Uterine Myoma. J Gynecol Women’s Health. 2021 Mar 2;21(1):1–6.
13. Sparić R, Kadija S, Stefanović A, Spremović Radjenović S, Likić Ladjević I,
Popović J, et al. Cesarean myomectomy in modern obstetrics: More light and
fewer shadows: Cesarean myomectomy. J Obstet Gynaecol Res. 2017
May;43(5):798–804.

14. Leanza V, Fichera S, Leanza G, Cannizzaro MA. Huge fibroid (g. 3.000) removed
during cesarean section with uterus preservation. A case report. Ann Ital Chir.
2011 Feb;82(1):75–7.

15. Ma PC, Juan YC, Wang ID, Chen CH, Liu WM, Jeng CJ. A huge leiomyoma
subjected to a myomectomy during a cesarean section. Taiwan J Obstet Gynecol.
2010 Jun;49(2):220–2.

16. Lee JH, Cho DH. Myomectomy using purse-string suture during cesarean section.
Arch Gynecol Obstet. 2011 Mar;283 Suppl 1:35–7.

17. Senturk MB, Polat M, Doğan O, Pulatoğlu Ç, Yardımcı OD, Karakuş R, et al.
Outcome of Cesarean Myomectomy: Is it a Safe Procedure? Geburtshilfe
Frauenheilkd. 2017 Nov;77(11):1200–6.

Anda mungkin juga menyukai