Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Hepatorenal (SHR) adalah kegagalan faal ginjal yang terjadi pada
pasien dengan penyakit hati berat (akut maupun kronik) tanpa disertai kelainan
patologi ginjal. Sindrom ini ditandai dengan gangguan fungsi ginjal, perubahan
fungsi kardiovaskular, aktivitas berlebih dari saraf simpatis dan sistem renin
angiotensin, sehingga terjaid vasokonstriksi ginjal yang berat dan akan mengarah
pada penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).1

Pada SHR kelainan yang dijumpai pada ginjal hanya berupa kegagalan fungsi
tanpa ditandai dengan kelainan struktur ginjal dan histologi ginjal. Hal ini dapat
dibuktikan bila ginjal tersebut ditansplantasikan pada penderita lain yang tidak
didapati kelainan hati, maka fungsi ginjal tersebut akan kembali normal atau
penderita yang mengalami SHR dilakukan transpalantasi hati maka fungsi ginjalnya
akan kembali normal. 1

SHR dilaporkan pertama sekali oleh Austin Flint dan Frerichs (1863), yang
masing-masing melaporkan timbulnya oligura pada pasien-pasien sirosis dengan
asites, mereka tidak menemukan adanya perubahan histologi ginjal yang nyata pada
pemeriksaan post mortem. Pierre Vesin salah satu peneliti tentang aspek klinis
fungsi ginjal pada sirosis, mengusulkan definisi SHR dengan nama terminal
“fungtional renal failure”. Beliau menekankan gagal ginjal pada SHR tidak
berhubungan dengan kerusakan struktur ginjal dan berkembangnya sindroma ini
merupakan keadaan terminal dan irreversible pada sirosis dengan asites.1 Pada
tahun 1956, Hecker dan Sherlock melaporkan sembilan pasien penyakit hati
bersamaan dengan gagal ginjal yang ditandai dengan proteinuria dan ekskresi NA+
yang rendah.2
BAB II

SINDROMA HEPATORENAL

2.1 DEFINISI

Definisi Sindroma Hepatorenal menurut International Ascites Club (IAC,


1994) adalah sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronik dengan
kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi
ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktivitas faktor vasoaktif
endogen yang bersifat fungsional dan progresif. Pada ginjal terdapat vasokonstriksi
yang menyebabkan laju filtrasi glomerulus menurun, dimana sirkulasi diluar ginjal
terdapat vasodilatasi arteriol yang luas menyebabkan penurunan resistensi vaskuler
sistemik total dan hipotensi.1

IAC (2008) merekomendasikan definisi baru SHR sebagai suatu sindrom


yang potensial reversible pada pasien sirosis, asites, dan gagal hati serta pada
pasien gagal hati akut atau hepatitis alkoholik. Sindrom ini ditandai dengan
penurunuan fungsi kardiovaskular dan aktivitas berlebih dan sitem saraf simpatis
dan renin angiotensin, yang menyebabkan vasokonstriksi renal yang berat sehingga
menyebabkan penurunan LFG.1

2.2 EPIDEMIOLOGI

Sekitar 20% pasien sirosis hepatis dengan asites disertai fungsi ginjal yang
normal akan mengalami sindrom hepatorenal (SHR) setelah 1 tahun dan 39%
setelah 5 tahun perjalanan penyakit.3 Gines dkk melaporkan kemungkinan insiden
SHR pada pasien sirosis hepatis mencapai 18% pada tahun pertama dan akan
meningkat hingga 39% pada tahun ke lima.4,5 Pasien dengan peritonitis bakterial
spontan memiliki kesempatan sepertiga untuk men-galami perkembangan menjadi
SHR.6

2.3 PATOGENESIS

Patogenesis SHR sampai sekarang belum diketahui dengan jelas. Hipotesis


yang diajukan adalah bahwa akibat sirosis hepatis atau penyakit hati berat bersama-
sama dengan hipertensi portal akan terjadi vasodilatasi arteri splanknik. Vasodilatasi
ini akan mengakibatkan hipovolemia arterial sentral sehingga merangsang sistem
saraf simpatis, sistem renin-angiotensin-aldosteron (SRAA) dan hormone anti
diuretik yang secara keseluruhan akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah ginjal. Pada ginjal seharusnya terjadi mekanisme kompensasi, namun dengan
alasan yang belum jelas justru terjadi ketidakseimbangan mekanisme kompensasi
ini yaitu terjadinya peningkatan vasokonstriktor yang diikut penurunan vasodilator.

Terdapat dua jenis teori yang dianut untuk menerangkan hipoperfusi ginjal
yang timbul pada penderita SHR.1

1. Teori pertama, menjelaskan hipoperfusi ginjal berhubungan dengan


penyakit hati itu sendiri tanpa ada patogenetik yang berhubungan dengan
gangguan sistem hemodinamik. Teori ini berdasarkan hubungan langsung
hati – ginjal, yang didukung oleh dua mekanisme yang berbeda yang
mana penyakit hati dapat menyebabkan vasokonstriksi ginjal dengan
penurunan pembentukan atau pelepasan vasodilator yang dihasilkan hati
yang dapat menyebabkan pengurangan perfusi ginjal dan pada percobaan
binatang diperlihatkan bahwa hati mengatur fungsi ginjal melalui refleks
hepatorenal.
2. Teori kedua menerangkan bahwa hipoperfusi ginjal berhubungan dengan
perubahan patogenetik dalam sistem hemodinamik dan SHR adalah
bentuk terakhir dari pengurangan pengisian arteri pada sirosis. Hipotesis
ini menerangkan bahwa kekurangan pengisian sirkulasi arteri
menyebabkan hipoperfusi yang bukan sebagai akibat penurunan volume
vaskuler, tetapi vasodilatasi arteriolar yang luar biasa terjadi terutama
pada sirkulasi splanik. Hal ini dapat menyebabkan aktifasi yang progresif
dari mediator baroreseptor sistem vasokonstriktor (Gambar1), yang mana
dapat menimbulkan vasokonstruksi tidak hanya pada sirkulasi ginjal tetapi
juga pada pembuluh darah yang lain. Splanik dapat bebas dari efek
vasokonstriktor dan vasodilasi dapat bertahan, kemungkinan karena
adanya rangsangan vasodilator lokal yang sangat kuat. Timbulnya
hipoperfusi ginjal menyebabkan SHR dapat terjadi sebagai akibat aktifitas
yang maksimal vasokonstriktor sistemik yang tidak dapat dihalangi oleh
vasodilator, penurunan aktifitas vasodilator atau peningkatan produksi
vasokonstriktor ginjal atau keduanya.
Gambar 1 : Patofisiologi sindroma hepatorenal.

Beberapa studi melaporkan beberapa perubahan biokimiawi pada pasien SH


yang mengalami SHR sebagai berikut:

1. Hati
Pada hati ditemukan adanya penurunan sintesis angiotensinogen dan
kininogen. Penurunan pemecahan renin, angiotensi II, aldosteron, endotoksin
dan vasopressin
2. Plasma
Terjadi peningkatan kadar renin, angiotensin II, aldosteron, noradrenalin,
vasopresin, endotelin 2 dan 3, leukotrien C4 dan D4, kalsitonin peptida dan
hormon antidiuretik. Terjadi penurunan kadar kalikrein, bradikinin dan faktor
natriuretik arterial
3. Urin dan ginjal
Terjadi peningkatan renin, angiotensin II, aldoteron, endotelin, tromboksan
A2, leukotrien E4, prostaglandin E2, prostasiklin, bradikinin

Fakta diatas menunjukkan betapa kompleks mekanisme yang terjadi pada


SHR. Studi lain menyatakan bahwa terjadi penurunan sintesis nitrit oksida yang
merupakan vasodilator kuat pada pasien sirosis dan SHR
Perubahan Hemodinamik

Pada penyakit hati berat dengan asites yang merupakan resiko tinggi
terjadinya SHR, dapat terjadi kelainan hemodinamik atau kelainan ginjal sebelum
terjadi SHR. Kelainan hemodinamik dapat berupa peningkatan curah jantung,
vasodilatasi arteriol yang menyebabkan penurunan resistensi vaskular sistemik,
hipotensi arterial dan peningkatan resistensi vaskular ginjal karena vasokonstriksi
arteri renalis diikuti dengan penurunan aliran darah ginjal dan LFG.

Retensi cairan terjadi karena berkurangnya volume intravaskular akibat


aktivasi sistem hormon yang menahan natrium seperti sistem saraf simpatis dan
SRAA. Keadaan ini disebut dengan teori underfill.

Sedangkan menurut teori overflow, terjadi reabsorbsi natrium dan air serta
peningkatan aktivitas saraf simpatis ginjal yang menyebabkan vasokonstriksi ginjal.
Kelainan primernya adalah retensi natrium karena meningkatnya reabsorbsi natrium
dalam ginjal. Retensi natrium menyebabkan volume intravaskular meningkat yang
akan masuk ke dalam rongga ekstravaskular dan menyebabkan asites dan edema.
Retensi natrium merupakan kelainan fungsi ginjal yang paling dini dan paling sering
ditemukan.

Pada kebanyakan pasien sirosis hepatis, retensi natrium telah terjadi pada
LFG yang masih normal karena meningkatnya reabsorbsi natrium di tubulus
proksimal dan disal. Retensi natrium mungkin juga terjadi akibat aktivitas SRAA dan
sistem saraf simpatis. Retensi air timbul setelah retensi natrium karena
ketidakmampuan ginjal mengekskresi air sehingga menyebabkan peningkatan
cairan tubuh dan hiponatremia delusional. Gangguan ekskresi air terjadi karena
meningkatnya kadar vasopresin, menurunnya sintesis prostaglandin ginjal,
menurunnya jumlah filtrat ke ansa Henle karena peningkatan absorbs natrium di
tubulus proksimal dan penurunan LFG. Vasokontriksi ginjal terjadi belakangan dan
menyebabkan penurunan aliran darah ginjal dan LFG tanpa disertai kelaianan
anatomis ginjal yang bermakna. Terjadinya vasokonstriksi ginjal dimediasi oleh
sistem renin angiotensin, prostaglandin ginjal, tromboksan, endothelin, sistem saraf
simpatis dan nitrit oksida.

2.4. MANIFESTASI KLINIS

Pada pasien SH, 80% kasus SHR disertai asites, 75% disertai ensefalopati
hepatik dan 40% disertai ikterus. Pasien sebelumnya tidak pernah memiliki riwayat
penyakit ginjal.

Secara klinis Sindroma Hepatorenal dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu :

1. Sindroma Hepatorenal tipe I


Tipe I ditandai dengan peningkatan yang cepat dan progresif dari BUN (Blood
Urea Nitrogen) dan kreatinin serum >2,5 mg/dl atau penurunan kreatinin
klirens dalam 24 jam sampai 50%, keadaan ini timbul dalam beberapa hari
hingga 2 minggu. Gagal ginjal sering dihubungkan dengan penurunan yang
progresif dari jumlah urin, retensi natrium dan hiponatremi . Penderita dengan
tipe ini biasanya dalam kondisi klinik yang sangat berat dengan tanda gagal
hati lanjut seperti ikterus, ensefalopati atau koagulopati. Tipe ini umum pada
sirosis alkoholik berhubungan dengan hepatitis alkoholik, tetapi dapat juga
timbul pada sirosis non alkoholik. Kira-kira setengah kasus SHR tipe ini timbul
spontan tanpa ada faktor presipitasi yang diketahui, kadang-kadang pada
sebagian penderita terjadi hubungan sebab akibat yang erat dengan
beberapa komplikasi atau intervensi terapi (seperti infeksi bakteri, perdarahan
gastrointestinal, parasintesis). Spontaneus bacterial peritonitis (SBP) adalah
penyebab umum dari penurunan fungsi ginjal pada sirosis. Kira-kira 35%
penderita sirosis dengan SBP timbul SHR tipe I. SHR Tipe I adalah
komplikasi dengan prognosis yang sangat buruk pada penderita sirosis,
dengan mortalitas mencapai 95%.
2. Sindroma Hepatorenal Tipe II
Tipe II SHR ini ditandai dengan penurunan yang sedang dan stabil dari laju
filtrasi glomerulus (BUN dibawah 50 mg/dl dan kreatinin serum < 2 mg / dl).
Tidak seperti tipe I SHR, tipe II SHR biasanya terjadi pada penderita dengan
fungsi hati relatif baik. Biasanya terjadi pada penderita dengan ascites yang
resisten dengan diuretik. Harapan hidup penderita dengan kondisi ini lebih
panjang dari pada SHR tipe I.
Sindrom hepatorenal harus dibedakan dengan penyakit hati yang terjadi
bersamaan dengan penyakit ginjal yang disebut sebagai sindrom
pseudohepatorenal. Pada keadaan ini tidak terdapat hubungan antara
gangguan fungsi hati dan fungsi ginjal. Diagnosis SHR dapat dibuat setelah
menyingkirkan sindrom pseudohepatorenal.

Beberapa penyebab sindrom pseudohepatorenal adalah:

- Penyakit kongenital (penyakit polikistik ginjal dan hati)


- Penyakit metabolic (diabetes mellitus, amilodosis, penyakit Wilson)
- Penyakit sistemik (lupus eritematous sistemik, rheumatoid artritis, sarkoidosis)
- Penyakit infeksi (leptospirosis, sepsis, malaria, hepatis virus)
- Gangguan sirkulasi (syok dan insufisiensi jantung)
- Intoksikasi (endotoksin, bahan kimia, gigitan ular berbisa, luka bakar)
- Medikamentosa (metoksifluran, halotan, sulfonamide, parasetamol dan
tetrasiklin)
- Tumor (hipernefroma, metastasis)

2.5. DIAGNOSIS

Sampai saat ini belum ada pemeriksaan spesifik untuk mendiagnosis SHR.
Biasanya SHR didiagnosis dengan mengevaluasi LFG dan menyingkirkan penyebab
gagal ginjal prenal, glomerulonephritis, nekrosis tubular akut, dan nefrotoksisitas
karena obat. Adanya proteinuria bermakna dan atau kelainan ginjal akan mengarah
ke penyakit ginjal lain.

Kriteria diagnostik SHR Menurut International Ascites Club tahun 2004.


1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi portal.
2. GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl atau kreatinin klirens 24 jam < 40
ml/menit.
3. Tidak ada syok, infeksi bakteri yang sedang berlangsung, kehilangan cairan
dan mendapat obat nefrotoksik.
4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma expander 1,5
liter dan diuretik (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau
peningkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/menit).
5. Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai obstruktif uropati atau penyakit
parenkim ginjal secara ultrasonografi.

Kriteria tambahan :
1. Volume urin < 500 ml / hari
2. Natrium urin < 10 meg/liter
3. Osmolalitas urin > osmolalitas plasma
4. Eritrosit urin < 50 /lpb
5. Natrium serum <130 mEq / liter

Berikutnya, pada tahun 2008, IAC kembali merivisi kriteria diagnostic untuk SHR
pada pasien sirosis, yaitu:
Kriteria Mayor:
1) Pasien sirosis dengan ascites

2) Kreatinin serum lebih dari 1.5 mg/dL

3) Tidak ada perbaikan dari kreatinin serum (berkurang dari 1.5 mg/dL)
setelah dua hari penghentian diuretik dan pemberian albumin (Dosis
albumin yang dianjurkan adalah 1g/kgBB/hari sampai maksimum
100g/hari)
4) Tidak ada syok

5) Tidak ada pemberian terapi dengan obat yang nefrotoksik

6) Tidak ada kelainan parenkim ginjal yang ditandai dengan proteinuria


>500 mg/hari, mikrohematuria (>50 eritrosit/LPB) dan atau kelainan
ginjal pada USG.
Penekanan utama pada kriteria diagnostik terbaru ini yang membedakannya
dengan kriteria sebelumnya adalah:

- Bersihan kreatinin tidak digunakan lagi karena pemeriksaan ini lebih


sulit daripada pemeriksaan kreatinin serum rutin dan tidak
menggambarkan fungsi ginjal pada pasien sirosis secara akurat.
- Gagal ginjal yang menyertai infeksi bakteri tetapi tidak ada syok,
sekarang dapat dipertimbangkan sebagai SHR sehingga penanganan
SHR dapat dimulai tanpa menunggu perbaikan infeksi.
- Pengembangan volume plasma lebih baik dengan menggunakan
albumin dibandingkan larutan salin.
- Kriteria minor (tambahan) dihilangkan karena tidak bersifat esensial.

2.6. PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini belum ada pengobatan efektif untuk SHR, oleh karena itu
upaya pencegahan harus diutamakan.

Penatalaksanaan Umum

Sindrom hepatorenal sebagian besar dipacu oleh ketidakseimbangan cairan


dan elektrolit pada pasien SH.
Oleh karena pasien SH sangat sensitif dengan perubahan keseimbangan
cairan dan elektrolit, maka harus dihindari pemakaian diuretic agresif,
parasentesis asites dan restriksi cairan yang berlebihan.
- Terapi suportif berupa diet tinggi kalori dan rendah protein
- Koreksi keseimbangan asam basa
- Hindari pemakian obat anti inflamasi non steroid (OAINS)
- Peritonitis bacterial spontan pada SH harus diatasi dalam rangka mencegah
terjadinya SHR.

Penatalaksanaan Umum

Vasodilator

Obat-obatan dengan aktivitas vasodilator, terutama prostaglandin (PGs) telah


dipakai pada pasien SHR dalam usaha untuk menurunkan resistensi vaskuler ginjal.
Pemberian PGs intra vena atau pengobatan dengan misoprostol (analog PGs oral
aktif) pada penderita sirosis hati dengan SHR tidak diikuti dengan perbaikan fungsi
renal.

Dopamin pada dosis nonpressor juga digunakan dalam usaha menimbulkan


vasodilatasi renal pada penderita SHR. Infus dopamin selama 24 jam hanya
menyebabkan peningkatan yang ringan pada aliran darah ginjal tanpa perubahan
yang berarti dalam laju filtrasi glomerulus. Pemberian antagonis endotelin spesifik
dapat segera berhubungan dengan perbaikan fungsi ginjal pada pasien dengan
SHR.

Vasokonstriktor

Hipoperfusi ginjal pada SHR pada penderita sirosis berhubungan dengan


pengurangan pengisian sirkulasi arteri. Rasionalisasi penggunaan Vasokonstriktor
adalah untuk mengatasi vasodilatasi splanik (yang merupakan salah satu hipotesis
terjadinya sindroma hepatorenal). Vasokonstriktor telah digunakan dalam usaha
memperbaiki perfusi ginjal dengan menaikkan resistensi vaskuler sistemik dan
menekan aktifitas vasokonstriktor sistemik.

Pemberian vasokonstriktor (norepinefrin, angiotension II, ornipressin) pada


pasien sirosis dengan asites dan SHR menyebabkan vasokonstriksi arteri, yang
dapat meningkatkan tekanan arteri dan resistensi vaskular sistemik.

Kombinasi pemberian vasokonstriktor (ornipressin, norepinefrin) dan


vasodilator ginjal (dopamine, prostasiklin) juga gagal memperbaiki fungsi ginjal.
Penelitian Guevara, dkk menunjukkan bahwa pemberian kombinasi ornipressin
dengan penambahan volume plasma dengan albumin memperbaiki fungsi ginjal dan
menormalkan perubahan hemodinamik pada pasien sirosis dengan SHR.

Tiga hari pengobatan dengan ornipressin dan albumin dapat menormalkan


aktifitas yang berlebihan dari rennin – angiotensin dan sistem saraf simpatis,
peningkatan kadar natriuetik peptida arteri, dan hanya memperbaiki sedikit fungsi
ginjal. Pemberian ornipressin dan albumin selama 15 hari, perbaikan fungsi ginjal
dijumpai dengan peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Terapi
ini dapat digunakan dengan kewaspadaan yang tinggi. Pada beberapa pasien hal ini
tidak dilanjutkan karena komplikasi iskemik.
Pada beberapa penelitian pemberian Midodrine dan Octreotide pada 13
penderita SHR tipe I, setelah 20 hari pengobatan didapatkan penurunan aktifitas
plasma renin, vasopressin dan glukagon. 1 penderita bertahan hidup sampai 472
hari, 1 penderita dilakukan transplantasi hati, dan yang lain meninggal setelah 75
hari karena gagal hati.
Tindakan Invasif

Peritoneovenous shunt

Peritoneovenous shunt telah digunakan pada masa lalu untuk


penatalaksanaan pasien-pasien SHR dengan sirosis. Pemasangan shunt
menyebabkan cairan ascites mengalir terus menerus dari rongga peritoneum ke
sirkulasi sistemik yang berperan dalam meningkatkan curah jantung (cardiac output)
dan penambahan volume intravaskuler. Efek hemodinamik dari peritoneovenous
shunt berhubungan dengan penekanan aktivitas sistem vasokonstriktor, peningkatan
ekskresi natrium, dan pada beberapa kasus dapat memperbaiki aliran darah ginjal
dan laju filtrasi glomerulus.

Portosystemic shunt

Anastomosis shunt, baik side to side maupun end to side, belum merupakan
terapi standar dalam pelaksanaan SHR karena tingkat morbiditas dan mortalitas
yang tinggi akibat prosedur operasi pada pasien dengan penyakit hati lanjut.

Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS)

Akhir-akhir ini telah diperkenalkan suatu metode non bedah untuk kompresi
portal yaitu Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS). Keuntungan
metode ini dibanding dengan operasi portocaval shunt adalah penurunan mortalitas
akibat operasi. Komplikasi yang paling sering pada pasien yang mendapat
pengobatan dengan TIPS adalah hepatic encephalophaty dan obstruksi dari stent.
TIPS bermanfaat pada 75% kasus, dengan angka ketahanan hidup SHR tipe 2 lebih
baik dibandingkan SHR tipe 1. Beberapa laporan yang melibatkan sejumlah pasien
cenderung memperlihatkan bahwa prosedur ini meningkatkan fungsi ginjal pada
pasien sirosis hati dengan SHR yang tidak dapat lagi untuk dilakukan transplantasi
hati. Penelitian diatas menunjukkan bahwa TIPS memberikan banyak keuntungan
pada penatalaksanaan SHR. Walaupun demikian, penggunaan TIPS masih
memerlukan penelitian kontrol untuk dapat direkomendasikan. Guevara dkk
melakukan TIPS pada 7 penderita SHR tipe 1 dan menyimpulkan TIPS dapat
memperbaiki fungsi ginjal, menurunkan aktifitas renin angiotension dan sistem saraf
simpatis.
Dialisis

Hemodialisis atau peritoneal dialisis telah dipergunakan pada


penatalaksanaan penderita dengan SHR, dan pada beberapa kasus dilaporkan
dapat meningkatkan fungsi ginjal. Walupun tidak terdapat penelitian kontrol yang
mengevaluasi efektifitas dari dialisis pada kasus ini, tetapi pada laporan penelitian
tanpa kontrol menunjukkan efektifitas yang buruk, karena banyaknya pasien yang
meninggal selama pengobatan dan terdapat insiden efek samping yang cukup tinggi.
Pada beberapa pusat penelitian, hemodialisis masih tetap digunakan untuk
pengobatan pasien dengan SHR yang sedang menunggu transplantasi hati.

Transplantasi Hati

Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk penderita
SHR, yang dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun disfungsi ginjalnya.
Tindakan transplantasi ini merupakan masalah utama mengingat prognosis buruk
dari SHR dan daftar tunggu yang lama untuk tindakan tersebut di pusat
transplantasi.

Segera setelah transplantasi hati, kegagalan fungsi ginjal dapat diamati


selama 48 jam sampai 72 jam pertama. Setelah itu laju filtrasi glomerulus mulai
mengalami perbaikan.

Angka harapan hidup pada SHR tipe 1 umumnya pendek, sehingaa


transplantasi hati pada SHR tipe 1 sulit dilaksanaakan. Pada SHR tipe 2
transplantasi hati terbukti bermanfaat pada 90% kasus dengan angka ketahanan
hidup yang lebih kurang sama dengan transplantasi pada pasin tanpa SHR.

REKOMENDASI TERAPI

Rekomendasi terbatu dari AIC sehubungan dengan penangan pasien SHR adalah:

a. Sindrome hepatorenal tipe-1


- Terapi lini pertama adalah menggunakan kombinnasi vasokonstriktor dan
albumin.
- Pasien dengan respons parsial atau tidak ada respons dengan pemberian
vasokonstriktor dapat diterapi dengan TIPS.
- Jika terdapat indikasi kontra dengan TIPS dapat dipertimbangkan
extracorporeal albumin dialysis (ECAD).
- Terapi sekuensial vasokonstriktor dan albumin dilanjutkan dengan TIPS pada
pasien yang cocok merupakan pertimbangan menarik dan membutuhkan
penelitian lebih lanjut.
b. Sindrome hepatorenal tipe-2
- Tidak ada data definitif yang mendukung penggunaan vasokonstriktor.
- TIPS dapat digunakan untuk memperbaiki asites refrakter yang sering
berhubungan dengan SHR tipe-2

PENCEGAHAN

Resiko SHR dapat dikurangi dengan pemakaian terapi diuretik secara berhati-
hati dan pemantauan ketat, penemuan dini setiap komplikasi seperti
ketidakseimbangan elektrolit, perdarahan atau infeksi. Obat nefrotoksik dihindari.
Resiko perburukan ginjal setelah parasintesis volume besar dikurangi dengan
pemberian albumin rendah garam.

Resiko serangan ulangan peritonitis bakterial spontan dikurangi dengan


pemberian antibiotik profilaksis. Bila pasien SBP mendapat terapi antibiotika,
pemberian albumin akan mengurangi frekuensi disfungsi ginjal. Pencegahan infeksi
bakteri : infeksi bakteri terjadi pada hampir 50% pasien dengan perdarahan varises
dan antibiotika profilaksis memperbaiki survival sekitar 10%. Ekspansi volume :
untuk mencegah terjadinya gagal ginjal pada pasien SBP, direkomendasikan
pemberian ekspansi volume plasma dengan albumin 20% (1-1,5 gram/kgBB selama
1-3 hari) pada saat diagnosis untuk mencegah disfungsi sirkulasi, gangguan ginjal,
dan mortalitas. Pemakaian diuretik dengan bijaksana : mengidentifikasi dosis efektif
terendah diuretik untuk setiap individu pasien adalah sangat penting karena
gangguan fungsi ginjal akibat diuretik terjadi pada sekitar 20% pasien asites
sehingga terjadi penurunan volume intravaskular. Menghindari pemakaian obat
nefrotoksik : pasien dengan sirosis dan asites merupakan predisposisi mendapat
aminoglikosida dengan gagal ginjal terjadi sekitar 33%. Penyebab penting lain
kegagalan ginjal adalah pemakaian NSAIDs. Obat ini menghambat pembentukan
prostaglandin intra renal yang mengakibatkan penurunan nyata fungsi ginjal dan
eksresi Na+/H2O2 pada pasien sirosis dengan asites.
PROGNOSIS

SHR merupakan komplikasi terminal penyakit hati yang sudah lanjut atau
berat, sehingga prognosis penyakit ini buruk dengan angka kematian lebih dari 90%.
BAB III

KESIMPULAN

SHR adalah komplikasi dari penyakit hati yang lanjut yang ditandai tidak
hanya gagal ginjal, tapi juga gangguan sistem hemodinamik dan aktifitas sistem
vasoaktif endogen. Patogenesis SHR belum diketahui pasti, tetapi diduga gangguan
keseimbangan antara faktor vasokonstriktor dan vasodilator, serta sistem persarafan
simpatis. Diagnosa SHR berdasarkan International Ascites Club’s Diagnostic Criteria
of Hepatorenal Syndrome. Pilihan pengobatan yang baik adalah transplantasi hati.
Pengobatan pendukung hanya diberikan jika fungsi hati dapat kembali normal atau
sebagai jembatan untuk menunggu tindakan transplantasi hati.
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. Edisi ke VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014: 2176-285.
2. Arroyo V, Gines P,Gerbes Al et al. Defenition and Diagnostic criteria of
Refractory Ascites and Hepatorenal Syndrome in Cirrhosis Hepatology
1996;23:164-76
3. Setiawan, P. B, Hernomo K. Sindrom Hepatorenal. Dalam: ed. Sudoyo, Ari
Wdkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbi-
tan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas In-
donesia; 2006. Hal 452 – 454
4. Platt JF,Ellis JH, Rubin JM et al. Renal Duplex Doppler Ultrasonography: A
Noninvasive Predictor Of Kidney Dysfunction and Hepatorenal Failure in Liver
Disease. Hepatology 1994;20:362-9.
5. Dagher L, Moore K. The Hepatorenal Syndrome. Gut 2001;49:729-737
6. Gines P, Arroyo V. Hepatorenal Syndrome.J Am Soc Nephrol 1999;10:1833-9

Anda mungkin juga menyukai