Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom hepatorenal (hepatorenal syndrome / HRS) merupakan


komplikasi terjadinya gagal ginjal pada pasien penyakit hati kronik, kadang-
kadang berupa hepatitis fulminan dengan hipertensi portal dan ascites. Pada tahun
1996, International Ascites Club menginginkan definisi dan kriteria diagnosis
baru HRS, karena istilah ini telah diterima secara umum untuk gagal ginjal
fungsional yang berkembang pada pasien sirosis tahap lanjut.1
SHR dilaporkan pertama sekali oleh Austin Flint dan Frerichs (1863),
yang masing-masing melaporkan timbulnya oligura pada pasien-pasien sirosis
dengan asites, mereka tidak menemukan adanya perubahan histology ginjal yang
nyata pada pemeriksaan post mortem. Pierre Vesin salah satu peneliti tentang
aspek klinis fungsi ginjal pada sirosis, mengusulkan definisi SHR dengan nama
terminal “fungtional rernal failure”. Beliau menekankan gagal ginjal pada SHR
tidak berhubungan dengan kerusakan struktur ginjal dan berkembangnya
sindroma ini merupakan keadaan terminal dan orreversible pada sirosis dengan
asites. Pada tahun 1956, Hecker dan Sherlock melaporkan sembilan pasien
penyakit hati bersamaan dengan gagal ginjal yang ditandai dengan protein uria
dan ekskresi NA+ yang rendah.2
Sindrom hepatorenal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
penyakit sirosis. Sekitar 20% pasien sirosis hepatis dengan asites disertai fungsi
ginjal yang normal akan mengalami sindrom hepatorenal (SHR) setelah 1 tahun
dan 39% setelah 5 tahun perjalanan penyakit. Pada pasien sirosis tahap lanjut dan
ascites, diperkirakan 18% akan mengalami HRS dalam 1 tahun setelah
didiagnosis, dan mencapai 40 % pada tahun kelima.1
Pada stadium awal, gangguan fungsi ginjal pada sindrom hepatorenal
bersifat reversibel, yaitu dapat membaik dengan intervensi medis. Akan tetapi,
stadium ekstrim dari gangguan fungsi ginjal ini bersifat ireversibel. 3 Secara umum
prognosis sindrom hepatorenal adalah buruk. Tanpa transplantasi hati atau
pengobatan dengan vasokonstriktor yang tepat, rerata angka ketahanan hidup

KKS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGKINANG Page 1


kurang dari 2 minggu. Oleh karena itu, pencegahan terjadinya sindrom
hepatorenal harus mendapat perhatian utama.3

KKS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGKINANG Page 2


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindrom hepatorenal (SHR) adalah gangguan fungsional ginjal reversibel
yang terjadi pada seseorang dengan sirosis hati lanjut atau kegagalan hati
fulminan. Sindrom hepatorenal ditandai dengan berkurangnya laju filtrasi
glomerulus (GFR) dan aliran plasma renal (RPF) tanpa adanya penyebab lain dari
disfungsi ginjal. Sindrom hepatorenal bersifat fungsional dan progresif. Sindrom
hepatorenal merupakan suatu gangguan fungsi ginjal pre renal, yaitu disebabkan
adanya hipoperfusi ginjal, namun dengan hanya perbaikan volume plasma saja
ternyata tidak dapat memperbaiki gangguan fungsi ginjal ini.3,4
Berdasarkan International Ascites Club (1994), sindrom hepatorenal
adalah sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronis dan
kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi
ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktivitas sistem
vasoaktif endogen. Karakteristik khas dari sindrom hepatorenal adalah
vasokonstriksi yang kuat dari sirkulasi ginjal disertai vasodilatasi arteriol yang
luas pada sirkulasi di luar ginjal yang menyebabkan penurunan resistensi vaskular
sistemik total dan hipotensi.3

2.2 Epidemiologi
Sekitar 20% pasien sirosis hepatis dengan asites disertai fungsi ginjal yang
normal akan mengalami sindrom hepatorenal (SHR) setelah 1 tahun dan 39%
setelah 5 tahun perjalanan penyakit. Gines dkk melaporkan kemungkinan insiden
SHR pada pasien sirosis hepatis mencapai 18% pada tahun pertama dan akan
meningkat hingga 39% pada tahun ke lima.1,2,4,5

2.3 Faktor Presipitasi


Berbagai situasi beresiko dapat memicu terjadinya sindrom hepatorenal
dan berbagai faktor prediktif memungkinkan untuk memastikan perkembangan
sindrom hepatorenal pada pasien non-azotemik dengan sirosis dan asites. Pada

KKS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGKINANG Page 3


SHR tipe 1, faktor-faktor presipitasi diidentifikasi pada 70-100% pasien dengan
SHR, dan lebih dari satu kejadian dapat terjadi pada satu pasien.4
Di bawah ini tabel faktor-faktor presipitasi dan prediktif pada pasien
sirosis dan asites yang berkaitan dengan SHR.

Tabel 1. Faktor Presipitasi dan Prediktif pada Pasein dengan Sirosis dan Asites
yang Berkaitan dengan Perkembangan Sindrom Hepatorenal

Faktor-faktor presipitasi yang dapat diidentifikasi mencakup infeksi


bakteri, parasentesis volume besar tanpa infuse albumin, perdarahan saluran
cerna, dan hepatitis alcohol akut dapat memicu terjadinya sindrom hepatorenal.

KKS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGKINANG Page 4


Gambar 1. Peran Faktor Presipitasi pada Sindrom Hepatorenal

2.4 Patogenesis
Pathogenesis SHR sampai sekarang belum secara lengkap diketahui
sampai saat ini. Hipotesis SHR adalah sebagai berikut : akibat dari sirosis hati
atau penyakit hati akut lain dan bersama-sama dengan hipertensi portal akan
mengakibatkan vasodilatasi arteri splanknik. Vasodilatasi ini akan mengakibatkan
hipovolemi atau arteri sentral sehingga merangsang aktivasi system rennin
angiostensis aldosteron, dan hormone antidiuretik yang secara keseluruhan akan
menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah ginjal. Di ginjal seharusnya akan
terjadi mekanisme kompensasi, namun dengan alasan yang belum jelas justru
terjadi ketidakseimbangan mekanisme kompensasi ini, yaitu meningkatnya
vasokontriktor disertai penurunan vasodilator.3
Beberapa studi melaporkan beberapa perubahan biokimiawi pada pasien
sirosis hepatis dengan SHR sebagai berikut 3 :
 Hati
- Penurunan sintesis angiotensinogen dan kininogen
- Penurunan pemecahan rennin, angiotensin II, aldosteron, endotoksin,
dan vasopressin

KKS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGKINANG Page 5


 Plasma
- Peningkatan kadar rennin, angiotensin II, aldosteron, endotoksin
noradrenalin, vasopressin, endotelin, 2 dan 3, leukotrien C4 dan D4,
kalsitonin peptida, dan hormon antidiuretik.
- Penurunan kadar kalikrein, bradikinin, dan faktor natriuretik arterial.
 Urin atau ginjal
- Peningkatan rennin, angiotensin II, aldosteron, endotelin, tromboksan
A2, lekotrien E4, prostaglandin E2, prostasiklin, bradikinin.

Gambar 2. Patogenesis sindrom hepatorenal 3

a. Faktor Vasokonstriktor
Sistem renin-angiotensin tampaknya berperan penting dalam
mempertahankan vasokonstriksi pada sindrom hepatorenal. Konsentrasi
renin plasma akan meningkat pada penderita dengan sirosis dekompensata,
mungkin sebagai akibat penurunan inaktivasi renin oleh hati. Walaupun
terjadi peningkatan konsentrasi renin plasma, akan terjadi juga
pengurangan substrat renin, dan ketika ditransfusi dengan plasma darah
yang kaya akan substrat renin, pada penderita sindrom hepatorenal akan
terjadi peningkatan tekanan darah dan ekskresi urin berhubungan dengan
penurunan renin plasma. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan renin
plasma adalah merupakan respon terhadap penurunan perfusi ginjal dan
efek ini dibatasi oleh penurunan substrat renin.

KKS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGKINANG Page 6


Sekresi renin sebagai respon terhadap penurunan perfusi ginjal
memegang peranan utama dalam mempertahankan filtrasi glomerulus.
Penurunan perfusi disertai sekresi renin akan menyebabkan aktivasi
angiotensin, lalu menimbulkan vasokonstriksi arteriolar eferen untuk
mempertahankan tekanan intraglomerular dan filtrasi glomerulus. Ketika
perfusi ginjal makin menurun, maka angiotensin akan menyebabkan
vasokonstriksi arteriolar aferen sehingga menurunkan perfusi dan filtrasi
glomerulus.

b. Faktor Vasodilator
Sebuah penelitian pada penderita dengan sirosis atau percobaan
pada binatang memperlihatkan bahwa sintesis faktor vasodilator lokal
pada ginjal memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan
perfusi ginjal dengan melindungi sirkulasi ginjal dari efek yang merusak
dari faktor vasokonstriktor.
Mekanisme vasodilator ginjal yang paling penting adalah
prostaglandin (PGs). PGs membentuk sistem yang unik dimana ginjal
mampu mengimbangi efek peningkatan kadar vasokonstriktor tanpa
merusak fungsi sistemiknya. Bukti paling kuat yang menyokong peran
PGs ginjal dalam mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis dengan
ascites diperoleh dari penelitian yang menggunakan obat non steroid anti
inflamasi untuk menghambat pembentukan prostaglandin di ginjal.
Pemberian NSAIDs, sekalipun dalam dosis tunggal pada penderita sirosis
hati dengan ascites menyebabkan penurunan yang nyata dalam aliran
darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, yang perubahannya menyerupai
kejadian dalam SHR pada penderita dengan aktifitas vasokonstriktor yang
nyata, tetapi tidak atau sedikit efek pada penderita tanpa aktifitas
vasokonstriktor.
Vasodilator ginjal lainnya yang mungkin berpartisipasi dalam
mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis adalah nitrit oksida.Jika
produksi nitrit oksida dan PGs dihambat, secara tidak langsung dalam
percobaan sirosis dengan ascites terjadi penurunan perfusi ginjal.

KKS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGKINANG Page 7


Vasodilator lain yang mungkin mempengaruhi pengaturan perfusi ginjal
pada sirosis adalah natriuretik peptida. Gulberg dkk menemukan
peningkatan jumlah C Type natriuretic peptide (CNP) di urin penderita
sirosis dan gagal ginjal fungsional.Selanjutnya ditemukan hubungan yang
terbalik antara CNP di urin dengan ekskresi natrium urin.CNP ini berperan
dalam pengaturan keseimbangan natrium.Penemuan ini membuktikan
aktifitas vasodilator ginjal meningkat pada sirosis dan berperan dalam
pengaturan perfusi ginjal, terutama pada aktifitas vasokonstriktor ginjal
yang berlebih.

c. Sistem saraf simpatis


Stimulasi sistem saraf simpatis sangat tinggi pada penderita SHR
dan menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan meningkatnya retensi natrium.
Hal ini telah diperlihatkan oleh beberapa peneliti adanya peningkatan
sekresi katekolamin di pembuluh darah ginjal dan splanik. Kostreva dkk
mengamati vasokonstriksi pada arteriol afferent ginjal menimbulkan
penurunan aliran darah ginjal dan GFR dan meningkatkan penyerapan air
dan natrium di tubulus.

Gambar 3. Patofisiologi Mekanisme dari Sindrom Hepatorenal

KKS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGKINANG Page 8


2.5 Manifstasi Klinis
Manifestasi klinis penderita sindroma hepatorenal ditandai dengan
kombinasi antara gagal ginjal, gangguan sirkulasi, dan gagal hati. Gagal ginjal
dapat timbul secara perlahan atau progresif dan biasanya diikuti dengan retensi
natrium dan air, yang menimbulkan asites, edema dan dilutional hyponatremia,
yang ditandai oleh ekskresi natrium urin yang rendah dan pengurangan
kemampuan buang air (oliguri –anuria). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat
ditandai dengan tekanan arteri yang rendah, peningkatan cardiac output, dan
penurunan total tahanan pembuluh darah sistemik. Pada pasien sirosis hepatis,
80% kasus SHR disertai asites, 75% disertai ensefalopati hepatic, dan 40%
disertai ikterus.3
Tabel 2. Gangguan Hemodinamik yang Sering Ditemukan pada Sindrom Hepatorenal2

Cardiac output meninggi


Tekanan arterial menurun
Total tahanan pembuluh darah sistemik menurun
Total volume darah meninggi
Aktivasi sistem vasokonstriktor meninggi
Tekanan portal meninggi
Portosystemic Shunt
Tekanan pembuluh darah splanik menurun
Tekanan pembuluh darah ginjal meninggi
Tekanan arteri brachial dan femoral meninggi
Tahanan pembuluh darah otak meninggi

Secara klinis Sindroma Hepatorenal dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu;


1. Sindroma Hepatorenal tipe I
Merupakan manifestasi yang sangat progresif, dimana terjadi
peningkatan serum kreatinin dua kali lipat. 3 Tipe I ditandai oleh
peningkatan yang cepat dan progresif dari BUN (Blood Urea
Nitrogen) dan kreatinin serum yaitu nilai kreatinin >2,5 mg/dl atau
penurunan kreatinin klirens dalam 24 jam sampai 50%, keadaan ini
timbul dalam beberapa hari hingga 2 minggu.2,3 Gagal ginjal sering

KKS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGKINANG Page 9


dihubungkan dengan penurunan yang progresif jumlah urin, retensi
natrium dan hiponatremi.2
Penderita dengan tipe ini biasanya dalam kondisi klinik yang
sangat berat dengan tanda gagal hati lanjut seperti ikterus, ensefalopati
atau koagulopati. Tipe ini umum pada sirosis alkoholik berhubungan
dengan hepatitis alkoholik, tetapi dapat juga timbul pada sirosis non
alkoholik. Kira-kira setengah kasus Sindroma Hepatorenal tipe ini
timbul spontan tanpa ada faktor presipitasi yang diketahui, kadang-
kadang pada sebagian penderita terjadi hubungan sebab akibat yang
erat dengan beberapa komplikasi atau intervensi terapi, seperti infeksi
bakteri, perdarahan gastrointestinal, parasintesis. Peritonitis Bakteri
Spontan (SBP) adalah penyebab umum dari penurunan fungsi ginjal
pada sirosis. Kira-kira 35% penderita sirosis dengan SBP timbul
Sindroma Hepatorenal tipe I.2
Sindroma Hepatorenal Tipe I adalah komplikasi dengan prognosis
yang sangat buruk pada penderita sirosis, dengan mortalitas mencapai
95%. Rata-rata waktu harapan hidup penderita ini kurang dari dua
minggu, lebih buruk dari lamanya hidup dibanding dengan gagal ginjal
akut dengan penyebab lainnya.2,3
2. Sindroma Hepatorenal Tipe II
Merupakan bentuk kronis SHR. Tipe II SHR ini ditandai dengan
penurunan yang sedang dan stabil dari laju filtrasi glomerulus (BUN
dibawah 50 mg/dl dan kreatinin serum < 2 mg / dl). Tidak seperti tipe I
SHR, tipe II SHR biasanya terjadi pada penderita dengan fungsi hati
relatif baik. Biasanya terjadi pada penderita dengan ascites resisten
diuretik. Diduga harapan hidup penderita dengan kondisi ini lebih
panjang dari pada Sindroma Hepatorenal tipe I.2,3

2.6 Diagnosis

KKS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGKINANG Page 10


Menurut The International Ascites Club (1996), kriteria untuk
menegakkan diagnosis SHR terdiri dari 5 kriteria mayor dan 5 kriteria tambahan.
Diagnosis SHR dapat dibuat bila ditemukan seluruh kriteria mayor.1,2,3

Kriteria Mayor
1. Penyakit hati akut atau kronis dengan kegagalan tingkat lanjut dan
hipertensi portal.
2. Laju filtrasi Glomerulus (LFG) yang rendah (kreatinin serum > 1,5 mg/dl
(130 mmol/l) atau bersihan kreatinin <40 ml/menit)
3. Tidak ada syok, sepsis, kehilangan cairan, maupun pemakaian obat-obatan
nefrotoksik (misalnya OAINS atau aminoglikosida)
4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal (penurunan kreatinin serum < 1,5 mg/dl
atau peningkatan bersihan kreatinin > 40 ml/menit) sesudah pemberian
cairan isotonic salin 1,5 liter)
5. Proteinuria <500 mg/hari, tanpa obstruksi saluran kemih atau penyakit
ginjal pada pemeriksaan USG.

Kriteria tambahan (tidak harus ada untuk menegakkan diagnosis)


1. Volume urine < 500 ml/hari
2. Natrium urine <10 mEq/liter
3. Osmolaritas urine > osmolaritas plasma
4. Eritrosit urine < 50 / lapang pandang (high power field)
5. Natrium serum < 130 mEq/liter

SHR perlu dibedakan dengan adanya kondisi penyakit hati bersamaan


dengan penyakit ginjal atau penurunan fungsi ginjal. Pada beberapa keadaan,
diagnosis SHR mungkin dapat dibuat setelah menyingkirkan pseudohepatorenal
syndrome. pseudohepatorenal syndrome adalah suatu keadaan terdapatnya
kelainan fungsi ginjal bersama dengan gangguan fungsi hati yang tidak
mempunyai hubungan satu dengan yang lain.3

2.7 Penatalaksanaan

KKS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGKINANG Page 11


Sampai saat ini belum ada pengobatan efektif untuk SHR, oleh karena itu
pencegahan terjadinya SHR harus mendapat perhatian yang utama.3 Dengan
mengetahui beberapa faktor pencetus timbulnya SHR pada penderita sirosis
dengan asites, maka kita dapat mencegah timbulnya gagal ginjal pada penderita
ini.

Penatalaksanaan Umum
SHR sebagian besar dipacu oleh ketidakseimbangan cairan dan elektrolit pada
pasien sirosis hepatis. Oleh karena itu, pasien sirosis hepatis sangat sensitif
dengan perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, maka hindari pemakaian
diuretik agresif, parasentesis asites, dan restriksi cairan yang berlebihan.3
Terapi suportif berupa diet tinggi kalori dan rendah protein
Koreksi keseimbangan asam basa
Hindari penggunaan OAINS
Peritonitis bakterial spontan pada SHR harus segera diobati sedini dan
seadekuat mungkin
Pencegahan ensefalopatik hepatik juga harus dilakukan dalam rangka
mencegah SHR
Hemodialisa belum pernah secara formal diteliti pada pasien SHR, namun
tampaknya tidak cukup efektif dan efek samping yang cukup berat,
misalnya hipotensi, koagulopati, sepsis, dan perdarahn saluran cerna.5

Pengobatan Medikamentosa
 Vasodilator
Karena penyebab langsung SHR adalah vasokonstriksi sirkulasi
ginjal, tentu masuk akal jika kita menduga perubahan hemodinamik ginjal
dapat diubah dengan menggunakan vasodilator renal, seperti dopamin,
fenoldopam, dan prostaglandin atau obat-obat antagonis vasokonstriktor
renal, seperti saralasin, ACEI, dan antagonis endothelin. Akan tetapi, tidak
ada penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan vasodilator renal
menunjukkan perbaikan dalam perfusi ginjal atau GFR. 4
Penelitian Barnardo dkk dan Bennett dkk melaporkan infus
dopamin dosis rendah selama 24 jam memperbaiki aliran darah korteks

KKS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGKINANG Page 12


dan tampilan angiografi dari korteks renal tanpa memperbaiki GFR atau
aliran urin.2,4
Pemberian PGs intravena atau pengobatan dengan misoprostol
(analog PGs oral aktif) pada penderita sirosis hati dengan SHR juga tidak
diikuti dengan perbaikan fungsi renal.3 Pemberian antagonis endothelin
spesifik segera berhubungan dengan perbaikan fungsi ginjal pada pasien
dengan SHR. Karena efek samping dan kurangnya manfaat, penggunaan
vasodilator renal dalam SHR sudah banyak ditinggalkan.4

 Vasokonstriktor
Vasokonstriktor sistemik merupakan agen farmakologis yang
paling menjanjikan dalam manajemen SHR. Vasokonstriktor sistemik
digunakan untuk mengatasi vasodilatasi splanik.3 Vasokonstriktor meliputi
vasopressin analog (ornipressin dan terlipressin), somatostatin analog
(octreotide), dan a-adrenergik dengan agonis (midodrine dan
norepinefrin). Pemberian vasokonstriktor segera (norepinefrin,
angiotension II, ornipressin) pada pasien sirosis dengan ascites dan SHR
menyebabkan vasokonstriksi arteri, yang mana meningkatkan tekanan
arteri dan resistensi vaskuler sistemik.11 Infus ornipressin dikombinasikan
dengan ekspansi volume atau dopamin dosis rendah, dikaitkan perbaikan
yang bermakna pada perfusi ginjal, peningkatan GFR, dan ekskresi
natrium.2,4
Tabel 1. Obat-Obat untuk Terapi SHR

Portosystemic shunt

KKS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGKINANG Page 13


Akhir-akhir ini telah diperkenalkan suatu metode nonbedah dari kompresi
portal yaitu Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS).2 Sebelumnya
digunakan sebagai terapi alternatif untuk pasien sirosis hepatis dengan perdarahan
dari varises esofagus atau lambung yang tidak menanggapi pengobatan
endoskopik dan medis. Intervensi ahli radiologi akan menempatkan shunt
portacaval side to side yang menghubungkan vena portal dan vena hati dalam
parenkim hati. TIPS mengurangi tekanan portal dan mengembalikan sebagian
volume darah yang terakumulasi di sirkulasi splanknikus ke sirkulasi sistemik.
Hal ini akan menekan renin-angiotensin-aldosteron dan system saraf simpatik dan
mengurangi efek vasokonstriktor pada sirkulasi ginjal.6
Keuntungan metode ini dibanding dengan operasi portocaval shunt adalah
penurunan mortalitas akibat operasi. Komplikasi yang paling sering pada pasien
yang mendapat pengobatan dengan TIPS adalah hepatic encephalophaty dan
obstruksi dari stent. Beberapa laporan yang melibatkan sejumlah pasien cendrung
memperlihatkan bahwa prosedur ini meningkatkan fungsi ginjal pada pasien
sirosis hati dengan SHR yang tidak dapat lagi untuk dilakukan transplantasi hati.2

Dialisa
Hemodialisa atau peritoneal dialisa telah dipergunakan pada
penatalaksanaan penderita dengan SHR, dan pada beberapa kasus dilaporkan
dapat meningkatkan fungsi ginjal. Walupun tidak terdapat penelitian kontrol yang
mengevaluasi efektifitas dari dialisa pada kasus ini, tetapi pada laporan penelitian
tanpa kontrol menunjukkan efektifitas yang buruk, karena banyaknya pasien yang
meninggal selama pengobatan dan terdapat insiden efek samping yang cukup
tinggi. Pada beberapa pusat penelitian hemodialisa masih tetap digunakan untuk
pengobatan pasien dengan SHR yang sedang menunggu transplantasi hati.2,3

Transplantasi Hati
Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk penderita
SHR, yang dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun disfungsi ginjalnya.
Tindakan transplantasi ini merupakan masalah utama mengingat prognosis buruk
dari SHR dan daftar tunggu yang lama untuk tindakan tersebut di pusat
transplantasi. Segera setelah transplantasi hati, kegagalan fungsi ginjal dapat

KKS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGKINANG Page 14


diamati selama 48 jam sampai 72 jam. Setelah itu laju filtrasi glomerulus mulai
mengalami perbaikan.2,3,4

Gambar 4. Transplantasi Hepar

2.8 Prognosis
SHR merupakan komplikasi terminal penyakit hati yang sudah lanjut atau
berat, sehingga prognosis penyakit ini buruk dengan angka kematian lebih dari
90%.Walau ada dari beberapa laporan kasus SHR yang mengalami perbaikan
tetapi jumlahnya sangat sedikit yang terakhir ini terjadi bila diagnosis
penggulangannya dilakukan sedini mungkin.
Angka harapan hidupnya sangat rendah dan perbaikan spontan sangat
jarang terjadi. Yang paling menetukan dari harapan hidupnya adalah tipe dari
SHR sendiri. Pada tipe 1 angka harapan hidup adalah < 10 % dan perkiraan waktu
harapan hidup hanya 2 minggu, pada pasien dengan tipe 2 mempunyai waktu
harapan hidup yang lebih lama sekitar 6 bulan, selanjutnya yang menentukan
angka harapan hidup juga derajat penyakit hati.
Pasien yang memberi respon dengan terapi vasokonstriktor mempunyai
angka ketahanan hidup lebih tinggi dibanding dengan yang tidak sehingga terapi
dengan obat vasokontriktor mungkin memperbesar kemungkinan harapan hidup
pasien sambil menunngu transplantasi hati.

BAB III

KKS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGKINANG Page 15


KESIMPULAN

Sindrom hepatorenal yang diusulkan oleh International Ascites Club


(1994) adalah sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronik dan
kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi
ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktifitas sistem
vasoactive endogen.
Sindrom hepatorenal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
penyakit sirosis. Sekitar 20% pasien sirosis hepatis dengan asites disertai fungsi
ginjal yang normal akan mengalami sindrom hepatorenal (SHR) setelah 1 tahun
dan 39% setelah 5 tahun perjalanan penyakit. Gines dkk melaporkan
kemungkinan insiden SHR pada pasien sirosis hepatis mencapai 18% pada tahun
pertama dan akan meningkat hingga 39% pada tahun ke lima.
SHR adalah komplikasi dari penyakit hati lanjut yang ditandai tidak hanya
gagal ginjal, tapi juga gangguan sistem hemodinamik dan aktifitas sistem
vasoaktif endogen. Patogenesis SHR belum diketahui pasti, tapi diduga karena
pengurangan pengisian sirkulasi arteriol sekunder karena vasodilatasi sirkulasi
arteriol di splanik, serta gangguan keseimbangan antara faktor vasokonstriktor dan
vasodilator
Penegakan Diagnosis SHR berdasarkan International Ascites Club’s yakni
kriteria mayor berupa penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan
hipertensi porta, GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl atau kreatinin klirens 24
jam < 40 ml/mnt, tidak ada syok, infeksi bakteri sedang berlangsung, kehilangan
cairan dan mendapat obat nefrotoksik, tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan
pemberian plasma ekspander 1,5 ltr dan diuretik (penurunan kreatinin serum
menjadi < 1,5 mg/dl atau peningkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt)
serta proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai obstruksi uropati atau penyakit
parenkim ginjal secara ultrasonografi. Selain criteria mayor, terdapat pula criteria
oambahan berupa volume urin < 500 ml / hari, natrium urin < 10 meg/liter,
Osmolalitas urin > osmolalitas plasma, Eritrosit urin < 50 /lpb, Natrium serum
<130 meg / liter. Semua kriteria mayor harus dijumpai dalam menegakkan
diagnosis SHR, sedangkan kriteria tambahan merupakan pendukung untuk
diagnosis SHR.
KKS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGKINANG Page 16
Sampai saat ini belum ada pengobatan efektif untuk SHR, oleh karena itu
pencegahan terjadinya SHR harus mendapat perhatian yang utama. Dengan
mengetahui beberapa faktor pencetus timbulnya SHR pada penderita sirosis
dengan ascites, maka kita dapat mencegah timbulnya gagal ginjal pada penderita
ini. Pilihan pengobatan yang baik adalah transplantasi hati. Pengobatan
pendukung hanya diberikan jika fungsi hati dapat kembali normal atau sebagai
jembatan untuk menunggu tindakan transplantasi hati.

DAFTAR PUSTAKA

KKS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGKINANG Page 17


1. Pratama H. Sindroma Hepatorenal. Continung Medical Education. RSU
Siloam, Tanggerang Indonesia. CDK-224/ vol. 42 no. 1, th. 2015

2. Sri Maryani S. Sindrom Hepatorenal. Fakultas Kedokteran Universitas


Sumatera Utara. 2003. Didapat dari
;http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3390/1/penydalam
srimaryani6.pdf

3. Setiawan, P. B, Hernomo K. Sindrom Hepatorenal. Dalam: ed. Sudoyo,


Ari W dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2006.

4. Wadei, HM, Martin LM, Nasimul A. Hepatorenal Syndrome:


Pathophysiology and Management. American Society of Nephrology.
2006. Didapat dari: http://cjasn.asnjournals.org/content/i/5/1066.full.pdf.

5. Charles, KF, Michael HM. Hepatorenal Syndrome. Department of


Chemical Pathology, The Chinese University of Hong Kong, Prince of
Wales Hospital, Shatin, Hong Kong. 2007. Didapat dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC1904420/
pdf/cbr28_1p011.pdf

6. Pere Glines. 2003. Hepatorenal Syndrome. Lancet 2003; 362: 1819-1826.


Didapat dari: http://www.med.upenn.edu/gastro/documents/
LancetHRS.pdf

KKS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGKINANG Page 18

Anda mungkin juga menyukai