PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom hepatorenal (SHR) adalah gangguan fungsional ginjal reversibel
yang terjadi pada seseorang dengan sirosis hati lanjut atau kegagalan hati
fulminan. Sindrom hepatorenal ditandai dengan berkurangnya laju filtrasi
glomerulus (GFR) dan aliran plasma renal (RPF) tanpa adanya penyebab lain dari
disfungsi ginjal. Sindrom hepatorenal bersifat fungsional dan progresif. Sindrom
hepatorenal merupakan suatu gangguan fungsi ginjal pre renal, yaitu disebabkan
adanya hipoperfusi ginjal, namun dengan hanya perbaikan volume plasma saja
ternyata tidak dapat memperbaiki gangguan fungsi ginjal ini.3,4
Berdasarkan International Ascites Club (1994), sindrom hepatorenal
adalah sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronis dan
kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi
ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktivitas sistem
vasoaktif endogen. Karakteristik khas dari sindrom hepatorenal adalah
vasokonstriksi yang kuat dari sirkulasi ginjal disertai vasodilatasi arteriol yang
luas pada sirkulasi di luar ginjal yang menyebabkan penurunan resistensi vaskular
sistemik total dan hipotensi.3
2.2 Epidemiologi
Sekitar 20% pasien sirosis hepatis dengan asites disertai fungsi ginjal yang
normal akan mengalami sindrom hepatorenal (SHR) setelah 1 tahun dan 39%
setelah 5 tahun perjalanan penyakit. Gines dkk melaporkan kemungkinan insiden
SHR pada pasien sirosis hepatis mencapai 18% pada tahun pertama dan akan
meningkat hingga 39% pada tahun ke lima.1,2,4,5
Tabel 1. Faktor Presipitasi dan Prediktif pada Pasein dengan Sirosis dan Asites
yang Berkaitan dengan Perkembangan Sindrom Hepatorenal
2.4 Patogenesis
Pathogenesis SHR sampai sekarang belum secara lengkap diketahui
sampai saat ini. Hipotesis SHR adalah sebagai berikut : akibat dari sirosis hati
atau penyakit hati akut lain dan bersama-sama dengan hipertensi portal akan
mengakibatkan vasodilatasi arteri splanknik. Vasodilatasi ini akan mengakibatkan
hipovolemi atau arteri sentral sehingga merangsang aktivasi system rennin
angiostensis aldosteron, dan hormone antidiuretik yang secara keseluruhan akan
menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah ginjal. Di ginjal seharusnya akan
terjadi mekanisme kompensasi, namun dengan alasan yang belum jelas justru
terjadi ketidakseimbangan mekanisme kompensasi ini, yaitu meningkatnya
vasokontriktor disertai penurunan vasodilator.3
Beberapa studi melaporkan beberapa perubahan biokimiawi pada pasien
sirosis hepatis dengan SHR sebagai berikut 3 :
Hati
- Penurunan sintesis angiotensinogen dan kininogen
- Penurunan pemecahan rennin, angiotensin II, aldosteron, endotoksin,
dan vasopressin
a. Faktor Vasokonstriktor
Sistem renin-angiotensin tampaknya berperan penting dalam
mempertahankan vasokonstriksi pada sindrom hepatorenal. Konsentrasi
renin plasma akan meningkat pada penderita dengan sirosis dekompensata,
mungkin sebagai akibat penurunan inaktivasi renin oleh hati. Walaupun
terjadi peningkatan konsentrasi renin plasma, akan terjadi juga
pengurangan substrat renin, dan ketika ditransfusi dengan plasma darah
yang kaya akan substrat renin, pada penderita sindrom hepatorenal akan
terjadi peningkatan tekanan darah dan ekskresi urin berhubungan dengan
penurunan renin plasma. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan renin
plasma adalah merupakan respon terhadap penurunan perfusi ginjal dan
efek ini dibatasi oleh penurunan substrat renin.
b. Faktor Vasodilator
Sebuah penelitian pada penderita dengan sirosis atau percobaan
pada binatang memperlihatkan bahwa sintesis faktor vasodilator lokal
pada ginjal memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan
perfusi ginjal dengan melindungi sirkulasi ginjal dari efek yang merusak
dari faktor vasokonstriktor.
Mekanisme vasodilator ginjal yang paling penting adalah
prostaglandin (PGs). PGs membentuk sistem yang unik dimana ginjal
mampu mengimbangi efek peningkatan kadar vasokonstriktor tanpa
merusak fungsi sistemiknya. Bukti paling kuat yang menyokong peran
PGs ginjal dalam mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis dengan
ascites diperoleh dari penelitian yang menggunakan obat non steroid anti
inflamasi untuk menghambat pembentukan prostaglandin di ginjal.
Pemberian NSAIDs, sekalipun dalam dosis tunggal pada penderita sirosis
hati dengan ascites menyebabkan penurunan yang nyata dalam aliran
darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, yang perubahannya menyerupai
kejadian dalam SHR pada penderita dengan aktifitas vasokonstriktor yang
nyata, tetapi tidak atau sedikit efek pada penderita tanpa aktifitas
vasokonstriktor.
Vasodilator ginjal lainnya yang mungkin berpartisipasi dalam
mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis adalah nitrit oksida.Jika
produksi nitrit oksida dan PGs dihambat, secara tidak langsung dalam
percobaan sirosis dengan ascites terjadi penurunan perfusi ginjal.
2.6 Diagnosis
Kriteria Mayor
1. Penyakit hati akut atau kronis dengan kegagalan tingkat lanjut dan
hipertensi portal.
2. Laju filtrasi Glomerulus (LFG) yang rendah (kreatinin serum > 1,5 mg/dl
(130 mmol/l) atau bersihan kreatinin <40 ml/menit)
3. Tidak ada syok, sepsis, kehilangan cairan, maupun pemakaian obat-obatan
nefrotoksik (misalnya OAINS atau aminoglikosida)
4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal (penurunan kreatinin serum < 1,5 mg/dl
atau peningkatan bersihan kreatinin > 40 ml/menit) sesudah pemberian
cairan isotonic salin 1,5 liter)
5. Proteinuria <500 mg/hari, tanpa obstruksi saluran kemih atau penyakit
ginjal pada pemeriksaan USG.
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Umum
SHR sebagian besar dipacu oleh ketidakseimbangan cairan dan elektrolit pada
pasien sirosis hepatis. Oleh karena itu, pasien sirosis hepatis sangat sensitif
dengan perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, maka hindari pemakaian
diuretik agresif, parasentesis asites, dan restriksi cairan yang berlebihan.3
Terapi suportif berupa diet tinggi kalori dan rendah protein
Koreksi keseimbangan asam basa
Hindari penggunaan OAINS
Peritonitis bakterial spontan pada SHR harus segera diobati sedini dan
seadekuat mungkin
Pencegahan ensefalopatik hepatik juga harus dilakukan dalam rangka
mencegah SHR
Hemodialisa belum pernah secara formal diteliti pada pasien SHR, namun
tampaknya tidak cukup efektif dan efek samping yang cukup berat,
misalnya hipotensi, koagulopati, sepsis, dan perdarahn saluran cerna.5
Pengobatan Medikamentosa
Vasodilator
Karena penyebab langsung SHR adalah vasokonstriksi sirkulasi
ginjal, tentu masuk akal jika kita menduga perubahan hemodinamik ginjal
dapat diubah dengan menggunakan vasodilator renal, seperti dopamin,
fenoldopam, dan prostaglandin atau obat-obat antagonis vasokonstriktor
renal, seperti saralasin, ACEI, dan antagonis endothelin. Akan tetapi, tidak
ada penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan vasodilator renal
menunjukkan perbaikan dalam perfusi ginjal atau GFR. 4
Penelitian Barnardo dkk dan Bennett dkk melaporkan infus
dopamin dosis rendah selama 24 jam memperbaiki aliran darah korteks
Vasokonstriktor
Vasokonstriktor sistemik merupakan agen farmakologis yang
paling menjanjikan dalam manajemen SHR. Vasokonstriktor sistemik
digunakan untuk mengatasi vasodilatasi splanik.3 Vasokonstriktor meliputi
vasopressin analog (ornipressin dan terlipressin), somatostatin analog
(octreotide), dan a-adrenergik dengan agonis (midodrine dan
norepinefrin). Pemberian vasokonstriktor segera (norepinefrin,
angiotension II, ornipressin) pada pasien sirosis dengan ascites dan SHR
menyebabkan vasokonstriksi arteri, yang mana meningkatkan tekanan
arteri dan resistensi vaskuler sistemik.11 Infus ornipressin dikombinasikan
dengan ekspansi volume atau dopamin dosis rendah, dikaitkan perbaikan
yang bermakna pada perfusi ginjal, peningkatan GFR, dan ekskresi
natrium.2,4
Tabel 1. Obat-Obat untuk Terapi SHR
Portosystemic shunt
Dialisa
Hemodialisa atau peritoneal dialisa telah dipergunakan pada
penatalaksanaan penderita dengan SHR, dan pada beberapa kasus dilaporkan
dapat meningkatkan fungsi ginjal. Walupun tidak terdapat penelitian kontrol yang
mengevaluasi efektifitas dari dialisa pada kasus ini, tetapi pada laporan penelitian
tanpa kontrol menunjukkan efektifitas yang buruk, karena banyaknya pasien yang
meninggal selama pengobatan dan terdapat insiden efek samping yang cukup
tinggi. Pada beberapa pusat penelitian hemodialisa masih tetap digunakan untuk
pengobatan pasien dengan SHR yang sedang menunggu transplantasi hati.2,3
Transplantasi Hati
Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk penderita
SHR, yang dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun disfungsi ginjalnya.
Tindakan transplantasi ini merupakan masalah utama mengingat prognosis buruk
dari SHR dan daftar tunggu yang lama untuk tindakan tersebut di pusat
transplantasi. Segera setelah transplantasi hati, kegagalan fungsi ginjal dapat
2.8 Prognosis
SHR merupakan komplikasi terminal penyakit hati yang sudah lanjut atau
berat, sehingga prognosis penyakit ini buruk dengan angka kematian lebih dari
90%.Walau ada dari beberapa laporan kasus SHR yang mengalami perbaikan
tetapi jumlahnya sangat sedikit yang terakhir ini terjadi bila diagnosis
penggulangannya dilakukan sedini mungkin.
Angka harapan hidupnya sangat rendah dan perbaikan spontan sangat
jarang terjadi. Yang paling menetukan dari harapan hidupnya adalah tipe dari
SHR sendiri. Pada tipe 1 angka harapan hidup adalah < 10 % dan perkiraan waktu
harapan hidup hanya 2 minggu, pada pasien dengan tipe 2 mempunyai waktu
harapan hidup yang lebih lama sekitar 6 bulan, selanjutnya yang menentukan
angka harapan hidup juga derajat penyakit hati.
Pasien yang memberi respon dengan terapi vasokonstriktor mempunyai
angka ketahanan hidup lebih tinggi dibanding dengan yang tidak sehingga terapi
dengan obat vasokontriktor mungkin memperbesar kemungkinan harapan hidup
pasien sambil menunngu transplantasi hati.
BAB III
DAFTAR PUSTAKA