Anda di halaman 1dari 15

Kepada yth :

Referat Kimia Klinik


Rencana baca :
Tempat : zoom meeting

SINDROM HEPATORENAL
Nanda Amelia, Ani Kartini, Fitriani Mangarengi
Program Studi Ilmu Patologi Klinik
Program Pendidikan Spesialis
FK-UNHAS / RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar

I. PENDAHULUAN
Beberapa ahli pada abad ke-19 membuat deskripsi sindrom
hepatorenal (Hepatorenal syndrome/ HRS) adalah gangguan fungsi ginjal
pada pasien penyakit hati. Pada saat itu dideskripsikan sebagai oliguria pada
pasien penyakit hati kronis tanpa proteinuria dan dihubungkan dengan
gangguan ginjal pada sirkulasi sistemik. Mulai tahun 1967, ditemukan
bahwa tanda khas HRS berupa vasokonstriksi ginjal berat.1,2
Istilah sindrom hepatorenal digunakan pertama kali pada tahun 1939
untuk mendeskripsikan gagal hati yang terjadi setelah operasi bilier ataupun
trauma pada hati, yang makin berkembang menjadi berbagai tipe gagal
ginjal akut pada penyakit hati. Pada tahun 1950, deskripsi klinis HRS makin
berkembang, Sherlock, dkk. menekankan perjalanan alami sindrom ini
dengan adanya gangguan sirkulasi dan prognosis yang buruk. Mereka
mendeskripsikan gagal ginjal pada pasien penyakit hati yang mempunyai
karakteristik oliguria progresif, ekskresi natrium urin sangat rendah,
hiponatremia, tetapi tanpa proteinuria. Setelah itu ditemukan bahwa kelainan
tersebut fungsional, karena fungsi ginjal kembali normal setelah
transplantasi hati. Studi lanjutan pada 20 tahun terakhir menunjukkan bahwa
gagal ginjal terjadi karena vasokonstriksi sirkulasi renal dan vasodilatasi
arteriol sistemik hebat yang menghasilkan penurunan sirkulasi vaskuler
sistemik dan arterial hypotension.2,3
II. ETIOLOGI
Watt dkk menemukan bahwa faktor predisposisi yang sangat sering
menyebabkan HRS ialah :
1. Infeksi bakteri (48%), terutama pada pasien dengan spontaneous
bacterial peritonitis (SBP), gangguan faal ginjal disebabkan

Refarat Sindrom Hepatorenal 1


memburuknya hemodinamik sistemik, mungkin akibat endotoksin dan
berbagai sitokin yang dirangsang oleh SBP, yang menyebabkan
vasodilatasi.
2. Perdarahan gastrointestinal (33%), hal ini akan mengakibatkan kontraksi
volume darah akut dengan pengurangan perfusi ginjal.
3. Parasintesis pada penderita sirosis dengan asites yang terlalu agresif
(27%), hal ini menyebabkan berkurangnya volume darah arterial yang
efektif dan selanjutnya akan mengaktifkan sistem vasokontriktor yang
akhirnya menyebabkan vasokonstriksi ginjal.
4. Penggunaan obat-obatan (7%), misalnya pada pemberian diuretik, diuresis
(1 L/hr) akan menyebabkan kontraksi volume plasma dan insufisiensi
ginjal, serta pada pemberian ACE inhibitor dan angiotensin receptor
blocker dapat menyebabkan hipotensi arterial dan gagal ginjal prerenal.3,4

Refarat Sindrom Hepatorenal 2


Gambar 1. Faktor pencetus terjadinya sindrom hepatorenal 5

III. PATOFISIOLOGI
Tanda khas HRS adalah terjadinya vasokonstriksi ginjal, walaupun
berbagai mekanisme dianggap mungkin berperan dalam timbulnya HRS.
Karakteristik pola hemodinamik pasien HRS antara lain: peningkatan curah
jantung (cardiac output), penurunan resistensi vaskuler sistemik, dan
peningkatan resistensi vaskuler renal. Menurut studi Doppler pada arteri
brakhial, serebri media, dan femoralis menunjukkan bahwa resistensi
ekstrarenal meningkat pada pasien HRS, sementara sirkulasi splanik yang
bertanggung jawab untuk vasodilatasi arteri dan resistensi vaskuler sistemik

Refarat Sindrom Hepatorenal 3


total menurun. Patofisiologi sindrom hepatorenal pada sirosis sampai
sekarang masih belum diketahui secara jelas.2,3,5
Konsep terjadinya HRS pernah diteliti menggunakan Doppler
ultrasonography atau plethysmography pada pasien dengan berbagai derajat
keparahan sirosis, yang hasilnya menunjukkan vasodilatasi pada sirkulasi
splanik dan vasokonstriksi pada area lain, misalnya pada ginjal dan hati,
sementara aliran darah pada otot dan kulit dilaporkan bervariasi. Beberapa
studi lain juga menunjukkan adanya hubungan dengan sistem renin
angiotensin-aldosteron (renin-angiotensinaldosterone system/RAAS),
system saraf simpatis (SNS), dan fungsi prostaglandin pada ginjal. Aktivitas
sistem RAAS dan SNS meningkat pada pasien sirosis dan asites, dan efek
ini makin besar pada HRS. 2,3,6
Dua teori utama yang berusaha menjelaskan mekanisme tersebut
adalah teori vasodilatasi arteri dan teori reflex hepatorenal. Teori pertama
mengenai retensi air dan natrium pada sirosis merupakan hipotesis paling
rasional. Menurut teori ini, pada fase awal saat hipertensi portal dan sirosis
masih terkompensasi, gangguan pengisian arteri menyebabkan penurunan
volume darah arteri dan menyebabkan aktivasi sistem vasokonstriktor
endogen. Dilatasi pembuluh darah splanik pada pasien hipertensi portal dan
sirosis yang terkompensasi dapat dimediasi oleh beberapa faktor, terutama
oleh pelepasan vasodilator lokal seperti NO (nitric oxide). Pada fase ini,
perfusi renal masih dapat dipertahankan atau mendekati batas normal karena
sistem vasodilator menghambat sistem vasokonstriktor ginjal. Lalu terjadi
aktivasi RAAS dan SNS yang menyebabkan sekresi hormon anti-diuretik,
selanjutnya terjadi kekacauan sirkulasi. Hal ini mengakibatkan
vasokonstriksi bukan hanya di pembuluh darah renal, tetapi juga di
pembuluh darah otak, otot, dan ekstremitas. Namun, sirkulasi splanik tetap
resisten terhadap efek ini karena produksi terus menerus vasodilator lokal,
yaitu NO, sehingga masih terjadi penurunan resistensi vaskuler sistemik
total. Jika penyakit hati makin berat dapat mengakibatkan terjadinya level
kritis kurangnya pengisian pembuluh darah. Sistem vasodilator ginjal tidak

Refarat Sindrom Hepatorenal 4


dapat lagi mengatasi aktivasi maksimal vasokonstriktor eksogen dan/atau
vasokonstriktor intra-renal, menyebabkan tidak terkontrolnya vasokonstriksi
renal. Studi yang mendukung hipotesis ini adalah bahwa pemberian
vasokonstriktor splanik dikombinasi volume expanders menghasilkan
perbaikan tekanan arteri, laju plasma renal dan laju filtrasi glomerulus
(GFR). 2,7
Teori alternatif lain adalah vasokonstriksi ginjal pada HRS tidak
berhubungan dengan hemodinamik sistemik, tetapi karena defisiensi sintesis
faktor vasodilator atau reflex hepatorenal yang mengakibatkan
vasokonstriksi ginjal. Teori vasodilatasi sampai sekarang dianggap lebih
menjelaskan timbulnya HRS (Gambar 2).2,7
Gambaran histologi ginjal pada HRS terlihat normal, dan ginjal
sering kembali ke fungsi normal setelah transplantasi hati. Hal ini
menjadikan HRS merupakan kelainan patofisiologi unik yang memberikan
kemungkinan untuk dipelajari hubungan antara sistem vasokonstriktor dan
vasodilator pada sirkulasi renal.8

Refarat Sindrom Hepatorenal 5


Gambar 2. Patofisiologi sindrom hepatorenal 5
IV. KLASIFIKASI
Gagal hati atau gangguan hati berat dapat berkembang menjadi 2
bentuk HRS, dikenal dengan HRS tipe 1 dan tipe 2. Pembagian ini
berdasarkan perjalanan penyakit dan faktor pencetusnya. Tipe 3 dan tipe 4
pernah disebutkan, tetapi belum cukup studi yang mendukung pembagian
ini.2,3
A. HRS tipe 1
Pada HRS tipe 1 serum kreatinin naik dua kali lipat atau lebih dari 2,5
mg/dL dalam 2 minggu. Tanda khas tipe ini adalah perkembangan
penyakit yang cepat dan risiko kematian tinggi, rata-rata kelangsungan
hidup hanya 1-2 minggu. HRS tipe ini dapat dicetuskan oleh infeksi
bakteri, seperti SBP, variceal hemorrhage, infeksi besar, acute
alcoholic hepatitis, atau acute hepatic injury yang berhubungan

Refarat Sindrom Hepatorenal 6


dengan sirosis. Acute hepatic decompensation dapat terjadi karena
hepatitis virus akut, drug-induced liver injury (acetaminophen,
idiopathic drug-induced hepatitis).
B. HRS tipe 2
Pada HRS tipe 2, gagal ginjal ditunjukkan dengan peningkatan kadar
serum kreatinin selama beberapa minggu atau bulan bersamaan dengan
penurunan GFR tanpa faktor pencetus. Rerata ketahanan hidup pada
HRS tipe 2 ini kurang lebih 6 bulan, secara bermakna lebih lama
dibandingkan dengan HRS tipe pertama. HRS tipe 2 dapat berkembang
menjadi HRS tipe 1 karena faktor pencetus atau tanpa faktor pencetus
yang jelas. Mekanisme perkembangan ini sampai sekarang masih
belum jelas.
V. DIAGNOSA
Menurut The International Ascites Club (1996), kriteria untuk
menegakkan diagnosis HRS terdiri dari 5 kriteria mayor dan 5 kriteria
tambahan. Diagnosis HRS dapat dibuat bila ditemukan seluruh kriteria
mayor.1,2,3
Kriteria Mayor
1. Penyakit hati akut atau kronis dengan kegagalan tingkat lanjut dan
hipertensi portal.
2. GFR yang rendah (kreatinin serum > 1,5 mg/dl (130 mmol/l) atau
bersihan kreatinin < 40 ml/menit).
3. Tidak ada syok, sepsis, kehilangan cairan, maupun pemakaian obat-
obatan nefrotoksik (misalnya OAINS atau aminoglikosida).
4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal (penurunan kreatinin serum < 1,5 mg/dl
atau peningkatan bersihan kreatinin > 40 ml/menit) sesudah pemberian
cairan isotonik salin 1,5 liter.
5. Proteinuri <500 mg/hari, tanpa obstruksi saluran kemih atau penyakit
ginjal pada pemeriksaan USG.

Kriteria tambahan (tidak harus ada untuk menegakkan diagnosis)

Refarat Sindrom Hepatorenal 7


1. Volume urine < 500 ml/hari
2. Natrium urine <10 mEq/liter
3. Osmolaritas urine > osmolaritas plasma
4. Eritrosit urine < 50 / lapang pandang (high power field)
5. Natrium serum < 130 mEq/liter
Kriteria tahun 2007 :
1. Sirosis dengan asites
2. Kreatinin serum > 1.5 mg/dl
3. Tidak ada peningkatan kreatinin serum ( nilainya ≤ 1.5 mg/dl ) setelah
penghentian diuretik setidaknya 2 hari dan peningkatan volume
intravaskular dengan albumin. Dosis albumin yang dianjurkan adalah 1
g/kgBB/hari maksimal 100g/hari.
4. Tidak ada syok
5. Tidak mendapat obat nefrotoksik
6. Tidak adanya penyakit parenkim ginjal yang ditunjukkan dengan
proteinuria > 500 mg / hari, mikrohematuria ( > 50 eritrosit pada
pembesaran kuat), dan / atau ultrasonografi ginjal yang abnormal.3
VI. DIAGNOSA BANDING
Sindrom hepatorenal perlu dibedakan dengan adanya kondisi
penyakit hati bersamaan dengan penyakit ginjal atau penurunan fungsi
ginjal. Pada beberapa keadaan, diagnosis HRS mungkin dapat dibuat
setelah menyingkirkan pseudohepatorenal syndrome yaitu suatu keadaan
terdapatnya kelainan fungsi ginjal bersama dengan gangguan fungsi hati
yang tidak mempunyai hubungan satu dengan yang lain.10
Beberapa penyakit yang dapat menyerupai HRS antara lain:
1. Nekrosis tubular akut
Nekrosis tubular akut (NTA) relatif sering terjadi pada sirosis
hepatis dengan asites, hipotensi, sepsis, dan nefrotoksik karena obat
seperti aminoglikosida terutama jika obat ini dikombinasi dengan
sefotaksim. Pada NTA biasanya sedimen urin memperlihatkan silinder
granular dan ekskresi natrium urin > 10 mEq/l. Enzim urin seperti

Refarat Sindrom Hepatorenal 8


gamma glutamiltrans-peptidase, leusin aminopeptidase, dan β-2
mikroglobulin dapat digunakan untuk membedakan NTA dengan HRS.11
2. Gagal ginjal karena obat
Beberapa obat seperti anti inflamasi non steroid, antibiotik, zat
kontras intravena, dan diuretik dapat mencetuskan gagal ginjal. Obat
anti inflamasi non steroid seperti aspirin, ibuprofen, piroksikam,
indometasin akan menghambat sintesis prostaglandin, menyebabkan
vasokonstriksi arterial dan penurunan aliran darah ginjal dan GFR.
3. Glomerulopati
Glomerulopati karena penyakit kompleks imun (seperti
krioglobbulinemia) dan nefropati IgA dapat menyerupai HRS.
4. Azotemia prerenal
Pada HRS terdapat penurunan volume vaskular dan
vasokonstriksi ginjal yang ditandai dengan natrium serum yang rendah,
osmolalitas urin yang meningkat, rasio osmolalitas urin/plasma yang
meningkat, dan rasio kreatinin urin/plasma yang tinggi. Gambaran
laboratorium dalam darah dan urin sama dengan azotemia prerenal.
Keadaan ini berbeda dengan NTA yang ditandai dengan meningkatnya
natrium dalam urin (>30 mEq/L), osmolalitas urin sama dengan plasma,
rasio osmolalitas urin : plasma yang rendah, dan rasio kreatinin urin :
plasma yang rendah (< 20 : 1). Pemberian plasma expander seperti salin
normal atau koloid dapat digunakan sebagai uji diagnostik untuk
menyingkirkan gagal ginjal prerenal. Pada gagal ginjal prerenal,
penurunan GFR akan kembali normal dengan pemberian plasma
expander dan ini tidak terjadi pada HRS.
VII. PENATALAKSANAAN
Dengan mengetahui beberapa faktor pencetus untuk timbulnya HRS
pada penderita sirosis dengan asites maka kita dapat mencegah timbulnya
gagal ginjal pada penderita ini. Pemberian plasma ekspander setelah
parasintesis dalam jumlah besar, terutama albumin, mengurangi insiden
HRS. Begitu pula pemberian antibiotik untuk mencegah SBP pada penderita

Refarat Sindrom Hepatorenal 9


sirosis hati dengan resiko tinggi untuk timbulnya komplikasi ini akan
mengurangi insiden HRS. Ada beberapa modalitas terapi digunakan pada
penderita dengan HRS dengan efek yang hanya sedikit atau tidak ada sama
sekali.2,11
A. Vasodilator
Obat-obatan dengan aktivitas vasodilator, terutama PGs
(prostaglandin) telah dipakai pada penderita dengan HRS dalam usaha
untuk menurunkan resistensi vaskuler ginjal. Pemberian PGs intra vena
atau pengobatan dengan misoprostol (analog PGs oral aktif) pada
penderita sirosis hati dengan HRS tidak diikuti dengan perbaikan fungsi
renal. Dopamin pada dosis non pressor juga digunakan dalam usaha
menimbulkan vasodilatasi renal pada penderita HRS. Infus dopamine
selama 24 jam hanya menyebabkan peningkatan yang ringan pada aliran
darah ginjal tanpa perubahan yang berarti dalam laju filtrasi glomerulus.
Pemberian antagonis endotelin spesifik segera berhubungan dengan
perbaikan fungsi ginjal pada pasien dengan HRS.
B. Vasokonstriktor
Hipoperfusi ginjal pada HRS pada sirosis dipikirkan berhubungan
dengan pengurangan pengisian sirkulasi arteri, vasokonstriksi telah
digunakan dalam usaha memperbaiki perfusi ginjal dengan menaikkan
resistensi vaskuler sistemik dan menekan aktifitas vasokonstriktor
sistemik. Pemberian vasokonstriktor segera (norepinefrin, angiotensin
II, ornipressin) pada pasien sirosis dengan asites dan HRS menyebabkan
vasokonstriksi arteri,yang mana meningkatkan tekanan arteri dan
resistensi vaskuler sistemik.
C. Peritoneovenus shunt
Pemasangan shunt menyebabkan aliran yang terus menerus cairan
asites dari rongga peritoneum ke sirkulasi sistemik yang berperan dalam
meningkatkan curah jantung (cardiac output) dan penambahan volume
intravaskuler. Efek hemodinamik dari peritoneovenous shunt
dihubungkan dengan penekanan yang nyata dari aktifitas system

Refarat Sindrom Hepatorenal 10


vasokonstriktor, peningkatan ekskresi natrium dan beberapa kasus
memperbaiki aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus.
D. Portosystemic shunt
Anastomosis shunt, baik side to side maupun end to side, belum
merupakan terapi standar dalam pelaksanaan HRS karena tingkat
morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dihubungkan dengan prosedur
operasi ini pada sebagian pasien dengan penyakit hati lanjut. Akhir-akhir
ini telah diperkenalkan suatu metode non bedah dari kompresi portal
yaitu Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS).
Keuntungan metode ini dibanding dengan operasi portocaval shunt
adalah penurunan mortalitas akibat operasi. Komplikasi yang paling
sering pada pasien yang mendapat pengobatan dengan TIPS adalah
hepatic encephalophaty dan obstruksi dari stent.12
E. Dialisa
Hemodialisa atau peritoneal dialisa telah dipergunakan pada
penatalaksanaan penderita dengan HRS, dan pada beberapa kasus
dilaporkan dapat meningkatkan fungsi ginjal. Walupun tidak terdapat
penelitian kontrol yang mengevaluasi efektifitas dari dialisa pada kasus
ini, tetapi pada laporan penelitian tanpa kontrol menunjukkan efektifitas
yang buruk, karena banyaknya pasien yang meninggal selama
pengobatan dan terdapat insiden efek samping yang cukup tinggi. Pada
beberapa pusat penelitian hemodialisa masih tetap digunakan untuk
pengobatan pasien dengan HRS yang sedang menunggu transplantasi
hati.
F. Transplantasi hati
Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk
penderita HRS, yang dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun
disfungsi ginjalnya. Tindakan transplantasi ini merupakan masalah
utama mengingat prognosis buruk dari HRS dan daftar tunggu yang
lama untuk tindakan tersebut di pusat transplantasi. Segera setelah
transplantasi hati, kegagalan fungsi ginjal dapat diamati selama 48 jam

Refarat Sindrom Hepatorenal 11


sampai 72 jam. Setelah itu laju filtrasi glomerulus mulai mengalami
perbaikan. Harapan hidup pada psien dengan HRS yang menjalani
transplantasi hati sekitar 3 tahun pada 60% pasien. Permasalahan utama
pada transplantasi hati pada HRS tipe 1 adalah pada pengaplikasiannya
karena kebanyakan pasien meninggal sebelum dilakukan transplantasi.12
VIII. PROGNOSIS
Dari seluruh komplikasi dari sirosis, HRS memiliki prognosis paling
jelek. Angka harapan hidupnya sangat rendah dan perbaikan spontan sangat
jarang terjadi. Yang paling menetukan dari harapan hidupnya adalah tipe
dari SHR sendiri. Pada tipe 1 angka harapan hidup adalah < 10 % dan
perkiraan waktu harapan hidup hanya 2 minggu, pada pasien dengan tipe 2
mempunyai waktu harapan hidup yang lebih lama sekitar 6 bulan,
selanjutnya yang menentukan angka harapan hidup juga derajat penyakit
hati. Pasien dengan gagal hati yang berat memiliki keluaran yang lebih
buruk daripada gagal hati moderat. Pasien yang memberi respon dengan
terapi vasokonstriktor mempunyai angka ketahanan hidup lebih tinggi
dibanding dengan tanpa vasokontriktor.4,5,7
IX. KESIMPULAN
Istilah sindrom hepatorenal dideskripsikan sebagai gagal ginjal terjadi
karena vasokonstriksi sirkulasi renal dan vasodilatasi arteriol sistemik hebat
yang menghasilkan penurunan sirkulasi vaskuler sistemik dan arterial
hypotension. faktor predisposisi yang sangat sering menyebabkan SHR ialah
infeksi bakteri, perdarahan gastrointestinal, parasintesis, obat-obatan.
Patofisiologi sindrom hepatorenal pada sirosis sampai sekarang masih
belum diketahui secara jelas. Dua teori utama yang berusaha menjelaskan
mekanisme tersebut adalah teori vasodilatasi arteri dan teori reflex
hepatorenal. Gagal hati atau gangguan hati berat dapat berkembang menjadi
2 bentuk HRS, dikenal dengan HRS tipe 1 dan tipe 2.
Menurut The International Ascites Club (1996), kriteria untuk
menegakkan diagnosis HRS terdiri dari 5 kriteria mayor dan 5 kriteria
tambahan. Beberapa penyakit yang dapat menyerupai HRS antara lain

Refarat Sindrom Hepatorenal 12


nekrosis tubular akut, gagal ginjal karena obat, glomerulopati dan azotemia
prerenal.
Dengan mengetahui beberapa faktor pencetus untuk timbulnya HRS
pada penderita sirosis dengan asites maka kita dapat mencegah timbulnya
gagal ginjal pada penderita ini. Dari seluruh komplikasi dari sirosis, SHR
memiliki prognosis paling jelek. Angka harapan hidupnya sangat rendah dan
perbaikan spontan sangat jarang terjadi.

X. ALGORITMA

Gagal ginjal
(kreatinin serum >
133µmol/l atau 1,5
mg/dl)
Obat-obat
Kehilangan cairan
nefrotoksik

Gagal ginjal Gagal ginjal


prerenal karena obat

Fraksi globulin Fraksi globulin


Na urin > 10 mEq/l Na urin < 10 mEq/l
normal meningkat

NTA

Glomerulopati
SHR

DAFTAR PUSTAKA

Refarat Sindrom Hepatorenal 13


1. Wadei HM, Mai ML, Ahsan N et al; Hepatorenal Syndrome:
Pathophysiology and Management; in Clin J Am Soc Nephrol 1: 1066–
1079, 2006; available in cjasn.ansjournals.org; accessed on May 29,2015.
2. Effendi I dan Ali Z; Sindrom Hepatorenal dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam; ed VI; Balai Penerbit : Departemen ILmu Penyakit Dalam FKUI;
Jakarta, 2014; 2176-83.
3. Wibawa IDN; Sindrom hepatorenal dalam Sulaiman A, Akbar N, Lesmana
LA, Noer S, (ed) Buku ajar ilmu penyakit hati, Divisi Hepatologi bagian
Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, Penerbit: Jayabadi; Ed.1; 2007; 389-98.
4. Sutadi SM; Sindroma hepatorenal; available in
www.prepository.usu.ac.id.pdf; accessed on May 29, 2015.
5. Nadim MN, Kellum JA, Davenport A, et al; Hepatorenal syndrome: the
8th international consensus conference of the Acute Dialysis Quality
Initiative (ADQI) Group; in Critical Care 2012, 16:R23; available in
http.ccforum.com; accessed on May 29,2015.
6. Davenport A, Ahmad J, Al-Khafaji A, et al; Medical management of
hepatorenal syndrome; in Nephrol Dial Transplant (2012) 27: 34–41;
available in http.ndt.oxfordjournals.org; accessed on May 27, 2015.
7. Lata J; Hepatorenal syndrome; in World J Gastroenterol 2012, 18(36):
4978-4984; available in http://www.wjgnet.com; accessed on May
29,2015.
8. Lynch G; Hepatorenal Syndrome; in Anaesthesia Tutorial of the Week 240
10th September 2011; available in http.www.frca.co.uk; accessed on May
29,2015.
9. Arroyo V, Fernandez J and Gine`s P; Pathogenesis and Treatment of
Hepatorenal Syndrome; in Seminars in Liver Disease/Volume 28, Number
1 2008; available in http.www.med.upenn.edu; accessed on May 29,2015.
10. Low G, Alexander GJM and Lomas DJ; Hepatorenal Syndrome:
Aetiology, Diagnosis, and Treatment; in Hindawi Publishing Corporation

Refarat Sindrom Hepatorenal 14


11. Gastroenterology Research and Practice, Volume 2015, Article ID
207012, 11 pages; available in httpwww.hindawi.com; accessed on May
29, 2015.
12. Pratama H; Sindrom Hepatorenal; in CDK-224/ vol. 42 no. 1, th. 2015;
available in www.kalbemed.com; accessed on May 29, 2015.

Refarat Sindrom Hepatorenal 15

Anda mungkin juga menyukai