Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Keadaan hemodinamik sangat mempengaruhi fungsi penghantaran oksigen dalam tubuh


dan melibatkan fungsi jantung. Pada kondisi gangguan hemodinamik, diperlukan pemantauan
dan penanganan yang tepat sesuai kondisi pasien. Oleh sebab itu, penilaian dan penanganan
hemodinamik merupakan bagian penting pada pasien, termasuk pasien di ruang rawat intensif
(intensive care unit/ICU).
Kardiotonika adalah obat-obat dengan khasiat memperkuat kontraktilitas otot jantung
(efek inotrop positif). Terutama digunakan pada gagal jantung (dekompensasi) untuk
memperbaiki fungsi pompanya. Obat inotropik positif bekerja dengan meningkatkan
kontraksi otot jantung (miokardium) dan digunakan untuk gagal jantung. Kontraktilitas
jantung yang terganggu dapat menurunkan cardiac output sehingga tidak dapat memberikan
perfusi maupun hantaran oksigen yang cukup ke jaringan. Keadaan tersebut terjadi karena
jantung bekerja terlalu berat atau karena suatu hal otot jantung menjadi lemah. Beban yang
berat dapat disebabkan oleh kebocoran katup jantung, kekakuan katup, atau kelainan sejak
lahir dimana sekat jantung tidak terbentuk dengan sempurna.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Jantung
Jantung merupakan salah satu organ vital yang memiliki dua fungsi utama, yaitu:

Pompa (pump function), termasuk miokardium, katup dan sistem konduksi.


Sirkulasi (circulatory function), sebagai sirkulasi umum bersama pembuluh darah.

Jantung terbagi menjadi 4 ruangan, yaitu: atrium kanan, atrium kiri, ventrikel kanan dan
ventrikel kiri, serta mempunyai 2 jenis katup, yaitu: katup atrioventrikularis kanan (tricuspid
valve) dan kiri (bicuspid valve/mitral valve), serta katup semilunaris (pulmonic valve dan
aortic valve). Untuk dapat berkontraksi dengan normal, jantung memerlukan sistem hantaran
listrik yang dapat mengontrol irama dan denyut jantung. Sistem hantaran jantung dapat
dilihat pada bagan berikut:

Sinoatrial node
(memacu atrium)
Atrioventricular node
Bundle of His
Serabut Purkinje
(menyebarkan impuls ke seluruh ventrikel)

Gambar 1. Sistem Hantaran Jantung

Gambar 2. Anatomi Jantung

Curah jantung atau Cardiac Output (CO) merupakan variabel hemodinamik yang
penting dan tersering dinilai pada pasien ICU. Hingga kini penilaian hemodinamik,
khususnya CO, masih dianggap penting dalam manajemen pasien-pasien ICU, bahkan
disarankan sudah perlu dinilai sejak pasien belum masuk ICU. CO dipengaruhi oleh denyut
jantung (Heart Rate/HR) dan volume sekuncup (Stroke Volume/SV).
CO = HR x SV
Keterangan:
Cardiac output (CO) adalah volume darah yang dipompa oleh tiap ventrikel per menit.
Heart rate (HR) adalah jumlah denyut jantung per menit.
Stroke volume (SV) adalah volume darah yang dipompa oleh jantung per denyut.
Stroke volume dipengaruhi oleh: preload, afterload dan kontraktilitas. Preload adalah
volume darah ventrikel pada akhir fase diastolik (end diastolic volume). Afterload adalah
tekanan dinding ventrikel kiri yang dibutuhkan untuk melawan tahanan terhadap ejeksi darah
dari ventrikel pada saat sistolik. Biasanya dianggap sebagai tahanan terhadap outflow dan
dinyatakan sebagai systemic vascular resistance (SVR). Kontraktilitas sangat tergantung pada
preload dan afterload.
Preload dapat dinilai dari Central Venous Pressure(CVP). CVP menunjukkan right
ventricular end diastolic pressure. CVP rendah menunjukkan volume intravaskuler rendah,
yang berkaitan dengan PAOP (Pulmonary Artery Occlusion Pressure) rendah dan preload
rendah.

Afterload dapat dinilai dari Systemic Vascular Resistance (SVR) atau Systemic
Vascular Resistance Index (SVRI) dan Pulmonary Vascular Resistance (PVR). SVR, SVRI
ataupun PVR yang rendah menandakan adanya afterload yang rendah. SVR dan SVRI dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:
SVR : Systemic Vascular Resistance
MAP : Mean Arterial Pressure
CVP : Central Venous Pressure
SVRI : Systemic Vascular Resistance Index
CI : Cardiac Index
CO : Cardiac Output
BSA : Body Surface Area
TB : Tinggi badan (cm)
BB : Berat badan (kg)
Pada kondisi terjadi gangguan hemodinamik dengan CO menurun, stroke volume
harus diperbaiki/dikoreksi secara berurutan: preload, kemudian afterload dan terakhir
kontraktilitas jantung.
Kerja jantung dipengaruhi oleh sifat:
Inotropic : mempengaruhi kontraktilitas miokardium
Chronotropic: mempengaruhi frekuensi denyut jantung
Dromotropic : mempengaruhi kecepatan hantaran impuls
Hemodinamik juga diatur oleh dua reseptor utama yaitu reseptor dopamin dan
reseptor adrenergik. Reseptor dopamin terutama terdapat pada ginjal, mesenterium, arteri
koroner dan cerebral vascular beds. Sedangkan reseptor adrenergik dalam tubuh dapat dibagi
menjadi:
a. Alfa 1 : terdapat pada otot polos pembuluh darah arteriol dan venula, menyebabkan
vasokontriksi arteriol dan venula.
4

b. Alfa 2 : terdapat pada saraf terminalis presinaptik, sebagai feed back inhibition of
cathecolamine release, sehingga menyebabkan vasodilatasi arteriol dan venula serta
depresi simpatis.
c. Beta 1: terdapat pada SA node, AV node dan miokardium. Menyebabkan peningkatan
kontraktilitas miokardium, denyut jantung, konduksi dan curah jantung.
d. Beta 2: terdapat pada otot polos pembuluh darah arteriol dan venula, otot polos bronkus
dan paru. Menyebabkan relaksasi arteriol dan venula (vasodilatasi) serta bronkodilatasi.
Obat-obat yang digunakan dalam penanganan hemodinamik dapat mempengaruhi halhal seperti kontraktilitas jantung, frekuensi denyut jantung, kecepatan hantaran impuls,
reseptor dopamine dan reseptor adrenergik.
II. 2. Pembagian Golongan Obat Inotropik
Obat inotropik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu : 1. Cathecolamine (Dopamine,
Dobutamine, Epinephrine dan Norepinephrine) dan 2. Non-cathecolamine, yaitu Digitalis,
Milrinone dan Calcium Chloride.
a. Obat Inotropik Golongan Cathecolamine
1) Dopamine
Dopamine sering digunakan untuk mengatasi curah jantung yang rendah. Pada dosis
kecil (1-2 g/kg/menit), Dopamine menstimulasi reseptor dopaminergik dan menyebabkan
vasodilatasi. Pada dosis sedang (3-10 g/kg/menit), Dopamine menstimulasi reseptor beta-1,
menyebabkan peningkatan kontraktilitas miokardium, frekuensi denyut jantung, dan
konduksi. Pada dosis besar (10-15 g/kg/menit), Dopamine menstimulasi reseptor alfa.
Stimulasi reseptor alfa-1 menyebabkan vasokonstriksi arteriol dan venule sehingga SVR
(tekanan darah sistemik) dan PVR (tekanan arteri paru) meningkat. Stimulasi reseptor alfa-2
menyebabkan vasodilatasi arteriol dan venule serta depresi simpatis sehingga terjadi
penurunan SVR, PVR, dan frekuensi denyut jantung.
Indikasi : penurunan curah jantung, penurunan tekanan darah (tekanan darah sistolik
<100 mmHg), peningkatan SVR. Dosis umum: 2-15 g/kg/menit.
2) Dobutamine
Dobutamine adalah drug of choice untuk mengatasi gagal jantung sistolik berat dan
merupakan obat kerja singkat yang efektif untuk mengatasi sindrom curah jantung rendah
pasca operasi. Dobutamine menstimulasi reseptor beta tanpa mempengaruhi reseptor alfa.
Stimulasi reseptor beta-1 menyebabkan peningkatan kontraktilitas miokardium dan frekuensi
denyut jantung. Stimulasi reseptor beta-2 menyebabkan vasodilatasi arteriol dan venula serta
dilatasi bronkus sehingga terjadi penurunan SVR dan PVR serta bronkodilatasi.
5

Dobutamine merupakan good first choice untuk mengatasi curah jantung yang rendah
derajat ringan hingga sedang pada dewasa, karena meningkatkan curah jantung tanpa
meningkatkan konsumsi oksigen, sehingga dapat membantu aliran darah miokardium.
Indikasi : penurunan curah jantung, penurunan tekanan darah, dan peningkatan SVR.
Kontraindikasi : gagal jantung karena disfungsi diastolik dan kardiomiopati hipertrofik.
Dosis : 2-20 g/kg/menit.
3) Epinephrine
Epinephrine tergolong vasokonstriktor yang sangat kuat dan cardiac stimulant. 4,5
Epinephrine merupakan catecholamine endogen yang dihasilkan oleh medulla adrenal dengan
aktivitas dan 1 yang poten, dan efek 2 yang sedang. Pada dosis yang rendah, efek
menunjukkan dominasi. Pada dosis yang lebih tinggi, efek menjadi lebih signifikan.
Epinephrine merupakan aktivator reseptor adrenergik yang paling kuat. 3,5 Pada hipotensi
yang akut seringkali epinephrine lebih disukai dibandingkan dengan norepinephrine karena
efek adrenergik yang lebih kuat berperan dalam mempertahakan maupun meningkatkan
cardiac output.1
Fungsi alamiah dari epinephrine bekerja pada (a) kontraktilitas jantung, (b) heart rate,
(c) tonus otot polos vaskular dan otot bronkus, (d) sekresi kelenjar, (e) proses metabolisme
seperti glikogenolisis dan lipolisis. Pemberian secara oral tidak efektif, karena epinephrine
dimetabolisme secara cepat pada mukosa gastrointestinal dan hepar. Absorpsi epinephrine
setelah pemberian secara subkutan kurang baik, karena epinephrine menyebabkan
vasokonstriksi pada tempat suntikan. Epinephrine juga kurang larut dalam lemak, sehingga
mencegah masuknya obat ke susunan saraf pusat dan minimnya pengaruh langsung pada
otak.3
Efek kardiovaskular yang ditimbulkan merupakan hasil dari stimulasi reseptor dan
reseptor adrenergik. Dosis kecil epinephrine (1-2 g/menit IV) bila diberikan pada pasien
dewasa akan menstimulasi reseptor 2 pada pembuluh perifer. Stimulasi reseptor 1 terjadi
pada dosis yang lebih besar (4 g/menit IV), pada dosis yang lebih besar (10-20 g/menit IV)
akan menstimulasi reseptor dan adrenergik dengan efek stimulasi yang lebih dominan
pada pembuluh darah, termasuk pembuluh darah perifer dan sirkulasi ginjal. Injeksi tunggal
epinephrine dengan dosis 0,2-0,8 g IV menyebabkan terjadinya stimulasi jantung yang
berlangsung selama 1-5 menit, umumnya tanpa peningkatan berlebihan pada tekanan darah
sistemik atau heart rate.3
Epinephrine menstimulasi reseptor 1 yang menyebabkan peningkatan tekanan
sistolik, heart rate, dan curah jantung. Terjadi sedikit penurunan tekanan diastolik, hal ini
6

mencerminkan adanya vasodilatasi pada vaskularisasi otot rangka sebagai akibat stimulasi
reseptor 2.4 Sebagai hasil akhir adalah peningkatan tekanan nadi dan perubahan minimal
pada tekanan arteri rerata. Karena perubahan tekanan arteri rerata minimal maka kecil
kemungkinan untuk terjadinya refleks bradikardi akibat aktivasi baroreseptor. Epinephrine
meningkatkan heart rate dengan meningkatkan laju depolarisasi fase 4, yang juga dapat
meningkatkan resiko terjadinya disritmia. Peningkatan curah jantung yang terjadi merupakan
akibat dari meningkatnya heart rate, kontraktilitas jantung, dan aliran darah balik.3
Epinephrine menstimulasi reseptor 1 secara dominan pada kulit, mukosa, vaskular
hepar dan ginjal menghasilkan vasokonstriksi kuat. Pada vaskular otot rangka, epinephrine
menstimulasi reseptor 2 secara dominan, menghasilkan vasodilatasi. Hasil akhirnya adalah
distribusi curah jantung ke otot rangka dan menurunkan tahanan vaskular sistemik. Aliran
darah ginjal akan menurun, walau tanpa perubahan pada tekanan darah sistemik. Sekresi
renin akan meningkat karena adanya stimulasi reseptor beta di ginjal. Pada dosis terapi,
epinephrine tidak memiliki efek vasokonstriksi yang signifikan pada arteri serebral. Aliran
darah koroner akan meningkat setelah pemberian epinephrine, walaupun pada dosis yang
tidak merubah tekanan darah sistemik.3
Otot polos bronkus akan mengalami relaksasi akibat stimulasi 2 epinephrine. Efek
bronkodilatasi ini akan menjadi bronkokonstriksi dengan adanya obat blokade adrenergik ,
yang menjelaskan stimulasi 1 oleh epinephrine. Dengan stimulasi 2 akan meningkatkan
konsentrasi seluler cAMP, menurunkan mediator vasoaktif yang sering dihubungkan dengan
terjadinya gejala asma bronkial.3
Epinephrine memiliki efek

yang

paling

signifikan

terhadap

metabolisme

dibandingkan catecholamin lainnya. Stimulasi reseptor 1 oleh epinephrine meningkatkan


glikogenolisis dan lipolisis, stimulasi reseptor 1 menghambat pelepasan insulin.
Glikogenolisis di hepar sebagai akibat dari aktivasi enzim phosphorylase hepar. Lipolisis
hepar sebagai akibat dari aktivasi enzim lipase, yang mempercepat pemecahan trigliserida
menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Infus epinephrine akan meningkatkan konsentrasi
kolesterol plasma, phospholipids, dan low density lipoproteins.3
Agonis selektif adrenergik 2 akibat infus epinephrine dosis rendah (0,05 g/kg/menit
intravena) diduga menyebabkan aktivasi pompa Na-K pada otot rangka, menyebabkan
perpindahan ion K ke sel. Observasi dengan cara mengukur kadar Kalium darah sesaat
sebelum dimulainya induksi anestesia dibandingkan dengan kadar kalium 1-3 hari
sebelumnya didapatkan kadar yang lebih rendah pada kadar serum kalium sesaat sebelum
induksi anestesia, hal ini menjelaskan adanya pelepasan epinephrine akibat stress. Untuk
memaksimalkan keputusan klinis berdasarkan pengukuran kadar serum kalium, sebaiknya
7

dipertimbangkan terjadinya hipokalemia akibat dari kecemasan preoperatif dan pelepasan


epinephrine.3
Hipokalemia akibat epinephrine dapat menyebabkan terjadinya disritmia yang sering
menyertai stimulasi sistem saraf simpatis. Diantara seluruh kelenjar endokrin, hanya kelenjar
keringat yang berespon secara signifikan terhadap epinephrine, menghasilkan sekresi yang
kental dan banyak. 3
Epinephrine menyebabkan kontraksi otot radilalis iris, menyebabkan midriasis.
Kontraksi dari otot orbita menghasilkan penampilan eksopthalmus seperti pada pasien dengan
hipertiroidisme. Hal tersebut kemungkinan sebagai akibat aktivasi reseptor adrenergik. 3
Akibat efek epinephrine terjadi relaksasi otot polos saluran gastrointestinal. Aktivasi
reseptor beta adrenergik menyebabkan relaksasi otot detrusor kandung kencing, sedangkan
aktivasi reseptor alpa adrenergik menyebabkan kontraksi otot trigonum dan otot sfingter
kandung kencing. 3
Koagulasi darah akan dipercepat oleh efek epinephrine, kemungkinan akibat dari
peningkatan aktivitas faktor V. Keadaan hiperkoagulasi saat intraoperatif dan postoperatif
kemungkinan karena pelepasan epinephrine akibat stress. Epinephrine meningkatkan jumlah
total leukosit namun pada saat bersamaan terjadi eosinopenia. 3
Pada keadaan gawat-darurat (syok dan reaksi alergi), epinephrine diberikan secara
bolus intravena 0,05-1 mg tergantung dari keparahan pada kardiovaskular. Untuk
meningkatkan kontraktilitas jantung dan heart rate, diberikan dalam infus (1 mg dalam 250
ml Dekstrosa 5 %) [D5W ; 4 g/mL]. Dengan tetesan 2-20 g/menit. Beberapa larutan
anestetik lokal mengandung epinephrine dengan konsentrasi 1 : 200.000 (5 g/mL) atau 1 :
400.000 (2,5 g/mL) sehingga mengurangi absorpsi sistemik dan memperpanjang durasi
kerja anestetik lokal. Epinephrine tersedia dalam bentuk ampul dengan konsentrasi 1 : 1000
(1 mg/mL) dan pada prefilled syringes dengan konsentrasi 1 : 10.000 (0,1 mg/mL) [100
g/mL]. Untuk penggunaan pediatri tersedia konsentrasi 1 : 100.000 (100 g/mL). 3
Pada dosis kecil (<0,02 g/kg/menit), Epinephrine menstimulasi reseptor beta-1 pada
jantung dan beta-2 pada otot polos pembuluh darah otot rangka (vasodilatasi). Indeks jantung
dan frekuensi denyut jantung meningkat, tetapi resistensi sistemik sering menurun. Pada
dosis kecil, darah dapat didorong jauh dari ginjal dan mesenterium. Pada dosis besar,
Epinephrine menstimulasi reseptor beta-1 dan alfa. Stimulasi resptor beta-1 menyebabkan
peningkatan kontraktilitas miokardium, frekuensi denyut jantung, indeks jantung, dan
konsumsi oksigen miokardium. Stimulasi reseptor alfa menyebabkan vasokonstriksi arteriol
dan venula sehingga meningkatkan SVR dan PVR.
Indikasi: penurunan curah jantung, penurunan tekanan darah, dan penurunan SVR.

Dosis umum: 0,01-0,20 g/kg/menit. Untuk mengatasi bronkospasme pada dewasa: 0,25-0,50
g/menit.
4) Norepinephrine
Norepinephrine merupakan amine endogen dihasilkan oleh medulla adrenal dan end
terminal of post ganglionic nerve fibers. Norepinephrine menunjukkan dominasi aktivitas
adrenergik.1,3,5 Norepinephrine merupakan agonis yang poten, menimbulkan vasokonstriksi
hebat pada arterial dan vena.3 Akibatnya, terjadi peningkatan tahanan perifer dan tekanan
darah sistolik dan diastolik.4 Namun tidak seperti epinephrine, norepinephrine memiliki efek
agonis reseptor 2 yang kecil.3
Aktivitas adrenergik yang lemah dapat membantu mempertahankan cardiac output.
Rentang dosis intravena antara 0,05-2 g/kg/menit. Reflek kompensasi vagal cenderung
dapat mengatasi efek langsung kronotropik positif norepinephrine dan efek inotropik positif
jantung tetap dipertahankan.4
Pemberian Infus kontinyu 4-16 g/menit, digunakan untuk mengatasi hipotensi
refrakter. Campuran norepinephrine dengan larutan glukosa 5% memberikan derajat
keasaman yang cukup untuk mencegah oksidasi cathecolamine. Ekstravasasi yang terjadi
selama pemberian infus menyebabkan vasokonstriksi lokal dan bahkan nekrosis.3
Pemberian norepinephrine intravena menyebabkan vasokonstriksi hebat pada
vaskularisasi skeletal muscle, hepar, kidney, dan kulit.3 Meskipun terjadi vasokonstriksi yang
berlebihan pada penggunaan norepinephrine disertai dengan efek negatif pada aliran darah
khususnya sirkulasi hepatosplanchnic dan renal, namun beberapa penelitian menunjukkan
bahwa norepinephrine mampu meningkatkan tekanan darah tanpa menimbulkan penurunan
fungsi organ khususnya bila terjadi penurunan tonus vaskuler seperti pada syok septik. 1
Vasokonstriksi perifer dapat menurunkan aliran darah jaringan sehingga terjadi asidosis
metabolik.3 Peningkatan afterload akibat vasokonstriksi akibat norepinephrine dapat
menambah beban jantung dan menyebabkan terjadinya gagal jantung, iskemi miokard, dan
oedem pulmonal.1
Terjadi peningkatan tahanan vaskular sistemik yang menurunkan venous return ke
jantung dan peningkatan tekanan darah sistolik, diastolik, dan mean arterial pressure.
Kombinasi antara turunnya venous return ke jantung dan reflek baroreseptor menurunnya
heart rate berkaitan dengan peningkatan mean arterial pressure cenderung menurunkan
cardiac output meskipun terdapat efek 1 dari norepinephrine.3
Norepinephrine menstimulasi reseptor beta 1 dan alfa. Stimulasi reseptor beta-1
menyebabkan peningkatan kontraktilitas miokardium dan frekuensi denyut jantung. Stimulasi
reseptor alfa menyebabkan vasokonstriksi arteriol dan venula sehingga meningkatakan AVR,
9

PVR, dan aliran darah jantung (karena coronary vascular beds mempunyai sedikit reseptor
alfa).
Indikasi : penurunan curah jantung yang berat, penurunan tekanan darah, dan penurunan
SVR. Dosis umum : 0,01-0,10 g/kh\g/menit. Dosis awal: 0,05 g/kg/menit.
b. Obat Inotropik Golongan Non-Cathecolamine
1) Digitalis
Digitalis bekerja memperlambat SA node dan menghambat AV node serta mempunyai
efek inotropik ringan dan vasodilatasi perifer. Digitalis sering digunakan untuk mengatasi
gagal jantung kongestif dan aritmia atrium (fibrilasi atrium/atrial flutter). Banyak digunakan
pada bayi, sebagai early treating low output state. Digitalis berinteraksi dengan amiodarone,
verapamil, quinidine, calcium chloride, diuretic, ibuprofen, dan succinyl-choline.
Dosis umum: 0,5 mg; kemudian 0,25 mg i.v setiap 4-6 jam.
2) Milrinone
Milrinone merupakan obat inotropik dan vasodilator yang efektif dengan menghambat
phosphodiesterase intraseluler. Milrinone menyebabkan peningkatan kontraksi miokardium
dan vasodilatasi arteriol dan venula sehingga terjadi penurunan SVR dan PVR.
Indikasi: penurunan curah jantung, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan SVR. Dosis:
0,375-0,75 g/kg/menit.
3) Calcium Chloride
Efek Calcium Chloride meningkatkan kontraktilitas miokardium dan resistensi vaskuler
perifer. Calcium Chloride lebih efektif pada anak dan pasien muda.
Indikasi: kelainan EKG yang nyata, hipokalsemia. Dosis: 0,2 mL/kg.
BAB III
KESIMPULAN

Jantung merupakan salah satu organ vital yang memiliki dua fungsi utama, yaitu: 1)
Pompa (pump function), termasuk miokardium, katup dan sistem konduksi, 2) sirkulasi
(circulatory function), sebagai sirkulasi umum bersama pembuluh darah.
Stroke volume dipengaruhi oleh: preload, afterload dan kontraktilitas. Preload adalah
volume darah ventrikel pada akhir fase diastolik (end diastolic volume). Afterload adalah

10

tekanan dinding ventrikel kiri yang dibutuhkan untuk melawan tahanan terhadap ejeksi darah
dari ventrikel pada saat sistolik.
Pada kondisi terjadi gangguan hemodinamik dengan CO menurun, stroke volume harus
diperbaiki/dikoreksi secara berurutan: preload, kemudian afterload dan terakhir kontraktilitas
jantung.
Kerja jantung dipengaruhi oleh sifat: 1) Inotropic : mempengaruhi kontraktilitas
miokardium, 2) Chronotropic: mempengaruhi frekuensi denyut jantung, 3) Dromotropic :
mempengaruhi kecepatan hantaran impuls.
Obat-obat yang digunakan dalam penanganan hemodinamik dapat mempengaruhi hal-hal
seperti kontraktilitas jantung, frekuensi denyut jantung, kecepatan hantaran impuls, reseptor
dopamine dan reseptor adrenergik.
Obat inotropik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu : 1. Cathecolamine (Dopamine,
Dobutamine, Epinephrine dan Norepinephrine) dan 2. Non-cathecolamine, yaitu Digitalis,
Milrinone dan Calcium Chloride.

DAFTAR PUSTAKA

1. University of Virginia, School of Medicine. Basic cardiovascular physiology.


Available

from:

http://www.healthsystem.virginia.edu/internet.anesthesiology

elective/cardiac/ basicphys.cfm
2. Basic hemodynamic monitoring. Fundamental Critical Care Support. 3rd ed. Society
of Critical Care Medicine;2007.

11

3. Oxygen

Delivery.

Learn

hemodynamics.

Available

from:

http://www.learnhemodynamics.com/hemo.oxygen.htm
4. Vicki R. Hemodynamic pharmacology of intravenous vassopressors. Critical Care
Nurse. Available from: http://ccn.aacnjournal.org/content/23/4/79.full
5. Gonzales ER, Kannewurf BS, Hess ML. Inotropic therapy and the critical ill patient.
In: Ayres SM, Greenvik A, Holbrook PR, Shoemaker WC, eds. Textbook of Critical
Care. 4th ed. Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo:WB Saunders
Co;2000:1123-29.
6. Ery Leksana. Pengelolaan Hemodinamik. Semarang: Bagian Anestesi dan Terapi
Intensip RSUP dr. Kariadi, 2011.

12

Anda mungkin juga menyukai