Anda di halaman 1dari 35

DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2021


UNIVERSITAS HASANUDDIN

ASPEK LABORATORIUM INFARK MIOKARD AKUT

DISUSUN OLEH:

Andi Nurramadhani Alda Manika C014202104


Asriana Ramdani C014202111
Sisca C014202103

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Linda Mayliana KN

DOSEN PEMBIMBING:
Dr. dr. Tenri Esa, M.Si, Sp.PK(K)

DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021

i
HALAMAN PENGESAHAN

JUDUL REFARAT: ASPEK LABORATORIUM INFARK MIOKARD AKUT


Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa:
1. Nama : Andi Nurramadhani Alda Manika
NIM : C014202104
2. Nama : Asriana Ramdani
NIM : C014202111
3. Nama : Sisca
NIM : C014202103

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen


Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, November 2021

Supervisor Pembimbing, Residen Pembimbing,

Dr. dr. Tenri Esa, M.Si, Sp.PK(K) dr. Linda Mayliana KN

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii


DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ......................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 2
2.1 Definisi .............................................................................................. 2
2.2 Epidemiologi ..................................................................................... 2
2.3 Etiologi .............................................................................................. 3
2.4 Faktor Risiko ..................................................................................... 3
2.5 Klasifikasi ......................................................................................... 6
2.6 Patofisiologi ...................................................................................... 7
2.7 Manifestasi Klinis ............................................................................. 9
2.8 Diagnosis ......................................................................................... 10
2.9 Pemeriksaan Laboratorium ............................................................. 13
2.10 Tatalaksana.................................................................................... 18
2.11 Prognosis ....................................................................................... 23
BAB III KESIMPULAN .............................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 25

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Patofisiologi Infark Miokard Akut .............................................. 8


Gambar 2. Algoritma evaluasi dan tatalaksana SKA ................................... 12
Gambar 3. Alat Point of Care Testing HsTrop I ......................................... 14
Gambar 4. Grafik timbulnya penanda kerusakan jantung............................ 20
Gambar 5. Algoritma Infark Miokard Akut ................................................. 20

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tingkat Peluang SKA Segmen ST Non Elevasi ........................... 12


Tabel 2. Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA............................ 19
Tabel 3. Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA ......................................... 20
Tabel 4. Jenis dan dosis Calcium channel blockers untuk terapi IMA ........ 20
Tabel 5. Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk terapi IMA ........................... 22

iv
BAB I
PENDAHULUAN
Infark Miokard Akut (IMA) adalah salah satu penyakit kardiovaskuler
yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.1 Infark miokard akut (IMA)
atau yang lebih dikenal serangan jantung adalah keadaan dimana aliran darah ke
jantung mengalami gangguan sehingga menyebabkan sel otot jantung mati.2
Data World Health Organization pada tahun 2017, penyakit
kardiovaskular menyebabkan kematian sebanyak 17,9 juta orang setiap tahunnya,
angka ini adalah 31% dari seluruh kematian di dunia. Penyakit jantung merupakan
penyebab utama kematian di Amerika Serikat. Berdasarkan laporan dinkesjateng
2016 angka kejadian IMA di kabupaten magelang sebanyak 224 kejadian dalam
setahun. Data kejadian IMA di RSUD Tidar magelang dalam periode Januari –
Mei 2017 didapatkan sebanyak 105 pasien yang menjalani perawatan di ruang
ICU/ICCU dengan diagnosa Infark Miokard dengan gambaran EKG ST-Elevation
Myocardial Infarction (STEMI) maupun Non ST-Elevation Myocardial Infarction
(NSTEMI).3
Penyakit jantung seperti infark miokard akut (IMA) mempunyai pengaruh
yang cukup besar bagi penderita dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Penderita
penyakit jantung yang telah melewati fase akut dan sedang menjalani rawaat jalan
atau rawat inap harus melakukan perbaikan dalam hal diet, kebiasaan merokok,
pembatasan aktivitas, dan juga pengendalian stress dan kecemasan. Perbaikan
pada pasien jantung adalah perubahan dalam hal-hal yang dapat menjadi sumber
stress dan dapat menimbulkan kondisi penderita penyakit jantung menjadi lebih
buruk, aspek yang harus di perhatikan pada pasien penyakit jantung antara lain
aspek biologi, psikologi, sosial dan spiritual penderita. 4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Infark miokard akut (IMA) adalah suatu keadaan dimana suplai darah
pada suatu bagian jantung terhenti sehingga sel otot jantung mengalami
kematian. Infark miokard akut (IMA) terdiri atas ST-segment Elevation
Myocardial Infarct (STEMI) dan Non ST-segment Elevation Myocardial
Infarct (NSTEMI) yang merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner
akut (SKA). Infark mioard akut tipe STEMI sering menyebabkan kematian
mendadak, sehingga merupakan suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan
tindakan medis secepatnya.5
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran
darah coroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi
secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. 5
Non ST elevation myocardial infraction (NSTEMI) dapat disebabkan
oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen
miocard yang diperberat oleh obstruksi coroner. Penyebab lain infark tanpa
aterosklerosis pembuluh koronaria antara lain emboli arteri koronaria,
anomaly arteri koronaria kongenital, spasme koronaria terisolasi, arteritis
trauma, gangguan hematologik, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik 5

2.2 Epidemiologi
Epidemiologi infark miokard akut (IMA) secara global menunjukkan
insidensi STEMI menurun, sedangkan insidensi NSTEMI meningkat. Sekitar
3 juta orang menderita STEMI, dan sekitar 4 juta orang menderita NSTEMI
secara global. Setiap tahun, di Amerika Serikat terjadi IMA sekitar 650.000
kasus, sedangkan di Inggris sekitar 180.000 kasus. Di India, epidemiologi
IMA lebih tinggi akibat faktor genetik dan gaya hidup yaitu mencapai
64,37/1.000 orang.6-8

2
Belum ada data epidemiologi khusus IMA di Indonesia. Pada laporan
riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi penyakit jantung secara
umum di Indonesia berada pada angka 1,5%, termasuk IMA dan sindrom
koroner akut. Prevalensi penyakit jantung terbesar berada di provinsi
Kalimantan Utara sebesar 2,2%, Yogyakarta 2,0%, dan Gorontalo 2,0%.9

2.3 Etiologi
Infark miokard akut (IMA) disebabkan oleh pasokan oksigen ke
miokardium berkurang akibat oklusi di pembuluh koroner. Oklusi atau
sumbatan paling banyak disebabkan oleh trombus dari atherothrombosis,
yaitu plak arteroslerotik yang mengalami ruptur dan proses trombosis.
Etiologi oklusi lainnya dapat berupa emboli, diseksi, maupun vasospasme
arteri koroner, serta kelainan supply-demand oksigen akibat anemia,
takiaritmia, atau penggunaan kokain.6

2.4 Faktor Resiko


2.4.1 Faktor Resiko yang Dapat Dimodifikasi10
1. Hipertensi
Hipertensi dapat berpengaruh terhadap jantung melalui
meningkatkan beban jantung sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel
kiri dan mempercepat timbulnya aterosklerosis karena tekanan darah
yang tinggi sehingga menimbulkan trauma langsung terhadap dinding
pembuluh darah arteri coronaria.
2. Kolesterol
Kolesterol, lemak dan substansi lainnya dapat menyebabkan
penebalan dinding pembuluh darah arteri sehingga lumen dari pembuluh
darah tersebut menyempit (aterosklerosis). Penyempitan pembuluh darah
ini akan menyebabkan aliran darah menjadi lambat bahkan dapattersumbat
sehingga aliran darah pada pembuluh darah koroner yang fungsinya
memberikan oksigen ke jantung menjadi berkurang. Kurangnya oksigen
akan menyebabkan otot jantung menjadi lemah, nyeri dada, serangan
jantung bahkan kematian mendadak.

3
3. Merokok
Efek rokok adalah menambah beban miokard karena rangsangan
oleh katekolamin dan menurunnya konsumsi oksigen akibat inhalasi
karbonmonoksida atau dengan kata lain dapat menyebabkan takikardi,
vasokonstriksi pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merubah 5-10% Hb menjadi karboksi-Hb sehingga
meningkatkan risiko terkena sindrom koroner akut.
Menurut World Heart Federation tembakau yang dikandung dalam
rokok dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen yang dialirkan oleh
darah dan menyebabkan darah cenderung mudah menggumpal.
Gumpalan darah yang terbentuk di arteri ini dapat menyebabkan penyakit
jantung koroner dan juga stroke serta kematian mendadak.
4. Obesitas
Obesitas dapat meningkatkan tekanan darah, kadar trigliserida,
kolesterol, resistensi glukosa, serta penggumpalan darah. Peningkatan
tekanan darah membuat pembuluh darah rentan untuk mengalami
penebalan dan penyempitan. Hal tersebut jika terjadi pada arteri koroner
akan menimbulkan penyakit jantung koroner.
5. Diabetes melitus
Orang dengan diabetes cenderung lebih cepat mengalami degenerasi
jaringan dan disfungsi dari endotel sehingga timbul proses penebalan
membran basalis dari kapiler dan pembuluh darah arteri koronaria
sehingga terjadi penyempitan aliran darah ke jantung. Dengan adanya
resistensi glukosa, maka glukosa dalam darah akan meningkat dan hal ini
akan meningkatkan kekentalan darah. Kecenderungan untuk terjadinya
aterosklerosis pun meningkat dan dapat mengakibatkan terjadinya
penyakit jantung koroner.
6. Aktivitas fisik kurang
Aktivitias fisik yang kurang merupakan salah satu faktor risiko
penyakit jantung koroner. Pasalnya, aktivitas fisik yang kurang identik
dengan obesitas. Hal ini menyebabkan otot jantung tidak bisa bergerak
dengan baik sehingga risiko penyakit jantung koroner pun semakin

4
meningkat.
7. Stres
Keadaan stres yang cukup tinggi dapat menyebabkan meningkatnya
kadar hormon epinefrin yang merangsang naiknya tekanan darah dan
denyut jantung. Keadaan ini akan mempermudah kerusakan dinding
pembuluh darah. Sehingga kerja jantung menjadi berat dan memicu
timbulnya serangan jantung.
2.4.2 Faktor Resiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi10
1. Usia > 40 tahun
Usia merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner dimana
penambahan usia akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung
koroner. Semakin tua usia maka semakin besar timbulnya plak yang
menempel di dinding dan menyebabkan gangguan aliran darah yang
melewatinya.
Faktor usia juga berhubungan dengan kadar kolesterol yaitu kadar
kolesterol total akan meningkat dengan bertambahnya umur. Kandungan
lemak berlebihan dalam darah pada hiperkolesterolemia dapat
menyebabkan penimbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah
sehingga pembuluh darah akan menyempit dan akibatnya tekanan darah
akan meningkat dan terjadilah penyakit jantung koroner.
2. Jenis kelamin
American Heart Association (AHA) mengatakan lebih dari 1/3
perempuan dewasa menderita salah satu bentuk penyakit kardiovaskuler
terutama penyakit jantung koroner dan jumlah kematian pada perempuan
melebihi laki-laki. Tahun 2012, sekitar 56% penyebab kematian
perempuan adalah penyakit kardiovaskuler dan terbanyak adalah
penyakit jantung koroner.
Mayoritas penderita ACS yaitu laki-laki sebanyak 38 orang. Hal ini
sesuai dengan pernyataan WHO yang menyatakan bahwa pasien yang
terdiagnosis sindrom koroner akut mayoritas terjadi pada laki-laki.
Penelitian lain dari Indrawati et al., juga menyebutkan bahwa penderita
ACS terbanyak pada laki-laki dengan jumlah 44 orang atau 77% dari 71

5
responden.
3. Riwayat penyakit keluarga
Berbagai survey epidemiologis telah memperlihatkan adanya
predisposisi familial terhadap penyakit jantung. Hal ini sebagian besar
dapat disebabkan karena banyak faktor risiko, misalnya seperti
hipertensi. Riwayat anggota keluarga yang sedarah yang dapat
mengalami penyakit jantung koroner (PJK) sebelum usia 70 tahun
merupakan faktor risiko independent untuk terjadi PJK. Agregasi PJK
keluarga menandakan terdapatnya predisposisi genetik pada keadaan ini.
2.5 Klasifikasi
Infark miokard akut diklasifikasikan berdasarkan presentasi
elektrokargiografi pasien yang dibagi menjadi 2 tipe diantaranya STEMI dan
NSTEMI.11
 ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI)
ST-Segment Elevation Myocardial Infarction adalah keadaan darurat yang
mengancam jiwa yang diakibatkan oleh oklusi trombotik lengkap dari
arteri yang berhubungan dengan infark. Pada STEMI, gambaran EKG
menunjukkan elevasi segmen ST 2 mm dan gelombang T yang menonjol.
Pasien ini umumnya datang dengan nyeri dada yang parah dan area risiko
miokard yang besar. Risiko kematian pada pasien STEMI memiliki jangka
yang cukup pendek dengan presentase sekitar 5-30% dari seluruh pasien
dengan STEMI dan sisanya 70% memiliki risiko kematian >5%. 11
 Non ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)
Non ST-Segment Elevation Myocardial Infarction adalah oklusi parsial
dari arteri koroner akibat trombus dari plak atherosclerosis. Pada
NSTEMI, gambaran EKG menunjukkan depresi segmen ST dan inversi
gelombang T. Pasien dengan NSTEMI umumnya datang dengan kondisi
yang lebih heterogen (yaitu berkurangnya aliran darah arteri koroner tanpa
oklusi koroner lengkap, spasme arteri koroner, emboli koroner,
miokarditis, dll.) tetapi memiliki risiko kematian jangka panjang yang
lebih tinggi karena prevalensi komorbiditas dan multipel. Pasien yang
menunjukkan tanda-tanda NSTEMI wajib melakukan tes troponin jantung

6
yang dikombinaskan dengan EKG. Tes troponin jantung perlu dilakukan
untuk membedakan antara NSTEMI dengan Unstable Angina. 11,12

Berdasarkan patofisiologi terjadinya, IMA diklasifikasikan sebagai berikut 6,13:


 Tipe 1 atau IMA akibat atherothrombosis koroner akut: terjadi akibat
ruptur atau erosi plak yang menimbulkan trombus.
 Tipe 2 atau IMA akibat kelainan supply-demand: terjadi bukan karena
atherothrombosis koroner akut, melainkan akibat stresor akut lain seperti
anemia karena perdarahan akut atau takiaritmia berkelanjutan.
 Tipe 3 atau IMA yang menyebabkan kematian mendadak tanpa konfirmasi
biomarker atau EKG: di mana terjadi kematian pasien dengan kecurigaan
kuat akibat IMA, tetapi belum dilakukan pemeriksaan enzim jantung
maupun EKG.
 Tipe 4a atau IMA terkait percutaneous coronary intervention(PCI): yaitu
infark miokard yang berhubungan dengan tindakan PCI, dengan disertai
peningkatan troponin jantung >20% dari nilai dasar, atau >5 kali dari nilai
persentil 99 upper reference limit.
 Tipe 4b atau IMA akibat terjadinya trombosis pada stentkoroner: yaitu
infark miokard berhubungan dengan PCI, khususnya trombosis
pada stent, yang dikonfirmasi melalui angiografi maupun autopsi. Waktu
trombosis ditemukan berkaitan dengan waktu pemasangan.
 Tipe 4c atau IMA akibat restenosis terkait PCI: yaitu penyebab infark
miokard berdasarkan angiografi hanya ditemukan pada daerah
restenosis in-stent atau restenosis setelah balloon angioplasty.
 Tipe 5 atau IMA terkait coronary-artery bypass grafting (CABG): yaitu
infark miokard yang terjadi setelah tindakan CABG, ditandai dengan
peningkatan troponin jantung >10 kali dari nilai persentil 99.

2.6 Patofisiologi
Infark miokard akut terjadi ketika iskemia yang berlangsung cukup
lama, yaitu lebih dari 30-45 menit sehingga menyebabkan kerusakan seluler
yang ireversibel. Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya
aterosklerosis yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah.

7
Gambar 1. Patofisiologi Infark Miokard Akut14
Penyakit aterosklerosis ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque
di dalam dinding arteri. Plak yang rawan pecah biasanya kecil dan non
obstruktif, dengan inti yang kaya lipid dan di tutupi oleh tutup fibrosa tipis.
Plak ini berisi makrofag yang berlimpah dan limfosit T yang diduga
melepaskan matriks metalloproteases, sitokin, kolagen dan 19 protase yang
dapat melemahkan tutup fibrosa, yang mengakibatkan penipisan tutup fibrosa
karena tegangan geser yang diberikan oleh aliran darah. 14
Endothelium yang sering rusak terjadi di sekitar area penyakit arteri
koroner. Defisit yang dihasilkan dari faktor antitrombotik seperti
thrombomodulin 20 dan prostasiklin meningkatkan pembentukan trombus.
Selain itu, ada produksi dan pelepasan beberapa faktor turunan platelet yaitu
tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang kuat) yang dapat menyebabkan
vasokonstriksi meningkat tanpa adanya faktor relaksasi dari endotel. Hal ini
dapat mendukung pengembangan vasospasme lokal yang memperburuk
oklusi coroner. 14

8
Iskemia menyebabkan hilangnya kontraktilitas dengan cepat di dalam
miokardium yang terkena, keadaan ini disebut hypokinesis. Nekrosis mulai
berkembang di subendokardium sekitar 15-30 menit setelah oklusi koroner.
Seiring durasi oklusi meningkat 3-6 jam berikutnya, daerah kematian sel
miokard juga membesar dan memanjang dari endokardium ke miokardium
dan akhirnya ke epikardium. Daerah kematian sel miokard kemudian
menyebar ke seluruh dinding ventrikel. Di beberapa daerah (umumnya di tepi
infark) miokardium mengalami kekakuan (kerusakan reversibel) tapi
akhirnya akan pulih jika aliran darah dipulihkan dan menyebabkan
kontraktilitas meningkat di sisa miokardium, yang disebut hyperkinesis.
Kerusakan sel dapat mengalami kemajuan dan semakin ireversibel selama
sekitar 12 jam. 14
Infark miokardium mulai mengalami nekrosis koagulasi ke seluruh
jaringan miokard yang disebut dengan transmural antara 4 dan 12 jam setelah
kematian sel dimulai, prosesnya ditandai dengan adanya pembengkakan sel,
kerusakan organel dan denaturasi protein. Setelah sekitar 18 jam, neutrofil
(limfosit fagosit) masuk ke dalam infark. Jumlah mereka mencapai puncak
setelah sekitar 5 hari, dan kemudian menurun. Setelah 3-4 hari, jaringan
granulasi tampak di daerah tepi infark yang terdiri dari makrofag, fibroblas,
yang menyusun jaringan parut, dan kapiler baru. Ketika jaringan granulasi
bermigrasi menuju pusat infark selama beberapa minggu, jaringan nekrotik
ditelan dan dicerna oleh makrofag. Jaringan granulasi kemudian semakin
matang, dengan peningkatan jaringan parut dan hilangnya kapiler. Setelah 2-3
bulan, regio meninggalkan area non-kontraksi dari dinding ventrikel yang
menipis, mengeras dan berwarna abuabu pucat.14

2.7 Manifestasi Klinis


Anamnesis sangat penting dalam diagnosis infark miokard akut
(IMA), dan akan sangat menentukan penatalaksanaan IMA selanjutnya.
Pasien datang dengan keluhan utama nyeri dada khas atau angina
pektoris tipikal, dapat terasa seperti ditekan, ditindih benda berat, ditusuk,
diperas, dipelintir, atau terbakar.8,16

9
Nyeri dirasakan pada lokasi substernal, retrosternal, prekordial, dan
dapat menjalar ke lengan kiri, leher, rahang bawah, gigi, punggung, perut,
hingga lengan kanan. Nyeri akan membaik bila pasien istirahat atau
mengonsumsi nitrat. Nyeri dicetuskan oleh latihan fisik, stres, emosi, udara
dingin, maupun setelah makan. 8,16
Gejala lain dapat menyertai nyeri dada, seperti mual, muntah, sesak
nafas, keringat dingin, cemas, hingga merasa lemas, Pada beberapa kasus,
pasien IMA tidak mengeluhkan adanya nyeri dada. Pasien lansia dan/atau
komorbid diabetes mellitus dapat menderita IMA tanpa disertai nyeri dada.
8,16

Tanda dan gejala yang ditemui pada pasien dengan infark miokard,
yaitu17:
a. Nyeri dada biasanya intens dan berlangsung terus-menerus selama 30-60
menit. Nyeri terasa pada bagian retrosternal dan sering kali menjalar ke
leher, bahu, rahang, dan lengan kiri. Nyeri dada dirasakan seperti tertekan,
terbakar, atau bahkan tajam
b. Gejala pada epigastrium, misalnya rasa mual dan kembung, serta muntah
c. Sesak nafas dan batuk
d. Keringat yang berlebihan
e. Gelisah

2.8 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis pasien yang mengalami infark miokard
akut, maka perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
elektrokardiogram serta pemeriksaan marker jantung. 5
2.8.1 Anamanesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan terkait keluhan utama. Pada IMA
didapatkan keluhan utama berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal)
atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal dapat berupa rasa
tertekan/berat pada daerah retrosternal, substernal hingga menjalar ke
lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium.
Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten
(>20 menit). Keluhan angina tipikal sering juga disertai dengan keluhan

10
penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas,
dan kehilangan kesadaran. 5
Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda
(25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal
ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat
muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen
jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat
PJK. 5
Keluhan nyeri pada pasien IMA dapat muncul saat beraktivitas
terutama saat melakukan aktivitas berat dan dapat muncul saat beristerahat
dengan intensitas waktu sekitar 10-30 menit. Riwayat penyakit seperti
diabetes mellitus, hipertensi, asam urat dan kolesterol perlu ditanyakan
karena hal tersebut merupakan faktor pencetus terjadinya aterosklerosis
yang merupakan tanda awal terjadinya infark miokard. 5
2.8.2 Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus
iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan
diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3),
ronkhi basah halus, dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk
mengidentifikasi komplikasi iskemia. 5
Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi,
diaforesis, ronkhi basah halus, atau edema paru meningkatkan kecurigaan
terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi
tidak seimbang, dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta,
pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang
perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA. 5
2.8.3 Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan
sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sadapan V3R dan
V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan
EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sadapan V7-V9 juga

11
harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal non-
diagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya
diulang setiap keluhan angina timbul kembali. 5
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina
cukup bervariasi, yaitu: normal, non-diagnostik, left bundle branch block
(LBBB) baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (220
menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa
inversi gelombang T. 5

Gambar 2. Algoritma evaluasi dan tatalaksana SKA.5

12
Tabel 1. Tingkat Peluang SKA Segmen ST Non Elevasi6

Berdasarkan langkah diagnositk tersebut diatas, dokter perlu segera


untuk menetapkan diagnosis kerjayang akan menjadi strategi penanganan
selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang
diberikan kepada pasien dengan diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau
SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil
pemeriksaan EKG dan/atau biomarka jantung. Terapi awal yang dimaksud
adalah Morfin, Nitrat, Aspirin (MONA), yang tidak harus diberikan semua
atau bersamaan.5

2.9 Pemeriksaan Laboratorium


2.9.1 Pemeriksaan Biomarker Jantung
1) Troponin
Troponin merupakan protein pengatur yang terdapat di filamen tipis
apparatus kontraktil otot lurik yang terdiri dari tiga subunit, yaitu troponin T
(TnT) yang mengikat tropomiosin, troponin I (TnI) mengikat interaksi
filament miosin, dan troponin C (TnC) tempat mengikat kalsium. Iskemia
miokard menyebabkan membran sel lebih permeable, sehingga komponen
intraseluler seperti troponin jantung dapat merembes ke interstitium dan
ruang intravaskular.18,19
Cardiac troponin (cTn) memiliki banyak isoform dengan troponin
dari organ lain. Troponin C (TnC) tidak memiliki spesifisitas pada jantung,

13
karena memiliki isoform troponin yang sama yang ditemukan pada otot
polos. Cardiac troponin T (cTnT) diekspresikan pada otot rangka dan
jantung, sedangkan cardiac troponin I (cTnI) hanya terdapat dalam jaringan
otot jantung. Tidak ada laporan bahwa cTnI meningkat setelah kerusakan
jaringan non-jantung, sementara peningkatan cTnT tidak dapat memastikan
diagnosis karena hal ini mungkin berasal dari otot rangka. Dengan
demikian, cTnI lebih spesifik dalam mendiagnosis infark miokard. 18-20
a. Troponin I
Troponin I merupakan penanda biologis pilihan sesuai dengan
guideline The Third Global Myocardial Infarction Task Force, yang saat ini
juga lebih sering digunakan untuk mendiagnosis infark miokard akut karena
khas terhadap jaringan miokard dan mempunyai kepekaan yang tinggi. Di
samping itu, cTnI juga dapat mendeteksi keberadaan nekrosis miokard yang
berukuran kecil yang tidak terdeteksi pada pemerikaan electocardiogram
maupun oleh CKMB.18
Kadar cardiac troponin I (cTnI) mulai meningkat 4 - 6 jam setelah
terjadi kerusakan otot jantung, mencapai puncak dalam 12 - 24 jam dan
menetap selama 5 - 7 hari. Cardiac troponin I (cTnI) dapat diperiksa dengan
menggunakan metode Enzyme-linked Immunoabsorbent Assay (ELISA),
Enzyme-linked Fluorescent Assay (ELFA), Radioimmunoassay (RIA),
Fluorescence immunoassay, dan Immunochromatography (ICT). Sampel
yang digunakan ialah sampel serum, plasma heparin, dan Ethylene Diamine
Tetra-Acetic (EDTA) maupun darah lengkap. Kadar cTnI pada orang
normal sehat kurang dari 0,5 µg/L. Cut off cTnI antar kit sangat bervariasi
mulai dari 1 µg/L, 1,2 µg/L, 1,5 µg/L, 2,0 µg/L bahkan ada yang sampai 2,5
µg/L.18-22
Pengujian troponin I juga dapat dilakukan dengan menggunakan alat
Point of care Testing (POCT) maupun dengan analisis laboratoris. Prinsip
uji high sensitive troponin I (HsTropI) dengan POCT adalah dengan
menggunakan uji imunofluoresensi dalam spesimen darah utuh dan plasma
EDTA. Prosedur pengujian menggunakan 0,5 ml spesimen darah utuh atau
plasma EDTA ke port sampel pada perangkat uji. Point of care Testing

14
(POCT) HsTrop I dilakukan pada saat pasien masuk (0 jam) dan setelah 3
jam jika tes awal negatif. Nilai di atas 0,02 ng/ml dianggap positif oleh
diagnostik Alere High sensitive Trop I dengan rentang deteksi 0,02 hingga
10 ng/ml.23

Gambar 3. Alat Point of Care Testing HsTrop I 23


b. Troponin T
Troponin T adalah suatu protein jantung yang terdapat pada otot
lurik yang berfungsi sebagai regulator kontraksi otot yang spesifik terhadap
otot jantung. Kadar cardiac Troponin T (cTnT) mulai meningkat pada 3 - 4
jam setelah infark, mencapai puncak pada 10 – 24 jam, dan akan kembali
normal dalam 10 – 14 hari. Pemeriksaan cTnT dapat diukur dengan metode
enzyme immunoassay dengan sampel darah vena EDTA atau heparin dan
hasil dinyatakan secara kuantitatif berupa kadar troponin T dalam satuan
ng/mL, dengan nilai rujukan troponin T <0,1 ng/mL.24
2) Creatine Kinase
Creatine Kinase (CK) adalah protein sitosol yang terlibat dengan
transpor fosfat mitokondria, yang telah dianggap sebagai prediktor yang
baik pada cedera miokard dan indikator independen IMA selama 20 tahun.
Creatine kinase tidak spesifik untuk jaringan miokard karena dapat
ditemukan pula di jaringan otot rangka. Enzim ini meningkat setelah 4-9
jam setelah onset IMA, mencapai puncaknya pada 24 jam dan kembali
normal pada 48 hingga 78 jam. Penelitian yang dilakukan oleh Al-Gani
menemukan bahwa level CK mencapai puncak maksimum antara 8−12 jam

15
setelah onset baik pada laki-laki maupun perempuan. Pemeriksaan kadar
CK menggunakan cara fotometri dengan nilai rujukan pada laki-laki yaitu <
130 U/L dan pada perempuan < 110 U/L.18,21,25
3) Creatine Kinase Myocardial Band (CK-MB)
Creatine Kinase (CK) adalah enzim dimer yang terdiri dari dua
subunit, M dan B, dan memiliki tiga isoenzim, CK-BB (CK1), CK-MB
(CK2), dan CK-MM (CK3). Di antara ketiga isoenzim tersebut, hanya CK-
MB yang ditemukan di jantung, tetapi CK-MB juga dapat terdeteksi di
organ lain, seperti uterus, lidah, dll.19,24-27
Creatine kinase myocardial band (CK-MB) menjadi standar emas
selama lebih dari 2 dekade sejak tahun 1960. Creatine kinase myocardial
band (CK-MB) dapat ditemukan dalam serum dalam waktu 4 sampai 6 jam
dari onset iskemia miokard; namun, dapat memakan waktu hingga 12 jam
pada beberapa pasien. Tingkat CK-MB kembali normal dalam waktu 36
sampai 48 jam. Enzim CK-MB dalam serum diperiksakan melalui metode
immunochemistry ultraviolet (UV) dengan alat chemical auto analyzer
dengan nilai rujukan < 24 U/L. Setelah terjadinya onset IMA, kadar CK-MB
ini akan meningkat 10-20 kali lipat dari nilai normal.19,25
Peningkatan CK-MB harus ditafsirkan dengan hati-hati dalam situasi
di mana cedera atau penyakit otot rangka juga dicurigai, karena CK-MB ini
dilepaskan dari otot rangka yang rusak. Untuk membedakan peningkatan
CK-MB akibat cedera jantung dengan cedera otot rangka lainnya, dapat
dilakukan dengan menghitung indeks relative CK-MB (CK-MB/total CK ×
100), yang jika didapatkan < 3% berarti kerusakan berasal dari otot rangka
lainnya, dan > 5% menandakan kerusakan berasal dari jantung. Selain itu,
rasio CK-MB2 terhadap CK-MB1 lebih besar atau sama dengan 1,5 juga
meningkatkan spesifisitas untuk jaringan jantung dan merupakan indikasi
MI akut. 19,24-27
4) Mioglobin
Mioglobin merupakan protein heme yang dapat ditemukan di
jaringan otot jantung dan rangka. Berat molekul myoglobin yang rendah,
menyebabkan mioglobin dapat dideteksi dalam darah 1 jam setelah cedera

16
miokard, mencapai puncaknya dalam 4 hingga 12 jam, dan kemudian segera
kembali normal dalam 24 sampai 36 jam. Mioglobin menjadi pilihan dalam
mendeteksi IMA dengan cepat, karena protein ini lebih cepat terdeteksi
dalam darah. Namun, saat ini pemeriksaan mioglobin telah digantikan oleh
troponin karena memiliki sensitivitas yang lebih tinggi pada kerusakan
jaringan miokard. Dalam kondisi normal, mioglobin bersirkulasi dalam
darah terikat dengan globulin plasma yang dipertahankan pada tingkat 0-
0,003 mg/dL.
Pemeriksaan mioglobin dapat dilakukan dengan cara cepat kualitatif
atau kuantitatif dengan cara immunoassay. Bahan pemeriksaan dapat berupa
darah utuh untuk cara imunokromatografi, dan serum atau plasma heparin,
EDTA atau sitrat untuk immunoassay. Nilai rujukan sekitar 28-72 ng/mL
pada laki-laki dan 25-58 ng/mL pada perempuan, menggunakan cara
kemiluminesen 21,22,27,28
5) Heart type fatty acid-binding protein (H-FABP)
Heart type fatty acid-binding protein (H-FABP) adalah protein yang
terlibat dalam metabolisme asam lemak di miosit jantung. H-FABP dapat
ditemukan dengan konsentrasi tinggi di sitoplasma kardiomiosit. Jaringan
lain seperti otot rangka, otak, dan ginjal juga ditemukan H-FABP, namun
dengan konsentrasi yang lebih rendah daripada di miokardium. Konsentrasi
serum H-FABP meningkat dalam 1-2 jam pertama setelah infark miokard,
memuncak dalam 5-10 jam, kemudian kembali normal dalam 24 sampai 36
jam. Dalam sebuah penelitian oleh Kabekkodu et al., sensitivitas H-FABP
dalam mendeteksi MI akut pada pasien yang datang dalam waktu 4 jam dari
timbulnya gejala adalah 60%, yang secara signifikan lebih tinggi daripada
troponin (18,8%) dan CK- MB (12,5%). Sensitivitas H-FABP dalam
mendeteksi IMA antara 4 sampai 12 jam setelah onset gejala adalah
86,96%, yang sebanding dengan troponin (90,9%) dan lebih tinggi dari CK-
MB (77,3%).25,28-32
Dalam keadaan normal, H-FABP tidak terdeteksi dalam plasma atau
cairan intestinal. Variasi biologis H-FABP bergantung umur, jenis kelamin,
dan ritme sirkadian. Fungsi ginjal juga mempengaruhi kadar H-FABP

17
karena protein ini dieliminasi melalui ginjal. Patokan kadar normal H-FABP
pada beberapa kelompok dengan batas ambang atas 6 µg/L. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Viswanathan, dkk, menetapkan batas 5,3
µg/L untuk wanita dan 5,8 µg/L untuk pria; angka ini merupakan nilai
persentil ke-99. Namun, penting juga diketahui bahwa H-FABP memiliki
spesifisitas yang kurang dari troponin dan CK-MB dalam mendeteksi IMA.
Meskipun sensitivitasnya tinggi dalam mendeteksi iskemia miokard, H-
FABP tidak digunakan secara klinis di Amerika Serikat dan belum
menjalani pengujian ketat terhadap uji troponin sensitivitas tinggi. (hs-TnT).
Dengan demikian, H-FABP tidak dapat menjadi pemeriksaan yang berdiri
sendiri untuk mendiagnosis IMA tetapi mungkin dapat menjadi pemeriksaan
tambahan untuk menegakkan diagnosis IMA. 25,28-33
6) Laktat Dehidrogenase (LDH)
Laktat Dehidrogenase (LDH) diekspresikan di banyak organ,
termasuk otot rangka, ginjal, hati, jantung, paru, dan eritrosit. Terdapat lima
isoenzim dari LDH, salah satunya LDH-1 yang diekspresikan di jantung
namun tidak spesifik untuk jantung. Pada infark miokard akut, terjadi
perubahan isoenzim LDH (LDH-1/LDH-2 flip). Normalnya, LDH-2 lebih
besar dari LDH-1. Namun saat terjadi IMA, LDH-1 akan meningkat di
sirkulasi dalam 6-12 jam sejak onset. Puncaknya pada 1-3 hari dan kembali
normal dalam 8-14 hari. rasio LDH-1: LDH-2> 1 mengindikasikan terjadi
IMA.
LDH diperiksakan dengan metode kinetik UV dengan sampel serum,
plasma heparin atau plasma EDTA dengan nilai rujukan berkisar 120-240
U/L. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitasnya yang rendah,
oleh karena itu LDH hanya digunakan untuk membedakan MI akut dan
subakut pada pasien dengan troponin positif sedangkan CK dan CK-MB
negatif.20,21
2.9.2 Pemeriksaan Fungsi Hati
1) Aspartat Aminotransferase (AST)
Biomarker pertama yang digunakan untuk membantu diagnosis MI
akut adalah aspartat aminotransferase (AST). Aspartat aminotransferase

18
memiliki peran penting dalam metabolisme asam amino. Aspartat
aminotransferase dapat ditemukan di hati, jantung, otot rangka, ginjal, otak,
dan sel darah merah. Pada tahun 1954, Ladue dkk. mengusulkan bahwa
AST yang dilepaskan dari kardiomiosit yang mengalami nekrosis akan
berguna dalam mendiagnosis infark miokard, sehingga AST ditetapkan
sebagai biomarker dalam membantu diagnosis IMA. 20,21
Aspartat aminotransferase meningkat dalam darah 3 sampai 4 jam
setelah infark miokard akut, mencapai puncaknya pada 15 sampai 28 jam,
dan kembali normal dalam waktu 5 hari. Nilai normal AST yaitu <38 U/L,
sedangkan saat terjadi infark miokard, rata-rata terjadi peningkatan kadar
hingga 4 kali dan pada infark yang luas dapat meningkat hingga 15 kali dari
nilai normal. Namun, saat ini AST mulai ditinggalkan karena peningkatan
kadar AST serum dapat disebabkan oleh berbagai penyakit lain seperti
hepatitis, kongesti hepatik, perikarditis, emboli paru, dan syok. 20,21,29
2) High sensitive C-Reactive Protein (HsCRP)
C-Reactive Protein adalah protein yang diproduksi terutama oleh
hati sebagai respon terhadap sitokin inflamasi seperti IL-1 dan IL-6, atau
ketika terjadi infeksi atau kerusakan jaringan. C-Reactive Protein juga dapat
disekresikan secara local oleh sel endotel, plak ateroma, sel otot dinding
koroner arteri dan adiposit. Pada individu normal, konsentrasi CRP dalam
darah biasanya tidak melebihi 10 mg/L (rata-rata 0.8 mg/L). High-sensitive
C-Reactive Protein (HsCRP) merupakan pemeriksaan metode immunoassay
yang dapat mendeteksi kadar CRP yang lebih rendah (<5mg/L) sehingga
pasien dapat dikelompokkan kedalam risiko rendah, sedang, dan
tinggi.25,34,35
Hasil pemeriksaan kadar <1 mg/L mencerminkan status inflamasi
sistemik yang rendah dan risiko aterosklerotik yang lebih rendah; kadar
antara 1 dan 3 mg/L menunjukkan risiko edang; kadar > 3 mg/L
menunjukkan risiko vaskular yang lebih tinggi dalam konteks faktor risiko
lain dan nilai yang > 10 mg/L dapat mencerminkan proses infeksi sementara
atau respon fase akut lainnya, sehingga harus diulang dalam dua hingga tiga
minggu. 25,34,35

19
Gambar 4. Grafik timbulnya penanda kerusakan jantung36

Gambar 5. Algoritme Infark Miokard Akut37

20
2.10 Tatalaksana
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat,
menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet,
pemberian obat penunjang, serta tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat
beberapa pedoman dalam tatalaksana IMA yaitu dari ACC/AHA dan ESC.
Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi sarana / fasilitas di
tempat pelayanan kesehatan masing-masing dan kemampuan ahli yang
ada.38
Obat-obatan yang bisa digunakan untuk infark miokard akut,
diantaranya38:
1) Anti Iskemia
 Penyekat Beta (Beta blocker)
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap
reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen
miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan
gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan
disfungsi akut ventrikel kiri. Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien
NSTEMI, terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama
tidak terdapat indikasi kontra. Penyekat beta juga diindikasikan untuk
semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada indikasi
kontra. Obat hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama.
Tabel 2. Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA38
Penyekat beta Selektivitas Dosis
Atenolol β1 50-200 mg/hari
Bisoprolol β1 10 mg/hari
Carvedilol α dan β 2 x 6.25 mg/hari, titrasi
sampai maksimum 2x25
mg/hari
Metoprolol β1 50-200 mg/hari
Propanolol nonselektif 2 x 20-80 mg/hari

21
 Nitrat
Terapi nitrat memberikan efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga
konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah
dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang
mengalami aterosklerosis.
Tabel 3. Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA38
Nitrat Dosis
Isosorbid dinitrate Sublingual 2.5 – 15 mg (onset 5 menit)
(ISDN) Oral 15 – 80 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Intravena 1.25 – 5 mg/jam
Isosorbid 5 Oral 2x20 mg/hari
mononitrate Oral (slow release) 120-240 mg/hari
Nitroglicerin Sublingual tablet 0.3-0.6 mg-1.5 mg
(trinitrin, TNT, Intravena 5-200 mg/menit
glyceryl trinitrate)

 Calcium channel blockers (CCBs)


Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan
sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya
verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node
yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di
atas mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang, oleh karena itu
CCB, terutama golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk
mengatasi angina vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan
NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang dengan
penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina.
Tabel 4. Jenis dan dosis Calcium channel blockers untuk terapi IMA38
Calcium channel Dosis
blockers
Verapamil 180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis

22
Diltiazem 120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis
Nifedipine GITS (long 30-90 mg/hari
acting)
Amlodipine 5-10 mg/hari

2) Antiplatelet
Antiplatelet yang biasanya digunakan pada penatalaksanaan IMA ialah
aspirin, ticagrelor, dan clopidogrel. Aspirin harus diberikan kepada semua
pasien tanda indikasi kontra dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis
pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa
memandang strategi pengobatan yang diberikan. Ticagrelor direkomendasikan
untuk semua pasien dengan risiko kejadian iskemik sedang hingga tinggi
(misalnya peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90
mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi
pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah
mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian dihentikan).
Sedangkan, Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa
menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan
75 mg setiap hari.

3) Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa


Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan
pada pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi (misalnya
peningkatan troponin, trombus yang terlihat) apabila risiko perdarahan rendah.
Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin sebelum angiografi atau pada
pasien yang mendapatkan DAPT yang diterapi secara konservatif.
4) Antikogulan
Terapi antikoagulan disarankan untuk ditambahkan pada terapi
antiplatelet secepat mungkin. Salah satu obat antiplatelet yaitu fondaparinuks
secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko yang paling
baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan. Jika
fondaparinuks tidak tersedia, dapat diberikan enoksaparin (1 mg/kg dua kali

23
sehari) yang disarankan untuk pasien dengan risiko perdarahan rendah.
Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin
berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan)
diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia.

5) Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin


Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam
mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian penderita
pascainfark-miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan
atau tanpa gagal jantung klinis.

Tabel 5. Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk terapi IMA38


Inhibitor ACE Dosis

Captopril 2-3 x 6.25-50 mg


Ramipril 2.5-10 mg/jari dalam 1 atau 2 dosis
Lisinopril 2.5-20 mg/hari dalam 1 dosis
Enalapril 5-20 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis

6) Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, statin harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI,
termasuk mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak
terdapat indikasi kontra. Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum
pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar
kolesterol LDL.

Selain pengobatan, modifikasi gaya hidup juga memiliki peran yang tidak
kalah penting dalam pengobatan dan pencegahan infark miokard akut, diantaranya
adalah:

24
1) Berhenti merokok, yang merupakan tindakan yang paling hemat biaya untuk
mencegah AMI. Merokok memiliki efek pro-trombotik, yang memiliki hubungan
kuat dengan aterosklerosis dan infark miokard.39
2) Diet, alkohol, dan pengendalian berat badan: Diet rendah lemak jenuh dengan
fokus pada produk gandum utuh, sayuran, buah-buahan, dan ikan dianggap dapat
melindungi jantung. Target tingkat berat badan adalah indeks massa tubuh 20
sampai 25 kg/m2 dan lingkar pinggang <94 cm untuk pria dan <80 cm untuk
wanita.40

2.11 Prognosis
Infark miokard akut memiliki angka kematian yang tinggi yaitu 5-
30%, dengan sebagian besar kematian terjadi sebelum pasien datang ke
rumah sakit. Setidaknya 5% -10% dari korban meninggal dalam 12 bulan
pertama setelah infark miokard, dan hampir 50% membutuhkan rawat inap
pada tahun yang sama. Secara keseluruhan, prognosis IMA bergantung pada
tingkat kerusakan otot yang terjadi. Hasil yang baik terlihat pada pasien
yang menjalani terapi perfusi-trombolitik dini dalam waktu 30 menit setelah
kedatangan atau PCI dalam waktu 90 menit. Selain itu, hasilnya baik jika
fraksi ejeksi dipertahankan dan pasien mulai pengobatan aspirin, beta-
blocker, dan ACE inhibitor.39
Beberapa faktor yang secara negatif mempengaruhi prognosis
meliputi39:
 Diabetes
 Usia lanjut
 Infark miokard sebelumnya, penyakit pembuluh darah perifer (PVD),
atau stroke
 Reperfusi tertunda
 Fraksi ejeksi berkurang
 Adanya gagal jantung kongestif (CHF)
 Peningkatan protein C-reaktif dan tingkat BNP
 Depresi

25
BAB III
KESIMPULAN
Infark Miokard Akut (IMA), penyakit yang menjadi salah satu penyebab
kematian tertinggi di dunia, dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana
suplai darah pada suatu bagian jantung terhenti sehingga sel otot jantung
mengalami kematian. Infark miokard akut (IMA) terdiri atas ST-segment
Elevation Myocardial Infarct (STEMI) dan Non ST-segment Elevation Myocardial
Infarct (NSTEMI) yang merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut
(SKA).
Diagnosis penyakit ini ditegakkan berdasarkan gejala klinik utama berupa
nyeri dada khas atau angina pektoris tipikal, dapat terasa seperti ditekan, ditindih
benda berat, ditusuk, diperas, dipelintir, atau terbakar, dapat menjalar ke lengan
kiri, leher, rahang bawah, gigi, punggung, perut, hingga lengan kanan, yang
dicetuskan oleh latihan fisik, stres, emosi, udara dingin, maupun setelah makan.
Penunjang yang digunakan yaitu EKG dan laboratorium berupa pemeriksaan
marker jantung (troponin, CK/CKMB, LDH, H-FABP, Mioglobin) dan
pemeriksaan fungsi hati (AST, HsCRP).
Untuk tatalaksana medikamentosa dapat diberikan obat anti iskemia,
antiplatelet, penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa, antikoagulan, penghambat
ACE, statin. Sedangkan untuk tatalaksana non medikamentosa berupa perubahan
gaya hidup seperti berhenti merokok, diet, berhenti meminum alkohol, dan
pengendalian berat badan.

26
DAFTAR PUSTAKA
1. Astuti, A., & Maulani, M. Faktor Resiko Infark Miokard Di Kota Jambi. Jurnal
Endurance. 2018. 3(1), 82. https://doi.org/10.22216/jen.v3i1.2736
2. Haryuni, S. Hubungan Antara Berat Badan Dengan Kejadian Infark Miokard
Akut Pada Pasien Di Ruang Intensive Coronary Care Unit RSUD Dr. Isakak
Kabupaten Tulungagung. Jurnal Care. 2015. 3(3), 36–44.
3. Dewi, T. S. dan Setiawan, A. D. Pengaruh Mobiliasi Dini terhadap Length of
Stay (LOS) Pada Pasien AMI di ICU/ICCU RS. Dr Soedjono Magelang dan
RSUD Tidar. Perpus Unjani. Universitas Jenderal Achamad Yani Yogakarta.
2017.
4. Nuraeni, A., Mirwanti, R., Anna, A., Prawesti, A., & Emaliyawati, E. Faktor
yang Memengaruhi Kualitas Hidup Pasien dengan Penyakit Jantung Koroner
Factors Influenced the Quality of Life among Patients Diagnosed with Coronary
Heart Disease. Jurnal Keperawatan Universitas Padjadjaran, 2016; 4(2), 107–116.
5. PERKI. Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut 2018. In Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (p. 76).
6. Anderson JL, Morrow DA. Acute myocardial infarction. New England Journal
of Medicine. 2017 May 25;376(21):2053-64.
7. Rathore V, Singh N, Mahat RK, Kocak MZ, Fidan K, Ayazoglu TA, Aydin
Karahan YG, Onk D, Akar E, Yolcu A. Risk factors for acute myocardial
infarction: A review. EJMI. 2018;2(1):1-7.
8. Ibanez B, James S, Agewall S, Antunes MJ, Bucciarelli-Ducci C, Bueno H,
Caforio AL, Crea F, Goudevenos JA, Halvorsen S, Hindricks G. 2017 ESC
Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation: The Task Force for the management of
acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation of
the European Society of Cardiology (ESC). European heart journal. 2018 Jan
7;39(2):119-77.
9. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Nasional Riset
Kesehatan Dasar 2018. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018

27
10. Ghani, L., Susilawati, M. D., & Novriani, H. Faktor Risiko Dominan Penyakit
Jantung Koroner di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan, 2016;44(3), 153–
164. https://doi.org/10.22435/bpk.v44i3.5436.153-164
11. Kingma Jr, J. G., 2018. Myocardial Infarction: An Overview of STEMI
Myocardial Infarction: An Overview of STEMI. World Journal of Cardiovascular
Diseases, Issue 8, pp. 498-517.
12. Cohen, M. & Visveswaran, G. Defining and managing patients with nonST-
elevation myocardial infarction: Sorting through type 1 vs other types. Clinical
Cardiology, 2020; Issue 43, pp. 242-250
13. Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Chaitman BR, Bax JJ, Morrow DA, White
HD, Mickley H, Crea F, Van de Werf F, Bucciarelli-Ducci C. Fourth universal
definition of myocardial infarction (2018). European heart journal. 2019 Jan
1;40(3):237-69.
14. Aaronson, Philip I., Ward, Jeremy P.T., Connolly, Michelle J. The
Cardiovascular System at a Glance, 5th edition. USA. Wiley-Blackwell.
2020:102-103.
15. Mair J. Progress in myocardial damage detection: new biochemical markers
for clinicians. Crit Rev Clin Lab Sci. 2016;34(1):1-66.
16. Jameson JL. Harrison's principles of internal medicine. McGraw-Hill
Education; 2018.
17. Asikin M, Nuralamsyah M, Susaldi. Keperawatan Medikal Bedah Sistem
Kardiovaskuler.2016:123
18. Febriana S, Nurulita A, Bahrun U. Penilaian Uji Troponin I dengan Point of
Care Testing. Indonesian Journal of Clinal Pathology and Medical Laboratory.
2016:115.
19. Aydin S, Ugur K, Aydin S, Sahin İ, Yardim M. Biomarkers in acute
myocardial infarction: current perspectives. Vasc Health Risk Manag. 2019;15:1-
10. Published 2019 Jan 17. doi:10.2147/VHRM.S166157
20. Wu Y, Pan N, An Y, Xu M, Tan L, Zhang L. Diagnostic and Prognostic
Biomarkers for Myocardial Infarction. Front Cardiovasc Med. 2021;7:617277.
Published 2021 Feb 3. doi:10.3389/fcvm.2020.617277

28
21. Patibandla S, Gupta K, Alsayouri K. Cardiac Enzymes. [Updated 2021 Aug
11]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK545216/
22. Fatonah S, Widijanti A, Hernowati TE. Nilai Diagnostik Uji Troponin I
Kuantitatif Metode Immunokromatografi. Indonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laboratory, Vol. 14, No. 1, November 2007: 20-23
23. Jan MS, Agarwal R, Hassan S, Thakur V (2020) Diagnostic utility of point of
care high sensitive troponin-i assay for early diagnosis of acute myocardial
infarction in patients presenting with acute onset chest pain in emergency
departments. The early heart study. J Cardiovasc Med Cardiol 7(1): 047-052.
DOI: 10.17352/2455-2976.000111
24. Dewi LS, Lestari W, Yasa S. Hubungan kadar troponin t (TnT) dan creatinin
kinase-myocardial band (CK-MB) pada pasien infark miokard akut (IMA) di
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar. E-Jurnal Medika Vol. 7,
No. 1, Januari 2018: 43-48
25. Kurniawan LB, Bahrun U, Rauf D, Arif M. Creatine Kinase Related to The
Mortality in Myocardial Infarction. Indonesian Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory, Vol. 23 No. 1, November 2016: 18-21
26. Basit H, Huecker MR. Myocardial Infarction Serum Markers. [Updated 2021
Aug 11]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2021 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532966/
27. Kurapati R, Soos MP. CPK-MB. [Updated 2021 Apr 25]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557591/
28. Zafar Gondal A, Foris LA, Richards JR. Serum Myoglobin. [Updated 2021
Aug 11]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2021 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470441/
29. Kurniawan LB, Bahrun U, Darmawaty ER. Hubungan Kadar Transaminase
terhadap Mortalitas dan Lama Perawatan Pasien Infark Miokard. JURNAL
KEDOKTERAN YARSI 20 (1), 2012: 029-035

29
30. Otaki Y, Watanabe T, Kubota I. Heart-type fatty acid-binding protein in
cardiovascular disease: a systemic review. Clin Chim Acta. (2017) 474:44–53.
10.1016/j.cca.2017.09.007
31. Wang J, Tan GJ, Han LN, Bai YY, He M, Liu HB. Novel biomarkers for
cardiovascular risk prediction. J Geriatr Cardiol. (2017) 14:135–50.
10.11909/j.issn.1671-5411.2017.02.008
32. Kabekkodu SP, Mananje SR, Saya RP. A Study on the Role of Heart Type
Fatty Acid Binding Protein in the Diagnosis of Acute Myocardial Infarction. J
Clin Diagn Res. 2016 Jan;10(1):OC07-10.
33. Sukmadja A, Mahardika WP. Heart Fatty Acid Binding Protein sebagai
Biomarker Potensial Kerusakan Miokardium. CDK. 2015. Vol. 42, No. 9:697-699
34. Castro AR, Silva SO, Soares SC. The Use of High Sensitivity C-Reactive
Protein in Cardiovascular Disease Detection. J Pharm Pharm Sci.
2018;21(1):496-503. doi:10.18433/jpps29872
35. Adukauskienė D., Čiginskienė A., Adukauskaitė A., Pentiokinienė D.,
Šlapikas R., Ceponiene I. Clinical relevance of high sensitivity C-reactive protein
in cardiology. Medicina. 2016;52:1–10. doi: 10.1016/j.medici.2015.12.001.
36. Suryaatmadja M, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi IV. 2016.
Jakarta: Internal Publishing; Hal 255
37. Hardjoeno, H. 2003. Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik. Jakarta:
EGC
38. PERKI. Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut 2018. In Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (p. 28)
39. Ojha N, Dhamoon AS. Myocardial Infarction. [Updated 2021 Aug 11]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537076/
40. Piepoli MF, Hoes AW, Agewall S, et al. 2016 European Guidelines on
cardiovascular disease prevention in clinical practice: The Sixth Joint Task Force
of the European Society of Cardiology and Other Societies on Cardiovascular
Disease Prevention in Clinical Practice (constituted by representatives of 10
societies and by invited experts) Developed with the special contribution of the

30
European Association for Cardiovascular Prevention & Rehabilitation
(EACPR). Eur Heart J. 2016 Aug 01;37(29):2315-2381.

31

Anda mungkin juga menyukai