Anda di halaman 1dari 25

Laporan Kasus IV

THYROTOXIC ATRIAL FIBRILLATION : What Should we Do ?

Oleh :
Tito Armando

Pembimbing :
Prof. dr. Peter Kabo, Ph.D, Sp. FK, Sp. JP (K)
Dr.dr. Muzakkir Amir Sp. JP (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................... iv
I. PENDAHULUAN........................................................................................................... 1
II. TUJUAN LAPORAN KASUS ....................................................................................... 2
III. ILUSTRASI KASUS...................................................................................................... 2
IV PEMBAHASAN ............................................................................................................ 8
IV. 1. Patomekanisme Fibrilasi Atrium pada Hipertiroid ................................................ 8
IV. 2. Manajemen Fibrilasi Atrium pada Hipertiroid ...................................................... 10
IV. 2.1. Agen penghambat reseptor beta ......................................................................... 11
IV. 2.2. Digoksin ............................................................................................................. 14
IV. 3. Kardioversi ........................................................................................................... 15
IV. 4. Manajemen Hipertiroid ......................................................................................... 16
IV. 5. Ablasi Kateter jantung pada pasien atrial fibrilasi dengan hipertiroid ................. 17
V. RINGKASAN ................................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 20

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Elektrokardiografi di unit gawat darurat di pusat jantung terpadu ..................... 3


Gambar 2. Foto Thorax di Pusat jantung terpadu................................................................. 4
Gambar 3. Echocardiografi 2 dimensi .................................................................................. 6
Gambar 4. Elektrokardiografi kontrol hari ke-5 ................................................................... 7
Gambar 5. Hormon tiroid, aktifasi autoantibodi dan inflamasi ............................................ 9
Gambar 6. Algoritma tatalaksana kontrol laju jantung pada fibrilasi atrium ....................... 13
Gambar 7..Elektroanatomik 3 dimensi dari atrium kiri pada pasien ablasi .......................... 18

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil Laboratorium................................................................................................. 4


Tabel 2. Kriteria burch wartofsky......................................................................................... 5
Tabel 3. Rekomendasi agen penghambat beta reseptor pada tiroktosikosis......................... 11
Tabel 4. Agen penghambat beta sebagai kontrol laju jantung pada pasien fibrilasi atrium ............ 13
Tabel 5. Rekomendasi kontrol laju ventrikel pada pasien fibrilasi atrium ........................... 16
Tabel 6. Karakteristik pasien fibrilasi atrium dan hasil ablasi.............................................. 18

iv
Thyrotoxic Atrial Fibrillation : what should we do ?
Tito Armando, Peter Kabo, Muzakkir Amir
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

I. PENDAHULUAN

Fibrilasi Atrium (AF) merupakan aritmia yang paling sering terjadi secara
global dengan peningkatan frekuensinya yang sejalan dengan usia. Hipertiroid
diketahui sebagai salah satu penyebab terjadinya atrial fibrilasi dengan prevalensi
kejadian sebesar 16-60 % pada pasien dengan hipertiroid. Hal ini meningkatkan
kejadian emboli dan angka mortalitas. (Frost, L. et al, 2014)
Fibrilasi atrium dapat ditemukan pada pasien dengan hipertiroid atau
grave’s onset baru dengan nilai 8.5% angka kejadian baik atrial fibrilasi ataupun
flutter. Dengan restorasi menjadi sinus ritme setelah beberapa minggu dari sejak
kondisi eutiroid telah terjadi pada 62 % dari 163 pasien pada satu studi. (N.
Jayaprasad., 2005)
Sinus ritme merupakan tujuan utama dari kondisi atrial fibrilasi.
Tatalaksana pasien fibrilasi atrium disertai gagal jantung dan hipertiroid juga
menjadi kondisi yang menantang. Angka rekurensi yang tinggi dapat terjadi jika
pasien tidak mencapai kondisi eutiroid. Pada pasien yang mencapai kondisi
eutiroid dan tak kunjung mengalami kondisi sinus ritme, beberapa pilihan terapi
telah diberikan. Namun belum ada panduan/Guideline khusus yang membahas
tahapan majemen pada pasien seperti ini. beberapa terapi seperti medikamentosa
dan pendekatan ablasi dijadikan sebagai pilihan terapi yang menarik untuk
dibahas pada laporan kasus ini.

1
II. TUJUAN LAPORAN KASUS

Prinsip tatalaksana atrial fibrilasi pada hyperthyroid merupakan hal yang


kompleks dan hingga saat ini belum memiliki panduan yang pasti terkait
tatalaksana jangka panjang untuk konversi ke sinus rhythm. Penulis berharap dari
laporan kasus ini dapat memahami kemungkinan tatalaksana terbaik bagi pasien
atrial fibrilasi dengan hyperthyroid.

III. ILUSTRASI KASUS

Pasien laki-laki 47 tahun masuk Unit Gawat Darurat (UGD) dengan


keluhan berdebar disertai sesak nafas yang dirasakan hilang timbul sejak 1
minggu lalu dan memberat sejak 2 hari terakhir. Riwayat berdebar ada sejak 3
tahun terakhir. Sesak nafas dirasakan sejak 2 tahun terakhir dan dipengaruhi
aktifitas. Pasien juga memiliki riwayat merasakan sesak pada malam hari dan
lebih nyaman saat posisi duduk. Nyeri dada ada dirasakan hilang timbul, tidak
tembus belakang, tidak menjalar. Pasien sebelumnya kontrol di poliklinik Pusat
Jantung terpadu dan diberi obat furosemide 40 mg, Carvedilol 6.25 mg,
Atorvastatin 20 mg, Candesartan 8 mg.
Riwayat hipertensi diketahui 2 tahun terakhir. Minum obat candesartan 8
mg tidak teratur. Riwayat Diabetes Mellitus tidak ada. Riwayat hipertiroid sejak
10 tahun lalu rutin kontrol poli mendapat terapi thiamizole 10 mg, propanolol 10
mg. Riwayat penyakit jantung dalam keluarga tidak ada. Riwayat merokok tidak
ada.
Hasil pemeriksaan fisis didapatkan pasien komposmentis dengan hipertensi
grade I tekanan darah 140/100 mmHg. Nadi 130 kali permenit tidak teratur.
Pernafasan 24 kali permenit. Eksoftalmus ada, struma teraba pada kelenjar tiroid
kesan diffuse. Rhonki dan wheezing tidak ada, bunyi jantung irregular, edema
tungkai tidak ada.

2
Gambar 1. Elektrokardiografi IGD Pusat Jantung Terpadu

Pemeriksaan elektrokardiogram 12 sadapan menunjukkan irama


supraventricular, HR 130 bpm, irregularly irregular, normoaxis, LVH with strain.
Kesan atrial fibrilasi rapid ventricular response, Hipertrofi Ventrikel kiri.
Hasil pemeriksaan Rontgen Thorax di Pusat Jantung Terpadu menunjukan
gambaran kardiomegali dan aterosklerosis aorta.

Gambar 2 . Foto Thorax di pusat jantung terpadu

3
Tabel 1. Hasil Laboratorium

WBC 4800 10^3/uL 4.00-10.0


Neut/Lymph 41.8/36.7 %
HGB/ MCH/MCV 11.6/29/89 gr/dl 12-16/26-33/80-97
PLT 169000 10^3/uL 150-400x103/mm3
HCT 35 % 37-48
PT 11.4 Detik 10-14
INR 1.0 --
APTT 28.9 Detik 22.0-30.0
SGOT 21 U/L <38
SGPT 11 U/L <41
Ureum 31 mg/dl 10-50
Creatinin 1.49 , eGFR : 55.1 mg/dl <1.3
FT4/TSHs 6.71/<0.05 ng/dl 0.93-1.71
Natrium 138 Mmol/l 136-145
Kalium 4.0 Mmol/l 3.5-5.1
Klorida 110 Mmol/l 97-111
GDS 93 mg/dL 140 mg/dl
SWAB PCR Negatif Negatif

4
Pasien ini kami curigai mengalami kondisi badai tiroid dimana kondisi tersebut dapat
terjadi pada kondisi hyperthyroid dengan beberapa faktor pencetusnya. Badai tiroid
dapat ditegakkan dengan menggunakan kriteria Burtch Warkofsky yang dapat dilihat
pada tabel berikut :

Tabel. 2. Kriteria Burch-Wartofsky untuk diagnosa badai tiroid (Satoh, et


al. 2016)
Hasil pemeriksaan kami di dapatkan skor 35 dari kriteria Burch-Wartofsky
berdasarkan poin takikardia 130 bpm, mild congestive heart failure, dan fibrilasi
atrium. Pasien masuk kedalam kategori impending thyroid storm.
Dari hasil pemeriksaan Echocardiography full study di Pusat jantung terpadu
didapat hasil :
- Regurgitasi Mitral derajat sedang
- Regurgitasi Trikuspid derajat sedang
- Regurgitasi aorta ringan
- Regurgitasi pulmonal ringan
- Dilatasi semua ruang jantung
- Fungsi sistolik ventrikel kiri dan kanan menurun, LVEF 31 % Biplane,
TAPSE 1.5 cm, s’ lateral 9 cm/s
- Akinetik dan hipokinetik segmental

5
Gambar 3. Echocardiography 2 Dimensi PJT
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisis dan penunjang. pasien kami
assest dengan :
- Atrial Fibrilasi Rapid Ventricular Response (CHA2-DS2-VASc score 2,
HAS-BLED score 1 )
- Heart Failure Reduced Ejection Fraction
- Hypertensive Heart Disease
Tatalaksana :
- Digoxin Intravena 0.5 mg bolus
- Propranolol 20 mg/8 jam/oral
- Candesartan 8 mg/24 jam/oral
- Rivaroxaban 20 mg/24 jam/oral
- Furosemide 20 mg/12 jam/intravena
Plan :
- Konsul TS Endokrin
Jawaban Konsul TS Endokrin
A/
- Grave’s Disease
- Atrial Fibrilasi Rapid ventricular response
- Impending thyroid storm
Terapi :
- Thyrozol 20 mg/24jam/ oral
- Propanolol 20 mg/ 8 jam/ oral

6
Follow Up hari ke – 5
S: berdebar tidak ada, sesak nafas tidak
ada. O :
Tekanan darah 130/80 mmhg
Nadi : 100 kali permenit ireguler
Pernafasan : 20 kali permenit
SpO2 : 98 % tanpa modalitas.

Anemis tidak ada, icterus tidak ada.


JVP R+2 cmH20
Rhonki dan wheezing tidak ada. Bunyi jantung I dan II irregular, murmur sistolik 2/6
di apeks. Edema tungkai tidak ada.

Gambar 4. EKG kontrol hari ke-5


Dari elektrokardiografi kontrol kami dapatkan gambaran ritme supraventricular, HR
100 bpm average irregularly irregular, fibrillatory P wave. Kesan atrial fibrilasi
respon ventrikel normal.
Pasien kemudian direncanakan rawat jalan dengan terapi furosemide 40 mg/24
jam/oral, Propranolol 40mg/8 jam/oral, candesartan 8 mg/24 jam/oral, rivaroxaban
20 mg/24jam/oral, spironolactone 25 mg/24 jam/ oral. Rencana terapi lanjut dari
pasien ini adalah pencapaian kondisi eutiroid.

7
IV. PEMBAHASAN
Fibrilasi Atrium (AF) merupakan aritmia yang paling sering terjadi secara
global dengan peningkatan frekuensinya yang sejalan dengan usia. Hipertiroid
diketahui sebagai salah satu penyebab terjadinya atrial fibrilasi dengan prevalensi
kejadian sebesar 16-60 % pada pasien dengan hipertiroid. Hal ini meningkatkan
kejadian emboli dan angka mortalitas. (Frost, L. et al, 2014)
Fibrilasi atrium dapat ditemukan pada pasien dengan hipertiroid atau grave’s
onset baru dengan nilai 8.5% angkat kejadian baik atrial fibrilasi ataupun flutter.
Dengan restorasi menjadi sinus ritme setelah beberapa minggu dari sejak kondisi
eutiroid telah terjadi pada 62 % dari 163 pasien pada satu studi. (N. Jayaprasad.,
2005)

IV.1 Patomekanisme fibrilasi atrium pada hipertiroid

Hormon tiroid memiliki peranan dalam mengatur laju jantung, irama, tekanan
darah, kontraktilitas miokard dan hipertrofi kardiak dengan cara mengontrol ekspresi
gen kardiak seperti alpha myosin heavy chain fusion (MHC-a), MHC b,
Sarcosarcoplasmic reticulum calcium-activated ATPase (SERCA), b1 adrenergic
receptor, phospholamban (PLB), calcium (Ca2+) transporter proteins, cardiac
troponin I, atrial natriuretic peptide (ANP), adenylyl cyclase (IV and V), and the
sodium (Na)+–Ca2+ antiporter. (Jia, G et al, 2015)
Hormon tiroid dapat meningkatkan aktifitas dari SERCA2+ ATPase dan kanal
ryanodine dan menurunkan posforilasi dari phospolamban dan menghambat aktifitas
pompa SERCA2+ . Perubahan tersebut dapat menurunkan relaksasi fase diastolik.
Kondisi hipertiroid juga dapat mempengaruhi aktifitas dari NaK + ATPase membrane
plasma dimana dapat mempengaruhi laju jantung. Gen jalur konduksi/ signalling
pathways seperti mitogen-activated protein kinase (MAPK) dan protein kinase B
(Akt) dilaporkan memiliki peranan dalam perubahan fungsional jantung yang
dicetuskan oleh kondisi hipertiroid. Sebagai contoh, aktifasi dari serum kinase
berkontribusi terhadap peningkatan aktifitas sinoatrial, menurunkan ambang
aktifitas atrium dan
8
memperpendek repolarisasi atrium yang menyebabkan peningkatan dari denyut
jantung pada pasien kardiomiopati yang berhubungan dengan tirotoksikosis. (Jia, G
et al, 2015)

Gambar 5. Hormon Tiroid, aktifasi autoantibodi dan inflamasi bekerja


sinergis dalam kejadian atria fibrilasi pada Grave’s Disease (Jia, G et al, 2015)

Sebuah studi yang dilakukan oleh ozaydin dkk, melaporkan bahwa inflamasi
juga hadir dalam kondisi hipertiroid yang menginduksi atrial fibrilasi, dimana
memiliki hubungan dengan peningkatan level serum Interleukin-8, Tumor necrosis
Factor alpha (TNF-a) dan C-reactive protein (CRP). Peningkatan ini dapat
menyebabkan inflamasi intersititial pada nodus AV dan jaringan konduksi atrio-
ventrikel. Vena pulmonalis dikatakan sebagai sumber utama dari kondisi re-entry
yang berhubungan dengan detak jantung ektopik, permulaan dari AF paroksismal
dan persisten. Dalam kondisi tersebut, hormon tiroid yang berlebihan mengganggu
aktifitas elektrofisiologis dari kardiomiosit vena pumonal dan menyebabkan
pemendekan dari durasi aksi potensial miokard dan memfasilitasi formasi dari
multiple sirkuit re-entry (Ozaydin, M, 2012)

Beberapa kanal ion juga berkontribusi terhadap aktifitas pacu jantung


(pacemaker) pada jaringan, termasuk keterlambatan dari pengarahan lajur potassium,

9
lajur potasium tipe-L dan tipe -T dan juga lajur Na + yang menyebabkan pemendekan
dari durasi aksi potensial. sebuah patomekanisme terbaru dari dari aktifasi
autoantibodi telah diobservasi pada pasien AF dengan grave (hipertiroid). Ditemukan
peningkatan dari aktifitas autoantibodi b1-adrenergic receptor (b1AR) dan M2
muscarinic receptor (M2R) pada grup grave namun lebih tinggi pada pasien dengan
fibrilasi atrium. Sehingga disugestikan bahwa aktifasi dari kedua autoantibodi ini
memiliki kontribusi pada pasien AF. Dimana aktifasi dari M2R menunjukkan
penurunan dari durasi aksi potensia dan periode refraktori efektif atrium dan B1AR
menyebabkan abnormalitas dari SERCA sehingga menyebabkan AF dengan
memberikan electrical firing yang cepat pada jaringan atrium dengan stimulasi saraf
autonom. (Jia, G et al, 2015)

IV.2 Manajemen Fibrilasi atrium pada hipertiroid

Pasien pada kasus ini dengan fibrilasi atrium respon ventrikel cepat disertai
dengan hipertiroid, masuk di unit gawat darurat dengan keluhan berdebar disertai
sesak nafas. Menurut Parmar terkait tatalaksana pasien atrial fibrilasi tirotoksik di
unit gawat darurat, tergantung pada ada tidaknya gejala kardiak yang menyertai.
Manajemen konservatif dengan agen antitiroid dapat diberikan pada pasien yang
tidak memiliki gejala/ komplikasi kardiak seperti angina atau eksaserbasi gagal
jantung. Namun pada pasien yang memiliki symptom angina atau gagal jantung,
maka kontrol terhadap rate yang cepat dan terapi untuk inhibisi pelepasan dan
sintesis hormon tiroid sebaiknya diberikan secara simultan. (Reddy et al, 2017)
Tujuan terapi pada atrial fibrilasi apapun kausanya adalah untuk
mengendalikan laju ventrikel (ventricular rate control) dan mengurangi gejala
kardiak yang menyertai. Pemberian obat anti tiroid juga sebaiknnya diberikan secara
simultan dan setelah kontrol rate tercapai, terapi jangka panjang dapat kita pikirkan
untuk mengurangi rekurensi dan resiko tromboemboli.

10
IV.2.1 Agen Penghambat Reseptor Beta.
Penggunaan agen beta bloker dapat membantu mengingat hipertiroid
memiliki hubungan erat dengan mekanisme aktifasi hipersimpatis. (Parmar, 2014)
Dalam sebagian besar kasus, penyebab hipertiroidisme adalah sekunder terhadap
penyakit autoimun (grave’s), multinodular toksik goiter atau adenoma toksik.
Sedangkan pada pasien ini berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik, pasien
diagnosa dengan Grave’s Disease.
Pada guideline American Thyroid Association tahun 2016, dijelaskan
penggunaan obat penghambat beta adrenergic direkomendasikan pada semua pasien
tirotoksikosis simptomatik, khususnya pasien usia tua dan pasien dengan resting
heart rate > 90 kali permenit atau memiliki penyakit kardiovaskular penyerta. Pada
uji coba random terkontrol dari penggunaan methimazole vs methimazole dan agen
penghambat beta, setelah 4 minggum pasien yang mengkonsumsi penghambat beta
memiliki heart rate yang lebih rendah, sesak nafas berkurang dan peningkatan
kapasitas fungsional. (Ross, D. et al , 2016)

Tabel 3. Rekomendasi agen penghambat beta reseptor pada pengobatan


tiroktosikosis. (Ross, D. et al , 2016)
Agen penghambat beta-adrenergik juga efektif dalam mengendalikan laju
ventrikel dan merupakan obat pilihan tanpa adanya gagal jantung kongestif

11
dekompensasi. Agen ini juga membantu meringankan gejala yang dimediasi reseptor
beta, seperti kecemasan dan gemetar. Penggunaan penghambat beta sebaiknya
dipertimbangkan pada pasien dengan gagal jantung karena risiko eksaserbasi. Pada
pasien ini tidak kami berikan beta bloker sebagai kontrol laju ventrikel
mempertimbangkan hal tersebut. Pada kasus tertentu, seperti kardiomiopati dengan
takikardi yang behubungan dengan hipertiroid yang diinduksi takikardia mungkin ada
kekhawatiran untuk terjadinya penurunan hemodinamik. Dalam kasus seperti itu,
penghambat beta kerja pendek seperti esmolol dapat diberikan untuk menilai
tolerabilitas . (Reddy et al, 2017)
Pada pasien dimana terapi B-blocker dikontraindikasikan, manajemen lain
pilihan termasuk penghambat saluran kalsium seperti diltiazem atau verapamil.
Namun agen ini harus dihindari pada mereka dengan: penurunan fraksi ejeksi atau
ketidakstabilan hemodinamik karena efek inotropik negatif yang kuat. Pada pasien
dikasus ini penggunakan penghambat kanal kalsium sebaiknya tidak diberikan,
dikarenakan pasien memiliki fraksi ejeksi yang rendah. (Parmar, 2014)
Di antara beta-blocker, propranolol memiliki keuntungan mengurangi
konversi perifer dari T4 menjadi T3; namun, efek ini memiliki nilai terapeutik yang
kecil, dan agen kardioselektif lainnya dengan waktu paruh yang lebih lama sama
efektifnya. Agen short-acting, seperti esmolol, dapat dicoba untuk memperlambat
laju jantung dan pemantauan tekanan darah pada pasien dengan gagal jantung terkait
untuk menentukan tolerabilitasnya. (Parmar, 2014).
Pasien kasus ini memiliki ejeksi fraksi yang rendah 35 %, dimana pada
panduan European society of Cardiology (ESC) tahun 2020, lini pertama tatalaksana
atrial fibrilasi pada pasien dengan penurunan fraksi ejeksi adalah penghambat beta
sebagai kontrol laju jantung.

12
Gambar 6. Algoritma tatalaksana kontrol laju jantung pada fibrilasi atrium
(ESC, 2020)
Beberapa pilihan obat pada pasien dengan onset AF akut juga dipaparkan
pada panduan ESC termasuk penghambat beta dan dapat digunakan pada kondisi
atrial fibrilasi gagal jantung yang tidak mengalami kondisi dekompensasi akut.
Sedangkan pada pasien dengan kondisi dekompensasi, atau gangguan fungsi sistolik

LV berat.

Tabel 4. Rekomendasi pihan terapi agen penghambat beta sebagai kontrol laju
jantung pada pasien fibrilasi atrium (ESC, 2020)

13
IV.2.2 Digoksin
Pada pasien ini diberikan injeksi digoksin Ketika masuk di UGD. Pemberian
digoksin dapat dipertimbangkan untuk kontrol laju jantung pada pasien dengan gagal
jantung yang beta-blocker atau calcium channel blocker mungkin tidak cocok.

Tabel 5. Rekomendasi terapi laju ventrikal pada pasien fibrilasi atrium (ESC, 2020)

Namun, fibrilasi atrium pada hipertiroid biasanya resisten terhadap digoksin


yang sebagian disebabkan oleh peningkatan klirens ginjal dan volume distribusinya
yang jelas serta peningkatan simpatis dan penurunan tonus vagal. Eksresi digoksin
pada pasien hipertiroid ditemukan meningkat dan metabolismenya berkurang
sehingga efek yang ditimbulkan semakin berkurang. Konsentrasi serum digoksin
yang rendah dalam darah ditemukan pada pasien hipertiroiod dan studi yang
dilakukan oleh Caldwell memaparkan bahwa terjadi sekitar penambahan 30 %
eksresi diginjal terhadap digoksin intravena pada pasien dengan hipertiroid. Oleh
karena itu dibutuhkan dosis digoksin yang lebih besar dari biasanya,yang dapat
meningkatkan risiko toksisitasnya. Belum dijelaskan dosis pasti dari digoksin pada
pasien dengan hipertiroid. Meskipun keterbatasan ini, digoksin masih harus
dipertimbangkan pada pasien dengan gagal jantung dan fibrilasi atrium tirotoksik
bersamaan.
Digoxin juga dapat dipertimbangkan pada mereka yang lemah status
hemodinamik. Namun karena beberapa faktor yang terjadi pada kondisi hipertiroid,
seperti meningkatnya klirens pada ginjal, meningkatnya respon simpatis dan
penurunan respon vagal serta volusi distribus yang besar, maka diperlukan dosis

14
digoksin yang lebih besar dari biasanya. Hal tersebut dapat menyebabkan resiko
intoksikasi meningkat.
Sesuai panduan ESC pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah, pada pasien
ini kami berikan injeksi digoksin 0.5 mg/ IV untuk kontrol laju ventrikel.

IV.3 Kardioversi
Upaya kardioversi sebaiknya tidak dilakukan sebelum pemulihan keadaan
eutiroid karena konversi ke irama sinus sulit terjadi selama pasien tetap hipertiroid.
Setelah keadaan eutiroid dicapai dengan pengobatan hipertiroidisme, konversi
spontan ke irama sinus terjadi pada hampir dua pertiga pasien dalam 8-10 minggu
atau 3-4 bulan, tetapi hanya sedikit yang kembali secara spontan ke irama sinus
setelah 3 bulan yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor. (Parmar, 2014)
Kardioversi elektif pada pasien yang memilik AF menetap cukup efektif dan
irama sinus dapat dimaintenance pada 56.7% pasien hingga 10 tahun kedepan. Selain
durasi fibrilasi atrium, faktor yang mempengaruhi pengembalian spontan ke irama
sinus adalah usia, adanya penyakit jantung yang mendasari, fraksi ejeksi rendah dan
dilatasi atrium kiri. Dengan tidak adanya pengembalian spontan ke irama sinus
dalam jangka waktu ini, kardioversi listrik atau farmakologis harus dicoba hanya
setelah pasien dinyatakan eutiroid dan telah diberikan antikoagulan secara optimal
selama minimal 3 minggu, dan antikoagulan harus dilanjutkan setidaknya selama 4
minggu. minggu setelah kardioversi sukses. (Parmar, 2014)
Rekurensi dari fibrilasi atrium setelah kardioversi juga dapat terjadi pada
pasien dengan hipertiroid dan angka rekurensi juga dapat terjadi disebabkan oleh
beberapa faktor seperti ukuran atrium, fraksi ejeksi rendah dan diabetes melitus.
Curdogan pada studinya menjelaskan rekurensi dari AF terjadi dalam 2 minggu
pertama pada 1/3 pasien post kardioversi. Angka rekurensi tampak lebih rendah pada
pasien yang mengalami durasi AF lebih singkat yaitu 40 % pada durasi AF dibawah
1

15
tahun bahkan dengan konsumsi obat-obatan antiaritmia. (Curdogan, 2016). Namun
hal berbeda dipaparkan oleh Shimizu dengan hasil studi maintenans sinus rhythm
dapat dipertahankan sebanyak 56.% pada 10 tahun post kardioversi. (Shimizu, T,
2002)

Konversi ke sinus rhythm diharapkan pada pasien ini dalam 8-10 minggu
setelah mencapai kondisi eutiroid. Jika pasien tidak mengalami konversi, maka
dapat dipertimbangkan dilakukan kardioversi mekanik. Namun pada pasien ini
kemungkinan kegagalan kardioversi dapat terjadi, terkait pasien memiliki durasi
fibrilasi atrium lebih dari 1 tahun, dilatasi dari atrium kiri dan gagal jantung
merupakan prediktor kegagalan dari kardioversi.

IV.4 Manajemen Hipertiroid

Tatalaksana segera dari kondisi tirotoksikosis adalah salah satu tujuan utama
dari pengelolaan fibrilasi atrium tirotoksik yang paling baik dicapai dalam 2 langkah
yaitu terapi obat antitiroid diikuti oleh ablasi tiroid dengan iodium radioaktif untuk
mencapai kondisi eutiroid jika dengan pemberian farmakoterapi tidak menunjukkan
hasil yang memuaskan. (Liu et al, 2017)
Obat antithyroid yang menjadi pilihan terapi adalah methimazole (MMI) dan
prophyltiuracil (PTU). Carbimazole yang memiliki fungsi dan efikasi yang sama
dengan methimazole juga dapat dijadikan pilihan. Beberapa studi menunjukkan
methimazole memiliki efikasi yang lebih baik dan mengembalikan fungsi eutiroid
lebih cepat dibandingkan PTU, namun angka rekurensi pada kedua regimen setelah
penghentian obat adalah sama. Dosis inisial MMI yang dapat diberikan tergantung
pada severitas dari hipertiroidnya dimana pada hipertiroid ringan diberikan dosis 10-
15 mg per hari dan 20-40 mg pada hipertiorid berat. (Liu et al, 2017)
Durasi pemberian terapi obat antitiroid yang direkomendasikan adalah 12-18
bulan karena memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan terapi 6 bulan
pengobatan. Dari meta-analysis menyebutkan durasi 12 bulan pengobatan titrasi

16
memiliki angka rekurensi lebih rendah dibanting 6 bulan pengobatan.
Mempertimbangkan angka rekurensi yang tinggi ketika dosis obat dikurangi, studi
menjelaskan pengobatan dilanjutkan dengan menggunakan pengobatan dosis rendah.

IV.5. Ablasi kateter jantung pada pasien atrial fibrilasi dengan hipertiroid.

Efisiensi dan hasil dari ablasi kateter pada pasien AF dengan hipertiroid
belum diketahui dan tidak ada konsensus yang jelas hingga saat ini. Namun jika AF
menetap setelah 8-12 minggu kondisi eutiroid tercapai, ablasi kateter bisa menjadi
salah satu pilihan terapi. (Krisai, P. et al. 2021)
Krisai dkk tahun 2021, melakukan studi pada 39 pasien hipertiroid, dengan
usia rata-rata 60 tahun dan memiliki AF persisten. Ablasi yang dilakukan berupa
radiofrekuensi ablasi pada 36 pasien, cryoballoon pada 1 pasien, dan pulsed field
ablation pada 1 pasien dan kombinasi radiofrekuensi dan cryoballoon pada 1 pasien.
Target ablasi terbanyak dilakukan pada vena pulmonalis (74.4 %), ismus cavo-
tricuspid (43.6%) dan left atrial roof (43.6 %) dan ismus mitral lateral (35.9 %).
(Krisai, P. et al. 2021)
Dari studi tersebut didapatkan hasil ablasi sukses pada semua pasien dengan
blok pada PVI dan ismus cavotrikuspid, 16/17 pasien (94,1%) pada left atrial roof
dan 13/14 (92.9%) pada ismus mitral. Pada follow up 10 bulan post tindakan, 18
pasien hipertiroid mengalami atrial fibrilasi kembali. Angka rekurensi nya 34.7 %
pada 6 bulan dan 50.8 % dalam 12 bulan. Rekurensi terjadi lebih tinggi pada pasien
dengan kondisi hipertiroid. (Krisai, P. et al. 2021)
Studi lain dilakukan oleh Ma dkk pada tahun 2007, melakukan ablasi pada
vena pulmonalis secara sirkumferensial pada 16 pasien hipertiroid dengan kondisi
eutiroid tercapai > 3 bulan, namun masih mengalami AF walaupun diberikan terapi
antiaritmia. Ablasi dilakukan dengan menggunakan mapping 3 dimensi dengan
defisini sukses jika pasien bebas dari takiaritmia atrium dalam 3 bulan dan obat
antiaritmia dihentikan setelah prosedur. (Ma et al 2007)

17
Pasien kemudian dilakukan follow up dengan hasil rerata follow up 15.8
bulan, 9 pasien tidak memiliki episode takikardi atrium dan atrial fibrilasi relaps pada
7 pasien. 4 pasien diantara merespon terhadap terapi antiaritmia dan 3 pasien tidak
berespon (Ma et al 2007)

Tabel 6. Karakteristik Pasien Fibrilasi Atrium dan Hasil Ablasi yang


dilakukan (Ma et al 2007)

Gambar 7. Elektroanatomik 3 dimensi dari atrium kiri pada pasien.(Ma et al


2007

18
Studi yang dilakukan oleh Ma dkk memiiki imitasi terhadap jumlah sampe
yang sedikit namun penelitian dengan jumlah sampel yang lebih banyak diharapkan
dapat dilakukan. Dari kesimpulan studi ini mengindikasikan ablasi kateter pada vena
pulmonal dengan mapping 3 dimensi memiliki efektifitas yang cukup baik pada
pasien AF disertai hipertiroid dan dapat dijadikan salah satu pilihan terapi. (Ma et al
2007)

V. RINGKASAN
Telah dilaporkan sebuah kasus pasien laki-laki 43 tahun dengan fibrilasi
atrium respon ventrikel cepat disertai hipertiroid, gagal jantung dan hypertensive
heart disease. Kemudian pada pasien ini dilakukan tatalaksana untuk kontrol laju
ventrikel dan obat antiroid. Kontrol laju ventrikel menggunakan digoksin injeksi,
manajemen tiroid diberikan methimazole 20 mg dan propranolol 40 mg. Pasien
kemudian dirawat selama lima hari dan menunjukkan perbaikan gejala. Pasien
dipulangkan dengan target eutiroid dan direncanakan tindakan ablasi ketika kondisi
eutiroid tercapai.
Melalui laporan kasus ini kita dapat mengetahui bahawa kondisi atrial fibrilasi
disertai dengan hipertiroid memiliki angka rekurensi tinggi dengan faktor resiko
thromboemboli. Tatalaksana dari kondisi ini memerlukan manajemen komprehensif
dari kedua aspek baik dari kontrol laju ventrikel dan manajemen hormon tiroid.
Target dari pasien dengan kondisi ini adalah kondisi eutiroid, pencegahan kejadian
tromboemboli dan konversi ke sinus ritme ketika kondisi eutiroid telah tercapai. jika
kondisi ini tidak tercapai, maka tatalaksana ablasi tiroid, kardioversi, dan kateter
ablasi dapat dijadikan pilihan terapi. Kateter ablasi dapat menjadi pilihan pada pasien
AF disertai gagal jantung, dengan studi yang masih sedikit. Kedepannya diharapkan
hal ini dapat dipelajari lebih lanjut dengan sampel penelitian yang lebih besar untuk
menilai efektifitas dari pilihan terapi tersebut.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Parmar MS. Thyrotoxic atrial fibrillation. MedGenMed. 2005 Jan 4;7(1):74.


PMID: 16369379; PMCID: PMC1681414.

2. Patel, A., Jang, S., & Saba, S. (2021). Amiodarone For Atrial Fibrillation In The
Setting Of Cardiogenic Shock And Thyroid Storm. Circulation, 144(Suppl_2).
doi:10.1161/circ.144.suppl_2.16928

3. Gürdoğan, M., Ari, H., Tenekecioğlu, E., Ari, S., Bozat, T., Koca, V., & Melek,
M. (2016). Predictors of Atrial Fibrillation Recurrence in Hyperthyroid and
Euthyroid Patients. Arquivos brasileiros de cardiologia, 106(2), 84–91.
https://doi.org/10.5935/abc.20160013

4. Frost, L., Vestergaard, P., & Mosekilde, L. (2004). Hyperthyroidism and risk of
atrial fibrillation or flutter: a population-based study. Archives of internal
medicine, 164(15), 1675–1678. https://doi.org/10.1001/archinte.164.15.167

5. Jabrocka-Hybel, A., Bednarczuk, T., Bartalena, L., Pach, D., Ruchała, M.,
Kamiński, G., Kostecka-Matyja, M., & Hubalewska-Dydejczyk, A. (2015).
Amiodarone and the thyroid. Endokrynologia Polska, 66(2), 176–186.
https://doi.org/10.5603/EP.2015.0025

6. Reddy, V., Taha, W., Kundumadam, S., & Khan, M. (2017). Atrial fibrillation
and hyperthyroidism: A literature review. Indian heart journal, 69(4), 545–550.
https://doi.org/10.1016/j.ihj.2017.07.004

7. Jia, G., & Sowers, J. R. (2015). Autoantibodies of β-adrenergic and M2


cholinergic receptors: atrial fibrillation in hyperthyroidism. Endocrine, 49(2),
301–303. https://doi.org/10.1007/s12020-015-0556-3

20
8. Ozaydin, M., Kutlucan, A., Turker, Y., Koroglu, B., Arslan, A., Uysal, B. A.,
Erdogan, D., Varol, E., & Dogan, A. (2012). Association of inflammation with
atrial fibrillation in hyperthyroidism. Journal of geriatric cardiology : JGC, 9(4),
344–348. https://doi.org/10.3724/SP.J.1263.2012.06251

9. Liu, J., Fu, J., Xu, Y., & Wang, G. (2017). Antithyroid Drug Therapy for Graves'
Disease and Implications for Recurrence. International journal of
endocrinology, 2017, 3813540. https://doi.org/10.1155/2017/3813540

10. Krisai, P., Cheniti, G., Kamakura, T., Takagi, T., André, C., Ramirez, F. D.,
Nakatani, Y., Nakashima, T., Tixier, R., Chauvel, R., Pillois, X., Duchateau, J.,
Pambrun, T., Derval, N., Sacher, F., Hocini, M., Haïssaguerre, M., & Jaïs, P.
(2021). Catheter Ablation for Atrial Fibrillation in Hyperthyroid
Patients. Circulation. Arrhythmia and electrophysiology, 14(11), e010200.
https://doi.org/10.1161/CIRCEP.121.010200

11. Ross, D. S., Burch, H. B., Cooper, D. S., Greenlee, M. C., Laurberg, P., Maia, A.
L., Rivkees, S. A., Samuels, M., Sosa, J. A., Stan, M. N., & Walter, M. A. (2016).
2016 American Thyroid Association Guidelines for Diagnosis and Management
of Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis. Thyroid : official
journal of the American Thyroid
Association, 26(10), 1343–1421. https://doi.org/10.1089/thy.2016.0229

12. Ma, C. S., Liu, X., Hu, F. L., Dong, J. Z., Liu, X. P., Wang, X. H., Long, D. Y.,
Tang, R. B., Yu, R. H., Lu, C. S., Fang, D. P., Hao, P., & Liu, X. H. (2007).
Catheter ablation of atrial fibrillation in patients with hyperthyroidism. Journal of
interventional cardiac electrophysiology : an international journal of arrhythmias
and pacing, 18(2), 137–142. https://doi.org/10.1007/s10840-007-9088-

21

Anda mungkin juga menyukai