Anda di halaman 1dari 20

SEMINAR BIMBINGAN

Diagnostic and Management of Pulmonary Embolism

Oleh:

Azizi Hadi Pranoko, dr.

Pembimbing:

Danang Himawan Limanto, dr, Sp. BTKV, Subsp VE(K)

Program Pendidikan Dokter Spesialis-1

Program Studi Ilmu Bedah Toraks, Kardiak, dan Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

SURABAYA

2022
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah dengan:

Judul : Diagnostic and Management of Pulmonary Embolism

Jenis : Seminar Bimbingan

Penyusun : Azizi Hadi Pranoko, dr.

NIM : 012118236306

Oleh

Pembimbing

Danang Himawan Limanto, dr, Sp. BTKV, Subsp VE(K)


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................................iii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................................v
DAFTAR TABEL.............................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................
1.1 Pendahuluan……………………………………………………………….
1.2 Faktor Predisposisi, Prevalensi dan Insidensi…………………………….
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................
2.1 Patofisiologi PE...........................................................................................
2.2 Klasifikasi PE..............................................................................................
2.3 Penegakan Diagnosis PE.............................................................................
2.3.1 Manifestasi Klinis.........................................................................................
2.3.2 Pemeriksaan Penunjang................................................................................
2.3.2.1 Elektrokardiografi........................................................................................
2.3.2.2 Rontgen Toraks.............................................................................................
2.3.2.3 Echocardiografi............................................................................................
2.3.2.4 Kateterisasi Jantung......................................................................................
2.4 Diagnosis Banding
PE…………………………………………………………………………
2.5 Tatalaksana PE............................................................................................
2.5.1 Tatalaksana Medikamentosa.........................................................................
2.5.2 Tatalaksana Operatif.....................................................................................
BAB 3 KESIMPULAN.........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................

iv
1. DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. ................................................................................................................
Gambar 2. ............................................................................................................
Gambar 3. ..............................................................................................................
Gambar 4. ..............................................................................................................

v
2. DAFTAR TABEL

Tabel 1. ...................................................................................................................
Table 2. ..................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

2.6 Pendahuluan

Emboli paru merupakan kegawatdaruratan kardiovaskular ketiga yang cukup


sering terjadi, setelah infark miokard dan stroke. Emboli paru merupakan
peristiwa terjadinya infark paru yang disebabkan oleh adanya emboli pada aliran
sumbatan pembuluh darah arteri pulmonalis. Adanya sumbatan pada arteri
pulmonalis ini dapat memberikan kematian yang mendadak. Angka insidensi
tahunan dari emboli paru terjadi pada 1:1000 pasien di dunia (Kahn and de Wit,
2022). Hampir 20% pasien yang ditatalaksana dengan emboli paru mengalami
kematian 90 hari setelahnya. Presentasi dari emboli paru yang bervariasi, dari
asimtomatis hingga kondisi emergensi mengancam nyawa sehingga penegakan
diagnosis perlu dilakukan sedini dan setepat mungkin. Durasi dari penergakan
diagnosis berkurang seiring meningkatnya usia pasien terutama yang disertai
komorbid seperti bronkopneumonia, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK),
asma atau adanya proses fibrosis pada jaringan paru. (Bělohlávek, Dytrych and
Linhart, 2013)

2.7 Faktor Predisposisi, Prevalensi dan Insidensi

Berdasarkan studi epidemiologic, insiden tahunan dari emboli paru terjadi


sekitar 39-115 per 100.000 populasi sedangkan thrombosis vena dalam (DVT)
mencapai kisaran 53-162 per 100.000 populasi. (Konstantinides et al., 2020).
Studi cross sectional menunjukkan insiden dari kejadian tromboemboli vena
(TEV) delapan kali lipat lebih tinggi pada individu dengan usia > 80 tahun
dibandingkan pada decade kelima kehidupan. Emboli paru menyebabkan
kematian sebanyak < 300.000 kematian
TEV seringkali merupakan hasil interaksi antara faktor resiko individu yang
bersifat permanen dan faktor resiko berkaitan dengan setting yang seringkali
bersifat temporer atau transien.. Faktor resiko termasuk diantaranya ialah usia,

2
adanya riwayat tromboemboli vena, adanya keganasan, riwayat penyakit
gangguan koagulasi, riwayat pemberian terapi hormonal dan riwayat kontrasepsi.
Emboli paru seringkali bukan merupakan penyebab kematian utama, seringkali
berdampingan dengan kondisi komorbid lainnya seperti kanker, sepsis, kondisi
penyakit kronis yang memerlukan inhospitalisasi maupun kondisi lain seperti
sesudah pembedahan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Patofisiologi Molekular PE


Venous Thromboemboli (VTE) atau tromboemboli vena dan aterotrombosis
saling mengalami keterkaitan antara faktor resiko dan patofisiologi. Dikotomisasi
emboli paru dengan istilah “sumbatan merah” dan aterotrombosis sebagai
“sumbatan putih” tidak lagi digunakan. TEV merupakan bagian dari sindrom
kardiovaskular yang termasuk di dalamnya penyakit jantung coroner, penyakit
arteri perifer, dan penyakit serebrovaskular. Trias Virchow terdiri atas stasis,
hiperkoagulabilitas, dan jejas endothelial seringkali mengaktivasi kaskade
patofiologis VTE. Inflamasi tidak termasuk ke dalam trias Virchow akan tetapi
inflamasi termasuk sebagai presipitat kunc. Infeksi dan inflamasi yang terasosiasi
akan menyebabkan rekrutmen platelet yang merupakan langkah terpenting dalam
pembentukan thrombus. Platelet yang teraktivasi akan melepaskan polifosfat,
mikorpartikel prokoagulan, dan mediator proinflamatorik. Plataele yang
teraktivasi ini kemudian akan mengikat neutrophil dan menstimulasinya untuk
melepaskan material nukleat untuk membentuk jejaring ekstranuklear berisikan
DNA, histon dan granul neutofil konstituen. Jejaring ini disebut sebagai
neutrophil extracellular trap (NET) yang terdiri atas ekstrusi DNA dari leukosit.
NET bersifat protrombotik dan prokoagulan. Histon menstimulasi agregasi
platelet dan mempromosikan generasi thrombin yang dependen platelet. Ketika
thrombus vena mulai terorganisir, neutrophil kemudian menginfiltrasi NET,
trombi mengalami maturase, NET menyediakan jejaring yang mengikat sel darah
merah dan mempromosikan agregasi platelet lainnya.

Trombus vena mengandung fibrin, sel darah merah, platelet dan neutrophil
(Gambar 2,1). Trombi ini menciptakan lingkungan stasis, tensi oksigen rendah,
stress oksifatif, dan meningkatkan ekpresi dari produk genetic inflamatorik, dan
mengganggu kapasitas regulatorik endotel. Inflamasi berasal dari infeksi,

4
transfuse, atau faktor stimulasi eritropoiesis yang mengaktivasi kaskade reaksi
biokimiawi pada endotel vena dan mempromosikan thrombosis.

Rekurasi TEV pada ketiadaan antikoagulan menunjang hipotesis bahwa


thrombosis venda dapat persisten sebagai subklinikal, kronik maupun kondisi
inflamatorik yang menunjukkan gambaran klinik secara intermiten. Studi
JUPITER (Justification of the Use Statin Prevention : Trial Intervensi Evaluasi
Rosuvastatin) menunjukkan reduksi sebesar 43% pada TEV simtomatik pada
kohort dengan 17.802 subjek dengan peningkatan kadar hsCRP yang diberikan
terapi rosuvastatin 20 mg setiap harinya. Mekanisme postulasi utama ialah
mekanisme aksi rosuvastatin yang memberikan efek antiinflamatorik, dibuktikan
dengan penurunan kadar hsCRP.

Gambar 2.1 Mikorgrafik emboli paru fatal pada autopsy. Kiri, preparasi pewarnaan
konvensional dengan hematosiklin-eosin (HE), Kanan, Pewarnaan dengan menggunakan
2 pewarnaan special, yaitu CD11b untuk leukosit polimorfonuklear (PMN, coklat muda)
dan pewarna CD4eb untuk platelet (biru). Pewarnaan special ini menunjukan
tromboemboli fatal terdiri atas konstituen platelet (biru)

2.2 Patofisiologi Hemodinamik PE


Emboli paru terjadi ketika terbentuk klot (sumbatan) yang seringkali berasal
dari thrombosis vena dalam (DVT) pada pembuluh darah vena proksimal dari
ekstremitas bawah, yang kemudian mengalami dislokasi dan berpindah dari vena
kava inverior dan atrium jantung kanan. Pada pasien dengan emboli paru,
pertukaran gas mengalami gangguan oleh karena adanya dead space secara
anatomic dan adanya mismatch ventilasi dan perfusi (V/Q) pada paru. Sebagai

5
hasilnya, terdapat peningkatan gradien oksigen arteriolar-alveolar sehingga
kemudian terjadi hipoksemia. Resistensi vascular pulmoner terjadi sebagai
konsekuensi dari obstruksi mekanik dan adanya mediator vasoaktif dan
bronkokonstriktif yang dilepaskan oleh platelet pada emboli menginduksi
terjadinya konstriksi dari vascular pulmoner dan broncospasma. Peningkatkan
resistensi vascular pulmoner menyebabkan peningkatan stress dinding ventrikel
kanan, dilatasi dan kegagalan kontraktil yang menyebabkan ketidakseimbangkan
dari curah jantung (cardiac output). Adanya emboli paru yang rekuren dan kronik
menyebabkan remodelling dari vascular paru disertai adanya hipertensi paru
pulmoner yang kemudian berujung pada kegagalan jantung kanan. (Giordano et
al., 2017)

Peningkatan pada tekanan artei pulmoner secara mendadak meningkatkan


afterload dari ventrikel kanan, secara konsekuensi menyebabkan peningkatan
tegangan dinding ventrikel kanan diikuti dengan dilatasi ventrikel kanan dan
disfungsi (Gambar 2.2)

Gambar 2.2 Patofisiologi disfungsi ventrikel kanan dan efek berbhaya yang
menyebabkan penurunan tekanan artei sistemik, berkurangnya perfusi coroner dan

6
terganggunya fungsi ventricular. LV, ventriel kiri/ventikuer, PA: arteri pulmoner; RV:
righ venticular

2.2 Klasifikasi PE
Klasifikasi emboli paru akut dapat berkaian dengan prognostikasi dan
manajemen secara klis. Emboli paru massif menyebabkan 5-10% kasus. PE
submasif lebih sering ditemukan terjadi pada 20-25% pasien. PE berisiko rendah
terbanyak meliputi 65-70% kasus.

2.2.1 Emboli Paru Masif

Pasien dengan emboli paru massif dapat berkembang menjadi syok


kardiogenik dan kegagalan organ multisystem. Insufisensi renal, disfungsi hepar
dan penurunan kesadaran seringkali ditemukan. Emboli paru massif memiliki
tingkat mortalitas yang tinggi. Trombosis bersifat meluas, hingga mengenai
minimal setelah dari vascular arteri pukmoner. Klot biasanya ditemukan bilateral
disebut sebagai “saddle PE” pada arteri pulmoner utama. Dyspnea merupakan
gejala yang jelas dtemukan, nyeri dada jarang terjadi, sianosis transien juga sering
terjadi, dan hipotensi arterial sistemik membutuhkan support vasopreso juga
seringkali terjadi. Bolus cairan berlebih dapat memperparah gagal jantung kanan,
sehingga membuat pilihan terapi tidak mudah. Pasien memerlukan usaha yang
lebih agar bertahan hingga diperlukannya ECMO (extracorporeal membrane
oxygenation) (35)

2.2.2 Emboli Paru Submasif


Emboli paru submasif ditunjukkan dengan tekanan sistemik arterial
yang normal. European Society of Cardiology (ESC) sekarang ini membagi
emboli paru submasif menjadi entitas emboli paru resiko-tinggi dan emboli
paru resiko rendah. (36) Pasien dengan emboli paru submasif resiko tinggi,
menunjukkan adanya hypokinesis ventrikel kanan dan peningkatan
biomarker kardiak seperti troponin, pro-BNP, atau BNP. Pada emboli paru
submasif resiko rendah, diapatkan adanya difungsi ventrikel kanan atau
peningkatan biomarker kardiak, tidak keduanya. Umumnya sepertiga dari
vaskulatur pulmoner mengalami obstruksi pada PE submasif. Onset yang
mendadak pada hipertensi arteri pulmoner moderat (Gambar 2.3) dan

7
pembesaran ventrikel kanan seringkali terjadi. Apabila pasien sebelumnya
tidak memiliki riwayat penyakit kardiopulmoner, secara klinis akan tampak
baik, akan tetapi biasanya impresi awal ini akan dapat menimbulkan
kekeliruan, karena adanya resiko rekurensi dari emboli paru, walaupun
dengan adanya antikoagulan yang adekuat. Hampir sebagian besar dapat
bertahan, namun sebagian yang lain dapat mengalami deteroriasi klinis dan
membutuhkan esklasi terapi vasopresos maupun trombolisis (37)

Gambar 2.3 Ekokardiografi dopler menelusuri pasien dengan PE submasif.


Estimasi tekanan sistolik arteri pulmoner 54 mmHg, dengan kontribusi tambahan
tekanan atrial kanan, menyebabkan hipertensi pumoner akut sedang berat

2.2.3 Emboli Paru Resiko Rendah


Pasien dengan emboli paru resiko rendah menunjukkan tidak adanya
pendanda dan prognosis yang jelas. Umumnya dipresentasikan dengan
tekanan arterial yang normal, tidak adanya pelepasan biomarker kardiak,
dan fungsi ventrikel yang normal. Emboli paru ini juga biasanya
menunjukkan emboli kecil secara anatomis dan tampaks atabil secara klinis.
Antikoagulasi yang adekuat dapat berujung pada luaran klinis yang baik
sehingga dapat menjadikannya kandidat untuk perawatan di rumah (38).
2.2.4 Infark Pulmoner
Infark pulmoner dikarakterisasikan dengan manifestasi adanya nyeri
dada pleuritic yang tidak dapat mengalami remisi atau mengalami
penyusutan. Hemoptisis juga dapat menyertai pleuristik. Embolus biasanya
tertahan di percabangan arteri pulmoner perifer, dekat dengan pleura
(Gambar 2.4) Infark jatringan biasanya terjadi dalam waktu 3-7 hari paska

8
emboli. Tanda dan gejala meliputi demam, leuokositosis, peningkatan
kecepatan sedimentasi eritrosit (ESR) dan adanya bukti radiologis infark.

Gambar 2.4 Gambaran Chest Computed Tomography (CT) menunjukkan infarksi


pulmoner kanan yang besar, wedge-shaped

2.2.5 Emboli Paradoksikal


Emboli paradoksikal dapat bermanifestasi menjadi adanya stroke
yang mendadak sering misdiagnosis dengan stroke kriptogenik.
Penyebabnya ialah adanya DVT yang mengembolisasi sistem arterial
melalui foramen ovale paten. DVT dapat berbentuk kecil dan terpecah
menjadi serpihan secara komplit berasal dari vena tungkai, meninggalkan
tidak adanya bukti thrombosis yang dilakukan pemindaian dengan
pemeriksaan ultrasonografi vena.
2.2.6 Emboli Paru Nontrombotik
Sumber emboli selain thrombus yang jarang ditemui. Termasuk
didalamnya ialah lemak, tumor, udara dan cairan amniotic, Emboli lemak
seringkali terjadi setelah adanya trauma tumpul dengan komplikasi fraktur
tulang panjang. (40). Emboli udara dapat terjadi saat proses pemasangan
maupaun pelepasan dari kateter vena sentral. Emboli cairan amniotic dapat
bersifat katastropik dan dikarakterisasikan dengan adanya gagal napas,
syok kardiogenik, dan kogulasi intravascular diseminata (DIC). Pengguna
obat suntikan jatum; injeksi mandiri pada rambut, kontaminan kapas dan
talc dari pengguna obat-obatan injeksi juga merupakan suspek terjadinya

9
embolus spetik, yang dapat menyebabkan endocarditis pada katup
pulmoner dan tricuspid.

2.3 Penegakan Diagnosis PE


Emboli paru dapat menyerupai kemiripan dengan berbagai penyakit lain
seperti asma, pneumonia, pleurisy, penyakit jantung coroner, dan gagal jantung
kongestif. EP dapat terjadi secara konkomitan dengan penyakit lain seperti
pneumonia, gagal jantung, sehingga dapat menginterfensi diagnostic penunjang.
Ketika EP tidak ditemukan pada diagnosis utama, kadar plasma normal D-dimer
enzyme-linked ummunosorbent assay (ELISA) dapat menyingkirikan kondisi ini.
Apabila terdapat kecurigaan yang kuat terhadap EP, makan pemeriksaan ELISA
tidak perlu dilakukan dan dapat diproses secara langsung untuk dilakukan
pemindaian CT. (54). Walaupun batas atas dari kadar normal D-dimer pada
skrining ialah 500 ng/ml, batas atas dapat meningkat pada pasien dengan usia
lebih dari 50 tahun. Pada pasien tua ini, adjustifikasi D-dimer berdasarkan usia
memiliki tingkat cutoff yang didefinisikan dengan usia dikalikakan 10 (56)

2.3.1 Manifestasi Klinis


Emboli paru dapat menyerupai kemiripan dengan berbagai penyakit
lain seperti asma, pneumonia, pleuritis, penyakit jantung coroner, dan gagal
jantung kongestif. EP dapat terjadi secara konkomitan dengan penyakit lain
seperti pneumonia, gagal jantung, sehingga

2.3.2 Pemeriksaan Penunjang


2.3.2.1 Rontgen Thoraks
2.3.2.2 Ekokardiografi
Ekokardiografi dapat bermanfaat sekali untuk diagnosis dan
manajemen emboli paru. Walaupun tidak digunakan sebagai alat
diagnostic primer untuk menilai emboli paru, ekokardiografi
menyediakan informasi komplementer dari alat diagnostic lainnya
sertia memiliki nilai prognostic serta dapat dijadikan penunjang
untuk monitoring terapi (terutama apabila tidak tersedia CT).
Ekokardiografi yang dilakukan atas indikasi launnya, meliputi

10
gejala dyspnea, nyeri dada, dan hipotensi seringkali berujung
dengan penemuan incidental dari emboli paru. Thrombus yang
berasal dari emboli paru mumnya berasal dari sistem vena pada
kaki sehingga ekokardiografi dapat memvisualisasikan secara
langsung dari vena kava hingga arteri pulmoner. (Gambar 2.5)

Trombus di arteri pulmoner yang dapat divisualisasikan


setelah melwati bifurkasi dengan menggunakan TTE, apabila
ditemukan, maka sebagai penanda adanya difungsi ventrikel kanan
dan mortalitas awal yang tinggi. Meskipun TTE dapat
memvisualisasikan gambar sedikit jauh menuju ke cabang arteri
pulmoner utama, TEE jarang digunakan sebagai modalitas utama
emboli paru. Bifurkasi arteri pulmoner perlu dievaluasi dengan
hati-hati dengan menggunakan penampang sumbu pendek (short
axis) pada pasien dengan kecurigaan terhadap emboli paru dan
umumnya tidak dapat disebut sebagai “saddle emboli” apabila
mengalami sumbatan di bifurkasi. Trombus putative perlu
disingkirkan dengan massa kardiak lainnya seperti mikroma,
fibroelastoma, dan vegatasi.

Karakteristik ekokardiografi yang ditemukan pada emboli


paru menghasilkan fisiologi yang unik dari ventrikel kanan.
Ventikrl kanan normal biasanya terakustomasi dengan resisten
vena pulmoner (PVR) yang rendah, afterload yang rendah, serta
disetai dengan tekanan sistrolik ventrikel kanan yang rendah. Pada

11
emboli paru akut, PVR mengalami peningkatan secara substansial
dan mendadak, sehingga menyebabkan dilatasi ventrikel kanan dan
pada kasus yang berat, menyebabkan gagal jantung kanan. Dilatasi
ventrikel kanan merupakan penanda utama (hallmark) dari emboli
paru. Visualisasi terbaik dilihat dengan menggunakan penampang
apical four chamber view, disertai dengan adanya penanda lain
yang mendukung seperti diameter ventrikel kanan lebih besar
dibandingkan dengan diameter ventrikel kiri (ratio > 1.0) dan
adanya ventrikel kiri yang lebih kecil dengan pengisian yang
underfill akan tetapi berfungsi normal. Abnormalitas dari
pergerakan dinding regional dapat diketahui pada emboli paru
yaitu adanya dinding tengah (midwall) ventrikel kanan mengalami
diskinetik dengan jarak relative antara apeks dan basis jantung.
Pada pola ini, disebut sebagai McCornell sign, merupakan kondisi
yang spesifik adanya peningkatan PVR mendadak. TAPSE
ventrikel kanan juga ditemui mengalami penurunan pada pasien
emboli paru. Dilatasi ventrikel kanan dan disfungsi ventrikel kanan
regional tidak terlalu tampak pada pasien dengan peningkatan PVR
dalam jangka waktu panjang yang kemudian menhasilkan
hipertrofi ventrikel kanan. Pada pasien demikian, tekanan
pulmoner akan secara otomatis mengalami peningkatan dan
ventrikel kanan tidak menunjukkan adanya bukti dilatasi atau
disfungsi pada emboli paru. Sehingga, pola klasik dari
ekokardiografi pada ventrikel kanan memiliki sensitivitas yang
rendah dan memiliki nilai prediksi positif yang juga rendah
terutama pada pasien hipertensi pulmoner kronik seperti pada
PPOK atau penyakit tromboembolik kronik. (Braunwalds et al.,
2015)

Pasien dengan riawyat emboli paru sebelumnya, dengan


setting pada emboli paru akut, kecepatan regurgitasi tricuspid (TR)
seringkali relative normal, jarang melebihi 3 m/detik. Pasien
dengan adanya penyakit vaskulor pulmoner mendasar, dapat

12
ditemui adanya peningkatan TR konsisten dengan peningkatan
tekanan sistolik pulmoner. Penilaikan ditasi ventrikel kanan dan
disfungsi terinkorporasi pada algoritma tatalaksana dan bermanfaat
pada pasien dengan resiko sedang-tinggi. Adanya dilatasi ventrikel
atau difungsi ada emboli paru akut meupakan predictor
independent adanya luaran mortalitas jangka pendek, walaupun
pada pasien dengan hemodinamik stabil. Untuk respon terapi pada
emboli paru, perningkatan fungsi ventrikel kanan dapat dievaluasi
dengan menggunakan ekokardiografi beberapa hari setelah
keberhasilan terapi dilakukan (reperfusi dengan menggunakan
embolektomi atau trombolisis) pada emboli paru.

2.3.2.3 Kateterisasi Jantung


2.4 Diagnosis Banding Emboli Paru
2.5 Tatalaksana Emboli Paru

13
BAB III
KESIMPULAN

14
DAFTAR PUSTAKA

Bělohlávek, J., Dytrych, V. and Linhart, A. (2013) ‘Pulmonary embolism, part I:


Epidemiology, risk factors and risk stratification, pathophysiology, clinical
presentation, diagnosis and nonthrombotic pulmonary embolism’, Experimental
and Clinical Cardiology, 18(2), pp. 129–138.
Giordano, N.J. et al. (2017) ‘Epidemiology, Pathophysiology, Stratification, and
Natural History of Pulmonary Embolism’, Techniques in Vascular and
Interventional Radiology, 20(3), pp. 135–140. Available at:
https://doi.org/10.1053/j.tvir.2017.07.002.
Kahn, S.R. and de Wit, K. (2022) ‘Pulmonary Embolism.’, The New England
journal of medicine, 387(1), pp. 45–57. Available at:

15
https://doi.org/10.1056/NEJMcp2116489.
Konstantinides, S. V. et al. (2020) ‘2019 ESC Guidelines for the diagnosis and
management of acute pulmonary embolism developed in collaboration with the
European respiratory society (ERS)’, European Heart Journal, 41(4), pp. 543–
603. Available at: https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehz405.

16

Anda mungkin juga menyukai