Anda di halaman 1dari 69

LAPORAN KASUS

GAGAL JANTUNG KONGESTIF

Pembimbing
Prof. dr. T. Bahri Anwar, Sp. JP(K)

disusun oleh:

Muliadi Limanjaya 080100083


Marianto 080100112
Gembira Ira Hutahaean 080100163

DEPARTEMEN KARDIOLOGI & KEDOKTERAN VASKULER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
2012

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas
berkat dan hidayah-Nya sehingga laporan kasus ini dapat kami selesaikan tepat
pada waktunya.
Pada laporan kasus ini kami menyajikan makalah mengenai laporan kasus
gagal jantung kongestif dan penyakit jantung katub. Adapun tujuan penulisan
laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik Departemen
ii

Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler, Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik
Medan.
Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan pula terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Prof. dr. T. Bahri Anwar, Sp. JP(K) atas kesediaan beliau
sebagai pembimbing kami dalam penulisan laporan ini. Besar harapan kami,
melalui laporan ini, pengetahuan dan pemahaman kita mengenai gagal jantung
kongestif semakin bertambah.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih belum
sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan makalah ini. Atas bantuan dan segala dukungan dari
berbagai pihak baik secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima kasih.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya kesehatan.

Medan, 31 Oktober 2012

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
1.1. Latar Belakang................................................................... 1
1.2. Tujuan................................................................................ 2
1.3. Manfaat.............................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 1


iii

2.1 Gagal Jantung Kongestif.................................................... 1


2.1.1. Definisi Gagal Jantung Kongestif...................................... 3
2.1.2. Epidemiologi Gagal Jantung Kongestif............................. 3
2.1.3. Faktor Risiko Gagal Jantung Kongestif............................. 4
2.1.4. Etiologi Gagal Jantung Kongestif...................................... 7
2.1.5. Mekanisme Kompensasi Jantung....................................... 8
2.1.6. Diagnosa Gagal Jantung Kongestif.................................... 9
2.1.7. Pemeriksaan Penunjang Gagal Jantung Kongestif............. 11
2.1.8. Tatalaksana Gagal Jantung Kongestif................................ 14
2.1.9. Prognosa Gagal Jantung Kongestif.................................... 18

2.2. Aorta Stenosis.................................................................... 18


2.2.1. Definisi Aorta Stenosis....................................................... 18
2.2.2. Etiologi Aorta Stenosis....................................................... 19
2.2.3. Patofisiologi Aorta Stenosis............................................... 19
2.2.4. Gejala Klinis Aorta Stenosis.............................................. 19
2.2.5. Diagnosis Aorta Stenosis................................................... 20
2.2.6. Penatalaksanaan Aorta Stenosis......................................... 21
2.2.7. Prognosis Aorta Stenosis.................................................... 22

2.3. Mitral Regurgitasi.............................................................. 22


2.3.1. Definisi Mitral Regurgitasi................................................ 22
2.3.2. Etiologi Mitral Regurgitasi................................................ 23
2.3.3. Patofisiologi Mitral Regurgitasi......................................... 24
2.3.4. Gejala Klinis Mitral Regurgitasi........................................ 27
2.3.5. Pemeriksaan Penunjang Mitral Regurgitasi....................... 29
2.3.6. Tatalaksana Mitral Regurgitasi.......................................... 30

2.4. Regurgitasi Aorta............................................................... 32


2.4.1. Definisi Regurgitasi Aorta.................................................. 32
2.4.2. Etiologi Regurgitasi Aorta.................................................. 32
2.4.3. Patofisiologi Regurgitasi Aorta.......................................... 33
2.4.4. Diagnosa Regurgitasi Aorta............................................... 33
2.4.5. Tatalaksana Regurgitasi Aorta............................................ 35

2.5. Regurgitasi Pulmonal......................................................... 36


2.5.1. Definisi Regurgitasi Pulmonal........................................... 36
2.5.2. Etiologi Regurgitasi Pulmonal........................................... 36
2.5.3. Patofisiologi Regurgitasi Pulmonal.................................... 37
2.5.4. Gejala Klinis Regurgitasi Pulmonal................................... 37
2.5.5. Pemeriksaan Penunjang Regurgitasi Pulmonal.................. 38
2.5.6. Tatalaksana Regurgitasi Pulmonal..................................... 38

2.6. Mitral Stenosis................................................................... 38


2.6.1. Definisi Mitral Stenosis..................................................... 38
2.6.2. Patofisiologi Mitral Stenosis.............................................. 39
iv

2.6.3. Diagnosa Mitral Stenosis................................................... 40


2.6.4. Tatalaksana Mitral Stenosis................................................ 40

BAB III CATATAN MEDIK PASIEN....................................................... 42

BAB IV KESIMPULAN............................................................................ 66

DAFTAR PUSTAKA
1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis yang terjadi pada pasien yang
memiliki berbagai macam abnormalitas pada struktur atau fungsi otot jantung,
baik yang diturunkan secara genetis ataupun didapat, sehingga menyebabkan
berbagai macam gejala, seperti kelelahan dan dispnea, dan tanda seperti edema
dan ronkhi yang pada akhirnya akan berujung pada peningkatan angka
hospitalisasi, penurunan kualitas hidup, dan pemendekan angka harapan hidup.
Gagal jantung sendiri adalah suatu masalah yang terus menjadi momok
kesehatan di seluruh dunia, dengan 20 juta orang dalam seluruh populasi dewasa
terkena penyakit ini. Prevalensi total penderita gagal jantung pada populasi
dewasa di negara berkembang berjumlah sekitar 2%. Prevalensi gagal jantung
mengikuti pola eksponensial, meningkat sesuai usia, dan mempengaruhi sekitar 6-
10% masyarakat berusia diatas 65 tahun. Walaupun jumlah insidensi relatif gagal
jantung lebih rendah pada perempuan dibandingkan pria, namun jumlah penderita
perempuan sekitar 50% dari kasus gagal jantung. Hal ini terjadi karena lebih
tingginya angka harapan hidup perempuan dibandingkan pria. Di Amerika Utara
dan Eropa, resiko mengalami gagal jantung adalah 1 setiap 5 orang berusia 40
tahun. Prevalensi total dari gagal jantung diperkirakan meningkat, sebagian karena
membaiknya pengobatan penyakit-penyakit kardiovaskuler sehingga terjadi
peningkatan angka harapan hidup pasien. Walaupun gagal jantung awalnya diduga
muncul pada penurunan ejection fraction (EF) dari ventrikel kiri, suatu studi
epidemiologis menunjukkan sekitar setengah dari pasien yang mengalami gagal
jantung memiliki EF yang normal, atau hanya sedikit menurun (EF 40-50%).
Oleh karena itu, pasien gagal jantung sekarang dibagi menjadi 2 grup, gagal
jantung dengan penurunan EF, dan gagal jantung tanpa penurunan EF.
2

1.2. Rumusan Masalah


Yang menjadi rumusan masalah dalam laporan kasus ini adalah :
Bagaimana perjalanan penyakit, gambaran klinis dan penatalaksanaan pasien yang
mengalami penyakit jantung kongestif khususnya yg disebabkan oleh penyakit
jantung katup.

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah
a. Memahami teori mengenai penyakit jantung kongestif dengan penyakit
jantung katup.
b. Mengintegrasikan ilmu kedokteran terhadap kasus penyakit jantung
kongestif dan penyakit jantung katup.

1.4. Manfaat Penulisan


Manfaat yang diharapkan dari penulisan laporan kasus ini adalah :
a. Memperkukuh landasan teori ilmu kedokteran di bidang ilmu penyakit
dalam, khususnya penyakit jantung kongestif dengan penyakit jantung
katup.
b. Sebagai bahan informasi bagi pembaca yang ingin mendalami topik – topik
lebih lanjut yang berkaitan dengan penyakit jantung kongestif dengan
penyakit jantung katup.
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gagal jantung kongestif


2.1.1. Definisi Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi
jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau
disertai peninggian volume diastolik secara abnormal.1 Ketika ini terjadi, darah
tidak bergerak efisien melalui sistem peredaran darah dan mulai membuat
cadangan, meningkatkan tekanan di dalam pembuluh darah dan memaksa cairan
dari pembuluh darah ke jaringan tubuh. 2 Apabila tekanan pengisian ini meningkat
sehingga mengakibatkan edema paru dan bendungan di sistem vena, maka
keadaan ini disebut gagal jantung kongestif.3

2.1.2. Epidemiologi Gagal Jantung Kongestif


Gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada usia lanjut.4 Salah satu
penelitian menunjukkan bahwa gagal jantung terjadi pada 1% dari penduduk usia
50 tahun, sekitar 5% dari mereka berusia 75 tahun atau lebih, dan 25% dari
mereka yang berusia 85 tahun atau lebih. Karena jumlah orang tua terus
meningkat, jumlah orang yang didiagnosis dengan kondisi ini akan terus
meningkat. Di Amerika Serikat, hampir 5 juta orang telah didiagnosis gagal
jantung dan ada sekitar 550.000 kasus baru setiap tahunnya. Kondisi ini lebih
umum di antara Amerika, Afrika dari kulit putih. 4
Di Amerika serikat gagal jantung merupakan penyakit yang cepat
pertumbuhannya. Pada tahun 2006, prevalensi gagal jantung di Amerika Serikat
sebesar 2,6 % dimana 3,1% pada laki-laki dan 2,1% pada perempuan. 5 Di Eropa
(2005) prevalensi gagal jantung sebesar 2-2,5% pada semua umur, dan pada usia
diatas 80 tahun prevalensi gagal jantung >10%. Di London (1999) sekitar 1,3 per
1.000 penduduk pada semua umur mengalami gagal jantung dan 7,4 per 1.000
penduduk pada usia 75 ke atas. Di Wales (2008), insidens gagal jantung pada laki-
laki sebesar 10 per 1.000 pada usia 45-54 tahun, 20 per 1.000 pada usia 55-64
4

tahun, 40 per 1.000 pada usia 65-74 tahun, 90 per 1.000 pada usia > 75 tahun dan
pada semua umur yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 20 per 1.000 orang. 6
Insidens gagal jantung pada perempuan 10 per 1.000 pada usia 55-64 tahun, 20
per 1.000 pada usia 65-74 tahun, 60 per 1.000 pada usia > 75 tahun dan pada
semua umur yang berjenis kelamin perempuan sebesar 10 per 1.000 orang. 5 Di
Indonesia pada tahun 2007 jumlah kasus baru kunjungan rawat jalan sebanyak
38.438 orang dengan proporsi 9,88% dan kunjungan rawat inap sebanyak 18.585
orang dengan proporsi 18,23% sedangkan Case Fatality Rate (CFR) 13.420 per
100.000. Di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan, jumlah penderita gagal jantung
yang dirawat inap pada tahun 2000 sebanyak 75 orang, kemudian meningkat pada
tahun 2001 menjadi 114 orang,dan meningkat lagi pada tahun 2002 menjadi 155
orang.7

2.1.3. Faktor Resiko Gagal Jantung Kongestif


a. Umur
Umur berpengaruh terhadap kejadian gagal jantung walaupun gagal
jantung dapat dialami orang dari berbagai golongan umur tetapi semakin tua
seseorang maka akan semakin besar kemungkinan menderita gagal jantung karena
kekuatan pembuluh darah tidak seelastis saat muda dan juga timbulnya penyakit
jantung yang lain pada usia lanjut yang merupakan faktor resiko gagal jantung. 8
Menurut penelitian Siagian di Rumah Sakit Haji Adam Malik (2009) proporsi
penderita gagal jantung semakin meningkat sesuai dengan bertambahnya usia
yaitu 9,6% pada usia≤ 15 tahun, 14,8% pada usia 16-40 tahun dan 75,6% pada
usia >40 tahun.
b. Jenis kelamin
Pada umumnya laki-laki lebih beresiko terkena gagal jantung daripada
perempuan. Hal ini disebabkan karena perempuan mempunyai hormon estrogen
yang berpengaruh terhadap bagaimana tubuh menghadapi lemak dan kolesterol.
c. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner dalam Framingham study dikatakan sebagai
penyebab gagal jantung 46% pada laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko
koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat
berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan serta
5

tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai
faktor risiko independen perkembangan gagal jantung.8
d. Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan tekanan darah
yang tinggi terus-menerus. Ketika tekanan darah terus di atas 140/80, jantung
akan semakin kesulitan memompa darah dengan efektif dan setelah waktu yang
lama, risiko berkembangnya penyakit jantung meningkat. Hipertensi dapat
menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi
ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri
sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta
memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia
ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan
kuat dengan perkembangan gagal jantung.8
e. Penyakit katup jantung
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik.
Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis
aorta. Regurgitasi mitral dan regurgitasi aorta menyebabkan kelebihan beban
volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban
tekanan (peningkatan afterload).8
f. Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada
struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi
akibat adanya gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase
awal perkembangan janin.11 Penyakit jantung bawaan bisa terdiagnosis sebelum
kelahiran atau sesaat setelah lahir, selama masa anak-anak, atau setelah dewasa.
Penyakit jantung bawaan dengan adanya kelainan otot jantung akan mengarah
pada gagal jantung.
g. Penyakit Jantung Rematik
Penyakit Jantung Rematik (PJR) atau Rheumatic Heart Disease (RHD)
adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup jantung yang bisa
berupa penyempitan, atau kebocoran, terutama katup mitral (stenosis katup mitral)
sebagai akibat adanya gejala sisa dari demam Rematik. Demam rematik akut
dapat menyebabkan peradangan pada semua lapisan jantung. Peradangan
endokardium biasanya mengenai endotel katup, dan erosi pinggir daun katup. Bila
6

miokardium terserang akan timbul nodular yang khas pada dinding jantung
sehingga dapat menyebabkan pembesaran jantung yang berakhir pada gagal
jantung.8
h. Aritmia
Aritmia adalah berkurangnya efisiensi jantung yang terjadi bila kontraksi
atrium hilang (fibrilasi atrium, AF). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan
gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi
ventrikel kiri pada penderita hipertensi.8
i. Kardiomiopati
Kardiomiopati merupakan penyakit pada otot jantung yang bukan
disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi, penyakit jantung
kongenital, ataupun penyakit katup jantung. Kardiomiopati ditandai dengan
kekakuan otot jantung dan tidak membesar sehingga terjadi kelainan fungsi
diastolik (relaksasi) dan menghambat fungsi ventrikel.8
j. Merokok dan Konsumsi Alkohol
Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko penyakit jantung. Merokok
mempercepat denyut jantung, merendahkan kemampuan jantung dalam membawa
dan mengirimkan oksigen, menurunkan level HDL-C (kolesterol baik) di dalam
darah, serta menyebabkan pengaktifan platelet, yaitu sel-sel penggumpalan darah.
Pengumpalan cenderung terjadi pada arteri jantung, terutama jika sudah ada
endapan kolesterol di dalam arteri. Alkohol dapat berefek secara langsung pada
jantung, menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia
(tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan
kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan
gagal jantung 2 – 3% dari kasus.8

2.1.4. Etiologi Gagal Jantung Kongestif


Penyebab gagal jantung dapat berupa faktor dari dalam jantung itu sendiri
maupun dari luar. Faktor dari dalam lebih sering karena terjadinya kerusakan-
kerusakan yang sudah dibawa, sedangkan faktor dari luar cukup banyak, antara
lain: penyakit jantung koroner, hipertensi, dan diabetes mellitus. Terdapat tiga
kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu:
7

a. Gangguan mekanik; beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara


tunggal atau bersamaan yaitu :
 Beban volume (volume overload), misal: insufisiensi aorta atau mitral, left
to right shunt, dan transfusi berlebihan
 Beban tekanan (pressure overload), misal: hipertensi, stenosis aorta,
koartasio aorta, dan hipertrofi kardiomiopati
 Hambatan pengisian, misal: constrictive pericarditis dan tamponade
 Tamponade jantung atau konstriski perikard (jantung tidak dapat diastole).
 Obstruksi pengisian bilik
 Aneurisma bilik dan disinergi bilik
 Restriksi endokardial atau miokardial
b. Abnormalitas otot jantung
 Kelainan miokardium (otot): kardiomiopati, miokarditis metabolik (DM,
gagal ginjal kronik, anemia), toksin atau sitostatika.
 Kelainan disdinamik sekunder: Deprivasi oksigen (penyakit jantung
koroner), kelainan metabolic, peradangan, penyakit sistemik, dan penyakit
Paru Obstruksi Kronis
c. Gangguan irama jantung atau gangguan konduksi: misalnya, irama tenang,
fibrilasi, takikardia atau bradikardia ekstrim, asinkronitas listrik.

Perubahan-perubahan yang terlihat pada gagal jantung:12


1 2 3

Keterangan :
Gambar 1 : Jantung normal.
Gambar 2 : Dinding jantung merentang dan bilik-bilik jantung membesar, dinding
jantung merentang untuk menahan lebih banyak darah.
8

Gambar 3 : Dinding-dinding jantung menebal, dinding otot jantung menebal


untuk memompa lebih kuat.

2.1.5. Mekanisme Kompensasi pada Jantung


Secara keseluruhan, perubahan yang terjadi pada fungsi jantung yang
berhubungan dengan gagal jantung dapat menurunkan daya kontraktilitas.13
Ketika terjadi penurunan daya kontraktilitas, jantung berkompensasi dengan
adanya kontraksi paksaan yang kemudian dapat meningkatkan cardiac output.
Pada gagal jantung kongestif, kompensasi ini gagal terjadi sehingga kontraksi
jantung menjadi kurang efisien. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan stroke
volume yang kemudian menyebabkan peningkatan denyut jantung untuk dapat
mempertahankan cardiac output. Peningkatan denyut jantung ini lama-kelamaan
berkompensasi dengan terjadinya hipertrofi miokardium, yang disebabkan
peningkatan diferensiasi serat otot jantung untuk mempertahankan kontaktilitas
jantung. Jika dengan hipertrofi miokardium, jantung masih belum dapat mencapai
stroke volume yang cukup bagi tubuh, terjadi suatu kompensasi terminal berupa
peningkatan volume ventrikel.14
Gagal jantung kongestif terkompensasi adalah kondisi dengan fraksi ejeksi
rnenurun tetapi curah jantung dapat dipertahankan oleh mekanisme-mekanisme
berikut ini dengan atau tanpa terapi obat.
a.
Mekanisme kompensasi sentral termasuk hubungan Frank-Starling dan
hipertrofi ventrikel akibat peningkatan preload atau after-load. Preload
seringkali menunjukkan adanya suatu tekanan diastolik akhir atau volume
pada ventrikel kiri dan secara klinis dinilai dengan mengukur tekanan atrium
kanan. Tolak ukur akhir pada stroke volume adalah afterload. Afterload adalah
volume darah yang dipompa oleh otot jantung, yang biasanya dapat dilihat
dari tekanan arteri rata-rata.15
b.
Mekanisme kompensasi perifer mengakibatkan (1) aktivasi sistem renin-
angiotensin, (2) peningkatan kadar hormon-hormon endogen lokal dan
sirkulasi yang bersifat kontra-regulasi terhadap renin-angiotensin, (3) aktivasi
dari sistem saraf simpatis dengan peningkatan kadar nor-epinefrin serum, (4)
9

redistribusi curah jantung untuk mompertahankah aliran darah ke jantung dan


otak, dan (5) peninggian kadar 2,3-difos-fogliserat (DPG).15

2.1.6. Diagnosis Gagal Jantung Kongestif


Tanda serta gejala penyakit gagal jantung dapat dibedakan berdasarkan
bagian mana dari jantung itu yang mengalami gangguan pemompaan darah, lebih
jelasnya sebagai berikut:16
a. Gagal jantung sebelah kiri; menyebabkan pengumpulan cairan di dalam paru-
paru (edema pulmoner), yang menyebabkan sesak nafas yang hebat. Pada
awalnya sesak nafas hanya dirasakan saat seseorang melakukan aktivitas,
tetapi sejalan dengan memburuknya penyakit maka sesak nafas juga akan
timbul pada saat penderita tidak melakukan aktivitas. Sedangkan tanda lainnya
adalah cepat letih (fatigue), gelisah/cemas (anxiety), detak jantung cepat
(tachycardia), batuk-batuk serta irama denyut jantung tidak teratur (aritmia).
b. Gagal jantung sebelah kanan; cenderung mengakibatkan pengumpulan
darah yang mengalir ke bagian kanan jantung. Sehingga hal ini menyebabkan
pembengkakan di kaki, pergelangan kaki, tungkai, perut (ascites) dan hati
(hepatomegaly). Tanda lainnya adalah mual, muntah, keletihan, detak jantung
cepat serta sering buang air kecil (urin) dimalam hari (Nocturia).

Tabel 2.1 Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural (ACC/AHA)


atau berdasarkan gejala, berdasarkan kelas fungsionalnya (NYHA)17
Tahapan Gagal Jantung berdasarkan Beratnya gagal jantung berdasarkan
struktural dan kerusakan otot jantung. gejala dan aktivitas fisik.
Stage Memiliki risiko tinggi Kelas Aktivitas fisik tidak terganggu,
A mengembangkan gagal I aktivitas yang umum dilakukan
jantung. Tidak ditemukan tidak menyebabkan kelelahan,
kelainan struktural atau palpitasi, atau sesak nafas.
fungsional, tidak terdapat
tanda/gejala.
Stage Secara struktural terdapat Kelas Aktivitas fisik sedikit terbatasi.
B kelainan jantung yang II Saat istirahat tidak ada keluhan.
dihubungkan dengan gagal Tapi aktivitas fisik yang umum
jantung, tapi tanpa tanda/gejala dilakukan mengakibatkan
gagal jantung. kelelahan, palpitasi atau sesak
nafas.
Stage Gagal jantung bergejala Kelas Aktivitas fisik sangat terbatasi.
C dengan kelainan struktural III Saat istirahat tidak ada keluhan.
10

jantung. Tapi aktivitas ringan


menimbulkan rasa lelah,
palpitasi, atau sesak nafas.
Stage Secara struktural jantung telah Kelas Tidak dapat beraktivitas tanpa
D mengalami kelainan berat, IV menimbulkan keluhan. Saat
gejala gagal jantung terasa saat istirahat bergejala. Jika
istirahat walau telah melakukan aktivitas fisik,
mendapatkan pengobatan. keluhan bertambah berat.
11

Tabel 2.2 Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung17


Kriteria Mayor:
Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
Distensi vena leher
Rales paru
Kardiomegali pada hasil rontgen
Edema paru akut
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kanan
Hepatojugular reflux
Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon
pengobatan gagal jantung
Kriteria Minor:
Edema pergelangan kaki bilateral
Batuk pada malam hari
Dyspnea on ordinary exertion
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi ≥ 120x/menit
Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat minimal 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor

2.1.7. Pemeriksaan Penunjang Gagal Jantung Kongestif


a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung
antara lain adalah: darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum &
kreatinine, SGOT/PT, dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada
pasien dengan gagal jantung karena beberapa alasan berikut: (1) untuk mendeteksi
anemia, (2) untuk mendeteksi gangguan elektrolit (hipokalemia dan/atau
hiponatremia), (3) untuk menilai fungsi ginjal dan hati, dan (4) untuk mengukur
brain natriuretic peptide (beratnya gangguan hemodinamik).18
12

b. Pemeriksaan Foto thoraks


Tabel 2.3 Temuan pada Foto Toraks, Penyebab, dan Implikasi Klinis17
Kelainan Penyebab Implikasi Klinis
Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, Ekhokardiografi, doppler
ventrikel kanan, atria,
efusi perikard
Hipertropi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta, Ekhokardiografi, doppler
kardiomiopati hipertropi
Kongesti vena paru Peningkatan tekanan Gagal jantung kiri
pengisian ventrikel kiri
Edema interstisial Peningkatan tekanan Gagal jantung kiri
pengisian ventrikel kiri
Efusi pleura Gagal jantung dengan Pikirkan diagnosis non
peningkatan pengisian kardiak
tekanan jika ditemukan
bilateral, infeksi paru,
keganasan
Garis Kerley B Peningkatan tekanan Mitral stenosis atau gagal
limfatik jantung kronis

c. Pemeriksaan EKG
Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebagian
besar pasien (80-90%), antara lain:19
 Gelombang Q yang menunjukkan adanya infark miokard dan kelainan
gelombang ST-T menunjukkan adanya iskemia miokard.
 LBBB (left bundle branch block), kelainan ST-T dan pembesaran atrium
kiri menunjukkan adanya disfungsi bilik kiri
 LVH (left ventricular hypertrophy) dan inverse gelombang T menunjukkan
adannya stenosis aorta dan penyakit jantung hipertensi
 Aritmia jantung

d. Pemeriksaan Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan pengujian non invasif yang paling bermanfaat
dalam membantu menilai struktur dan fungsi jantung. Pemeriksaan ini
merupakan baku utama (gold standard) untuk menilai gangguan fungsi sistol
ventrikel kiri dan membantu memperkirakan hasil dan kemampuan bertahan
kasus gagal jantung.
13

Tabel 2.4 Temuan Echocardiography pada Gagal Jantung17


DISFUNGSI
TEMUAN UMUM DISFUNGSI SISTOLIK
DIASTOLIK
 Ukuran dan bentuk Ejeksi fraksi ventrikel  Ejeksi fraksi ventrikel
ventrikel kiri berkurang <45% kiri normal > 45-50%
 Ejeksi fraksi ventikel Ventrikel kiri membesar  Ukuran ventrikel kiri
kiri (LVEF) Dinding ventrikel kiri normal
 Gerakan regional tipis  Dinding ventrikel kiri
dinding jantung, Remodelling eksentrik tebal, atrium kiri
synchronisitas kontraksi ventrikel kiri berdilatasi
ventrikular Regurgitasi ringan-  Remodelling eksentrik
 Remodelling LV sedang katup mitral* ventrikel kiri.
(konsentrik vs Hipertensi pulmonal*  Tidak ada mitral
eksentrik) Pengisian mitral regurgitasi, jika ada
 Hipertrofi ventrikel kiri berkurang* minimal.
atau kanan (Disfunfsi Tanda-tanda  Hipertensi pulmonal*
Diastolik : hipertensi, meningkatnya tekanan  Pola pengisian mitral
COPD, kelainan katup) pengisian ventrikel* abnormal.*
 Morfolofi dan beratnya  Terdapat tanda-tanda
kelainan katup tekanan pengisian
 Mitral inflow dan aortic meningkat.
outflow; gradien
tekanan ventrikel kanan
 Status cardiac output
(rendah/tinggi)
Keterangan : * Temuan pada echo-doppler.

e. Tes latihan fisik


Tes latihan fisik sering dilakukan untuk menilai adanya iskemia miokard
dan pada beberapa kasus untuk mengukur konsumsi oksigen maksimum (VO2
maks), yaitu kadar dimana konsumsi oksigen lebih lanjut. VO2 maks merupakan
kadar dimana konsumsi oksigen lebuh lanjut tidak akan meningkat meskipun
terdapat peningkatan latihan lebih lanjut. VO2 maks menunjukkan batas toleransi
latihan aerobik dan sering menurun pada gagal jantung.
f. Kateterisasi jantung
Kateterisasi jantung dilakukan pada semua gagal jantung yang
penyebabnya belum diketahui. Dengan kateterisasi jantung maka dapat diketahui
besar tekanan ruang-ruang jantung dan pembuluh darah serta penentuan besarnya
curah jantung.
14

2.1.8. Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif


a. Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Tabel 2.5 Topik Keterampilan Merawat Diri yang perlu dipahami penderita Gagal
Jantung Kongestif.20
Topik Edukasi Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri
Definisi dan etiologi Memahami penyebab gagal jantung dan mengana
gagal jantung keluhan-keluhan timbul
Gejala-gejala dan Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung
Mencatat berat badan setiap hari
tanda-tanda gagal
Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan
jantung Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai
anjuran
Terapi farmakologik Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat
digunakan
Mengenal efek samping yang umum obat
Modifikasi faktor risiko Berhenti merokok, memantau tekanan darah
Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas
Rekomendasi diet Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi
Rekomendasi olah raga Melakukan olah raga teratur
Kepatuhan mengikuti anjuran pengobatan
Prognosis Mengerti pentingnya faktor-faktor prognostik dan
membuat keputusan realistik

b. Penatalaksanaan Farmakologis21
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
ACEI harus digunakan pada semua pasien dengan gagal jantung yang
simtomatik dan LVEF < 40%. Pasien yang harus mendapatkan ACEI :
 LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.
 Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi
Kontraindikasi yang patut diingat antara lain :
 Riwayat adanya angioedema
 Stenosis bilateral arteri renalis
 Konsentrasi serum kalsium > 5.0 mmol/L
 Serum kreatinin > 220 mmol/L (>2.5 mg/dl)
 Stenosis aorta berat
Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Pada pasien dengan tanpa kontraindikasi dan tidak toleran dengan ACE,
ARB direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dan LVEF < 40% yang
15

tetap simtomatik walau sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACEI dan BB,
kecuali telah mendapat antagonis aldosteron.
Pasien yang harus mendapatkan ARB:
 Left ventrikular ejection fraction (LVEF)< 40%
 Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.
 Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsionaal II-IV NYHA) walaupun
sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker.
β-bloker / Penghambat sekat-β (BB)
Alasan penggunaan beta bloker (BB) pada pasien gagal jantung adalah
adanya gejala takikardi dan tingginya kadar katekolamin yang dapat
memperburuk kondisi gagal jantung. Pasien dengan kontraindikasi atau tidak
ditoleransi, BB harus diberikan pada pasien gagal jantung yang simtomatik, dan
dengan LVEF < 40%.
Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:
 Mengurangi detak jantung : memperlambat fase pengisian diastolik
sehingga memperbaiki perfusi miokard.
 Meningkatkan LVEF
 Menurunkan tekanan baji kapiler pulmonal
Pasien yang harus mendapat BB:
 LVEF < 40%
 Gejala gagal jantung sedang-berat (NYHA kelas fungsional II-IV), pasien
dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah kejadian infark miokard.
 Dosis optimal untuk ACEI dan/atau ARB (dan aldosterone antagonis jika
diindikasikan).
 Pasien harus secara klinis stabil (tidak terdapat perubahan dosis diuresis).
Inisiasi terapi sebelum pulang rawat memungkinkan untuk diberikan pada
pasien yang baru saja masuk rawat karena gagal jantung akut, selama
pasien telah membaik dengan terapi lainnya, tidak tergantung pada obat
inotropik intravenous, dan dapat diobservasi di rumah sakit setidaknya 24
jam setelah dimulainya terapi BB.
Kontraindikasi :
 Asthma (COPD bukan kontranindikasi).
16

 AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa keberadaan


pacemaker), sinus bradikardi (<50 bpm).
Diuretik
Penggunaan diuretik pada gagal jantung :
 Periksa selalu fungsi ginjal dan serum elektrolit.
 Kebayakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazid karena
efektivitasnya yang lebih tinggi dalam memicu diuresis dan natriuresis.
 Selalu mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan hingga terrdapat
perbaikan klinis dari segi tanda dan gejala gagal jantung. Dosis harus
disesuaikan, terutama setelah berat badan kering normal telah tercapai,
hindari risiko disfungsi ginjal dan dehidrasi. Upayakan untuk mencapai hal
ini dengan menggunakan dosis diuretik serendah mungkin.
 Penyesuaian dosis sendiri oleh pasien berdasarkan pengukuran berat badan
harian dan tanda-tanda klinis lainnya dari retensi cairan harus selalu
disokong pada pasien gagal jantung rawat jalan. Untuk mencapai hal ini
diperlukan edukasi pasien.

Antagonis Aldosteron
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :
 LVEF < 35%
 Gejala gagal jantung sedang- berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)
 Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB
Memulai pemberian spironolakton :
 Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum
 Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan
meningkatkan dosis jika terjadi penurunan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
Hydralizin & Isosorbide Dinitrat (ISDN)
Pasien yang harus mendapatkan hidralizin dan ISDN berdasarkan banyak
uji klinis adalah
 Sebagai alternatif ACEI/ARB ketika keduanya tidak dapat ditoleransi.
 Sebagai terapi tambahan terhdap ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron
tidak dapat ditoleransi.
17

 Manfaat pengobatan lebih jelas ditemukan pada keturunan Afrika-


Amerika.
Kontraindikasinya antara lain hipotensi simtomatik, sindroma lupus, gagal
ginjal berat (pengurangan dosis mungkin dibutuhkan).
Glikosida Jantung (Digoxin)
Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :
 Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan
fungsi ventrikel kiri.
 Menstimulasi baroreseptor jantung
 Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga
menghasilkan penekanan sekresi renin dari ginjal.
 Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan
vagal tone.
 Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat> 80x/menit,
dan saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin.
 Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF <
40%) yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB,
beta bloker dan antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap
simtomatis, digoksin dapat dipertimbangkan.
Antikoagulan (Antagonis Vit-K)
Temuan yang perlu diingat :
 Pada pasien atrial fibrilasi yang dilibatkan pada serangkaian uji klinis
acak, termasuk pada pasien dengan gagal jantung, warfarin ditemukan
dapat mengurangi risiko stroke dengan 60-70%.
 Warfarin juga lebih efektif dalam mengurangi risiko stroke dibanding
terapi antiplatelet, dan lebih dipilih pada pasien dengan risiko stroke yang
lebih tinggi, seperti yang ditemukan pada pasien dengan gagal jantung.
 Tidak terdapat peranan antikoagulan pada pasien gagal lainnya, kecuali
pada mereka yang memiliki katup prostetik.
 Pada analisis dua uji klinis skala kecil yang membandingkan efektifitas
warfarin dan aspirin pada pasien dangan gagal jantung, ditemukan bahwa
risiko perawatan kembali secara bermakna lebih besar pada pasien yang
mendapat terapi aspirin, dibandingkan warfarin.
18

2.1.9. Prognosis Gagal Jantung Kongestif


Secara umum, mortalitas pasien gagal jantung rawat inap sebesar 5-20%
dan pada pasien rawat jalan sebesar 20% pada tahun pertama setelah diagnosis.
Angka ini dapat meningkat sampai 50% setelah 5 tahun pasca diagnosis.
Mortalitas pasien gagal jantung dengan NYHA kelas IV, ACC/AHA tingkat D
sebesar lebih dari 50% pada tahun pertama.22

2.2. Aorta Stenosis


2.2.1. Definisi Aorta Stenosis
Aortic Stenosis (AS) merupakan suatu kelainan pada katup aorta yang
disebabkan oleh age related calcified changes daripada katup aorta. Kalsifikasi
yang terjadi pada pasien dengan AS dapat juga ditemukan pada pasien dengan
congenitally deformed artic valves. Kebanyakan pasien yang berumur di atas 65
tahun dapat ditemukan AS, di mana pada pasien yang lebih muda dapat dijumpai
kalsifikasi pada katup bikuspid. Rheumatic heart disease juga dapat menimbulkan
AS, walaupun prevalensi daripada AS yang dikarenakan oleh penyakit ini telah
berkurang.23,24

2.2.2. Etiologi Aorta Stenosis


Penyebab Aortic Stenosis adalah kelainan kongenital, progresivitas
kalsifikasi yang berkaitan dengan faktor usia, dan rheumatoid heart disease, hal
ini disebabkan oleh terjadinya fibrosis yang progresif pada katup dengan beragam
tingkatan commisural fusion.23,24,25

2.2.3. Patofisiologi Aorta Stenosis


Ukuran normal orifisium aorta 2-3 cm. Stenosis aorta menyebabkan
tahanan dan perbedaan tekanan selama sistolik antara ventrikel kiri dan aorta.
Peningkatan tekanan ventrikel kiri menghasilkan beban tekanan berlebihan pada
ventrikel kiri, yang diatasi dengan meningkatkan ketebalan dinding ventrikel kiri
(hipertrofi ventrikel). Pelebaran terjadi sampai kontraktilitas miokard menurun.
19

Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat. Kontraksi atrium menambah


volume darah diastolik ventrikel kiri. Hal ini akan mengakibatkan pembesaran
atrium kiri. Akhirnya beban ventrikel kiri yang terus menerus akan menyebabkan
pelebaran ventrikel kiri dan menurunkan kontraktilitas miokard. Iskemia miokard
timbul akibat kurangnya aliran darah koroner ke miokard yang hipertrofi.23,26

2.2.4. Gejala klinis Aorta Stenosis


Gejala klinis yang paling sering dijumpai pada pasien dengan Aortic
Stenosis:
A.
Gambaran klinis dapat parah atau tidak muncul sama sekali, tergantung
dari derajat stenosis.
B.
Kongesti paru, disertai tanda-tanda dispnea dan hipertensi pulmonal,
dapat terjadi jika aliran balik darah mencapai sistem vaskular paru.
C.
Pusing dan kelemahan dapat terjadi akibat menurunnya curah jantung dan
isi sekuncup. Frekuensi jantung meningkat melalui rangsangan simpatis.
D.
Hipertrofi ventrikel kiri dapat berkembang menjadi gagal jantung
kongestif.23,25,26

2.2.5. Pemeriksaan Fisik Aorta Stenosis


Dari pemeriksaan fisik (auskultasi) dapat dijumpai:
A. Systolic ejection murmur
B. Melemahnya pulsasi daripada arteri carotid yang disebabkan oleh
pengeluaran daripada LV yang terganggu.
Temuan lain daripada pemeriksaan yang umumnya ditemukan adalah
suara jantung 4 (S4) dan penurunan intensitas suara jantung kedua (S2).23,25

2.2.6. Diagnosa
Untuk menegakkan diagnosa serta melengkapi informasi yang diperoleh
dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, dapat dilaksanakan pemeriksaan sebagai
berikut:
A.
ECG
B.
Echocardiogram 26,27
C.
Stress test (treadmill atau exercise ECG) 27
20

D.
Cardiac catheterization untuk melokalisasi oklusi yang timbul dan
abnormalitas daripada arteri. Fungsi daripada jantung dan katup juga
dapat dinilai. 27
E.
Cardiac MRI, pemeriksaan ini dapat digunakan sebagai pemeriksaan
pembantu echocardiograph untuk hasil yang lebih pasti dalam melihat
kondisi katup dan otot jantung, atau sebagai persiapan dalam
melakukan operasi katup jantung. 27

AHA Guidelines for Severity of Aortic Stenosis


Severity Valve Area (cm2) Maximum Aortic Mean Pressure
Velocity (mmHg) Gradient (mmHg)
Mild 1,5-2,0 2,5-3,0 <25
Moderate 1,0-1,5 3,0-4,0 25-40
Severe 0,6-1,0 >4,0 >40
Critical <0,6

2.2.7 Penatalaksanaan Aorta Stenosis


Tidak ada pengobatan medikamentosa untuk stenosis aorta asimtomatik,
tetapi begitu timbul gejala seperti sinkop, angina atau gagal jantung segera harus
dilakukan operasi katup, tergantung pada kemampuan dokter bedah jantung.
Dapat dilakukan reparasi (repair) atau replace (mengganti katup dengan katup
artificial). Penderita asimtomatik perlu dirujuk untuk pemeriksaan Doppler-
Ekokardiografi. Trans-valvular velocity lebih dari 4 m/detik dianjurkan untuk
menjalani operasi seperti penderita simtomatik. Transvalvular-velocity kurang
dari 3 m/detik tetap diobservasi saja dan dibuat Doppler-ekokardiografi tiap 6
(bagi mereka yang disertai penyakit jantung koroner atau kalsifikasi sedang dan
berat) atau tiap tahun bila tidak ditemukan hal dimuka. Treadmill Exercise Test
merupakan kontra-indikasi pada stenosis aorta simtomatik, tetapi bila
transvalvular –velocity antara 3-4 m/detik, maka Teradmil Exercise Test protocol
Bruce dengan pengawasan ketat dianjurkan untuk menetukan saat yang tepat
21

untuk operasi. Bila timbul gejala, tekanan darah turun saat test atau kemampuan
yang sangat rendah(digambarkan dengan waktu exercise yang sangat pendek) saat
treadmill test, maka penderita dianjurkan untuk operasi katup seperti penderita
simtomatik. Karena patogenesis stenosis aorta akibat sklerosis aorta dianggap
sama seperti aterosklerosis, maka semua tindakan untuk pencegahan
aterosklerosis harus diberikan untuk mencegah progresifitas stenosis. Operasi
penggatian katup dianjurkan bagi stenosis aorta yang simtomatik (angina, sincope
atau penurunan fungsi sistolik jantung). Aktivitas fisik berat harus dihindarkan
pada penderita. 26
Stenosis aorta berat (< 0.5 cm2/m2 walaupun masih asimtomatik.
Nitrogliserin diberikan bila ada angina. Diuretik dan digitalis diberikan bila ada
tanda gagal jantung. Statin dianjurkan untuk mencegah progresifitas kalsifikasi
daun katup aorta. Operasi dianjurkan bila area katup <1 cm2 atau 0.6 cm/m2
permukaan tubuh, disfungsi ventrikel kiri (stress test), dilatasi post stenostik aorta
walaupun asimtomatik. Stenosis aorta karena kalsifikasi biasanya terjadi pada
orang tua yang telah pula mengalami penurunan fungsi ginjal,hati dan paru.
Evaluasi dari organ-organ ini diperlukan sebelum operasi dianjurkan. Operasi
yang paling sering dilakukan adalah penggantian dengan katup mekanik artificial
atau bioprotese, reparasi (repair), homogaft atau autograft. Balonisasi atau
tindakan pengantian katup perkutan baru diperuntukkan bagi mereka yang
berisiko sangat tinggi untuk operasi penggantian katup, gagal jantung berat,
komorbid yang tidak memungkinkan untuk operasi jantung. 26

2.2.8 Prognosis Aorta Stenosis


Survival rate 10 tahun penderita pasca operasi ganti katup aorta adalah
sekitar 60% dan rata-rata 30% katup artifisial bioprotese mengalami gangguan
setelah 10 tahun dan memerlukan operasi ulang. Katup Metal artificial harus
dilindungi dengan antikoagulan untuk mencegah trombus dan embolisasi.
Sebanyak 30% penderita ini akan mengalami komplikasi perdarahan ringan-berat
akibat dari terapi tersebut. Valvuloplasti aorta perkutan dengan balon dapat
dilakukan pada anak atau anak muda dengan stenosis aorta congenital non-
22

kalsifikasi. Pada orang dewasa dengan kalsifikasi, tindakan ini menimbulkan


restenosis yang tinggi.28

2.3 Mitral Regurgitasi


2.3.1. Definisi Mitral Regurgitasi
Regurgitasi mitral didefinisikan sebagai aliran darah balik yang abnormal
dari ventrikel kiri ke atrium kiri. Hal in idisebabkan oleh kerusakan salah satu
bagian dari apparatus katup mitral, yang terdiri dari annulus mitral, daun katup
(daun anterior yang besar [aortic] dan daun posterior yang kecil [mural]), chordate
tendineae, dan otot-otot papilari (anteromedial and posterolateral).30

2.3.2. Etiologi Mitral Regurgitasi


Penutupan normal katup mitral selama systole membutuhkan aksi yang
terkordinasi dari setiap komponen apparatus katup. Oleh karena itu, regurgitasi
mitral mungkin terjadi akibat abnormalitas struktur annulus mitral, daun katup,
chordate tendineae, ataupun otot-otot papilari. Penyebab tersering mitral
regurgitasi antara lain sindroma prolapsus katup mitral, penyakit jantung rematik,
penyakit jantung koroner, endokarditis infektif, beberapa jenis obat, dan penyakit
kolagen vaskular. Regurgitasi mitral juga dapat terjadi secara sekunder akibat
pembesaran annulus karena pembesaran ventrikel. Pada beberapa kasus seperti
rupturnya chordate tendineae, rupture otot-otot papilari, atau endokarditis infektif,
regurgitasi mitral dapat akut dan berat. Selain itu, regurgitasi katup mitral juga
dapat memburuk perlahan-lahan setelah waktu yang lama.31
Degenerative myxomatous yang terjadi pada katup (etiologi prolapsus
katupmitral) dapat menyebabkan regurgitasi mitral karena katup yang membesar
dan melengkung berlebihan ke arah atrium kiri selama fase sistolik.34
Endokarditis infektif dapat berakhir pada regurgitasi mitral karena
perforasikatup ataupun rupturnya chordae yang terinfeksi. Demam rematik dapat
menyebabkan stenosis mitral, ataupun regurgitasi mitral jika terjadi pemendekan
yang berlebihan pada chordate tendineae atau penarikan daun katup.29
Hypertrophic obstructive cardiomyopathy berhubungan dengan gerakan
anterior sistolik yang abnormal dari katup anterior mitral, yang mencegah
23

penutupan normal katup dan berakhir menjadi regurgitasi mitral yang signifikan
pada 50% pasien.34
Kalsifikasi pada annulus mitral dapat terjadi karena penuaan, akan tetapi
lebih sering terjadi pada pasien-pasien dengan hipertensi, diabetes, atau penyakit
ginjal stadium akhir. Kalsifikasi yang terjadi dapat menyebabkan terganggunya
gerakan normal annulus dan imobilisasi bagian basal daun katup, yang
mengganggu penutupan sistolik.35
Ruptur chordae tendinae yang primer (idiopatik) berhubungan dengan
ketidakmampuan katup berat yang akut. Penyakit jantung iskemik dapat
meninggalkan skar atau disfungsi ringan dari otot-otot papilari, yang merusak
penutupan katup.36
Pembesaran ventrikel kiri yang nyata apapun penyebabnya dapat
menyebabkan regurgitasi mitral karena kedua mekanisme berikut: (1)
terganggunya jarak pemisah antara otot-otot papilari, (2) tertariknya annulus
mitral sehingga diameternya membesar.30

2.3.3. Patofisiologi Mitral Regurgitasi 35,36,37


Pada regurgitasi mitral, sejumlah stroke volume dari ventrikel kiri
didorong kembali (backward) ke atrium kiri yang memiliki tekanan lebih rendah
selama fasesistolik. Hasilnya, cardiac output ke depan (ke aorta) lebih kecil
jumlahnya daripada total output ventrikel kiri (aliran ke depan ditambah dengan
kebocoran backward). Oleh karena itu, akibat langsung dari regurgitasi mitral
antara lain (1) peningkatantekanan dan volume atrium, (2) penurunan cardiac
output ke depan, (3) volume yang berhubungan dengan tekanan pada ventrikel kiri
karena volume regurgitan yang masuk kembali ke ventrikel kiri selama fase
diastole bersamaan dengan darah balik normal dari paru. Peningkatan ini
kemudiaan diikuti dengan mekanisme Frank-Starling, dimana peningkatan
volume diastolik pada ventrikel kiri akan menambah peregangan serat-serat otot
dan stroke volume pada setiap kontraksi. Konsekuensi hemodinamik yang
selanjutnya tergantung pada tingkat keparahan regurgitasi dansudah berapa lama
hal tersebut berlangsung.
24

Tingkat keparahan regurgitasi mitral dan perbandingan dari cardiac output


kedepan dan aliran balik ditentukan oleh lima faktor, antara lain (1) ukuran lubang
mitral selama regurgitasi, (2) perbedaan tekanan antara ventrikel kiri dan atrium
kiri,(3) resistensi pembuluh darah sistemik yang menentang aliran ke depan
ventrikel kiri,(4) compliance atrium kiri, dan (5) durasi regurgitasi pada setiap
kontraksi sistolik
Fraksi regurgitan (regurgitant fraction) dari regurgitasi mitral
didefinisikan sebagai berikut:Volume regurgitasi mitral dibagi Total stroke volume
ventrikel kiri. dan rasio ini akan meningkat ketika resistensi terhadap aliran aorta
meningkat (aliran darah akan mengikuti jalur dengan resistensi paling rendah).
Sebagai contoh, tekanan darah sistemik yang tinggi atau adanya stenosis aorta
akan meningkatkan regurgitant fraction. Peningkatan tekanan atrium kiri sebagai
respon terhadap volume regurgitan ditentukan oleh compliance atrium kiri.
Compliance adalah pengukuran hubungan antara tekanan dan volume ruang,
menggambarkan mudah atau sulitnya ruang tersebut dapat diisi.
A. Mitral regurgitasi akut
Pada mitral regurgitasi akut (misalnya akibat ruptur pada chordate
tendineae), overload yang tiba-tiba terjadi pada atrium kiri, dan compliance atrium
kiri mengalami sedikit perubahan dengan mendadak. Oleh karena atrium kiri
merupakan ruang yang relatif kaku dan tidak adanya hipertropi eksentrik sebagai
kompensasi, tekanannya akan meningkat sekali ketika tiba-tiba menampung
volume regurgitan. Peningkatan tekanan ini bermanfaat untuk mencegah
regurgitasi berikutnya; bagaimanapun tekanan yang tinggi tersebut juga akan
dikirimkan mundur ke sirkulasi paru. Oleh karena itu, regurgitasi mitral yang akut
dapat mengakibatkan kongesti dan edema paru yang cepat, yang merupakan suatu
keadaan gawat darurat.
Pada regurgitasi, tekanan atrium kiri, atau tekanan desakan pada kapiler
paru (cara pengukuran tidak langsung terhadap tekanan atrium kiri), menunjukan
gelombang v yang prominen (biasanya dilaporkan sebagai gelombang cv apabila
gelombang v sangat prominen sehingga bersatu dengan gelomang c yang
mendahuluinya), menggambarkan peningkatan peningkatan pengisian atrium
25

kiriselama sistole. Sebagai tambahan, tekanan pada arteri pulmoner dan


jantungkanan meningkat secara pasif sehingga aliran forward dari jantung tetap
terjaga.
Pada regurgitasi mitral akut, ventrikel kiri menyesuaikan peningkatan
volume darah dari atrium kiri sesuai dengan hukum Frank-Starling. Hasilnya
adalah kompensasi peningkatan stroke volume, sehingga pada setiap akhir
kontraksi sistolik, volume ventrikel kiri kembali normal pada jantung yang belum
gagal. Pada regurgitasi mitral, pengosongan sistolik dari ventrikel kiri dipermudah
dengan penurunan total hambatan kontraksi ventrikel kiri (afterload lebih rendah
daripada normal), yang disebabkan oleh sebagian output ventrikel kiri
dipindahkan ke atrium kiri yang hambatannya relatif lebih rendah dibandingkan
dengan aorta.

B. Mitral regurgitasi kronis


Berlawanan dengan regurgitasi mitral yang akut, perkembangan yang
perlahan-lahan terjadi pada mitral regurgitasi kronik (misalnya pada penyakit
jantung rematik) yang memberikan kesempatan pada atrium kiri untuk melakukan
perubahan-perubahan sebagai kompensasi untuk mengurangi efek regurgitasi pada
sirkulasi paru. Secara khusus, atrium kiri berdilatasi dan Compliance-nya
meningkat sehingga ruangnya mampu menampung volume yang lebih besar tanpa
peningkatan berlebihan pada tekanannya. Oleh karena itu, dilatasi atrium kiri akan
mencegah peningkatan tekanan pembuluh darah paru. Bagaimanapun juga,
adaptasi ini berlangsung dengan akibat terganggunya cardiac output ke
depan,karena atrium kiri yang compliant menjadi ruang dengan tekanan rendah
yang lebih disenangi untuk ejeksi ventrikel kiri dibandingkan dengan aorta yang
memiliki hambatan lebih besar. Akibatnya, karena secara progresif akan lebih
banyak lagi fraksi regurgitan yang regurgitasi ke atrium kiri, maka gejala utama
dari regurgitasi mitral yang kronis adalah rendahnya forward cardiac aoutput
(misalnya lemah dan kelelahan). Sebagai tambahan, dilatasi kronis dari atrium kiri
selanjutnya dapat berkembang menjadi atrial fibrilasi.
26

Pada regurgutasi mitral yang kronis, ventrikel kiri juga mengalami


kompensasi berupa dilatasi sebagai respon dari beban volume (melalui
hipertropiesentrik). Dibandingkan dengan regurgitasi mitral yang akut,
peningkatan Compliance ventrikel memungkinkan peningkatan volume pengisian
dengantekanan diastole yang relatif normal. Output pada regurgitasi mitral yang
kronis dipertahankan pada level mendekati normal untuk waktu yang lama dengan
menjaga stroke volume tetap tinggi melalui mekanisme Frank-Starling. Selama
bertahun-tahun, bagaimana pun juga volume yang overload untuk waktu yang
lama akan berakhir pada gangguan fungsi sistolik, penurunan output, dan tanda-
tanda gagal jantung.
2.3.4. Manisfestasi Klinis Mitral Regurgitasi 34,36
Jika berhubungan dengan penyakit jantung koroner dan infark mikard akut
(khususnya, infrak miokard inferior yang dapat menyebabkan disfungsi otot
papilari), regurgitasi mitral akut biasanya disertai dengan tanda dan gejala gagal
jantung kirimisalnya dyspnea, kelelahan, dan orthopnea. Pada kasus-kasus
tersebut, edema paru biasanya menjadi manisfestasi awal karena overload volume
yang cepat yang terjadi pada atrium kiri dan sistem vena pulmonalis.
Gejala-gejala pada regurgitasi mitral kronik terutama disebabkan karena
rendahnya cardiac output , terutama saat beraktivitas, ditandai dengan kelelahan
dan kelemahan. Pasien dengan regurgitasi mitral yang berat atau yang disertai
gangguan kontraksi biasanya mengeluhkan sesak nafas, orthopnea, dan
paroxysmal nocturnal dyspnea. Pada regurgitasi mitral berat yang kronis, dapat
ditemukan tanda-tanda gagal jantung kanan (misalnya bertambahnya lingkar
perut, bengkak pada ekstremitas).
Pada pemeriksaan fisik pasien mitral regurgitasi kronik, palpasi impuls
apikal jantung yang teraba biasanya berpindah lebih ke lateral ke aksila karena
pembesaran ventrikel kiri.
Pada auskultasi, S1 mungkin melemah pada regurgitasi mitral akut dan
regurgitasi mitral yang berat dengan kerusakan daun katup. Pelebaran split S2
dapa tterjadi karena cepatnya penutupan katup aorta. Yang sering ditemukan pada
regurgitasi mitral yang kronik adalah adanya S3, yang menggambarkan
27

peningkatan volume darah yang dikembalikan ke ventrikel kiri melalui katup


mitral pada awal diastole. P2 dapat mengeras apabila terdapat hipertensi
pulmonal.
Murmur yang dapat didengar pada pasien-pasien regurgitasi mitral
memiliki karakteristik sebagai berikut:
A. Kualitas
Biasanya high pitch, seperti blowing
B. Lokasi
Biasanya terdengar lebih jelas disekitar apeks. Murmur dapat menjalar ke
aksila kiri atau regio subskapula. Disfungsi katup posterior menyebabkan murmur
menjalar ke sternum atau area aorta. Disfungsi katup anterior menyebabkan
murmur menjalar ke punggung.
C. Durasi
Biasanya bersifat holosistolik atau pansistolik. Murmur bisa saja terbatas
pada awal sistolik pada pasien regurgitasi akut. Murmur juga dapat terbatas di
akhir sistolik pada pasien dengan prolapsus katup mitral ataupun disfungsi otot
papilari.Pada kasus ini, S1 mungkin normal karena penutupan awal dari ujung-
ujung katup tidak mengalami hambatan. Klik midsistolik yang mengawali
murmur mengarahkan ke prolapsus katup mitral.
D. Intensitas
Terdapat hubungan kecil antara intensitas murmur dan keparahan
regurgitasi mitral. Intensitasnya mungkin melemah pada regurgitasi mitral yang
berat yang disebabkan oleh disfungsi ventrikel kiri, infark miokard akut, atau
regurgitasi katup periprosthetic.
Pada pasien dengan regurgitasi mitral akut yang berat, murmur sistoliknya
seringkali berbeda, tergantung pada patofisiologi penyebabnya. Murmur dapat
bersifat decrescendo, menggambarkan penyamaan tekanan yang cepat dari atrium
kiridan ventrikel kiri pada saat sistolik karena penurunan relative compliance
atrium kiri.
Penjelasan ini akurat untuk regurgitasi mitral reumatik, namun memiliki
beberapa pengecualian. Sebagai contoh, disfungsi otot-otot papilari akibat iskemik
28

dengan penutupan katup mitral yang normal, regurgitan dapat langsung memancar
kearah dinding atrium kiri, tepat di bagian posterior aorta. Pada keadaan ini,
murmur terdengar lebih jelas sepanjang tepi sternum kiri atau pada daerah aorta
dan sulitdibedakan dengan murmur pada stenosis aorta. Untungnya, perbedaan
murmur sistolik antara regurgitasi mitral dengan stenosis aorta tsersebut dapat
ditentukan dengan maneuver sederhana. Apabila pasien diminta untuk
menggenggam atau mengepalkan tangan, resistensi pembuluh darah sistemik akan
meningkat, dan keparahan regurgitasi mital serta murmurnya akan meningkat,
sementara murmur pada stenosis aorta tidak akan berpengaruh. Yang lebih
membantu untuk membedakannya adalah efek dari lamanya siklus jantung (waktu
antar denyut jantung) terhadap intensitas murmur sistolik. Pada pasien-pasien
dengan atrial fibrilasi atau dengan denyut jantung yang prematur, pengisian
ventrikel kiri secara langsung tergantung pada lamanya siklus sebelumnya (siklus
yang lebih lama akan mengijinkan pengisian ventrikel yang lebih banyak).
Murmur sistolik pada stenosis aorta akan menjadi lebih jelas pada denyutan
setelah siklus yang panjang karena meskipun selisih tekanannya kecil akan
diperkuat oleh peningkatan jumlah darah yang melewati lubang aorta yang
menyempit. Pada regurgitasi mitral, intensitas murmur tidak akan berubah secara
signifikan karena perubahan tekanan antara ventrikel dan atrium kiri hanya sedikit
dipengaruhi oleh perubahan siklus jantung.

2.3.5. Pemeriksaan Penunjang Mitral Regurgitasi 37,38,39


A. Foto thoraks
Pada foto thoraks dapat terlihat edema paru pada regurgitasi mitral yang
akut, akan tetapi regurgitasi mitral kronik yang asimptomatik lebih sering
menunjukkan pembesaran ventrikel dan atrium kiri, tanpa kongesti paru.
Kalsifikasi annulus mitral dapat terlihat apabila hal tersebut merupakan penyebab
regurgitasi mitral.
B. Elektrokardiogram (EKG)
Iskemik atau infark pada lead inferior atau posterior dapat ditemukan pada
regurgitasi mitral akut dengan ruptur otot papilari sebagai penyebab. Pada mitral
29

regurgitasi kronik, pemeriksaan elektrokardiogram dapat menunjukkan


pembesaran dan tanda-tanda hipertropi ventrikel kiri, berupa peningkatan voltase
QRS dan perubahan segmen ST serta gelombang T pada lead prekordial lateral.
Pembesaran atrium kiri pada regurgitasi mitral kronik menghasilkan gelombang P
negative pada lead V1 dengan atau tanpa gelombang P bertakik pada lead II, III,
atau aVF. Atrial fibrilasi dapat ditemukan pada stadium akhir.
C. Ekokardiografi
Ekokardiografi biasanya dapat menemukan penyebab struktural dari
regurgitasi mitral dan derajat keparahannya dari analisa warna Doppler. Fungsi
dan ukuran ventrikel kiri (biasanya sangat hebat pada jantung yang terkompensasi
karena peningkatan stroke volume) dapat dipantau.
D. Kateterisasi jantung
Kateterisasi jantung dapat dilakukan pada pasien - pasien yang stabil
secara hemodinamik dan bermanfaat untuk menemukan adanya iskemik arteri
koroner sebagai penyebab regurgitasi mitral (misalnya pada disfungsi otot-otot
papilari) danuntuk menentukan derajat keparahan mitral regurgitasi. Karakteristik
abnormalitas hemodinamik adalah gelombang v pada pengukuran tekanan
desakan pembuluh kapiler paru ( pulmonary capillary wedge pressure ) yang
secara tidak langsungmenggambarkan tekanan di atrium kiri.
2.3.6. Penatalaksanaan Mitral Regurgitasi 34,38
Setiap pasien dengan regurgitasi mitral baik yang akut maupun kronik
dengan keadaan hemodinamik yang membahayakan harus dievaluasi terhadap
kemungkinan infark miokard akut. Terapi diuretik diberikan pada pasien-pasien
dengan kongesti paru dan ekokardiogram harus dilakukan dengan segera. Pasien-
pasien keadaan hemodinamik yang membahayakan harus segera dipindahkan ke
unit perawatan intensif khusus jantung dan pengawasan tekanan arteri paru.
A. Regurgitasi mitral akut
Pada regurgitasi mitral akut, penatalaksaan medikamentosa memiliki
peranan yang terbatas dan tujuannya terutama untuk menstabilkan hemodinamik
dalam persiapan untuk operasi. Tujuan terapi non operasi adalah untuk
mengurangi regurgitasi mitral, untuk meningkatkan output forward dan
30

mengurangi kongesti paru. Pada pasien dengan tekanan darah normal, pemberian
nitroprusside dapat secara efektif menyelesaikan 3 tujuan. Nitroprusside
meningkatkan outpu forward tidak hanya dengan meningkatkan aliran aorta tapi
juga di sisi lain mengembalikan kemampuan katup mitral dengan mengurangi
ukuran ventrikel kiri. Pada pasien- pasien dengan hipotensi karena penurunan
berat output forward , nitroprusside sebaiknya tidak digunakan sebagai
monoterapi, tetapi dikombinasikan dengan inotropic agent (misalnya
dobutamine). Pada beberapa pasien, aortic balloon counterpulsation dapat
meningkatkan output forward dan mean arterial pressure dengan mengurangi
volume regurgitan dan tekanan pengisian ventrikel dan dapat digunakan untuk
menstabilkan pasien dalam persiapan untuk operasi. Pada endokarditis infektif
sebagai penyebab regurgitasi mitral, penting dilakukan indentifikasi dan
penanganan organisme penyebab infeksi.
B. Regurgitasi mitral kronis
Prevensi terhadap endokarditis infektif pada regurgitasi mitral sangat
penting.Pasien usia muda dengan regurgitasi mitral karena penyakit jantung
rematik harus mendapat terapi profilaksis terhadap demam rematik. Untuk pasien
dengan AF perlu diberikan digoksin atau beta blocker untuk kontrol frekunesi
detak jantung (ratecontrol).
Antikoagulan harus diberikan pada pasien dengan AF. Beta blocker
merupakan obat pilihan utama pada sindrom prolapsus katup mitral, dimana
sering ditemukan keluhan jantung berdebar dan nyeri dada. Diuretika sangat
bermanfaat untuk kontrol gagal jantung dan untuk keluhan terutama sesak nafas.
ACE inhibitor dilaporkan bermanfaat pada regurgitasi mitral dengan disfungsi
ventrikel kiri, memperbaiki survival dan memperbaiki gejala. Regugitasi mitral
fungsional juga bermanfaat dengan pemberian ACE inhibitor ini.
Ada dua pilihan operasi yang dapat dilakukan pada pasien dengan
regurgitasimitral, yaitu rekonstruksi dari katup mitral dan penggantian katup
mitral (mitral valve replacement).
Ada beberapa pendekatan dengan rekonstruksi valvular ini, tergantung
darimorfologi lesi dan etiologi regugitasi mitral, dapat berupa valvular repair
31

misalnya pada prolapsus katup mitral, annuloplasty, memperpendek chordae


tendineae, dan sebagainya.
Sebelum rekontruksi ataupun sebelum replacement perlu penilaian
apparatus mitral secara cermat, dan performance dari ventrikel kiri. Namun
kadang saat direncanakan rekonstruksi, sesudah dibuka, ternyata harus diganti
atau di replacement.
Penggantian katup mitral dilakukan apabila dengan rekonstruksi tidak
mungkin dilakukan. Apabila diputuskan untuk replacement, maka pilihan adalah
apakah akan pakai katup mekanikal yang ketahanannya sudah terjamin, namun
terdapat risiko kardioemboli dan harus minum antikoagulan seumur hidup,
ataupun dengan katup bioprotese (biological valve) dimana umur katup sulit
diprediksi, namun tidak perlu menggunakan antiokoagulan lama.
Kapan tindakan penggantian katup dilakukan masih banyak para ahli yang
belum sepaham, namun ada kecenderungan semakin cepat semakin baik sebelum
terjadi disfungsi ventrikel kiri. Disfungsi ventrikel kiri biasanya irreversible walau
katupnya sudah diganti.

2.4 Regurgitasi Aorta


2.4.1. Definisi Regurgitasi Aorta
Insufisiensi katup aorta (regurgitasi) adalah kembalinya darah ke ventrikel
kiri dari aorta selama diastol. Insufisiensi aorta adalah suatu keadaan dimana
terjadi refluk (aliran balik) darah dari aorta ke dalam ventrikel kiri sewaktu
relaksasi. 26
2.4.2. Etiologi Regurgitasi Aorta
Insufisiensi darah dari aorta ke ventrikel kiri dapat terjadi dalam 2 macam
kelainan artifisial yaitu41:
A. Dilatasi pangkal aorta seperti yang ditemukan pada :
i. Penyakit kolagen
ii. Aortitis sifilitika
iii. Diseksi aorta
B. Penyakit katup artifisial
i. Penyakit jantung reumatik
32

ii. Endokarditis bakterialis


iii. Aorta artificial congenital
iv. Ventricular septal defect (VSD)
v. Ruptur traumatik
vi. Aortic left ventricular tunnel
C. Genetik
i. Sindrom marfan
ii. Mukopolisakaridosis

2.4.3. Patofisiologi Regurgitasi Aorta


Insufisiensi aorta disebabkan oleh lesi peradangan yang merusak bentuk
bilah katup aorta, sehingga masing-masing bilah tidak bisa menutup lumen aorta
dengan rapat selama diastole dan akibatnya menyebabkan aliran balik darah dari
aorta ke ventrikel kiri. Defek katup ini bisa disebabkan oleh endokarditis, kelainan
bawaan, atau penyakit seperti sifilis dan pecahnya aneurisma yang menyebabkan
dilatasi atau sobekan aorta asenden.42
Karena kebocoran katup aorta saat diastole, maka sebagian darah dalam
aorta, yang biasanya bertekanan tinggi, akan mengalir ventrikel kiri, sehingga
ventrikel kiri harus mengatasi keduanya, yaitu mengirim darah yang secara
normal diterima dari atrium kiri maupun darah yang kembali dari aorta. Ventrikel
kiri kemudian melebar dan hipertrofi untuk mengakomodasi peningkatan volume
ini, demikian juga akibat tenaga mendorong yang lebih dari normal untuk
memompa darah, menyebabkan tekanan darah sistolik meningkat. Sistem
kardiovaskuler berusaha mengkompensasi melalui refleks dilatasi pembuluh darah
dan arteri perifer melemas, sehingga tahanan perifer menurun dan tekanan
diastolik turun drastis.42
Perubahan hemodinamik keadaan akut dapat dibedakan dengan keadaan
kronik. Kerusakan akut timbul pada pasien tanpa riwayat insufisiensi sebelumnya.
Ventrikel kiri tidak punya cukup waktu untuk beradaptasi terhadap insufisiensi
aorta. Peningkatan secara tiba-tiba dari tekanan diastolik akhir ventrikel kiri bisa
timbul dengan sedikit dilatasi ventrikel.42

2.4.4. Diagnosis Regurgitasi Aorta


33

Pada pasien dengan regurgitasi aorta kronis yang berat, ventrikel kiri
membesar secara bertahap sementara pasien tetap asimtomatik. Gejala dari
menurunnya fungsi jantung atau iskemia miokard, paling sering terjadi pada
dekade keempat atau kelima dan biasanya hanya setelah disfungsi miokard dan
kardiomegali terjadi. Pada pasien kronis biasanya timbul gejala gagal jantung,
termasuk dispnea saat aktifitas, ortopnea, dispnea paroksismal norturna, edema
paru, dan kelelahan.40
Angina cenderung timbul waktu isitirahat saat timbulnya bradikadia dan
lebih lama menghilang daripada angina akibat penyakit jantung koroner saja. Pada
pasien dengan regurgitasi aortakronis yang berat, kepala sering bergerak dengan
setiap detak jantung (tanda de Musset), dan pulsasinya adalah tipe "water-
hammer" kolaps dengan distensi yang mendadak dan kolaps secara cepat
(Corrigan’s pulse). Pulsasi pada arteri sering terlihat dominan dan dapat terlihat
dengan baik saat palpasi arteri radialis dengan lengan pasien ditinggikan. Pulsasi
tipe bisferiens mungkin terlihat terutama pada arteri brakialis dan femoralis
dibandingkan pada arteri karotis.40
Berbagai temuan auskultasi memberikan konfirmasi dari tekanan nadi
yang lebar. Tanda Traube (juga dikenal sebagai "pistol shot sounds") terjadi akibat
sistolik diastolik booming, terdengar pada arteri femoralis. Müller’s sign adalah
denyutan sistolik pada uvula. Duroziez’s sign adalah murmur sistolik pada arteri
femoralis ketika dikompresi proksimal dan murmur diastolik tejadi ketika
dikompresi pada distalnya.Quincke sign dapat terlihat dengan menekan slide kaca
pada bibir pasien, memberikan cahaya melalui jari pasien atau memberikan
tekanan lembut pada ujung kuku. Irama gallop ventrikel yang terdengar di apeks
merupakan tanda disfungsi ventrikel kiri. Bising Austin Flint (mid-diastolik and
late diastolik apical rumble) yang terdengar di apeks timbul akibat pergeseran
aliran balik aorta terhadap daun katup anterior dari katup mitral yang
menimbulkan stenosis mitral fungsional.40
Foto rontgen dada, menunjukan ventrikel kiri membesar, atrium kiri
membesar, dilatasi aorta. Bentuk dan ukuran jantung tidak berubah pada
insufisiensi akut, tapi terlihat edema paru.42
34

Elektrokardiogram menunjukan hipertrofi ventrikel kiri, amplitude QRS


meningkat, T-T berbentuk tipe diastolik overload. Interval PR memanjang.41
Kelainan struktural dari katup aorta dapat di deteksi melalui
2Dekokardiografi.Gambaran dari transtorakal ekokardiografi (TTE) kadang tidak
dapatmenunjukan gambaran lesi yang sebenarnya pada katup aorta.
Transesofageal ekokardiografi (TEE) dapat mendeskripsikan morfologi katup
aorta jauh lebih jelas.40
Pada pasien regurgitasi aorta kronis berat, ventrikel kiri biasanya
mengalami dilatasi dan pulsasi aorta terlihat jelas. Jet regurgitasi aorta yang
eksentrik menuju daun katup anteriormitral mengakibatkan daun katup bergetar
saat diastolik dan pembukaanya terpengaruh. M-mode ekokardiografi menunjukan
gerakan bergetar dari daun katup anterior mitral yang diakibatkan oleh regurgitasi
aorta dan berguna untuk menunjukan penutupan premature katup mitral atau
pembukaan katup aorta saat diastolik sebagai tanda regurgitasi aorta berat,
biasanya pada fase akut dan peningkatan signifikan dari tekanan diastolik
ventrikel kiri.40

2.4.5. Penatalaksanaan Regurgitasi Aorta40,44


Terapi profilaksis perlu diberikan untuk endokarditis bakterialis. Gagal
jantung diobati dengan digitalis, diuretic, serta vasodilator seperti hidralasin,
penghambat ACE atau dan nitrat, untuk menurunkan beban akhir.
Pasien regurgitasi aorta berat dengan gejala dianjurkan untuk operasi.
Pasien tanpa gejala tetapi dengan disfungsi ventrikel kiri yang jelas saat isitirahat
pada pemeriksaan ventrikulografi Tc 99m, ekokardiografi dan angiografi harus
dianjurkan untuk operasi. Pasien dengan ejeksi fraksi tidak meningkat saat kerja
juga masuk kategori yang sama dan biasanya butuh operasi walaupun bisa ditunda
operasinya.
Regurgitasi aorta akut biasanya timbul akibat endokarditis bakterialis,
diseksi aorta,atau rupture katup miksomatosa. Tindakan operasi biasanya perlu
dilakukan untuk mencegah kematian akibat edema paru. Walaupun destruksi
daun-daun katup biasanya merupakan masalah utama pada endokarditis yang
35

menjadi penyebab insufisiensi akut. Pembentukan fistel juga dapat timbul akibat
infeksi di aorta. Kadang kadang pada diseksi, katup buatan tidak diperlukan saat
aorta diperbaiki .
Resiko operasi kurang lebih 2% pada pasien regurgitasi aorta kronik
sedang dengan normal arteri koroner. Sedangkan resiko operasi pada pasien
regurgitasi aorta berat dengan gagal jantung, dan pada pasien regurgitasi aorta
berat dengan gagal jantung, dan pada pasien penyakit arteri, bervariasi antara 4-
10%. Dapat juga lebih besar tergantung keadaan klinis pada pasien tersebut. Hasil
akhir tergantung pada fungsi ventrikel kiri saat operasi, tetapi juga tergantung dari
etiologi penyakit.
Pasien harus dianjurkan untuk diberikan terapi prophylaxis endokarditis
setelah operasi. Pasien dengan katup buatan mekanis harus mendapata
ntikoagulan jangka panjang. Pasien harus dipantau secara berkala untuk
mendeteksi kemunduran dari fungsi katup prostetik.

2.4.6. Prognosis Regurgitasi Aorta


Tujuh puluh persen pasien dengan regurgitasi aorta kronis mampu
bertahan 5 tahun, sedang 50% mampu bertahan 10 tahun setelah diagnosis
ditegakan. Penderita dengan regurgitasi aorta yang jelas mampu hidup secara
normal, tetapi mudah terkena endokarditis infektif. Jika timbul gagal jantung, bisa
bertahan 2 tahun, dan setelah timbul angina biasanya bertahan 5 tahun.44

2.5. Regurgitasi Pulmonal


2.5.1. Definisi Regurgitasi Pulmonal
Regurgitasi pulmonal adalah inkompetensi dari katup pulmonal
menyebabkan aliran darah dari arteri pulmonalis ke dalam ventrikel kanan selama
diastol.43

2.5.2. Etiologi Regurgitasi Pulmonal43


A. Dilatasi cincin katup karena hipertensi pulmonal
36

B. Dilatasi arteria pulmonal baik idiopatik atau akibat kelainan jaringan ikat
seperti pada Sindrom Marfan , yang kedua sebagai akibat endokarditis
infeksi dan yang paling jarang adalah iatrogenic dan dapat juga sebgai
akibat tindakan operasi dari stenosis pulmonal ataupun tetralogi Fallot
(ToF).
C. Sindrom karsinoid karena tindakan kateterisasi jantung , lues dan trauma
dada

2.5.3. Patofisiologi Regurgitasi Pulmonal43


Regurgitasi pulmonal sering sekali terjadi akibat disfungsi valvular yang
sekunder pada pasien dengan hipertensi pulmonal kronik akibat stenosis mitral
rematik, penyakit jantung pulmonal dan sebab lain hipertensi pulmonal.
Regurgitasi pulmonal fungsional ini dipikirkan terjadi akibat dilatasi cincin katup
pulmonal. Walaupun jarang, regurgitasi pulmonal dapat terjadi pada kelainan
kongenital tersendiri, endokarditis infeksiosa yang mengenai katup pulmonal dan
penyakit jantung rematik. Pada regurgitasi katup pulmonal sangat berat, tekanan
arteri pulmonal dan ventrikel kanan pada akhir fase diastolik sama atau mendekati
sama. Regurgitasi pulmonal akibat kongenital (primer) biasanya tanpa disertai
hipertensi pulmonal menimbulkan bising diastolik dengan nada rendah dan
sifatnya crescendo-decrescendo, sebaliknya pada pasien regurgitasi pulmonal
sekunder (dengan hipertensi pulmonal) sifat bising diastolik yang terjadi
mempunyai nada tinggi, meniup dan decrescendo.

2.5.4. Gejala Klinis Regurgitasi Pulmonal43


Regurgitasi pulmonal biasanya dapat ditoleransi pasien dan jarang terlihat
dengan gagal jantung kanan atas dasar regurgitasi pulmonal saja. Keluhan lelah
dan tanda gagal jantung kanan ringan kadang terdapat pada pasien ini. Bising
diastolik yang meniup atau kasar terdengar disternum bagian kiri atas. Bising
pada regurgitasi pulmonal ini terdengar lebih keras saat inspirasi. Dan kalau
bising ini terjadi akibat hipertensi pulmonal, disebut bising Graham Stell. Bising
ini terdengar dengan nada tinggi mirip dengan bising regurgitasi aorta, sedangkan
bising regurgitasi pulmonal organik terdengar dengan nada rendah dan kasar.
37

Bising diastolik ini disertai dengan bising sistolik. Denyutan ventrikel kanan
terasa sepanjang dada sebelah kiri. Ada bunyi sistolik click dengan suara dua yang
pecah secara fisiologis.

2.5.6. Pemeriksaan Penunjang Regurgitasi Pulmonal43


Pada regurgitasi pulmonal, gambaran elektrokardiogram bisa normal atau
adanya gambaran hipertrofi ventrikel kanan. Pemeriksaan radiologis gambaran
regurgitasi pulmonal bisa normal atau tamapak gambaran pembesaran ventrikel
kanan dan pembesaran arteri pulmonalis. Pada pemeriksaan angiografi terlihat
adanya aliran kembali kontras ke ventrikel kanan pada fase diastolik. Pemeriksaan
ekokardiografi berguna untuk membedakan regurgitasi pulmonal dengan
regurgitasi aorta.

2.5.7. Komplikasi Regurgitasi Pulmonal43


Komplikasi regurgitasi pulmonal : gagal jantung, endokarditis

2.5.8. Penatalaksanaan Regurgitasi Pulmonal 43


Pengelolaan regurgitasi pulmonal biasanya terbatas pada pemberian
profilaksis antibiotik pada tindakan dental atau operasi. Gagal jantung sangat
jarang terjadi pada regurgitasi pulmonal sehingga tidak banyak pengalaman
tindakan pengobatan ataupun operasi pada kasus tersebut.

2.6. Stenosis Mitral


2.6.1. Definisi
Stenosis mitral merupakan obstruksi aliran ke dalam ventrikel kiri pada
katup mitral yang disebabkan karena abnormalitas katup mitral.45

Penyebab utama mitral stenosis (MS) adalah demam rematik.18,45 25% dari
semua penyakit jantung rematik mempunyai MS dan 40% pasien demam rematik
menderita gabungan antara MS dan MR.45
38

Stenosis dari katup mitral biasanya terjadi 20-40 tahun dari karditis
rematik akut. Pada infeksi akut, dapat terjadi pembentukan fokus inflamasi
multipel (badan Aschoff, infiltrate mononuclear perivaskular) pada endocardium
dan miokardium. Selanjutnya, apparatus katup akan terjadi penebalan, kalsifikasi,
kontraksi, dan terjadi adhesi belahan katup sehingga terjadi stenosis.45

2.6.2. Patofisiologi MS
Area dari muara katup mitral adalah sekitar 4-6 cm 2. Apabila ukuran dari
muara tersebut berkurang, gradien tekanan yang melewati katup mitral akan
meningkat untuk mempertahankan aliran yang adekuat.

Pada pasien dengan MS, gejala biasanya tidak akan muncul sampai
dengan luas katup < 2-2,5cm2. Apabila sudah mencapai tahap ini, latihan sedang
atau takikardia akan memicu dispneu akibat peningkatan tekanan transmitral dan
atrium kiri.

Gejala yang berat dapat dijumpai apabila luas katup kurang dari 1 cm 2.
Apabila penyempitan katup terjadi, terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang
akan menyebabkan transudasi cairan dari interstitium dan dyspnea pada saat
istirahat atau aktivitas ringan.45

Hemoptisis dapat juga terjadi pada penderita akibat ruptur vena bronkial.
Dilatasi atrium kiri juga akan meningkatkan resiko fibrilasi atrium dan
terbentuknya emboli.45

Hipertensi pulmonal dapat terjadi akibat tekanan retrogad atrium kiri,


konstriksi arteriol paru, edema interstitial atau perubahan obliteratif pada vaskular
bed paru (hyperplasia intima dan hipertrofi media). Apabila tekanan arteri
meningkat, dilatasi ventrikel kanan.

Penderita umumnya asimptomatik pada saat beristirahat pada awal


penyakit. Tetapi, beberapa faktor yang meningkatkan denyut jantung seperti
demam, anemia berat, tirotoksikosis, olahraga, kehamilan, dapat menyebabkan
sesak nafas. 14
39

Sekitar 15% kasus terjadi emboli yang berhubungan dengan atrial fibrilasi.
Emboli dapat menyebabkan infark, stroke dan sebagainya. Nyeri dada juga dapat
dijumpai pada 15% kasus. Nyeri dada yang terjadi sama dengan angina pektoris.
Nyeri dada yang terjadi disebabkan karena hipertensi ventrikel kanan akibat
penyakit vaskular paru atau aterosklerosis.18

2.6.3. Diagnosa Mitral Stenosis


Adanya wajah mitral (mitral facies) bercak merah muda keunguan pada
pipi) yang menandakan stenosis mitral berat dan kronik. Hal ini terjadi karena
curah jantung yang rendah dan adanya vasokonstriksi sistemik.
Suara serak dapat terjadi karena kompresi nervus rekuren laryngeal kiri
oleh arteri pulmonal akibat pembesaran atrium kiri. Sedangkan penekanan pada
bronkus dapat menyebabkan batuk persisten. Hemoptisis dapat terjadi namun
biasanya tidak fatal.
Pada pemeriksaan fisik, sebagian besar kasus dijumpai nadi yang ireguler
akibat AF dan adanya tanda gagal jantung kiri dan kanan. Murmur diastolic dan
S1 yang mengeras terkadang sulit dinilai. Suara P2 yang keras terkadang dapat
teraba pada ICR II sebelah kiri apabila dijumpai hipertensi pulmonal.
(braunwald)
Pemeriksaan radiografi dapat menunjukkan pembesaran atrium kiri
(bayangan ganda pada siluet jantung, batas jantung kiri yang merata karena atrium
kiri yang membesar, dan pergeseran dari bronkus utama), corakan pembuluh
darah paru yang menonjol, kalsifikasi katup mitral, dan edema interstitial. (emed)

Ekokardiografi merupakan tes yang paling spesifik dan sensitive dalam


mendiagnosa dan menentukan beratnya stenosis mitral. Dari ekokardiografi dapat
ditentukan ukuran muara mitral dan ukuran atrium serta ventrikel. Selain itu,
dapat juga dinilai apakah ada tidaknya trombus atrium kiri, dan tekanan arteri
pulmonal.

2.6.4. Tatalaksana Mitral Stenosis


40

Apabila dijumpai AF, akan mengurangi waktu pengisian diastolic atrium


kiri sehingga diberikan beta—blocker atau penghambat kanal kalsium. Pada
pasien dengan stenosis yang ringan dan onset < 6 bulan AF, dapat dicapai ritme
sinus dengan kardioversi atau pemberian obat-obatan. Apabila sudah dicapai sinus
ritme, dapat diberikan antikoagulan dan antiaritmia jangka panjang. (emed) untuk
pencegahan demam rematik dapat diberikan benzatin penicillin G.

Pada pasien asimptomatik, dengan stenosis sedang atau berat dapat


dipertimbangkan dilakukan percutaneous balloon commisurotomy jika tekanan
sistolik arteri pulmonal > 50 mmHg ketika istirahat atau > 60 mmHg ketika
istirahat atau > 25 mg ketika berolahraga. (emed) percutaneous balloon
commisurotomy paling sering dilakukan pada pasien simptomatk dengan stenosis
sedang atau berat.
41

BAB III

LAPORAN KASUS

REKAM MEDIK PASIEN

Kepaniteraan Klinik Senior


Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler
Fakultas Kedokteran USU / RSUP H Adam Malik Medan
Rekam Medik

No : 52.35.42 Tanggal : 12 Oktober 2012 Hari : Jumat


Nama pasien : Sumalik Umur : 23 tahun Seks : LK
Pekerjaan : Petani Alamat : Dusun Huta IV Agama : Islam
Desa Bandar Pulo
Tlp: - Hp: -

Keluhan Utama : Sesak nafas


Deskripsi : Hal ini dialami oleh os ± 1 tahun ini dan memberat dalam 4
minggu SMRS. Sesak dialami pasien apabila beraktivitas sedang seperti berjalan
50 meter. Riwayat terbangun tengah malam karena sesak (+), riwayat sesak
berkurang dengan 2-3 bantal (+), riwayat kaki bengkak (+), sesak dengan nafas
berbunyi (-). Sesak diketahui tidak dipengaruhi oleh cuaca. Os juga mengeluhkan
jantung berdebar-debar sejak kecil. Jantung berdebar-debar bersifat hilang timbul
dan timbul secara tiba-tiba. Nyeri dada juga dikeluhkan oleh os sejak 4 minggu
yang lalu. Nyeri dada baru pertama kali dirasakan oleh pasien. Nyeri dada bersifat
menusuk dan tidak menjalar. Lama nyeri dada sekitar 5 menit. Nyeri dada
berkurang apabila os beristirahat. Demam (-). 4 minggu yang lalu, os sudah
pernah dirawat selama 10 hari di RS Umum Pirngadi dengan keluhan yang sama
dan didiagnosa oleh dokter menderita sakit jantung katup. Riwayat keluarga
42

menderita penyakit yang sama (-). Riwayat DM (-), riwayat hipertensi tidak jelas.
Riwayat merokok (+) sudah 20 tahun sebanyak 1 bungkus/hari. Riwayat nyeri
sendi berpindah-pindah dan nyeri menelan saat kecil (+).

Faktor Risiko PJK : Pria, merokok.


RPT : Penyakit jantung katup
RPO : tidak diketahui namanya oleh os

Status Presens:

Kesadaran: compos mentis TD : 120/30 mmHg Nadi :130 x/m

RR : 28x/m Suhu : 37 ºC Sianosis : (-)

Ortopnea : (+) Dispnea: (+) Ikterus : (-) Edema : (-) Pucat : (-)

Pemeriksaan Fisik:

Kepala : konjungtiva palpebra anemis (-/-), ikterus (-/-)

Leher : TVJ R+3 cm H2O

Dinding thoraks : Inspeksi : simetris fusiformis

Palpasi : SF: kiri = kanan, kesan normal, iktus teraba (+)

Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru

Batas Jantung: Atas : ICS III Sinistra

Kanan : linea sternalis dekstra

Kiri : linea aksilaris anterior

Auskultasi
43

Jantung : S1(+)N S2 (+)N S3 (-) S4 (-) Reguler

Murmur: (+) Tipe: PSM Grade 4/6 di LLSB

EDM Grade 2/4 di URSB

Punctum maximum: apeks Radiasi: aksila

Paru : SP: vesikuler ST : (-)

Abdomen : Palpasi hepar/ lien: tidak teraba

Asites (-)

Ekstremitas : superior : sianosis (-) Clubbing (-)

Inferior : edema (-) Pulsasi arteri (+)

Akral : hangat
44

Gambar 3.1. Hasil EKG 12 Oktober 2012


45

Interpretasi rekaman EKG:

AF, QRS rate 140 x/menit, aksis normal, gelombang P sulit dinilai, PR interval
sulit dinilai, QRS duration 0,08s, Q patologis (-), ST-T changes (-), LVH (+),
VES (-),

Kesan EKG: AF RVR, LVH

Gambar 3.2. Foto Toraks 12 Oktober 2012

Interpretasi Foto Toraks (PA):

CTR 60%, aorta dilatasi, pulmonal menonjol, kongesti (+), infiltrat (-), apeks
downward

Kesan: Kardiomegali + kongesti


46

Hasil Laboratorium (12 Oktober 2012)


Darah lengkap: Hb : 12,90 g%
Eritrosit : 4,5 x 106/mm6 (4.20-4.87)
Leukosit : 9,43 x 103/mm3 (4.5-11.0)
Trombosit : 489 x 103/mm3
Ht : 38,4% (43-49)
Hitung Jenis: E/B/N/L/M : 1,4/1,3/59,5/25,1/12,7 %
AGDA: pH : 7,467
pCO2 : 24,8 mmHg
pO2 : 176,7 mmHg
HCO3 : 17,9 mmol/L
Total CO2 : 18,7 mmol/L
BE : -4,3 mmol/L
SaO2 : 99,6%
Enzim Jantung: Troponin T : (-)
CK-MB : 25 U/L
Metabolisme KH: KGD sewaktu : 93,9 mg/dL
Elektrolit: Natrium : 133 mEq/L
Kalium : 4,2 mEq/L
Klorida : 108 mEq/L
Faal Hemostasis:
Waktu Trombin Kontrol : 15,00 detik
Pasien : 24,2 detik
INR : 1,94
APTT Kontrol : 35,0 detik
Pasien : 27,6 detik
Waktu Trombin Kontrol : 12,6 detik
Pasien : 14,8 detik

13 Oktober 2012
Faal Hemostasis:
APTT Kontrol : 35,0 detik
Pasien : 32,3 detik
14 Oktober 2012
Faal Hemostasis:
APTT Kontrol : 35,0 detik
Pasien : 27,2 detik
15 Oktober 2012
Faal Hemostasis:
APTT Kontrol : 35,0 detik
Pasien : 33,9 detik
16 Oktober 2012
AGDA: pH : 7,47
pCO2 : 29,4 mmHg
pO2 : 146,6 mmHg
47

HCO3 : 21,1 mmol/L


Total CO2 : 22,0 mmol/L
BE : -1,4 mmol/L
SaO2 : 99,3 %
Elektrolit: Natrium : 139 mEq/L
Kalium : 2,8 mEq/L
Klorida : 106 mEq/L

16 Oktober 2012
Faal Hemostasis:
Waktu Trombin Kontrol : 15,20 detik
Pasien : 17,1 detik
INR : 1,15
APTT Kontrol : 35,0 detik
Pasien : 30,9 detik
Waktu Trombin Kontrol : 12,6 detik
Pasien : 16,2 detik

18 Oktober 2012
Faal Hemostasis:
Waktu Trombin Kontrol : 12,20 detik
Pasien : 18,4 detik
INR : 1,50
APTT Kontrol : 33,5 detik
Pasien : 31,6 detik
Waktu Trombin Kontrol : 17,0 detik
Pasien : 18,2 detik
Fibrinogen : 330 mg/dL
D-dimer : 1.345 ng/mL
APTT Kontrol : 33,5 detik
Pasien : 33,9 detik

19 Oktober 2012
Faal Hemostasis:
APTT Kontrol : 33,5 detik
Pasien : 36,3 detik
Waktu Protrombin Kontrol : 12,0 detik
Pasien : 16 detik
INR : 1,40
APTT Kontrol : 33,3 detik
Pasien : 44,4 detik
Waktu Trombin Kontrol : 17,4 detik
Pasien : 17,9 detik
Fibrinogen : 350 mg/dL
D-dimer : 1.571 ng/mL
48

20 Oktober 2012
Darah lengkap: Hb : 13,40 g%
Eritrosit : 4,7 x 106/mm6 (4.20-4.87)
Leukosit : 17,22 x 103/mm3 (4.5-11.0)
Trombosit : 191 x 103/mm3
Ht : 40% (43-49)
Hitung Jenis: E/B/N/L/M : 0,1/0,2/82,3/7,5/9,9 %

Faal Hemostasis
APTT Kontrol : 33,4 detik
Pasien : 25,8 detik
D-dimer : 2.200 ng/mL

Faal Ginjal: Ureum : 39 mg/dL


Kreatinin : 0,71 mg/dL
Elektrolit: Natrium : 130 mEq/L
Kalium : 4.0 mEq/L
Klorida : 95 mEq/L

21 Oktober 2012
Darah lengkap: Hb : 12,6 g%
Eritrosit : 4,34 x 106/mm6 (4.20-4.87)
Leukosit : 14,41 x 103/mm3 (4.5-11.0)
Trombosit : 179 x 103/mm3
Ht : 37,6% (43-49)

Hitung Jenis: E/B/N/L/M : 0,0/0,1/91,1/5,1/3,7 %

Faal Hemostasis
Waktu Protrombin Kontrol : 12,0 detik
Pasien : 20,7 detik
INR : 1,82
APTT Kontrol : 33,4 detik
Pasien : 33,9 detik
Fibrinogen : 145 mg/dL
D-dimer : 1.600 ng/mL

AGDA: pH : 7,553
pCO2 : 26,2 mmHg
pO2 : 195,1 mmHg
HCO3 : 22,6 mmol/L
Total Co2 : 23,4 mmol/L
BE : 1,4 mmol/L
SaO2 : 99,8%
Faal Ginjal: Ureum : 53 mg/dL
Kreatinin : 0,63 mg/dL
49

22 Oktober 2012
APTT Kontrol : 32,5 detik
Pasien : 29,7 detik
Elektrolit: Natrium : 133 mEq/L
Kalium : 3,7 mEq/L
Klorida : 105 mEq/L

23 Oktober 2012
Waktu Protrombin Kontrol : 12,20 detik
Pasien : 13,00 detik
INR : 1,00
APTT Kontrol : 33,5 detik
Pasien : 25,6 detik

24 Oktober 2012
Darah lengkap: Hb : 10,80 g%
Eritrosit : 3,73 x 106/mm6 (4.20-4.87)
Leukosit : 28,98 x 103/mm3 (4.5-11.0)
Trombosit : 208 x 103/mm3
Ht : 32,3% (43-49)

Hitung Jenis: E/B/N/L/M : 0/0,1/87,4/3,1/9,4 %

APTT Kontrol : 32,3 detik


Pasien : 28,3 detik
Metabolisme KH: KGD sewaktu : 171,70 mg/dL
Faal Ginjal: Ureum : 65,4 mg/dL
Kreatinin : 0,74 mg/dL
Asam Urat : 6,9 mg/dL
Elektrolit: Natrium : 128 mEq/L
Kalium : 4,2 mEq/L
Klorida : 94 mEq/L
26 Oktober 2012
APTT Kontrol : 33,5 detik
Pasien : 32,1 detik
Diagnosa Kerja: CHF Fc II/III ec MS, MI, AS, AR ec RHD

1. Fungsional: NYHA fc II-III


2. Anatomi: katup mitral, aorta
3. Etiologi: penyakit jantung rematik

Pengobatan :
1. Bed rest semi fowler
2. O2 4-6L/menit
50

3. IVFD Nacl 0.9% 10gtt/i mikro


4. Inj Furosemide 20 mg/12 jam
5. Benzatin Penicillin 1,2 juta Unit
6. Inj Digoxin 0,25 mg 1x1
7. Heparin bolus 3000 unit
8. Simarc 2 mg 1x1 tab
9. Captopril 6,25 mg 3x1
10. Spironolakton 1x25 mg

Rencana Pemeriksaan Lanjutan:

1. ASTO
2. Echocardiography

Follow Up Pasien (12 Oktober-27 Oktober 2012)

Tanggal S O A P

12 Jantung Sens: CM 1. AF RVR 1. Bed rest Semi Fowler


Oktober berdebar TD:160/20 2. CHF Fc 2. O2 4-6 liter/menit
HR: 130 x/i III ec AR 3. IVFD NaCl 0,9% 10
RR: 30 x/i ec RHD gtt/menit
T: 37ºC 4. Inj Digoxin 0,5 mg  0,25
Mata: Konj.palpebra mg 4 jam kemudian 1x1.
inferior anemis (-/-), 5. Heparin bolus 3.000 IU 
Sklera ikterik (-/-) 600 IU/jam (selama 3 hari)
TVJ: R+3 cmH2O 6. Simarc 2 mg 1x1
Cor: S1 (N) S2 (↑) 7. Captopril 6,25 mg 3x1
irregular, murmur 8. Inj Furosemide 20 mg/12
sdn, gallop (-) jam
Pulmo : SP: vesikuler 9. Spironolakton 1x25 mg
ST: ronki basah basal 10. Benzatin Penicillin 1,2 juta
(+/+) unit
Abd: Soepel, Hepar:
2 jari BAC, lien: ttb,
BU (N).
Ekstremitas: akral
hangat, edema (-/-),

13 Jantung Sens: CM 1. AF NVR 1. Tirah baring semi Fowler


Oktober berdebar- TD:130/50 2. CHF Fc 2. O2 4-6 liter/menit
debar HR: 96 x/i III ec AR 3. IVFD NaCl 0,9% 10
RR: 24 x/i ec RHD gtt/menit
T: 36,7ºC 4. Inj Digoxin 0,25 mg 1x1
51

Mata: Konj.palpebra 5. Inj Heparin bolus 600


inferior anemis (-/-), IU/jam (H-2)
Sklera ikterik (-/-) 6. Simarc 2 mg 1x1
TVJ: R+3 cmH2O 7. Captopril 6,25 mg 3x1
Cor: S1 (N) S2 (↑) 8. Inj Furosemide 20 mg/12
irregular, murmur (+) jam
EDM grade 3/6, 9. Spironolakton 1x25 mg
gallop (-) 10. Benzatin Penicillin 1,2 juta
Pulmo : SP: Vesikuler unit
ST: Ronki basah 11. Rencana ekokardiografi
basal (+/+) minimal hari ini
Abd: Soepel, Hepar: 12. Pemeriksaan APTT/hari
2 jari BAC, lien: ttb,
BU (N).
Ekstremitas: akral
hangat, edema (-/-),
pistol shot sound (+),
Quincke sign (+)

13 Jantung Sens: CM 1. AF NVR 1. Tirah baring semi Fowler


Oktober berdebar- TD:130/50 2. CHF Fc 2. O2 4-6 liter/menit
(15.00) debar ↓ HR: 80 x/i III ec MS, 3. IVFD NaCl 0,9% 10
RR: 22 x/i MI, AI, gtt/menit
T: 36,6 ºC AS 4. Inj Digoxin 0,25 mg 1x1
Mata: Konj.palpebra (MVHD) 5. Inj Heparin bolus 600
inferior anemis (-/-), ec RHD IU/jam (H-2)
Sklera ikterik (-/-) 6. Simarc 2 mg 1x1
TVJ: R+3 cmH2O 7. Captopril 6,25 mg 3x1
Cor: S1 (N) S2 (↑) 8. Furosemide 1x40 mg
irregular, murmur (+) 9. Spironolakton 1x25 mg
EDM grade 3/6 di 10. Benzatin Penicillin 1,2 juta
URSB, gallop (-) unit
Pulmo : SP: Vesikuler
ST: Ronki basah
basal (+/+) minimal
Abd: Soepel, Hepar:
2 jari BAC, lien: ttb,
BU (N).
Ekstremitas: akral
hangat, edema (-/-),
pistol shot sound (+),
Quincke sign (+)

15 Jantung Sens: CM 1. CHF Fc 1. Tirah baring semi Fowler


Oktober berdebar- TD:120/20 III ec MS, 2. O2 4 liter/menit
debar HR: 90 x/i MI, AI, 3. IVFD NaCl 0,9% 10
52

RR: 28 x/i AS gtt/menit


T: 36,4ºC (MVHD) 4. Inj Digoxin 0,25 mg 2x1
Mata: Konj.palpebra ec RHD 5. Inj Heparin bolus 600
inferior anemis (-/-), 2. AF NVR IU/jam
Sklera ikterik (-/-) 3. 6. Simarc 2 mg 1x1
TVJ: R+3 cmH2O 7. Captopril 6,25 mg 3x1
Cor: S1 (N) S2 (↑) 8. Furosemid 40 mg 1x1
irregular, murmur (+) 9. Spironolakton 25 mg 1x1
EDM grade 3/6 di 10. Cek APTT ulang
URSB, gallop (-) 11. Cek EKG/hari
Pulmo : SP: Vesikuler
ST: Ronki basah
basal (+/+) minimal
Abd: Soepel, Hepar:
3 jari BAC, lien: ttb,
BU (N).
Ekstremitas: akral
hangat, edema (-/-)
16 Jantung Sens: CM 1. CHF Fc II 1. Bed rest Semi Fowler
Oktober berdebar- TD:110/0 ec MVHD 2. O2 4 liter/menit
debar HR: 96 x/i ec RHD 3. IVFD NaCl 0,9% 10
RR: 22 x/i 2. AF NVR gtt/menit
T: 35,9ºC 4. Inj Digoxin 0,25 mg 2x1
Mata: Konj.palpebra  1x1
inferior anemis (-/-), 5. Simarc 2 mg 1x1
Sklera ikterik (-/-) 6. Captopril 6,25 mg 3x1
TVJ: R-2 cm H2O 7. Furosemid 40 mg 1x1
Cor: S1 (N) S2 (↑) 8. Spironolakton 1x25 mg
irregular, murmur (+) 9. Cek INR
EDM grade 3/6 di 11. Koreksi elektrolit
URSB, gallop (-)
Pulmo : SP: Vesikuler
ST: Ronki basah
basal (+/+) minimal
Abd: Soepel, Hepar:
3 jari BAC, lien: ttb,
BU (N).
Ekstremitas: akral
hangat, edema (-/-)

17 Jantung Sens: CM 1. CHF Fc II 1. Bed rest Semi Fowler


Oktober berdebar- TD:140/20 ec MVHD 2. O2 4 liter/menit
debar, HR: 110 x/i ec RHD 3. IVFD NaCl 0,9% 10
RR: 24 x/i 2. AF NVR gtt/menit
nyeri
T: 36ºC 4. Inj Digoxin 0,25 mg 1x1
tungkai Mata: Konj.palpebra 5. Simarc 2 mg 1x1
53

inferior anemis (-/-), 6. Captopril 6,25 mg 3x1


Sklera ikterik (-/-) 7. Furosemid 40 mg 1x1
TVJ: R-2 cm H2O 8. Spironolakton 1x25 mg
Cor: S1 (N) S2 (↑) 9. KSR 600 mg 2x1
irregular, murmur (+) 10. Aspilet 80 mg 1x1
EDM grade 3/6 di 11. Clopidrogel 75 mg 1x1
URSB, gallop (-) 12. Simvastatin 20 mg 1x1
Pulmo : SP: Vesikuler 13. Heparin 3000 IU  720
ST: Ronki basah unit/jam
basal (-/-) 14. Morfin drip 1 amp+ 50 cc
Abd: Soepel, Hepar: NaCl 0,9%
3 jari BAC, lien: ttb, 15. Rencana arteriografi
BU (N). 16. EKG/hari
Ekstremitas: akral
hangat, edema (-/-),
pistol shot sign (+),
pulsasi arteri dorsalis
pedis sinistra (-)

18 Jantung Sens: CM 1. CHF Fc II 1. Bed rest Semi Fowler


Oktober berdebar- TD:100/0 mmHg ec MVHD 2. O2 4 liter/menit
debar, HR: 98 x/i ec RHD 3. Inj Digoxin 0,25 mg 1x1
RR: 24 x/i 2. AF NVR 4. Simarc 2 mg 1x1  stop
nyeri
T: 36,3ºC ALI 5. Captopril 6,25 mg 3x1
tungkai Mata: Konj.palpebra 6. Furosemid 40 mg 1x1
inferior anemis (-/-), 7. Spironolakton 1x25 mg
Sklera ikterik (-/-) 8. KSR 600 mg 2x1 (H-2)
TVJ: R-2 cm H2O 9. Aspilet 80 mg 1x1
Cor: S1 (N) S2 (↑) 10. Clopidrogel 75 mg 1x1
irregular, murmur (+) 11. Simvastatin 20 mg 1x1
EDM grade 3/6 di 12. Heparin 500 unit/jam 
URSB, gallop (-) target aPTT: 1,5-2
Pulmo : SP: Vesikuler 13. Morfin drip 1 amp+ 50 cc
ST: Ronki basah NaCl 0,9%
basal (-/-) 14. Pentoxifilin 1200 mg/24
Abd: Soepel, Hepar: jam
3 jari BAC, lien: ttb, 15. Streptase 120.000 IU dalam
BU (N). 24 jam
Ekstremitas: akral
hangat, edema (-/-),
pistol shot sign (+).
19 Jantung Sens: CM 1. CHF Fc II 1. Bed rest Semi Fowler
Oktober berdebar- TD:90/35 mmHg ec MVHD 2. O2 4 liter/menit
debar (+) HR: 112 x/i ec RHD 3. IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i
RR: 24 x/i 2. AF RVR 4. Inj Digoxin 0,25 mg 2x1
↑, nyeri
T: 36,8ºC 3. ALI 5. Captopril 6,25 mg 3x1
tungkai ↓
54

Mata: Konj.palpebra 3. Post 6. Furosemid 40 mg 1x1


inferior anemis (-/-), arteriograf 7. Spironolakton 1x25 mg
Sklera ikterik (-/-) i 8. KSR 600 mg 2x1
TVJ: R-2 cm H2O 9. Aspilet 80 mg 1x1
Cor: S1 (N) S2 (↑) 10. Clopidrogel 75 mg 1x1
irregular, murmur (+) 11. Simvastatin 20 mg 1x1
EDM grade 3/6 di 12. Heparin 300 unit/jam
URSB, gallop (-) 13. Morfin drip 1 amp+ 50 cc
Pulmo : SP: Vesikuler NaCl 0,9% (1cc/jam)
ST: Ronki basah 14. Pentoxifilin 1200 mg/24 jam
basal (-/-) 15. Streptase 120.000 IU dalam
Abd: Soepel, Hepar: 24 jam
3 jari BAC, lien: ttb, 16. Pemeriksaan darah rutin,
BU (N). HST, fibrinogen, D-dimer,
Ekstremitas: akral RFT, procalcitonin.
hangat, edema (-/-), 17. Arteriografi ulang
pistol shot sign (+), 18. Inj Ceftriaxone 2 gram/12
pulsasi arteri dorsalis jam
pedis (-).
20 Jantung Sens: CM 1. CHF Fc II 1. Bed rest Semi Fowler
Oktober berdebar- TD:135/60 mmHg ec MVHD 2. O2 4 liter/menit
debar (+), HR: 131 x/i ec RHD 3. IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i
RR: 20 x/i 2. AF RVR 4. Inj Digoxin 0,25 mg 2x1
nyeri
T: 36,7ºC 3. ALI 5. Captopril 6,25 mg 3x1
tungkai ↓ Mata: Konj.palpebra 4. 6. Furosemid 40 mg 1x1
inferior anemis (-/-), 7. Spironolakton 1x25 mg
Sklera ikterik (-/-) 8. KSR 600 mg 2x1
TVJ: R+2 cm H2O 9. Aspilet 80 mg 1x1
Cor: S1 (N) S2 (N), 10. Clopidrogel 75 mg 1x1
murmur (+) EDM 11. Simvastatin 20 mg 1x1
grade 3/6 di URSB, 12. Heparin 400 unit/jam
gallop (-) 13. Morfin drip 2 amp+ 50 cc
Pulmo : SP: Vesikuler NaCl 0,9% (2 cc/jam)
ST: Ronki basah 14. Pentoxifilin 1200 mg/24 jam
basal (-/-) 15. Streptase 120.000 IU dalam
Abd: Soepel, Hepar: 24 jam
3 jari BAC, lien: ttb, 16. PCT 3x500 mg
BU (N). 17. Inj Novalgin 1 amp (k/p)
Ekstremitas: akral 18. Menunggu hasil aPTT, D-
hangat, edema (-/-), dimer, fibrinogen
pistol shot sign (+),
pulsasi arteri dorsalis
pedis (-), arteri
radialis kiri (+)
21 Jantung Sens: CM 1. CHF Fc II 1. Bed rest Semi Fowler
Oktober berdebar- TD:110/0 mmHg ec MVHD 2. O2 4 liter/menit
55

debar (+) HR: 106 x/i ec RHD 3. IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i
RR: 28 x/i 2. AF RVR 4. Inj Digoxin 0,25 mg 2x1
T: 36,5ºC 3. ALI 5. Captopril 6,25 mg 3x1
Mata: Konj.palpebra 6. Furosemid 40 mg 1x1
inferior anemis (-/-), 7. Spironolakton 1x25 mg
Sklera ikterik (-/-) 8. KSR 600 mg 2x1
TVJ: R+2 cm H2O 9. Aspilet 80 mg 1x1
Cor: S1 (N) S2 (N) 10. Clopidrogel 75 mg 1x1
irreguler, murmur (+) 11. Simvastatin 20 mg 1x1
EDM grade 3/6 di 12. Heparin 20.000 IU/24 jam
URSB, gallop (-) 13. Morfin drip 2 amp+ 50 cc
Pulmo : SP: Vesikuler NaCl 0,9% (1,5 cc/jam)
ST: Ronki basah 14. Inj Metilprednisolon 1 fl/8
basal (-/-) jam i.v.
Abd: Soepel, Hepar: 15. Inj Ketorolac 1 gram/8 jam
3 jari BAC, lien: ttb, 16. Inj Ranitidin 1 gram/12 jam
BU (N). Cek aPTT
Ekstremitas: akral
hangat, edema (-/-),
pistol shot sign (+),
pulsasi arteri dorsalis
pedis (-), sensasi rasa
(-)
22 Nyeri Sens: CM 1. CHF Fc I- 1. Bed rest Semi Fowler
Oktober dada TD:160/60 mmHg II ec 2. O2 4 liter/menit
kanan HR: 88 x/i MVHD ec 3. IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i
RR: 26 x/i RHD 4. Inj Digoxin 0,25 mg 2x1
T: 37,6ºC 2. AF RVR 5. Captopril 6,25 mg 3x1
Mata: Konj.palpebra 3. ALI post 6. Furosemid 40 mg 1x1
inferior anemis (-/-), trombekto 7. Spironolakton 1x25 mg
Sklera ikterik (-/-) mi 8. KSR 600 mg 2x1
TVJ: R-2 cm H2O 9. Aspilet 80 mg 1x1
Cor: S1 (N) S2 (N) 10. Clopidrogel 75 mg 1x1
irreguler, murmur (+) 11. Simvastatin 20 mg 1x1
EDM grade 3/6 di 12. Heparin 20.000 IU/24 jam
URSB, gallop (-)  900 IU/jam
Pulmo : SP: Vesikuler 13. Morfin drip 2 amp+ 50 cc
ST: Ronki basah NaCl 0,9% (1,5 cc/jam)
basal (-/-) 14. Inj Metilprednisolon 1 fl/8
Abd: Soepel, Hepar: jam i.v.
2 jari BAC, lien: ttb, 15. Inj Ceftriaxone 1 gram/12
BU (N). jam (H-1)
Ekstremitas: akral 16. Inj Ketorolac 1 gram/8 jam
dingin, edema (-/-), 17. Inj Ranitidin 1 gram/12 jam
pistol shot sign (+), 18. PCT 3 x 500 mg
pulsasi arteri dorsalis
56

pedis (-), sensasi rasa


(-)

23 Nyeri Sens: CM 4. CHF Fc II 1. Bed rest Semi Fowler


Oktober dada TD:140/20 mmHg ec MVHD 2. O2 4 liter/menit
kanan HR: 120 x/i ec RHD 3. IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i
RR: 28 x/i 5. AF RVR 4. Inj Metilprednisolon 1 fl/8
T: 37,6ºC 6. ALI jam i.v.
Mata: Konj.palpebra 5. Inj Ceftriaxone 1 gram/12
inferior anemis (-/-), jam (H-2)
Sklera ikterik (-/-) 6. Heparin 1.000 IU/jam
TVJ: R-2 cm H2O 7. Morfin drip 2 amp+ 50 cc
Cor: S1 (N) S2 (N) NaCl 0,9% (1 cc/jam)
irreguler, murmur (+) 8. Inj Ketorolac 1 gram/8 jam
EDM grade 3/6 di 9. Inj Ranitidin 1 gram/12 jam
URSB, gallop (-) 10. Digoxin 0,25 mg 2x1
Pulmo : SP: Vesikuler 11. Inj Furosemid 20 mg/12 jam
ST: Ronki basah 12. Captopril 6,25 mg 3x1
basal (-/-) 13. Spironolakton 1x25 mg
Abd: Soepel, Hepar: 14. KSR 600 mg 2x1
2 jari BAC, lien: ttb, 15. Aspilet 80 mg 1x1
BU (N). 16. Clopidrogel 75 mg 1x1
Ekstremitas: inferior 17. Simvastatin 20 mg 1x1
sinistra: akral dingin, 18. Bicarbonat 3x1 tablet
pucat, pulsasi arteri 19. PCT 3x500 mg
dorsalis pedis (-), 20. Vitamin E 25.000 IU 1x1
sensasi rasa (+), nyeri 21. Pentoxyfilin 2x400 mg
(+), rubor, calor, dolor 22. Allopurinol 1x100 mg
23. Laxadyn syr 3xCI

24 Nyeri Sens: CM 1. CHF Fc II 1. Bed rest Semi Fowler


Oktober kaki kiri TD:120/20 mmHg ec MVHD 2. O2 4 liter/menit
HR: 92 x/i ec RHD 3. IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i
RR: 28 x/i 2. AF RVR 4. Inj Metilprednisolon 125
T: 35ºC 3. ALI post mg/8 jam i.v.
Mata: Konj.palpebra trombekto 5. Inj Ceftriaxone 1 gram/12
inferior anemis (-/-), mi jam (H-3)
Sklera ikterik (-/-) 6. Heparin 1.000 IU/jam
TVJ: R-2 cm H2O 7. Morfin drip 2 amp+ 50 cc
Cor: S1 (N) S2 (N) NaCl 0,9% (1 cc/jam)
irreguler, murmur (+) 8. Inj Ketorolac 1 gram/8 jam
EDM grade 3/6 di 9. Digoxin 0,25 mg 1x1
URSB, gallop (-) 10. Inj Furosemid 20 mg/12 jam
Pulmo : SP: Vesikuler 11. Captopril 6,25 mg 3x1
ST: Ronki basah 12. KSR 600 mg 2x1
basal (-/-) 13. Aspilet 80 mg 1x1
57

Abd: Soepel, Hepar: 14. Clopidrogel 75 mg 1x1


2 jari BAC, lien: ttb, 15. Simvastatin 40 mg 1x1
BU (N). 16. Bicarbonat 3x1 tablet
Ekstremitas: inferior 17. Vitamin E 25.000 IU 1x1
sinistra: akral dingin, 18. Pentoxyfilin 2x400 mg
pucat, pulsasi arteri 19. Allopurinol 1x100 mg
dorsalis pedis (-), 20. Laxadyn syr 3xCI
sensasi rasa (+), nyeri
(+), rubor, calor, dolor
25 Jantung Sens: CM 1. CHF Fc II 1. Bed rest Semi Fowler
Oktober berdebar- TD:140/20 mmHg ec MVHD 2. O2 4 liter/menit
debar (+) HR: 84 x/i ec RHD 3. IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i
RR: 24 x/i 2. AF RVR 4. Drip Ciprofloksasin 200
T: 35ºC 3. ALI post mg/12 jam (H-1)
Mata: Konj.palpebra trombekto 5. Inj Metilprednisolon 125
inferior anemis (-/-), mi mg/12 jam i.v.
Sklera ikterik (-/-) 6. Inj Ceftriaxone 1 gram/12
TVJ: R-2 cm H2O jam (H-4)
Cor: S1 (N) S2 (N) 7. Heparin 1.000 IU/jam
irreguler, murmur (+) 8. Morfin drip 2 amp+ 50 cc
EDM grade 3/6 di NaCl 0,9% (1,5 cc/jam)
URSB, gallop (-) 9. Inj Ketorolac 1 gram/6 jam
Pulmo : SP: Vesikuler 10. Inj Ranitidin 1 amp/12 jam
ST: Ronki basah 11. Digoxin 0,25 mg 1x1
basal (-/-) 12. Inj Furosemid 20 mg/12 jam
Abd: Soepel, Hepar: 13. Captopril 6,25 mg 3x1
2 jari BAC, lien: ttb, 14. KSR 600 mg 2x1
BU (N). 15. Aspilet 80 mg 1x1
Ekstremitas: inferior 16. Clopidrogel 75 mg 1x1
sinistra: akral dingin, 17. Simvastatin 40 mg 1x1
pucat, pulsasi arteri 18. Bicarbonat 3x1 tablet
dorsalis pedis (-), 19. Vitamin E 25.000 IU 1x1
sensasi rasa (+), nyeri 20. Pentoxyfilin 2x400 mg
(+), rubor, calor, dolor 21. Allopurinol 1x100 mg
22. Laxadyn syr 3xCI
23. EKG
24. Cek aPTT

26 Jantung Sens: CM 1. CHF Fc II 1. Bed rest Semi Fowler


Oktober berdebar- TD:120/20 mmHg ec MVHD 2. O2 4 liter/menit
debar (+) HR: 80 x/i ec RHD 3. IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i
RR: 22 x/i 2. AF RVR 4. Drip Ciprofloksasin 200 mg/12
T: 36ºC 3. ALI post jam (H-2)
Mata: Konj.palpebra trombekto 5. Inj Metilprednisolon 125 mg/12
inferior anemis (-/-), mi jam i.v.
Sklera ikterik (-/-) 6. Inj Ceftriaxone 1 gram/12 jam
58

TVJ: R-2 cm H2O (H-5)


Cor: S1 (N) S2 (N) 7. Heparin 1.000 IU/jam
irreguler, murmur (+) 8. Morfin drip 2 amp+ 50 cc NaCl
EDM grade 3/6 di 0,9% (1,5 cc/jam)
URSB, gallop (-) 9. Inj Ketorolac 1 gram/6 jam
Pulmo : SP: Vesikuler 10. Inj Ranitidin 1 amp/12 jam
ST: Ronki basah 11. Digoxin 0,25 mg 1x1
basal (-/-) 12. Inj Furosemid 20 mg/12 jam
Abd: Soepel, Hepar: 13. Captopril 6,25 mg 3x1
2 jari BAC, lien: ttb, 14. KSR 600 mg 2x1
BU (N). 15. Aspilet 80 mg 1x1
Ekstremitas: inferior 16. Clopidrogel 75 mg 1x1
sinistra: akral dingin, 17. Simvastatin 40 mg 1x1
pucat, pulsasi arteri 18. Bicarbonat 3x1 tablet
dorsalis pedis (-), 19. Vitamin E 25.000 IU 1x1
sensasi rasa (+), nyeri 20. Pentoxyfilin 2x400 mg
(+), rubor, calor, dolor 21. Allopurinol 1x100 mg
22. Laxadyn syr 3xCI
23. EKG
24. Cek aPTT

27 Nyeri Sens: CM 1. CHF Fc II 1. Bed rest Semi Fowler


Oktober kaki kiri, TD:160/0 mmHg ec MVHD 2. O2 4 liter/menit
wajah HR: 94 x/i ec RHD 3. Heparin 1.000 IU/jam
RR: 24 x/i 2. AF RVR 4. Inj Metilprednisolon 125 mg/12
sembab
T: 36ºC ALI post jam i.v.
Mata: Konj.palpebra trombekto 5. Morfin 0,5 cc/jam
inferior anemis (-/-), mi 6. Inj Ceftriaxone 1 gram/12 jam
Sklera ikterik (-/-) (H-6)
TVJ: R-2 cm H2O 7. Drip Ciprofloksasin 200 mg/12
Cor: S1 (N) S2 (N) jam (H-2)
irreguler, murmur (+) 8. Simarc 2 mg 1x1
EDM grade 3/6 di 9. Inj Ketorolac 1 gram/6 jam
URSB, gallop (-) 10. Inj Ranitidin 1 amp/12 jam
Pulmo : SP: Vesikuler 11. Digoxin 0,25 mg 1x1
ST: Ronki basah 12. Furosemide 1x40 mg
basal (-/-) 13. Captopril 12,5 mg 3x1
Abd: Soepel, Hepar: 14. KSR 600 mg 1x1
2 jari BAC, lien: ttb, 15. Aspilet 80 mg 1x1
BU (N). 16. Clopidrogel 75 mg 1x1
Ekstremitas: inferior 17. Simvastatin 40 mg 1x1
dextra: akral hangat, 18. Bicarbonat 3x1 tablet
edema (-) inferior 19. Vitamin E 25.000 IU 1x1
sinistra: akral dingin, 20. Pentoxyfilin 2x400 mg
pucat, pulsasi arteri 21. Allopurinol 1x100 mg
dorsalis pedis (-), 22. Laxadyn syr 3xCI
59

sensasi rasa (+), nyeri 23. EKG


(+), rubor, calor, dolor Cek aPTT
60

BAB IV

KESIMPULAN

S didiagnosa dengan CHF Fc II/III ec MS, MI, AS, AR ec RHD


1. Fungsional: NYHA fc II-III
2. Anatomi: katup mitral, aorta
3. Etiologi: penyakit jantung rematik

Tatalaksana:
1. Bed rest semi fowler
2. O2 4-6L/menit
3. IVFD Nacl 0.9% 10gtt/i mikro
4. Inj Furosemide 20 mg/12 jam
5. Benzatin Penicillin 1,2 juta Unit
6. Inj Digoxin 0,25 mg 1x1
7. Heparin bolus 3000 unit
8. Simarc 2 mg 1x1 tab
9. Captopril 6,25 mg 3x1
10. Spironolakton 1x25 mg

Prognosis: malam
61

DAFTAR PUSTAKA

1. Suryadipraja, R.M., 2004, Gagal Jantung dan Penatalaksanaannya, dalam


Moehadsjah., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi III. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 976,981-2.
2. O'Brien, Terrence. Congestive Heart Failure. South Carolina: Medical
University of South Carolina: 2006. Available from URL:
http://www.emedicinehealth.com/congestive_heart_failure/article_em.htm.
Diakses pada tanggal 4 September 2012.
3. Karim S, Kabo P. 2002. EKG dan Penanggulangan Beberapa Penyakit
Jantung untuk Dokter Umum. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
4. O'Brien, Terrence. Congestive Heart Failure. South Carolina: Medical
University of South Carolina: 2006. Available from URL:
http://www.emedicinehealth.com/congestive_heart_failure/article_em.htm.
Diakses pada tanggal 4 September 2012.
5. American Heart Association. 2010. Heart Disease And Stroke Statistics
-2010 Update. Available from: http://www.americanheart.org. [Accessed
September 4 2012].

6. Helth Welsh Survey. 2009. Prevalence of Heart Failure, 1995/95 To


1970/70, England and Wales, 2008, Wales. Available from:
http://www.heartstat.htm. [Accessed September 3 2012].
7. Silalahi D. 2004. Karakteristik Penderita Gagal Jantung yang Dirawat Inap
di RS Santa Elisabeth Medan Tahun 2002. Available from:
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14656/1/09E01271.pdf.
[Accessed September 3 2012]
8. Mariyono H. 2007. Gagal Jantung. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam, FK
Unud/ RSUP Sanglah, Denpasar. 8(3).
9. Siagian, 2009. Karakteristik Penderita Gagal Jantung yang Dirawat Inap di
RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2008. USU, Medan)
10. Whelton, dkk., 2001. Risk Factors Congestive Heart Failure in US Men
and Women. American Medical Association
http://www.archinternmed.com
62

11. Roebiono,P., 2005. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit jantung Bawaan.


Bagian Kardiologi FKUI. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/pdf.
12. Price, Sylvia A 1994. Gangguan Fungsi Mekanis Jantung dan Bantuan
Sirkulasi. Dalam :Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. EGC.
Jakarta. 582 – 593) dan (AHA. Heart disease and stroke statisticsâ€"2004
update. Dallas: American Heart Association, 2004.
13. Klabunde, Richard E. Pathophysiology of Heart Failure. 2007. Available
from URL: http://www.cvphysiology.com/Heart%20Failure/HF003.htm.
Diakses tanggal 4 September 2012.
14. Heart Failure Pathophysiology. The Medical News: 2010. Available from
URL: http://www.news-medical.net/health/Heart-Failure-
Pathophysiology.aspx. Diakses pada tanggal 4 September 2012.
15. Congestive Heart Failure. MVS Pathophysiology. Available from URL:
http://sprojects.mmi.mcgill.ca/mvs/PATHOS/CHF.HTM. Diakses pada
tanggal 4 September 2012.
16. Figueroa, Michael S. Congestive Heart Failure: Diagnosis,
Pathophysiology, herapy, and Implications for Respiratory Care. San
Antonio: University of Texas Health Science: 2006. p; 403–412.
17. Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E,
Kasper DL, editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed.
New York: Mc graw hill; 2008. p. 1443.
18. Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P,
Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwald’s Heart Disease.
Philadelphia: Saunders; 2007. p. 561-80.
19. Gray, H, dkk., 2007. Lecture Notes Kardiologi. Penerbit Erlangga, Jakarta.
20. Dickstain A, Filippatos G, Cohen SA, et al. Guidelines for the diagnosis
and treatment of acute and chronic heart failure 2008. European Society
Cardiology. European Heart Journal (2008) 29. 2388-2442.
21. Behavioural Modification. In: Management of chronic heart failure: A
national clinical guideline. Edinburgh: Scottish Intercollegiate Guidelines
Network: 2007. p; 10-13.
22. Dumitru I. Heart Failure. April 2011,
(http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview#aw2aab6b2b5aa
63

23. Miller, C.A. et al., 2011. Valvular Heart Disease. In: Lilly, L.S.,
Pathophysiology of Heart Disease: 5th ed. China: Lippincot Williams &
Wilkins
24. Otto, C.M. et al., 2008. Valvular Heart Disease. In: Libby, P. et al.
Braunwald’s Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine: 8th
ed. USA: Elsevier
25. Carabello, B.A., 2010. Aortic Valve Disease. In: Levine, G.N., Cardiology
Secrets: 3rd ed. USA: MOSBY Elsevier
26. Mayo Clinic. Aortic Valve Stenosis. Available from:
http://www.mayoclinic.com/health/aortic-valve stenosis/. [Accessed
October 30 2012].
27. Center for Aortic Disease. 2012. Available from:
http://www.ucaorta.org/aortic-stenosis.html. [Accessed October 30 2012].
28. Dugdale DC, Chen MA, and Zieve D. Aortic Stenosis. 2012. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001230/.
[Accessed October 30 2012].
29. Braunwald, E., 2008. Heart Failure and Cor Pulmonale. In:Kasper, D.L. et
all, ed. 17 th Edition Harrison’s Principles of Internal Medicine. New
York: McGraw-Hill, 2152-2180.2.
30. Divisi “Critical Cardiology” dan Kardiologi Klinik Departemen
Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2008. Jakarta.
31. Dumitru, I., Baker, M., 2010. Heart Failure. Ohama: Departement of
Internal Medicine, Section of Cardiology, University of Nebraska Medical
Center. Available from:http://emedicine.medscape.com/article/163062-
overview[accessed 08 oktober 2012].
32. Hunt, S.A., Abraham, W.T., Chin, M.H., et al 2009 Focused Update
Incorporated Into the ACC/AHA Guidelines for the Diagnosis
andManagement of Heart Failure in the Adult: A Report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force onPractice
Guidelines (Committee to revise the 1995 Guidelines for the Evaluation
and Management of Heart Failure). Circulation 119;e391-e479.
33. Jessup, M., Brozena S., 2003. Heart Failure. N Engl J Med ; 2007-2018.
64

34. Lilly, Leonard S. 2007. Pathophysiology of heart disease : a collaborative


project of medical students and faculty. 4th ed. LippincottWilliams &
Wilkins. Philadelpia.
35. Manurung, D. 2009. Regurgitasi Mitral. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi V. Jakarta : PAPDI, 1679-1679.
36. Disandro, D. Mitral regurgitation. Emedicine [ cited 2009 June 8].
Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/155618-
overview. Accessed October 09, 2012.
37. Edwards MM, O’Gara PT, Lilly LS. Valvular Heart Disease. In: Lilly LS,
Ed. Pathophysiology of Heart Disease.4 th ed. Philadelphia,Lippincott
Williams & Wilkins; 2007.
38. Hanson, I. Mitral regurgitation. Emedicine [ cited 2010 January 8].
Available from: URL:http://emedicine.medscape.com/article/758816-
overview. Accessed October 09, 2012.
39. Otto CM. Clinical Practice: Evaluation and Management of Chronic Mitral
Regurgitation. NEJM [ cited 2001 September 6 ]. Availablefrom:
URL:http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMcp003331.Accessed
October 07, 2012.
40. Otto CM, Bonow RO. Chapter 62: Valvular Heart Disease. In: Libby P,
Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, editors. Braunwald's Heart Disease: A
Textbook of Cardiovascular Medicine, 8th ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2008. 1635-45
41. Leman, Saharman. Regurgitasi Aorta. In: Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Sudoyo, Aru W. Ed.IV. Penerbitan IPD FK UI. Jakarta: 2006. 1578-1580
42. Price, S.A. & Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
43. Irawan B, 2009. Kelainan Katup Pulmonal-Kardiologi.Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, edisi 5, editor: Sudoyono AW,Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M dan Setiati S, Interna Publishing,Jakarta, halaman 1671-
1678.
44. Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, Simpson IA. Penyakit Katup
Jantung. In: Lecture Notes Kardiologi. Erlangga Medical Series. 2005.
200-216.
45. Dima C, Desser KB, Prisant ML, Talavera F, Compton SJ, Suleman A,
Lange CA. 2012. Mitral Stenosis. Available from:
65

http://emedicine.medscape.com/article/155724-overview#showall.
[Accessed October 29 2012].

Anda mungkin juga menyukai