Anda di halaman 1dari 36

Referat

PENATALAKSANAAN GAGAL JANTUNG

Oleh:

Muhammad Rizqan Fahlevi Akbar, S. Ked NIM. 2030912310002


Hadromy Rahmanda Riansyah, S. Ked NIM. 2030912310117
Nizam Atobig Hamdan Firdausi, S. Ked NIM. 2030912310137
Divae Sandrainy, S. Ked NIM. 2030912320080

Pembimbing :
dr. Intan Yustikasari, Sp. JP, FIHA

DEPARTEMEN/KSM KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR


FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN
BANJARMASIN

November, 2021
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL............................................................................. i

DAFTAR ISI.......................................................................................... ii

DAFTAR TABEL.................................................................................. iii

DAFTAR GAMBAR............................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................ 2

BAB III PENUTUP............................................................................. 31

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 32

ii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Gejala dan tanda gagal jantung.................................................... 7

2.2 Gejala dan tanda gagal jantung kiri............................................. 7

2.3 Gejala dan tanda gagal jantung kanan......................................... 8

2.4 Tatalaksana farmakologis pada pasien dengan gagal jantung..... 10

2.5 Dosis obat pada gagal jantung dengan penurunan EF................. 14

2.6 Perawatan farmakologis lain pada gagal jantung........................ 15

2.7 Perawatan farmakologis yang harus dipertimbangakan pada

HFmrEF....................................................................................... 21

2.8 Rekomendasi pengobatan HFpEF............................................... 22

2.9 Faktor risiko untuk pengembangan gagal jantung dan tindakan.

korektif potensial........................................................................ 22

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Fisiologi kerja jantung............................................................... 4

2.2 Patofisiologi LV dysfunction..................................................... 6

2.3 Alur diagnosis gagal jantung..................................................... 9

2.4 Algoritma terapi pada gagal jantung dengan penurunan EF..... 12

2.5 Tinjauan fenotipik strategis pengelolaan gagal jantung dengan

penurunan EF............................................................................ 19

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan

merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.

Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit,

4,7% wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan

2,3 – 3,7 per seribu penderita pertahun.

Gagal jantung merupakan keadaan dimana jantung tidak lagi mampu

memompa darah dalam jumlah yang memadai ke jaringan untuk memenuhi

kebutuhan metabolisme tubuh (forward failure) atau kemampuan tersebut hanya

dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi (backward failure)

atau dapat pula keduanya.1

Di Indonesia, berdasarkan survei Sample Registration System (SRS) pada

tahun 2019 menunjukkan bahwa penyakit jantung merupakan penyebab kematian

tertinggi kedua setelah stroke, dengan persentase 12,9%. Berdasarkan hasil Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi penyakit gagal jantung di

Indonesia berdasarkan diagnosis dokter yang sudah ditegakkan diperkirakan

sebesar 0,13% atau 229.696 orang, dan berdasarkan diagnosis kerja sebesar 0,3%

atau 530.068 orang.2

Berdasarkan penjelasan diatas, maka sangat penting untuk diketahui

bagaimana penatalaksanaan gagal jantung sehingga dapat mengurangi angka

kejadian penyakit jantung di Indonesia.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Gagal jantung bukanlah diagnosis patologis tunggal, tetapi suatu sindrom

klinis yang terdiri dari gejala utama (misalnya sesak napas, pembengkakan

pergelangan kaki, dan kelelahan) yang mungkin disertai dengan tanda-tanda

(misalnya peningkatan tekanan vena jugularis, ronki paru, dan edema perifer). Hal

ini disebabkan oleh kelainan struktural dan/atau fungsional jantung yang

mengakibatkan peningkatan tekanan intrakardiak dan/atau curah jantung yang

tidak adekuat saat istirahat dan/atau selama latihan.3

Gagal jantung dapat didefinisikan sebagai abnormalitas dari struktur jantung

atau fungsi yang menyebabkan kegagalan dari jantung untuk mendistribusikan

oksigen ke seluruh tubuh. Secara klinis, gagal jantung merupakan kumpulan

gejala yang kompleks dimana seseorangmemiliki tampilan berupa gejala gagal

jantung, tanda khas gagal jantung dan adanya bukti objektif dari gangguan

struktur atau fungsi jantung saat istirahat.4

B. Epidemiologi

Di negara maju, insiden HF yang disesuaikan dengan usia mungkin

menurun, mungkin mencerminkan manajemen penyakit kardiovaskular yang lebih

baik, tetapi karena penuaan, insiden keseluruhan meningkat. Saat ini, kejadian HF

di Eropa adalah sekitar 3/1000 orang-tahun (semua kelompok umur) atau sekitar

5/1000 orang-tahun pada orang dewasa. Prevalensi gagal jantung tampaknya 1-


3

2% dari orang dewasa. Karena penelitian biasanya hanya mencakup kasus HF

yang dikenali/didiagnosis, prevalensi sebenarnya cenderung lebih tinggi.

Prevalensi meningkat dengan bertambahnya usia: dari sekitar 1% untuk mereka

yang berusia <55 tahun hingga> 10% pada mereka yang berusia 70 tahun atau

lebih.3

Data dari Studi Risiko Aterosklerosis di Komunitas telah menunjukkan

bahwa sekitar 915.000 kasus baru gagal jantung terjadi setiap tahun di Amerika

Serikat. Tingkat insiden meningkat dengan usia untuk pasien dari kedua jenis

kelamin. Misalnya, data dari Framingham Heart Study telah menunjukkan bahwa

tingkat tahunan kejadian HF baru per 1000 orang-tahun adalah 9,2 untuk pria kulit

putih berusia 65 hingga 74 tahun, 22,3 untuk pria kulit putih berusia 75 hingga 84

tahun, dan 43,0 untuk pria kulit putih berusia 85 tahun. Tingkat yang sesuai di

antara wanita kulit putih adalah 4,7, 14,8, dan 30,7 per 1000 orang-tahun, masing-

masing. Temuan serupa terkait tingkat kejadian HF dengan usia juga telah dicatat

di antara populasi yang lebih beragam secara etnis dan ras. Insiden HF bervariasi

menurut ras, etnis, dan faktor sosial ekonomi. Data dari Studi Multietnis

Aterosklerosis telah menunjukkan bahwa kejadian HF tertinggi di antara orang

Afrika-Amerika, diikuti oleh Amerika Hispanik, Amerika kulit putih, dan Cina-

Amerika (tingkat insiden masing-masing 4,6, 3,5, 2,4, dan 1,0 per 1000 orang-

tahun). Serupa hubungan ditemukan pada populasi Studi Risiko Aterosklerosis di

Komunitas, di mana tingkat kejadian HF tertinggi untuk pria kulit hitam, diikuti

oleh wanita kulit hitam, pria kulit putih, dan wanita kulit putih. Dalam kedua

penelitian, insiden HF yang lebih tinggi di antara orang Afrika-Amerika sebagian


4

besar dijelaskan oleh prevalensi faktor risiko kardiovaskular yang lebih besar pada

populasi ini. Selain itu, tinjauan sistematis data dari beberapa negara termasuk

Amerika Serikat, Swedia, Denmark, dan Skotlandia menemukan bahwa

pendapatan, pencapaian pendidikan, dan faktor masyarakat yang menunjukkan

deprivasi ekonomi semuanya sangat terkait dengan onset baru HF.3,6

C. Patofisiologi

a. Fisiologi kerja jantung

Jumlah darah yang dipompa oleh jantung selama periode waktu tertentu

dikenal sebagai curah jantung, yang pada gilirannya merupakan produk dari HR

dan stroke volume (SV) dan biasanya 4-8 L/menit. Selain itu, faktor lain seperti

kontraksi ventrikel sinergis, integritas dinding ventrikel, dan kompetensi katup

semuanya mempengaruhi CO. SV didefinisikan sebagai jumlah darah yang

dikeluarkan oleh ventrikel per detak jantung, dan biasanya 1 cc/kg atau sekitar 60-

100 cc. SV dipengaruhi oleh tiga faktor utama: preload, yang merupakan jumlah

peregangan serat miokard pada akhir diastol; afterload, yaitu resistensi yang harus

diatasi agar ventrikel dapat mengeluarkan darah; dan kontraktilitas, yang

merupakan keadaan inotropik jantung terlepas dari preload atau afterload.5

Gambar 2.1. Fisiologi kerja jantung


5

b. Left Ventricular dysfunction

Disfungsi ventrikel kiri (LV) dapat dibagi menjadi dua kategori: disfungsi

sistolik (gangguan kontraksi dan ejeksi ventrikel) dan disfungsi diastolik

(gangguan relaksasi dan pengisian ventrikel). Meskipun ada banyak etiologi dari

HF, beberapa cenderung lebih mempengaruhi fungsi sistolik atau diastolik,

meskipun 70% pasien dengan HF memiliki disfungsi sistolik dibandingkan

dengan 30% dengan disfungsi diastolik. Selain itu, sebagian besar pasien dengan

disfungsi sistolik juga memiliki komponen disfungsi diastolik. Apakah pasien

dengan gagal jantung memiliki disfungsi sistolik atau diastolik tergantung pada

fraksi ejeksi (EF), yang didefinisikan sebagai jumlah darah yang dipompa dari

ventrikel dalam satu detak jantung. Jika EF adalah b40%, itu adalah disfungsi

sistolik, dan jika N40%, itu adalah disfungsi diastolik. Disfungsi sistolik LV

didefinisikan sebagai LVEF kurang dari 40%. Penyebab utama disfungsi sistolik

ventrikel kiri adalah hilangnya fungsi miokardium akibat penyakit iskemik dan

infark. Hipertensi yang tidak terkontrol menyebabkan kelebihan tekanan yang

berlebihan adalah faktor utama lainnya. Kelebihan volume karena inkompetensi

katup, dan gangguan kontraktilitas dari kardiotoksin dan obat kardiotoksik juga

merupakan kontributor. Konsekuensi dari disfungsi LV adalah penurunan CO

yang pada gilirannya menyebabkan hipoperfusi global. Selain itu, disfungsi LV

menyebabkan peningkatan jumlah darah di ventrikel dan oleh karena itu

peningkatan volume akhir sistolik dan akhir diastolik. Hal ini pada gilirannya

menyebabkan peningkatan tekanan diastolik akhir LV (LVEDP) yang

menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri yang pada gilirannya menyebabkan


6

peningkatan tekanan kapiler di paru-paru. Tekanan tinggi ini di paru-paru

memaksa cairan keluar dari kapiler paru dan menyebabkan kongesti paru dan

gejala klinis utama gejala dispnea.5

Gambar 2.2. Patofisiologi LV dysfunction

c. Right Ventricular dysfunction

Penyebab paling umum dari kegagalan ventrikel kanan (RV) adalah

kegagalan LV. Saat RV gagal, ada peningkatan serupa dalam jumlah darah di

ventrikel, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan tekanan atrium kanan

dan peningkatan tekanan dalam sistem vena kaval yang mengganggu drainase

vena dari tubuh. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan di hati, saluran

pencernaan, dan ekstremitas bawah dan tanda-tanda klinis dan gejala nyeri perut,

hepatomegali, dan edema perifer. Penyebab lain kegagalan RV termasuk

kardiomiopati/displasia RV aritmogenik.5

D. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala gagal jantung merupakan akibat dari gejala sisa klinis dari

CO yang tidak adekuat dan kurangnya aliran balik vena yang efisien. Dispnea,

batuk, dan mengi terjadi akibat peningkatan tekanan di dasar kapiler paru karena

aliran maju yang tidak efektif dari ventrikel kiri. Edema ekstremitas bawah, serta
7

asites, terjadi ketika ventrikel kanan tidak mampu mengakomodasi aliran balik

vena sistemik. Kelelahan sering terjadi karena jantung yang gagal tidak dapat

mempertahankan CO yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh

dan menghemat aliran darah ke jantung dan otak. Mual dan kurang nafsu makan

juga dapat terjadi karena darah dipindahkan dari saluran pencernaan ke organ

yang lebih vital. Palpitasi dapat terjadi karena jantung yang gagal mencoba

mengakomodasi kekurangan aliran dengan detak jantung (HR) yang lebih

cepat.1,4,5

Tabel 2.1. Gejala dan tanda gagal jantung

Tabel 2.2. Gejala dan tanda gagal jantung kiri


8

Tabel 2.3. Gejala dan tanda gagal jantung kanan

E. Diagnosis

a. Chronic Heart Failure

Diagnosis CHF memerlukan adanya gejala dan/atau tanda-tanda gagal

jantung dan bukti objektif disfungsi jantung. Gejala khas termasuk sesak napas,

kelelahan, dan pembengkakan pergelangan kaki. Diagnosis CHF dibuat lebih

mungkin pada pasien dengan riwayat MI, hipertensi arteri, CAD, diabetes

mellitus, penyalahgunaan alkohol, penyakit ginjal kronis (CKD), kemoterapi

kardiotoksik, dan pada mereka yang memiliki riwayat keluarga CMP atau

kematian mendadak. Tes diagnostik berikut ini direkomendasikan untuk penilaian

pasien dengan dugaan gagal jantung kronis:3

1) Elektrokardiogram (EKG). EKG normal membuat diagnosis HF tidak

mungkin. EKG dapat mengungkapkan kelainan seperti AF, gelombang Q,

hipertrofi LV (LVH), dan kompleks QRS yang melebar yang meningkatkan

kemungkinan diagnosis gagal jantung dan juga dapat memandu terapi.

2) Pengukuran NP direkomendasikan, jika tersedia. Sebuah plasma konsentrasi

B-type natriuretic peptide (BNP) <35 pg/mL, N-terminal pro-B-type

natriuretic peptide (NT-proBNP) <125 pg/ mL, atau mid-regional pro-atrial


9

natriuretic peptide (MR-proANP) <40 pmol/L membuat diagnosis gagal

jantung tidak mungkin.

3) Pemeriksaan dasar seperti ureum serum dan elektrolit, kreatinin, hitung

darah lengkap, tes fungsi hati dan tiroid direkomendasikan untuk

membedakan HF dari kondisi lain, untuk memberikan informasi prognostik,

dan untuk memandu terapi potensial.

4) Ekokardiografi direkomendasikan sebagai pemeriksaan kunci untuk

penilaian fungsi jantung. Selain penentuan LVEF, ekokardiografi juga

memberikan informasi tentang parameter lain seperti ukuran ruang, LVH

eksentrik atau konsentris, kelainan gerakan dinding regional (yang mungkin

menunjukkan CAD yang mendasari, sindrom Takotsubo, atau miokarditis),

fungsi RV, paru hipertensi, fungsi katup, dan penanda diastolik fungsi.

5) Rontgen dada dianjurkan untuk menyelidiki penyebab potensial lain dari

sesak napas (misalnya penyakit paru). Ini juga dapat memberikan bukti yang

mendukung HF (misalnya kongesti paru atau kardiomegali).

Gambar 2.3. Alur diagnosis gagal jantung


10

b. Heart Failure with reduced ejection fraction

Diagnosis HFrEF memerlukan adanya gejala dan/atau tanda-tanda HF dan

fraksi ejeksi berkurang (LVEF <_40%). Ini adalah paling sering diperoleh dengan

ekokardiografi.3

F. Penatalaksanaan

1. Gagal jantung kronik

a. Heart Failure with reduced Ejection Fraction (HFrEF)

Diagnosis HFrEF membutuhkan adanya gejala dan/atau tanda HF dan

penurunan fraksi ejeksi (LVEF <_40%). Farmakoterapi merupakan landasan

pengobatan untuk HFrEF dan harus diterapkan sebelum mempertimbangkan

device therapy, dan di samping intervensi non-farmakologis.

Tiga tujuan utama pengobatan untuk pasien dengan HFrEF, antara lain:

1. Penurunan angka kematian

2. Pencegahan rawat inap berulang karena memburuknya gagal jantung, dan

3. Peningkatan status klinis, kapasitas fungsional, dan kualitas hidup.

Tabel 2.4. Tata Laksana Farmakologis pada Pasien dengan Gagal Jantung (NYHA kelas
II-IV) Dengan Penurunan Fraksi Ejeksi (LVEF <_40%)

Kela
Rekomendasi Level
s
ACE-I direkomendasikan untuk pasien dengan HFrEF untuk
I A
mengurangi risiko rawat inap dan kematian akibat gagal jantung
Beta-blocker direkomendasikan untuk pasien dengan HFrEF
stabil untuk mengurangi risiko rawat inap dan kematian akibat I A
gagal jantung.
MRA direkomendasikan untuk pasien dengan HFrEF untuk
I A
mengurangi risiko rawat inap dan kematian akibat gagal jantung.
11

Dapagliflozin atau empagliflozin direkomendasikan untuk pasien


dengan HFrEF untuk mengurangi risiko rawat inap dan kematian I A
akibat gagal jantung.
Sacubitril/valsartan direkomendasikan sebagai pengganti ACE-I
pada pasien dengan HFrEF untuk mengurangi risiko rawat inap I B
dan kematian akibat gagal jantung
Modulasi renin-angiotensin-aldosterone (RAAS) dan sistem saraf simpatik

dengan angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACE-I) atau angiotensin

receptor-neprilysin inhibitor (ARNI), beta-blocker, dan antagonis reseptor

mineralokortikoid (MRA) telah dilakukan. terbukti meningkatkan kelangsungan

hidup, mengurangi risiko rawat inap HF, dan mengurangi gejala pada pasien

dengan HFrEF. Obat ini berfungsi sebagai dasar farmakoterapi untuk pasien

dengan HFrEF. Triad dari ACE-I/ARNI, beta-blocker, dan MRA

direkomendasikan sebagai terapi landasan untuk pasien ini, kecuali obat

dikontraindikasikan atau tidak ditoleransi. Mereka harus dititrasi ke dosis yang

digunakan dalam uji klinis (atau dosis yang dapat ditoleransi secara maksimal jika

tidak memungkinkan).
12

Gambar 2.4. Algoritma terapi Indikasi Terapi Kelas I untuk pasien gagal jantung
dengan penurunan fraksi ejeksi. ACE-I = angiotensin-converting enzyme
inhibitor; ARNI = angiotensin receptor-neprilysin inhibitor; CRT-D =cardiac
resynchronization therapy with defibrillator; CRT-P = cardiac
resynchronization therapy pacemaker; ICD= implantable cardioverter-
defibrillator; HFrEF= heart failure with reduced ejection fraction; MRA =
mineralocorticoid receptor antagonist; QRS = Q, R, and S waves of an ECG;
SR = sinus rhythm. aAs a replacement for ACE-I. bWhere appropriate. Class
I = green. Class IIa = Yellow.

1) Obat yang Direkomendasikan Pada Semua Pasien Dengan Gagal


Jantung Dengan Penurunan Fraksi Ejeksi

1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-i)

ACE-Is adalah obat kelas pertama yang terbukti mengurangi mortalitas dan

morbiditas pada pasien dengan HFrEF. ACE-I juga telah terbukti memperbaiki

gejala. ACE-I direkomendasikan pada semua pasien kecuali kontraindikasi atau

tidak ditoleransi. ACE-I harus dititrasi hingga dosis maksimum yang

direkomendasikan yang dapat ditoleransi.


13

2. Beta Blocker

Beta-blocker telah terbukti mengurangi mortalitas dan morbiditas pada

pasien dengan HFrEF, selain pengobatan dengan ACE-I dan diuretik. Mereka juga

memperbaiki gejala. Terdapat konsensus bahwa ACE-I dan beta-blocker dapat

dimulai bersama-sama segera setelah diagnosis gejala HFrEF ditegakkan. Tidak

ada bukti yang mendukung inisiasi beta-blocker sebelum ACE-I dan sebaliknya.

Beta-blocker harus dimulai pada pasien yang stabil secara klinis, euvolemik,

dengan dosis rendah dan secara bertahap ditingkatkan hingga dosis maksimum

yang dapat ditoleransi. Pada pasien yang dirawat dengan AHF, beta blocker harus

dimulai dengan hati-hati di rumah sakit, setelah pasien stabil secara hemodinamik.

3. Mineralocorticoid receptor antagonists

MRA (spironolactone atau eplerenone) direkomendasikan, selain ACE-I dan

beta-blocker, pada semua pasien dengan HFrEF untuk mengurangi mortalitas dan

risiko rawat inap karena gagal jantung. Mereka juga memperbaiki gejala. MRA

memblokir reseptor yang mengikat aldosteron dan, dengan tingkat afinitas yang

berbeda, reseptor hormon steroid lainnya (misalnya kortikosteroid dan androgen).

Eplerenone lebih spesifik untuk blokade aldosteron dan, oleh karena itu,

menyebabkan lebih sedikit ginekomastia.

4. Angiotensin receptor-neprilysin inhibitor

Dalam uji coba PARADIGM-HF, sacubitril/valsartan, sebuah ARNI,

terbukti lebih unggul daripada enalapril dalam mengurangi rawat inap karena

memburuknya gagal jantung, mortalitas CV, dan semua penyebab kematian pada

pasien dengan HFrEF rawat jalan dengan LVEF <_40% (diubah menjadi ≤ 35%
14

selama penelitian). Pasien dalam percobaan mengalami peningkatan konsentrasi

NP plasma, eGFR >_30 mL/min/1,73 m2 dan mampu mentoleransi enalapril dan

kemudian sacubitril/valsartan selama periode berjalan.

5. Sodium-glucose co-transporter 2 inhibitors

Percobaan DAPA-HF menyelidiki efek jangka panjang dapagliflozin

(inhibitor SGLT2) dibandingkan dengan plasebo selain terapi medis yang optimal

(OMT), pada morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan HFrEF rawat jalan.

Pasien berpartisipasi dalam percobaan jika mereka berada di NYHA kelas II IV,

dan memiliki LVEF <_40% meskipun OMT. Pasien juga diharuskan memiliki

NT-proBNP plasma yang meningkat dan eGFR >_30 mL/menit/1,73 m 2. Oleh

karena itu, dapagliflozin atau empagliflozin direkomendasikan, selain OMT

dengan ACE-I/ARNI, beta-blocker dan MRA, untuk pasien dengan HFrEF tanpa

memandang status diabetes. Sifat diuretik/natriuretik inhibitor SGLT2 dapat

memberikan manfaat tambahan dalam mengurangi kongesti dan memungkinkan

pengurangan kebutuhan loop diuretik.

Tabel 2.5. Dosis obat pengubah penyakit berbasis bukti dalam uji coba acak utama pada

pasien dengan gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi

Obat Starting Target Obat Starting Target


dose dose dose dose
ACE-i SGLT2 inhibitor
Captopril 6,25 mg 50 mg Dapagliflozi 10 mg 50 mg
t.i.d t.i.d n o.d. o.d.
Enalapril 2,5 mg 10 – 20 Empaglifozin 10 md 50 mg
b.i.d mg b.i.d o.d. o.d.
Lisinopril 2,5 – 5 20 – 35
Other agents
mg o.d. mg o.d.
Ramipril 2,5 mg 5 mg Candesartan 4 mg o.d. 32 mg
b.i.d b.i.d o.d.
Trandolapril 0,5 mg 4 mg Losartan 50 mg 150 mg
15

o.d. o.d. o.d. o.d.


ARNI Valsartan 40 mg 160 mg
o.d. o.d.
Savubitril/valsarta 49/51 mg 97/103 Ivabradine 5 mg 7,5 mg
n b.i.d mg b.i.d b.i.d b.i.d
Beta-blockers Vericiguat 2,5 mg 10 mg
o.d. o.d.
Bisoprolol 1,25 mg 10 mg Digoxin 62,5 ug 250 ug
o.d. o.d. o.d. o.d.
Carvedilol 3,125 mg 25 mg Hydralazine/ 37,5 mg 75 mg
b.i.d. b.i.d. ISDN t.i.d / 20 t.i.d / 40
mg t.i.d mg t.i.d
Metoprolol 12,5 – 25 200 mg
succinate (CR/XL) mg o.d. o.d.
Nebivolol 1,25 mg 10 mg
o.d. o.d.

2) Obat Lain Yang Direkomendasikan Atau Dipertimbangkan Pada


Pasien Tertentu Dengan Gagal Jantung Dengan Penurunan Fraksi
Ejeksi

Tabel 2.6. Perawatan farmakologis lain yang ditunjukkan pada pasien tertentu dengan
gagal jantung NYHA kelas II-IV dengan penurunan fraksi ejeksi (LVEF ≤
40%)

Kela
Rekomendasi Level
s
Loop diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan HFrEF dengan
tanda dan/atau gejala kongesti untuk meringankan gejala gagal
I C
jantung, meningkatkan kapasitas latihan, dan mengurangi rawat
inap karena gagal jantung.
ARB
Sebuah ARBc direkomendasikan untuk mengurangi risiko rawat
inap HF dan kematian CV pada pasien simtomatik tidak dapat
I B
mentolerir ACE-I atau ARNI (pasien juga harus menerima beta-
blocker dan MRA)
If-channel inhibitor
Ivabradine harus dipertimbangkan pada pasien simtomatik dengan IIa B
LVEF <_35%, pada SR dan denyut jantung istirahat >_70 b.p.m.
meskipun pengobatan dengan dosis beta-blocker berbasis bukti
(atau dosis maksimum yang dapat ditoleransi di bawah itu), ACE-
I/(atau ARNI), dan MRA, untuk mengurangi risiko rawat inap
16

akibat gagal jantung dan kematian akibat CV.


Ivabradine harus dipertimbangkan pada pasien simtomatik dengan
LVEF <_35%, pada SR dan denyut jantung istirahat >_70 b.p.m.
yang tidak dapat mentolerir atau memiliki kontraindikasi untuk
IIa C
beta-blocker untuk mengurangi risiko rawat inap HF dan
kematian CV. Pasien juga harus menerima ACE-I (atau ARNI)
dan MRA.
Soluble guanylate cyclase stimulator
Vericiguat dapat dipertimbangkan pada pasien di NYHA kelas II-
IV yang mengalami perburukan HF meskipun pengobatan dengan
IIb B
ACE-I (atau ARNI), beta-blocker dan MRA untuk mengurangi
risiko kematian CV atau rawat inap HF
Hydralazine and isosorbide dinitrate
Hidralazin dan isosorbid dinitrat harus dipertimbangkan pada
pasien kulit hitam yang teridentifikasi sendiri dengan LVEF
<_35% atau dengan LVEF <45% yang dikombinasikan dengan
IIa B
dilatasi ventrikel kiri di NYHA kelas III-IV meskipun pengobatan
dengan ACE-I (atau ARNI), a beta-blocker dan MRA untuk
mengurangi risiko rawat inap dan kematian akibat gagal jantung
Hidralazin dan isosorbid dinitrat dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan HFrEF simtomatik yang tidak dapat mentoleransi
IIb B
salah satu ACE-I, ARB, atau ARNI (atau mereka
dikontraindikasikan) untuk mengurangi risiko kematian.
Digoxin
Digoxin dapat dipertimbangkan pada pasien dengan gejala HFrEF
dalam irama sinus meskipun pengobatan dengan ACE-I (atau
IIb B
ARNI), beta blocker dan MRA, untuk mengurangi risiko rawat
inap (baik semua penyebab dan rawat inap HF)

1. Diuretik

Diuretik loop direkomendasikan untuk mengurangi tanda dan/atau gejala

kongesti pada pasien dengan HFrEF. Diuretik loop menghasilkan diuresis yang

lebih intens dan lebih pendek daripada tiazid, meskipun mereka bekerja secara

sinergis (blokade nefron berurutan) dan kombinasinya dapat digunakan untuk

mengobati resistensi diuretik. Namun, efek samping lebih mungkin terjadi, dan

kombinasi ini hanya boleh digunakan dengan hati-hati. Sebagai catatan, inhibitor

ARNI, MRA, dan SGLT2 mungkin juga memiliki sifat diuretik.


17

Tujuan terapi diuretik adalah untuk mencapai dan mempertahankan

euvolemia dengan dosis diuretik terendah. Pada beberapa pasien

euvolemik/hipovolemik, penggunaan obat diuretik dapat dikurangi atau

dihentikan. Pasien harus dilatih untuk menyesuaikan sendiri dosis diuretiknya

berdasarkan pemantauan gejala/tanda kongesti dan pengukuran berat badan setiap

hari.

2. Angiotensin II type 1 receptor blockers

Tempat ARB dalam pengelolaan HFrEF telah berubah selama beberapa

tahun terakhir. Mereka sekarang direkomendasikan untuk pasien yang tidak dapat

mentoleransi ACE-I atau ARNI karena efek samping yang serius. Candesartan

dalam studi CHARM-Alternative mengurangi kematian CV dan rawat inap HF

pada pasien yang tidak menerima ACE-I karena intoleransi sebelumnya.138

Valsartan, selain terapi biasa, termasuk ACE-I, mengurangi rawat inap HF pada

uji coba Val-HeFT. Namun, tidak ada ARB yang mengurangi semua penyebab

kematian dalam percobaan apa pun.

3. If-channel inhibitor

Ivabradine memperlambat denyut jantung dengan menghambat saluran If di

nodus sinus dan karena itu hanya efektif pada pasien SR. Ivabradine mengurangi

titik akhir gabungan mortalitas CV dan rawat inap HF pada pasien dengan gejala

HFrEF dengan LVEF <_35%, dengan rawat inap HF dalam 12 bulan terakhir,

dalam irama sinus (SR) dan dengan denyut jantung ≥ 70 x/menit yang menjalani

terapi berbasis bukti termasuk ACE-I (atau ARB), beta-blocker, dan MRA.

4. Kombinasi Hydralazine dan ISDN


18

Tidak ada bukti yang jelas untuk menyarankan penggunaan terapi

kombinasi dosis tetap ini pada semua pasien dengan HFrEF. Sebuah RCT kecil

yang dilakukan pada pasien kulit hitam yang diidentifikasi sendiri menunjukkan

bahwa penambahan kombinasi hidralazin dan isosorbid dinitrat pada terapi

konvensional (ACE-I, beta-blocker, dan MRA) mengurangi mortalitas dan rawat

inap HF pada pasien dengan HFrEF dan NYHA kelas III - IV.

5. Digoxin

Digoxin dapat dipertimbangkan pada pasien dengan HFrEF di SR untuk

mengurangi risiko rawat inap, meskipun efeknya pada mereka yang secara rutin

diobati dengan beta-blocker belum diuji. Dalam percobaan DIG, efek keseluruhan

pada kematian dengan digoxin adalah netral. Efek digoxin pada pasien dengan

HFrEF dan AF belum dipelajari dalam RCT.

Beberapa penelitian telah menyarankan risiko kejadian yang berpotensi

lebih tinggi pada pasien dengan AF yang menerima digoxin, sedangkan meta-

analisis lain menyimpulkan, berdasarkan non-RCT, bahwa digoxin tidak memiliki

efek merusak pada kematian pada pasien dengan AF dan HF, yang kebanyakan

dari mereka. memiliki HFrEF.151 Oleh karena itu, pada pasien dengan gejala HF

dan AF, digoxin mungkin berguna untuk pengobatan pasien dengan HFrEF dan

AF dengan laju ventrikel yang cepat, ketika pilihan terapi lain tidak dapat

dilakukan.
19

Gambar 2.5. Tinjauan fenotipik strategis pengelolaan gagal jantung dengan penurunan
fraksi ejeksi.

3) Manajemen irama jantung untuk gagal jantung dengan penurunan


fraksi ejeksi

1. Implantable-Cardioverter Defibrillation

Proporsi kematian yang tinggi di antara pasien dengan gagal jantung,

terutama pada mereka dengan gejala yang lebih ringan, terjadi secara tiba-tiba dan

tidak terduga. Banyak di antaranya mungkin karena gangguan listrik, termasuk

aritmia ventrikel, bradikardia, dan asistol, meskipun beberapa disebabkan oleh

kejadian vaskular akut lainnya. Perawatan yang meningkatkan atau menunda

perkembangan penyakit CV telah terbukti mengurangi tingkat kematian

mendadak tahunan, tetapi mereka tidak mengobati peristiwa aritmia ketika terjadi.

ICD efektif dalam mengoreksi aritmia ventrikel yang berpotensi mematikan, dan

dalam kasus sistem transvena, juga mencegah bradikardia. Beberapa obat


20

antiaritmia mungkin mengurangi tingkat takiaritmia dan kematian mendadak,

tetapi mereka tidak mengurangi angka kematian secara keseluruhan, dan dapat

meningkatkannya.

1. Pencegahan sekunder kematian jantung mendadak

Dibandingkan dengan pengobatan amiodaron, ICD mengurangi

kematian pada penderita henti jantung dan pada pasien yang telah

mengalami aritmia ventrikel simtomatik yang berkelanjutan. ICD

direkomendasikan pada pasien tersebut ketika tujuannya adalah untuk

meningkatkan kelangsungan hidup

2. Pencegahan primer kematian jantung mendadak

Rata-rata, pasien dengan IHD memiliki risiko kematian mendadak yang

lebih besar daripada pasien dengan NICM dan oleh karena itu, meskipun

manfaat relatifnya serupa, manfaat absolut lebih besar pada pasien

dengan IHD.

2. Terapi Resinkronisasi Jantung (Cardiac resynchronization therapy, CRT)

Pada individu yang dipilih dengan tepat, CRT mengurangi morbiditas dan

mortalitas. Selanjutnya, CRT meningkatkan fungsi jantung, dan meningkatkan

kualitas hidup.

3. Device Under Evaluation

Modulasi kontraktilitas jantung (CCM) telah dievaluasi pada pasien dengan

NYHA kelas III - IV HF, dengan LVEF ≥ 25% sampai ≤ 45% dan durasi QRS

<130 ms, dan dikaitkan dengan sedikit perbaikan dalam toleransi latihan dan

kualitas hidup.
21

b. Heart failure with mildly reduced ejection fraction (HFmrEF)

Seperti pada bentuk gagal jantung lainnya, diuretik harus digunakan untuk

mengontrol kongesti. Tidak ada RCT prospektif substansial yang telah dilakukan

secara eksklusif pada pasien dengan HFmrEF.

Tabel 2.7 Perawatan farmakologis yang harus dipertimbangkan pada pasien dengan
gagal jantung (NYHA kelas II-IV) dengan fraksi ejeksi yang sedikit berkurang

Kela
Rekomendasi Level
s
Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan kongesti dan
I C
HFmrEF untuk meringankan gejala dan tanda.
ACE-I dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan HFmrEF
untuk mengurangi risiko rawat inap dan kematian akibat gagal IIb C
jantung
ARB dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan HFmrEF untuk
IIb C
mengurangi risiko rawat inap dan kematian akibat gagal jantung.
Beta-blocker dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan
HFmrEF untuk mengurangi risiko rawat inap dan kematian akibat IIb C
gagal jantung.
MRA dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan HFmrEF untuk
IIb C
mengurangi risiko rawat inap dan kematian akibat gagal jantung
Sacubitril/valsartan dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan
HFmrEF untuk mengurangi risiko rawat inap dan kematian akibat IIb C
gagal jantung.

c. Heart failure with preserved ejection fraction (HFpEF)

Sampai saat ini, tidak ada pengobatan yang terbukti secara meyakinkan

mengurangi mortalitas dan morbiditas pada pasien dengan HFpEF, meskipun

perbaikan telah terlihat untuk beberapa fenotipe spesifik pasien dalam payung

HFpEF secara keseluruhan. Penting untuk mengidentifikasi dan mengobati faktor

risiko yang mendasari, etiologi, dan komorbiditas yang ada pada HFpEF.
22

Tabel 2.8. Rekomendasi untuk pengobatan pasien dengan gagal jantung dengan fraksi
ejeksi yang diawetkan

Rekomendasi Kelas Level


Skrining untuk, dan pengobatan, etiologi, dan komorbiditas
kardiovaskular dan non-kardiovaskular direkomendasikan pada
I C
pasien dengan HFpEF (lihat bagian yang relevan dari dokumen
ini).
Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan HFpEF dengan
I C
kongesti untuk mengurangi gejala dan tanda.

Tabel 2.9. Faktor risiko untuk pengembangan gagal jantung dan tindakan korektif
potensial

Faktor risiko gagal jantung Strategi Pencegahan


Sedentary habit Aktivitas fisik secara teratur
Cigarette smoking Berhenti merokok
Obesity Aktivitas fisik dan diet sehat
Excessive alcohol intake Populasi umum: tidak ada/asupan
alkohol ringan bermanfaat
Pasien dengan kardiomiopati yang
diinduksi alkohol harus menjauhkan
diri dari alkohol
Influenza Vaksin influenza
Microbes (e.g. Trypanosoma cruzi, Diagnosis dini, terapi antimikroba
Streptococci) spesifik untuk pencegahan dan/atau
pengobatan
Cardiotoxic drugs (e.g., Fungsi jantung dan pemantauan efek
anthracyclines) samping, adaptasi dosis, perubahan
kemoterapi
Chest radiation Fungsi jantung dan pemantauan efek
samping, adaptasi dosis
Hypertension Perubahan gaya hidup, terapi
antihipertensi
Dyslipidaemia Healthy diet, statin
Diabetes Mellitus Aktivitas fisik dan diet sehat,
penghambat SGLT2
CAD Perubahan gaya hidup, terapi statin
23

2. Gagal Jantung Akut (AHF)


a) Aspek umum
Manajemen dapat dibagi dalam tiga tahap (pra-rumah sakit, di rumah sakit,

dan pra-pembebasan), memiliki tujuan yang berbeda dan membutuhkan

pendekatan berbeda.

1) Fase pre-hospital
Dalam pengaturan pre-hospital, pasien AHF harus mendapat manfaat dari

pemantauan non-invasif, termasuk oksimetri nadi, tekanan darah, denyut jantung

pernapasan, denyut nadi, dan EKG kontinu, dilakukan dalam beberapa menit

setelah pasien kontak dan di ambulans jika memungkinkan. Terapi oksigen

mungkin diberikan berdasarkan penilaian klinis kecuali saturasi oksigen <90%

kasus mana yang harus diberikan. Pada pasien dengan gangguan pernapasan,

frekuensi pernapasan >25 kali/menit, saturasi oksigen <90%, ventilasi non-invasif

harus dimulai. Selanjutnya, manajemen pre-hospital tidak boleh menunda transfer

cepat AHF pasien ke pengaturan medis yang paling tepat.

2) Manajemen in-hospital
Pemeriksaan diagnostik dan pengobatan farmakologis dan nonfarmakologis

yang sesuai harus dimulai segera dan secara parallel. Pasien AHF diprioritaskan

ke tingkat perawatan yang sesuai sesuai dengan tingkat ketidakstabilan

hemodinamik dan tingkat keparahan penyakit kritis tersebut. Keputusan disposisi

adalah komponen penting dari fase awal manajemen. Jenis dan intensitas

pemantauan di rumah sakit tergantung pada kondisi klinis keparahan, pengaturan

perawatan dan kursus di rumah sakit. Karena AHF adalah kondisi yang heterogen,
24

manajemen mungkin berbeda sesuai dengan presentasi klinis utama. Manajemen

dimulai dengan mencari penyebab spesifik AHF.

3) Manajemen pre-discharge
Sebagian besar pasien dengan AHF dipulangkan dengan penurunan berat

badan minimal atau tidak sama sekali dan, yang lebih penting, kongesti persisten.

kongesti persisten sebelum pembuangan dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi

untuk masuk kembali dan kematian. Pengobatan, termasuk: dosis diuretik, oleh

karena itu harus dioptimalkan untuk menjaga pasien bebas dari kongesti. Pada

mereka yang dirawat dengan gagal jantung akut dekompesata, terapi medis oral

harus dilanjutkan, kecuali untuk kemungkinan pengurangan dosis atau penarikan

jika ada ketidakstabilan hemodinamik (hipotensi simtomatik), gangguan fungsi

ginjal atau hiperkalemia. Setelah stabilisasi hemodinamik tercapai dicapai dengan

terapi i.v. pengobatan harus dioptimalkan sebelum dipulangkan. Optimalisasi

pengobatan memiliki tiga tujuan utama. Pertama, untuk meredakan kemacetan.

Kedua, untuk mengobati penyakit penyerta, seperti defisiensi besi, yang

berdampak pada hasil pasca-pemulangan. Ketiga, untuk memulai, atau memulai

kembali oral, terapi medis optimal dengan efek menguntungkan pada hasil. Dosis

dapat ditingkatkan sebelum dibuang dan/atau di awal setelah pulang fase.

1. Terapi oksigen dan/atau dukungan ventilasi

Pada gagal jantung, oksigen tidak boleh digunakan secara rutin pada pasien

non-hipoksemia, karena menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan curah

jantung. Terapi oksigen direkomendasikan pada pasien dengan AHF dan SpO2

<90% atau PaO2 <60 mmHg untuk mengoreksi hipoksemia. Dalam penyakit paru

obstruktif kronis (PPOK), hiperoksigenasi dapat meningkatkan ketidaksesuaian


25

perfusi ventilasi, menekan ventilasi dan menyebabkan hiperkapnia. Selama terapi

oksigen, keseimbangan asam-basa dan SpO2 harus dipantau.

2. Diuretik

Diuretik intravena adalah landasan pengobatan AHF. Mereka meningkatkan

ekskresi garam dan air ginjal dan diindikasikan untuk pengobatan kelebihan

cairan dan kemacetan di sebagian besar pasien AHF.

Pengobatan diuretik harus dimulai dengan i.v. dosis furosemide, atau dosis

setara bumetanide atau torasemide, sesuai dengan 1-2 kali dosis oral harian yang

diambil oleh pasien sebelum masuk. Jika pasien tidak menggunakan diuretik oral,

terapi awal dosis 20-40 mg furosemide, atau bolus 10-20 mg i.v. torasemida,

dapat digunakan. Furosemide dapat diberikan 2-3 kali sehari bolus atau sebagai

infus kontinu. Administrasi bolus tunggal harian tidak dianjurkan karena

kemungkinan retensi post-dosis natrium. Dengan infus kontinu, dosis pemuatan

mungkin digunakan untuk mencapai keadaan tunak lebih awal. Respon diuretik

harus dievaluasi segera setelah dimulainya terapi diuretik dan dapat dinilai dengan

melakukan pengukuran kadar natrium urin spot setelah 2 atau 6 jam dan/atau

dengan mengukur haluaran urin setiap jam. Diuretik yang memuaskan respons

dapat didefinisikan sebagai kandungan natrium urin >50 70 mEq/L pada 2 jam

dan/atau dengan haluaran urin >100 150mL/jam selama 6 jam pertama 145.468

Jika tidak ada respon diuretik yang cukup, loop diuretik i.v. dosis dapat

digandakan, dengan penilaian lebih lanjut respons diuretik. Jika respons diuretik

tetap tidak memadai, mis. <100 mL diuresis setiap jam meskipun dosis diuretik

loop ganda, pemberian bersama diuretik lain yang bekerja di tempat yang berbeda,
26

yaitu thiazides atau metolazone atau acetazolamide, dapat dipertimbangkan.

Namun, kombinasi ini membutuhkan pemantauan yang cermat terhadap elektrolit

serum dan fungsi ginjal. Strategi ini, berdasarkan penilaian awal dan sering dari

respon diuretik, memungkinkan memulai pengobatan dengan diuretik loop dosis

rendah, dengan penyesuaian dosis yang sering yang kemungkinan kecil

menyebabkan dehidrasi dan peningkatan kreatinin serum. Dosis diuretik loop

harus semakin menurun ketika cairan negatif yang signifikan keseimbangan telah

diperoleh. Namun, harus ditunjukkan bahwa algoritma ini sepenuhnya didasarkan

pada pendapat ahli, sampai saat ini.

3. Vasodilator

Vasodilator intravena, yaitu nitrat atau nitroprusside, melebarkan pembuluh

vena dan arteri yang mengarah ke pengurangan aliran balik vena ke jantung, lebih

sedikit kongesti, afterload lebih rendah, peningkatan volume sekuncup dan

akibatnya menghilangkan gejala. Nitrat bekerja terutama pada vena perifer

sedangkan nitroprusside lebih merupakan dilator arteri dan vena yang seimbang.

Karena mekanisme aksi, i.v. vasodilator mungkin lebih efektif daripada diuretik

pada pasien yang menyebabkan edema paru akut dengan peningkatan afterload

dan redistribusi cairan ke paru-paru di tidak ada atau dengan akumulasi cairan

minimal.

Vasodilator intravena dapat dipertimbangkan untuk meredakan gejala gagal

jantung jika SBP >110 mmHg. Mereka mungkin dimulai dengan dosis rendah dan

dititrasi untuk mencapai perbaikan klinis dan kontrol BP. Nitrat umumnya

diberikan dengan bolus awal diikuti dengan infus terus menerus. Namun, mereka
27

juga dapat diberikan secara bolus berulang. Nitrogliserin dapat diberikan sebagai

bolus 12 mg pada pasien hipertensi dengan edema paru akut. Perawatan harus

diambil untuk menghindari hipotensi karena penurunan yang berlebihan dalam

preload dan afterload. Untuk alasan ini, mereka harus digunakan dengan sangat

hati-hati pada pasien dengan LVH dan/atau stenosis aorta berat. Namun, efek

yang menguntungkan dijelaskan pada pasien dengan sistolik LV disfungsi dan

stenosis aorta ketika vasodilator diberikan dengan pemantauan cermat parameter

hemodinamik.

4. Inotropik

Inotropik masih diperlukan untuk pengobatan pasien dengan penyakit

output jantung rendah dan hipotensi. Inotropik harus diberikan untuk pasien

dengan disfungsi sistolik LV, curah jantung rendah dan SBP rendah (misalnya

<90 mmHg) mengakibatkan perfusi organ vital yang buruk. Namun, mereka harus

digunakan dengan hati-hati mulai dari dosis rendah dan uptitrating mereka dengan

pengawasan ketat.

Inotropik, terutama yang memiliki mekanisme adrenergik, dapat

menyebabkan sinus takikardia, meningkatkan laju ventrikel pada pasien dengan

AF, dapat menyebabkan iskemia miokard dan aritmia, dan meningkatkan

kematian. Levosimendan atau tipe-3-phosphodiesterase inhibitor mungkin lebih

disukai daripada dobutamin untuk pasien yang beta-blocker saat mereka bertindak

melalui mekanisme independen. Vasodilatasi perifer yang berlebihan dan

hipotensi dapat menjadi keterbatasan utama inhibitor tipe-3-phosphodiestaerase


28

atau levosimendan, terutama ketika diberikan pada dosis tinggi dan/atau ketika

dimulai dengan dosis bolus.

5. Vasopresor

Beberapa penelitian, meskipun dengan keterbatasan, mendukung

penggunaan norepinefrin sebagai pilihan pertama, dibandingkan dengan dopamin

atau epinefrin. Dopamin dibandingkan dengan norepinefrin sebagai vasopresor

lini pertama terapi pada pasien dengan syok dan dikaitkan dengan lebih banyak

kejadian aritmia dan dengan kematian yang lebih besar pada pasien dengan syok

kardiogenik tetapi tidak pada mereka dengan syok hipovolemik atau septik.

Meskipun uji coba melibatkan 1679 pasien, signifikansi hanya terlihat dalam

analisis subkelompok dari 280 pasien dengan syok kardiogenik dan <10% pasien

mengalami MI. Karena tidak ada data mengenai revaskularisasi, ini membatasi

generalisasi hasil. Di lain percobaan prospektif acak epinefrin dibandingkan

dengan norepinefrin pada pasien dengan syok kardiogenik karena MI. akut

percobaan dihentikan sebelum waktunya karena insiden refraktori yang lebih

tinggi syok dengan epinefrin. Epinefrin juga dikaitkan dengan peningkatan denyut

jantung dan asidosis laktat. Meskipun keterbatasan terkait dengan relative ukuran

sampel kecil, waktu tindak lanjut yang singkat, dan kurangnya data mengenai

dosis maksimum yang dicapai, penelitian ini menyarankan kemanjuran dan

keamanan dengan norepinefrin.

6. Opiat

Opiat meredakan dispnea dan kecemasan. Mereka dapat digunakan sebagai

obat penenang agen selama ventilasi tekanan positif non-invasif untuk


29

meningkatkan adaptasi pasien. Efek samping tergantung dosis termasuk mual,

hipotensi, bradikardia, dan depresi pernapasan. Analisis retrospektif menunjukkan

bahwa pemberian morfin dikaitkan dengan frekuensi yang lebih besar dari

ventilasi mekanik, rawat inap berkepanjangan, penerimaan unit perawatan yang

lebih intensif, dan peningkatan mortalitas. Dengan demikian, penggunaan rutin

opiat pada GGA tidak dianjurkan meskipun mereka dapat dipertimbangkan pada

pasien tertentu, terutama dalam kasus rasa sakit atau kecemasan yang parah /

keras atau dalam pengaturan paliatif.

7. Digoxin

Digoxin harus dipertimbangkan pada pasien dengan AF dengan tingkat

ventrikular yang cepat (>110 b.p.m.) meskipun beta-blocker dapat diberikan

dalam bolus 0,25 0,5 mg i.v., jika tidak digunakan sebelumnya. Namun, pada

pasien dengan komorbiditas (yaitu CKD) atau faktor lain yang mempengaruhi

metabolisme digoksin (termasuk obat lain) dan / atau tua, dosis pemeliharaan

mungkin sulit untuk diperkirakan secara teoritis dan pengukuran konsentrasi

serum digoxin harus dilakukan. Digitoxin adalah alternatif potensial untuk

digoxin dan saat ini sedang dievaluasi dalam kontrol plasebo acak uji coba.

8. Profilaksis tromboemboli

Profilaksis tromboemboli dengan heparin (misalnya, berat molekul rendah

heparin) atau antikoagulan lain direkomendasikan, kecuali kontraindikasi atau

tidak perlu (karena pengobatan yang ada dengan antikoagulan oral).


30

9. Mechanical circulation support jangka pendek

Pada pasien dengan syok kardiogenik, MCS jangka pendek dapat diperlukan

untuk meningkatkan curah jantung dan mendukung perfusi organ akhir. MCS

jangka pendek dapat digunakan sebagai BTR, BTD atau BTB. Perbaikan awal

pada curah jantung, tekanan darah dan laktat arteri dapat diimbangi dengan

komplikasi yang signifikan. Kualitas tinggi bukti mengenai hasil masih langka.

Oleh karena itu, yang tidak dipilih penggunaan MCS pada pasien dengan syok

kardiogenik tidak didukung dan mereka membutuhkan keahlian multidisiplin

spesialis untuk implantasi dan manajemen, mirip dengan yang digariskan untuk

pusat HF tingkat lanjut. Studi terbaru menunjukkan bahwa 'berbasis tim standar'

pendekatan 'menggunakan algoritme yang telah ditentukan untuk pemasangan

implan MCS awal dengan pemantauan ketat (hemodinamik invasif, laktat,

penanda kerusakan organ akhir) berpotensi diterjemahkan menjadi peningkatan

bertahan hidup.
BAB III

PENUTUP

Gagal jantung merupakan suatu sindrom klinis yang terdiri dari gejala

utama (misalnya sesak napas, pembengkakan pergelangan kaki, dan kelelahan)

yang mungkin disertai dengan tanda-tanda (misalnya peningkatan tekanan vena

jugularis, ronki paru, dan edema perifer), disebabkan oleh kelainan struktural

dan/atau fungsional jantung yang mengakibatkan peningkatan tekanan

intrakardiak dan/atau curah jantung yang tidak adekuat saat istirahat dan/atau

selama latihan.

Tiga tujuan utama pengobatan untuk pasien dengan HFrEF, antara lain:

penurunan angka kematian, pencegahan rawat inap berulang karena

memburuknya gagal jantung, dan peningkatan status klinis, kapasitas fungsional,

dan kualitas hidup. Obat yang direkomendasikan pada semua pasien dengan

HFrEF adalah ACE-i, beta blocker, MRAs, ARNI, dan SGLT-2 inhibitor. Pada

HFmrEF, seperti pada bentuk gagal jantung lainnya, diuretik harus digunakan

untuk mengontrol kongesti. Sedangkan pada HFpEF, sampai saat ini tidak ada

pengobatan yang terbukti secara meyakinkan mengurangi mortalitas dan

morbiditas pada pasien dengan HFpEF. Pada penatalaksanaan gagal jantung akut,

secara umum terbagi menjadi 3 tahap yaitu fase pre-hospital, manajemen in-

hospital, dan manajemen pre-discharge. Penatalaksanaan yang dapat diberikan

diantaranya adalah oksigenasi, diuretic, vasodilator, inotropic, vasopressor, opiate,

digoxin, antikoagulan, dan mechanical circulation support jangka pendek.


DAFTAR PUSTAKA

1. Sumantra IG. Tantangan diagnostik dan pengelolaan gagal jantung akut

dari subset hemodinamik untuk pengobatan yang tepat. Jurnal Ilmiah

Kedokteran. 2014;3(2):14-25.

2. Nurkhalis, Adista RJ. Manifestasi Klinis dan Tatalaksana Gagal Jantung.

Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika. 2020;393):36-45.

3. McDonagh TA, et al. 2021 ESC Guideline for the diagnosis and treatment

of acute and chronic heart failure. European Heart Journal. 2021;42:3599-

3726.

4. Siswanto BB, dkk. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung Edisi kedua.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2020.

5. Kemp CD, Conte JV. The pathophysiology of heart failure. Cardiovascular

Pathology Elsevier Journal. 2012;21:365-371.

6. Dharmarajan K, Rich MW. Epidemiology, patophysiology, and prognosis

of heart failure in older adults. Heart Fail Clin. 2017:1-18.

Anda mungkin juga menyukai