Oleh:
Saskia Mediawati
NIM 142011101067
Dokter Pembimbing:
dr. Edi Nurtjahja, Sp. P
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL .................................................................................. i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3
2.1 Tuberkulosis ................................................................................... 3
2.1.1 Definisi .................................................................................... 3
2.1.2 Etiologi .................................................................................... 3
2.1.3 Patofisiologi ............................................................................. 3
2.1.4 Klasifikasi ................................................................................ 5
2.1.5 Diagnosis ................................................................................. 7
2.1.6 Penatalaksanaan ....................................................................... 9
2.2 HIV(Human Immunodeficiency Virus) ........................................ 14
2.2.1 Definisi .................................................................................... 14
2.2.2 Etiologi .................................................................................... 15
2.2.3 Patofisiologi ............................................................................. 15
2.2.4 Gejala Klinis ............................................................................ 16
2.2.5 Penatalaksanaan ....................................................................... 17
2.3 Hubungan TB dengan HIV ............................................................ 20
2.2.1 Manifestasi Klinis TB pada HIV ............................................. 20
2.2.2 Diagnosis ................................................................................. 21
2.2.3 Manajemen Terapi TB-HIV .................................................... 21
BAB 3. KESIMPULAN ................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 31
ii
BAB 1. PENDAHULUAN
2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis atau TB adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Infeksi
bersifat sistemik sehingga dapat mengenai semua organ dengan paru sebagai lokal
infeksi primer. (kemenkes, 2014).
2.1.2 Etiologi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang lurus atau sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Penyusun utama dinding sel
basil TB adalah asam mikolat, lilin kompleks (complex waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut
menyebabkan bakteri ini bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan
tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam-
alcohol.
2.1.3 Patofisiologi
a. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran nafas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana
saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan
kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening (limfadenitis
regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional akan mengalami
salah satu nasib berikut:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (resuscitation ad
integrum)
4
2.1.4 Klasifikasi
1. Berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit (Kemenkes, 2014):
a. Tuberkulosis paru:
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB
dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
b. Tuberkulosis ekstra paru:
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura,
kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan,
tulang.
2. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya (Kemenkes, 2014):
a. Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan
TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan (<
6
dari 28 dosis).
b. Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini
selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,
yaitu:
1) Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan
hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-
bbenar kambuh atau karena reinfeksi).
2) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
3) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow
up): adalah pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan lost to
follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan
pasien setelah putus berobat/default).
4) Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui
3. Berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat (Kemenkes, 2014):
a. Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja
b. Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
c. Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
d. Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal
salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin
dan Amikasin)
7
2.1.5 Diagnosis
Penegakan diagnosis TB paru dilakukan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologi, radiologi, dan pemeriksaan
penunjang lainnya (PDPI, 2016).
A. Gambaran klinis
1) Gejala respiratori
– Batuk > 2 minggu
– Batuk darah
– Sesak napas
– Nyeri dada
2) Gejala sistemik
– Demam
– Malaise, keringat malam, Penurunan berat badan, anoreksia
3) Gejala TB ekstra paru
– Limfadenitis TB
– Meningitis TB
– Pleuritis TB
– TBC tulang dan sendi
B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik gejala yang ditemukan tergantung pada organ yang
terlibat. Pada tuberkulosis paru umumnya terletak pada lobus superior terutama
daerah apeks dan segmen posterior serta daerah apeks lobus inferior. Pada
pemeriksaan ditemukan antara lain, suara napas bronkial, amforik, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum .Bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar
getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas
melemah yang disertai sesak.
8
C. Pemeriksaan Bakteriologi
1) Bahan pemeriksaan
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, Liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
Bronchoalveolar Lavage, urin, feses, jaringan biopsi.
2) Cara pengambilan dahak
Pengambilan dahak lakukan 3 kali yaitu Sewaktu (saat datang
pertama kali) – pagi – sewaktu ( saat mengantarkan dahak pagi) atau
dikumpulkan setiap pagi 3 kali berturut-turut
3) Cara pemeriksaan
Dapat dilakukan secara mikroskopik biasa, mikroskopik fluoresen
atau biakan. Biakan adalah cara yang terbaik karena dapat untuk
memastikan kuman tersebut kuman hidup, dan dapat dilakukan uji
kepekaan dan identifikasi kuman bila perlu. Pemeriksaan mikroskopik
dapat dengan pewarnaan Ziehl Neelsen atau Tan Thiam Hok (gabungan
Kinyoun Gabbett), dan biakan dengan cara sederhana.
D. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam
bentuk (multiform) (PDPI, 2006).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif (PDPI, 2006):
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif (PDPI, 2006):
Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
9
2.1.6 Penatalaksanaan
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
dengan maksud (Kemenkes, 2014):
a. Tahap awal: Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap
ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang
ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil
kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan
selama 2 bulan. Pada umumnya sangat menurun setelah pengobatan selama 2
minggu.
b. Tahap lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting
untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya
kuman persisten, sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya
kekambuhan.
Tabel 2. Kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa (Kemenkes, 2014)
OAT Dosis
Harian 3x/minggu
Kisaran Maksim Kisaran dosis Maksimum/hari
dosis um (mg/kg BB) (mg)
(mg/kg (mg)
BB)
H 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
R 10 (8- 600 10 (8-12) 600
12)
Z 25 (20- - 35 (30-40) -
11
30)
E 15 (15- - 30 (25-35) -
20)
S 15 (12- - 15 (12-18) 1000
18)
2.2.2 Etiologi
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh virus yang
disebut HIV. Virus ini ditemukan oleh Montagnier, seorang ilmuwan Perancis
(Institute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang penderita
dengan gejala limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan
Limphadenopathy Associated Virus (LAV). Gallo (National Institute of Health,
USA 1984) menemukan virus HTL-III (Human T Lymphotropic Virus) yang juga
adalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus
ini sama, sehingga berdasarkan hasil pertemuan International Committee on
Taxonomy of Viruses (1986) WHO memberi nama resmi HIV. Pada tahun 1986
di Afrika ditemukan virus lain yang dapat pula menyebabkan AIDS, disebut HIV-
2, dan berbeda dengan HIV-1 secara genetik maupun antigenik. HIV-2 dianggap
kurang patogen dibandingkan dengan HIV-1. Untuk memudahkan virus itu
disebut sebagai HIV saja (Daili, 2009).
2.2.3 Patofisiologi
Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah,
semen dan sekret vagina. Sebagian besar penularan terjadi melalui hubungan
seksual. Jika virus masuk ke dalam tubuh penderita (sel hospes), maka RNA virus
16
diubah menjadi DNA oleh enzim reverse transcriptase yang dimiliki oleh HIV,
DNA pro-virus tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam sel hospes dan
selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus (Daili, 2009). HIV
menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen permukaan
CD4, terutama sekali limposit T4 yang memegang peranan penting dalam
mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T4, virus
juga dapat menginfeksi sel monosit dan makrofag, sel langerhas pada kulit, sel
dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel
serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak. Virus yang masuk ke dalam limfosit T4
selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya
menghancurkan sel limfosit itu sendiri (Daili, 2009). Sistem kekebalan tubuh
menjadi lumpuh akibat hancurnya limposit T4 secara besar-besaran yang
mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi oportunistik dan keganasan yang
merupakan gejala-gejala klinis AIDS. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-
gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi (Daili, 2009).
2.2.5 Penatalaksanaan
Penanganan pada penderita HIV/AIDS meliputi perawatan (care),
dukungan (support), dan pengobatan (treatment). Jika pasien sudah ditetapkan
positif HIV/AIDS maka langkah selanjutnya adalah menentukan stadium klinis
HIV/AIDS menurut WHO, skrining TB dan infeksi oprtunistik lainnya,
pemeriksaan CD4 untuk menentukan PPK (pengobatan pencegahan
kotrimoksasol) dan ARV, pemberian PPK jika tidak tersedia pemeriksaan CD4,
identifikasi kepatuhan, positive prevention dan konseling KB. Pasien yang
memenuhi syarat pemberian ARV bila tersedia pemeriksaan CD4 adalah:
a. Stadium III dan IV WHO, atau jumlah CD4 ≤350/mm3
b. Jumlah CD4 > 350 - ≤500 /mm3 tanpa memandang stadium WHO
c. Pasien dengan koinfeksi TBC aktif tanpa memandang jumlah CD4 dan
stadium WHO
d. Pasien dengan koinfeksi HBV dengan dasar penyakit liver kronis tanpa
memandang jumlah CD4 dan stadium WHO
e. Pada pasangan dengan HIV negatif dan HIV positif untuk mengurangi
transmisi penyakit menjadi pasangan yang tidak infektif
18
2.3.2 Diagnosis
TB paru yang memerlukan uji HIV yaitu : riwayat perilaku resiko tinggi
tertular HIV, hasil pengobatan OAT tidak memuaskan, MDR TB / TB kronik.
Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru
adalah pemeriksaan BTA sputum, foto thorax dan bila memungkinkan
pemeriksaan CD4. Diagnosis dibuat berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan
langsung sputum 3 hari berturut-turut, faktor resiko HIV, foto thorak terlihat
pembesaran kelenjar hilus, infiltrat di apek paru, efusi pleura, kavitas paru atau
gambaran TB milier. Sensitivitas pemeriksaan sputum BTA pada penderita HIV/
AIDS sekitar 50%, tes tuberculin positif pada 30 - 50% pasien HIV/AIDS
dengan TB. Diagnosis presumtif ditegakkan berdasarkan ditemukannya basil
tahan asam (BTA) pada spesimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan gejala
setelah terapi OAT. Diagnosis definitif TB pada penderita HIV/AIDS adalah
dengan ditemukannya MTB pada pembiakan specimen (WHO, 2013).
yang kurang gizi. Keputusan tentang kapan memulai ART didasarkan pada
sejumlah indikator, yang paling penting adalah tahap klinis HIV / AIDS dan
kriteria imunologi (WHO, 2013).
efavirenz (EFV) yang dianjurkan adalah 600 mg / hari terutama pada pasien
dengan berat badan <60 kg (35–37). Meningkatkan dosis hingga 800 mg / hari
dapat dipertimbangkan pada pasien dengan> 60 kg berat badan, meskipun
penelitian lebih lanjut diperlukan. Jika EFV tidak tersedia, Nevirapine (NVP)
dapat digunakan [200 mg OD selama 2 minggu diikuti oleh 200 mg dua kali
sehari (BID)] dengan memantau fungsi hati dan toksisitas obat. [ZDV + 3TC
+ NVP tersedia dalam kombinasi dosis tetap (FDC) (WHO, 2013).
pasien-sensitif. Untuk ART, lebih dari 95% kepatuhan diperlukan untuk mencapai
supresi HIV optimal dan hasil pengobatan. Pentingnya mengikuti pengobatan dan
konsekuensi ketidakpatuhan harus sepenuhnya dipahami oleh pasien dan ditutup
dengan baik selama konseling pasien (WHO, 2013).
Kepatuhan terhadap pengobatan TB dan HIV / AIDS harus dipantau dan
dieksplorasi secara ketat pada setiap kunjungan. Manajemen efek samping yang
efektif terhadap obat sangat penting dan dianggap sebagai kondisi penting untuk
memastikan kepatuhan terhadap pengobatan (Untuk informasi lebih lanjut tentang
kepatuhan, silakan lihat bagian kepatuhan untuk ART dan Pemantauan kepatuhan
baik dalam Protokol 1, Evaluasi pasien dan pengobatan antiretroviral untuk orang
dewasa dan remaja) (WHO, 2013).
30
BAB 3. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Cui, Z., Lin, M., Nie, S. dan Lan, R. 2017. Risk factors associated with
Tuberculosis (TB) among people living with HIV/AIDS: A pair-
matched case-control study in Guangxi, China. PloS one, 12(3),
p.e0173976.
Daili S, Indriatmi W, Zubier F. 2009. Infeksi Menular Seksual. Penerbit FKUI,
Jakarta.
Diedrich, C.R., O'hern, J., Gutierrez, M.G., Allie, N., Papier, P., Meintjes, G.,
Coussens, A.K., Wainwright, H. Dan Wilkinson, R.J. 2016.
Relationship between HIV coinfection, interleukin 10 production, and
Mycobacterium tuberculosis in human lymph node granulomas. The
Journal of infectious diseases, 214(9), pp.1309-1318.
El-Sadr, W.M. and Tsiouris, S.J.. 2008, October. HIV-associated tuberculosis:
diagnostic and treatment challenges. In Seminars in respiratory and
critical care medicine (Vol. 29, No. 05, pp. 525-531
Gjergji, M., Bushati, J., Harxhi, A., Hafizi, H. dan Pipero, P. 2017. Tuberculosis
in HIV/AIDS Patients. Adv Tech Clin Microbiol, 1(3), p.16.
Khan, F.A., Minion, J., Pai, M., Royce, S., Burman, W., Harries, A.D. and
Menzies, D., 2010. Treatment of active tuberculosis in HIV-
coinfected patients: a systematic review and meta-analysis. Clinical
Infectious Diseases, 50(9), pp.1288-1299.
Kemenkes RI. 2014. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia. Jakarta;
Kementerian Kesehatan RI. 2011
Lawn, S.D., Kerkhoff, A.D., Vogt, M. and Wood, R. 2013. HIV-associated
tuberculosis: relationship between disease severity and the sensitivity
of new sputum-based and urine-based diagnostic assays. BMC
medicine, 11(1), p.231.
Mitku, A.A., Dessie, Z.G., Muluneh, E.K. dan Workie, D.L. 2016. Prevalence and
associated factors of TB/HIV co-infection among HIV Infected
patients in Amhara region, Ethiopia. African health sciences, 16(2),
pp.588-595.
Mulyadi, M. dan Fitrika, Y. 2011. Hubungan Tuberkulosis dengan HIV/AIDS.
Idea Nursing Journal, 2(2), pp.162-166.
Pawlowski, A., Jansson, M., Sköld, M., Rottenberg, M.E. dan Källenius, G. 2012.
Tuberculosis and HIV co-infection. PLoS pathogens, 8(2),
p.e1002464.
32