Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

TUBERKULOSIS DENGAN HIV

Oleh:
Saskia Mediawati
NIM 142011101067

Dokter Pembimbing:
dr. Edi Nurtjahja, Sp. P

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2018
iii

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL .................................................................................. i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3
2.1 Tuberkulosis ................................................................................... 3
2.1.1 Definisi .................................................................................... 3
2.1.2 Etiologi .................................................................................... 3
2.1.3 Patofisiologi ............................................................................. 3
2.1.4 Klasifikasi ................................................................................ 5
2.1.5 Diagnosis ................................................................................. 7
2.1.6 Penatalaksanaan ....................................................................... 9
2.2 HIV(Human Immunodeficiency Virus) ........................................ 14
2.2.1 Definisi .................................................................................... 14
2.2.2 Etiologi .................................................................................... 15
2.2.3 Patofisiologi ............................................................................. 15
2.2.4 Gejala Klinis ............................................................................ 16
2.2.5 Penatalaksanaan ....................................................................... 17
2.3 Hubungan TB dengan HIV ............................................................ 20
2.2.1 Manifestasi Klinis TB pada HIV ............................................. 20
2.2.2 Diagnosis ................................................................................. 21
2.2.3 Manajemen Terapi TB-HIV .................................................... 21
BAB 3. KESIMPULAN ................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 31

ii
BAB 1. PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) di Indonesia masih merupakan salah satu masalah


kesehatan yang utama. Tuberkulosis merupakan penyakit sistemik yang dapat
mengenai hampir semua organ tubuh, yaitu organ pernafasan (TBparu-TBP)
ataupun di organ di luar paru (TB Ekstraparu- TBE). Kuman TB dapat hidup lama
tanpa aktifitas dalam jaringan tubuh (dormant) hingga sampai saatnya ia aktif
kembali. Lesi TB dapat sembuh tetapi dapat juga berkembang progresif atau
mengalami proses kronik atau serius.
Dalam laporan WHO tahun 2013, diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB
pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB
dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika.
Diperkirakan terdapat 2,9 juta kasus TB pada tahun 2012 dengan jumlah kematian
karena TB mencapai 410.000 kasus termasuk di antaranya adalah 160.000 orang
wanita dengan HIV positif. Separuh dari orang dengan HIV positif yang
meninggal karena TB pada tahun 2012 adalah wanita. Tuberkulosis (TB) adalah
penyakit penanda timbulnya Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) serta
penyebab kematian yang utama dari infeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV)/AIDS. Pada tahun 2015, laporan WHO memperkirakan sebanyak 1,2 juta
penderita HIV/AIDS terjangkit TB baru (insiden). Kematian penderita TB pada
pasien HIV (TB-HIV) di dunia diperkirakan mencapai 360.000 pertahunnya.
Meskipun jumlah kasus TB dan jumlah kematian TB tetap tinggi untuk
penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dan disembuhkan tetap fakta juga
menunjukkan keberhasilan dalam pengendalian TB. Peningkatan angka insidensi
TB secara global telah berhasil dihentikan dan telah menunjukkan tren penurunan
(turun 2% per tahun pada tahun 2012), angka kematian juga sudah berhasil
diturunkan 45% bila dibandingkan tahun 1990.
Masalah utama pada kasus TB-HIV adalah pada diagnosis. WHO
menganjurkan penapisan TB dilakukan begitu seorang pasien didiagnosis
terinfeksi HIV. Penapisan TB juga selanjutnya disarankan dilakukan pada interval
waktu tertentu sepanjang kehidupan pasien HIV. Panduan WHO International
2

Expert Committee tahun 2007 menganjurkan penapisan TB dilakukan dengan


anamnesis terhadap beberapa gejala. HIV meningkatkan perkembangan infeksi
Mycobacterium tuberculosis menjadi TB aktif, baik pada orang dengan infeksi
yang baru saja didapat dan mereka dengan infeksi laten. Tidak dapat disangkal,
HIV adalah faktor risiko paling kuat yang dikenal untuk aktivasi infeksi M.
tuberculosis laten. Untuk orang dengan koinfeksi HIV dengan M. tuberculosis,
risiko pengembangan TB aktif mencapai 5-10% setiap tahunnya. Dalam makalah
ini akan membahas terkait dengan diagnosis dan penatalaksanaan TB dengan
HIV.
3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis atau TB adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Infeksi
bersifat sistemik sehingga dapat mengenai semua organ dengan paru sebagai lokal
infeksi primer. (kemenkes, 2014).

2.1.2 Etiologi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang lurus atau sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Penyusun utama dinding sel
basil TB adalah asam mikolat, lilin kompleks (complex waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut
menyebabkan bakteri ini bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan
tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam-
alcohol.

2.1.3 Patofisiologi
a. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran nafas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana
saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan
kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening (limfadenitis
regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional akan mengalami
salah satu nasib berikut:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (resuscitation ad
integrum)
4

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Gohn,


garis fibrotic, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara:
a) Perkontinuatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contohnya
adalah epituberklosis.
b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun
ke paru sebelahnya atau tertelan
c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini
berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman.
Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi
bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberculosis milier,
meningitis TB, dll (PDPI, 2006).
b. Tuberkulosis Post Primer
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian
tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post
primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk
dewasa, localizedtuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk
tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat
menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini,
yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus
inferior (PDPI, 2006).
Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang
pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut (PDPI, 2006):
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan
cacat
2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri
menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,
5

membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju


dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal
(kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini :
 Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru.
Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang
disebutkan diatas
 Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan
disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan
menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan
menjadi kaviti lagi
 Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open
healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri,
akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang
terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate
shaped).

2.1.4 Klasifikasi
1. Berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit (Kemenkes, 2014):
a. Tuberkulosis paru:
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB
dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
b. Tuberkulosis ekstra paru:
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura,
kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan,
tulang.
2. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya (Kemenkes, 2014):
a. Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan
TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan (<
6

dari 28 dosis).
b. Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini
selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,
yaitu:
1) Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan
hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-
bbenar kambuh atau karena reinfeksi).
2) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
3) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow
up): adalah pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan lost to
follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan
pasien setelah putus berobat/default).
4) Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui
3. Berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat (Kemenkes, 2014):
a. Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja
b. Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
c. Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
d. Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal
salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin
dan Amikasin)
7

e. Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau


tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode
genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).

2.1.5 Diagnosis
Penegakan diagnosis TB paru dilakukan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologi, radiologi, dan pemeriksaan
penunjang lainnya (PDPI, 2016).
A. Gambaran klinis
1) Gejala respiratori
– Batuk > 2 minggu
– Batuk darah
– Sesak napas
– Nyeri dada
2) Gejala sistemik
– Demam
– Malaise, keringat malam, Penurunan berat badan, anoreksia
3) Gejala TB ekstra paru
– Limfadenitis TB
– Meningitis TB
– Pleuritis TB
– TBC tulang dan sendi
B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik gejala yang ditemukan tergantung pada organ yang
terlibat. Pada tuberkulosis paru umumnya terletak pada lobus superior terutama
daerah apeks dan segmen posterior serta daerah apeks lobus inferior. Pada
pemeriksaan ditemukan antara lain, suara napas bronkial, amforik, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum .Bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar
getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas
melemah yang disertai sesak.
8

C. Pemeriksaan Bakteriologi
1) Bahan pemeriksaan
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, Liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
Bronchoalveolar Lavage, urin, feses, jaringan biopsi.
2) Cara pengambilan dahak
Pengambilan dahak lakukan 3 kali yaitu Sewaktu (saat datang
pertama kali) – pagi – sewaktu ( saat mengantarkan dahak pagi) atau
dikumpulkan setiap pagi 3 kali berturut-turut
3) Cara pemeriksaan
Dapat dilakukan secara mikroskopik biasa, mikroskopik fluoresen
atau biakan. Biakan adalah cara yang terbaik karena dapat untuk
memastikan kuman tersebut kuman hidup, dan dapat dilakukan uji
kepekaan dan identifikasi kuman bila perlu. Pemeriksaan mikroskopik
dapat dengan pewarnaan Ziehl Neelsen atau Tan Thiam Hok (gabungan
Kinyoun Gabbett), dan biakan dengan cara sederhana.
D. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam
bentuk (multiform) (PDPI, 2006).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif (PDPI, 2006):
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif (PDPI, 2006):
 Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
9

 Kalsifikasi atau fibrotik


 Kompleks ranke
 Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

2.1.6 Penatalaksanaan
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
dengan maksud (Kemenkes, 2014):
a. Tahap awal: Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap
ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang
ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil
kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan
selama 2 bulan. Pada umumnya sangat menurun setelah pengobatan selama 2
minggu.
b. Tahap lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting
untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya
kuman persisten, sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya
kekambuhan.

Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


Tabel 1. OAT Lini Pertama (Kemenkes, 2014)
Jenis Sifat Efek Samping
Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer, psikosis
toksik, gangguan fungsi hati,
kejang
Rifampisin (R) Bakterisidal Flu syndrome, gangguan GI,
urine berwarna merah, gangguan
fungsi hati, trombositopeni,
demam, skin rash, sesak nafas,
anemia hemolitik
10

Pirazinamid Bakterisidal Gangguan GI, gangguan fungsi


(Z) hati, gout artritis
Streptomisin Bakterisidal Nyeri di tempat suntikan,
(S) gangguan keseimbangan dan
pendengaran, renjatan
anafilaktik, anemia,
agranulositosis, trombositopeni
Etambutol (E) Bakteriostatk Gangguan penglihatan, buta
warna, neuritis perifer

Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) (PDPI, 2006):


- Kanamisin
- Amikasin
- Kuinolon
- Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin dan
asam klavulanat
- Kapreomisin, Sikloserin, PAS, Derivat INH dan Rifampisin,
Thioamides (ethionamide dan prothioamide)

Tabel 2. Kisaran dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa (Kemenkes, 2014)
OAT Dosis
Harian 3x/minggu
Kisaran Maksim Kisaran dosis Maksimum/hari
dosis um (mg/kg BB) (mg)
(mg/kg (mg)
BB)
H 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
R 10 (8- 600 10 (8-12) 600
12)
Z 25 (20- - 35 (30-40) -
11

30)
E 15 (15- - 30 (25-35) -
20)
S 15 (12- - 15 (12-18) 1000
18)

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (Kemenkes, 2014):


 Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3
 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
 Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di
Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin,
Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin. Dan PAS, serta
OAT lini-1, yaitu pirazinamid dan etambutol.
Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2
atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak. Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid danEtambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untukdigunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti
mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.

Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya (Kemenkes, 2014):


a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
• Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
• Pasien TB paru terdiagnosis klinis
• Pasien TB ekstra paru
12

Tabel 3. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3

Tabel 4. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3

b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya(pengobatan ulang):
 Pasien kambuh
 Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1
sebelumnya
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up)
Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2:
2(HRZE)S / (HRZE)/5(HR)3E3
13

Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2:


2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3

Pengobatan Tuberkulosis pada keadaan khusus


a. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan
karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta.
b. Ibu menyusui dan bayinya
Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Pengobatan pencegahan
dengan INH dapat diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
c. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal sehingga dapat
menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya
mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung
estrogen dosis tinggi (50 mcg).
d. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS
Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS
adalah sama seperti pasien TB lainnya.
e. Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis
ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan
dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan
Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan
dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.
14

f. Pasien TB dengan kelainan hati kronik


Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan Tb. Jika SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT
tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Jika
peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan
dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak
boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau
2HES/10HE
g. Pasien TB dengan gagal ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi
melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik.
Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah
2HRZ/4HR.

h. Pasien TB dengan Diabetes Melitus


Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes
perlu ditingkatkan. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi
retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol,
karena dapat memperberat kelainan tersebut (Kemenkes, 2014).

2.2 HIV (Human Immunodeficiency Virus)


2.2.1 Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat
limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh,
menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-
helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini diklasifikasikan dalam
famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus Lentivirus. Selama infeksi
berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi lebih
rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi
tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS
15

(Acquired Imunnodeficiency Syndrome). AIDS merupakan kumpulan gejala atau


penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV
(Daili, 2009).
Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan,
akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS
diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu yang dikelompokkan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) menjadi 4 tahapan
stadium klinis, dimana pada stadium penyakit HIV yang paling terakhir (stadium
IV) digunakan sebagai indikator AIDS. Sebagian besar keadaan ini merupakan
infeksi oportunistik yang apabila diderita oleh orang yang sehat, infeksi tersebut
dapat diobati (Daili, 2009).

2.2.2 Etiologi
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh virus yang
disebut HIV. Virus ini ditemukan oleh Montagnier, seorang ilmuwan Perancis
(Institute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang penderita
dengan gejala limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan
Limphadenopathy Associated Virus (LAV). Gallo (National Institute of Health,
USA 1984) menemukan virus HTL-III (Human T Lymphotropic Virus) yang juga
adalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus
ini sama, sehingga berdasarkan hasil pertemuan International Committee on
Taxonomy of Viruses (1986) WHO memberi nama resmi HIV. Pada tahun 1986
di Afrika ditemukan virus lain yang dapat pula menyebabkan AIDS, disebut HIV-
2, dan berbeda dengan HIV-1 secara genetik maupun antigenik. HIV-2 dianggap
kurang patogen dibandingkan dengan HIV-1. Untuk memudahkan virus itu
disebut sebagai HIV saja (Daili, 2009).

2.2.3 Patofisiologi
Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah,
semen dan sekret vagina. Sebagian besar penularan terjadi melalui hubungan
seksual. Jika virus masuk ke dalam tubuh penderita (sel hospes), maka RNA virus
16

diubah menjadi DNA oleh enzim reverse transcriptase yang dimiliki oleh HIV,
DNA pro-virus tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam sel hospes dan
selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus (Daili, 2009). HIV
menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen permukaan
CD4, terutama sekali limposit T4 yang memegang peranan penting dalam
mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T4, virus
juga dapat menginfeksi sel monosit dan makrofag, sel langerhas pada kulit, sel
dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel
serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak. Virus yang masuk ke dalam limfosit T4
selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya
menghancurkan sel limfosit itu sendiri (Daili, 2009). Sistem kekebalan tubuh
menjadi lumpuh akibat hancurnya limposit T4 secara besar-besaran yang
mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi oportunistik dan keganasan yang
merupakan gejala-gejala klinis AIDS. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-
gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi (Daili, 2009).

2.2.4 Gejala Klinis


Tahun 2007, di Indonesia oleh KPA (Komisi Penanggulangan AIDS)
diagnosis AIDS dengan kriteria WHO digunakan untuk keperluan surveilans
epidemiologi. Dalam hal ini seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis,
yang terdiri dari gejala mayor dan minor. Pasien yang dikatakan AIDS jika
menunjukan hasil tes HIV positif disertai minimal terdapat 2 gejala mayor atau
terdapat 2 gejala minor dan 1 gejala mayor.
17

2.2.5 Penatalaksanaan
Penanganan pada penderita HIV/AIDS meliputi perawatan (care),
dukungan (support), dan pengobatan (treatment). Jika pasien sudah ditetapkan
positif HIV/AIDS maka langkah selanjutnya adalah menentukan stadium klinis
HIV/AIDS menurut WHO, skrining TB dan infeksi oprtunistik lainnya,
pemeriksaan CD4 untuk menentukan PPK (pengobatan pencegahan
kotrimoksasol) dan ARV, pemberian PPK jika tidak tersedia pemeriksaan CD4,
identifikasi kepatuhan, positive prevention dan konseling KB. Pasien yang
memenuhi syarat pemberian ARV bila tersedia pemeriksaan CD4 adalah:
a. Stadium III dan IV WHO, atau jumlah CD4 ≤350/mm3
b. Jumlah CD4 > 350 - ≤500 /mm3 tanpa memandang stadium WHO
c. Pasien dengan koinfeksi TBC aktif tanpa memandang jumlah CD4 dan
stadium WHO
d. Pasien dengan koinfeksi HBV dengan dasar penyakit liver kronis tanpa
memandang jumlah CD4 dan stadium WHO
e. Pada pasangan dengan HIV negatif dan HIV positif untuk mengurangi
transmisi penyakit menjadi pasangan yang tidak infektif
18

f. Wanita hamil dan menyusui dengan HIV


Lini pertama obat ARV yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 2 NRTIs
(nucleoside reverse transcriptase inhibitors) disertai 1 NNRTIs (non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitors, misalnya zidovudin diberikan bersama lamivudin
dan nevirapin. 2 NRTIs dan PIs (protease inhibitor) yang diperkuat ritonavir
merupakan lini ke dua, sedangkan lini ke tiga adalah gabungan antara integrase
inhibitor, generasi ke dua dari NNRTIs dan PIs. Hasil pemberian terapi ARV
secara signifikan memberikan hasil yang baik bagi pasien HIV/AIDS. Pemberian
terapi ARV selama infeksi HIV akut memberikan efek yang baik pada pasien
seperti memperpendek durasi simptomatik infeksi, mengurangi sel yang
terinfeksi, menyediakan cadangan respon imun yang spesifik dan menurunkan
setpoint virus dalam jangka waktu yang lama. Beberapa studi mengatakan bahwa
terapi pada infeksi HIV akut dapat menurunkan viral load dan meningkatkan
respon spesifik sel T helper. Pemberian terapi ARV merupakan terapi seumur
hidup karena HIV/AIDS sampai sekarang belum dapat disembuhkan. Tujuan
pemberian ARV adalah menjaga viral load dibawah 50 kopi/ml, dikatakan gagal
terapi jika viral load mencapai 1000 kopi/ml. Kepatuhan pasien harus selalu
dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap kunjungan. Kegagalan terapi
ARV sering diakibatkan oleh ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi ARV.

2.3 Hubungan TB dengan HIV


MTB mempunyai komponen penting yaitu Lipoarabinomannan (LAM) yang
memiliki kemampuan luas menghambat pengaruh imunoregulator. LAM
merupakan kompleks heteropolisakarida yang tersusun dari pospatidilinositol,
berperan langsung dalam pengendalian pengaruh sistem imun sehingga MTB
tetap mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dalam upaya
mempertahankan kehidupannya tersebut MTB juga menekan proliferasi limfosit
T, menghambat aktivitas makrofag, dan menetralisasi pengaruh toksik radikal
bebas. Di sisi lain LAM mempengaruhi makrofag dan sebagai induktor transkripsi
mRNA sehingga mampu menginduksi produksi dan sekresi sitokin termasuk
TNF, granulocyte macrophage- CSF, IL-1α, IL-1β, IL-6, IL-8 dan IL-10.
19

Pengaruh sitokin tersebut menghambat peran antimikrobial, memicu gejala


demam, mengakibatkan nekrosis jaringan. Tetapi LAM tidak menginduksi
transkripsi mRNA dari sitokin yang mestinya diproduksi limfosit seperti
limfositokin, IFN-γ, IL-2, IL-3, IL-4. LAM, LM dan PIM menginduksi transkripsi
mRNA sitokin sehingga dapat memicu munculnya manifestasi klinis tuberculosis
seperti demam, penurunan berat badan, nekrosis jaringan dan kakeksia. Ada tiga
mekanisme yang menyebabkan terjadinya TB pada penderita HIV, yaitu
reaktivasi, adanya infeksi baru yang progresif serta terinfeksi. Penurunan CD4
yang terjadi dalam perjalanan penyakit infeksi HIV akan mengakibatkan
reaktivasi kuman TB yang dorman. Pada penderita HIV jumlah serta fungsi sel
CD4 menurun secara progresif, serta gangguan pada fungsi makrofag dan
monosit. CD4 dan makrofag merupakan komponen yang memiliki peran utama
dalam pertahanan tubuh terhadap mikobakterium. Salah satu activator replikasi
HIV di dalam sel limfosit TB adalah tumor necrosis factor alfa. Sitokin ini
dihasilkan oleh makrofag yang aktif dan dalam proses pembentukan jaringan
granuloma pada TB. Kadar bahan ini 3-10 kali lebih tinggi pada mereka yang
terinfeksi TB dengan HIV-AIDS dibandingkan dengan yang terinfeksi HIV saja
tanpa TB. Tingginya kadar tumor necrosis factor alfa ini menunjukkan bahwa
aktivitas virus HIV juga dapat meningkat, yang artinya memperburuk perjalanan
penyakit AIDS. Pada penelitian lain dijumpai adanya peningkatan kadar beta 2
mikroglobulin pada penderita HIV/AIDS dengan TB. Acquired immune
deficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh HIV adalah virus sitopatik
diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus
Lentivirus. Berdasarkan strukturnya HIV termasuk famili retrovirus obligat
intraseluler dengan replikasi sepenuhnya di dalam sel host, dan merupakan virus
RNA dengan berat molekul 9,7 kb (kilobase ). Maifestasi TB pada HIV dapat
berupa TB paru atau infeksi di luar paru. TB ekstra pulmonal lebih sering terjadi
pada penderita HIV sampai 70% dibanding populasi umum, dapat berupa
limfadenitis TB, infeksi pada saluran genital, saluran kencing, susunan saraf pusat
dan sumsum tulang, biasanya terjadi pada CD4 <400 sel /mm3 (Mulyani dkk.,
2013).
20

2.3.1 Manifestasi Klinis TB pada HIV


Menyerupai akibat infeksi lain, berupa demam berkepanjangan (100%),
penurunan berat badan dramatis (74%), batuk (37%), diare kronis (28%),
meningitis (12%), sesak nafas (5%), Hematochezia (3,5%), Obstruksi saluran
cerna (2,6%). Menurut WHO manifestasi koinfeksi dapat ditinjau dari keluhannya
berupa infeksi menular seksual, herpes zoster (sering disertai jaringan parut),
pneumonia (baru atau rekuren), infeksi bakteri berat, baru masuk program terapi
OAT, penurunan berat badan > 10% dari berat badan basal, diare kronis > 1
bulan, nyeri retrospinal saat menelan (curiga kandidiasis esophageal), kaki terasa
panas akibat neuropati perifer sensorik. Sedangkan gejala yang timbul berupa
jaringan parut akibat herpes zoster, rash kulit popular dan gatal, sarkoma kaposi,
limpadenopati generalisata simetris, kandidiasis oris, kheilitis angularis, gingivitis
necrotizing, ulserasi aphthous besar, ulserasi genital dengan nyeri persisten.
Radiologis : Hasil pemeriksaan radiologi paru sangat tergantung pada luas dan
beratnya kerusakan serta penyulitnya. Laboratoris : Pada infeksi dini (CD4 >
200/mm3), sputum mikroskopis sering positif dibandingkan pada infeksi lanjut
(CD4 < 200/mm3) yang sering negative, keadaan mikrobakteremia dijumpai pada
infeksi lanjut (Mulyani dkk., 2013).
21

2.3.2 Diagnosis
TB paru yang memerlukan uji HIV yaitu : riwayat perilaku resiko tinggi
tertular HIV, hasil pengobatan OAT tidak memuaskan, MDR TB / TB kronik.
Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru
adalah pemeriksaan BTA sputum, foto thorax dan bila memungkinkan
pemeriksaan CD4. Diagnosis dibuat berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan
langsung sputum 3 hari berturut-turut, faktor resiko HIV, foto thorak terlihat
pembesaran kelenjar hilus, infiltrat di apek paru, efusi pleura, kavitas paru atau
gambaran TB milier. Sensitivitas pemeriksaan sputum BTA pada penderita HIV/
AIDS sekitar 50%, tes tuberculin positif pada 30 - 50% pasien HIV/AIDS
dengan TB. Diagnosis presumtif ditegakkan berdasarkan ditemukannya basil
tahan asam (BTA) pada spesimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan gejala
setelah terapi OAT. Diagnosis definitif TB pada penderita HIV/AIDS adalah
dengan ditemukannya MTB pada pembiakan specimen (WHO, 2013).

2.3.3 Manajemen Terapi TB-HIV


Untuk penatalaksanaan klinis pasien koinfeksi TB / HIV, pertimbangan
utama adalah kapan memulai pengobatan. Setelah penilaian awal status TB dan
HIV, seorang pasien dengan TB / HIV akan masuk dalam salah satu dari dua
kategori TB, masing-masing membutuhkan strategi manajemen klinis yang
berbeda, dan masing-masing yang mungkin atau mungkin tidak memerlukan
ART:
1. Infeksi TB (positif tes uji tuberkulin)
2. penyakit TB aktif.

Penatalaksanaan pasien koinfeksi


Terinfeksi HIV koinfeksi dengan TB memiliki risiko lebih tinggi
mengembangkan TB aktif; Oleh karena itu, pengobatan pencegahan tuberkulosis
(TPT) harus dimulai dengan isoniazid 5 mg / kg (300 mg maxi-mum) sekali sehari
(OD) selama enam bulan. Penambahan 6 mg piridoksin setiap hari dapat
mencegah neuropati perifer, terutama pada wanita hamil, pecandu alkohol dan
22

yang kurang gizi. Keputusan tentang kapan memulai ART didasarkan pada
sejumlah indikator, yang paling penting adalah tahap klinis HIV / AIDS dan
kriteria imunologi (WHO, 2013).

Penatalaksanaan pasien koinfeksi dengan TB aktif


1. Pengobatan TB
Regimen pengobatan TB terdiri dari dua fase: fase awal dan fase lanjutan.
Durasi fase awal adalah 2–3 bulan, fase lanjutan, 4–5 bulan. Bukti yang
adamenunjukkan dengan jelas bahwa TB yang kambuh pada pasien terinfeksi
HIV diminimalkan oleh rejimen yang mengandung rifampisin selama pengobatan
(WHO, 2013).

2. Inisiasi pengobatan antiretroviral


Banyak pasien dengan TB aktif memiliki penyakit HIV lanjut dan karena
itu memenuhi syarat untuk ART, yang tidak boleh ditahan hanya karena pasien
menerima atau akan menerima pengobatan TB. Namun demikian, lebih baik tidak
memulai pengobatan untuk HIV dan TB secara bersamaan, dan bila mungkin
untuk menunda ART (WHO, 2013).
Kriteria Terapi TB ART
Ekstrapulmonar TB Mulai segera Mulai ART segera
setelah pengobatan TB
ditoleransi (antara dua
23

minggu dan dua bulan)


Pulmonary TB Mulai segera Mulai ART segera
CD4<200 sel/mm3 setelah pengobatan TB
ditoleransi (antara dua
minggu dan dua bulan)
Pulmonary TB Mulai segera Mulai ART setelah
CD4=200-350 sel/mm3 menyelesaikan fase
pengobatan TB awal
(mulai lebih awal jika
sangat terganggu).
Pulmonary TB Mulai segera Pantau jumlah CD4.
CD4>350 sel/mm3 Pertimbangkan ART jika
jumlah CD4 turun di
bawah 350.

3. Rejimen HAART lini pertama


Highly active antiretroviral treatment (HAART) adalah standar rekomendasi
ART. Faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam memilih ARV untuk
pasien TB adalah:
• potensi
• efek samping dan toksisitas
• kesederhanaan, untuk memungkinkan kepatuhan yang lebih baik.
ART selama pengobatan TB membutuhkan pertimbangan khusus untuk:
• interaksi antara rifampicin dan beberapa ARV
• pentingnya kepatuhan yang tinggi
• toksisitas obat
• risiko sindrom pemulihan kekebalan.
24

efavirenz (EFV) yang dianjurkan adalah 600 mg / hari terutama pada pasien
dengan berat badan <60 kg (35–37). Meningkatkan dosis hingga 800 mg / hari
dapat dipertimbangkan pada pasien dengan> 60 kg berat badan, meskipun
penelitian lebih lanjut diperlukan. Jika EFV tidak tersedia, Nevirapine (NVP)
dapat digunakan [200 mg OD selama 2 minggu diikuti oleh 200 mg dua kali
sehari (BID)] dengan memantau fungsi hati dan toksisitas obat. [ZDV + 3TC
+ NVP tersedia dalam kombinasi dosis tetap (FDC) (WHO, 2013).

Pertimbangan utama untuk rejimen lini pertama


a. ZDV (atau TDF) + 3TC (atau FTC) + EFV (Tidak diperlukan penyesuaian
dosis rifampisin)
b. ZDV + 3TC + ABC (atau TDF)
• Tidak diperlukan penyesuaian dosis rifampisin.
• Wanita hamil dengan TB dapat menggunakan ZDV + 3TC + ABC
dengan aman.
4. Rejimen HAART lini kedua
25

Pertimbangan utama untuk rejimen lini kedua


ABC (atau TDF) + ddI + LPV / r + RTV (lihat Tabel 4)
a. Jika ddI diberikan bersama TDF, dosisnya harus disesuaikan karena
pankreas beracun dan negative efek kekebalan tubuh. DdI dosis yang
direkomendasikan ddI bila diberikan dengan TDF (300 mg OD) adalah:
• 250 mg OD untuk pasien dengan berat badan> 60 kg
• 125–200 mg OD untuk pasien dengan berat badan <60 kg
b. Ketika LPV/r400/100 mg BID diberikan, RTV 300 mg BID harus
ditambahkan, dengan pemantauan fungsi hati dan tingkat lipid.
ABC (atau TDF) + ddI + SQV + RTV
a. Ketika SQV diberikan, dosis harian yang direkomendasikan untuk SQV
dan RTV masing-masing 400 mg, dan pemantauan ketat fungsi hati
diperlukan.
b. Tidak diperlukan penyesuaian dosis rifampicin dengan rejimen ini.

5. Interaksi dan manajemen ARV dan obat TB (WHO, 2013)


a. Rifampicin menstimulasi aktivitas sistem enzim sitokrom P450 (CYP)
hati yang memetabolisme NNRTI dan PI. Mekanisme ini mengarah pada
pengurangan kadar NNRTI dan PI dalam darah, dan akibatnya
penekanan replikasi HIV yang tidak tuntas dan munculnya resistansi
terhadap obat. Rifampisin menyebabkan pengurangan 75% kadar serum
PI, sehingga memerlukan penyesuaian dosis.
b. NNRTI dan PI juga dapat meningkatkan atau menghambat CYP dan
mengarah ke tingkat rifampisin darah yang berubah. Oleh karena itu,
ketika rifampisin digunakan bersamaan dengan NNRTI dan PI, rejimen
harian lebihdisukai.
c. Efek rifampisin dan NNRTI dan PI pada CYP keduanya kompleks dan
umum, tetapi kecuali ada kontraindikasi definitif, rifampisin adalah obat
TB yang lebih disukai. Alasannya adalah bahwa tingkat TB yang kambuh
pada pasien HIV-positif menjadi serendah pasien HIV-negatif ketika
diobati selama ≥6 bulan dengan rejimen yang mengandung rifampisin.
26

d. Rifampisin tidak berpengaruh pada tingkat serum nukleosida reverse


transcriptase inhibitor (yang tidak dimetabolisme oleh CYP), dan tidak
ada penyesuaian dosis obat-obatan ini diperlukan.
e. Pada pasien yang menggunakan ART lini kedua, rifabutin 150 mg setiap
hari (QOD) atau 3 kali / minggu dapat digunakan dengan aman sebagai
alternatif rifampicin. Rifabutin mungkin lebih disukai dalam pengaturan
dengan kapasitas terbatas untuk menyesuaikan dosis PI; Namun, itu lebih
mahal daripada rifampisin.
f. Rifabutin tidak boleh diresepkan dengan SQV yang tidak dikuatkan,
tetapi dapat digunakan dengan kombinasi SQV dengan RTV.

6. Profilaksis primer kotrimoksazol


Pasien dengan koinfeksi TB / HIV dapat meninggal segera setelah
dimulainya pengobatan jika dimulai pada stadium HIV / AIDS yang terlalu maju.
Kematian mungkin terkait dengan perkembangan TB itu sendiri, tetapi dalam
banyak kasus kematian terkait dengan perkembangan infeksi oportunistik lainnya,
seperti Pneumo-cystis jirovecii pneumonia (PCP) atau Toxoplasma gondii
encephalitis (TE). Karena itu, primer profilaksis dengan kotrimoksazol
(trimetoprim-sulfametoksazol) diperlukan sebagai profilaksis terhadap PCP dan
TE (WHO, 2013).
• Pasien dengan jumlah CD4 <200 sel / mm3 atau yang berada pada Tahap
Klinis 3 (dengan kandidiasis orofaringeal, misalnya) atau Klinis Tahap 4
harus menerima kotrimoksazol secara bersamaan dengan pengobatan TB
(jika diindikasikan) sampai jumlah CD4 telah stabil untuk 4-6 bulan, atau
setidaknya 3 bulan di> 200 sel / mm3.
• Profilaksis yang direkomendasikan dengan kotrimoksazol pada orang
dewasa adalah satu tablet kekuatan ganda:160/800 mg OD.
• Kepatuhan terhadap kotrimoksazol sangat penting, dan pengamatan
langsung dari administrasi, bersama dengan pemberian obat TB, mungkin
berguna, terutama pada pasien yang sangat sakit.
27

Monitoring pasien koinfeksi TB-HIV


1. Memantau pengobatan TB
Untuk sebagian besar pasien, kecuali ada resistensi obat, pengobatan TB
efektif, dan status klinis mereka membaik mulai pada minggu kedua atau ketiga.
Pada pasien TB dengan infeksi HIV lanjut atau dengan diagnosis terlambat untuk
kedua penyakit, perburukan klinis atau radiologis dapat diamati. Selain itu,
pengobatan dengan obat TB yang biasanya efektif mungkin tidak dapat
membalikkan perjalanan klinis pada tahap akhir HIV. Selama 2-4 minggu awal
pengobatan TB, di mana pasien lebih disukai dirawat di rumah sakit, evaluasi
klinis lengkap harus dilakukan setidaknya setiap minggu. ALT harus dinilai
setidaknya sekali pada akhir bulan pertama. Hepatotoksisitas dapat diamati pada
5–10% pasien koinfeksi (WHO, 2013).
Kemampuan seorang pasien untuk menelan pil harus diverifikasi, dan
kepatuhan harus diperiksa secara teratur. Luar biasa, diare kronis yang parah dapat
menyebabkan malabsorpsi obat dan kegagalan pengobatan; kondisi seperti itu
membutuhkan penggunaan obat TB suntik. Bahkan tanpa diare, pasien HIV-in-
fected mungkin tidak menyerap rifampisin secara adekuat. Dalam kasus
intoleransi gastrointestinal yang parah, yang terjadi pada hingga 10% pasien HIV,
prioritas harus diberikan untuk pengobatan TB dan ART dihentikan hingga
pemulihan dari gejala gastrointestinal. Pengobatan TB berhenti pada akhir fase
lanjutan. Masih belum cukup bukti yang mendukung kegunaan pengobatan TB
sekunder dalam mencegah kambuh lebih lanjut. Untuk pasien yang mematuhi
rejimen TB, prognosis untuk TB itu sendiri adalah baik. Pengecualian adalah:
 pasien dengan MDR-TB, yang harus dirujuk ke pusat perawatan khusus
karena manajemennya yang rumit; dan
 pasien yang baru memulai pengobatan TB pada stadium lanjut HIV /
AIDS.

2. Pemantauan pengobatan antiretroviral.


Pemantauan pasien yang menerima ART harus mencakup tanda dan gejala
klinis, kriteria imunologi dan virologi, dan toksisitas ARV dan efek samping.
28

Setelah memulai ART, Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS)


dapat terjadi, terutama pada pasien dengan imunosupresi berat. Memburuknya
penyakit HIV / AIDS klinis setelah perbaikan awal dapat terjadi pada hingga
sepertiga pasien dengan TB yang telah memulai ART. Rata-rata waktu onset
adalah dua bulan setelah memulai ART, tetapi dapat terjadi paling cepat lima hari
setelahnya. IRIS dianggap sebagai hasil dari pemulihan kekebalan karena
pemberian obat antiretroviral dan / atau TB. IRIS lebih umum jika ART dimulai
pada awal pengobatan TB, dan jika pasien memiliki jumlah CD4 yang sangat
rendah (WHO, 2013).
Tanda-tanda dan gejala yang diperberat adalah karena reaksi jaringan lokal
yang lebih efektif terhadap infeksi, karena M. tuberculosis atau beberapa infeksi
oportunistik lainnya. Tanda-tanda dan gejala ini termasuk kombinasi:
 Demam tinggi
 Terjadinya atau pembesaran limfadenopati perifer atau mediastinum
 Lesi yang meluas di sistem saraf pusat
 Perburukan temuan radiografi dada.
Diagnosis IRIS harus dilakukan hanya setelah evaluasi menyeluruh telah
mengecualikan etiologi lain, terutama kegagalan pengobatan TB. Sebagian besar
kasus sembuh tanpa intervensi apa pun, dan ART dapat dilanjutkan dengan aman.
Reaksi serius, seperti kompresi trakea karena adenopati masif atau terapi
pernapasan, mungkin memerlukan steroid jangka pendek. Prednisone dapat
diberikan dengan dosis 20–60 mg / hari untuk setidaknya dua atau tiga minggu,
secara bertahap mengurangi dosis selama setidaknya satu bulan (WHO, 2013).

3. Kepatuhan terhadap pengobatan TB dan pengobatan ARV


Kepatuhan sangat penting untuk keberhasilan pengobatan TB dan ARV.
Pasien dengan kepatuhan rendah memiliki risiko sangat tinggi untuk
mengembangkan strain M. tuberculosis dan HIV yang resistan terhadap obat. TB
yang resistan terhadap obat dan HIV sangat sulit diobati secara efektif dan dapat
ditularkan ke orang lain. DOT direkomendasikan untuk memperkuat kepatuhan
terhadap pengobatan TB, dikombinasikan dengan dukungan khusus konteks dan
29

pasien-sensitif. Untuk ART, lebih dari 95% kepatuhan diperlukan untuk mencapai
supresi HIV optimal dan hasil pengobatan. Pentingnya mengikuti pengobatan dan
konsekuensi ketidakpatuhan harus sepenuhnya dipahami oleh pasien dan ditutup
dengan baik selama konseling pasien (WHO, 2013).
Kepatuhan terhadap pengobatan TB dan HIV / AIDS harus dipantau dan
dieksplorasi secara ketat pada setiap kunjungan. Manajemen efek samping yang
efektif terhadap obat sangat penting dan dianggap sebagai kondisi penting untuk
memastikan kepatuhan terhadap pengobatan (Untuk informasi lebih lanjut tentang
kepatuhan, silakan lihat bagian kepatuhan untuk ART dan Pemantauan kepatuhan
baik dalam Protokol 1, Evaluasi pasien dan pengobatan antiretroviral untuk orang
dewasa dan remaja) (WHO, 2013).
30

BAB 3. KESIMPULAN

HIV meningkatkan perkembangan infeksi Mycobacterium tuberculosis


menjadi TB aktif, baik pada orang dengan infeksi yang baru saja didapat dan
mereka dengan infeksi laten. HIV adalah faktor risiko paling kuat yang dikenal
untuk aktivasi infeksi M. tuberculosis laten. Untuk penatalaksanaan klinis pasien
koinfeksi TB / HIV, pertimbangan utama adalah kapan memulai pengobatan.
Pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB.
Pengobatan ARV (antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV.
31

DAFTAR PUSTAKA

Cui, Z., Lin, M., Nie, S. dan Lan, R. 2017. Risk factors associated with
Tuberculosis (TB) among people living with HIV/AIDS: A pair-
matched case-control study in Guangxi, China. PloS one, 12(3),
p.e0173976.
Daili S, Indriatmi W, Zubier F. 2009. Infeksi Menular Seksual. Penerbit FKUI,
Jakarta.
Diedrich, C.R., O'hern, J., Gutierrez, M.G., Allie, N., Papier, P., Meintjes, G.,
Coussens, A.K., Wainwright, H. Dan Wilkinson, R.J. 2016.
Relationship between HIV coinfection, interleukin 10 production, and
Mycobacterium tuberculosis in human lymph node granulomas. The
Journal of infectious diseases, 214(9), pp.1309-1318.
El-Sadr, W.M. and Tsiouris, S.J.. 2008, October. HIV-associated tuberculosis:
diagnostic and treatment challenges. In Seminars in respiratory and
critical care medicine (Vol. 29, No. 05, pp. 525-531
Gjergji, M., Bushati, J., Harxhi, A., Hafizi, H. dan Pipero, P. 2017. Tuberculosis
in HIV/AIDS Patients. Adv Tech Clin Microbiol, 1(3), p.16.
Khan, F.A., Minion, J., Pai, M., Royce, S., Burman, W., Harries, A.D. and
Menzies, D., 2010. Treatment of active tuberculosis in HIV-
coinfected patients: a systematic review and meta-analysis. Clinical
Infectious Diseases, 50(9), pp.1288-1299.
Kemenkes RI. 2014. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia. Jakarta;
Kementerian Kesehatan RI. 2011
Lawn, S.D., Kerkhoff, A.D., Vogt, M. and Wood, R. 2013. HIV-associated
tuberculosis: relationship between disease severity and the sensitivity
of new sputum-based and urine-based diagnostic assays. BMC
medicine, 11(1), p.231.
Mitku, A.A., Dessie, Z.G., Muluneh, E.K. dan Workie, D.L. 2016. Prevalence and
associated factors of TB/HIV co-infection among HIV Infected
patients in Amhara region, Ethiopia. African health sciences, 16(2),
pp.588-595.
Mulyadi, M. dan Fitrika, Y. 2011. Hubungan Tuberkulosis dengan HIV/AIDS.
Idea Nursing Journal, 2(2), pp.162-166.
Pawlowski, A., Jansson, M., Sköld, M., Rottenberg, M.E. dan Källenius, G. 2012.
Tuberculosis and HIV co-infection. PLoS pathogens, 8(2),
p.e1002464.
32

Peraturan Menteri Kesehatan- Penanggulangan Tuberkulosis. 2016. Diakses


tanggal 26 Mei 2018.
World Health Organization. 2016. Global Tuberculosis Report 2016. Diakses
melalui http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Js23098en/ [28 April
2018].

World Health Organization. 2009. Treatment of tuberculosis: Guidelines 4th ed.

World Health Organization. 2013. 4 Management of Tuberculosis and HIV


Coinfection. Eropa: WHO Regional.

Yoga,Chandra. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta: 2006.

Anda mungkin juga menyukai