Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

SPONDILITIS TB

Pembimbing:
dr. Ayat Rahayu, SpRad, MKes

Disusun oleh:
Nailaufar Hamro 41181396100049
Lilis Siti Nursa’adah 41181396100084
Lahzatin Atiqoh 41181396100095
Viska Yuzella 41181396100097
Safira Belarizkia 41181396100063
Hisyam Ismail Hamzah 41171096100039

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT karena atas hidayah dan petunjuk-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah referat dengan tema “Spondilitis TB”. Makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik stase Radiologi Fakultas Kedokteran
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada dr.
Ayat Rahayu, SpRad, MKes selaku pembimbing referat ini. Penulis menyadari makalah ini
masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun guna penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah referat ini dapat
bermanfaat dan membuka wawasan pembaca.

Jakarta, Juni 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................................................................................ii
Daftar Isi..................................................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan .................................................................................................................1
BAB II Tinjauan Pustaka .........................................................................................................2
2.1. Definisi ......................................................................................................................2
2.2. Epidemiologi .............................................................................................................2
2.3. Patogenesis ................................................................................................................3
2.4. Patofisiologi ...............................................................................................................5
2.5. Klasifikasi ..................................................................................................................7
2.6. Penegakan Diagnosis .................................................................................................8
2.7. Tatalaksana ...............................................................................................................15
2.8. Komplikasi ...............................................................................................................17
BAB III Kesimpulan................................................................................................................19
Daftar Pustaka..........................................................................................................................20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit menahun, bahkan dapat seumur hidup.


Setalah seseorang terinfeksi kuman tuberkulosis, hampir 90% penderita secara klinis tidak
sakit, hanya didapatkan test tuberkulin positif, 10% akan sakit. Penderita yang sakit, bila
tanpa pengobatan, setelah 5 tahun, 50% penderita TB paru akan mati, 25% sehat dengan
pertahanan tubuh yang baik dan 25 % menjadi kronik dan infeksius.

Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi


dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama,
kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin
menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada
akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani.

Spondilitis tuberkulosa adalah infeksi tuberkulosis ekstrapulmonal yang mengenai


satu atau lebih tulang belakang. Penyakit ini sudah lama ada pada manusia sejak masa tahun
besi di eropa dan jaman mummi kuno di Mesir. Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh
Percival Pott pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat
gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan
basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga
spondilitis tuberkulosis dikenal juga dengan Pott’s disease.

Pada spondilitis tuberkulosis umumnya melibatkan vertebra torakal dan lumbosakral.


Vertebra torakal bawah merupakan daerah paling banyak terlibat (40–50%), vertebra lumbal
merupakan tempat kedua terbanyak (35–45%), dan sekitar 10% kasus melibatkan vertebra
servikal.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M.
tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri
Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis
yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT
(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan
diagnosis dan pengobatan TBC.

Spondilitis tuberkulosa adalah infeksi tuberkulosis ekstrapulmonal yang mengenai


satu atau lebih tulang belakang. Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit yang dianggap
.neurologis. Daerah lumbal dan torakal merupakan daerah yang paling sering terlibat,
sedangkan insidensi keterlibatan daerah servikal adalah 2-3

2.2. Epidemiologi
Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC (CI 8,8 juta – 12,
juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara dengan insiden kasus
tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan. Badan kesehatan dunia
mendefinisikan negara dengan beban tinggi/high burden countries (HBC) untuk TBC
berdasarkan 3 indikator yaitu TBC, TBC/HIV, dan MDR-TBC. Terdapat 48 negara yang
masuk dalam daftar tersebut. Satu negara dapat masuk dalam salah satu daftar tersebut, atau
keduanya, bahkan bisa masuk dalam ketiganya. Indonesia bersama 13 negara lain, masuk
dalam daftar HBC untuk ke 3 indikator tersebut. Artinya Indonesia memiliki permasalahan
besar dalam menghadapi penyakit TBC

Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama
pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan
kepadatan penduduk masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang
sudah berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam
kurun waktu 30 tahun terakhir. Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini
terutama mengenai dewasa, dengan usia rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia dan Afrika

2
sebagian besar mengenai anak-anak (50% kasus terjadi antara usia 1-20 tahun). Pola ini
mengalami perubahan dan terlihat dengan adanya penurunan insidensi infeksi tuberkulosa
pada bayi dan anak-anak di Hong Kong.

2.3. Patogenesis
A. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja
dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan
tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional).
Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks
primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana
terdapat penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar
hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar
sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal
sebagai epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini
sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil.
Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan
cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa,
typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan

3
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,
genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir
dengan :
• Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma ) atau
• Meninggal

B. Tuberkulosis Post Primer


Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian
tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer
mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa,
localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis
inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber
penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya
terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini
awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan
mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih
keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya
dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan
menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti
akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib
kaviti ini :
• Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang
pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas.
• Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula
aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.

4
• Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,
atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga
kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

2.4. Patofisiologi
Perjalanan infeksi pada vertebra melalui 2 jalur utama yaitu arteri dan vena, serta jalur
tambahan. Jalur utama berlangsung secara sistemik mengalir sepanjang arteri ke perifer
masuk ke dalam korpus vertebra, berasal dari arteri segmental lumbal yang memberikan
darah ke separuh dari korpus yang berdekatan, di mana setiap korpus diberi nutrisi oleh 4
buah arteri. Di dalam korpus ini berakhir sebagai end artery sehingga perluasan infeksi
korpus vertebra sering dimulai di daerah paradiskus.
Jalur kedua adalah melalui pleksus Batson, yaitu sebuah anyaman vena epidural dan
peridural. Vena dari korpus vertebra mengalir ke pleksus Batson pada daerah perivertebral.
Pleksus ini beranastomosa dengan pleksuspleksus pada dasar otak, dinding dada, interkostal,
lumbal dan pelvis. Jika terjadi aliran balik akibat perubahan tekanan pada dinding dada dan
abdomen maka basil dapat ikut menyebar.
Jalur ketiga adalah penyebaran perkontinuitatum dari abses paravertebral yang telah
terbentuk, dan menyebar sepanjang ligamentum longitudinal anterior dan posterior ke korpus
vertebra yang berdekatan.
Osteomielitis tuberkulosis dan artritis dipercayai muncul dari fokus basil M.
tuberculosis yang bersarang di tulang selama mikobakteriemia dari infeksi primernya. Fokus
primer mungkin aktif atau hanya diam, tampak nyata atau laten, baik di paru, kelenjar limfe
mediastium, mesenterium, atau di wilayah leher atau ginjal maupun organ dalam yang lain.
Basil M. tuberculosis mungkin berjalan dari paru ke spinal melalui pleksus venosus
paravertebral Batson, melalui drainase limfatik ke kelanjar paraaorta. Pada individu sehat
respons imun selular sudah mengandung basil ini tapi tidak melakukan eradikasi.
Penyebaran infeksi tuberkulosis akan menyebabkan inflamasi pada paradiskus, terjadi
hyperemia, edema sumsum tulang belakang dan osteoporosis. Desttruksi tulang terjadi
progresif, akibat lisis jaringan tulang di bagian anterior, serta adanya iskemi sekunder,
periartritis dan endarteritis, akan menyebabkan kolapsnya bagian tersebut. Hal ini akan
menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga
kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dengan lengkung saraf
posterior yang tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis yang
5
progresivitasnya (angulasi posterior) tergantung dari derajat kerusakan, level lesi dan jumlah
vertebra yang terlibat yang sering disebut sebagai gibbus. Bila sudah timbul deformitas ini,
maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas.
Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal; di
area lumbar hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar lordosis di mana sebagian
besar dari berat badan ditransmisikan ke posterior sehingga akan terjadi parsial kolaps;
sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu
disebabkan karena sebagian besar berat badan disalurkan melalui prosesus artikular. Dengan
adanya peningkatan sudut kifosis di regio torakal, tulang-tulang iga akan menumpuk
menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrel chest.
Abses dingin (cold abscess) dibentuk dari koleksi produk pencairan dan eksudatif
reaktif. Abses dingin sebagian besar berisi serum, lekosit, material kaseosa, debris tulang dan
basil tuberkel. Cold abscess terbentuk jika infeksi telah menyebar ke otot psoas atau jaringan
ikat sekitarnya. Pembentukan abses paravertebral terjadi pada hampir setiap kasus. Dengan
kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkejuan dan tulang
nekrotik serta sumsum tulang akan menonjol keluar melalui korteks dan berakumulasi di
bawah ligamentum longitudinal anterior. Cold abscesss ini kemudian berjalan sesuai dengan
pengaruh gaya gravitasi sepanjang bidang fasial dan akan tampak secara eksternal pada jarak
tertentu dari tempat lesi aslinya.
Beberapa penyebaran infeksi ini menyebabkan lesi lebih dari satu fokus infeksi
dengan keterlibatan korpus vertebra tipe sentral yang disebut skipped lesion. Keterlibatan
yang simultan bagian paradiskus dari dua vertebra yang terinfeksi oleh lesi tuberkulosa atipik
dari tulang belakang membuat penyemaian basil melalui aliran pembuluh darah di area ini. 7
persen dari kasus spondilitis tuberkulosis mempunyai skipped lesion pada kolom vertebra dan
12% melibatkan tulang lain dan persendian (kecuali spinal), 20% dari kasus melibatkan
visera dan atau kelenjar serta bagian lain dari sistem skeletal. Tuberkulosis spinal tipikal
melibatkan kerusakan awal vertebra bagian anteroinferior, basil kemudian menyebar di
bawah ligamentum spinal anterior, melibatkan area anterosuperior dari tulang vertebra yang
berdekatan, yang kemudian memunculkan deformitas wedge-shaped. Penyebaran yang lebih
jauh dapat menyebabkan abses yang berdekatan. Tipe anterior yang melibatkan korpus
vertebra tampak karena adanya perluasan abses di bawah ligamentum longitudinal anterior
dan periosteum. Infeksi mungkin dapat menyebar ke atas dan ke bawah menyusuri
ligamentum longitudinal anterior dan posterior serta periosteum pada sisi samping dan depan
dari korpus vertebra.
6
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan radiks terjadi akibat
banyak proses, yaitu: penyempitan kanalis spinalis oleh abses paravertebral, subluksasio
sendi faset patologis, jaringan granulasi, vaskulitis, trombosis arteri atau venaspinalis, kolaps
vertebra, abses epidural atau invasi duramater secara langsung. Selain itu, invasi medula
spinalis dapat juga terjadi secara intradural melalui meningitis dan tuberkulomata sebagai
space occupying lesion.
Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya fibrosis dan
kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan fibrosa itu mengalami
osifikasi, sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra yang kolaps.

2.5. Klasifikasi
Spondilitis tuberkulosis diklasifikasikan berdasarkan Gulhane Askeri Tip Akademisi
(GATA) menjadi 5 kelompok. Sistem klasifikasi ini dibuat berdasarkan kriteria klinis dan
radiologis antara lain: formasi abses, degenerasi diskus, kolaps vertebra, kifosis, angulasi
sagital, instabilitas vertebra, dan defisit neurologis. Sedangkan untuk menilai derajat
keparahan, memantau perbaikan klinis, dan memprediksi prognosis pasien spondilitis TB
dengan adanya cedera medulla spinalis maka American Spinal Injury Association (ASIA)
memodifikasi sistem klasifikasi oleh Frankle.

Tabel 2.1. Klasifikasi berdasarakan GATA

7
Tabel 2.2. Klasifikasi berdasarkan ASIA

2.6. Penegakan Diagnosis

Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak faktor.
Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat.
Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari
bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah infeksi
tuberkulosa.
a. Anamnesis
 Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam,
demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta
cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan
bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi
sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang
demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan
terlihat dengan jelas.
 Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai
nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus
limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
 Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di
daerah telinga atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di thorakal atas akan
menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian
thorakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa

8
nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri, pasien
akan menahan punggungnya menjadi kaku.
 Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki
pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.

b. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi
1. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya,
mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu
disanggah oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada
leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis
torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika
terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar,
terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal notch sehingga akan
menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor respiratoar, sementara kompresi
medulla spinalis pada orang dewasa akan menyebabkan tetraparesis.
2. Infeksi di regio thorakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila
berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat
mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan
punggungnya tetap kaku. Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian
kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak
dinding dada. Jika abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda
spinalis dan menyebabkan paralisis.
3. Di regio lumbal : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi
di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam
pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan
dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan
meletakkan tangannya di atas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan
deformitas fleksi sendi panggul.
4. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang belakang),
skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan dislokasi.
5. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis). Terjadi
pada kurang lebih 10 – 47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak
ditemukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan
9
tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang
hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat
pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.
6. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai demam dan nyeri akut
seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun
sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.

 Palpasi :
1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit di atasnya
terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik
yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx,
atau di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi.
Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan
antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.
2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.

 Perkusi :
Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan di atas prosessus spinosus vertebrae
yang terkena, sering tampak tenderness.

c. Pemeriksaan Penunjang :
1. Laboratorium :
a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam.
b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative (PPD)
positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu maupun yang
baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak
area berindurasi, kemerahan dengan diameter ‡ 10mm di sekitar tempat suntikan
selama 48 – 72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada – 20% kasus
dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang immunitas
selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit lain).
c. Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum dan bilas
lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru- paru yang aktif).
d. Hapusan darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat
relatif.
10
e. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins, typhoid,
paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada pusat kesehatan
dengan peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding.
f. Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa).
Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi TB.
Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan memberikan hasil yang lebih
baik. Cairan serebrospinal akan tampak:
 Xantokrom.
 Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
 Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut
responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik.
 Kandungan protein meningkat.

2. Radiologis : Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.


o Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).
o Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3 – 8
minggu onset penyakit.
o Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.
o Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior
corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak
penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae
anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area
subligamentous.
o Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang
sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar dari
lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap
tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra atau tall vertebra, terjadi
karena adanya stress biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus sehingga
vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada kasus tuberkulosa
dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra yang belum menutup saat terkena penyakit
tuberkulosa yang melibatkan vertebra thorakal.

11
o Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas.
Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi.
Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami
peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat penyembuhan. Deteksi
(evaluasi) adanya abses epidural sangatlah penting, oleh karena merupakan salah satu
indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran abses).

Gambar 2.1. Gambaran Foto Polos Spondilitis Tuberkulosis.

12
Gambar 2.2. Gambaran Foto Polos Spondilitis Tuberkulosis.

3. Computed Tomography – Scan (CT)


Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio thorakal dan keterlibatan iga yang
sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung saraf posterior seperti pedikel tampak
lebih baik dengan CT Scan.

Gambar 2.3. Gambaran CT Scan menunjukkan


penghancuran signifikan elemen posterior tulang.

13
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat kompresif
dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. Bermanfaat untuk :
 Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau
operatif.
 Membantu menilai respon terapi.
Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di abses.

A B

14
C
Gambar 2.4. MRI Spondilitis Tuberkulosis. A dan B gambaran potongan sagital dari vertebra
thorakal, menunjukkan gambar disk space loss dan kompresi vertebral dengan ekstensi
jaringan lunak paravertebral (panah). C menunjukkan abses paraspinal multiloculated besar.

2.7. Tatalaksana
Saat ini pengobatan spondilitis TB berdasarkan dengan imobilisasi
menggunakan korset. Pengobatan non-peratif dengan menggunakan terapi diutamakan
dengan pemberian obat anti TB dikombinasikan kombinasi paling tidak 4 jenis obat
anti tuberkulosis. Pengobatan dapat disesuaikan dengan informasi kepekaan kuman
terhadap obat. Pengobatan INH dan rifampisin harus diberikan selama seluruh
pengobatan. Regimen 4 macam obat biasanya termasuk INH, rifampisin, dan
pirazinamid dan etambutol. Lama pengobatan masih kontroversial. Meskipun beberapa
penelitian mengatakan memerlukan pengobatan hanya 6-9 bulan, pengobatan rutin yang
dilakukan adalah selama 9 bulan sampai 1 tahun. Lama pengobatan biasanya
berdasarkan dari perbaikan gejala klinis atau stabilitas klinik pasien. Obat yang biasa
dipakai untuk pengobatannya seperti pada Tabel 2.3.

15
Tabel 2.3. Obat tuberkulosis, dosis, dan efek samping

Pemberian obat bila dikombinasikan antara INH dan rifampisin maka dosis dari INH
tidak boleh lebih dari 10 mg/KgBB/hr dan dosis rifampisin tidak boleh lebih dari 15
mg/kgBB/hr serta dalam meracik tidak boleh diracik dalam satu puyer tetapi pada saat
minum obat dapat bersamaan. Sebagai tambahan terapi, anti inflamasi non steroid
kemungkinan digunakan lebih awal pada penyakit dengan inflamasi superfisial membran
yang non spesifik untuk menghambat atau efek minimalisasi destruksi tulang dari

prostaglandin.
Selain memberikan medikamentosa, imobilisasi regio spinalis harus dilakukan.
Sedikitnya ada 3 pemikiran tentang pengobatan Potts paraplegi. Menurut Boswots
Compos, pengobatan yang paling penting adalah imobilisasi dan artrodesis posterior awal.
Dikatakan bahwa 80% pasien yang terdeteksi lebih awal akan terdeteksi lebih awal; akan
pulih setelah arthrodesis. Menurut pendapatnya, dekompresi anterior diindikasikan hanya
pada beberapa pasien yang tidak pulih setelah menjalani artrodesis. Bila pengobatan ini
tidak memberikan perbaikan dan pemulihan, akan terjadi dekompresi batang otak. Pada
umumnya artrodesis dilakukan pada spinal hanya setelah terjadi pemulihan lengkap.
Pengobatan non operatif dari paraplegia stadium awal akan menunjukkan hasil yang
meningkat pada setengah jumlah pasien dan pada stadium akhir terjadi pada seperempat
jumlah pasien pasien. Jika terjadi Pott’s paraplegia maka pembedahan harus dilakukan.
Indikasi pembedahan antara lain.
A. Indikasi absolut
Paraplegi dengan onset yang terjadi selama pengobatan konservatif, paraplegia
memburuk atau menetap setelah dilakukan pengobatan konservatif, kehilangan
16
kekuatan motorik yang bersifat komplit selama 1 bulan setelah dilakukan pengobatan
konservatif, paraplegia yang disertai spastisitas yang tidak terkontrol oleh karena suatu
keganasan dan imobilisasi tidak mungkin dilakukan atau adanya risiko terjadi nekrosis
akibat tekanan pada kulit, paraplegia yang berat dengan onset yang cepat, dapat
menunjukkan tekanan berat oleh karena kecelakaan mekanis atau abses dapat juga
merupakan hasil dari trombosis vaskular tetapi hal ini tidak dapat didiagnosis,
paraplegia berat lainnya, paraplegia flaksid, paraplegia dalam keadaan fleksi, kehilangan
sensoris yang komplit atau gangguan kekuatan motoris selama lebih dari 6 bulan.

B. Indikasi relatif
Paraplegia berulang yang sering disertai paralisis sehingga serangan awal sering
tidak disadari, paraplegia pada usia tua, paraplegia yang disertai nyeri yang
diakibatkan oleh adanya spasme atau kompresi akar saraf serta adanya komplikasi
seperti batu atau terjadi infeksi saluran kencing. Prosedur pembedahan yang
dilakukan untuk spondilitis TB yang mengalami paraplegi adalah
costrotransversectomi, dekompresi anterolateral dan laminektomi.

2.8. Komplikasi

1. Kifosis berat
Destruksi tulang yang progresif akan menyebabkan kolapsnya tulang belakang dan
kyphosis. Kifosis akan mempermudah pasien mengalami gejala neurologis seperti
paraplegia tau yang biasa disebut pott’s paraplegia.
2. Ceder corda spinalis (spinal cord injury)
Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberculosis,
sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis ( contoh : pott’s paraplegia-
prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan cora spinalis oleh
jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : meningomyelitis –prognosa buruk). Jika
cepat diterapi sering berespon baik . MRI dan mielografi dapat membantu
membedakan paraplegi karena tekanann atau karena invasi dura dan corda spinalis.
3. Empyema
Empyema tuberkulosa yang terjadi karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke
dalam pleura. Terjadinya empiema akibat invasi basil piogenik ke pleura, timbul
peradangan akut yang diikuti dengan pembentukan eksudat serous dengan banyak sel-
sel PMN baik yang hidup ataupun mati dan meningkatnya kadar protein, maka cairan
17
menjadi keruh dan kental. Adanya endapan-endapan fibrin akan membentuk kantong-
kantong yang melokalisasi nanah tersebut. Apabila nanah menembus bronkus timbul
fistel bronko pleura, atau menembus dinding thoraks dan keluar melalui kulit disebut
empyema nasessitatis. Stadium ini masih disebut empyema akut yang lama-lama akan
menjadi kronis (batas tak jelas).

18
BAB III
KESIMPULAN

Spondilitis tuberkulosa adalah infeksi tuberkulosis ekstrapulmonal yang mengenai


satu atau lebih tulang belakang. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber
morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama
di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi merupakan masalah
utama. Spondilitis tuberkulosis diklasifikasikan berdasarkan Gulhane Askeri Tip Akademisi
(GATA) menjadi 5 kelompok. Sistem klasifikasi ini dibuat berdasarkan kriteria klinis dan
radiologis antara lain: formasi abses, degenerasi diskus, kolaps vertebra, kifosis, angulasi
sagital, instabilitas vertebra, dan defisit neurologis. Sedangkan untuk menilai derajat
keparahan, memantau perbaikan klinis, dan memprediksi prognosis pasien spondilitis TB
dengan adanya cedera medulla spinalis maka American Spinal Injury Association (ASIA)
memodifikasi sistem klasifikasi oleh Frankle. Penegakan diagnosis spondilitis TB dengan
cara melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, seperti
laboratorium, CT-Scan, dan MRI. Tatalaksan yang diberikan dapat berupa pengobatan non-
operatif ( pengobatan OAT, imobilisasi dan artrodesis posterior awal ) dan tindakan operatif
jika sudah terjadi Pott’s Paraplegia dengan indikasi absolut dan relatif. Komplikasi yang dapat
ditimbul dari spondilitis TB adalah kifosis berat, spinal cord injury, dan empyema.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Tuberculosis Report 2014. World Health Organization, 2014.


2. Abebe F, Bjune G. The protective role of antibody responses during Mycobacterium
tuberculosis infection. Clinical and experimental immunology. 2009.
3. Lillehoj ER, Kim KC. Airway mucus: its components and function. Archives of
pharmacal research. 2002.
4. PDPI. Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Tuberkulosis Di Indonesia, 2006.
5. Rasad S, Ekayuda I, dkk. Radiologi Diagnostik. Edisi II. FKUI; Jakarta: 2009.
6. Williams A, Hussell T, Lloyd C. Immunology: mucosal and body surface defences.
Chichester, West Sussex; Hoboken, NJ: WileyBlackwell; 2012. xvii, p. 80.
7. Sato S, Kiyono H. The mucosal immune system of the respiratory tract. Current opinion
in virology. 2012; 2(3): 225–32.
8. Urdahl KB, Shafiani S, Ernst JD. Initiation and regulation of T-cell responses in
tuberculosis. Mucosal immunology. 2011; 4(3): 288–93.
9. Dheda K, Schwander SK, Zhu B, van Zyl-Smit RN, Zhang Y. The immunology of
tuberculosis: from bench to bedside. Respirology. 2010; 15(3): 433–50.
10. Kolls JK, Khader SA. The role of Th17 cytokines in primary mucosal immunity.
Cytokine & growth factor reviews. 2010; 21(6): 443–8.
11. Mihret A. The role of dendritic cells in Mycobacterium tuberculosis infection. Virulence.
2012; 3(7): 654–9.
12. Pamela J,McShane I, Edward T, Naureckas I, Gregory T, Mary E. Non Cystic Fibrosis
Bronchiektasis. American Journal Of Respiratory and Critical Care Medicine 2013; 188:
647-876.
13. Iseman S, Chan ED. Bronchiectasis : Murray and Nadels’s Textbook of Respiratory
Medicine 5th ed. 2011;48:853-876.
14. Tutik Kusmiati, Hapsari Paramita Narendrani. Pott’s Disease. Jurnal Respirasi (JR), Vol.
2. No. 3 September 2016: 99−109.

20

Anda mungkin juga menyukai