TUBERCULOSIS PARU
Oleh :
Rika Yuni Rizki
Fitriya Revina Sari
Preceptor :
dr. Venny Novi Yersi
Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah –Nyalah penulis dapat menyelesaikan tugas case dalam Kepaniteraan Klinik
Senior Ilmu Kesehatan Masyarakat di Puskesmas Tanjung Paku Solok, mengenai
“TUBERCULOSIS PARU”.
Dalam penyusunan tugas dan materi ini, tidak sedikit hambatan yang
dihadapi. Namun, penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini
tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan semua pihak sehingga kendala-
kendala yang penulis hadapi dapat teratasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Venny Novi Yersi
sebagai dokter pembimbing dalam pembuatan case ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis terbuka terhadap kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat dan membantu
teman sejawat serta para pembaca pada umumnya dalam memahami Hipertensi.
TINJAUAN PUSTAKA
I.2 ETIOLOGI
Penyakit Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan
asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama
kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk
mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TB
pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP)11.
I.4. Patogenesis
I.4.1 Tuberkulosis Primer
Penularan Tuberkulosis paru dari orang ke orang terjadi karena kuman
dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita.
Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada
ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana
lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila
partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas,
atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran parikel < 5
mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh
makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar
percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya3.
Bila kuman menetap dijaringan paru, berkembang biak di dalam sitoplasma
makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan
disebut sarang primer atau efek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini
dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka
terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal,
jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri
masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, dan
tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka akan terjadi penjalaran ke seluruh
bagian paru menjadi TB milier3.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal bersama-sama limfadenitis
regional dikenal sebagai kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu
3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi3:
1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >
5 mm dan ±10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman
yang dormant
3) Berkomplikasi dan menyebar secara :
a) Perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya.
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus
yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang
atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis
tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis6.
b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru yang
disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus
c) Secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan
daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan yang cukup gawat seperti TB milier, meningitis TB,
typhobachillosis Landouzy6.
Semua kejadian diatas tergolong dalam perjalanan Tuberkulosis primer3.
I.5 Klasifikasi
American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang diambil
berdasarkan aspek kesehatan masyarakat2:
1) Kelas 0 : Tidak pernah terpajan TB, tidak terinfeksi. Orang-orang pada
kelas ini tidak mempunyai riwayat terpajan dan tes kulit tuberkulin
menunjukkan hasil negatif (jika dilakukan)
2) Kelas 1 : Terpajan TB, tidak ada bukti terinfeksi. Orang-orang pada
kelas ini mempunyai riwayat terpajan tuberkulosis, tetapi tes tuberkulin
menunjukkan hasil negative. Tindakan yang diambil untuknya tergantung
pada derajat dan kebaruan paparan M. tuberculosis, serta kekebalan
tubuhnya. Jika terpapar secara signifikan selama 3 bulan, tes tuberculin
lanjutan harus dilakukan 10 minggu setelah paparan terakhir, dan
sementara itu pengobatan terhadap infeksi tuberculosis laten harus
dipertimbangkan terutama pada anak-anak berusia kurang dari 15 tahun
dan penderita infeksi HIV.
3) Kelas 2 : Infeksi TB laten, tidak timbul penyakit. Orang-orang pada
kelas 2 menunjukkan hasil tes tuberculin positif, pemeriksaan radiologi
dan bakteriologi negatif.
4) Kelas 3 : Tuberkulosis, aktif secara klinis. Kelas 3 mencakup semua
pasien
dengan TB aktif secara klinis dengan prosedur diagnostik telah selesai.
Jika diagnosis masih tertunda, orang tersebut harus diklasifikasikan
sebagai tersangka tuberkulosis (kelas 5). Untuk masuk ke kelas 3,
seseorang harus memiliki bukti klinis, bakteriologis, dan/atau radiografi
TB saat ini. Hal ini dipastikan dengan isolasi M. tuberkulosis. Seseorang
yang menderita TB di masa lalu dan juga yang saat ini memiliki penyakit
aktif secara klinis termasuk dalam kelas 3. Seseorang tetap di kelas 3
sampai pengobatan untuk episode penyakit saat ini selesai.
5) Kelas 4 : TB tidak aktif secara klinis. Ditemukan radiografi yang
abnormal atau tidak berubah, dan reaksi tes kulit tuberkulin positif, dan
tidak ada bukti klinis.
6) Kelas 5 : Tersangka TB (diagnosis tertunda). Seseorang termasuk
dalam kelas ini ketika diagnosis TB sedang dipertimbangkan. Seseorang
seharusnya tidak tetap di kelas ini selama lebih dari 3 bulan. Ketika
prosedur diagnostik telah selesai, orang tersebut harus ditempatkan pada
salah satu kelas sebelumnya.
TB
TB paru BTA (-)
TB ekstraparu
Kasus baru
Kasus kambuh
Tipe penderita
TB paru Kasus Drop Out
Kasus gagal
pengobatan
Kasus kronik
I.6 Gejala Klinis
I.6.1 Gejala Respiratori
Gejala respiratori yaitu3:
1) Batuk / Batuk Darah
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini
diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk
dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan lanjut adalah
batuk darah (hemoptisis).
Kavitas dapat menjadi sumber hemoptisis mayor. Menetapnya arteri
pulmonalis terminal didalam kavitas dapat menjadi sumber perdarahan yang
hebat (aneurisma Rasmussen). Penyebab perdarahan lainnya adalah
aspergiloma pada kavitas tuberkulosis kronik.
2) Sesak Napas
Sesak napas akan dirasakan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
3) Nyeri dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien
menarik / melepaskan nafasnya.
3) Tuberkulosis Meningeal
Infeksi kronik ini berwujud tidak saja sebagai tanda meningeal tetapi
sering juga sebagai tanda saraf kranialis. Yang khas pada cairan serebrospinal
adalah kandungan protein yang tinggi, glukosa rendah, dan limfositosis.
Kemoterapi yang efektif adalah isoniazid, rifampisin dan etambutol.
Tuberkuloma pada selaput otak atau otak dapat menjadi nyata pada orang
dewasa, beberapa tahun setelah infeksi primer, dan kejang seringkali menjadi
manifestasi utamanya.
5) Tuberkulosis Tulang
Penyakit yang mengenai tulang dan sendi bukanlah manifestasi
tuberculosis yang jarang. Penyakit Pott, yaitu tuberculosis tulang belakang,
biasanya mengenai vertebra midtorakal. Basilus tuberkel mencapai vertebra
secara hematogen atau melalui saluran limfatik dari rongga pleura ke kelenjar
limfe paravertebra(). Gejala awal yang paling umum adalah nyeri punggung
yang mungkin ada selama berminggu-minggu atau bulan sebelum diagnosis.
Tuberkulosis sendi paling sering mengenai sendi penopang berat
badan yag besar seperti panggul dan lutut. Tuberkulosis sendi berespon baik
terhadap imobilisasi dan kemoterapi. Sinovitis tuberkulosa dapat terjadi
sendiri atau bersama arthritis tuberkulosa.
6) Tuberkulosis Genitourinarius
Tuberkulosis ginjal biasanya berawal dari hematuria dan piuria
mikroskopik dengan biakan urin yang steril. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan ditemukannya basilus tuberkel pada biakan urin. Seiring dengan
berkembangnya penyakit, terjadi kavitas parenkim ginjal. Dengan kemoterapi
yang adekuat, pengangkatan ginjal secara bedah hamper tidak diperlukan.
Ureter dan kandung kemih dapat terinfeksi akibat penyebaran organism lewat
tubulus, dan dapat terjadi striktur ureter.
Salpingitis tuberculosis sering mengakibatkan sterilisitas pada
perempuan. Tuberculosis genital pada laki-laki paling sering mengenai
prostat, vesika seminalis dan epididimis. Tuberculosis epididimis dan prostat
ditandai oleh indurasi noduler yang tidak nyeri tekan yang dapat diketahui
dari pemeriksaan fisik. Diagnosis biasanya dibuat dengan kultur basil tahan
asam.
7) Adenitis Tuberkulosis
Gambar 4. Limfadenitis Tuberkulosis
I.9 Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif 2-3
bulan dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan6. Pengobatan TB bertujuan untuk
menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan,
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman
terhadap OAT1.
Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
3 kali seminggu
tiap hari
Berat RH (150/150) +
RHZE (150/75/400/275) + S
Badan E(400)
Selama 28
Selama 56 hari selama 20 minggu
hari
30-37 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin + 2 tab Etambutol
inj.
38-54 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin + 3 tab Etambutol
inj
55-70 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin + 4 tab Etambutol
inj.
>71 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin + 5 tab Etambutol
inj.
I.9.3 Efek samping obat dan penatalaksanaannya
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomats maka pemberian OAT dapat
dilanjutkan. Tabel pada halaman berikutnya, menjelaskan efek samping
ringan maupun berat dengan pendekatan gejala1.
Tabel 4. Efek samping ringan OAT
8) Pasien TB Milier
Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/4RH dan diindikasikan
untuk rawat inap. Pada gejala meningitis, sesak napas, gejala toksik, dan
demam tinggi dapat diberikan kortikosteroid prednison dengan dosis 30-40
mg per hari kemudian diturunkan secara bertahap.
9) Pasien Efusi Pleura TB
Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/4RH. Evakuasi cairan
dilakukan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan dapat diberikan
kortikosteroid. Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas
dan DM. Evakuasi cairan dapat diulang jika diperlukan.
1) Evaluasi klinis
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan. Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek
samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi klinis meliputi
keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis6.
2) Evaluasi bakteriologi
Evaluasi bakteriologi (0-2-6/9 bulan pengobatan). Tujuan untuk
mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan dan evaluasi
pemeriksaan mikroskopis sebelum pengobatan dimulai, setelah 2 bulan
pengobatan (setelah fase intensif) dan pada akhir pengobatan. Bila ada fasiliti
biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi6.
3) Evaluasi radiologis
Evaluasi radiologis (0-2-6/9 bulan pengobatan). Pemeriksaan dan
evaluasi foto toraks dilakukan pada saat sebelum pengobatan, setelah 2 bulan
pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan
dapat dilakukan 1 bulan pengobatan) dan pada akhir pengobatan6.
5) Kriteria sembuh6:
a) BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase itensif dan
akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang
adekuat.
b) Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap
sama/perbaikan.
c) Bila ada fasilitas biakan, maka criteria ditambah biakan
negatif.
6) Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi
minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak
dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3, 6, 12, dan 24 bulan (sesuai
indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6,
12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh)6.
I.11 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara :
1) Terapi pencegahan.
2) Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah
penularan
Terapi pencegahan4:
Kemoprofilaksis diberikan kepada pasien HIV atau AIDS. Obat yang
digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5
mg/kgBB (tidak lebih dari 300 mg) sehari selama minimal 6 bulan.
I.12 Penyuluhan
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting,
penyuluhan dapat dilakukan secara6:
1) Perorangan/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat
dilakukan di unit rawat jalan, di apotik saat mengambil obat dan lain-
lain.
2) Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien,
kelompok keluarga pasien, masyarakat pengunjung rumah sakit, dan lain-
lain.
Cara memberikan penyuluhan :
a) Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada.
b) Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui
tingkat penerimaannyasebagai bahan untuk penatalaksanaan
selanjutnya.
c) Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal
yang belum jelasd.
d) Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah
dimengerti, kalau perludengan alat peraga (brosur, leaflet dan
lain-lain)
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien mengeluh sesak napas sejak 1 minggu yang lalu.
Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang mengalami keluhan atau penyakit serupa dengan pasien
ada yaitu istri pasien. Istri pasien sudah terdiagnosis dengan TB paru dengan BTA
positif.
Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal pasien
Leher
Tekanan vena jugularis (JVP) : 5 – 2 cmH2O
Kelenjar Tiroid : Tidak teraba pembesaran
Kelenjar Limfe : Tidak teraba pembesaran
Kelenjar Getah Bening Submandibula, Leher, Supraklavikula, Ketiak dan Paha
tidak ada pembesaran.
Thorax
Paru-Paru
Inspeksi : simetris hemitorak kanan-kiri, depan-belakang saat statis dan
dinamis, dan tidak ada kelainan kulit
Palpasi : Tidak teraba adanya masa ataupun benjolan, tidak terdapat nyeri
tekan dan nyeri lepas, fremitus vokal dan taktil simetris kanan
dan kiri.
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru kiri-kanan, depan-belakang.
Peranjakan paru (+)
Auskultasi : Vesikuler +/+ (paru-paru depan-belakang), Ronkhi +/+ basah
kasar, Wheezing -/-,
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba.
Perkusi : Batas jantung kanan ICS V linea midclavicula dextra
Batas jantung kiri ICS VI line midclavicula sinistra
Batas pinggang jantung ICS III linea parasternal sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, tidak membuncit dan tidak ada luka
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Terdengar suara timpani di seluruh kuadran abdomen, Shifting
dullness (-), ketok CVA (-)
Palpasi : Nyeri tekan pada epigatrium
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2”, edema -/-.
C. Edukasi :
a. Penyakit yang diderita adalah penyakit TB paru yang menular dan bisa
sembuh dengan pengobatan yang teratur jangan sampai putus
berobat,dan tidak minum obat.
b. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang gejala-gejala pada
penyakit TB paru dan risiko penyulit yang mungkin terjadi
c. Menganjurkan pasien agar tidak merokok.
d. Menjelaskan kepada pasien agar tekun meminum obat dan rutin
memerikasan dirinya di puskesmas Tanjung Paku, meskipun pasien
sudah merasa sehat.
e. Menganjurkan pasien mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan
untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul A, et all. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007.
2. American Thorachic Society. Diagnostic Standards and Classification of
Tuberculosis in Adults and Children. Am J Respir Crit Care Med vol 161.
2000; p:1376–1395.
3. Amin Z dan Asril B. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi IV. Hal 988-992. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.
4. Isselbacher, Braunwald, Wilson et all. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Volume 2. Edisi 13. Hal 799-808. Jakarta: EGC, 1999.
5. Mansjoer A, et all. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid I. Hal 472-476.
Jakarta: Media Aesculapius, 2001.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan
Pentalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika, 2006.
7. Perhimpunan Doter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Tuberkulosis Paru.
Panduan Pelayanan Medik. Hal 109-111. Jakarta: BP PAPDI,2009.
8. Sastroasmoro N, et all. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: RSUP Nasional DR. Cipto Mangunkusumo,2007.
9. Sylvia A, Loraine M. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Volume 2. Edisi 6. Hal 852-860. Jakarta: EGC, 2005.