Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

EFUSI PLEURA DEXTRA ET CAUSA

SUSPECT KEGANASAN

Penyusun :

Sofara Rezanti, dr.

Pembimbing:

F. Broto S, dr. Sp.PD

Pendamping :

Utariyah Budiastuti, dr.

PROGRAM DOKTER INTERNSIP

RSUD BATANG

2016

1
BORANG PORTOFOLIO

Nama Peserta : Sofara Rezanti, dr.


Nama Wahana : RSUD Batang
Topik : EFUSI PLEURA DEXTRA ET CAUSA SUSPECT KEGANASAN

Tanggal Kasus :
NamaPasien : No RM : 319388
TanggalPresentasi: Nama Pendamping : Utariyah Budiastuti, dr.

TempatPresentasi : RSUD Batang


Obyektif Presentasi :
Keilmuan Ketrampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi :
Tujuan : diagnosis, manajemen, prevensi
Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara Pembahasan Diskusi Presentasi dan Email Pos
: diskusi

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS

Nama : Ny. S

2
Umur : 78 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jrakah payung, Tulis, Batang

No. CM : 350530

Tanggal Masuk : 19 Mei 2016

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 19 Mei 2016 pukul 07.00 WIB di ruang
Melati dan didukung dengan catatan medis

Keluhan Utama : Sesak nafas


Keluhan Tambahan : Nyeri dada kanan, berat badan menurun drastis.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD BATANG dengan keluhan sesak dan sudah
membawa hasil rontgen thorax, sebelumnya 1 minggu yang lalu pasien sudah
memeriksakan dirinya ke poli penyakit dalam dan disarankan mondok tetapi
pasien menolak dan ingin menunggu hasil rontgen saja, keluhan sesak
memberat dan pasien membawa dirinya ke IGD RSUD BATANG.
Keluhan Sesak sudah dirasakan sekitar 4 bulan sebelum masuk rumah
sakit dan memberat dalam 1 bulan terakhir ini, sesak dirasakan terus menerus
tidak dipengaruhi aktivitas, berkurang sedikit jika dalam posisi berbaring
setengah duduk, pasien juga mengeluhkan dada sebelah kanan berat, terasa
nyeri dan panas hingga ke punggung, nafsu makan pasien menurun tanpa
sebab. Menurut pasien berat badannya menurun drastis sekitar 15 kg dalam
jangka waktu 2 bulan terakhir. Pasien juga mengeluhkan batuk, tidak
berdahak, tidak ada darah, dirasakan terus menerus sepanjang hari sejak 1
minggu terakhir. Keluhan keringat dingin tiba-tiba pada malam hari, dan
demam > 1bln disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu :

3
Riwayat penyakit yang sama :
disangkal
Riwayat Hipertensi : diakui sejak berumur 60 th tidak
terkontrol
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Penyakit Paru : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada keluarga yang mempunyai penyakit serupa.

Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Biaya pengobatan ditanggung
JAMKESDA.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal 20 Mei 2016 pukul 07.00 WIB.
Keadaan umum : tampak sakit sedang, composmentis.
Tanda vital :
Tekanan darah : 140/100 mmHg
HR (Nadi) : 70 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
RR (Laju Nafas) : 24 x/menit, reguler
Suhu : 36,6oC (axilla)
Status Internus
Kepala : mesocephale
Rambut : hitam
Mata : sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-)
Hidung : simetris, sekret -/-
Telinga : discharge -/-
Mulut : bibir pucat (-), sariawan (-)

4
Tenggorokan : faring hiperemis (-)
Leher : perbesaran KGB (-)
Thoraks :
o Jantung
Inspeksi : Tidak tampak ictus cordis
Pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal (-)

Palpasi : Tidak teraba ictus cordis

Perkusi : Batas jantung

Kanan atas : ICS II Linea sternalis dextra

Kiri atas : ICS II Linea parasternalis sinistra

Kanan bawah : ICS V Linea sternalis dextra

Kiri bawah : ICS V 2 jari lateral Linea mid


klavikula sinistra

Auskultasi : Murmur (-) Gallop (-)


o Paru - paru
Inspeksi : Dinding dada tampak simetris, tampak
ketinggalan gerak antara hemithoraks dextra dibandingkan
dengan sinistra, kelainan bentuk dada (-), retraksi interkostalis
(-)
Palpasi : Vokal fremitus lobus superior dan inferior kanan
menurun dibandingkan kiri
Perkusi : redup pada paru kanan, sonor pada paru
kiri
Auskultasi : suara napas vesikuler menurun di lapang
paru kanan, rhonki +/-, wheezing -/-

Abdomen

5
Inspeksi : tampak datar, spider nevi (-), sikatrik
(-), striae (-)
Auskultasi: bising usus (+) normal
Perkusi : pekak sisi (+) normal, pekak alih (-),
timpani di semua kuadran
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar tidak
teraba, lien tidak teraba, turgor kembali cepat
Ekstremitas :
Superior Inferior
Ikterik -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Oedem -/- -/-

6
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium

7
Pemeriksaan 16/5/16 19/4/16 27/4/16 Nilai 2. P
rujukan e
Leukosit 7.09 8.50 8.09 4.5 11.50
Eritrosit H 5.95 L 4.03 L 3.80 4.10 5.10 m
Hemoglobin H 17.2 L 11.8 L 11.1 12 16 e
Hematokrit H 48.9 L 33.5 L 32.2 36.0 46.0
r
MCV 82.3 84.2 84.5 78 102
MCH 28.9 29.3 29.2 25.0 35.0 i
MCHC 35.2 35.2 34.6 31.0 37.0 k
Trombosit 210 221 284 150 450
Neutrofil 70.0 H 76.0 42 74 s
Limfosit 21.6 L 14.2 17 45 a
Monosit 8.0 H 9.4 2.0 8.0
a
Eosinofil 0.1 0.2 0.0 5.0
Basofil 0.3 0.2 01 n
Limfosit Absolut 1.53 1.21 0.9 5.20

Glukosa Sewaktu 97 103 70 140

Albumin 4.3 3.8 3.8 5.1


SGOT 29.0 22.0 < 31
SGPT 18.0 14.0 < 32
Cholesterol LDL 100 < 150

Cholesterol HDL L 25 45 65

Cholesterol Total 141 < 220


Trigliserida 81.0 < 150
Ureum 35.6 24.0 10.0 50.0
Creatinin 0.77 H 1.04
HbsAg Negatif
Anti Hbs Negatif
BTA Sewaktu Negatif
BTA Pagi Negatif
BTA Sewaktu (2) Negatif

< 40 Selain
ADA Test 27.8 TB
> 40 TB
Sitologi non ginekologi

Hasil pemeriksaan
Bahan : Cairan pleura
Diagnosa klinis : efusi pleura

8
Makroskopis : Cairan sebanyak 5 cc, berwarna merah, keruh.
Dicentrifuge, dibuat 3 preparat, 2 preparat dipulas papanicolaou dan 1
preparat dipulas giemsa
Mikroskopik : sediaan sitologi menunjukan kelompok-kelompok sebagian
besar tersebar sel-sel mesotel. Sel-sel mesotel berukuran sedang relatif
monomorf, bulat dan oval, sitoplasma sebagian bervakuola sedang sampai
besar, inti bulat dan oval, kromatin halus, limfosit banyak tersebar,
makrofag sedikit. Latar belakang banyak eritrosit tersebar merata
Tidakditemukan sel ganas.
Kesimpulan : tidak ditemukan sel ganas. Pendapat : Radang Kronis

3. FOTO THORAX

16/5/16 Corakan
bronkovisuker
normal
Tampak
perselubungan
hemithorax dextra
Sinus dan
diaphragma dextra
mengabur cor CTR
tdk dapat diukur
KESAN
TB paru dextra aktif
Efusi pleura dextra

10
20/5/201 Corakan
6 bronkovisuker
pulmo menetap
Efusi pleura dextra
berkurang

KESAN

Membaik

23/5/16 Corakan
bronkovisuker
pulmo menetap
Efusi pleura dextra
berkurang

KESAN

Membaik

12
30/5/16 Corakan
bronkovaskuler
pulmo menetap
Perselubungan
pulmo dextra
menebal dan
meluas
KESAN
Gambaran radiologis
jelek

31/5/16 Corakan
bronkovaskuler
pulmo menetap
Perselubungan
pulmo dextra
menipis
KESAN
Gambaran
radiologi relatif
lebih baik

E. DIAGNOSA
Diagnosa Utama :
EFUSI PLEURA DEXTRA ET CAUSA SUSPEK KEGANASAN
Diagnosa Tambahan : Hipertensi Grade II

14
F. INITIAL PLAN
a. IP Dx
Usia Tua
Sesak terus menerus tidak dipengaruhi aktivitas
Dada kanan terasa panas dan berat
Nyeri dada kanan menjalar hingga pungung
Berat badan berkurang dalam 4 bulan terakhir tanpa sebab
yang jelas
Nafsu Makan menurun
Ketertinggalan Gerak hemithorax dextra
Stemfremitus melemah pada hemithorax dextra
Suara vesikuler melemah pada pulmo dextra
Perkusi Pekak
Foto thorax : efusi pleura dextra
BTA (-)
ADA test (-)
Sitologi paru : Radang Kronis

b. IP Tx
1. Inf. Asering 15 tpm

2. Inj. Pantoprazole 2 x 40 mg

3. Inj. Cefrtriaxone 2 x 1 gr

4. Inj ketorolak 3 x 10 mg

5. Salbutamol 3 x 2 mg

6. Curcuma 3 x 1

7. Proneuron 3 x 1

8. Amlodipin 1 x 10 mg

16
9. Codein 3 x 10 mg

10. Candesartan 1 x 16 mg

c. IP Mx
1. Kesadaran
2. Keadaan Umum
3. Tanda - tanda vital (TD, Nadi, RR, suhu)
4. Sesak
5. Cairan Efusi
6. Tanda-tanda metastasis

G. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam

Quo ad sanam : dubia ad malam

Quo ad fungsionam : dubia ad malam

18
H. FOLLOW UP
Perawatan Hari II Perawatan Hari VI Perawatan Hari XIII Perawatan Hari XX Perawatan Hari XXII
(20/05/16) (24/05/16) (31/05/16) (7/06/2016) (9/06/2016)
Sesak (+) Sesak (+) Sesak (+) Sesak (+) Sesak (+)
Batuk (+) Batuk (+) Batuk (+) Batuk (+) Batuk (+)
Nyeri dada (+) Nyeri dada (+) Nyeri dada (-) Nyeri dada (-) Nyeri dada (-)
Demam (-) Demam (-) Demam (-) Demam (-) Demam (-)
Mual/Muntah (-) Mual/Muntah (-) Mual/Muntah (-) Mual/Muntah (-) Mual/Muntah (-)
Makan/minum sedikit Makan/minum sedikit Makan/minum sedikit Makan/minum dbn Makan/minum sedikit
Bab/Bak dbn Bab/Bak dbn Bab/Bak dbn Bab/Bak dbn Bab/Bak dbn
Sadar GCS 15, lemah Sadar GCS 15, lemah Sadar GCS 15, lemah Apatis, GCS 15, baik Apatis, GCS 15, baik
TD : 140/100 mmHg TD : 140/90 mmHg TD : 130/80 mmHg TD : 150/80 mmHg TD : 100/60 mmHg
HR : 70x/ HR : 82x/ HR : 76x/ HR : 86x/ HR : 126x/
RR : 24x/ RR : 24x/ RR : 24x/ RR : 24x/ RR : 24x/
t : 36,6 C (peraxiler) t : 36,4 C (peraxiler) t : 36,2 C (peraxiler) t : 36,6 C (peraxiler) t : 36,6 C (peraxiler)
Thorax : simetris, hemithoraax Thorax : simetris, hemithoraax Thorax : simetris, Thorax : simetris, hemithoraax Thorax : simetris,
dextra tertinggal, retraksi (-) dextra tertinggal, retraksi (-) hemithoraax dextra dextra tertinggal, retraksi (-) hemithoraax dextra
o Pulmo : vesiculer, ronki(+/-), o Pulmo : vesiculer, ronki(+/-), tertinggal, retraksi (-) o Pulmo : vesiculer, tertinggal, retraksi (-)
wheezing(-/-) wheezing(-/-) o Pulmo : vesiculer, ronki(+/-), wheezing(-/-) o Pulmo : vesiculer,
o Cor : BJ I-II reg, bising(-) o Cor : BJ I-II reg, bising(-) ronki(+/-), o Cor : BJ I-II reg, bising(-) ronki(+/-),
Abd : datar, supel, bu+dbn, nyeri Abd : datar, supel, bu+dbn, wheezing(-/-) Abd : datar, supel, bu+dbn, wheezing(-/-)
tekan (-) nyeri tekan (-) o Cor : BJ I-II reg, nyeri tekan (-) o Cor : BJ I-II reg,
Ekst : akral dingin (-), oedem (-) Ekst : akral dingin (-), oedem (-) bising(-) Ekst : akral dingin (-), oedem bising(-)
Drainase 700 cc ( 400 cc/hari) Abd : datar, supel, (-) Abd : datar, supel,
berwarna merah, keruh bu+dbn, nyeri tekan (-) Drainase 300 cc ( 200 cc/hari) bu+dbn, nyeri tekan (-)
Ekst : akral dingin (-), berwarna kuning, keruh Ekst : akral dingin (-),
oedem (-) oedem (-)
Drainase 400 cc ( 300 Drainase 200 cc ( 150
cc/hari) berwarna cc/hari) berwarna
merah, keruh kuning, keruh
02 3l/mnt 02 3l/mnt 02 3l/mnt 02 3l/mnt 02 3l/mnt
Inf.asering 15 tpm Inf.asering 15 tpm Inf.asering 15 tpm Inf.asering 15 tpm Inf.asering 15 tpm
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 j Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 j Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 j Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 j Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 j
Inj. Pantoprazole 40 mg/12 j Inj. Pantoprazole 40 mg/12 j Inj. Pantoprazole 40 Inj. Pantoprazole 40 mg/12 j Inj. Pantoprazole 40

19
Salbutamol 3 x 2 mg Inj. Ketorolac 30 mg/8j mg/12 j Inj. Ketorolac 30 mg/8j mg/12 j
Amlodipin 1 x 10 mg Salbutamol 3 x 2 mg Inj. Ketorolac 30 mg/8j Salbutamol 3 x 2 mg Inj. Ketorolac 30 mg/8j
Curcuma 3 x 1 Amlodipin 1 x 10 mg Salbutamol 3 x 2 mg Amlodipin 1 x 10 mg Salbutamol 3 x 2 mg
Codein 3 x 10 mg Curcuma 3 x 1 Amlodipin 1 x 10 mg Curcuma 3 x 1 Amlodipin 1 x 10 mg
Pro WSD Codein 3 x 10 mg Curcuma 3 x 1 Codein 3 x 10 mg Curcuma 3 x 1
Proneuron 3 x 1 Codein 3 x 10 mg Proneuron 3 x 1 Codein 3 x 10 mg
Proneuron 3 x 1 Proneuron 3 x 1

20
TINJAUAN PUSTAKA

1 ANATOMI FISIOLOGI PLEURA


Pleura adalah membran serosa yang licin, mengkilat, tipis dan transparan. Membran ini
membungkus jaringan paru. Pleura terdiri dari 2 lapis:

1 Pleura viseralis: terletak disebelah dalam, yang melekat pada permukaan paru.
2 Pleura parietalis: terletak disebelah luar, yang berhubungan dengan dinding dada.

Pleura parietalis dan viseralis terdiri atas selapis mesotel (yang memproduksi cairan),
membran basalis, jaringan elastik dan kolagen, pembuluh darah dan limfe.

Membran pleura bersifat semipermiabel. Sejumlah cairan terus menerus merembes


keluar dari pembuluh darah yang melalui pleura parietal. Cairan ini diserap oleh
pembuluh darah pleura viseralis, dialirkan ke pembuluh limfe dan kembali kedarah.

21
Rongga pleura adalah rongga potensial, mempunyai ukuran tebal 10-20 mm, berisi
sekitar 10 cc cairan jernih yang tidak bewarna, mengandung protein < 1,5 gr/dl
dan 1.500 sel/ml. Sel cairan pleura didominasi oleh monosit, sejumlah kecil limfosit,
makrofag dan sel mesotel. Sel polimormonuklear dan sel darah merah dijumpai dalam
jumlah yang sangat kecil didalam cairan pleura. Keluar dan masuknya cairan dari dan ke
pleura harus berjalan seimbang agar nilai normal cairan pleura dapat dipertahankan

Pleura terbentuk dari dua membran serosa, yakni pleura visceral yang melapisi paru
serta pleura parietal yang melapisi dinding toraks bagian dalam. Pada hakikatnya kedua
lapis membran ini saling bersambungan di dekat hilus, yang secara anatomis disebut
sebagai refleksi pleura. Pleura visceral dan parietal saling bersinggungan setiap kali
manuver pernapasan dilakukan, sehingga dibutuhkan suatu kemampuan yang dinamis
dari rongga pleura untuk saling bergeser secara halus dan lancar. Ditinjau dari permukaan
yang bersinggungan dengannya, pleura visceral terbagi menjadi empat bagian, yakni
bagian kostal, diafragama, mediastinal, dan servikal.
Terdapat faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kontak antarmembran maupun
yang mendukung pemisahan antarmembran. Faktor yang mendukung kontak
antarmembran adalah: (1) tekanan atmosfer di luar dinding dada dan (2) tekanan atmosfer
di dalam alveolus (yang terhubung dengan dunia luar melalui saluran napas). Sementara
itu faktor yang mendukung terjadi pemisahan antarmembran adalah: (1) elastisitas
dinding toraks serta (2) elastisitas paru. Pleura parietal memiliki persarafan, sehingga
iritasi terhadap membran ini dapat mengakibatkan rasa alih yang timbul di regio dinding
torako-abdominal (melalui n. interkostalis) serta nyeri alih daerah bahu (melalui n.
frenikus).

22
Gambar 1 Anatomi Pleura Pada Paru Normal (Kanan) dan Paru yang Kolaps (Kiri)
Antara kedua lapis membran serosa pleura terdapat rongga potensial, yang terisi oleh
sedikit cairan yakni cairan pleura. Rongga pleura mengandung cairan kira-kira sebanyak
0,3 ml kg-1 dengan kandungan protein yang juga rendah (sekitar 1 g dl -1). Secara umum,
kapiler di pleura parietal menghasilkan cairan ke dalam rongga pleura sebanyak 0,01 ml
kg-1 jam-1. Drainase cairan pleura juga ke arah pleura parietal melalui saluran limfatik
yang mampu mendrainase cairan sebanyak 0,20 ml kg -1 jam-1. Dengan demikian rongga
pleura memiliki faktor keamanan 20, yang artinya peningkatan produksi cairan hingga 20
kali baru akan menyebabkan kegagalan aliran balik yang menimbulkan penimbunan
cairan pleura di rongga pleura sehingga muncul efusi pleura.

Gambar 2 Desain Morfofungsional Rongga Pleura


23
(s.c : kapiler sistemik; p.c : kapiler pulmoner)

Gambar 2 adalah bentuk kompartmen pleuropulmoner yang tersimplifikasi. Terdapat


lima kompartmen, yakni mikrosirkulasi sistemik parietal, ruang interstisial parietal,
rongga pleura, intestisium paru, dan mikrosirkulasi visceral. Membran yang memisahkan
adalah kapiler endotelium, serta mesotel parietal dan visceral. Terdapat saluran limfatik
yang selain menampung kelebihan dari interstisial juga menampung keleibhan dari
rongga pleura (terdapat bukaan dari saluran limfatik pleura parietal ke rongga pleura yang
disebut sebagai stomata limfatik. Kepdatan stomata limfatik tergantung dari regio
anatomis pleura parietal itu sendiri. Sebagai contoh terdapat 100 stomata cm -2 di pleura
parietal interkostal, sedangkan terdapat 8.000 stomata cm-2 di daerah diafragma. Ukuran
stomata juga bervariasi dengan rerata 1 m (variasi antara 1 40 m)4.

Sama seperti proses transudasi cairan pada kapiler, berlaku pula hukum Starling untuk
menggambarkan aliran transudasi (Jv) antara dua kompartmen. Hukum ini secara
matematis dinyatakan sebagai berikut :

Jv = Kf [(PH1 PH2) - (1 - 2)]

Kf merupakan koefisien filtrasi (yang tergantung kepada ukuran pori membran


pemisah antara dua kompartmen), PH dan berturut-turut adalah tekanan hidrostatik dan
koloidosmotik, serta merupakan koefisien refleksi (=1 menggambarkan radius dari zat
terlarut lebih besar dari pori sehingga zat terlarut tak akan mampu melewati pori,
sebaliknya =0 menggambarkan seluruh zat terlarut lebih kecil ukurannya dari pori yang
mengakibatkan aliran zat terlarut dapat berlangsung secara bebas).

24
Gambar 3 Gambar (a) merupakan hipotesis Neggard (1927) yang menggambarkan
hipotesis tentang pembentukan serta drainase cairan pleura. Hipotesis ini terlalu
sederhana karena mengabaikan keberadan interstisial dan limfatik pleura; sedangkan (b)
merupakan teori yang saat ini diterima berdasarkan percobaan terhadap kelinci.

Filtrasi cairan pleura terjadi di plura parietal (bagian mikrokapiler sistemik) ke rongga
interstitium ekstrapleura. Gradien tekanan yang kecil mendorong cairan ini ke rongga
pleura. Nilai antara intersitisium parietal dengan rongga pleura relatif kecil (=0,3),
sehingga pergerakan protein terhambat dan akibatnya kandungan protein cairan pleura
relatif rendah (1 g dl-1) dibandingkan dengan interstisium parietal (2,5 g dl-1).

Sementara itu drainase cairan pleura sebagian besar tidak melalui pleura visceral
(sebagaimana yang dihipotesiskan oleh Neggard), sehingga pada sebagian besar keadaan
rongga pleura dan interstisium pulmoner merupakan dua rongga yang secara fungsional
terpisah dan tidak saling berhubungan. Pada manusia pleura visceral lebih tebal
dibandingkan pleura parietal, sehingga permeabilitas terhadap air dan zat terlarutnya
relatif rendah. Saluran limfatik pleura parietal dapat menghasilkan tekanan subatmosferik
-10 cmH2O.

2 DEFINISI
25
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam
kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa cairan transudat
atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya mengandung cairan
sebanyak 10-20 ml.

Cairan pleura terakumulasi jika pembentukan cairan pleura melampauai absoprsi


(drainase) yang mampu dilakukan oleh limfatik. Selain daripada mekanisme yang telah
dijelaskan di atas, cairan pleura dapat pula dibentuk dari pleura visceral atau rongga
peritoneum (melalui lubang kecil di diafragma). Dengan demikian efusi dapat terjadi
apabila terjadi kelebihan produksi (berasal dari interstisial paru atau pleura visceral,
pleura parietal, dan rongga peritoneal) serta kegagalan absoprsi (akibat obstruksi
limfatik).
Pendekatan diagnostik pada efusi pleura melibatkan pengukuran parameter cairan
pleura serta keadaan sistemik. Efusi perlu dibedakan antara transudat (yang umumnya
terjadi akibat faktor sistemik) dan eksudat (akibat faktor lokal). Transudat dan eksudat
dapat dibedakan dengan mengukur LDH dan protein, sehingga dapat disimpulkan bahwa
eksudat dicirikan dengan :

1. Rasio protein cairan pleura/serum > 0,5


2. Rasio LDH cairan pleura/serum >0,6
3. LDH cairan pleura lebih dari 2/3 batas atas LDH serum
Perlu pula dilakukan pengukuran gradien protein antara serum dengan pleura, yang
mana gradien yang lebih dari 3,1 g/dL menggambarkan jenis transudat. Temuan
karakteristik eksudat membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut, seperti kadar glukos,
hitung jenis, studi mikrobiologis, dan sitologi.
Gambar 5 menggambarkan alur diagnosis efusi pleura menggunakan algoritma
pemeriksaan tertentu. Sebagai contoh, cairan dengan kecenderungan transudat
memerlukan kecurigaan ke arah:
1. Gagal jantung kiri (kongestif), sebab terjadi kongesti cairan di paru akibat kegagalan
pompa jantung mengakibatkan peningkatan tekanan vaskular paru. NT-proBNP
>1500 pg/mL mengonfirmasi efusi pleura akibat gagal jantung kongestif.
2. Hidrotoraks hepatik, akibat sirosis dan ascites.
3. Emboli paru
4. Sindroma nefrotik
5. Dialisis peritonela
6. Obsgtruksi sindroma kava superior
7. Miksedema

26
Efusi akibat tuberkulosis sering disebut pleuritis tuberkulosis. Pleuritis tuberkulosis
dikaitkan dengan eksudat yang dominan limfositnya (dapat >90% sel darah putih), serta
marker TB yang sangat meningkat di cairan pleura (yakni adenosin deaminase/ADA> 40
IU/L atau interferon gamma lebih dari 140 pg/mL). Cairan pleura dapat pula dikultur,
biopsi jarum pleura, atau torakoskopi. Efusi yang banyak mengandung sel darah merah
menggambarkan keganasan, trauma, atau emboli paru.
Efusi parapneumonik dikaitkan dengan pneumonia, abses paru, atau bronkiektasis.
Terdapat pula istilah empiema yang menggambarkan efusi purulen yang masif.

3 ETIOLOGI
Ada banyak macam penyebab terjadinya pengumpulan cairan pleura. Tahap yang
pertama adalah menentukan apakah pasien menderita efusi pleura jenis transudat atau
eksudat. Efusi pleura transudatif terjadi jika faktor sistemik yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura
eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan
cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan
eksudatif melalui pengukuran kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam
cairan pleura. Efusi pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria
berikut ini, sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga kriteria
ini :

1. Protein cairan pleura / protein serum > 0,5

2. LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6

3. LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang normal di
dalam serum.

Tabel 1. Perbedaan Cairan Transudat-Eksudat Pada Efusi Pleura

27
Efusi pleura berupa:

a Eksudat,
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang permeabelnya
abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudat. Terjadinya
perubahan permeabilitas membrane adalah karena adanya peradangan pada pleura. Protein
yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan
aliran protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan
peningkatan konsentrasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat. Efusi pleura
eksudat dapat disebabkan oleh :

1. Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus coxsackie, Rickettsia, Chlamydia. Cairan
efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-6000/cc. Gejala penyakit dapat
dengan keluhan sakit kepala, demam, malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala
perikarditis. Diagnosa dapat dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi terhadap virus
dalam cairan efusi.

2. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yang
berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara hematogen. Bakteri penyebab
dapat merupakan bakteri aerob maupun anaerob (Streptococcus paeumonie,
Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes,
Fusobakterium, dan lain-lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika
ampicillin dan metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari
rongga pleura.

3. Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus, Kriptococcus, dll. Efusi


timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat terhadap organisme fungi.

4. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi melalui focus
subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat juga secara hematogen dan
28
menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya
focus subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada
didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Efusi yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks dan jarang yang
masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris, penurunan berat badan,
dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.

5. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru, mammae,
kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral dengan ukuran jantung yang
tidak membesar. Keluhan yang paling banyak ditemukan adalah sesak dan nyeri dada.
Gejala lain adalah akumulasi cairannya kembali dengan cepat walaupun dilakukan
torakosintesis berkali-kali. Patofisiologi terjadinya efusi ini diduga karena :

Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi kebocoran
kapiler.
Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,
bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan aliran balik
sirkulasi.
Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif intra
pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang ditemukan berupa
eksudat dan kadar glukosa dalam cairan pleura tersebut mungkin menurun jika
beban tumor dalam cairan pleura cukup tinggi. Diagnosis dibuat melalui
pemeriksaan sitologik cairan pleura dan tindakan blopsi pleura yang menggunakan
jarum (needle biopsy).
6. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri, abses paru
atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai predominan sel-sel PMN dan
pada beberapa penderita cairannya berwarna purulen (empiema). Meskipun pada
beberapa kasus efusi parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun
drainage kadang diperlukan pada empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut
Light, terdapat 4 indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan
efusi parapneumonik:

Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura


Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura
Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl

29
Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah daripada nilai pH
bakteri
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik yang
mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam saja.

7. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid, Skleroderma

8. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi parapneumonik.

b). Transudat
Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid
osmotic menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi
reabsorpsi oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada: (1). Meningkatnya tekanan
kapiler sistemik, (2). Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner, (3) Menurunnya tekanan
koloid osmotic dalam pleura, (4) Menurunnya tekanan intra pleura. Efusi plura transudat
dapat terjadi pada :

1. Gangguan kardiovaskular

Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab lainnya adalah


perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior. Patogenesisnya adalah akibat
terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler dinding dada sehingga
terjadi peningkatan filtrasi pada pleura parietalis. Di samping itu peningkatan tekanan
kapiler pulmonal akan menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan
aliran getah bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongga
pleura dan paru-paru meningkat. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh
rongga dada dapat juga menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang agak sulit
menerangkan adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi pada sisi kanan. Terapi
ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya teratasi dengan istirahat,
digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga segera menghilang. Kadang-kadang torakosentesis
diperlukan juga bila penderita amat sesak.

2. Hipoalbuminemia

Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura dibandingkan
dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan bilateral dan cairan bersifat

30
transudat. Pengobatan adalah dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam.
Tapi pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.

3. Hidrothoraks hepatik

Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui lubang kecil yang
ada pada diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi biasanya di sisi kanan dan biasanya
cukup besar untuk menimbulkan dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak
dapat mengontrol asites dan efusi, tidak ada alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan
yang dapat dilakukan adalah pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous
shunt, torakotomi) dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau torakotomi
pipa dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.

4. Meigs Syndrom

Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita dengan tumor
ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan sindrom serupa : tumor
ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor ovarium ganas yang berderajat
rendah tanpa adanya metastasis. Asites timbul karena sekresi cairan yang banyak oleh
tumornya dimana efusi pleuranya terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura
melalui porus di diafragma. Klinisnya merupakan penyakit kronis.

5. Dialisis Peritoneal

Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi unilateral ataupun
bilateral. Perpindahan cairan dialisa dari rongga peritoneal ke rongga pleura terjadi
melalui celah diafragma. Hal ini terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura
dengan cairan dialisa.

Tabel 2. Penyebab Efusi Pleura Transudat-Eksudat

31
c). Darah

Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb pada
hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak yang baru
diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor koagulasi sudah
terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera
membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada.

4 PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura berfungsi
untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis yang saling bergerak karena
pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura
melalui kapiler pleura parietalis dan diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura parietalis
dengan kecepatan yang seimbang dengan kecepatan pembentukannya.

32
Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya kecepatan proses
pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan cairan secara patologik di dalam
rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya efusi pleura yaitu;

1). Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi kapiler

2). Penurunan tekanan kavum pleura

3). Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga pleura.

Gambar 1. Patofisiologi efusi pleura

Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh peradangan. Bila
proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga empiema/piotoraks.
Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemothoraks.
Proses terjadinya pneumothoraks karena pecahnya alveoli dekat parietalis sehingga udara
akan masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau
alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru.

33
Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan primer paru
seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum.
Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan. Perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis
paru dan pneumothoraks.

Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler
pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau
kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis
eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai
pleuritis eksudativa tuberkulosa .Penting untuk menggolongkan efusi pleura sebagai
transudatif atau eksudatif.

5 MANIFESTASI KLINIS
a Gejala dan Tanda.
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika paru
terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, berupa rasa penuh dalam
dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak, berupa nyeri dada
pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam,
menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril
(tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak. Berat badan menurun pada
neoplasma, ascites pada sirosis hepatis. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit
dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan

b Pemeriksaan Fisik.
Inspeksi. Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih cembung
Palpasi. Gerakan dada yang tertinggal dan penurunan fremitus vocal atau taktil
pada sisi yang sakit
Perkusi. Redup pada perkusi
Auskultasi. Penurunan bunyi napas
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi atelektasis
kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas bronkus. Nyeri dada
pada pleuritis : Simptom yang dominan adalah sakit yang tiba-tiba seperti ditikam dan
diperberat oleh bernafas dalam atau batuk. Pleura visceralis tidak sensitif, nyeri
dihasilkan dari pleura parietalis yang inflamasi dan mendapat persarafan dari
nervus intercostal. Nyeri biasanya dirasakan pada tempat-tempat terjadinya pleuritis, tapi
bisa menjalar ke daerah lain :

34
1. Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh G. Nervuis
intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada dan abdomen.

2. Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus phrenicus


menyebabkan nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.

Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan
akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan,
fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan
duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas
garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan
mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler
melemah dengan ronki. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.

c Pemeriksaan Penunjang

1 Foto thoraks
Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang terdapat dalam rongga
pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral
lebih tinggi dari pada bagian medial, tampak sudut kostrofrenikus menumpul. Pada
pemeriksaan foto dada posisi lateral dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi
gravitasi.

2 Torakosentesis.
35
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik maupun terapeutik.
Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian
bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan jarum abbocath nomor 14 atau 16.
Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi.
Untuk diagnosis cairan pleura dilakukan pemeriksaan:

a Warna cairan. Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (serous-


santrokom).Bila agak kemerahan-merahan, dapat terjadi trauma, infark paru,
keganasan dan adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kunig kehijauan dan agak
purulen, ini menunjukkan empiema. Bila merah coklat menunjukkan abses karena
amuba.
b Biokimia. Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat. Perbedaannya dapat dilihat
pada tabel :
Tabel 3. Perbedaan Biokimia Efusi Pleura

3 Sitologi.
Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis
atau dominasi sel-sel tertentu.
Sel neutrofil: pada infeksi akut
Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau limfoma maligna).
Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru
Sel mesotel maligna: pada mesotelioma
Sel giant: pada arthritis rheumatoid
36
Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik
Sel maligna: pada paru/metastase.
4 Bakteriologi.
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung mikroorganisme
berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering Pneumokokus, E.coli, klebsiela,
pseudomonas, enterobacter.

5 Biopsi Pleura.
Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan tumor pleura.
Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi atau tumor
pada dinding dada.

6 DIAGNOSA
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan fisik yang teliti,
diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi dan analisa cairan pleura.

Penyebab Tampilan Hitung Eritrosit pH Glukosa Keterangan


37
jenis
leukosit
Keganasan Turbid 1-10.000 <100.000 Normal Normal Pemeriksaan
hingga limfosit hingga hingga sitologi
berdarah
Tuberkulosis Serosang 5-10.000 <10.000 Normal Normal Pemeriksaan
(campuran limfosit sampai sampai marker TB
darah dan ADA: >70
cairan IU/L TB,
serosa) jika<40 IU/L
bukan TB.
Pewarnaan
BTA: 0-10%
dengan
pewarnaan
TB
kultur dan
resistensi

Diagnosis efusi pleura ganas dengan mudah dan cepat dapat ditegakkan
hanya dengan prosedur diagnosa dan alat bantu diagnostik yang sederhana,
misalnya berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisis, foto toraks dan torakosentesis
saja. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dalam alur diagnosa dan
penatalaksanaannya menuliskan langkah awal yang paling penting untuk diagnosis
efusi pleura ganas adalah memastikan apakah cairan bersifat eksudat dan/atau
menemukan tumor primer di paru atau organ lain. Selain itu disingkirkan juga
penyebab lain misalnya pleuritis akibat infeksi bakteri atau penyakit nonkeganasan
lain.
Kebanyakan kasus efusi pleura ganas simptomatis meskipun sekitar 15%
datang tanpa gejala, terutama pasien dengan volume cairan kurang dari 500 ml.
Sesak napas adalah gejala tersering pada kasus efusi pleura ganas terutama jika
volume cairan sangat banyak. Sesak napas terjadi karena refleks neurogenik paru
dan dinding dada karena penurunan keteregangan (compliance) paru, penurunan
volume paru ipsilateral, pendorongan mediastinum ke arah kontralateral dan
penekanan diafragma ipsilateral. Estenne dkk menyimpulkan bahwa meskipun
terjadi perubahan fungsi paru pada penderita efusi pleura ganas misalnya perubahan

38
volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) tetapi perubahan itu saja belum
memadai untuk dapat menjelaskan mekanisme sesak. Mereka membuat hipotesis
lain yaitu sesak napas terjadi karena berkurangnya kemampuan meregang otot
inspirasi akibat terjadi restriksi toraks oleh cairan. Gejala lain adalah nyeri dada
sebagai akibat reaksi inflamasi pada pleura parietal terutama pada mesotelioma,
batuk, batuk darah (pada karsinoma bronkogenik), anoreksia dan berat badan turun.
Kelainan jasmani pada pemeriksaan jasmani timbul pada efusi pleura yang
mencapai volume 300 ml. Kelainan tersebut meliputi penurunan suara nafas yang
ditandai dengan perkusi redup, penurunan fremitus raba, pleural friction rub dan
pergeseran batas mediastinum kearah kontralateral efusi.
Foto toraks posteroanterior (PA) dibutuhkan untuk menyokong dugaan efusi
pleura pada pemeriksaan fisik dan jika volume cairan tidak terlalu banyak
dibutuhkan foto toraks lateral untuk menentukan lokasi cairan secara lebih tepat.
USG toraks sangat membantu untuk memastikan cairan dan sekaligus memberikan
penanda (marker) lokasi untuk torakosintesis dan biopsi pleura. Pada efusi pleura
ganas dengan volume cairan sedikit dan tidak terlihat pada foto toraks dapat
dideteksi dengan CT-scan toraks. Magnetic resonance imaging (MRI) tidak terlalu
dibutuhkan kecuali untuk evaluasi keterlibatan dinding dada atau ekstensi

39
transdiafragmatic pada kasus mesotelioma dan prediksi untuk pembedahan.

7 PENATALAKSANAAN

40
1 Terapi penyakit dasarnya (Antibiotika).
2 Terapi Paliatif (Efusi pleura haemorhagic).
3 Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis, aspirasi juga
dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis dapat dilakukan sebagai berikut:

a Penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau diletakkan diatas
bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan pada penderita dalam
posisi tidur terlentang.
b Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di daerah
sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di bawah batas suara
sonor dan redup.
c Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan jarum
berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya disebabkan karena
penusukan jarum terlampaui rendah sehingga mengenai diafragma atau terlalu dalam
sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum tidak mencapai rongga pleura oleh
karena jaringan subkutis atau pleura parietalis tebal.

41
Gambar Metode torakosentesis
d Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap
aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang dari pada satu kali aspirasi
sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru akut.
Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme
sebenarnya belum diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan intra
pleura yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah melalui permeabilitas
kapiler yang abnormal. Selain itu pengambilan cairan dalam jumlah besar secara
mendadak menimbulkan reflex vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan
hipotensi.. Komplikasi torakosintesis adalah: pneumotoraks, hemotoraks, emboli
udara, dan laserasi pleura viseralis.
4 Pemasangan WSD.
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks dihubungkan
dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat dan aman.
Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut:
a Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9 linea aksilaris
media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea medioklavikuralis.
b Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar kurang
lebih 2 cm sampai subkutis.
c dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.
d Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai mendapatkan
pleura parietalis.
e Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian trokar ditarik.
Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang toraks.
f Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat dengan kasa
dan plester.
g Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang
dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang diletakkan
dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar udara dari luar tidak dapat
masuk ke dalam rongga pleura.

42
Gambar Pemasangan jarum WSD
h WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada selang,
kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang. Untuk memastikan
dilakukan foto toraks.
i Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan paru telah
mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.

5 Pleurodesis.
Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, merupakan penanganan
terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang digunakan adalah sitostatika seperti tiotepa,
bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil, adramisin, dan doksorubisin. Setelah cairan efusi
dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya, obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg) diberikan
selang waktu 7-10 hari; pemberian obat tidak perlu pemasangan WSD. Setelah 13 hari, jika
berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga pleura, sehingga
mencegah penimbunan kembali cairan dalam rongga tersebut.
Obat lain adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini WSD harus dipasang dan paru
dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan dalam 3050 ml larutan garam
faal, kemudian dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui selang toraks, ditambah dengan
larutan garam faal 1030 ml larutan garam faal untuk membilas selang, serta 10 ml lidokain
2% untuk mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan obat ini. Analgetik narkotik diberikan 11,5
jam sebelum pemberian tetrasiklin juga berguna mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang
toraks diklem selama 6 jam dan posisi penderita diubah-ubah agar penyebaran tetrasiklin
merata di seluruh bagian rongga pleura. Apabila dalam waktu 24 jam -48 jam cairan tidak

43
keluar, selang toraks dapat dicabut. Komplikasi tindakan pleurodesis adalah sedikit sekali dan
biasanya berupa nyeri pleuritik atau demam.

BAB III

PEMBAHASAN
I. Subyektif
Seorang wanita 78 tahun, datang dengan keluhan sesak dirasakan sekitar 4 bulan
sebelum masuk rumah sakit dan memberat dalam 1 bulan terakhir ini sesak dirasakan
terus menerus tidak dipengaruhi aktivitas dalam hal ini dapat disingkirkan sementara
penyebab dari sesak yang dialami bukan berasal dari sistem kardiovaskuler, perlu digali
lebih lanjut kemungkinan penyebab sesak berasal dari sistem pulmoner atau bukan.

44
Pasien juga mengeluhkan sesak berkurang sedikit jika dalam posisi berbaring
setengah duduk, hal tersebut memungkinkan dugaan adanya cairan dalam rongga dada
yang mengikuti arah gravitasi dari cairan dalam posisi setengah duduk. Sesak napas
terjadi karena refleks neurogenik paru dan dinding dada karena penurunan keteregangan
(compliance) paru, penurunan volume paru ipsilateral, pendorongan mediastinum ke arah
kontralateral dan penekanan diafragma ipsilateral.pasien juga mengeluhkan dada sebelah
kanan berat, terasa nyeri dan panas hingga ke punggung. Keluhan tersebut dimungkinkan
terjadi akibat adanya proses peradangan yang berlangsung sehingga timbul respon
inflamasi berupa calor dan dolor. Perlu digali lebih lanjut seberapa parah reaksi inflamasi
yang ada disana dan dilakukan pemerikssan penunjang lebih lanjut.
Pasien mengeluh berat badannya menurun drastis sekitar 15 kg dalam jangka waktu 2
bulan terakhir dan nafsu makan menurun tanpa sebab Hal tersebut mengarah pada
kemungkinan terjadinya penyakit kronis maupun keganasan. Penurunan berat badan bisa
terjadi karena asupan makanan yang berkurang karena adanya penurunan nafsu makan
dan juga dapat dipengaruhi oleh peningkatan metabolisme dalam tubuh maupun
malabsorpsi yang sering terjadi pada pasien keganasan. Maka dari itu perlu
dipertimbangkan lagi faktor resiko yang berpengaruh dalam penurunan berat badan ini.
Pada pasien ini usia pasien 78 tahun dimana terjadi degenarasi dari berbagai sel sehingga
memudahkan perkembangan dari sel cancer itu sendiri.
Pasien juga mengeluhkan batuk keluhan batuk pada pasien ini dimungkinkan terjadi
akibat reflek akibat adanya rangsangan dari pleura karena terdapat cairan, perlu digali lagi
apakah batuk yang terjadi pada pasien ini berhubungan secara langsung dengan cairan di
dada atau merupakan tanda dari penyakit kronis seperti pada pasien TB paru.

II. Obyektif
Keadaan umum pasien tampak kurus. Kesadaran kompos mentis. Tanda vital
150/100 termasuk dalam hipertensi stage II. Status BMI Underweight, pada pasien
dengan curiga keganasan atau penyakit kronis terdapat gejala penurunan nafsu makan,
seingga menyebabkan menurunnya asupan nutrisi. Pada pasien keganasan penurunan
berat badan dapat juga dipengaruhi dari peningkatan metabolisme tubuh dan
malabsopsi nutrisi dimana nutrisi yang seharusnya diserap oleh sel-sel normal tetapi
harus dibagi dengan sel cancer.
Pemeriksaan Thoraks didapatkan ketertinggalan gerak pada hemithorax dextra,
pelu difikirkan adanya massa/cairan/udara yang berada pada thorax. Pada
45
pemeriksaan vokal fremitus didapatkan pada hemithorax dextra melemah dimana
pada vokal fremitus yang melemah dimungkinkan adanya cairan baik berupa cairan
pleura ataupun darah yang menghalangi dari hantaran undara ke pemeriksa.
Didapatkan suara dasar vesikuler melemah, suara dasar vesikuler melemah
dimungkinkan adanya halangan pada hantaran udara paru yang dapat disebabkan
karena massa ataupun cairan diparu.
Untuk konfirmasi dugaan akan adanya efusi pleura maka mutlak diperlukan
pemeriksaan foto toraks (PA). ditemukan perselubungan yang menutupi gambaran paru
normal yang dimulai dari diafrag merupakan tanda jelas dari efusi pleura. Batas
perselubungan ini akan membentuk suatu kurva dengan permukaan daerah lateral lebih
tinggi dari bagian medial. Kelainan dapat unilateral atau bilateral tergantung dari etiologi
penyakitnya. Pada kasus ini telah dilakukan pemeriksaan foto thorak AP dan ditemukan
adanya perselubungan pada hemithorak dekstra dengan kesan efusi pleura kanan massif
Pemeriksaan Laboratorium didapatkan hasil BTA (-) dan ADA test <70 hal
tersebut dapat disimpulakan bahwa efusi pleura yang terjadi pada pasien ini bukan
dikarenakan TB paru. Tinggat akurasi dari pemeriksaan ADA test mencapai 92% yang
dapat menyingkirkan diagnosis banding efusi pleura ec TB. Dan pada pemeriksaan
sitologi caira pleura didapatkan kesan peradangan dan tidak ditemukan sel ganas.
Pada >25% kasus keganasan panu dari pemeriksaan sitologi cairan tidak ditemukan
sel ganas.

III. ASSESMENT

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka

pasien ini didiagnosis dengan Efusi pleura dekstra masif et causa suspek malignancy.

Diagnosis efusi pleura dekstra masif karena pada anamnesis pasien ditemukan

keluhan sesak yang berat, timbul mendadak dan terus menerus serta tidak membaik

dengan istirahat, ditemukan juga keluhan batuk dengan dahak yang sulit dikeluarkan.

Pada pemeriksaam fisik ditemukan asimetris dimana dada kanan tertinggal, vocal

fremitus serta suara vesikuler menurun pada sisi kanan, dan saat diperkusi ditemukan

46
dullness pada sisi kanan, serta pada pemeriksaan foto thorak ditemukan adanya efusi

pleura kanan massif.

Kausa suspek malignancy dipilih karena pada pasien ini setelah dilakukan

analisis cairan pleura ditemukan jenis cairan pleuranya berupa eksudat dengan warna

merah keruh serta jumlah sel yang banyak adalah sel mesotelial. Pemeriksaan ADA

test merupakan pemeriksaan untuk TB paru dengan sensitivitas mencapai 92% dimana

ada test memiliki hasil negatif. Maka kita dapan menyingkirkan diagnosis efusi pleura

ec tb paru. Berdasarkan faktor resiko pasien yaitu sudah berumur 78 th perlu kita

pikirkan kemungkinan adanya keganasan, dan penurunan berat badan yang begitu

drastis pada kurun waktu 2 bulan merupakan faktor predisposisi yang. mengarahkan

pada efusi pleura karena proses malignancy.

Pada pasien sudah terpasang WSD yang mana WSD ini merupakan suatu

sistem drainage yang menggunakan water seal untuk mengalirkan udara atau cairan

dari cavum pleura. Pada hassil wsd menunjukan jumlah cairan perhari 500 cc dan

masif terus menerus. Penatalaksanaan pasien tersebut sudah sesuai dengan indikasi

penyakitnya, baik penanganan dan terapi pada efusi pleura.

DAFTAR PUSTAKA

1. Halim, Hadi. 2007. Penyakit-penyakit Pleura. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Sudoyo AW, et al. Edisi 4, Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI; hal.
1056-60.

2. American Thoracic Society. Management of malignant pleural effusions. Am J Respir Crit


Care Med 2004; 162: 1987-2001.

3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Kanker paru (kanker paru karsino bukan sel kecil).
Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.;2001.

47
4. McGrath E. Diagnosis of Pleural Effusion: A Systematic Approach. American Journal of
Critical Care 2011; 20: 119-128.

5. Hanley, Michael E., Carolyn H. Welsh. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary
Medicine. 1st edition. McGraw-Hill Companies.USA:2003. E-book

6. Fauci, Longo, Kasper: Harrisons Priciples of internal medicine 17th Edition

7. Light R. Pleural Effusion. NEJM 2002; 346: 1971-77.

8. Medford A, Maskell N. Pleural Effusion. Postgrad Med Journal 2005; 81: 702-710.

48

Anda mungkin juga menyukai