Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


TUBERKULOSIS PARU DENGAN HEPATITIS IMBAS OBAT

Disusun Oleh:
Vika Damay
01073170073

Penguji:
dr. Titis Dewi Wahyuni, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE
RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE JANUARI – APRIL 2019
TANGERANG
BAB I
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 43 tahun
Status perkawinan : Menikah
Agama : Islam
No. Rekam medis : 84-68-89
Status pembayaran : BPJS 3

II. Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis pada hari Senin, 18 Februari 2019 di bangsal ISO
lantai 3 Rumah Sakit Umum Siloam

Keluhan Utama
Mual yang memberat 3 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSU Siloam pada tanggal 18 Februari 2019 dengan keluhan
mual yang memberat sejak 3 hari terakhir. Mual disertai muntah terutama saat
makan. Muntah berisi makanan, tidak ada darah maupun lendir. Pasien mengaku
keluhan ini sudah ada sejak pasien mulai mengonsumsi obat anti tuberkulosis
(OAT) 2 minggu SMRS. Awalnya pasien mengeluhkan adanya demam yang naik
turun sejak 3 minggu SMRS, pasien tidak batuk namun merasa memiliki dahak di
tenggorok. Dahak bisa dikeluarkan jika pasien memaksakan batuk. Dahak yang
dikeluarkan berwarna hijau. Pasien juga mengaku berkeringat setiap malam sampai
harus mengganti baju karena basah. Pasien kemudian pergi berobat ke RS Sari Asih
2 minggu SMRS, disana dahak pasien diperiksa dan dikatakan positif TB paru.
Pasien kemudian diberikan obat 4 buah (Rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan
ethambutol). Semenjak mengonsumsi obat-obatan tersebut pasien mulai merasa
mual. Pasien masih bisa makan seperti biasa walaupun mual. Lama-kelamaan mual
semakin berat, nafsu makan pasien menjadi berkurang. Pasien tetap berusaha

2
makan sedikit-sedikit, dan OAT tetap dilanjutkan. Menurut pasien mual terutama
paling dirasakan setiap pasien mengonsumsi ethambutol. Pasien mengatakan ada
penurunan berat badan selama 1 bulan terakhir (berat badan pasien dari 60kg
menjadi 43kg). Istri pasien mengatakan mata pasien terlihat kuning. Keluhan batuk
darah disangkal. Tidak ada gangguan dalam membedakan warna-warna benda dan
tidak ada keluhan kesemutan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat darah tinggi, kencing manis, jantung disangkal. Pasien mengaku belum
pernah dirawat dirumah sakit

Riwayat Pengobatan
Pasien sedang mengonsumsi OAT 2 minggu. Obat-obatan yang digunakan adalah
Rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan ethambuthol

Riwayat Kebiasaan
Merokok (-)

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien berasal dari kalangan menengah kebawah. Pasien sehari-hari bekerja sebagai
karyawan kantor.

Riwayat Diet
Pola makan pasien sehari-hari teratur yaitu 3 kali sehari, makanan bervariasi dan
merupakan buatan istri. Semenjak sakit frekuensi makan pasien berkurang jauh,
sebanyak 1-2 kali sehari dan seringkali 1 piring tidak habis.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat TB paru di keluarga (+)  paman pasien sedang dalam pengobatan TB
paru. Pasien tidak satu rumah dengan paman pasien namun pasien yan mengantar
pamannya jika pergi berobat dan kontrol ke rumah sakit.

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Tampak sakit sedang

3
Tingkat kesadaran : Compos mentis
GCS : 15
Tinggi Badan : 159 cm
Berat badan : 43 kg
BMI : 17.0 (Underweight)

Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 100/70
Laju napas : 19x/menit
Nadi : 81x/menit
Suhu : 37.0oC

Status generalis
Kepala Normosefali
Wajah Normofasialis
Leher Pembesaran KGB (-), tidak ada deviasi trakea, JVP 5 + 2 cm
Mata Sklera ikterik (+/+), konjungtiva anemis (-/-), pupil bulat
isokor 3mm/3mm, RCL +/+, RCTL +/+.
THT Darah dan sekret dari lubang telinga dan hidung (-), faring
hiperemis (-), atrofi papil lidah (-).
Paru-paru  Inspeksi : Bentuk dada normal, ginekomastia (-) simetris
(anterior) saat statis dan dinamis, bekas luka operasi (-), retraksi (-),
memar (-).
 Palpasi : Pengembangan dada simetris, tactile vocal
fremitus simetris
 Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, rhonki +/-,
wheezing -/-
(posterior)  Inspeksi : Bentuk punggung normal, skoliosis (-),
simetris saat statis dan dinamis, bekas luka operasi (-),
retraksi (-), memar (-).
 Palpasi : Pengembangan dada simetris kanan dan kiri,
tactile vocal fremitus kanan dan kiri simetris

4
 Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, rhonki +/-,
wheezing -/-
Jantung  Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, tidak teraba adanya
thrill atau heave.
 Perkusi : batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi : S1 S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen  Inspeksi: datar, bekas luka (-), massa (-), spider naevi (-),
caput medusa (-), striae (-)
 Auskultasi: Bising usus (+) normal, metallic sound (-) , bruit
(-)
 Perkusi: Timpani di seluruh region abdomen
 Palpasi: Nyeri tekan (-) , Hepatosplenomegaly (-)
Ekstremitas  Look : Deformitas (-), sianosis (-), ruam (-), jaundice (-),
needle track (-)
 Feel : Akral hangat, CRT <2 detik, nyeri tekan (-), nadi
teraba kuat simetris, pitting edema (-)

IV. Pemeriksaan Penunjang (18/2/2019)


Full blood count

Pemeriksaan Hasil Unit Nilai Normal


Hemoglobin 14.90 g/dL 13.20 – 17.30
Hematokrit 44.20 % 40.00 – 52.00
Eritrosit 5.22 10^6/L 4.40 – 5.90
Leukosit 10.50 10^3/L 3.80 – 10.60
 Basophil 0 % 0–1
 Eosinophil 1 % 1–3
 Band neutrophil 3 % 2–6

 Segment neutrophil 89 % 50 – 70

 Lymphocyte 3 % 25 – 40

 Monocyte 4 % 2–8

5
Trombosit 540.000 10^3/L 150.000 – 440.000
ESR 25 mm/hours 0 – 15
MCV 84.70 fL 80 – 100.00
MCH 28.50 pg 26.00 – 34.00
MCHC 33.70 g/dL 32.00 – 36.00

Kesan :
 Reactive thrombocytosis
 Peningkatan ESR

Pemeriksaan Hasil Unit Nilai Normal


AST/SGOT 138 U/L 0-40
ALT/SGPT 48 U/L 0-41
Ureum 47.0 mg/dL < 50.00
Kreatinin 1.21 mg/dL 0.5 – 1.3

mL/mnt/1.73
eGFR 72.9 >60
m2
GDS 155 mg/dL < 200.0
Sodium 119 mmol/l 137 – 145
Potasium 4.0 mmol/L 3.6 – 5.0
Klorida 92 mmol/L 98 – 107
Bilirubin
 Total bilirubin 3.01 mg/dL 0.20 – 1.2
 Direct bilirubin 2.47 mg/dL 0 – 0.50
 Indirect bilirubin 0.54 mg/dL 0 – 0.70

Kesan :
 Peningkatan enzim liver e.c suspek drug induced
 Hiperglikemia
 Electrolyte imbalance
 Peningkatan bilirubin

6
X-ray thorax (18/02/2019)

Penemuan:
 Paru : perselubungan inhomogen pada lapangan atas dan tengah paru
kanan
 Hilus : Kanan tertutup perselubungan
 Pleura : Sinus kostrofrenikus kanan tumpul
 Diafragma : Kanan tenting
 Trakea dan bronkus : Normal
 Mediastinum : Normal
 Jantung : CTR <50%
 Aorta : Elongasi
 Vertebra thorakal dan tulang-tulang lainnya : Normal
 Jaringan lunak : Normal
 Abdomen yang tervisualisasi : Normal
 Leher yang tervisualisasi : Normal

Kesan:
TB paru aktif dengan efusi pleura kanan
Aorta elongasi

AFB Direct Smear

7
Specimen : Sputum I
Prosedur : Z. Neelsen Stain
Result :
Sputum assessment : good quality sputum
Leukosit : 100/lpf
Epithel : <10/lpf
Acid Fast Bacillus : Positive 1 (1+)

Specimen : Sputum II
Prosedur : Z. Neelsen Stain
Result :
Sputum assessment : good quality sputum
Leukosit : 70/lpf
Epithel : <10/lpf
Acid Fast Bacillus : Positive 1 (1+)

Specimen : Sputum III


Prosedur : Z. Neelsen Stain
Result :
Sputum assessment : good quality sputum
Leukosit : 100/lpf
Epithel : <10/lpf
Acid Fast Bacillus : Positive 1 (1+)

V. Resume
Pasien laki-laki, Tn. M usia 43 tahun datang dengan mual yang memberat sejak 3
hari SMRS, disertai muntah terutama saat makan. Pasien merupakan penderita TB
paru yang sedang mengonsumsi OAT selama 2 minggu dan semenjak meminum
obat tersebut pasien mengeluhkan mual. Pasien masih bisa makan seperti biasa
walaupun mual namun lama kelamaan mual bertambah dan nafsu makan pasien
berkurang drastis. Pasien tetap melanjutkan konsumsi OAT dan berusaha makan
sedikit-sedikit. Istri pasien mengatakan mata pasien kuning. Riwayat TB paru di
keluarga (+). Dari pemeriksaan fisik pasien tampak sakit sedang, tekanan darah
100/70, tanda-tanda vital lain dalam batas normal. Sklera ikterik (+). Pada

8
auskultasi paru ditemukan rhonchi pada lapang paru kanan. Pemeriksaan fisik
lainnya dalam batas normal. Dari pemeriksaan penunjang laboratorium tampak
leukositosis, reactive thrombocytosis, electrolyte imbalance, peningkatan enzim
liver dan bilirubin. Pemeriksaan dahak ditemukan batang tahan asam +1. Pada foto
thorax terlihat gambaran TB paru aktif dengan efusi pleura kanan.
VI. Daftar Masalah
1. Hepatitis imbas obat / drug induced hepatitis (DIH) e.c OAT
2. TB paru kasus baru BTA (+) lesi luas

VII. Follow Up
19/02/2019 S : Masih mual namun membaik, masih ingin muntah tiap
makanan masuk mulut. Batuk (+)
O: KU: tampak sakit sedang, kesadaran: compos mentis,
TD: 100/70, S: 36.7oC, N 83x/menit, RR 18x/menit
Thorax:
Inspeksi: pergerakan dada simetris
Palpasi: pengembangan dada simetris, tactile vocal
fremitus simetris
Perkusi: sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: Vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-
A: TB paru kasus baru BTA (+) lesi luas on OAT 2
minggu, DIH
P:
Medikamentosa:
- N- acetylcystein PO 200 mg TDS
- Curcuma PO 200 mg TDS

Non Medikamentosa:
- Pasang NGT
- Diet cair
20/2/2019 S : Batuk dan mual membaik
O: KU: tampak sakit sedang, kesadaran: compos mentis,
TD: 100/60, S: 36.6oC, N 85x/menit, RR 17x/menit

9
Thorax:
Inspeksi: pergerakan dada simetris
Palpasi: pengembangan dada simetris, tactile vocal
fremitus simetris
Perkusi: sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: Vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-
A: TB paru kasus baru BTA (+) lesi luas on OAT 2
minggu, DIH
P:
Medikamentosa:
- N- acetylcystein PO 200 mg TDS
- Curcuma PO 200mg TDS
Non Medikamentosa:
- Pasang NGT
- Diet cair
- Coba makan lewat mulut
21/2/2019 S : Mual membaik, batuk sudah berkurang. Sudah mulai
bisa makan lewat mulut
O: KU: tampak sakit sedang, kesadaran: compos mentis,
TD: 100/60, S: 36.6oC, N 85x/menit, RR 17x/menit
Thorax:
Inspeksi: pergerakan dada simetris
Palpasi: pengembangan dada simetris, tactile vocal
fremitus simetris
Perkusi: sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: Vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-
A: TB paru kasus baru BTA (+) lesi luas on OAT 2
minggu, DIH
P:
Medikamentosa:
- Omeprazole IV 40 mg BD
- Sucralfat PO 1C BD
- N- acetylcystein PO 200 mg TDS

10
Non Medikamentosa:
- Pasang NGT
- Diet cair
- Coba makan lewat mulut, bila tidak mual bisa
lepas NGT
- Cek fungsi liver ulang
22/2/2019 S : Mual membaik, batuk sesekali saja
O: KU: tampak sakit sedang, kesadaran: compos mentis,
TD: 100/60, S: 36.6oC, N 85x/menit, RR 17x/menit
Thorax:
Inspeksi: pergerakan dada simetris
Palpasi: pengembangan dada simetris, tactile vocal
fremitus simetris
Perkusi: sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: Vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-
Hasil Lab 22/2/19
Hb 12.50
Ht 35.80
WBC 10.40
SGOT 79
SGPT 58

A: TB paru kasus baru BTA (+) lesi luas on OAT 2


minggu, DIH
P:
Medikamentosa:
- Omeprazole IV 40 mg BD
- Sucralfat PO 1C BD
- N- acetylcystein PO 200 mg TDS
Non Medikamentosa:
- Pasang NGT
- Diet cair

11
- Coba makan lewat mulut, bila tidak mual bisa
lepas NGT
- Mulai desensitisasi OAT

VIII. Pengkajian Masalah


TB Paru Kasus Baru BTA (+) lesi luas
Atas dasar: Anamnesis:
- Demam naik turun sejak 3
minggu SMRS
- Dahak (+) warna hijau
- Keringat malam (+)
- Penurunan berat badan
- Riwayat kontak TB (+)
Pemeriksaan fisik:
- Tampak sakit sedang
- TD: 100/70, S: 37.0oC, RR
19x/menit
Pemeriksaan Penunjang:
- Lab : leukositosis, peningkatan
ESR
- BTA +1 (3x pemeriksaan)
- X-ray thorax: TB paru aktif
dengan efusi pleura
Yang dipikirkan TB paru kasus baru BTA (+) lesi luas
dengan efusi pleura
Rencana diagnostik - Pemeriksaan geneXpert
- Pemeriksaan HIV rapid
Rencana pengobatan 2RHZE/4RH
DIH e.c. OAT
Atas dasar: Anamnesis:
- Mual sejak minum OAT
- Muntah
- Penurunan nafsu makan

12
Pemeriksaan fisik:
- Sklera ikterik (+)
- Hepatosplenomegali (-)
Pemeriksaan penunjang:
- SGOT : 138  peningkatan
>3x lipat
- SGPT : 48
- Total bilirubin : 3.01
- Direct bilirubin : 2.47
Yang dipikirkan Hepatitis imbas obat / drug induced
hepatitis e.c. OAT
Rencana diagnostik USG abdomen
Rencana pengobatan - Pasang NGT
- Omeprazole IV 40 mg BD
- Sucralfat PO 1 C TDS
- Domperidone PO 10 mg BD
- Curcuma PO 200 mg BD
- Stop OAT, cek ulang enzim
liver
- Bila enzim liver normal, mulai
desensitisasi dengan isoniazid.
Dosis 25 mg dan dinaikkan 2
kali dosis sebelumnya setiap 3
hari (25-50-100-200-300-400
mg). Setelah INH dalam dosis
penuh, cek ulang enzim liver.
- Bila klinis dan laboratorium
normal, tambahkan rifampisin,
desensitisasi dengan dosis hari
pertama 75 mg, hari ke-4 75
mg, hari ke-7 150 mg, hari ke-
10 150 mg, hari ke-13 450 mg,

13
hari ke-16 450 mg, hari ke-19
600 mg.
- Cek ulang laboratorium, bila
normal maka tambahkan
ethambutol dan streptomisin
sehingga panduan obat menjadi
RHES
- Jangan menggunakan
pirazinamid

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Paru


2.1.1 Definisi
Infeksi paru yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberkulosis. Penyakit ini ditularkan melalui udara. Transmisi terjadi
ketika seseorang menghirup droplet nuclei yang mengandung kuman
M. tuberkulosis.1,2
2.1.2 Patogenesis
TB paru terdiri atas TB paru primer dan post primer. TB paru
primer terjadi saat seseorang baru pertama kali terpapar kuman TB,
dimana individu belum memiliki kekebalan tubuh spesifik. Sedangkan
TB paru post primer muncul bertahun-tahun setelah TB paru primer.1
Patogenesis terjadinya TB dapat dilihat pada gambar 1.
Pada TB paru primer, individu menghirup droplet yang
mengandung kuman TB. Droplet ini ukurannya sangat kecil (diamer 1-
5 micron) sehingga dapat melewati pertahanan mukosilier bronkus,
mencapai alveolus dan menetap disana. Makrofag alveolus akan
menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian
besar kuman TB.2 Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi
dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang
biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi
pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer
GOHN.2
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai
saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena.1 Jika focus primer terletak di lobus paru
bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar
limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru,
yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer

15
merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang
membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis).3
Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat
tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan
sebagainya.1 Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir
dengan:
 Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya
pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat
ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau
 Meninggal

Gambar 1. Patofisiologi TB2

2.1.3 Klasifikasi
2.1.3.1 Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak
a. TB paru BTA (+)1
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak
menunjukkan hasil BTA positif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak
menunjukkan hasil positif dan kelainan radiologik
menunjukkan gmabaran tuberkulosis aktif

16
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak
menujukkan BTA positif dan biakan positif
b. TB paru BTA (-)1
 Hasil pemeriksaan dahak tiga kali menunjukkan
BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan
radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta
tidak respons dengan pemberian antibiotik
spektrum luas.
 Hasil pemeriksaan dahak tiga kali menunjukkan
BTA negatif dan biakan M. tuberkulosis positif
 Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA
belum diperiksa
2.1.3.2 Berdasarkan tipe penderita
a. Kasus baru
Penderita yang belum pernah mendapatkan OAT atau
sudah mengonsumsi OAT kurang dari 1 bulan (30 dosis
harian). 1
b. Kasus kambuh (relaps)
Penderita tuberkulosis yang sebelumnya sudah
mendapatkan pengobatan dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi dengan hasil
pemeriksaan BTA positif atau biakan positif.1
c. Kasus pindahan (Transfer In)
Penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain.
Penderita tersebut harus membawa surat rujukan atau surat
pindah.1
d. Kasus lalai berobat
Penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan
berhenti 2 minggu atau lebih kemudian datang lagi berobat.
Umumnya penderita tersebut kembali dengan pemeriksaan
dahak BTA positif1

17
e. Kasus gagal
 Penderita BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu
bulan sebelum pengobatan berakhir)1
 Penderita dengan hasil BTA negatif gambaran
radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir
bulan kedua pengobatan dan atau gambaran
radiologik dengan hasil perburukan.1
f. Kasus kronik
Penderita dengan hasil dahak BTA masih tetap positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan
pengawasan yang baik.1
g. Kasus bekas TB
 Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika
ada fasilitas) negatif dan gambaran radiologik paru
menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran
radiologik serial menunjukkan gambaran yang
menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat
akan lebih mendukung.1
 Kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi
TB aktif, namun setelah mendapatkan pengobatan
OAT 2 bulan ternyata tidak ada perubahan
gambaran radiologik.1
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1 Alur diagnosis dapat
dilihat pada gambar 2.
Gambaran klinis
Gejala penyakit TB paru terbagi atas gejala respiratorik dan
gejala sistemik.1
Gejala respiratorik Gejala sistemik
 Batuk > 3 minggu  Demam
 Batuk darah  Malaise

18
 Sesak napas  Keringat malam
 Nyeri dada  Anoreksia
 Berbadan menurun

Pemeriksaan fisik
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik tergantung
dari luas struktur paru yang terlibat. Pada fase awal penyakit sulit
ditemukan kelainan. Umumnya kelainan ditemukan pada lobus
superior terutama di bagian apex dan segmen posterior, atau apex lobus
inferior.1,3
Yang ditemukan pada pemeriksaan jasmani antara lain suara
napas bronkial, amforik, penurunan suara napas vesikuler, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.1

Pemeriksaan bakteriologis
Bahan yang digunakan adalah sputum penderita.1,3 Pengambilan
dahak dilakukan sebanyak 3 kali:
1. Sewaktu/spot = saat kunjungan
2. Pagi = keesokan paginya
3. Sewaktu/spot = saat mengantarkan dahak pagi
Atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.
Sputum ditampung dalam container dengan mulut lebar,
diameter penampang minimal 6 cm dan dengan tutup berulir.
Container harus tidak mudah pecah dan tidak bocor. Spesimen tersebut
bisa dipakai untuk pemeriksaan mikroskopik maupun biakan kuman.1
Pemeriksaan mikroskopik bisa dilakukan dengan pewarnaan
Ziehl-Nielsen dan auramin-rhodamin. Yang lazim digunakan adalah
pewarnaan Ziehl-Nielsen. Hasil pemeriksaan akan menunjukkan
apakah infeksi pasien jenis BTA positif atau BTA negatif.3
Interpretasinya adalah:
1. 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif : BTA positif
2. 1 kali positif, 2 kali negatif : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada
fasilitas foto thorax kemudian,
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif

19
o bila 3 kali negatif : BTA negatif
Interpretasi mirkoskopik dibaca dengan menggunakan skala
IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease) :1
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif
1. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan.
2. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +1
3. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +2
4. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +3
Pemeriksaan biakan sebaiknya dilakukan tanpa mempedulikan
hasil pemeriksaan BTA. Metode kultur konvensional yang digunakan
biasanya dengan media Lowenstein-Jensen, Ogawa atau Kuhdo, atau
bis ajuga dengan Middle brook.1 Metode kultur modern saat ini bisa
menggunakan broth culture system yang tersedia secara komersil
(misalnya BACTEC, MGIT, VersaTREK, MBBACT).4 Keunggulan
broth culture system dibandingkan dengan metode konvensional
adalah waktu yang dibutuhkan untuk melihat hasil kultur (4-14 hari
dibandingkan 3-6 minggu).4 Tujuan dari pemeriksan kultur atau biakan
adalah mendeteksi M. tuberkulosis sekaligus mycobacterium other
than tuberculosis (MOTT).1

Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologik memiliki peran penting dalam evaluasi
awal pasien yang diduga memiliki TB aktif.
TB primer menunjukkan temuan radiologis yang meliputi
limfadenopati, konsolidasi, efusi pleura, dan nodul milier. TB post
primer menunjukkan konsolidasi yang dominan di zona apikal dan
paru-paru bagian atas, nodul, dan kavitasi.1
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif meliputi
fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas, kalsifikasi
atau fibrotik, kompleks ranke, fibrotoraks/fibrosis parenkim paru dan
atau penebalan pleura.3 Bisa juga terdapat gambaran luluh paru atau
destroyed lung yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat.

20
Gambaran radiologik yang ditunjukkan berupa atelektasis, multikaviti
dan fibrosis parenkim paru.1,3

Gambar 2. Alur diagnosis TB berdasarkan PDPI1

Selain untuk mendeteksi aktivitas penyakit, gambaran radiologis


juga melihat luas lesi untuk kepentingan pengobatan, terutama pada
kasus BTA (-).1 Klasifikasi luas lesi terbagi menjadi 2 yaitu:
 Lesi minimal
Mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas
tidak melebihi volume paru yang teletak diatas
chondrosternal junction dari iga kedua depan dan processus
spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebrae
torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti.1
 Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.1

21
Tes Tuberkulin dan IGRA
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling
bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam “Screening
TBC”.1 Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji
tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1
tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–
2 tahun 92%, 2– 4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun
51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia
seseorang maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.3
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai
sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji
mantoux umumnya pada 1⁄2 bagian atas lengan bawah kiri bagian
depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin
dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari
pembengkakan (indurasi) yang terjadi:
1. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif.
Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.
2. Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan.
Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan
Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
Pemeriksaan IGRA (Interferon-gamma release
assays)merupakan alat diagnostik untuk TB laten. IGRA merupakan
marker turunan dari M. tuberculosis dan akan memberikan respos imun
seluler terhadap kuman M.tuberculosis.5
2.1.5 Tata laksana
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase
intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 6 bulan. Paduan obat yang
digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.1,3
Pengobatan TB merupakan masalah yang rumit mencakup
waktu penyembuhan yanglama, kepatuhan disiplin penderita dalam

22
menjalani pengobatan, daya tahan tubuh dan factor sosial ekonomi
penderita.2
Obat TB lini pertama terdiri atas kombinasi obat rifampisin (R),
isoniazid (H), pirazinamid (Z), Ethambutol (E). Sediaan obat bisa
dapat bentuk dosis tunggal maupun kombinasi dosis tetap (Fixed dose
combination / FDC). OAT dengan FDC terdiri atas 4FDC dan 2FDC.6
4FDC terdiri atas Rifampisin 150mg, Isoniazid 75 mg, Pyrazinamid
400 mg, dan Ethambutol 275mg. Sedangkan 2FDC terdiri atas
Rifampisin 150mg dan Isoniazid 150 mg. Penghitungan dosis biasanya
berdasarkan berat badan dan sediaan.1,3,6 Dosis OAT dapat dilihat di
Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Dosis OAT6

Dosis pemberian OAT berdasarkan FDC terbagi atas 3 kategori:


Kategori I untuk pasien TB kasus baru dengan BTA positif, kasus baru
dengan BTA negatif/rontgen positif yang sakit berat dan ekstra paru
berat.6 Dosis OAT kategori I dengan FDC dapat dilihat di tabel 2.

Berat badan TAHAP INTENSIF TAHAP LANJUTAN


(tiap hari selama 2 bulan) (tiga kali seminggu selama 4
bulan)
30 – 37 kg 2 tablet 4FDC 2 tablet 2FDC
38 – 54 kg 3 tablet 4FDC 3 tablet 2FDC
55 – 70 kg 4 tablet 4FDC 4 tablet 2FDC
>70 kg 5 tablet 4FDC 5 tablet 2FDC
Tabel 2. Dosis OAT Kategori I6

23
OAT katergori II digunakan untuk pasien relaps dengan BTA positif,
kasus gagal dengan BTA positif, dan putus berobat.6 Dosis yang
digunakan sesuai dengan tabel 3.
Berat badan TAHAP INTENSIF TAHAP
(SETIAP HARI) LANJUTAN
2 Bulan 1 Bulan 5 Bulan
30 – 37 kg 2 tablet 4FDC 2 tablet 2FDC 2 tablet 2FDC + 2
+ 500mg Streptomisin inj tab Ethambutol
38 – 54 kg 3 tablet 4FDC + 750mg 3 tablet 2FDC 3 tablet 2FDC + 3
Streptomisin inj tab Ethambutol
54 – 70 kg 4 tablet 4FDC + 1000mg 4 tablet 2FDC 4 tablet 2FDC + 4
Streptomisin inj tab Ethambutol
>70 kg 5 tablet 4FDC + 1000mg 5 tablet 2FDC 5 tablet 2FDC + 5
Streptomisin inj tab Ethambutol
Tabel 3. Dosis OAT kategori II6

Setiap terapi yang diberikan tentunya memiliki efek samping,


demikian pula OAT. Efek samping dari OAT terbagi menjadi efek
samping minor dan mayor.6,7 Efek samping yang diketahui dari obat-
obatan tersebut beserta tatalaksananya dapat dilihat di tabel 4 dan
tabel 5.
Efek samping Tatalaksana
Kemungkinan penyebab
Minor OAT diteruskan
Tidak nafsu makan, mual, sakit Rifampisin Obat diminum sebelum
perut tidur
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin / allopurinol
Kesemutan sampai dengan rasa INH Beri vitamin B6 1x100
terbakar di kaki mg/ hari
Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Beri penjelasan tidak
perlu diberi apa-apa
6
Tabel 4. Efek samping minor dan tatalaksananya

24
Efek samping Tatalaksana
Kemungkinan penyebab
Mayor Hentikan OAT
Gatal dan kemerahan pada kulit Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan,
ganti ethambutol
Gangguan keseimbangan (vertigo Streptomisin Streptomisin dihentikan,
dan nnistagmus) ganti ethambutol
Ikterik / hepatitis imbas obat Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
(penyebab lain disingkirkan) sampai ikterik
menghilang dan boleh
diberikan hepatoprotektor
Muntah dan bingung (suspected Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT dan
drug-induced pre-icteric lakukan uji fungsi hati
hepatitis)
Gangguan penglihatan Ethambuthol Hentikan ethambutol
Kelainan sistemik, termasuk syok Rifampisin Hentikan rifampisin
dan purpura
Tabel 5. Efek samping mayor dan cara mengatasinya6

2.2 Hepatitis Imbas Obat / Drug induced hepatitis (DIH)


2.2.1 Definisi
Kerusakan hati yang berkaitan dengan gangguan fungsi hati
yang disebabkan oleh karena terpajan obat atau agen non infeksius
lainnya.7
2.2.2 Metabolisme obat di hepar
Obat-obatan dan senyawa-senyawa eksogen dapat
mempengaruhi hati dengan berbagai cara. Beberapa zat kimia seperti
bahan-bahan yang digunakan di laboratorium dan industri, bahan kimia
alami (microcystins misalnya) maupun obat herbal dapat menyebabkan
hepatotoksisitas.7 Bahan kimia yang menyebabkan luka hati yang
disebut hepatotoxins.
Metabolisme obat di hati biasanya dibagi menjadi dua fase,
yakni fase 1 dan fase 2. Reaksi fase 1 termasuk oksidasi, reduksi,
hidrolisis, hidrasi dan banyak lagi reaksi kimia lain. Fase ini penting

25
untuk meningkatkan kemampuan penyerapan air dari obat-obat
tertentu sehingga mampu memetabolisme agen-agen kimiawi dalam
obat-obat tersebut.7,8 Fase 2 paling sering terjadi di sitosol, dimana
terjadi konjugasi melalui enzim transferase.
Sejumlah enzim terkait dihasilkan di retikulum endoplasma,
yakni cytochrome P-450, yang penting sebagai enzim pemetabolisme.
Cytochrome P-450 adalah komponen oksidase terminal dari rantai
transportasi elektron. Sistem detoksifiksi tahap 1, melibatkan terutama
enzim supergen sitokrom P-450, yang secara umum merupakan enzim
pertahanan pertama melawan benda asing. Sebagian besar bahan kimia
dimetabolisme melalui biotransformasi tahap 1.8 Pada reaksi umum
tahap 1, enzim sitokrom P-450 (CYP450) menggunakan oksigen
sebagai kofaktor, NADH, untuk menambah kelompok reaktif, misal
hidroksi radikal.8

Gambar 3. Tahap metabolisme obat di hepar

Sebagai hasil dari tahap ini dalam detoksifikasi, diproduksi suatu


molekul reaktif yang ebih toksik daripada molekul awal. Apabila
molekul reaktif ini tida berlanjut pada metabolism selanjutnya, yaitu
tahap 2 (konjugasi), dapat menyababkan kerusakan pada protein, RNA,
dan DNA di dalam sel.7
Reaksi konjugasi pada tahap 2 umumnya mengikuti aktivasi
tahap 1, dimana akan mengakibatkan xenobiotik yang telah larut air

26
dapat diekskresikan melalui urin atau empedu. Beberapa macam reaksi
konjugasi terdapat dalam tubuh, termasuk glukoronidasi, sulfas, dan
konjugasi glutation, serta asam amino.7,8 Reaksi ini memerlukan
kofaktor yang tercukupi melalui makanan. Banyak yang dketahui
mengenai peran dari system enzim tahap 1 pada metabolisme kimia
seperti halnya aktivasinya oleh racun lingkungan dan komponen
makanan tertentu.9 Walaupun begitu, peran detoksifikasi tahap 1 pada
praktek klinik tidak terlalu diperhatikan. Kontribusi dari sistem tahap
2 lebih diperhatikan dalam penelitian dan praktek klinik.8,9 Dan hanya
sedikit yang diketahui saat ini mengenai peran system detoksifikasi
pada metabolism zat endogen.
2.2.3 Mekanisme hepatotoksisitas
Patogenesis DILI secara garis besar terbagi atas mekanisme efek
hepatotoksik langsung (direct) atau efek hepatotoksik idiosinkratik.
Kedua proses tersebut melibatkan peristiwa "hulu" (upstream) yang
disebabkan oleh obat-obatan, serta produk metaboliknya dan peristiwa
"hilir" (downsteam) yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
jalur yang mengeraha ke cedera hati dan perlindungan sel hati target.7
Hepatotoksisitas obat direct mengacu pada cedera langsung pada
hati yang disebabkan oleh obat yang dicerna dan / atau produk
metaboliknya. Juga dikenal sebagai DILI intrinsik (InDILI), sering
tampaknya tergantung dosis dan biasanya dapat diprediksi pada model
hewan.7,9 Hepatotoksisitas obat secara langsung dapat menyebabkan
mekanisme lain dari kerusakan hati yang melibatkan respons imun dan
inflamasi.
Pada DILI idiosinkratik, polimorfisme genetik dapat
berkontribusi terhadap disfungsi pada enzim yang relevan dan
mengangkut protein seperti enzim yang memetabolisme obat
(termasuk enzim metabolisme fase I seperti sitokrom P450 dan
berbagai enzim metabolisme fase II), protein transport transmembran
(termasuk protein pengikat ATP yang mengikat B11), dan protein
transport terlarut (termasuk anion organik yang mengangkut
polipeptida 1B1).7 Selain itu, polimorfisme HLA dapat menyebabkan
tubuh manusia cenderung menghasilkan respons imun adaptif terhadap

27
hati sebagai respons terhadap obat-obatan. Polimorfisme genetik ini
dan fitur fenotipik serta genetiknya dapat meningkatkan kerentanan
host terhadap DILI.9 Obat-obatan dan metabolit reaktif yang sesuai
dapat menyebabkan kerusakan mitokondria hepatoseluler dan
menginduksi stres oksidatif, sehingga menyebabkan cedera atau
kematian hepatoseluler melalui berbagai mekanisme molekuler.
Respon stres retikulum endoplasma (ERSR) juga dapat
mempromosikan perkembangan DILI.9 Obat-obatan dan metabolitnya
dapat mengaktifkan berbagai jenis jalur pensinyalan kematian,
sehingga meningkatkan apoptosis, nekrosis, dan kematian autophagic.
Serangan imun adaptif mungkin merupakan peristiwa umum terakhir
dari IDILI.10 Pertama, sinyal bahaya yang dihasilkan oleh cedera sel
dan kematian dapat mengaktifkan sel penyaji antigen dan kemudian
menginduksi serangan imun adaptif. Kedua, banyak metabolit obat
dapat bertindak sebagai haptens dan berikatan dengan inang protein
untuk membentuk neoantigen.11 Jika respons imun adaptif
menargetkan protein inang dalam neoantigen, mereka akan
berkontribusi terhadap respons autoimun, dan jika mereka mengenali
metabolit obat dalam neoantigen, mereka akan berkontribusi terhadap
respons imun anti-obat. Selain itu, respons imun adaptif dapat
memediasi IDILI dan juga menyebabkan cedera kekebalan
ekstrahepatik dan kemudian menghasilkan manifestasi sistemik
termasuk demam dan ruam. Respons inflamasi terutama merupakan
kombinasi dari aktivasi kekebalan dan serangkaian peristiwa seluler
dan molekuler terkait. Interaksi antara peradangan dan pajanan obat
adalah hipotesis penting tentang patogenesis DILI.9 Peradangan
intrahepatik yang disebabkan oleh faktor non-obat merupakan faktor
predisposisi independen untuk DILI dan juga faktor yang mendorong
perkembangan DILI; di sisi lain, obat-obatan dan metabolitnya juga
dapat memicu respons inflamasi intrahepatik dan meningkatkan
perkembangan DILI.9
Namun perlu diketahui bahwa ketika terjadi cedera pada sel hati,
obat-obatan juga akan memicu perbaikan jaringan restoratif (RTR).12,13
Setelah inisiasi cedera hati, jika ada kekurangan RTR, cedera akan

28
berkembang dengan cepat; sebaliknya, jika ada RTR yang tepat waktu
dan adekuat, cedera hati akan terbatas dan berbalik. Oleh karena itu,
RTR merupakan faktor penentu penting untuk perkembangan atau
resolusi cedera hati.8
2.2.4 Manifestasi klinis
Berdasarkan perjalanan penyakit, DILI diklasifikasikan menjadi
DILI akut dan DILI kronis. Definisi DILI kronis adalah: dalam waktu
6 bulan setelah DILI terjadi, serum ALT, AST, ALP, atau TBil masih
tetap abnormal, atau ada bukti radiografi dan histologis untuk
hipertensi portal atau cedera hati kronis.9 Secara klinis, DILI akut lebih
sering terjadi dan 6-20% diantaranya dapat berkembang menjadi DILI
kronis. Hal ini menunjukkan bahwa dalam waktu 3 bulan setelah
timbulnya DILI akut, sekitar 42% dari pasien masih memiliki tes
biokimia hati yang abnormal, dan 1 tahun kemudian, sekitar 17% dari
pasien masih memiliki indeks biokimia hati yang abnormal. DILI
kolestatik cenderung berkembang menjadi DILI kronis.10
Berdasarkan jenis sel target yang cedera, DILI diklasifikasikan
menjadi cedera hepatoseluler, cedera kolestatik, cedera campuran
hepatoselular-kolestatik, dan cedera hati vaskular.11
Kriteria untuk menilai ketiga jenis DILI, yang awalnya
ditetapkan dan kemudian direvisi oleh Council for International
Organizations of Medical Sciences (CIOMS)10, adalah:
 Cedera hepatoseluler: ALT ≥ 3 ULN dan R ≥ 5
 Cedera kolestatik, ALP ≥2 ULN dan R ≤ 2
 Cedera campuran hepatoseluler-kolestatik, ALT ≥ 3 ULN,
ALP ≥2 ULN dan 2 <R <5.
 Jika ALT dan ALP tidak mencapai kriteria yang disebutkan
di atas, kondisi pasien disebut "kelainan uji biokimia hati".
 R = (ALT level / ALT ULN)/(AP level/AP ULN)

2.2.5 Kriteria diagnosis


Sebagian besar laporan penelitian menggunakan ALT atau AST
3 kali batas atas normal (ULN) dengan gejala (sakit perut, mual,
muntah, kelelahan yang tidak dijelaskan atau penyakit kuning) yang

29
disebabkan oleh cedera hati atau 5 kali ULN dari ALT atau AST tanpa
gejala atau peningkatan transaminase >3x dengan total bilirubin >2.10
DIH bisa dibagi berdasarkan tingkat keparahannya yaitu
 Mild : peningkatan AST dan/atau ALT >2 sampai <3 x
ULN
 Moderate : peningkatan AST dan/atau ALT >3 sampai <
5x ULN
 Severe : peningkatan AST dan/atau ALT >5x ULN

2.2.6 Tata laksana


Prinsip-prinsip untuk tatalaksana DIH akibat OAT adalah:
1. Segera hentikan penggunaan obat-obatan yang diduga
sebagai penyebab bila terdapat kelainan sebagai berikut1:
 Gejala klinis seperti ikterik, mual mual
 Tanpa gejala klinis namun TBil >2
 SGOT atau SGPT >5x tanpa gejala
 SGOT atau SGPT >3x dengan gejala
2. Bila SGOT atau SGPT >3x tanpa gejala, OAT dapat
diteruskan namun dengan pengawasan
3. Transplantasi hati darurat harus dipertimbangkan untuk
pasien dengan ALF / SALF.14
Setelah OAT dihentikan, lakukan monitor klinik dan
laboratorium. Bila keadaan klinis dan laboratorium membaik, mulai
kembali OAT, dimulai dengan INH dengan dosis desensitisasi dimulai
dengan 25 mg dan dinaikkan 2 kali dosis sebelumnya setiap 3 hari (25-
50-100-200-300-400 mg). Selama itu perhatikan klinik dan periksa
laboratorium saat INH dosis penuh, bila klinik dan laboratorium
normal, tambahkan rifampisin, desensitisasi dengan dosis 75 mg (hari
pertama 75 mg, hari ke-4 75 mg, hari ke-7 150 mg, hari ke-10 150 mg,
hari ke-13 450 mg, hari ke-16 450 mg, hari ke-19 600 mg). Sehingga
paduan obat menjadi RHES . Pirazinamid tidak boleh digunakan lagi.

30
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. PDPI.Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Tuberkulosis Di Indonesia. 2014.


2. Pai M, Behr MA, Dowdy D, et al. Tuberculosis. Nat Rev Dis Primers 2016; 2:16076.
3. Werdhani R. Patofisiologi, diagnosis dan klasifikasi tuberculosis. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Steingart KR, Flores LL, Dendukuri N, et al. Commercial serological tests for the
diagnosis of active pulmonary and extrapulmonary tuberculosis: an updated systematic
review and meta-analysis. PLoS Med 2011; 8:e1001062.
5. CDC. Updated guidelines for using interferon gamma release assays to detect
Mycobacterium tuberculosis infection— United States, 2010. MMWR 2010; 59 (RR-
5).
6. Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Antituberkulosis. 2015.
7. 7. Ramappa V, Aithal G. Hepatotoxicity Related to Anti-tuberculosis Drugs:
Mechanisms and Management. Journal of Clinical and Experimental Hepatology.
2013;3(1):37-49.
8. Saukkonen J, Cohn D, Jasmer R, Schenker S, Jereb J, Nolan C. An Official ATS
Statement: Hepatotoxicity of Antituberculosis Therapy. American Thoracic Society
Documents. 2006;.
9. Björnsson ES, Bergmann OM, Björnsson HK, et al. Incidence, presentation, and
outcomes in patients with drug-induced liver injury in the general population of Iceland.
Gastroenterology 2013; 144:1419.
10. Avigan M, Bjornsson E, Pasanen M, Cooper C, Andrade R, Watkins P et al. Liver
Safety Assessment: Required Data Elements and Best Practices for Data Collection and
Standardization in Clinical Trials. Drug Safety. 2014;37(S1):19-31.
11. Yu Y, Mao Y, Chen C, Chen J, Chen J, Cong W et al. CSH guidelines for the diagnosis
and treatment of drug-induced liver injury. Hepatol Int. 2017;11(3):221-241.
12. Jeong I, Park J, Cho Y, Yoon H, Song J, Lee C. Drug-induced Hepatotoxicity of Anti-
tuberculosis Drugs and Their Serum Levels. Journal of Korean Medical Science.
2015;22(2).
13. Vega M, Verma M, Beswick D, et al. The Incidence of Drug- and Herbal and Dietary
Supplement-Induced Liver Injury: Preliminary Findings from Gastroenterologist-
Based Surveillance in the Population of the State of Delaware. Drug Saf 2017; 40:783.
14. Navarro, VJ.Drug-Related Hepatotoxicity. N Engl J Med 2006; 354: 731-9

31

Anda mungkin juga menyukai