jaringan subconjuctiva berupa granulasi fibrovaskular dari bagian nasal konjuctiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi permukaannya • Berbentuk seperti kupu-kupu memiliki kepala, leher dan badan. (bentuk segitiga) Pseudopterigium • Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus kornea, dimana konjungtiva tertarik dan menutupi kornea. Pada pseudopterigium melalui anamnesa selalu didapatkan riwayat adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea. Konjungtivitis Fiktenularis • Nodul yang muncul sebagai reaksi alergik oleh konjungtiva dan epitelium kornea terhadap alergen • Etiologi: – Delayed Hypersensitivity type 1 – Protein Mikrobial: Tuberkulous protein, Staphylococcal protein Pinguecula • Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna kekuningan. Merupakan deposit protein, lemak, atau kalsium pada mata • Dapat berkembang menjadi pterigium Etiologi • Iritasi kronis : – Debu – Sinar matahari – Udara panas – Uap kimia Faktor Resiko 1. Usia (dewasa > anak-anak) 2. Pekerjaan (sering terpapar sinar UV) 3. Tempat tinggal (daerah khatulistiwa) 4. Jenis kelamin 5. Herediter (autosomal dominan) 6. Infeksi (Human Papiloma Virus (HPV)) 7. Faktor resiko lainnya (kelembaban yang rendah, mikrotrauma (asap rokok, pasir)) Derajat pterygium
Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
Stadium I : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea Stadium II : jika pterygium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea. Stadium III : jika pterygium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm). Stadium IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan. Gambaran pterygium Gejala • Pada tahap awal gejala ringan atau bisa tanpa gejala: – Mata sering berair – Merasa ada benda asing – Timbul astigmatisme akibat penarikan kornea oleh pertumbuhan pterigium – Bisa terjadi penurunan penglihatan pada pteregium grade 3 dan 4 Pengobatan • Konservatif : – Radang ringan : air mata buatan – Radang sedang/berat: topical steroid ringan atau nsaid drop 2-4x per hari • Pembedahan : – Pada derajat 3 dan 4 di lakukan avulsi pterygium dan pencangkokan konjungtiva dari bagian superior untuk mengurangi kekambuhan Terapi tambahan : • Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian: – Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6 minggu. – Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone. – Sinar Beta – Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu. Indikasi operasi • Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus • Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil • Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus • Kosmetik, terutama untuk penderita wanita. Komplikasi • Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut : – Gangguan penglihatan (Astigmat) – Iritasi – Gangguan pergerakan bola mata. – Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea – Dry Eye sindrom. Komplikasi • Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut: – Infeksi – Ulkus kornea – Graft konjungtiva yang terbuka – Diplopia – Adanya jaringan parut di kornea. Daftar pustaka • Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009 http://emedicine.medscape.com/article/1192 527-overview • Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III penerbitAirlangga Surabaya. 2006. hal: 102 – 104 • Jogi, Renu. Basic Ophthalmology. New Delhi, India: Jaypee Brothers Medical Publishers, 2009.